BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. UU Nomor 29 Tahun 2004 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dikeluarkan pemerintah Tanggal 6 Oktober Tahun 2004. Undang-undang ini menyebutkan bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran merupakan inti dari berbagai kegiatan penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etika dan moral yang tinggi, keahlian dan wewenang yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya, sehingga dibutuhkan pengaturan praktik kedokteran. UU Nomor 29 Tahun 2004 mengatur berbagai hal, di antaranya : 1. Pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) terdiri dari Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi yang bertanggung jawab kepada Presiden. KKI mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. 2. Registrasi Dokter dan Dokter Gigi Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi yang dikeluarkan oleh KKI. Untuk memperoleh surat tanda registrasi tersebut, dokter dan dokter gigi harus memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
3. Surat Izin Praktik (SIP) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki SIP. Untuk memperoleh SIP, dokter dan dokter gigi harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat praktik kedokteran dilaksanakan. SIP dokter dan dokter gigi hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat dan satu SIP hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik. Dalam Permenkes Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, disebutkan bahwa tempat praktik yang dimaksud adalah sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta maupun praktik per orangan. Untuk mendapatkan SIP, seorang dokter dan dokter gigi harus memiliki surat tanda registrasi yang masih berlaku dan dikeluarkan oleh KKI. Kemudian mempunyai tempat praktik dan memiliki rekomendasi dari organisasi profesi. 4. Rekam Medis Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis yang harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Dokumen rekam medis merupakan milik dokter, dokter gigi atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien. Rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
5. Pembentukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan lembaga otonom dari KKI. MKDKI dalam menjalankan tugasnya bersifat independen dan bertanggung jawab kepada KKI. 6. Sanksi Terhadap Pelanggaran Undang-Undang UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyertakan sanksi bagi pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang tersebut. Sanksi itu berupa pidana penjara atau denda dalam bentuk uang yang nominalnya berbeda-beda sesuai pasal yang dilanggar. Ada beberapa sanksi yang diatur, di antaranya dokter dan dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi dan SIP, dokter dan dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat rekam medis sesuai dengan ketentuan undang-undang, akan dikenakan pidana penjara atau denda dalam bentuk uang. Namun, sanksi untuk pelanggaran terhadap Pasal 37 ayat 2 yaitu SIP hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat, tidak disebutkan dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut. Sebagai salah satu produk dan sumber hukum, seharusnya
undang-undang
tersebut
juga
menyertakan
sanksi
terhadap
pelanggaran pasal 37 ayat 2 ini. Utrech dalam Sinaga (2008) menyatakan hukum berisikan larangan dan sanksi yang harus dipatuhi agar tercipta ketertiban di tengah masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
7. Praktik Kedokteran UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter (dokter dan dokter spesialis) serta dokter gigi (dokter gigi dan dokter gigi spesialis) terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Pasal 39 menyebutkan praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pasal 2 Permenkes Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran menyatakan bahwa setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki SIP, kemudian dalam Pasal 3 disebutkan bahwa tempat praktik yang dimaksud adalah sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta maupun praktik per orangan. 8. Kewenangan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Pasal 37 ayat 1 UU Nomor 29 Tahun 2004 menyatakan bahwa SIP dokter dan dokter gigi dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan. Kewenangan dinas kesehatan kabupaten/kota tersebut dipertegas lagi dalam Permenkes Nomor 512/Menkes/Per/2007. Dalam Permenkes itu disebutkan bahwa dinas kesehatan kabupaten/kota memiliki dua kewenangan dalam pelaksanaan praktik kedokteran, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Pencatatan dan Pelaporan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melakukan pencatatan terhadap semua SIP dokter dan dokter gigi yang telah dikeluarkannya. Catatan tersebut disampaikan secara berkala minimal 3 (tiga) bulan sekali kepada Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia dan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi serta organisasi profesi setempat. b. Pembinaan dan Pengawasan Pasal 21 ayat 1 Permenkes Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 menyatakan Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintah daerah dan organisasi profesi melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan praktik kedokteran sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang masing-masing. Dalam ayat 2 pasal ini, disebutkan pembinaan dan pengawasan diarahkan pada pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi. Pasal 22 Permenkes tersebut menyatakan dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran peraturan praktik kedokteran. Sanksi administratif tersebut dapat berupa peringatan lisan, tertulis sampai dengan pencabutan SIP. Dalam memberikan sanksi administrasif tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan organisasi profesi.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Dokter 2.2.1. Pengertian Dokter Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004, dokter adalah dokter (biasa disebut dengan dokter umum), dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan. Artinya, dokter umum dan dokter spesialis termasuk dalam objek hukum yang diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004. Dokter umum adalah seseorang yang memiliki kekhususan dalam bidang medis yang dapat menolong orang lain agar sembuh dari penyakit yang dialami. Untuk menjadi dokter umum, seseorang harus menjalani pendidikan dokter umum dasar di fakultas kedokteran. Adapun dokter spesialis adalah dokter yang mengkhususkan diri dalam suatu bidang ilmu kedokteran tertentu. Untuk menjadi dokter spesialis, seorang dokter harus menjalani pendidikan dokter spesialis yang merupakan program lanjutan pendidikan dokter setelah menyelesaikan pendidikan dokter umum dasar (Anonim, 2010). Menurut Konsil Kedokteran Indonesia dalam Lubis (2009), dokter umum adalah seseorang yang sudah lulus pendidikan sarjana kedokteran dan pendidikan lanjutan profesi dokter selama mengikuti pendidikan di fakultas kedokteran. Adapun dokter spesialis adalah dokter yang memperoleh pendidikan spesialistik di bidang yang menjadi pilihannya sesudah lulus sebagai dokter dari fakultas kedokteran. Setelah menjadi dokter spesialis, ia memusatkan pengetahuannya pada satu bidang hingga kemampuannya di bidang spesialisasi itu semakin dalam.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Jumlah Dokter Jumlah dokter mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada Tahun 2005 jumlah dokter umum di Indonesia sebanyak 25.530 orang dengan rasio 11,43 per 100.000 penduduk, sedangkan jumlah dokter spesialis sebanyak 9.717 dengan rasio 4,33 per 100.000 penduduk. Tahun 2006 jumlah dokter umum meningkat menjadi 44.564 orang dengan rasio 19,93 per 100.000 penduduk dan jumlah dokter spesialis menjadi 12.374 orang dengan rasio 5,53 per 100.000 penduduk. (Profil Kesehatan Indonesia, 2007). Berdasarkan Data Konsil Kedokteran Indonesia hingga Bulan Agustus Tahun 2008, jumlah dokter umum yang ada di Indonesia sebanyak 56.750, sedangkan jumlah dokter spesialis 15.499. Menurut Indikator Indonesia Sehat 2010, rasio yang ingin dicapai pada Tahun 2010 adalah 30 dokter umum per 100.000 penduduk dan 6 dokter spesialis per 100.000 penduduk. Untuk wilayah Provinsi Sumatera Utara, jumlah dokter umum pada Tahun 2008 sebanyak 2.595 orang dengan rasio 19,90 per 100.000 penduduk, sedangkan dokter spesialis berjumlah 654 dengan rasio 5,01 per 100.000 penduduk. Jumlah ini mengalami peningkatan dari Tahun 2007 yaitu sebanyak 1.727 dokter umum dengan rasio 13,46 per 100.000 penduduk dan 685 dokter spesialis dengan rasio 5,34 per 100.000 penduduk (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2008). Berdasarkan Data Sarana Kesehatan Kota Medan Tahun 2009, jumlah dokter umum yang memiliki SIP sebanyak 870 dan dokter spesialis sebanyak 427 orang dengan jumlah penduduk 2.102.105 jiwa, maka rasio dokter umum per 100.000 penduduk adalah 41,38 dan dokter spesialis 20,31 per 100.000 penduduk. Artinya, rasio dokter umum dan dokter spesialis per 100.000 penduduk di Kota Medan pada
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2009 sudah melewati target yang ingin dicapai dalam Indikator Indonesia Sehat 2010. Secara kuantitatif, rasio dokter umum dan dokter spesialis per 100.000 penduduk di Indonesia hampir mendekati target yang ditentukan, akan tetapi penyebaran atau distribusinya tidak merata. Sarjunani (2010) menyatakan terjadi kesenjangan penyebaran dokter umum baik dari segi jumlah maupun rasio per 100.000 penduduk di wilayah perkotaan dengan pedesaan, sedangkan penyebaran dokter umum berdasarkan jumlah penduduk antara Pulau Jawa dan Bali dengan di luar Pulau Jawa dan Bali relatif seimbang. Hal ini berbeda dengan penyebaran dokter spesialis, yang sebagian besar di antaranya (lebih dari 10.000) berada di Pulau Jawa. Situasi yang sama juga terjadi di wilayah Sumatera Utara. Dari 3.456 dokter yang ada di Sumatera Utara, 2.833 dokter berada di Kota Medan. Adapun jumlah dokter umum di Sumatera Utara adalah 2.592 dan dokter spesialis 854 orang dari 3.456 dokter, di mana sebagian besar berdomisili di Kota Medan (Sitompul, 2010).
2.3. Kepatuhan Melaksanakan Praktik 3 (Tiga) Tempat Kepatuhan merupakan salah satu bentuk perilaku manusia. Hamudunia (2008) menyatakan terhadap suatu ketentuan atau peraturan, perilaku manusia dapat terbagi dua yaitu mematuhi atau tidak mematuhi peraturan tersebut. Thoha (2008) menyatakan perilaku manusia adalah suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Teori kognitif mengatakan bahwa perilaku seseorang disebabkan adanya rangsangan (stimulus), kemudian memprosesnya ke dalam kognisi yang akan menghasilkan jawaban (respons).
Universitas Sumatera Utara
Notoatmodjo (2003) menyatakan meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar individu, namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda ini disebut determinan perilaku yang dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional dan jenis kelamin. 2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Kepatuhan dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran didasarkan pada UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam Pasal 36 Undang-Undang ini disebutkan bahwa seorang dokter dan dokter gigi yang melakukan pratik kedokteran di Indonesia wajib memiliki SIP. Selanjutnya Pasal 37 ayat 2 menyatakan bahwa SIP diberikan hanya untuk paling banyak 3 (tiga) tempat dan ayat 3 menambahkan satu SIP hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
2.4. Persepsi 2.4.1. Pengertian Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran
Universitas Sumatera Utara
yang unik terhadap situasi dan bukan suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 2008). Hamner dan Organ dalam Indrawijaya (2003) menyatakan persepsi adalah suatu proses di mana seseorang mengorganisasikan di dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah pertanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Segala sesuatu yang memengaruhi persepsi seseorang tersebut nantinya juga akan memengaruhi perilaku yang akan dipilihnya. Rakhmat (2005) menyatakan persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Rivai (2008) menyatakan persepsi adalah proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologi.
2.4.2. Faktor – Faktor yang Memengaruhi Persepsi Robbins (2002) menyatakan ada tiga faktor yang memengaruhi terjadinya suatu persepsi, yaitu : 1. Pelaku persepsi Jika seorang individu melihat suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individu tersebut. Adapun karakteristik pribadi yang lebih relevan memengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu dan pengharapan.
Universitas Sumatera Utara
2. Target Karakteristik-karakteristik
dalam
target
yang
akan
diamati
dapat
memengaruhi apa yang dipersepsikan. Apa yang kita lihat bergantung bagaimana kita memisahkan suatu bentuk dalam latar belakangnya yang umum. Objek-objek yang berdekatan satu sama lain akan cenderung dipersepsikan bersama-sama, bukan secara terpisah. 3. Situasi Dalam melihat objek atau peristiwa, unsur-unsur lingkungan sekitar juga memengaruhi persepsi. Selain itu, waktu dan keadaan objek yang dilihat dapat memengaruhi persepsi. Rivai (2008) menyatakan ada dua faktor yang memengaruhi proses seleksi yaitu faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor dari dalam yang memengaruhi proses seleksi adalah belajar, motivasi dan kepribadian. Adapun faktor dari luar adalah intensitas, ukuran, berlawanan atau kontras, pengulangan dan gerakan. Rakhmat (2005) menyatakan ada dua faktor yang memengaruhi persepsi : 1. Faktor Fungsional Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan lain-lain yang termasuk dengan apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk rangsangan, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon terhadap rangsangan tersebut. 2. Faktor Struktural Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat rangsangan fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Jika kita mempersepsikan
Universitas Sumatera Utara
sesuatu, kita mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan, bukan melihat bagian-bagiannya lalu menghimpunnya. Dengan melihat kedua faktor tersebut, Krech dan Crutchfield dalam Rakhmat (2005) membuat empat dalil tentang persepsi, yaitu : 1. Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi biasanya objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. 2. Medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita mengorganisasikan
rangsangan
dengan
melihat
konteksnya.
Walaupun
rangsangan yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian rangsangan yang kita persepsi. 3. Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari struktur pada umumnya ditentukan oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, maka semua sifat individu akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya. 4. Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Dalil ini umumnya bersifat struktural dalam mengelompokkan objek-objek fisik, seperti titik, garis atau balok. Kita dapat meramalkan secara cermat dengan melihat kesamaan bentuk benda-benda
mana
yang
akan
dikelompokkan.
Pada
persepsi
sosial
pengelompokan tidak murni struktural, akan tetapi memerlukan peranan kerangka rujukan karena apa yang dianggap sama oleh seorang individu belum tentu
Universitas Sumatera Utara
dianggap sama oleh individu lain. Perbedaan pengelompokan ini bisa terjadi karena perbedaan pendidikan dan kebudayaan .
2.4.3. Objek Persepsi Pembentukan persepsi merupakan proses pengamatan, maka objek yang diamati dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu : 1. Manusia, termasuk di dalamnya kehidupan sosial dan nilai-nilai kultural. 2. Benda-benda mati, seperti bangku dan meja. Persepsi yang menggunakan manusia sebagai objeknya disebut persepsi interpersonal, sedangkan yang menggunakan benda-benda mati sebagai objeknya disebut persepsi objek (Rakhmat, 2005).
2.5. Fokus Penelitian Berdasarkan teori yang telah diuraikan, maka fokus penelitian ini adalah :
1. 2. Pengetahuan tentang UU Nomor 29 Tahun 2004
3.
4.
Persepsi tentang Pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 Kepatuhan dokter melaksanakan praktik 3 (tiga) tempat Dampak pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat terhadap dokter, rumah Stakeholders sakit danPersepsi masyarakat Pengawasan dinas kesehatan terhadap pelaksanaan praktik dokter 3 (tiga) tempat Dukungan terhadap pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat
Gambar 2.1 Fokus Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan gambar di atas, dapat dirumuskan definisi fokus penelitian sebagai berikut: 1. Pengetahuan tentang UU Nomor 29 Tahun 2004 adalah Pengetahuan Stakeholders di Kota Medan (Dinas Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, rumah sakit, dokter dan masyarakat) tentang diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (tiga) Tempat. 2. Persepsi tentang Pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 adalah Persepsi Stakeholders di Kota Medan (Dinas Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, rumah sakit, dokter dan masyarakat) yang difokuskan pada : a. Kepatuhan dokter dalam melaksanakan praktik 3 (tiga) tempat b. Dampak pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat terhadap dokter, rumah sakit dan masyarakat c. Pengawasan dinas kesehatan terhadap pelaksanaan praktik dokter 3 (tiga) tempat d. Dukungan terhadap pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat
Universitas Sumatera Utara