3
2 TINJAUAN PUSTAKA Jalan Jalan merupakan prasarana transportasi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk melakukan mobilitas keseharian sehingga volume kendaraan yang melewati suatu ruas jalan mempengaruhi kapasitas dan kemampuan dukungnya. Kekuatan dan keawetan kontruksi perkerasan jalan sangat ditentukan oleh sifat-sifat daya dukung tanah dasar (Sukirman 1999). Berdasarkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Depatemen Pertanian PT.PLA.B.3-2-2008 “ Pedoman Teknis Pembangunan Jalan Usaha Tani “ dinyatakan sebagai berikut : 1. Jalan usahatani adalah suatu prasarana transportasi di dalam kawasan pertanian (tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan) guna memperlancar pengangkutan sarana produksi, hasil produksi dan mobilitas alat mesin pertanian. 2. Pembangunan jalan usahatani adalah pembuatan baru, peningkatan kapasitas dan rehabilitasi. 3. Pembuatan jalan usahatani adalah membuat jalan baru sesuai kebutuhan : a. Peningkatan kapasitas jalan usahatani adalah jalan usahatani yang sudah ada ditingkatkan tonase / kapasitasnya sehingga bisa dilalui oleh kendaraan yang lebih berat. b. Rehabilitasi jalan usahatani adalah memperbaiki jalan usahatani yang sudah rusak tanpa ada peningkatan kapasitas Konstruksi perkerasan lentur jalan terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan di bawahnya. Beban kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui bidang kontak roda beban berupa beban terbagi rata. Beban tersebut berfungsi untuk diterima oleh lapisan permukaan dan disebarkan ke tanah dasar menjadi lebih kecil dari daya dukung tanah dasar (Sukirman 1999). Menurut AASHTO dan Bina Marga kontruksi jalan terdiri dari: 1. Lapis permukaan (Surface Course) Lapisan permukaan (Surface Course) adalah lapisan yang terletak paling atas ( Sukirman 1999), dan berfungsi sebagai : a. Struktural, yaitu berperan mendukung dan menyebarkan beban kendaraan yang diterima oleh lapis keras. b. Non struktural, yaitu berupa lapisan kedap air untuk mencegah masuknya air ke dalam lapis perkerasan yang ada di bawahnya dan menyediakan permukaan yang tetap rata agar kendaraan berjalan dengan lancar. 2. Lapis Pondasi Atas (Base Course) Lapisan pondasi atas (Base Course) adalah lapisan perkerasan yang terletak diantara lapis pondasi bawah dan lapis permukaan (Sukirman 1999), dan berfungsi sebagai: a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban kelapisan di bawahnya.
4
b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah. c. Bantalan terhadap lapisan permukaan. 3. Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course) Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course) adalah lapis perkerasan yang terletak antara lapisan pondasi atas dan tanah dasar (Sukirman 1999), dan berfungsi sebagai : a. Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda pada tanah dasar. b. Efesiensi pengunaan material. c. Mengurangi ketebalan lapis keras yang ada di atasnya. d. Sebagai lapisan peresapan, agar air tanah tidak berkumpul pada pondasi. e. Sebagai lapian pertama agar memudahkan pekerjaan selanjutnya, f. Sebagai pemecah partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi atas. 4. Lapis Tanah Dasar (Subgrade) Tanah dasar (Subgrade) adalah permukaan tanah semula, permukaan tanah galian atau timbunan yang dipadatkan dan merupakan dasar untuk perletakan bagian lapis keras lainnya. Konstruksi Perkerasan jalan susunannya seperti terlihat pada Gambar 2. Lapisan Permukaan (Surface) Lapisan Pondasi/Perkerasan (Base) Tanah Dasar (Subgrade)
Gambar 2 Susunan konstruksi perkerasan jalan
Tanah Dasar (Subgrade) Tanah merupakan komponen utama subgrade yang memiliki karakteristik, macam, dan keadaan yang berbeda-beda, sehingga setiap jenis tanah memiliki kekhasan perilaku. Sifat tanah dasar mempengaruhi ketahanan lapisan di atasnya (Sukirman 1999). Masalah-masalah yang dihadapi dalam tanah dasar merupakan masalah yang sudah umum dijumpai selama proses pekerjaannya. Adapun masalahmasalah yang sering dijumpai pada pekerjaan tanah dasar (Sukirman 1999) adalah sebagai berikut. 1. Perubahan bentuk tetap, yaitu perubahan bentuk akibat beban lalu lintas. Perubahan bentuk yang besar akan mengakibatkan jalan tersebut rusak. 2. Sifat mengambang dan menyusut dari tanah, yaitu perubahan yang terjadi akibat perubahan kadar air yang didukung tanah tersebut. 3. Perubahan bentuk karena daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dan macam tanah yang mempunyai sifat dan kedudukan yang berbeda.
5
4. Perubahan bentuk akibat terjadinya lendutan dan pengembangan kenyal yang besar selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari macam tanah tertentu. 5. Perubahan bentuk akibat dilakukannya tambahan pemadatan, karena terjadinya penurunan oleh beban tanah dasar tidak dipadatkan secara baik, dimana daya dukung tidak optimal. Untuk memperkecil terjadinya masalah yang menyangkut tanah dasar seperti di atas, maka langkah yang harus dilakukan adalah melakukan pekerjaan tanah dasar sesuai dengan peraturan pelaksanaan pembangunan jalan raya yang berlaku. Peraturan pelaksanaan yang menyangkut penyelidikan lokasi mengenai faktor kadar air tanah, material tanah, keadaan dan klasifikasi tanah dan sifat penting tanah serta daya dukung tanah. Tanah yang kurang memenuhi persyaratan untuk dijadikan sebagai lapisan tanah dasar, maka perlu dilakukan peningkatan daya dukung tanah dengan melakukan perbaikan terhadap tanah tersebut. Adapun cara yang dilakukan untuk meningkatkan daya dukung tanah tersebut (Sukirman 1999) dengan cara: 1. Cara dinamis, cara perbaikan tanah dasar dengan menggunakan alat-alat berat seperti compactor yang dilengkapi dengan alat penggetar untuk pekerjaan pemadatan. 2. Memperbaiki gradasi yang ada, cara ini dilakukan dengan menambah fraksi yang kurang kemudian dicampur dan dipadatkan. 3. Dengan stabilitas kimia, cara ini dilakukan dengan menstabilitaskan lapisan tanah dasar dengan bahan-bahan kimia seperti semen portland, kapur, dan bahan kimia lainnya. 4. Membongkar dan mengganti, langkah ini dilaksanakan apabila tanah dasarnya sangat jelek dan mengganti tanah aslinya dengan material yang lebih baik, berkualitas tinggi, dan mempunyai daya dukung yang optimal.
Kompaksi Pemadatan (compaction) menunjukkan peningkatan kerapatan isi tanah akibat suatu beban atau tekanan (Baver 1962). Peristiwa bertambah berat volume kering oleh beban dinamis disebut pemadatan. Maksud pemadatan tanah adalah untuk meningkatkan kuat geser tanah, mengurangi sifat mudah manpat (kompresibilitas), mengurangi permeabilitas dan mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air dan lain-lainnya (Hardiyatmo 1992). Islami dan Utomo (1995) menyatakan, pemadatan adalah proses naiknya kerapatan isi tanah dengan memperkecil jarak antar partikel,sehingga terjadi reduksi volume udara, tetapi tidak terjadi perubahan volume air yang cukup berarti. Pemadatan tanah dapat diberi batasan sebagai perubahan volume, karena tanah diberi tekanan dan untuk setiap daya pemadatan tertentu kepadatan yang tercapa tergantung pada kadar airnya. Pemadatan menurut Forsblad (1988) bahwa kerapatan dari sebuah bahan dinaikkan melalui pemakaian gaya dari luar. Tanah terdiri dari partikel-partikel mineral dan rongga-rongga udara yang sebagiannya diisi dengan air. Selama pemadatan partikel tersebut ditampung dan volume rongga udara dikurangi.
6
Dalam tanah yang berbutir kasar, air dapat ditekan keluar. Faktor-faktor terpenting yang menentukan hasil pemadatan adalah jenis bahan, kandungan air (kelembaban), metode pemadatan dan energi yang digunakan. Wesley (1973) menyatakan bahwa bila kadar air rendah maka tanah akan keras atau kaku sehingga sulit dipadatkan. Bila kadar air ditambah maka air itu akan berfungsi sebagai pelumas sehingga tanah akan lebih mudah dipadatkan. Pada kadar air tertinggi kepadatannya akan menurun karena pori-pori tanah menjadi terisi air yang tidak dapat dikeluarkan dengan cara pemadatan. Kepadatan tanah biasanya diukur (dinilai) dengan menentukan berat isi keringnya, bukan dengan angka porinya. Lebih tinggi berat isi kering berarti lebih kecil angka pori dan lebih tinggi derajat kepadatannya. Menurut Terzaghi dan Peck (1987) tingkat pemadatan tertinggi diperoleh apabila kadar air mempunyai suatu nilai tertentu yang disebut kadar air kelembaban optimum (optimum moisture content) dan prosedur untuk mempertahankan agar kadar air mendekati nilai optimumnya selama pemadatan timbunan dikenal sebagai kontrol kadar kelembaban (moisture content control). Bowles (1991) mendefinisikan empat variable pemadatan tanah yaitu : 1. Usaha pemadatan (energi pemadatan) 2. Jenis tanah (gradasi, kohesif atau tidak kohesif, ukuran partikel, dsb-nya) 3. Kadar air 4. Berat isi kering (Proctor menggunakan angka pori) Karena volume tanah terdiri dari bagian padat dan kekosongan diantaranya (voids), maka tekanan akan menurunkan kekosongan (void ratio) tiap satuan tekanan atau beban. Rasio kekosongan menyatakan perbandingan volume kekosongan dengan volume padatan (Baver 1962). Dalam uji tumbukan maupun uji remasan, beberapa contoh tanah dicampur dengan jumlah air yang makin bertambah banyak, dipadatkan di dalam cetakan, dan ditimbang. Apabila diketahui berat tanah basah di dalam cetakan yang volumenya diketahui maka berat isi tanah basah (γb) dapat langsung dihitung berat tanah basah di dalam cetakan per volume cetakan. Kemudian berat berat isi kering (γkering) dalam satuan (g/cm3) dapat dihitung sebagai berikut : = basah ......................................................................................... (1) γ kering
1
w(%) 100
dimana w(%) sama dengan persen kadar air, pada rumus di atas adalah kadar air setelah dipadatkan. Dari data beberapa contoh yang dipadatkan dipakai untuk menggambarkan kurva berat isi kering terhadap kadar air (Bowles 1991). Menurut Gill dan Van den Berg (1967) pemadatan tanah adalah sifat dinamik tanah dimana tingkat kepadatan naik. Dalam hal ini pengeringan dan pengerutan dapat juga meningkatkan kepadatan tanah selain gaya-gaya mekanis yang bekerja pada tanah.
Konstruksi Perkerasan Tebal konstruksi perkerasan dapat dihitung dengan beberapa cara seperti berikut ini.
7
1. Rumus Empiris Berdasarkan Kelas Jalan dan Keadaan Tanah Dasar Rumus ini dibuat berdasarkan pengalaman-pengalaman, dan disusun secara sederhana sebagai berikut : h = k1 P ........................................................................................................ (2) dimana : h = tebal perkerasan, cm P = Kelas jalan, ton (Tabel 1) k1 = koefisien yang tergantung tanah dasar, cm/ton (Tabel 2) Tabel 1 Kelas jalan Kelas jalan I II III IIIa IV V Sumber : Soedarsono, 1979
Tekanan gandar tunggal (ton) 7.0 5.0 3.5 2.75 2.0 1.5
Tabel 2 Nilai koefisien k1 Klasifikasi Tanah Dasar Tanah bagus Tanah baik Tanah sedang Tanah jelek Tanah jelek sekali
Jenis Tanah Dasar -Tanah pasir berkerikil -Tanah pasir berbatu -Tanah pasir -Tanah liat atau silt -Tanah liat atau silt mengandung tanah organik. -Tanah rawa. -Tanah lumpur
Nilai k1 (cm/ton) 2.5 2.5 5.0 7.5 10 -
Sumber : Soedarsono, 1979 2. Rumus Empiris Berdasarkan Jumlah Tonase Kendaraan yang Lewat dan Keadaan Tanah Dasar Pertimbangan lain adalah bahwa tebal perkerasan tergantung dari total berat (tonase) kendaraan yang lewat dalam satu hari satu malam (24 jam). Tebal perkerasan dihitung dengan rumus : h = k2 Σ P ..................................................................................................... (3) dimana : h = tebal konstruksi perkerasan, cm Σ P = P1+P2+P3+.......P = jumlah berat (tonase) kendaraan yang lewat, ton k2 = koefisien, cm/100ton (Tabel 3)
8
Tabel 3 Nilai koefisien k2 Klasifikasi Tanah Dasar Nilai k2 (cm/100 ton) Tanah bagus 1 Tanah baik 2 Tanah sedang 3 Tanah jelek 4 Tanah jelek sekali Sumber : Soedarsono, 1979
Tebal minimum perkerasan (cm) 10 20 30 40 -
3. Tebal Perkerasan dengan Metode tanpa Bahan Pengikat Pada metode ini dianggap bahwa seluruh konstruksi perkerasan terdiri dari butiran-butiran lepas yang mempunyai sifat seperti pasir yaitu meneruskan setiap gaya tekan ke segala arah penjuru dengan sudut rata-rata 450 terhadap garis vertikal, sehingga penyebaran gaya tersebut merupakan bentuk kerucut dengan sudut puncak 900, seperti terlihat pada Gambar 3. Pada Gambar 3 terlihat bagian perkerasan atas akan menerima tekanan penyebaran beban yang paling besar, dan semakin bawah semakin kecil karena penyebaran gaya semakin meluas, sehingga pada tebal perkerasan tertentu (h) tekanan dari atas sudah kecil atau sama dengan daya dukung tanah dasar (subgrade) yang diijinkan atau
σα ≤ σtnh ...................................................................................................... (4) dimana : σα = tekanan dari atas akibat beban kendaraan σtnh = daya dukung tanah dasar yang diijinkan
Gambar 3 Penyebaran beban roda kendaraan 4. Rumus-rumus Dasar Tebal Perkerasan Jalan Tebal perkerasan jalan tergantung kepada penyebaran beban roda kendaraan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Berdasarkan hukum keseimbangan, gaya muatan W harus sama dengan tegangan tanah (τt), maka :
9
W = luas daerah tekanan x τt 0.5 P = π r2 τt , r = h maka 0.5 P = π h2 τt h
=
P
.............................................................................................. (5) 2 t karena P bergerak berkali-kali, maka P menjadi P dinamis = γP, jadi P h = ............................................................................................. (6) 2 t dimana : h = tinggi atau tebal perkerasan P = tekanan gandar tunggal (statis) yang maksimum W = tekanan roda statis. σt = Kekuatan tanah atau tegangan tanah γ = koefisien keamanan kejut dan untuk getaran-getaran karena lalu-lintas, nilainya berkisar 1. 25 – 4 tergantung kepadatan lalu –lintas. Dalam rumus berikutnya pengaruh luas bidang kontak antara ban karet dan muka jalan diperhitungkan, pada Gambar 4 diperlihatkan bidang kontak permukaan antara ban dengan jalan.
Gambar 4 Bidang kontak permukaan ban kendaraan dengan jalan Pada rumus (6) bahwa r = h, tetapi sekarang menjadi r = h + a, maka pada rumus berikut ini menjadi, P h +a = ......................................................................................... (7) 2 t h =
P - a........................................................................................... (8) 2 t
Bila nilai γ kita masukkan pada rumus 6 dengan mengambil nilai γ = 4 untuk lalu-lintas sangat sibuk dan σt = 2 σt yang diijinkan, maka
10
h
=
4P 2 2 t ijin
P .......................................................................................... (9) t ijin P disini adalah tekanan gandar tunggal maksimum yang mungkin terjadi. Bila P diganti dengan tonase kelas jalan atau Po (standar tekanan gandar tunggal), maka didapat :
h
=
Po = 0.5 P atau P = 2Po, maka rumus menjadi : 2 Po h = ........................................................................................ (10) t ijin Nilai dari tegangan ijin atau σt,ijin bisa dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Tegangan ijin tanah atau σt,ijin Klasifikasi Tanah Dasar (Sub grade) Tanah bagus
Jenis Tanah
-Tanah pasir berbatu atau berkerikil -Tanah pasir Tanah baik -Tanah liat atau silt Tanah sedang -Tanah liat atau silt mengandung tanah Tanah jelek organik. -Tanah rawa. Tanah jelek sekali -Tanah lumpur Sumber : Soedarsono, 1979
σt,ijin atau tegangan ijin tanah (kg/cm2) ±9 ± 2.75 ± 1.75 ± 1.25 -
Pada rumus 6 tersebut di atas sebenarnya adalah untuk lalu-lintas sangat padat, dan apabila untuk lalu-lintas jarang bisa diambil 50% dari ketebalan yang dihasilkan. Juga untuk lalu-lintas sedang dan lalu-lintas padat hasilnya bisa dikalikan masing-masing 70% dan 90%. 5. Sistem California Bearing Ratio (CBR) CBR merupakan ukuran kekuatan tanah sama dengan σt. Perbedaannya kalau CBR pengukuran kekuatan tanah di lapangan dengan salah satu cara menggunakan penetrometer. Perkerasan dari batu pecah yang berbutir rapat kekuatannya dinilai 100%, sedangkan lumpur dinilai 0%. Di bawah ini ditunjukkan CBR dengan modulus elastisitas atau E. σt = ε E ...................................................................................................... (11) dimana : σt = kekuatan tanah atau tegangan tanah ε = suatu konstanta E = modulus elastisitas Menurut Yeuffroy’s nilai ε yang biasa dipakai adalah ε = 0.008 Menurut Acun dan Fox’s nilainya ε = 0.006 dan
11
Menurut Heukelom nilai E adalah : E (kg/cm) = ± 110 CBR (%) Menurut Darmon nilai E adalah : E (kg/cm) = ± 100 CBR (%) Sebenarnya antara E dan CBR tidak mempunyai hubungan yang linear atau berbanding lurus. Menurut percobaan laboratorium nilai E berkisar antara E = 50200 CBR, tetapi untuk tanah cukup diambil E=100CBR, sedangkan nilai epsilon diambil ε = 0.008, sehingga rumus 11 menjadi : σt = ε E = 0.008 x 100 CBR = 0.8 CBR............................................... (12) Sekarang nilai σt dimasukkan ke dalam rumus 6, maka : P h = 2 0.8CBR h
=
P .................................................................................... (13) 1.6 CBR
γ adalah koefisien jenis kepadatan lalu-lintas dimana γ = 4 untuk lalu-lintas sangat padat, γ = 3.085 untuk lalu-lintas padat, γ = 2.17 untuk lalu-lintas sedang, γ = 2.170 untuk lalu-lintas sedang dan γ = 1.25 untuk lalu-lintas jarang. P(ton) sama dengan 1000 P(kg), maka nilai koefisien jenis kepadatan lalu-lintas dimasukkan ke rumus 13 menjadi: Untuk lalu lintas sangat padat = ha =
4 x1000 P P = 28 .......................... (14) 1.6 t CBR CBR
Untuk lalu lintas padat
= hb =
3.085 x1000 P P = 25 ..................... (15) 1.6 t CBR CBR
Untuk lalu lintas sedang
= hc =
2.17 x1000 P P = 20 ...................... (16) 1.6 t CBR CBR
Untuk lalu lintas jarang
= hd =
1.25 x1000 P P = 16 ....................... (17) 1.6 t CBR CBR
dimana : h dalam cm, P dalam ton, CBR dalam %
Dynamic Cone Penetrometer (DCP) Pada umumnya perencanaan jalan di Indonesia khususnya di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum menggunakan nilai CBR (California Bearing Ratio) dalam menentukan tebal perkerasan berdasarkan proyeksi lalu lintas dan umur rencananya. Data CBR dapat digunakan untuk mengevaluasi perlunya pemeliharaan dan peningkatan jalan. Dalam usaha mendapatkan data CBR di lapangan, dapat dilakukan penentuan nilai CBR di tempat (in situ) secara konvensional (SNI 03-1738-1989), namun cara ini memerlukan waktu yang relatif lama dan peralatan CBR laboratorium yang relatif mahal (SNI 03-1744-1089).
12
Cara lain yang relatif baru tetapi sudah diterapkan di lapangan adalah dengan alat Dynamic Cone Penetrometer (DCP). Alat DCP pada Gambar 5 terdiri dari bagian tangkai baja yang dibagian ujung dipasang konus baja dengan ukuran dan bentuk tertentu, dan di bagian atas dilengkapi dengan batang pengarah jatuh palu penumbuk. Metode DCP ini adalah cara pengujian perkerasan jalan (tanah dasar /subgrade, pondasi bahan berbutir) yang relatif cepat, yaitu dengan masuknya ujung konus ke dalam tanah yang ditimbulkan oleh pukulan palu dengan beban dan tinggi jatuh tertentu menerus sampai kedalaman tertentu pula. Untuk memperkirakan nilai CBR tanah atau bahan granular dapat menggunakan beberapa metode, namun yang cukup akurat dan paling murah saat ini adalah menggunakan DCP. Disamping itu DCP adalah salah satu pengujian tanpa merusak atau Non Destructive Testing (NDT), yang digunakan untuk lapis pondasi batu pecah, pondasi bawah sirtu, stabilitas tanah dengan semen atau kapur dan tanah dasar. Transport Road Research (TRL 1993) mengembangkan prosedur pengujian lapis perkerasan dengan DCP, dan dilaporkan dalam Overseas Road Note 31 (1993) menggunakan hubungan sebagai berikut : Van Vuuren, 1969, (Konus 600) : Log CBR = 2,632 – 1,28 (Log DCP) 0 Kleyn & Haden, 1983, (Konus 30 ) : Log CBR = 2,555 – 1,145 (Log DCP) Smith & Pratt, 1983, (Konus 300) : Log CBR = 2,503 – 1,15 (Log DCP) TRL, Road Note 8, 1990,(Konus 600): Log CBR = 2,48 – 1,057 (Log DCP)
Gambar 5 Dynamic Cone Penetrometer (DCP)
13
Pada Tabel 5 diperlihatkan contoh hasil pengujian daya dukung perkerasan jalan yang menggunakan Dynamic Cone Penetrometer (DCP). DCP merupakan alat uji yang mana hasil pengukurannya dikorelasikan dengan nilai California Bearing Ratio (CBR) yang nantinya dipergunakan untuk menghitung kekuatan daya dukung tanah untuk jalan. Tabel 5 Contoh hasil pengujian DCP No
Pukulan
a 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
b 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 3 3 3 3 3 3
Penetrasi Kedalaman (mm) c 65 106 139 167 200 239 262 277 300 329 355 370 381 398 416 440 515 581 625 664 715 783 864 933
Kumulasi Jumlah Pukulan d 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 83 86 89 92 95 98 101
Elevasi e 146 187 220 284 281 320 343 358 381 410 436 451 462 479 497 521 596 662 706 745 796 864 945 1014
Tebal (mm)
DCP (mm/pukulan)
CBR (%)
Keterangan
f
g
h
i AC-Binder, 146
Agg A, 121.6 mm, El: 267.6 mm 212
6.1
45.0
163
4.1
68.4
218
24.2
10.4
Agg B, 318 mm, El: 585 mm
Selected Embackment El: 1014 mm
Sumber : Dahlan, 2005 Pada Gambar 6 ditampilkan hasil pengujian DCP dan CBR, serta korelasi antara DCP dengan CBR.
Gambar 6 Contoh grafik hasil pengujian DCP dan CBR (Dahlan, 2005)
14
Pembebanan Terhadap Pipa Saluran tersier pipa yang ditempatkan di bawah jalan usahatani akan mengalami pembebanan akibat beban yang ada di atasnya. Beban-beban tersebut adalah seperti berikut : 1. Beban Mati Beban mati akibat berat sendiri tanah timbunan atau pembebanan arah vertikal, menurut teori Marston-Spangler dapat dihitung dengan rumus : PM = γ H Bc Ke ........................................................................................ (18) dimana : PM = Beban mati total per-unit panjang (kg/m). γ = Berat isi tanah (kg/m³). H = Tinggi timbunan di atas puncak pipa (m). Bc = Diameter pipa (m). Ke = Koefisien tekanan tanah pada kondisi perletakan pipa tergantung faktor rasio penurunan atau rsd, jika pipa diletakkan pada batuan atau tanah keras, maka rsd = 1 Jika pipa diletakan pada tanah teguh, maka rsd = 0.8 – 1.5 Dan jika diletakkan pada tanah biasa, maka rsd= 0.5 – 0 Pembebanan arah horizontal dapat diabaikan karena pada umumnya relatif kecil. 2. Beban Hidup Beban hidup adalah beban bergerak atau kendaraan yang ada di atas jalan usahatani. Boussinesq dan Newmark menyatakan beban hidup untuk beban terpusat dipermukaan adalah sbb PH = Q Cb/ H² ........................................................................................... (19) dimana : PH Q Cb H
= Beban hidup rata-rata lalu-lintas pada tepi atas pipa (kg/m) = Beban roda terpusat di permukaan jalan (kg) = Koefisien Boussinesq (lihat pada Gambar 7 koefisien Bussinesq ) = Tinggi timbunan di atas puncak pipa (m)
Gambar 7 Koefisien Boussinesq
15
Beban vertikal kombinasi beban mati dan beban hidup puncak pipa adalah :
yang diterima
Pk = Cp (PM + PH)................................................................................... (20) dimana : Pk = Beban kombinasi yang bekerja pada pipa Cp = Koefisien reduksi, untuk struktur kaku Cp = 2 dan untuk struktur lentur lebih kecil dari
Gambar 8 Koefisien transfer Cp untuk pipa lentur