BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jalan dan Klasifikasinya Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan didefinisikan sebagai prasarana transportasi darat. Jalan meliputi bagianbagiannya, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapan jalan. Jalan diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/ atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
2.1.1 Klasifikasi jalan berdasarkan sistem jaringan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyebutkan bahwa berdasarkan sistem jaringan, jalan dikelompokkan menjadi jalan dalam sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. a. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan/ atau jasa untuk pengembangan
semua
wilayah
di
tingkat
nasional,
dengan
jalan
menghubungkan semua simpul wilayah yang berwujud pusat-pusat kegiatan nasional. b. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
7
8
2.1.2 Klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya Berdasarkan fungsinya, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, mengelompokkan jalan menjadi: a. Jalan arteri adalah jalan umum sesuai dengan fungsinya sebagai sarana angkutan utama dengan bercirikan sebagai prasarana pelayanan lalu lintas dengan asal-tujuan berjarak jauh, berkecepatan rata-rata tinggi, serta jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. b. Jalan kolektor adalah jalan umum dengan fungsinya sebagai sarana angkutan umum yang bercirikan sebagai prasarana pelayanan lalu-lintas dengan asaltujuan yang berjarak sedang, berkecepatan rata-rata sedang, serta jalan masuk dibatasi. c. Jalan lokal adalah jalan sesuai dengan fungsinya sebagai prasarana angkutan lokal yang dengan bercirikan sebagai pelayanan lalu lintas dengan asal-tujuan yang berjarak dekat, dan berkecepatan rata-rata rendah, serta dengan jalan masuk tidak dibatasi. d. Jalan lingkungan adalah jalan sesuai dengan fungsinya sebagai prasarana angkutan lingkungan yang bercirikan dengan pelayanan lalu lintas dengan asal-tujuan yang berjarak dekat, dan berkecepatan rata-rata rendah.
2.1.3 Klasifikasi jalan berdasarkan statusnya Pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, berdasarkan statusnya, jalan dikelompokkan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa.
9
a. Jalan nasional adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah pusat berdasarkan fungsinya meliputi jalan arteri atau jalan kolektor dari sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi dan bisa juga berupa jalan strategis nasional dan/ atau jalan tol. b. Jalan provinsi adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah provinsi yang sesuai dengan fungsinya meliputi jalan kolektor dari sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/ kota atau antar ibukota kabupaten/ kota dan bisa juga berupa jalan strategis provinsi. c. Jalan kabupaten adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah kabupaten yang sesuai fungsinya meliputi jalan lokal dari sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, atau bisa juga jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal sebagai jalan strategis kabupaten. d. Jalan kota adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah kota dalam sistem jaringan jalan sekunder dengan fungsi menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, dan menghubungkan antar pusat permukiman dalam kota. e. Jalan desa adalah jalan yang menghubungkan kawasan dan/ atau antar permukiman di dalam kecamatan, serta jalan lingkungan. 2.2
Jembatan
2.2.1 Pengertian jembatan Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jembatan adalah suatu konstruksi bangunan pelengkap sarana trasportasi jalan yang
10
menghubungkan suatu tempat ke tempat yang lainnya, yang dapat dilintasi oleh sesuatu benda bergerak misalnya suatu lintas yang terputus akibat suatu rintangan atau sebab lainnya, dengan cara melompati rintangan tersebut tanpa menimbun/ menutup rintangan itu dan apabila jembatan terputus maka lalu lintas akan terhenti. Lintas tersebut bisa merupakan jalan kendaraan, jalan kereta api atau jalan pejalan kaki, sedangkan rintangan tersebut dapat berupa jalan kenderaan, jalan kereta api, sungai, lintasan air, lembah atau jurang. Jembatan juga merupakan suatu bangunan pelengkap prasarana lalu lintas darat dengan konstruksi terdiri dari pondasi, struktur bangunan bawah dan struktur bangunan atas, yang menghubungkan dua ujung jalan yang terputus akibat bentuk rintangan melalui konstruksi struktur bangunan atas. Jembatan adalah jenis bangunan yang apabila akan dilakukan perubahan konstruksi, tidak dapat dimodifikasi secara mudah, biaya yang diperlukan relatif mahal dan berpengaruh pada kelancaran lalu lintas pada saat pelaksanaan pekerjaan. Jembatan dibangun untuk dapat digunakan minimum 50 tahun. Ini berarti, disamping kekuatan dan kemampuan untuk melayani beban lalu lintas, perlu diperhatikan juga bagaimana pemeliharaan jembatan yang baik. Karena perkembangan lalu lintas yang ada relatif besar, jembatan yang dibangun, biasanya dalam beberapa tahun tidak mampu lagi menampung volume lalu lintas, sehingga biasanya perlu diadakan pelebaran. Untuk memudahkan pelebaran perlu disiapkan desain dari seluruh jembatan sehingga dimungkinkan dilakukan pelebaran dikemudian hari, sehingga pelebaran dapat dilaksanakan dengan biaya yang murah dan konstruksi menjadi mudah. Pada saat pelaksanaan
11
konstruksi jembatan harus dilakukan pengawasan dan pengujian yang tepat untuk memastikan bahwa seluruh pekerjaan dapat diselesaikan, sesuai dengan tahapan pekerjaan yang benar dan memenuhi persyaratan teknis yang berlaku, sehingga dicapai pelaksanaan yang efektif dan efisien, biaya dan mutu serta waktu yang telah ditentukan.
2.2.2 Klasifikasi jembatan Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1993), tipe jembatan diidentifikasi berdasarkan tipe bangunan atas, bahan dan asal bahan bangunan. Secara lengkap kode klasifikasi jembatannya disajikan pada Tabel 2.1. Dalam tabel tersebut terdapat tiga kolom antara lain kolom tipe bangunan atas, kolom bahan dan kolom asal bahan bangunan. Pada kolom pertama terdapat kode-kode dan keterangan mengenai tipe bangunan atas jembatan, pada kolom berikutnya tentang kode-kode dan keterangan dari bahan penyusun jembatan dan pada kolom ketiga terdapat kode-kode dan keterangan tentang asal bahan bangunan. Tabel tersebut tidak dihubungkan paralel dari kiri ke kanan, namun pembacaannya disesuaikan dengan jembatan yang ditinjau atau direncanakan. Sebagai contoh: misalkan suatu jembatan memiliki bangunan atas gelagar (G), bahannya adalah beton (T) dan asal bahan bangunannya adalah dari Indonesia (I) maka jembatan tersebut diidentifikasi sebagai Jembatan GTI (Gelagar Beton Indonesia). Sistem klasifikasi ini digunakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mengklasifikasikan jembatan pada program BMS.
12
Tabel 2.1 Kode Identifikasi Jembatan TBA (Tipe Bangunan Atas)
Bahan
ABA (Asal Bahan Bangunan)
A B Y C T D H P V E
Gorong-gorong pelengkung Gorong-gorong persegi Gorong-gorong pipa Kabel Gantung Flat slab Pile slab Pelat Voided Pelengkung
A B U Y D P T E F G
Aspal Baja Lantai baja gelombang Pipa baja diisi beton Beton tak bertulang Beton prategang Beton bertulang Neoprene/ karet Teflon Bronjong dan sejenisnya
A B C D E G I K R T
F
Ferry
J
Alumunium
U
G Gelagar M Gelagar komposit O Gelagar boks U L N R S K W X
Gelagar tipe U Balok pelengkung Rangka semi permanen Rangka Rangka sementara Lintasan kereta api Lintasan basah Lain-lain
K Kayu M Pasangan batu S Pasangan bata O R X V N W H L
Tanah biasa/ lempung/ timbunan Kerikil/ pasir Bahan asli PVC Geotextile Macadam Pasangan batu kosong Lain-lain
W H J
Australia Belanda (Lama) Karunia Berca Indonesia Belanda (lama) Spanyol/ Wika Cigading Indonesia Bukaka Austria Transbakrie United Kingdom (Callender Hamilton) Bailley/ Acrow Adhi Karya Jepang
P Y X M L
PPI Wijaya Karya Tidak ada struktur Amarta Karya Lain-lain
Sumber: Departemen PU (1993) Sedangkan menurut Zainuddin (2013), jembatan dapat diklasifikasikan menurut fungsi, material, bentuk struktur atas dan lama waktunya digunakan. Menurut fungsinya jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) Jembatan jalan raya berfungsi menghubungkan jalan raya. b) Jembatan jalan rel berfungsi menghubungkan jalan rel. c) Jembatan untuk talang air/ waduk berfungsi sebagai talang air/ waduk. d) Jembatan untuk penyeberangan (pipa air, minyak, gas,pedestrian, dll). Menurut materialnya jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) Jembatan bambu. b) Jembatan kayu.
13
c) Jembatan beton bertulang (konvensional maupun prategang). d) Jembatan baja (gelagar maupun rangka). e) Jembatan komposit. f) Jembatan pasangan batu kali/ bata. Menurut bentuk struktur atas yang digunakan jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung/ busur. d) Jembatan rangka. e) Jembatan gantung. f) Jembatan cable stayed. Menurut lama waktu digunakan jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) Jembatan sementara/ darurat: jembatan yang penggunaannya hanya bersifat
sementara yakni menunggu hingga selesainya pekerjaan
pembangunan jembatan permanen diresmikan/ digunakan. Jembatan darurat ini dapat berupa: jembatan kayu. b) Jembatan semi permanen: jembatan sementara yang dapat ditingkatkan menjadi jembatan permanen, misalnya dengan cara mengganti lantai jembatan dengan bahan/ material yang lebih baik (kuat) dan awet, sehingga kapasitas serta umur jembatan menjadi bertambah baik, misalnya Jembatan Semi Permanen Australia.
14
c) Jembatan permanen: jembatan yang penggunaannya bersifat permanen serta mempunyai umur rencana, misalnya: jembatan baja, jembatan beton bertulang, jembatan komposit.
2.2.3 Struktur jembatan Menurut Zainuddin (2013), struktur jembatan adalah kesatuan antara elemenelemen konstruksi yang dirancang dari bahan konstruksi yang bertujuan menerima beban-beban di atasnya baik berupa beban primer, sekunder, khusus dan beban lainnya untuk diteruskan/ dilimpahkan hingga ke tanah dasar. Secara umum konstruksi jembatan dibagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu: a) Bangunan atas. Bangunan atas jembatan adalah bagian dari elemen-elemen konstruksi yang dirancang untuk memindahkan beban-beban yang diterima oleh lantai jembatan hingga ke perletakan, sedangkan lantai jembatan adalah bagian jembatan yang langsung menerima beban lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki. Jenis bangunan atas jembatan pada umumnya ditentukan berdasarkan: i.
Bentang yang sesuai dengan perlintasan jalan, sungai atau keadaan lokasi jembatan.
ii.
Panjang bentang optimum untuk menekan biaya konstruksi total.
iii.
Pertimbangan yang terkait pada pelaksanaan bangunan-bangunan bawah dan pemasangan bangunan atas untuk mencapai nilai yang ekonomis.
iv.
Pertimbangan segi pandang estetika. Bangunan atas terdiri atas: gelagar induk, struktur tumpuan atau perletakan,
struktur lantai jembatan/ kendaraan, pertambatan arah melintang dan memanjang..
15
b) Bangunan bawah. Bangunan bawah sebuah jembatan adalah bagian dari elemen-elemen struktur yang dirancang untuk menerima beban konstruksi di atasnya dan dilimpahkan langsung (berdiri langsung) pada tanah dasar atau bagian-bagian konstruksi jembatan yang menyangga jenis-jenis yang sama dan memberikan jenis reaksi yang sama pula. Bangunan bawah terdiri atas: pondasi yaitu bagian-bagian dari sebuah jembatan yang meneruskan beban-beban langsung ke tanah dasar/ lapisan tanah keras, Bangunan bawah (pangkul jembatan/ abutmen, pilar) yaitu bagianbagian dari sebuah jembatan yang memindahkan beban-beban dari perletakan ke pondasi dan biasanya juga difungsikan sebagai bangunan penahan tanah. Analisa struktur bawah ini harus dipertimbangkan mampu menahan semua gaya-gaya yang bekerja, begitu pula tinjauan terhadap stabilitas sehingga aman terhadap penggulingan dan penggeseran dengan angka keamanan yang cukup serta daya dukung tanahnya masih dalam batas yang diijinkan. c) Jalan pendekat (oprit) Oprit adalah jalan yang menghubungkan antara ruas jalan dengan struktur jembatan, atau jalan yang akan masuk ke jembatan. Oprit merupakan timbunan material pilihan, biasanya berupa agregat yang berada di belakang abutment yang dipadatkan sedemikian rupa untuk menghindari penurunan. d) Bangunan pengaman Bangunan pengaman adalah bangunan yang diperlukan untuk mengamankan jembatan terhadap lalu lintas darat, lalu lintas air, penggerusan, dll.
16
2.2.4 Pemeliharaan jembatan Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.13/PRT/M/2011 tentang Tata Cara Pemeliharaan dan Penilikan Jalan, berdasarkan tingkat dari kerusakan suatu jembatan (nilai kondisi jembatan) maka pemeliharaan bangunan pelengkap jalan termasuk didalamnya jembatan antara lain terdiri dari: a) Pemeliharaan rutin Pemeliharaan rutin dilakukan sepanjang tahun dan meliputi kegiatan: pembersihan secara umum, pembuangan tumbuhan liar dan sampah, pembersihan dan pelancaran drainase, perbaikan ringan, pengecatan sederhana dan pemeliharaan permukaan lantai kendaraan. b) Pemeliharaan berkala Pemeliharaan berkala dilakukan secara berkala meliputi kegiatan: pengecatan ulang, pelapisan permukaan aspal, penggantian lantai, penggantian kayu pada jalur roda kendaraan, pembersihan jembatan secara mendetail, penggantian siar muai (expansion joints), penggantian baut, penggantian elemen-elemen sekunder/ kecil, perbaikan sandaran tangan (hand railings), perbaikan pagar pengaman (guardrails), perbaikan patok pengarah (guide posts), menjaga berfungsinya bagian-bagian yang bergerak (perletakan/ landasan, siar muai), perkuatan elemen struktur sekunder, perbaikan tebing pada jalan pendekat dan perbaikan aliran sungai di dekat bangunan pelengkap jalan. c) Rehabilitasi Rehabilitasi meliputi kegiatan perbaikan berat lantai kendaraan (sistem lantai), perbaikan berat bangunan atas (struktur beton, baja, dan kayu), perbaikan
17
berat bangunan bawah, perkuatan struktur bangunan pelengkap jalan dan pemeliharaan tanggap darurat. d) Penggantian/ rekonstruksi Penggantian/ rekonstruksi merupakan kegiatan penggantian seluruh atau sebagian komponen bangunan pelengkap jalan tanpa meningkatkan kapasitas bangunan pelengkap jalan.
2.2.5 Penilaian kondisi jembatan Dalam rangka pemeliharaan jembatan perlu dilakukan pemeriksaan secara rutin dan periodik. Jika didapatkan suatu kerusakan perlu dilanjutkan dengan penyelidikan yang mendalam dalam rangka evaluasi, apakah perlu dilakukan tindakan perbaikan, perkuatan atau penggantian, agar jembatan tetap berfungsi sebagimana mestinya. Pemeriksaan secara detail dilaksanakan untuk menilai secara akurat kondisi suatu jembatan. Semua komponen dan elemen jembatan diperiksa dan kerusakan-kerusakan yang berarti dikenali dan didata. Untuk tujuan pemeriksaan detail dan evaluasi dari kondisi jembatan secara menyeluruh, struktur jembatan dibagi atas hirarki elemen yang terdiri atas 5 level, tertinggi adalah level1, yaitu jembatan itu sendiri, dan level terendah adalah level 5, yaitu elemen kecil secara individual dan bagian-bagian jembatan (Departemen PU, 1993). Setelah elemen yang rusak dan bentuk kerusakan telah dicatat, nilai kondisi diberikan. Sistem penilaian elemen yang rusak terdiri atas serangkaian pertanyaan yang berjumlah 5 mengenai kerusakan yang ada. Setiap nilai diberi angka 1 dan 0, sehingga subjektifitas selama pemeriksaan dapat diminimalkan dan penilaian lebih konsisten.diberikan kepada elemen sesuai dengan kerusakan yang ada pada
18
setiap level hirarki jembatan,mulai dari level terendah yaitu level 5 sampai dengan level tertinggi yaitu level 1 yang merupakan jembatan secara keseluruhan, elemen atau kelompok elemen dinilai dengan diberikan suatu Nilai Kondisi antara 0 (nol) dan 5 (lima), angka-angka tersebut mewakili jumlah dari kelima nilai yang ditentukan menurut kriteria yang diberikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Sistem Penilaian Kondisi Elemen Jembatan Nilai
Kriteria
Struktur (S)
Berbahaya
1
Tidak Berbahaya
0
Parah
1
Tidak Parah
0
Lebih dari 50 %
1
Kurang dari 50 %
0
Elemen tidak berfungsi
1
Elemen masih berfungsi
0
Mempengaruhi elemen lain
1
Tidak mempengaruhi elemen lain
0
Kerusakan (R)
Kuantitas (K)
Fungsi (F)
Pengaruh (P)
Nilai Kondisi (NK)
NK = S+R+K+F+P
Nilai Kondisi
0 s/d 5
(Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1993) Setelah penilaian elemen pada tingkat 5, 4 atau 3, Nilai Kondisi untuk elemen pada level yang lebih tinggi dalam hirarki ditentukan dengan cara mengevaluasi sejauh mana kerusakan dalam elemen pada tingkatan yang lebih rendah berpengaruh terhadap elemen pada tingkatan yang lebih tinggi, apakah elemen ini dapat berfungsi dan apakah elemen lain pada tingkatan yang lebih tinggi dipengaruhi oleh kerusakan-kerusakan tersebut, sehingga diperoleh Nilai Kondisi Jembatan pada tingkatan 1.
19
2.2.6 Panjang dan lebar jembatan Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2011), lebar jalur lalu lintas pada jembatan harus sama dengan lebar jalur lalu lintas pada bagian ruas jalan di luar jembatan, khusus untuk fungsi jalan arteri, lebar badan jalan pada jembatan harus sama dengan lebar badan jalan pada bagian ruas jalan di luar jembatan. Standar lebar lajur lalu-lintas untuk jalan sedang minimal adalah 2x3,5 meter. Lebar jembatan secara total merupakan gabungan antara lebar jalur lalu-lintas dan lebar trotoar. Panjang jembatan diukur dari ujung expansion joint ke expansion joint lainnya. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1993), jembatan merupakan bangunan pelengkap jalan yang memiliki panjang di atas 2 (dua) meter. Namun dalam survei dan pemeriksaannya dibatasi mulai panjang minimum 6 (enam) meter untuk memudahkan pelaksanaan survei.
Gambar 2.1 Panjang dan Lebar Jembatan Sumber: Departemen PU, (1993)
20
2.3 Sistem Transportasi Makro Menurut Tamin (2008), sistem transportasi makro dibentuk oleh sistem transportasi yang lebih kecil atau disebut dengan sub sistem. Dari gambar dibawah, dapat dijelaskan sistem transportasi makro dibentuk oleh tiga sub sistem tranportasi mikro yaitu sub sistem kegiatan atau sub sistem tata guna lahan, sub sistem jaringan, dan sub sistem pergerakan. Ketiga sub sistem tersebut akan berinteraksi dan dikendalikan oleh sub sistem kelembagaan. Dalam tata guna lahan, suatu lahan akan memiliki peruntukan untuk kegiatan tertentu. Peruntukan lahan untuk kegiatan tertentu dalam sistem transportasi makro merupakan bagian dari sub sistem tata guna lahan atau sub sistem kegiatan sebagai sub sistem yang pertama, sub sistem ini merupakan sub sistem yang berbasis lokasi/ wilayah. Pada sisi lain bahwa pergerakan lalu lintas disebabkan oleh proses pemenuhan kebutuhan, dan telah kita ketahui bahwa kita tidak dapat memenuhi kebutuhan kita pada suatu lahan tertentu. Pergerakan dari suatu lahan ke lahan yang lain akan memerlukan sarana transportasi (moda transportasi) dan tempat bergeraknya sarana transportasi (moda transportasi) tersebut akan memerlukan media (prasarana) transportasi. Prasarana yang diperlukan untuk bergeraknya moda transportasi merupakan sub sistem yang kedua yang disebut sub sistem jaringan. Sedangkan sub sistem yang ketiga adalah moda transportasi tersebut yang disebut sebagai sub sistem pergerakan yang berbasis sarana. Jika dijelaskan dalam suatu gambar maka menurut Tamin (2008), interaksi sistem transportasi makro dapat dilihat pada Gambar 2.2.
21
Sub Sistem Tata Guna Lahan
Sub Sistem Jaringan
Sub Sistem Pergerakan
Sub Sistem Kelembagaan Gambar 2.2 Sistem Transportasi Makro Sumber: Tamin (2008)
Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2009), sistem transportasi makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil (mikro), dimana masing-masing sistem mikro tersebut akan saling terkait dan saling mempengaruhi. Sistem transportasi mikro tersebut adalah sebagai berikut: a. Sistem Kegiatan (Transport Demand) b. Sistem Jaringan (Prasarana Transportasi/ Transport Supply) c. Sistem Pergerakan (Lalu Lintas/ Traffic) d. Sistem Kelembagaan. Setiap penggunaan tanah atau sistem kegiatan akan mempunyai suatu tipe kegiatan tertentu yang dapat “memproduksi” pergerakan (trip production) dan dapat “menarik” pergerakan (trip attraction). Sistem tersebut dapat merupakan suatu gabungan dari berbagai sistem pola kegiatan tata guna tanah (land use)
22
seperti sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Kegiatan yang timbul dalam sistem ini membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari, yang tidak dapat dipenuhi oleh penggunaan tanah bersangkutan. Besarnya pergerakan yang ditimbulkan tersebut sangat berkaitan erat dengan jenis/ tipe dan intensitas kegiatan yang dilakukan. Pergerakan tersebut, baik berupa pergerakan manusia dan/ atau barang, jelas membutuhkan suatu moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda transportasi tersebut dapat bergerak. Prasarana transportasi yang diperlukan merupakan sistem mikro kedua yang biasa dikenal sebagai Sistem Jaringan, meliputi jaringan jalan raya, kereta api, terminal bus, stasiun kereta api, bandara dan pelabuhan laut. Interaksi antara Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan akan menghasilkan suatu pergerakan manusia dan/ atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan dan/ atau orang (pejalan kaki). Suatu sistem pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya, akan dapat tercipta jika pergerakan tersebut diatur oleh suatu sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas yang baik. Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar/ sedang di Indonesia biasanya timbul karena kebutuhan transportasi lebih besar dibanding prasarana transportasi yang tersedia, atau prasarana transportasi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem jaringan dapat mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesibilitas
23
dari sistem pergerakan tersebut. Selain itu, sistem pergerakan berperanan penting dalam mengakomodir suatu sistem pergerakan agar tercipta suatu sistem pergerakan yang lancar, aman, cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya. Pada akhirnya juga pasti akan mempengaruhi kembali sistem kegiatan dan sistem jaringan yang ada. Ketiga sistem transportasi mikro ini saling berinteraksi satu sama lain yang terkait dalam suatu sistem transportasi makro. Dalam upaya untuk menjamin terwujudnya suatu sistem pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah dan sesuai dengan lingkungannya, maka dalam sistem transportasi makro terdapat suatu sistem mikro lainnya yang disebut Sistem Kelembagaan. Sistem ini terdiri atas individu, kelompok, lembaga, instansi pemerintah serta swasta yang terlibat dalam masing-masing sistem mikro. Sistem kelembagaan (instansi) yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah sebagai berikut: I.
Sistem Kegiatan: Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten/ Kota.
II.
Sistem Jaringan: Kementerian Perhubungan, Balai Lalu-lintas Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan, Dinas Perhubungan Provinsi, Dinas Perhubungan Kabupaten/ Kota, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal Bina Marga, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional, Satker Pelaksanaan Jalan, Dinas PU Provinsi, serta Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/ Kota.
24
III.
Sistem Pergerakan: Kementerian Perhubungan dan Kepolisian Negara RI melalui Direktorat Lalu Lintasnya. Bappenas, Bappeda, dan Pemda berperanan penting dalam menentukan
sistem kegiatan melalui kebijakan perwilayahan, regional maupun sektoral. Kebijakan
sistem jaringan secara umum ditentukan oleh Kementerian
Perhubungan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Bina Marga). Sistem Pergerakan diatur oleh Kementerian Perhubungan dan dinas-dinas perhubungan di daerah, Kepolisian melalui direktorat lalu lintasnya, masyarakat sebagai pemakai jalan (road user) dan lain-lain. Kebijakan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik melalui peraturan yang secara tidak langsung juga memerlukan sistem penegakan hukum yang baik. Secara umum dapat disebutkan bahwa pemerintah, swasta dan masyarakat seluruhnya harus ikut berperan dalam mengatasi masalah kemacetan, sebab hal ini merupakan tanggung jawab bersama yang harus dipecahkan secara tuntas dan jelas memerlukan pemeliharaan yang serius.
2.4 Kawasan Strategis Pariwisata, Transportasi, Budaya dan Alam di Provinsi Bali 2.4.1 Kawasan strategis pariwisata nasional di Provinsi Bali Menurut PP Nomor 51 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, disebutkan bahwa terdapat 88 (delapan puluh delapan) Kawasan Strategis Pariwisatan Nasional (KSPN). Dari 88
25
(delapan puluh delapan) buah KSPN tersebut 11 (sebelas) diantaranya terdapat di Provinsi Bali. Kesebelas KSPN yang terletak di Provinsi Bali tersebut antara lain: a. KSPN Kintamani-Danau Batur dan sekitarnya. b. KSPN Kuta-Sanur-Nusa Dua dan Sekitarnya. c. KSPN Bali Utara/ Singaraja dan sekitarnya. d. KSPN Karangasem-Amuk dan sekitarnya. e. KSPN Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya. f. KSPN Tulamben-Amed dan sekitarnya. g. KSPN Bedugul dan sekitarnya. h. KSPN Nusa Penida dan sekitarnya. i.
KSPN Ubud dan sekitarnya.
j.
KSPN Besakih-Gunung Agung dan sekitarnya.
k. KSPN Menjangan, Pemuteran dan sekitarnya.
2.4.2 Kawasan strategis transportasi nasional di Provinsi Bali Menurut Perda Provinsi Bali No 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, sistem jaringan transportasi di Provinsi Bali terdiri dari sistem jaringan transportasi darat, laut dan udara. Kawasan strategis sistem jaringan transportasi nasional di Provinsi Bali antara lain: a) Pelabuhan penyeberangan yaitu Pelabuhan Gilimanuk di Jemberana dan Pelabuhan Padangbai di Kabupaten Karangasem. b) Terminal Type A yaitu Terminal Mengwi di Kabupaten Badung c) Pelabuhan laut utama yaitu Pelabuhan Benoa di Denpasar, Pelabuhan Celukan Bawang di Buleleng dan Pelabuhan Tanah Ampo di Kabupaten Karangasem.
26
d) Bandar Udara (Bandara) Internasional yaitu Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai di Kabupaten Badung. e) Terminal Barang (Cargo) Ubung di Kota Denpasar.
2.4.3 Kawasan strategis tempat suci, cagar budaya dan alam di Provinsi Bali Menurut Perda Provinsi Bali No 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 kawasan tempat suci yang ada di Provinsi Bali meliputi radius kesucian Pura Kahyangan baik Pura Sad Kahyangan, Pura Dang Kahyangan maupun Pura Kahyangan Jagat lainnya. Pura kahyangan yang terletak di lokasi studi antara lain: a) Pura Kahyangan Jagat di Kota Denpasar antara lain: 1. Pura Griya Tanah Kilap di Kelurahan Pemogan. 2. Pura Prapat Nunggal di Kelurahan Pedungan. 3. Pura Dalem Pangembak di Kelurahan Sanur. 4. Pura Candi Narmada di Kelurahan Pemogan. 5. Pura Sakenan di Desa Serangan.
b) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Badung 1. Pura Uluwatu di Desa Pecatu. 2. Pura Padedekan di Desa Mengwi. 3. Pura Dalem Puri Puserjagat di Desa Sobangan. 4. Pura Pucak Mangu di Desa Tinggan. 5. Pura Pucak Bon di Desa Bon.
27
6. Pura Dalem Solo di Desa Sedang. 7. Pura Pucak Gegelang di Desa Nungnung. 8. Pura Hyang Api di Desa Samuan. 9. Pura Kancing Gumi di Desa Sulangi. 10. Pura Bukit Sari Sangeh di Desa Sangeh. 11. Pura Taman Ayung di Mengwi
c) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Gianyar 1. Pura Gunung Raung di Desa Taro. 2. Pura Samuan Tiga di Bedulu. 3. Pura Erjeruk di Desa Sukawati. 4. Pura Masceti di Desa Medahan. 5. Pura Gunung Kawi di Desa Sebatu. 6. Pura Dalem Pingit di Desa Sebatu. 7. Pura Tirta Empul di Desa Manukaya. 8. Pura Pusering Jagat di Desa Pejeng. 9. Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng. 10. Pura Kebo Edan di Desa Pejeng. 11. Pura Gua Gajah di Desa Bedulu. 12. Pura Pangukur-ukuran di Desa Pejeng Kelod. 13. Pura Selukat di Desa Keramas. 14. Pura Bukit Jati di Desa Samplangan. 15. Pura Bukit Darma di Desa Buruan.
28
d) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Tabanan 1. Pura Tambawaras di Desa Sangketan. 2. Pura Muncaksari di Desa Sangketan. 3. Pura Batukaru di Desa Wongaya Gede 4. Pura Batu Belig di Desa Rijasa. 5. Pura Besikalung di Desa Jati Luwih. 6. Pura Teratai Bang di Desa Candi Kuning. 7. Pura Tanah Lot di Desa Beraban. 8. Pura Luhur Serijong di Desa Batu Lumbang. 9. Pura Luhur Natar Sari di Desa Apuan. 10. Pura Pucak Geni di Desa Cau Belayu.
e) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Klungkung 1. Pura Dasar Buana di Desa Gelgel. 2. Pura Segara Watuklotok di Desa Tojan. 3. Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan. 4. Pura Penataran Peed di Desa Ped. 5. Pura Goa Giri Putri di Desa Suana. 6. Pura Segara Peed di Desa Ped. 7. Pura Taman Peed di Desa Ped. 8. Pura Agung Kentel Gumi di Desa Tusan.
Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terdapat 127 cagar budaya di Indonesia namun belum satupun yang ditetapkan di Provinsi
29
Bali. Namun UNESCO pada tahun 2011, melalui Surat Identifikasi No.1194 Tahun 2011 mencatat Kawasan Persawahan dan Subak Jati Luwih di Tabanan sebagai Cagar Budaya Dunia. Terdapat beberapa cagar alam dan taman nasional di Provinsi Bali. Menurut SK Menteri Pertanian RI Nomor: 716/Kpts/Um/9/74, 29 September 1974 terdapat Cagar Alam Batukaru di Kabupaten Tabanan seluas 1.762,80 Ha dan Cagar Alam Sangeh di Desa Sangeh, Kabupaten Badung seluas 10 Ha. Menurut SK Menteri Pertanian No. 169/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10 Maret 1978 di Bali juga ditetapkan sebuah taman nasional yaitu Taman Nasional Bali Barat di Kabupaten Jemberana dan Buleleng.
2.5 Analisis Multikriteria Menurut Tamin (2008), analisis ini menggunakan persepsi stakeholders terhadap kriteria atau peubah yang dibandingkan dalam pengambilan keputusan. Analisis multikriteria memiliki sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan proses pengambilan keputusan informal yang saat ini digunakan antara lain: i.
Proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka bagi semua pihak berkepentingan.
ii.
Peubah atau kriteria yang digunakan dapat lebih luas, baik kuantitatif maupun yang kualitatif.
iii.
Pemilihan peubah tujuan dan kriteria terbuka untuk dianalisis dan diubah jika dianggap tidak sesuai.
iv.
Nilai dan bobot ditentukan secara terbuka sesuai dengan persepsi pihak terkait yang dilibatkan (stakeholders).
30
v.
Memberikan arti lebih terhadap proses komunikasi dalam pengambilan keputusan, diantara para penentu kebijakan, dan dalam hal tertentu dengan masyarakat luas. Konsep yang dikembangkan dalam analisis multikriteria adalah:
i.
Analisis sudah mempertimbangkan semua peubah secara komprehensif dengan tetap menjaga proses ilmiah dari proses pengambilan keputusan yang dilakukan.
ii.
Banyak faktor yang harus dipertimbangkandan kepentingan pihak yang harus diakomodasi.
iii.
Penetapan pilihan dilakukan dengan memperhatikan sejumlah tujuan dengan mengembangkan sejumlah tujuan dengan mengembangkan sejumlah kriteria yang terukur.
iv.
Skoring adalah preferensi alternatif terhadap kriteria tertentu.
v.
Pembobotan adalah penilaian relatif antar kriteria. Menurut
Tamin
(2008),
pendekatan
analisis
multikriteria
dapat
direpresentasikan seperti terlihat pada gambar berikut ini: Usulan Pemeliharaan
Analisis Multikriteria
Prioritas Pemeliharaan
Kriteria Penilaian Gambar 2.3 Proses Pemilihan Alternatif dalam Analisis Multikriteria Sumber: Tamin (2008). Tahapan kegiatan pengambilan keputusan dalam analisis multikriteria , secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
31
a) Indikasi jumlah alternatif pemeliharaan yang akan dipilih. b) Meninjau dominansi suatu pilihan terhadap pilihan lainnya, terjadi ketika kinerja suatu alternatif sama atau lebih baik untuk semua kriteria terhadap alternatif lainnya. c) Melakukan pembobotan dengan menggunakan matriks pair wise comparison. d) Skoring kinerja tiap alternatif dengan memberikan penilaian terukur terhadap kriteria secara kualitatif ataupun kuantitatif. e) Mengalikan bobot setiap kriteria dengan skor kinerja alternatif pada kriteria tersebut. f) Menjumlahkan nilai setiap kriteria sehingga didapatkan nilai total suatu alternatif g) Meranking nilai tersebut sehingga didapatkan prioritas alternatif. Tingkat kepentingan setiap kriteria diperoleh dari proses wawancara dengan mencari persepsi dari berbagai stakeholder. Stakeholder yang diambil adalah pada tingkat pengambil keputusan dari instansi terkait. Proses wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner dimana stakeholder diminta untuk mengurutkan kriteria yang ada, mulai dari yang paling penting sampai dengan kriteria yang tingkat kepentingannya paling rendah. Dari hasil wawancara tersebut maka kemudian dapat ditentukan bobot dari setiap kriteria. Salah satu model pendukung keputusan multikriteria dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model tersebut disebut Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP menguraikan masalah multi faktor atau multikriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah
32
permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, subkriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis (Saaty, 1986). Menurut Muslich (2009), metode lain dalam pengambilan keputusan dalam situasi multikriteria antara lain: 1. Metode timbangan. Metode timbangan dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dengan kriteria/ pertimbangan yang dapat diukur dan dapat juga dipergunakan untuk kriteria/ pertimbangan yang memiliki ukuran yang sama. Langkah-langkah dari metode ini adalah dengan memberikan skor sebagai timbangan dari masingmasing kriteria/ pertimbangan, sebagai ukuran kuantitatif yang harus dipenuhi. Kelemahan dari metode ini adalah apabila keputusan tersebut diperuntukan untuk kepentingan publik, maka ukuran kuantitatif yang ditentukan atau skor yang diberikan sebagai timbangan harus diuji secara reabilitas dan validitas sehingga menjadi skor yang reabel dan valid terhadap kepentingan publik tersebut. 2. Metode minimisasi penyimpangan. Metode ini adalah suatu metode untuk menyelesaikan situasi permasalahan dimana masing-masing kriteria/ pertimbangan memiliki ukuran kuantitatif dengan skor yang sama. Seperti halnya dengan metode timbangan kelemahan dari metode ini apabila keputusan tersebut diperuntukan untuk kepentingan publik, maka
33
ukuran kuantitatif yang ditentukan atau skor yang diberikan sebagai timbangan harus diuji secara reabelitas dan validitas sehingga menjadi skor yang reabel dan valid terhadap kepentingan publik tersebut 3. Metode eleminasi. Metode ini digunakan pada situasi masalah dengan tujuan/ kriteria yang tidak dapat dinyatakan secara kuantitatif tetapi masing-masing kriteria/ pertimbangan telah dirumuskan urutan prioritasnya secara kualitatif, jadi pada metode ini urutan prioritas merupakan tingkat skala prioritas yang diukur secara kualitatif.
2.5.1 Penentuan skala prioritas dengan analytical hierarchy process (AHP) Dalam penyelesaian persoalan dengan metode AHP, menurut Saaty (1986), dijelaskan pula beberapa prinsip dasar metode AHP yaitu: 1. Dekomposisi. Setelah mendefinisikan permasalahan, maka perlu dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan utuh menjadi unsur-unsurnya sampai yang sekecil kecilnya. 2. Comparative Judgment. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari metode AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. 3. Synthesis of Priority. Dari setiap matriks pairwise comparison, vektor eigen-nya mendapat prioritas lokal, karena pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk
34
melakukan global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bantuk hirarki. 4. Logical Consistency. Konsistensi memiliki dua makna yang pertama bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya. Kedua adalah tingkat hubungan antar obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Beberapa keuntungan menggunakan metode AHP sebagai alat analisis adalah: i.
Dapat memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tak berstruktur.
ii.
Dapat memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persolan kompleks.
iii.
Dapat menangani saling ketergantungan elemen–elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
iv.
Mencerminkan kecendrungan alami pikiran untuk memilah–milah elemanelemen suatu sistem dalam berbagai tingkat belaian dan mengelompokan unsur-unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
v.
Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.
vi.
Melacak
konsistensi
logis
dari
pertimbangan-pertimbangan
yang
digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. vii.
Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebijakan setiap alternatif.
35
viii.
Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuantujuan mereka.
ix.
Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil representatif dari penilaian yang berbeda-beda.
x.
Memungkinkan orang memperluas definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan serta pengertian mereka melalui pengulangan. AHP dapat digunakan dalam memecahkan berbagai masalah diantaranya
untuk mengalokasikan sumber daya, analisis keputusan manfaat atau biaya, menentukan peringkat beberapa alternatif, melaksanakan perencanaan ke masa depan yang diproyeksikan dan menetapkan prioritas pengembangan suatu unit usaha dan permasalahan kompleks lainnya. Hirarki adalah alat yang paling mudah untuk memahami masalah yang kompleks dimana masalah tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemen yang bersangkutan, menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarki dan akhirnya melakukan penilaian atas elemen tersebut sekaligus menentukan keputusan mana yang diambil. Proses penyusunan elemen secara hirarki meliputi pengelompokan elemen komponen yang sifatnya homogen dan menyusunan komponen tersebut dalam level hirarki yang tepat. Hirarki juga merupakan abstraksi struktur suatu sistem yang mempelajari fungsi interaksi antara komponen dan dampaknya pada sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling terkait tersusun dalam suatu sasaran utama (ultimate goal) turun ke sub-sub tujuan, ke pelaku (aktor) yang
36
memberi dorongan dan turun ke tujuan pelaku, kemudian kebijakan-kebijakan, strategi-strategi tersebut. Adapun abstraksi susunan hirarki keputusan antara lain sebagai berikut: 1) Level 1
: Fokus/ sasaran/ goal
2) Level 2
: Faktor/ kriteria
3) Level 3
: Alternatif/ subkriteria
Menurut Saaty (1986), Struktur hirarki dalam metode AHP, terlebih dahulu dengan merumuskan tujuan yang akan dicapai, dilanjutkan dengan penentuan kriteria serta alternatif yang memungkin untuk dilakukan. Kriteria yang menempati hirarki pada metode AHP harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: a.
Lengkap: bahwa kriteria harus mencakup semua aspek yang penting, yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk pencapaian tujuan.
b.
Operasional: setiap kriteria harus mempunyai arti bagi pengambil keputusan, sehingga benar-benar dapat menghayati terhadap alternatif yang ada.
c.
Tidak berlebihan: bahwa setiap kriteria pada dasarnya tidak boleh memiliki pengertian yang sama atau tumpang tindih. Sedangkan kelemahan metode AHP adalah: ketergantungan model AHP pada
input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru. Beberapa contoh aplikasi Analytical Hierarchy Process antara lain untuk membuat suatu set alternatif, perencanaan, merancang sistem, menentukan prioritas, memilih kebijakan terbaik
37
setelah menemukan satu set alternatif, alokasi sumber daya dan memastikan stabilitas sistem dan menentukan kebutuhan/ persyaratan.
2.5.2 Nilai dan definisi pendapat kuantitatif
Dalam pengambilan keputusan hal yang perlu diperhatikan adalah pada saat pengambilan data, dimana data ini diharapkan dapat sesungguhnya.
Derajat
kepentingan
pelanggan
dapat
mendekati nilai dilakukan
dengan
pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen dan kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil. Untuk setiap kriteria dan alternatif kita harus melakukan
perbandingan
berpasangan
(pairwise
comparison)
yaitu
membandingkan setiap elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan sehingga nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif. Untuk mengkuantitifkan pendapat kualitatif tersebut digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kualitatif). Menurut Saaty (1986) untuk berbagai permasalahan skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala terbaik dalam mengkualitatifkan pendapat, dengan akurasinya berdasarkan nilai RMSD (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan Saaty seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3.
38
Tabel 2.3 Nilai dan Definisi Pendapat Kuantitatif dalam Skala Perbandingaan Saaty Intensitas Kepentingan
Definisi
Keterangan
1
Sama Penting
Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama terhadap tujuan
3
Agak Penting
Pengalaman dan pertimbangan sedikit mendukung satu elemen atas elemen lain
5
Penting
7
Sangat Penting
9
Mutlak Penting
2,4,6,8
Nilai-nilai Antara
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat mendukung satu elemen atas elemen lain Pengalaman dan pertimbangan sangat kuat mendukung satu elemen atas elemen lain Bukti yang mendukung elemen yang satu atas yang lain memiliki penegasan yang tinggi Kompromi diperuntukan untuk dua pertimbangan yang berbeda
Kebalikan (1/ n)
Jika untuk elemen i mendapatkan satu angka dibandingkan dengan elemen j maka j mempunyai nilai kebalikannya dibandingkan dengan i.
Sumber: Saaty (1986) 2.5.3 Proses-proses dalam metode analytical hierarchy process (AHP) Adapun Proses-proses yang terjadi pada metode AHP adalah sebagai berikut (Saaty, 1986): a. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. b. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum dilanjutkan dengan kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah. c. Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap kriteria yang setingkat di atasnya.
39
d. Melakukan
perbandingan
berpasangan
sehingga
diperoleh
judgment
(keputusan) sebanyak n x ((n-1)/ 2) buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. e. Menghitung nilai eigen vektor dan menguji konsistensinya. Jika nilainya lebih dari 10 persen maka penilaian data judgment harus diperbaiki dan pengambilan data diulangi lagi. f. Mengulangi langkah c,d dan e untuk setiap tingkatan hirarki. 2.5.4 Matrik perbandingan berpasangan Skala perbandingan berpasangan didasarkan pada nilai–nilai fundamental analytical hierarchy process (AHP) dengan pembobotan dari nilai 1 untuk sama penting sampai 9 untuk sangat penting sekali sesuai dengan Tabel 2.3. Dari susunan matrik perbandingan berpasangan dihasilkan sejumlah prioritas yang merupakan pengaruh relatif sejumlah elemen pada elemen di dalam tingkat yang ada di atasnya. Perhitungan eigen vector dengan mengalikan elemen-elemen pada setiap baris dan mengalikan dengan akar n, dimana n adalah elemen. Kemudian melakukan normalisasi untuk menyatukan jumlah kolom yang diperoleh. Dengan membagi setiap nilai dengan total nilai pembuat keputusan bisa menentukan tidak hanya urutan ranking prioritas setiap tahap perhitungannya tetapi juga besaran prioritasnya. Kriteria tersebut dibandingkan berdasarkan opini setiap pembuat keputusan dan kemudian diperhitungkan prioritasnya. 2.5.5 Perhitungan bobot elemen Perhitungan bobot elemen dilakukan dengan menggunakan suatu matriks. Bila dalam suatu sub sistem operasi terdapat ‘n” elemen operasi yaitu elemen-
40
elemen operasi A1, A2, A3, ...An, maka hasil perbandingan secara berpasangan elemen-elemen tersebut akan membentuk suatu matrik pembanding. Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hirarki tertinggi, dimana suatu kriteria digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Bentuk matrik perbandingan berpasangan bobot elemen diperlihatkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot Elemen A1
A2
……..
An
A1
A11
Ann
……..
A1 n
A2 …… An
A21 …… An 1
A22 …… An 2
…….. …….. ……..
A2 n …….. Ann
Sumber: Saaty (1986) Bila elemen A dengan parameter i, dibandingkan dengan elemen operasi A dengan parameter j, maka bobot perbandingan elemen operasi Ai berbanding Aj dilambangkan dengan Aij maka: a(ij) = Ai / Aj, dimana: i,j = 1,2,3,...n .............................................. (1) Bila
vektor-vektor
pembobotan
operasi
A1,A2,...
An
maka
hasil
perbandingan berpasangan dinyatakan dengan vektor W, dengan W = (W1, W2, W3....Wn) maka nilai Intensitas kepentingan elemen operasi Ai terhadap Aj yang dinyatakan sama dengan aij. Dari penjelasan tersebut di atas maka matrik perbandingan berpasangan (pairwise comparison matrik), dapat digambarkan menjadi matrik perbandingan preferensi seperti diperlihatkan pada Tabel 2.5.
41
Tabel 2.5 Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan W1
W2
……..
Wn
W1
W1/W1
W1/W2
……..
W1/Wn
W2
W2/W1
W2/W2
……..
W2/Wn
……
……
……
……..
……..
……
……
……
……..
……..
Wn
Wn/W1
Wn/W2
……..
Wn/Wn
Sumber: Saaty (1986) Nilai Wi/Wj dengan i,j = 1,2,…,n dijajagi dengan melibatkan responden yang memiliki kompetensi dalam permasalahan yang dianalisis. Matrik perbandingan preferensi tersebut diolah dengan melakukan perhitungan pada tiap baris tersebut dengan menggunakan rumus: Wi = n√(ai1 x ai2 x ai3,….x ain)
……………………………..
(2)
Matrik yang diperoleh tersebut merupakan eigen vektor yang juga merupakan bobot kriteria. Bobot kriteria atau eigen vektor adalah ( Xi), dimana: Xi = (Wi / Σ Wi)
...................................................... (3)
Dengan nilai eigan vektor terbesar (λmaks) dimana: λmaks = Σ aij.Xj
..................................................... (4)
2.5.6 Perhitungan konsistensi dalam metode AHP Matrik bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai berikut: 1. Hubungan Kardinal: aij – ajk = aik 2. Hubungan ordinal: Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak Hubungan di atas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikat: a. Dengan melihat preferensi multiplikatif misalnya keselamatan lalu lintas lebih penting 4 kali dari kerusakan jalan, dan kerusakan jalan lebih penting 2 kali
42
dari kemacetan maka keselamatan lalu lintas lebih penting 8 kali dari kemacetan. b. Dengan melihat preferensi trasitif, misalnya keselamatan lalu lintas lebih penting dari kerusakan jalan dan kerusakan jalan lebih penting dari kemacetan, maka keselamatan lalu lintas lebih penting dari kemacetan. Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matrik tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi karena tidak konsisten dalam preferensi seseorang, contoh konsistensi matrik sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2.6. Tabel 2.6 Konsistensi Matrik
A=
i j k
i 1 1/4 1/2
j 4 1 2
k 2 1/2 1
Sumber: Saaty (1986) Matrik A tersebut konsisten karena: aij x ajk = aik ----
=4x½=2
aik x akj = aij ----
=2x2 =4
ajk x aki = aji ----
=½x½=¼
Permasalahan di dalam metode analytical hierarchy process adalah pengukuran pendapat terhadap responden, karena konsistensi tidak dapat dipaksakan. Pengumpulan pendapat antara satu kriteria dengan kriteria yang lain adalah bebas satu sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada tidak konsistennya jawaban yang diberikan. Pengulangan wawancara pada sejumlah responden dalam
43
waktu yang sama kadang diperlukan apabila derajat inkonsistensi atau penyimpangan terhadap konsistensi dinilai besar. Penyimpangan terhadap konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi didapat rumus: λ maks. – n IC =
................................................................. (5) n -1
Keterangan: IC
= Konsistensi indek
λmaks
= Nilai eigen vektor maksimum,
n
= Ukuran matrik.
Matrik random dengan skala penilaian 1 sampai dengan 9 beserta kebalikannya disebut sebagai Random Indeks (RI). Nilai ramdom indek, setiap ordo matriks seperti diperlihatkan pada Tabel 2.7. Tabel 2.7 Nilai Random Indek Ordo Matrik 1 RI
0
2
3
4
0
0,58
0,9
5
6
7
8
9
10
1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
Sumber: Saaty (1986) Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan 500 sampel, jika keputusan numerik diambil secara acak dari skala 1/9, 1/8, 1, 2, ,9 akan memperoleh ratarata konsistensi untuk matriks dengan ukuran berbeda. Perbandingan antara IC dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai concistency ratio (CR). Untuk model analytical hierarchy proces, matrik perbandingan dapat diterima jika nilai rasio konsistensi tidak lebih dari 0,1 (10%). IC CR =
≤ 0,1 (OK) RI
......................................... (6)
44
Keterangan: IC
= Konsistensi indek
RI
= Random indek
CR
= Konsistensi rasio
2.5.7 Penggabungan pendapat responden Menurut Marimin (2004), pada dasarnya AHP dapat digunakan untuk mengolah data dari satu responden. Namun demikian dalam aplikasinya penilaian kriteria dan alternatif dilakukan oleh beberapa ahli yang mutidisiplioner. Konsekuensinya pendapat beberapa ahli tersebut perlu dicek konsistensinya satu persatu. Pendapat yang konsisten tersebut kemudian digabungkan menjadi satu gabungan pendapat dengan menggunakan rumus rata-rata geometri (geometric mean).
=
Atau dapat disederhanakan menjadi: = √ 1. 2. 3 … .
......................................................................
Keterangan: GM
= Geometric mean
Xi
= Penilaian responden ke-i
Xi.X2.Xn...Xn = Perkalian seluruh penilaian responden n
= Jumlah responden
(7)
45
2.5.8 Model matematis penentuan skala prioritas Model matematis adalah suatu sistem persamaam matematik yang digunakan untuk meyelesaikan suatu permasalahan, sehingga penyelesaiannya lebih sederhana. Dari pembobotan kriteria total responden di atas setelah dihitung rataratanya selanjutnya dihitung prioritasnya dengan sistem persamaan matematis (Brodjonegoro,1991).Berdasarkan hirarki AHP yang terdiri dari tujuan, kriteria dan subkriteria/ alternatif, maka model matematis jembatan dapat disusun. Suatu jembatan misalnya disebut “ Jembatan A “ sebagai salah satu alternatif jembatan yang akan ditangani dengan skala prioritas jembatan A, secara kuantitatif misalkan adalah sebesar “ Y “. Besarnya nilai “Y” akan dipengaruhi oleh beberapa kriteria, misalkan kriteria Ca, Cb,…Ci. Dengan masing-masing kriteria memiliki pengaruh kuantitatif terhadap “Y” adalah sebesar a, b, c…i. Dari uraian tersebut di atas maka secara matematik besarnya nilai “ Y “ sebagai skala prioritas terhadap “Jembatan A” yang akan ditangani adalah sebesar: Y = a.Ca + b.Cb + c.Cc + d.Cd + …..+ i .Ci Dimana: y
=Skala prioritas jembatan yang ditinjau, diukur secara kuantitatif berdasarkan pengaruh kriteria Ca, Cb, Cc, Cd, …, Ci.
a
= Bobot kuantitatif pengaruh kriteria A terhadap skala prioritas
b
= Bobot kuantitatif pengaruh kriteria B terhadap skala prioritas
c
= Bobot kuantitatif pengaruh kriteria C terhadap skala prioritas
d
= Bobot kuantitatif pengaruh kriteria D terhadap skala prioritas
i
= Bobot kuantitatif pengaruh kriteria i terhadap skala prioritas
46
Nilai a, b, c , d,… i, akan ditentukan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) level 2, yang kemudian akan terdistribusi persentasenya pada bobot pengaruh kuantitatif subkriterianya terhadap kriteria masing-masing. Sedangkan nilai kriteria Ca, Cb, Cc, Cb, …, Ci bernilai akan terdistribusi kepada subkriteria yang berpengaruh terhadap masing-masing kriterianya. Sehingga dengan model matematis persamaan 7 akan berkembang menjadi: Y=
(a1.Ca1+a2.Ca2+…+an.Can) + (b1.Cb1+b2.Cb2+….+bn.Cbn) + (c1.Cc1 +c2.Cc2+….+cn.Ccn) + (d1.Cd1+d2.Cd2+…+dn.Cdn) + …..+ (in.Cin+….)
Keterangan: Y
=Skala prioritas jembatan yang ditinjau, diukur secara kuantitatif berdasarkan pengaruh kriteria Ca, Cb, Cc, Cd, …, Ci.
a1...an = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Can terhadap Kriteria Ca. b1...bn = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Cbn terhadap Kriteria Cb. c1...cn = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Ccn terhadap Kriteria Cc. d1...dn = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Cdn terhadap Kriteria Cd. in...Cin = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Cin terhadap Kriteria Ci.
2.6 Populasi dan Sampel 2.6.1 Populasi Menurut Sugiyono (2012), pengertian populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/ subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan menurut Hasan (2003), pengertian populasi secara
47
sederhana dapat dikatakan bahwa populasi adalah semua obyek penelitian. Nilai populasi adalah semua nilai baik hasil perhitungan maupun pengukuran, baik kuantitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifatnya. Margono (2004), menyebutkan bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karaktersitik tertentu di dalam suatu penelitian. Kaitannya dengan batasan tersebut, populasi dapat dibedakan berikut ini: 1. Populasi terbatas atau populasi terhingga, yakni populasi yang memiliki batas kuantitatif secara jelas karena memiliki karakteristik yang terbatas. 2. Populasi tak terbatas atau populasi tak terhingga, yakni populasi yang tidak dapat ditemukan batas-batasnya, sehingga tidak dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah secara kuantitatif. Margono (2004), menyatakan bahwa persoalan populasi penelitian harus dibedakan ke dalam sifat berikut ini: 1. Populasi yang bersifat homogen, yakni populasi yang unsur-unsurnya memiliki sifat yang sama, sehingga tidak perlu dipersoalkan jumlahnya secara kuantitatif. 2. Populasi yang bersifat heterogen, yakni populasi yang unsur-unsurnya memiliki sifat atau keadaan yang bervariasi, sehingga perlu ditetapkan batasbatasnya, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
48
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa populasi bukan sekedar jumlah yang ada pada objek atau subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subjek atau objek tersebut. Jadi populasi bukan hanya orang tetapi juga obyek dan berbeda-beda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/ subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/ sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek itu. 2.6.2 Sampel Pengertian sampel menurut Sugiyono (2009), adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Pengukuran sampel merupakan langkah untuk menentukan besarnya sampel yang akan diambil dalam melaksanakan penelitian dalam suatu obyek. Untuk menentukan besarnya sampel bisa dilakukan dengan perhitungan statistik atau berdasarkan estimasi penelitian. Pengambilan sampel ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang benar-benar dapat berfungsi atau dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Dengan istilah lain, sampel harus representatif. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif. Margono (2004), menyatakan bahwa sampel adalah sebagai bagian dari populasi, sebagai contoh (wakil) yang diambil dengan menggunakan cara-cara
49
tertentu. Penggunaan sampel dalam kegiatan penelitian dilakukan dengan berbagai alasan. Margono (2004), mengungkapkan beberapa alasan tersebut yaitu: a. Ukuran populasi Dalam hal populasi tak terbatas (tak terhingga) berupa parameter yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti, pada dasarnya bersifat konseptual. Karena itu sama sekali tidak mungkin mengumpulkan data dari populasi seperti itu. b. Masalah biaya Besar-kecilnya biaya tergantung juga dari banyak sedikitnya objek yang diselidiki. Semakin besar jumlah objek, maka semakin besar biaya yang diperlukan, lebih-lebih bila objek itu tersebar di wilayah yang cukup luas. Oleh karena itu, sampling ialah satu cara untuk mengurangi biaya. c. Masalah waktu Penelitian sampel selalu memerlukan waktu yang lebih sedikit daripada penelitian populasi. Sehubungan dengan hal itu, apabila waktu yang tersedia terbatas, dan keimpulan diinginkan dengan segera, maka penelitian sampel, dalam hal ini, lebih tepat. d. Percobaan yang sifatnya merusak Banyak penelitian yang tidak dapat dilakukan pada seluruh populasi karena dapat merusak atau merugikan. Misalnya, tidak mungkin mengeluarkan semua darah dari tubuh seseorang pasien yang akan dianalisis keadaan darahnya, juga tidak mungkin mencoba seluruh neon untuk diuji kekuatannya. Karena itu penelitian harus dilakukan hanya pada sampel.
50
e. Masalah ketelitian Masalah ketelitian adalah salah satu segi yang diperlukan agar kesimpulan cukup dapat dipertanggungjawabkan. Ketelitian, dalam hal ini meliputi pengumpulan, pencatatan, dan analisis data. Penelitian terhadap populasi belum tentu ketelitian terselenggara. Peneliti akan bosan dalam melaksanakan tugasnya. Untuk menghindarkan itu semua, penelitian terhadap sampel memungkinkan ketelitian dalam suatu penelitian. f. Masalah ekonomis Pertanyaan yang harus selalu diajukan oleh seorang peneliti; apakah kegunaan dari hasil penelitian sepadan dengan biaya, waktu dan tenaga yang telah dikeluarkan? Jika tidak, mengapa harus dilakukan penelitian? Dengan kata lain penelitian sampel pada dasarnya akan lebih ekonomis daripada penelitian populasi. Menurut Suharsimi (2002), apabila subyeknya kurang dari 100 orang, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10%-15% atau 20%-25%, tergantung setidak-tidaknya dari: a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga dan dana. b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data. c. Besar kecilnya resiko yang di tanggung oleh peneliti.
51
2.6.3 Teknik sampling Menurut Sugiyono (2009), teknik pengambilan sampel adalah suatu teknik untuk mendapatkan sampel pada suatu penelitian agar sampel tersebut representatif terhadap populasi/ sosial situation yang diwakilinya. Teknik sampling adalah teknik pengambilan sampel. Teknik sampling pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi dua yaitu Probability Sampling dan Nonprobability Sampling. Probability sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel yang mana memberikan peluang yang sama untuk setiap unsur/ anggota populasi/ social situation (penelitian kualitatif) untuk menjadi sampel. Teknik ini terdiri dari: Simple
random
sampling,
Proportionate
stratified
random
sampling,
Disproportionate stratified random sampling, dan Area/ cluster sampling. Non probability sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel yang mana memberikan peluang yang tidak sama untuk setiap unsur/ anggota populasi/ sosial situation untuk menjadi sampel. Teknik ini terdiri dari: a. Sistematis sampling: Sistematis sampling adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan nomor urut tertentu dari anggota populasi/ social situation yang telah diberi nomor urut tertentu. b. Sampling kuota: Sampling kuota adalah teknik pengambilan sampel pada suatu populasi/ social situation yang telah memenuhi jumlah unsur/ anggota tertentu.
52
c. Sampling insidental: Sampling insidental adalah teknik sampling yang diambil secara insidental atau kebetulan. Sampling ini digunakan pada penelitian yang sangat umum dan semua usur/ anggota populasi memahami topik penelitian. d. Purposive sampling: Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu, sesuai dengan persyaratan yang disyaratkan dalam penelitian yang akan dilaksanakan, karena tidak semua unsur/ anggota populasi/ social situation memahami tentang topik dari penelitian tersebut. Umumnya sampel/ responden dalam metode ini memiliki keahlian sesuai dengan topik penelitian yang dilaksanakan. Sampel/ responden yang diambil pada metode ini umumnya disebut dengan responden expert. e. Sampel jenuh: Sampel jenuh adalah metode sampling dengan mengambil semua unsur/ anggota populasi/ social situation menjadi sampel. Metode ini disebabkan karena jumlah unsur/ anggota populasi/ social situation sangat sedikit. f. Snowball sampling: Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel yang diawali dengan jumlah yang kecil, dan bilamana data yang akan diambil kurang memenuhi persyaratan sesuai dengan yang diperlukan maka sampel ini ditambah sampai semua data yang diperlukan didapat. Dari teknik non probability sampling di atas karena penelitian ini spesifik pada obyek penelitian jembatan maka dipilih teknik purposive sampling.
53
2.6.4 Batasan sampel Topik penelitian ini adalah mengenai program pemeliharaan jembatan dengan studi kasus di Satker Pelaksanaan Jalan Nasional Metropolitan Denpasar. Karena topik penelitian bersifat khusus dengan tujuan tertentu di bidang jembatan maka dalam teknik pengambilan sampel, termasuk memakai teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono (2009), pada teknik purposive sampling, sampel dibatasai yaitu hanya responden yang dianggap sebagai pakar/ ahli/ ekspertist yang memiliki kompetensi terdiri dari meraka yang memiliki kewenangan/ kebijakan untuk memutuskan, tugas yang bersifat rutinitas dan profesi sehubungan dengan topik yang diteliti, atau mereka yang memiliki kemampuan akademik, sesuai dengan topik penelitian. 2.6.5 Kriteria sampel Berdasarkan batasan sampel di atas maka dapat disusun kriteria sampel yang memenuhi salah satu kriteria seperti disebutkan dibawah ini: a) Memiliki kewenangan/ kebijakan untuk mengusulkan dan atau memutuskan tentang pemeliharaan jembatan. Dalam hal ini sampel adalah di pejabat dan anggota dewan yang berperan dalam proses penentuan kebijakan dalam mengusulkan dan memutuskan pemeliharaan jembatan. b) Memiliki tugas yang bersifat rutinitas tentang perencanaan, pemrograman, pelaksanaan dan pengawasan jembatan. Dalam hal ini sampel adalah pegawai, analisis dan petugas yang memiliki rutinitas perencanaan, pemrograman, pelaksanaan dan pengawasan jembatan.
54
c) Mempunyai Profesi sehubungan dengan topik yang diteliti. Dalam hal ini sampel adalah profesional yang memiliki profesi yang berhubungan dengan pemeliharaan jembatan. d) Memiliki kemampuan akademik, sesuai dengan topik penelitian. Dalam hal ini sampel adalah akademisi dan tokoh masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan memahami tentang pemeliharaan jembatan.
Menurut Ulwan (2014), memilih sampel berdasarkan purposive sampling tergantung kriteria apa yang digunakan. Peneliti turun langsung ke tempat (area, wilayah, lokasi) tertentu dimana banyak anggota populasi dimaksud berada. Sebanyak yang dianggap cukup memadai untuk memperoleh data penelitian yang mencerminkan (representatif) keadaan populasi. Data dari sampel purposive dianggap sudah cukup apabila bisa menggambarkan (menjawab) apa yang menjadi tujuan dan permasalahan penelitian. Tentu tidak tepat jika beberapa orang, sebanyak mungkin jauh lebih baik dan angka pastinya tidak ada.
2.6.6 Teknik pengumpulan data Menurut Sugiyono (2009), berdasarkan sumbernya data dibedakan menjadi dua yaitu: 1.
Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian langsung secara empirik kepada pelaku langsung atau yang terlibat langsung dengan menggunakan teknik pengumpulan data tertentu.
55
2. Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak lain atau hasil penelitian pihak lain. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dikumpulkan dengan teknik sebagai berikut: a. Penelitian lapangan (Field Reasearch) Penelitian di lapangan adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh data primer yaitu data yang diperoleh melalui: 1. Pengamatan (Observation), yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan mengamati secara langsung objek yang diteliti. 2. Wawancara (Interview), yaitu teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab dengan pimpinan atau pihak yang berwenang atau bagian lain yang berhubungan langsung dengan objek yang diteliti. 3. Kuesioner, yaitu teknik pengumpulan data dengan membuat daftar pertanyaan yang berkaitan dengan objek yang diteliti, diberikan kepada pimpinan atau pihak yang berwenang atau bagian lain yang berhubungan langsung dengan objek yang diteliti. b. Penelitian kepustakaan (Library Reasearch) Penelitian kepustaan adalah penelitian yang dimaskudkan untuk memperoleh data sekunder yaitu data yang merupakan faktor penunjang yang bersifat teoritis kepustakaan.
56
2.7
Kuesioner Menurut Kasnodiharjo (1993), ada 3 macam kuesioner/ formulir isian yang
sering digunakan dalam pengumpulan data yaitu: a) Formulir isian untuk keperluan administrasi. b) Formulir isian untuk observasi. c) Daftar pertanyaan (kuesioner). Dari ketiga jenis macam kuesioner tersebut maka dalam kajian pustaka ini akan dibahas mengenai daftar pertanyaan (kuesioner). Menurut Kasnodiharjo (1993), kuesioner adalah suatu sarana dalam pengumpulan data untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang suatu keadaan. Kuesioner mempunyai peranan penting sebab didalamnya mencakup semua tujuan penelitian dari survei/ penelitian. Disamping sudah tercakupnya tujuan dari surveinya, suatu kuesioner yang baik harus juga memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Mudah ditanyakan. 2. Mudah dijawab. 3. Mudah diproses. Pengertian mudah dalam hal ini sangat relatif dan tergantung dari jenis surveinya maupun petugas yang melakukannya. Pengumpulan data menggunakan daftar pertanyaan biasanya dilakukan dengan wawancara. Kuesioner sebenarnya sudah mencakup dua jenis daftar isian pertama dan kedua dan sifatnya lebih luas dan lengkap. Hal ini disebabkan antara pewawancara (interviewer) dengan responden sehingga memungkinkan didapatkannya jawaban yang lebih akurat.
57
2.7.1 Masalah-masalah mendasar dalam menyusun kuesioner Menurut Kasnodiharjo (1993), masalah penting yang sering timbul dari penggunaan kuesioner dalam suatu survei adalah adanya variasi dari responden terutama menyangkut tingkat pendidikan, perbedaan daerah dimana responden tinggal dan latar belakang pekerjaan. Bagaimanapun juga baiknya pemilihan responden (sampel), perbedaan-perbedaan individual tetap ada/ muncul. Oleh karena itu jauh sebelum menyusun suatu kuesioner kita harus menyadari hal-hal yang demikian. Dengan adanya perbedaan/ variasi dari responden tersebut, mungkin dalam penggunaan kuesioner akan timbul antara lain hal-hal sebagai berikut: 1. Responden tidak mengerti pertanyaan, jawaban yang diberikan tidak ada hubungannya dengan pertanyaan yang diajukan. 2. Responden mengerti pertanyaannya, mempunyai informasi datanya, akan tetapi mungkin tidak mengetahui mana informasi penting yang harus diingat. Misalnya pertanyaan intensitas fogging dalam setahun dilakukan berapa kali, responden mengerti apa itu fogging dan prosesnya namun tidak ingat intensitasnya. 3. Responden mengerti pertanyaan, mempunyai informasi tetapi tidak mau menjawab/ memberikan informasi yang dimaksud. Hal ini umumnya menyangkut pertanyaan tentang masalah pribadi , seperti mengenai gaji, harta, kepemilikan, dsb. 4. Responden mengerti pertanyaannya, mau menjawab, namun tidak mampu mengemukakan.
Ada
tiga
alasan
kenapa
responden
tidak
mampu
58
mengemukakan, antara lain: tidak mampu menguraikan jawaban, pertanyaan diajukan ke orang yang tidak tepat dan responden tidak mengetahui jawabannya.
2.7.2 Prinsip-prinsip pembuatan kuesioner Menurut Kasnodiharjo (1993), pembuatan kuesioner perlu memperhatikan masalah-masalah yang sering timbul sebagaimana diuraikan di atas. Sebagai pedoman dalam penyusunan kuesioner berikut ini diuraikan bagaimana sebaiknya suatu kuesioner yang sedapat mungkin harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Jelas Kejelasan menyangkut kata-kata yang tepat supaya responden memahami benar maksud pertanyaan yang diajukan. Ada kalanya suatu kata dapat mempengaruhi jawaban responden. Jelas juga dimaksud menghindari penggunaan kata-kata double negative dan menghindari penggabungan beberapa pertanyaan kedalam satu pertanyaan. Jangan sampai terdapat pertanyaan yang mengacu ke jawaban sebelumnya tetapi tanpa menyebutkan secara jelas jawaban yang mana yang dimaksud. Pewawancara sebaiknya menghindari pertanyaan yang terlalu luas batasannya. 2. Membantu ingatan responden Pertanyaan harus dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan responden untuk mengingat kembali hal-hal yang diperlukan untuk menjawab suatu pertanyaan. Cara yang sering digunakan adalah dengan menggunakan time line dengan mengambil suatu peristiwa penting yang mudah dingat responden.
59
3. Membuat responden bersedia menjawab Bagaimanapun baiknya kuesioner akan tidak ada artinya kalau responden tidak mau atau menolak memberi jawaban. Hal ini bisa terjadi karena susunan pertanyaan ataupun kata-katanya kurang tepat. Usahakan tidak menanyakan hal-hal yang sulit dan bersifat pribadi pada permulaan wawancara. Susunlah pertanyaan tentang hal-hal yang mudah dijawab dan menyenangkan responden. 4. Menghindari bias Menghindari pemakaian jawaban yang memiliki arti sama dan multi tafsir. 5. Mudah mengutarakan Agar lebih mudah dipahami dapat diberikan gambar atau ranking skala, responden cukup hanya memilih jawaban mana yang dimaksud daripada harus memahami kata-kata yang sulit. 6. Dapat menyaring responden Penting sekali suatu pertanyaan dapat menyaring responden sebab kalau tidak pertanyaan-pertanyaan tertentu mungkin tidak bisa dijawab karena ditanyakan ke responden yang salah.
2.7.3 Jenis pertanyaan dalam kuesioner Menurut Kasnodiharjo (1993), terdapat beberapa jenis pertanyaan dalam kuesioner antara lain: 1. Free response Jenis pertanyaan ini memiliki jawaban yang tidak terbatas dan terserah kepada responden. Jenis pertanyaan ini biasanya digunakan untuk
60
mengetahui opini, persepsi atau motif tertentu dari responden. Pertanyaan ini memberikan peluang kepada responden untuk menjawab apa yang dia pikirkan, ketahui dan sebagainya. Kelamahan jenis pertanyaan ini adalah sulit untuk ditabulasi/ diolah karena perbedaan interpretasi dari masingmasing jawabannya. 2. Directed response Berbeda dengan jenis pertanyaan free response, jenis pertanyaan directed response ini sudah diarahkan tidak terlalu luas. Jawaban lebih terarah dan lebih mudah untuk dibandingkan antara jawaban dari satu responden ke lainnya karena hanya menyangkut masalah terbatas, kecil dan sama. 3. Multiple choice Jenis pertanyaan ini jawabannya sudah disediakan dan responden tinggal memilih satu jawaban yang sesuai dengan opininya. Keuntungan jenis pertanyaan ini adalah tidak sulit menjawabnya karena memilih dan juga mudah dalam pengolahan/ tabulasinya. Jenis pertanyaan ini baik digunakan apabila kita sudah yakin dan tahu benar kemungkinan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. 4. Check list Jenis pertanyaan ini adalah modifikasi dari multiple choice. Pada jenis pertanyaan ini kita diberi kebebasan untuk memilih jawaban sebanyak mungkin. Jawaban responden mungkin lebih dari satu dan bahkan semua jawaban mungkin dipilih responden.
61
5. Ranking question Pada jenis pertanyaan ini responden diminta untuk mengurutkan jawaban– jawaban yang tersedia sesuai dengan pendapat responden. 6. Dichotomous question Pada jenis pertanyaan ini responden hanya diberikan pilihan untuk menjawab satu jawaban saja dari dua opsi yang telah disiapkan. 7. Open end question Jenis pertanyaan ini biasanya digunakan untuk kualitatif research. Pertanyaan biasanya dimulai dengan salah satu subyek dan atas dasar jawaban responden maka dilanjutkan dengan pertanyaan yang disusun sebagai kelanjutan dari jawaban tersebut.
2.7.4 Prosedur menyiapkan kuesioner Menurut Kasnodiharjo (1993), dalam menyiapkan kuesioner diperlukan urutan-urutan pembuatannya secara sistematik dan baik. Beberapa langkah dalam pembuatan kuesioner adalah sebagai berikut: 1. Dalam pertanyaan harus sudah ditentukan informasi/ data apa yang diperlukan dan dari sumber mana data tersebut diperoleh. 2. Informasi/ data yang ingin diperoleh dari sumber tersebut harus di daftar mulai dari data pokok yang diperlukan dan seterusnya. Umumnya tidak semua informasi yang ditanyakan akhirnya diperlukan. Pertanyaan yang tidak penting sebaiknya dihilangkan. Pertanyaan harus didasarkan pada kerangka pemikiran awal yang mengarahkan pemikiran kepada hipotesis awal.
62
3. Mencoba menempatkan diri kita dalam posisi orang-orang yang akan dijadikan responden. Hal-hal yang sulit dipahami dan sulit dijawab sebaiknya disederhanakan agar lebih mudah dapat dipahami. 4. Menentukan urutan topik, topik mana sebagai pembuka wawancara dan mana yang baik sebagai penutup wawancara. 5. Topik-topik/ item-itemnya perlu diurutkan, kemudian baru ditentukan jenis pertanyaan apa yang akan digunakan. 6. Setelah menentukan pertanyaan apa yang akan digunakan kemudia tuliskan susunan kata-kata untuk setiap pertanyaan. Pertanyaan harus jelas agar mudah dipahami terutama hubungannya dengan elemen-elemen penelitian dan pertanyaan sebelumnya. 7. Setelah penulisan selesai, tentukan formatnya. Sediakan ruangan yang cukup untuk jawabannya. Kalau ada pertanyaan multiple choice atau check list maka harus sudah disiapkan jawaban-jawabannya. 8. Format kuesioner sudah selesai termasuk didalamnya pertanyaanpertanyaan yang telah tersusun dan jawaban yang diperlukan, tetapi kemngkinan terdpat kejanggalan-kejanggalan baik kata-kata maupun susunannya. Oleh karena itu setelah format selesau perlu diteliti kembali dan diperbaiki lagi apabila diperlukan. 9. Kalau sudah yakin semuanya benar dan sesuai dengan apa yang kita harapkan maka tempatkan diri kembali sebagai responden. Dapatkah kita menjawab semua pertanyaan tersebut dan hitunglah waktu yang diperlukan. Kalau ternyata waktu yang diperlukan terlalu lama maka perlu
63
dipikirkan kembali apakah ada hal-hal yang dapat menghemat waktu seperti menghilangkan pertanyaan yang tidak penting. 10. Kemudian tempatkan diri kita sebagai interviewer. Apakah pertanyaanpertanyaan tersebut sudah baik dan mudah ditanyakan. Apakah bahasanya wajar, mudah dibaca dan mudah menulis jawabannya. 11. Agar kuesioner lebih baik lagi perlu dimintakan pendapat/ saran dari pihak yang banyak tahu tentang topik/ masalah yang hendak kita survei. 12. Kuesioner kemudia diuji coba di lapangan dengan beberapa responden, untuk mengetahui kemudahan penggunaannya. Berdasarkan hasil uji coba maka maka diketahui mana pertanyaan yang perlu direvisi. Ada baiknya setelah diperbaiki dilakukan uji coba sekali lagi jika biaya dan waktu masih memungkinkan. 13. Setelah uji coba, kuesioner siap untuk diperbanyak dan siap untuk digunakan dalam penelitian/ survei yang sebenarnya.
2.7.5 Skala pengukuran kuesioner Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif. Ada beberapa jenis skala pengukuran yaitu (Firdaus, 2008): 1. Skala Guttman Adalah skala pengukuran yang digunakan bila peneliti ingin mendapat jawaban yang tegas yaitu ya-tidak, benar-salah dan lain-lain.
64
2. Semantik Deferential Adalah skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur sikap/ karakteristik seseorang. Bentuknya tidak pilihan ganda atau ceklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinue yang jawabannya sangat positifnya paling kanan dan sangat negatifnya paling kiri.yang didasarkan pada ranking, diurutkan dari jenjang yang lebih tinggi sampai jenjang yang lebih rendah atau sebaliknya. 3. Rating Schale Adalah skala pengukuran dimana data mentah yang diperoleh berupa angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. 4. Skala Likert Adalah suatu interval pengukuran sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena. Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan.
2.8 Penelitian Sebelumnya 2.8.1 Penelitian Tri Wiyono Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 dengan judul penelitian: Sistem Penentuan
Prioritas
Penanganan
Pemeliharaan
Jembatan
di
Kabupaten
Karanganyar. Tahapan penelitian meliputi; menentukan kriteria dan subkriteria yang menjadi pertimbangan dalam menentukan prioritas penanganan jembatan, melakukan pembobotan kriteria dan subkriteria dengan metode Proses Hirarki
65
Analisis, membuat sistem pendukung keputusan menggunakan aplikasi Microsoft Office Excel 2007 untuk menentukan urutan prioritas penanganan pemeliharaan jembatan. Berdasarkan hasil studi literatur dan diskusi/ wawancara terhadap 11 stakeholder digunakan lima kriteria dalam menentukan prioritas penanganan jembatan antara lain sebagai berikut: 1. Kondisi kerusakan komponen jembatan. 2. Tingkat kepadatan lalu lintas. 3. Aksesibilitas jembatan. 4. Biaya penanganan. 5. Sistem pengadaan barang dan jasa. Subkriteria yang digunakan oleh Wiyono dalam penelitiannya adalah: 1. Memerlukan penanganan. 2. Tidak memerlukan penanganan.
2.8.2 Penelitian Anthony Ompusunggu Penelitian ini berjudul Penentuan Skala Prioritas Pemeliharaan Jembatan Di Jalan Pantura Jawa Timur. Penelitian ini dimulai dari penentuan variabel-variabel/ kriteria-kriteria yang berpengaruh dalam penentuan skala prioritas pemeliharaan jembatan berdasarkan sintesa kajian yang dipertegas oleh resonden expert. Kemudian dilakukan pemilihan alternatif jembatan berdasarkan kriteria-kriteria tersebut dengan menggunakan alat analisa multivariabel yaitu AHP. Tahap selanjutnya dilakukan analisis sensitifitas untuk mengetahui kemapanan kriteria yang digunakan dalam penelitian ini guna menentukan alternatif jembatan dalam
66
program pemeliharaan. Adapun kriteria dan subkriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kriteria financial dengan subkriteria budget/ anggaran dan efisiensi biaya. 2. Kriteria transportasi dengan subkriteria yaitu LHR, kecepatan rata-rata dan jalan alternatif. 3. Kriteria sosial dengan subkriteria jumlah penduduk. 4. Kriteria teknik dengan subkriteria jenis kerusakan dan waktu pelaksanaan.
2.8.3 Penelitian I Kadek Sutika Pada Tahun 2010, I Kadek Sutika membuat suatu penelitian yang bertopik Penentuan Skala Prioritas Pemeliharaan Ruas-Ruas Jalan Provinsi di Provinsi Bali dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Struktur hirarki yang didapat dalam penelitian ini terdiri atas 3 level. Level-1 ditempati oleh tujuan, yaitu penentuan skala prioritas pemeliharaan ruas-ruas jalan, sedangkan pada level-2 ditempati kriteria dan level-3 subkriteria. Adapun kriteria dan subkriteria yang dipakai dalam penelitian ini antara lain: 1. Sistem kelembagaan, dengan subkriteria kesesuaian usulan terhadap arahan Renstra dan kesesuaian usulan terhadap usulan Musrenbang. 2. Sistem jaringan, dengan subkriteria kondisi jalan dan fungsi jalan. 3. Sistem tata guna lahan dengan empat subkriteria antara lain keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pariwisata, keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan perkantoran, keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pertambangan dan
67
keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan suci dan tempat suci. 4. Sistem pergerakan dipengaruhi oleh subkriteria LHR Jalan.
2.8.4 Kajian pustaka terhadap kriteria penelitian sebelumnya Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat diperoleh gambaran hirarki yang telah digunakan dalam penelitian sejenis yang pernah dilaksanakan dengan obyek penelitian yang berbeda. Struktur hirarki tersebut dapat digunakan sebagai gambaran awal untuk penyusunan hirarki pada penelitian ini. Struktur hirarki tersebut antara lain kriteria dan subkriteria pada penelitian sebelumnya. Pada Tabel 2.8 dapat dilihat perbandingan kriteria pada penelitian sebelumnya. Tabel 2.8 Kriteria yang Digunakan pada Penelitian Sebelumnya Sutika
Ompusunggu
Sistem Jaringan Sistem Tata Guna Lahan Sistem Pergerakan
Teknik
Sistem Kelembagaan
Transportasi Sosial Financial
Wiyono Kondisi kerusakan komponen jembatan. Aksesibilitas jembatan. Tingkat kepadatan lalu lintas. Biaya penanganan. Sistem pengadaan barang dan jasa.
Sumber: Pengolahan Data, 2016.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa ketiga peneliti menggunakan kriteria yang memiliki pemahaman yang sama satu sama lainnya. Sutika menyebut kriterianya dengan sistem jaringan yang terdiri dari subkriteria kondisi jalan dan fungsi jalan, sementara Ompusunggu menyebutnya dengan kriteria teknik dengan subkriteria jenis kerusakan dan waktu pelaksanaan. Pada penelitian lain, Wiyono menyebut kriteria ini sebagai kriteria kondisi kerusakan jembatan yang pada
68
prinsipnya memiliki pemahaman yang sama dengan kriteria sistem jaringan oleh Sutika maupun kriteria teknik oleh Ompusunggu. Dari ketiga kriteria tersebut kriteria sistem jaringan dari Sutika bersifat lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih khusus sebagai subkriterianya, sehingga kriteria sistem jaringan dari Sutika dapat dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini. Sutika menyebut kriterianya yang kedua sebagai kriteria sistem tata guna lahan yang merupakan perwujudan dari empat subkriteria antara lain keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pariwisata, keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan perkantoran, keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pertambangan dan keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan suci dan tempat suci. Sementara Wiyono untuk
kriteria
ini
menyebutnya
dengan
aksesibilitas
jembatan
dalam
menghubungkan suatu tata guna lahan. Ompusunggu tidak memiliki kriteria yang memiliki kemiripan makna dengan kriteria dari Sutika dan Wiyono ini. Dari kedua kriteria tersebut kriteria sistem tata guna lahan dari Sutika bersifat lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria dari Wiyono yang lebih khusus sebagai subkriterianya, sehingga kriteria sistem tata guna lahan dari penelitian Sutika dapat dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini. Kriteria selanjutnya dari Sutika adalah kriteria sistem pergerakan yang merupakan perwujudan dari subkriteria lalu-lintas harian rata-rata. Pada penelitian Ompusunggu, kriteria ini memiliki kemiripan dengan kriteria transportasi yang
69
merupakan perwujudan tiga subkriteria yaitu LHR, kecepatan rata-rata dan jalan alternatif. Kriteria ini juga memiliki kemiripan makna dengan kriteria social dalam penelitian Ompusunggu, karena faktor social tersebut merupakan perwujudan dari subkriteria jumlah penduduk yang menyebabkan bangkitan dari pergerakan itu sendiri. Dalam penelitian Wiyono terdapat kriteria tingkat kepadatan lalu-lintas yang memiliki kemiripan makna dengan kriteria dari Sutika maupun Ompusunggu. Dari ketiga kriteria tersebut kriteria sistem pergerakan dari penelitian Sutika bersifat lebih lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih khusus sebagai subkriterianya, sehingga kriteria sistem pergerakan dari penelitian Sutika dapat dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini. Kriteria terakhir dalam penelitian Sutika adalah kriteria sistem kelembagaan yang merupakan perwujudan dari subkriteria kesesuaian usulan terhadap arahan Renstra dan kesesuaian usulan terhadap usulan Musrenbang. Kriteria ini memiliki kemiripan dengan kriteria financial pada penelitian Ompusunggu. Kriteria Sutika dan Ompusunggu itu juga memiliki kemiripan makna dengan kriteria biaya penanganan dan kriteria sistem pengadaan barang pada penelitian Wiyono. Dari ketiga kriteria tersebut kriteria sistem kelembagaan dari penelitian Sutika bersifat lebih lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih khusus sebagai subkriterianya, sehingga
kriteria
sistem
kelembagaan
dari
penelitian
dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini.
Sutika
dapat