1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dengan telah dilaksanakannya otonomi secara utuh sejak tahun 2001, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang pemerintah Daerah sebagai mana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
kepada
Daerah
diberikan
keleluasaan
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan yang mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali bidangbidang yang berdasar Undang-Undang telah ditetapkan sebagai kewenangan Pusat. Keleluasaan otonomi ini mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan pemerintahan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Pembagian kewenangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, di mana pada dasarnya seluruh kewenangan ada di Daerah, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Secara rinci pembagian kewenangan antara Pusat dan Provinsi diatur dalam PP 25/2000, sedangkan kewenangan Kabupaten/Kota adalah seluruh kewenangan di luar yang telah menjadi kewenangan Pusat dan Provinsi. Kewenangan Pusat di luar 5 kewenangan yang tidak diserahkan adalah kewenangan yang bersifat perencanaan makro, penetapan pedoman, norma, kriteria, dan standar. Sementara kewenangan Provinsi adalah yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dalam Provinsi yang bersangkutan.
2
Dengan desentralisasi ini, maka secara umum hal-hal yang berkait dengan stabilisasi dan distribusi dilakukan oleh Pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi (Pemerintah Pusat), sementara fungsi alokasi akan lebih banyak dilaksanakan oleh Daerah, karena Daerah lebih dekat kepada masyarakat sehingga dapat diketahui prioritas dan kebutuhan masyarakat setempat. Terkait dengan penyelenggaraan Keluarga Berencana Nasional, maka berdasarkan PP 25 Tahun 2000, pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk melakukan penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan anak, serta kewenangan untuk menetapkan pedoman pengembangan kualitas keluarga. Terlihat jelas di sini bahwa yang masih termasuk sebagai kewenangan Pusat (yang akan dilaksanakan oleh BKKBN secara langsung) adalah kewenangan yang sifatnya makro seperti perencanaan, penetapan kebijakan nasional, dan pedoman. Sementara kewenangan selain yang diatur PP 25/2000 merupakan kewenangan Daerah. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 Pasal 43 disebutkan bahwa BKKBN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang keluarga berencana dan keluarga sejahtera sesuai dengan ketentuan peraturan perUndangUndangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas tersebut, BKKBN menyelenggarakan fungsi : a. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang keluarga berencana dan keluarga sejahtera; b. koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BKKBN;
3
c. fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan Insttansi pemerintah, swasta, Lembaga Sosial dan Organisasi Masyarakat dan masyarakat di bidang keluarga berencana dan keluarga sejahtera; d. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan, dan rumah tangga. Sedangkan kewenangan BKKBN berdasarkan Pasal 45 adalah : a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya; b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro; c. Perumusan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi dan anak; d. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku yaitu : 1) perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 2) perumusan pedoman pengembangan kualitas keluarga. Dalam
rangka
pelaksanaan
kebijakan
desentralisasi
di
bidang
penyelenggaraan Keluarga Berencana, memperhatikan Pasal 114 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2002 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, bahwa sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh
4
BKKBN di Daerah tetap dilaksanakan oleh Pemerintah, dan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan, dialihkan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Berdasarkan Keputusan Presiden dimaksud, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengirimkan surat Kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengirimkan surat Kepada Menteri Dalam Negeri Selaku Ketua Tim Keppres Nomor 157 Tahun 2000 Nomor 84/M.PAN/3/2003 tanggal 14 Maret 2003 perihal Penyampaian Daftar Insttansi Vertikal BKKBN Kabupaten Kota. Berdasarkan hasil kajian Pemerintah atas kewenangan Kabupaten dan Kota maka Menteri Dalam Negeri dengan surat Nomor 045/560/Otda tanggal 24 Mei 2002 telah menyampaikan susulan Daftar Kewenangan Kabupaten/Kota (Positif
List) dan BKKBN, untuk ditndaklanjuti oleh Kabupaten/Kota dalam
menyusun kebijakan dibidang keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Pencanangan penyerahan sebagaian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BKKBN Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota secara nasional, direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 29 Juni 2003 bertepatan dengan
Hari
Keluarga
Nasional.
Dalam rangka
persiapan
penyerahan
kewenangan/kelembagaan BKKBN menjadi perangkat Daerah baik ditingkat Propinsi dan Kab/Kota, perlu kami laporkan kepada Bapak gubernur berdasarkan surat Menteri dalam Negeri tersebut diatas ada 87 kewenangan yang akan diserahkan kepada Pemerintah Kab/Kota dan 24 kewenangan yang akan diserahkan kepada Pemerintah propinsi sesuai dengan surat keputusan Kepala
5
BKKBN No. 132/HK-010/B5/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Keluarga Berencana dalam Otonomi daerah. Masalah yang perlu perhatian adalah bagaimana penanganan keluarga berencana di tingkat lokal. BKKBN telah kehilangan kaki, fungsinya saat ini hanya pada tingkat pembuatan kebijakan. Komitmen pemerintah daerah tentang program KB sangat variatif, dan pemerintah pusat tidak memiliki otoritas untuk mengatur pemerintah daerah agar meningkatkan komitmennya. Itulah sebabnya, maka strategi pengelolaan KB pada era desntalisasi ini bukan lagi berlandaskan pada hubungan hirarkhis, tetapi lebih diarahkan pada pendekatan yang bersifat pembinaan dan koordinatif. Untuk lebih menjamin keberlangsungan program KB, dibutuhkan komitmen yang kuat dari pimpinan tertinggi di Pemerintahan mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sampai pimpinan di lini lapangan. Dukungan politis juga diperlukan dari kalangan legislatif baik di pusat maupun daerah. Dukungan dari kedua lembaga itu sama pentingnya dengan dukungan dari LSM, swasta, tokoh masyarakat dan tokoh agama, karena berdasarkan pengalaman selama ini keberhasilan KB tidak hanya ditentukan oleh para pengambil kebijakan di kalangan eksekutif dan legislatif, tapi juga ditentukan oleh dukungan moral dari berbagai lapisan masyarakat. Atas dasar uraian di atas maka penulisan tertarik untuk melakukan penelitian Tentang Implementasi Program KB Nasional Era Desentralisasi di Provinsi Sumatera Utara..
6
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan dasar uraian pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi masalah utama dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Implementasi Program KB Nasional Era Desentralisasi di Provinsi Sumatera Utara ?”.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan
penelitian
ini
secara
umum
adalah
teridentifikasinya
kecenderungan dan kesinambungan pelaksanaan Program KB Era Desentralisasi di Provinsi Sumatera Utara, dan secara khusus adalah untuk mengetahui : a) Mengetahui implementasi program KB era desentralisasi di Provinsi Sumatera Utara. b) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program KB era desentralisasi di sumatera Utara. 1.4. Manfaat Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : (a) Secara praktis sebagai masukan bagi Pemerintah dalam upaya peningkatan Program KB Nasional era desentralisasi. (b) Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan menambah khasanah pengetahuan di bidang kebijakan publik dan menjadi acuan oleh penelitian lain yang berhubungan dengan kebijakan publik khususnya kebijakan di bidang desentralisasi.