BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan bahwa jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan
melalui
pendekatan
pengembangan
wilayah
agar
tercapai
keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.
2.1
Definisi dan Klasifikasi Jalan Wignall dkk (1999) mengatakan salah satu bagian dari sistem transportasi
yang merupakan prasarana umum/infrastruktur adalah jalan, dan secara sederhana jalan didefinisikan sebagai jalur dimana masyarakat mempunyai hak untuk melewatinya tanpa diperlukannya izin khusus untuk itu. Menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004, definisi jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
permukaan tanah dan/atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Pada dasarnya pengelompokan jalan berdasarkan UU No. 38/2004 tentang jalan adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan sistem jaringan jalan terdiri dari: a. Sistem jaringan jalan primer (antar kota) b. Sistem jaringan jalan sekunder (dalam kota) 2. Berdasarkan fungsi jalan, dimana dalam setiap sistem jaringan tersebut peran jalan dipisahkan menjadi: a. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi. b. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. c. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
d. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan rata-rata rendah. 3. Berdasarkan status jalan seperti yang disampaikan pada Gambar 2.1, menurut wewenang pengelolaan jalan tersebut akan dipisahkan statusnya menjadi: a. Jalan nasional, yaitu jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, jalan strategis serta jalan tol. b. Jalan provinsi, yaitu jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota atau antar ibukota kabupaten/kota dan jalan strategis provinsi. c. Jalan kabupaten, yaitu jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan kota, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten dan jalan strategis kabupaten. d. Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan
dengan
persil,
menghubungkan
antar
persil,
serta
menghubungkan antar pusat permukiman yang berada dalam kota.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
e. Jalan desa, yaitu jalan umum yang menghubungkan kawasan dan atau antar permukiman di dalam desa serta jalan lingkungan.
Negara Tetangga
Negara Tetangga Jalan Negara/Nasional (Arteri Primer)
Ibukota Propinsi
Ibukota Propinsi Jalan Propinsi (Kolektor Primer)
Ibukota Kab/Kota
Ibukota Kab/Kota Jalan Kabupaten (Lokal Primer)
Ibukota Kecamatan Gambar 2.1
Ibukota Kecamatan Pembagian Status Pada Jaringan Jalan Primer (Tanan, 2005)
2.2 Pembagian Kewenangan Penyelenggaraan Jalan Dalam mekanisme penyelenggaraan jalan, adanya perubahan-perubahan pada era otonomi daerah juga turut mempengaruhi segala kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan jalan. Menurut Permen PU No.78 Tahun 2005 penyelenggara jalan nasional adalah menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan jalan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
nasional termasuk jalan tol. Dalam penyelenggaraan jalan terdapat 3 (tiga) tugas yang diemban oleh pemerintah untuk melayani kebutuhan perjalanan di wilayahnya, yakni pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. UU No. 38 Tahun 2004 menyatakan tugas-tugas tersebut dibagi secara struktur sesuai tugas pokok dan fungsi jaringan jalannya, seperti pada Tabel 2.1. Secara umum penyelenggaraan jalan tidak dapat dipisahkan dari sejumlah kebijakan yang melatarbelakangi konsep penyelenggaraannya. Menurut Sinaga (2006) pada Gambar 2.2, alur pelaksanaan penyelenggaraan jalan dimulai dari ditetapkannya sejumlah undang-undang dan peraturan pemerintah tingkat pusat maupun daerah yang menjadi dasar kebijakan umum dan kebijakan teknis bagi penyelenggaraan jalan di Indonesia yang
merupakan penentu bagi proses
perencanaan baik jaringan maupun teknis, studi kelayakan, program dan anggaran, proses konstruksi, operasi
dan pemeliharaan yang semuanya sangat berkaitan
dengan hasil output, outcome serta dampak dari penyelenggaraan jalan tersebut.
Gambar 2.2 Bagan Alir Penyelenggaraan jalan (Sinaga, 2006)
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Tabel 2.1 Pembagian Tugas dan Penyelenggaraan Jalan No
Tugas Penyelenggaraan
Jalan Nasional
Jalan Provinsi
PEMBINAAN 1.1. Pengaturan Perumusan kebijakan Pusat Provinsi perencanaan Penyusunan kebijakan Pusat Provinsi perencanaan umum dan pemrograman Penyusunan peraturan Pusat Provinsi perundangan Penyusunan pedoman Pusat Provinsi dan standar teknis 1.2. Pelayanan Perijinan Kab – Kota Kab – Kota 1
Informasi 1.3. Pemberdayaan Bimbingan penyuluhan Pendidikan pelatihan 1.4. Penelitian pengembangan Penelitian
dan
Pusat
dan
Pusat
Pusat Pusat
Pengembangan
Pusat
Perencanaan Teknis 2 Pelaksanaan Konstruksi Pengoperasian Pemeliharaan PENGAWASAN
Provinsi
Jalan Tol
Jalan Khusus
Kab – Kota Kab - Kota
Pusat
Pusat
Kab – Kota
Kab – Kota/Desa
Pusat
Pusat
Kab – Kota
Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa
Pusat
Pusat
Pusat
Pusat
Kab – Kota
Kab – Kota Kab - Kota Pusat/Prov/Ka b – Kota Kab – Kota Kab – Pusat/Korpora Kota/Desa si
Instansi Terkait Instansi Terkait
Pusat/Provins Kab – Kota i Pusat/Provins Kab – Kota i
Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa
Pusat
Pusat
Pusat
Pusat
Pusat/Provins i Pusat/Provins i Pusat/Provins i
ProvinsiKab-Kota ProvinsiKab-Kota ProvinsiKab-Kota
Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa
Pusat
Pusat/Korpor asi Pusat/Korpor asi Pusat/Korpor asi
Provinsi
Kab – Kota
Korporasi
Korporasi
Provinsi
Kab – Kota
Korporasi
Korporasi
Provinsi
Kab – Kota
Korporasi
Korporasi
Provinsi
Kab – Kota Kab – Kota
Pusat/ Korporasi Korporasi
Korporasi
Provinsi Pusat
ProvinsiKab-Kota
Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa Kab – Kota/Desa Kab - Kota
Pusat
Pusat
dan
Pengkajian
PEMBANGUNAN Studi Kelayakan
3
Pusat
Jalan Jalan Desa Kabupaten/K ota
Pusat/Provi nsi Pusat/Provi nsi Pusat/Provi nsi Pusat/Provi nsi Pusat/Provi nsi Pusat
Pusat Pusat
Korporasi
Sumber : Tanan (2005)
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Tanan (2005) dari tujuan penyelenggaraan jalan tersebut setidaknya terdapat beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan jalan di Indonesia, yakni aspek yang berkaitan dengan pemerataan aksessibilitas ke seluruh wilayah, keselamatan dan pengoperasian jalan, efisiensi operasi, yang dalam hal ini cepat dan lancar, efektifitas jaringan jalan sebagai penunjang pembangunan, biaya yang seekonomis mungkin dan terjangkau serta keterpaduan antar moda. Wewenang
penyelenggaraan
jalan
meliputi
kegiatan-kegiatan
yang
mencakup siklus kegiatan dan perwujudan jalan yang terdiri dari pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan yang dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan penyusunan peraturan perundangan jalan. Khususnya untuk penyusunan peraturan perundang-undangan jalan hanya dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum. 2. Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan. 3. Pembangunan jalan adalah kegiatan pemograman, penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan. 4. Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan dan pembangunan jalan. Pengawasan yang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
dilakukan
tersebut
meliputi
kegiatan
evaluasi,
pengkajian
dan
pengendalian. Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan pengendalian adalah kegiatan pengamatan dan tindakan turun tangan.
2.3
Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Bidang Jalan Untuk menjamin tersedianya pelayanan publik bagi masyarakat, maka
berdasar pasal 3 ayat 3 PP No.25/2000 bahwa daerah wajib melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dalam hal ini standar pelayanan minimal merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat (pasal 2 ayat 4 butir b). Dengan kata lain bahwa untuk setiap bidang pelayanan harus ditetapkan suatu standar oleh Departemen Teknis terkait yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Dalam hal ini untuk bidang jalan adalah Departemen Kimpraswil telah mengeluarkan draft Standar Pelayanan Minimal seperti yang tercantum dalam Tabel 2.2. SPM ini dikembangkan dalam sudut pandang publik sebagai pengguna jalan, dimana ukurannya merupakan common indicator yang diinginkan oleh pengguna. Ada 3 (tiga) keinginan dasar para pengguna jalan, yang kemudian dikembangkan menjadi dasar penentuan SPM yakni: 1. Kondisi jalan yang baik (tidak ada lubang). 2. Tidak macet (lancar setiap waktu). 3. Dapat digunakan sepanjang tahun (tidak banjir waktu musim hujan).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Tabel 2.2 Standard Pelayanan Minimum No.
Bidang Pelayanan
Standar Pelayanan Kuantitas Cakupan
Konsumsi/Produksi
Kualitas
Keterangan
1. Jaringan Jalan Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) A. Aspek Aksesibilitas
B. Aspek Mobilitas
C. Aspek Kecelakaan
seluruh jaringan
Indeks Aksesibilitas
sangat tinggi >5000
>5
tinggi > 1000
>1.5
sedang > 500
>0.5
rendah > 100
>0.15
sangat rendah < 100
>0.05
PDRB per kapita (juta rp/kap/th)
Indeks Mobilitas
sangat tinggi >10
>5
tinggi > 5
>2
sedang > 2
>1
seluruh jaringan
rendah > 1
>0.5
sangat rendah < 1
>0.2
pemakai jalan
Indeks Kecelakaan 1
Panjang jalan/luas (km/km2)
panjang jalan/ 1000 penduduk
Kecelakaan/ 100.000 km. kend.
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) seluruh jaringan
sangat tinggi >5000 tinggi > 1000 sedang > 500
Indeks Kecelakaan 2
kecelakaan/ km/ tahun
rendah > 100 sangat rendah < 100 2
Ruas Jalan
A. Kondisi Jalan
B. Kondisi Pelayanan
Lebar Jalan Min.
Volume Lalulintas (kend/hari)
Kondisi Jalan
2x7m
lhr > 20000
sedang; iri < 6; rci > 6.5
7m
8000 > lhr > 20000
sedang; iri < 6; rci > 6.5 sedang; iri < 8; rci > 5.5
6m
3000 >l hr > 8000
4.5m
lhr < 3000
sedang; iri < 8; rci > 5.5
Fungsi Jalan
Pengguna Jalan
Kecepatan Tempuh Min
arteri primer
lalu lintas regional jarak jauh
25 km/jam
kolektor primer
lalu lintas regional jarak sedang
20 km/jam
lokal primer
lalu lintas lokal
20 km/jam
arteri sekunder
lalu lintas kota jarak jauh
25 km/jam
kolektor sekunder
lalu lintas kota jarak sedang
25 km/jam
lokal sekunder
lalu lintas lokal kota
20 km/jam
Sumber: Departemen Kimpraswil, 2001
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.4
Kegiatan Penanganan Jalan Tujuan penanganan jalan adalah untuk menjaga jalan agar fungsinya dalam
sistem infrastruktur jalan (atau lebih dikenal sebagai jaringan jalan) dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai tujuan penyelenggaraan jalan itu sendiri. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa tujuan penanganan jalan adalah untuk menjaga kondisi fisik dan operasional dari jaringan jalan agar tetap dalam kondisi baik sehingga dapat dioperasikan atau memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Dalam kondisi penyediaan dana yang terbatas (constrained budget available) ini maka prioritas untuk kegiatan penanganan jalan yang sifatnya untuk mempertahankan aset yang ada (assets preservation) merupakan suatu langkah yang wajar untuk dilakukan, dan jika kondisi keuangan memungkinkan maka dapat dilakukan penyempurnaan terhadap kondisi yang ada (assets enchancement) dan jika benar – benar dana yang tersedia sangat besar maka perlu adanya penambahan aset baru (assets expansion). Penanganan infrastruktur jaringan jalan nasional berdasarkan konsep wilayah kerja diusulkan dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu preservasi dan pembangunan. Penanganan preservasi bersifat menjamin jaringan jalan tetap dalam kondisi optimal. Jenis pekerjaannya dibagi dalam 2 jenis pekerjaan, yaitu pekerjaan pemeliharaan
dan
pekerjaan
rehabilitasi
jalan.
Sedangkan
penanganan
pembangunan bersifat menambah kuantitas sistem jaringan jalan baik dalam arah memanjang maupun dalam arah tranversal.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Departemen Kimpraswil memiliki definisi mengenai tujuan penanganan jalan yakni 100% jalan mantap. Tingkat kemantapan jalan ditentukan oleh dua kriteria yakni mantap secara konstruksi dan mantap dalam pelayanan lalu lintas.
2.5
Definisi Kemantapan Jalan Adapun definisi dari masing-masing istilah kemantapan jalan tersebut adalah
sebagai berikut : a. Jalan Mantap Konstruksi adalah jalan dengan kondisi konstruksi di dalam koridor mantap yang mana untuk penanganannya hanya membutuhkan kegiatan pemeliharaan. Jalan mantap konstruksi ditetapkan menurut Standar Pelayanan Minimal adalah jalan dalam kondisi sedang, dimana dalam studi ini digunakan batasan dengan besar IRI < 6 m/km. b. Jalan Tak Mantap Konstruksi adalah jalan dengan kondisi di luar koridor mantap yang mana untuk penanganan minimumnya adalah pemeliharaan berkala dan maksimum peningkatan jalan dengan tujuan untuk menambah nilai struktur konstruksi. Konsep tingkat kemantapan jalan yang digunakan oleh Ditjen Bina Marga berdasarkan ketersediaan data dari sistem pendataan yang dimiliki maka parameter yang digunakan adalah: 1. Parameter kerataan jalan atau International Roughness Index (IRI).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2. Parameter lebar jalan dan Rasio Volume/Kapasitas (VCR). 3. Parameter lebar jalan dan Volume Lalulintas Harian (LHR).
2.6
Jenis Kegiatan Penanganan Jalan Banyaknya permasalahan yang harus ditangani dalam penanganan
jalan,
namun secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Pemeliharaan kerusakan jalan yang diakibatkan oleh pengaruh cuaca, waktu dan kelelahan akibat beban lalulintas. b. Penyesuaian lebar jalan untuk memenuhi peningkatan volume lalulintas. c. Penyesuaian
kekuatan
struktur
jalan
untuk
memenuhi
tuntutan
perkembangan beban lalulintas dan teknologi kendaraan angkutan barang. d. Pembuatan jalan baru untuk meningkatkan aksesibilitas untuk wilayah yang berkembang cepat maupun untuk daerah yang masih terisolir. Penanganan jalan menurut PP No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan adalah kegiatan yang merupakan bagian dari penyelenggaraan pembangunan jalan yang mencakup penetapan rencana tingkat kinerja yang akan dicapai serta perkiraan biaya yang diperlukan. Program penanganan jaringan jalan disusun oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan dengan mengacu pada rencana jangka menengah jaringan jalan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh menteri sesuai dengan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
peraturan perundang-undangan. Penanganan jalan
bertujuan untuk menjaga
prasarana jalan sehingga fungsinya dalam sistem infrastruktur jalan dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai tujuan penyelenggaraan prasarana jalan itu sendiri. Dengan kata lain, secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa tujuan penanganan jalan adalah untuk menjaga kondisi fisik dan operasional dari jaringan jalan agar tetap dalam kondisi baik sehingga dapat dioperasikan atau memberikan pelayanan sebagaimana mestinya (Tanan, 2005). Di dalam Penjelasan PP No 34 Tahun 2006 Tentang Jalan disebutkan bahwa program penanganan jaringan jalan meliputi program pemeliharaan jalan, program peningkatan jalan, dan program konstruksi jalan baru. Menurut Ditjen Bina Marga (2005) dalam Mulyono (2007) lebih memfokuskan pengelolaan jalan pada kegiatan pemeliharaan
berkala
(periodic
maintenance)
dan
peningkatan
strukturnya
(betterment). Berdasarkan hal tersebut, penanganan jalan yang ditinjau pada penelitian ini adalah program pemeliharaan jalan dan peningkatan jalan, tidak termasuk program konstruksi jalan baru.
2.6.1 Pemeliharaan Jalan (Maintenance) Sesuai dengan karakteristiknya, jalan akan mengalami penurunan kondisi semenjak pertama kali digunakan hingga berakhirnya umur rencana (Kodoatie, 2005).
Sasaran penanganan jalan pada dasarnya
mempertahankan kondisi dan
tingkat pelayanan jalan sedemikian sehingga diperoleh biaya transportasi total yang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
minimum. Masalah pemeliharaan saat ini mulai banyak mendapat perhatian karena dapat mengurangi atau menekan terjadinya kerusakan yang lebih parah dan terjaganya usia pelayanan sehingga pemeliharaan jalan merupakan program penanganan jalan yang berada dalam prioritas tertinggi. Infrastruktur yang dijaga atau dipelihara akan dapat memiliki usia pelayanan yang lebih lama dibandingkan dengan yang tidak dikenakan kegiatan pemeliharaan. Mahmud dkk (2002) prinsip pemeliharaan jalan dilakukan dengan azas keuntungan ekonomi yang efektif dan efisien, melalui anggaran yang minimum dapat dihasilkan kondisi jalan yang optimum sehingga masyarakat merasa bahagia karena biaya angkutan menjadi rendah.
Biaya Biaya AngkutanKota
Biaya Pemeliharaan
Rendah
Mutu Jalan
Tinggi
Gambar 2.3 Hubungan Mutu Jalan Dengan Biaya Pemeliharaan dan Biaya Pengguna (Mahmud dkk, 2002)
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Gambar 2.3 menunjukkan hubungan mutu jalan dengan biaya pemeliharaan dan pengguna, dengan memperlihatkan semakin besar biaya pemeliharaan yang diinvestasikan maka kondisi jalan akan semakin baik dan semakin rendah biaya pengguna jalan dimana pada kondisi jalan tertentu (optimum) gabungan kedua biaya tersebut akan minimum. Jika kegiatan pemeliharaan diberikan secara teratur sesuai standar perencanaan dan tingkat pemeliharaan yang dibutuhkan maka secara tidak langsung kualitas pelaksanaan konstruksi dapat dievaluasi dan dapat menjamin pelayanan transportasi jalan yang teratur, tepat waktu dan aman, dan lingkungan yang bersih dan rapi. Pemeliharaan jalan menurut World Bank (1998) serta Schileser dan Bull (1993) dalam Zainuddin dkk (2009) adalah suatu proses untuk mengoptimalkan kinerja jaringan jalan sepanjang tahun yang secara umum bertujuan untuk menjaga agar jalan tersebut tetap berfungsi melayani kebutuhan ekonomi sosial masyarakat sepanjang tahun dan mengurangi tingkat kerusakan serta biaya operasi kendaraan. Menurut Mahmud dkk (2002) rencana pemeliharaan jalan meliputi sistem informasi, sistem manajemen aset, dan rencana penanganan pemeliharaan jalan yang meliputi pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala dan rehabilitasi. Pemeliharaan jalan dilakukan melalui tahap-tahap yang rasional dan terpadu yang dikenal dengan siklus pemeliharaan. Secara garis besar siklus tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.4. Perencanaan Umum
Penyusunan Program
Desain
Pelaksana an
Pangkalan Data UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Gambar 2.4 Siklus Pemeliharaan Jalan (Mahmud dkk, 2002) Perencanaan umum yaitu menyangkut analisis jaringan jalan secara keseluruhan yang ditujukan untuk memperkirakan kebutuhan biaya jangka menengah sampai jangka panjang, sesuai dengan target yang ditetapkan. Penyusunan program menyangkut penyusunan anggaran tahunan sesuai dengan kebutuhan penanganan pada masing-masing ruas, baik berdasarkan biaya yang telah diperkirakan ataupun berdasarkan biaya yang ditetapkan (dialokasikan). Secara sederhana, desain dapat diartikan sebagai membangun suatu fasilitas diatas kertas. Oleh karena itu pada tahap akhir desain sudah harus terlihat wujud (dimensi) serta mutu bahan dan mutu produk akhir fasilitas (dikenal dengan gambar rencana dan spesifikasi) bahkan perlu termasuk juga cara membangun dan cara pengendalian mutu. Pelaksanaan merupakan operasi lapangan dalam rangka menerjemahkan atau mewujudkan desain menjadi bentuk fisik. Pangkalan data dalam penyelenggaraan jalan sangat penting, namun kadang-kadang kurang mendapat perhatian. Karena merupakan rekaman lengkap setiap kegiatan maka pangkalan data merupakan sumber pengkajian dalam rangka lebih menyempurnakan penyelenggaraan pemeliharaan.
2.6.1.1 Pemeliharaan Rutin
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Pemeliharaan rutin merupakan kegiatan merawat serta memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi pada ruas-ruas jalan dengan kondisi pelayanan mantap. Pemeliharaan rutin hanya diberikan terhadap lapis permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendaraan (riding quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural dan dilakukan sepanjang tahun sedangkan pemeliharaan berkala dilakukan terhadap jalan pada waktu-waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya meningkatkan kemampuan struktural.
2.6.1.2 Pemeliharaan Berkala Pemeliharaan berkala merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang diperhitungkan dalam desain agar penurunan kondisi jalan dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai dengan rencana.
2.6.1.3 Rehabilitasi Rehabilitasi merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang tidak diperhitungkan dalam desain, yang berakibat menurunnya kondisi kemantapan pada bagian/tempat tertentu dari suatu ruas jalan dengan kondisi rusak ringan, agar penurunan kondisi kemantapan tersebut dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai dengan rencana
2.6.2. Peningkatan Jalan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Peningkatan jalan merupakan penanganan jalan guna memperbaiki pelayanan jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau geometriknya agar mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan atau dengan kata lain, peningkatan jalan dilakukan untuk memperbaiki kondisi jalan dengan kemampuan tidak mantap atau kritis menjadi jalan dengan kondisi mantap. Pekerjaan peningkatan jalan adalah pekerjaan yang ditujukan untuk menambah kemampuan struktur jalan ke Muatan Sumbu Tunggal (MST) yang lebih tinggi atau menambah kapasitas jalan. Program peningkatan jalan terdiri atas: 1.
Peningkatan struktur merupakan kegiatan penanganan untuk dapat meningkatkan kemampuan ruas-ruas jalan dalam kondisi tidak mantap atau kritis agar ruas-ruas jalan tersebut mempunyai kondisi pelayanan mantap sesuai dengan umur rencana yang ditetapkan.
2.
Peningkatan kapasitas merupakan kegiatan penanganan jalan dengan pelebaran perkerasan, baik menambah maupun tidak menambah jumlah lajur.
2.6.3
Pembangunan Konstruksi Jalan Baru Pengertian pembangunan konstruksi jalan baru adalah penanganan jalan dari
kondisi belum tersedianya badan jalan sampai kondisi jalan dapat berfungsi. Pekerjaan konstruksi jalan baru juga berarti pekerjaan membangun jalan baru berupa jalan tanah atau jalan beraspal.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Pembangunan jalan yang biasa di lakukan di Indonesia menurut Sulaksono (2001) mempunyai tahapan dimulai dari tahap perencanaan (planning), selanjutnya dilakukan studi kelayakan (feasibility study) dan perancangan detail (detail design), kemudian tahap konstruksi (construction) dan diakhiri tahap pemeliharaan (maintenance). 2.7
International Roughness Index (IRI) International Roughness Index adalah parameter untuk menentukan tingkat
ketidakrataan permukaan jalan. Parameter Roughness dipresentasikan dalam suatu skala yang menggambarkan ketidakrataan permukaan perkerasan jalan yang dirasakan pengendara. Ketidakrataan permukaaan jalan tersebut merupakan fungsi dari potongan memanjang dan melintang permukaan jalan. Disamping faktor-faktor tersebut, Roughness
juga dipengaruhi oleh parameter-parameter operasional
kendaraan, yang meliputi suspension roda, bentuk kendaraan, kedudukan kerataan kendaraan serta kecepatan. Wambold, dkk (`1981) dalam Tanan (2005) menyampaikan secara umum Roughness jalan dapat didefinisikan sebagai deviasi permukaaan jalan diukur dari satu bidang datar, ditambah parameter lain yang dapat mempengaruhi hal-hal sebagai berikut: gerakan dinamis kendaraan, kualitas perjalanan, beban dinamis konstruksi serta pengaliran air di permukaan jalan. International Roughness Index (IRI) digunakan untuk mengukur kekasaran permukaan jalan, kekasaran yang diukur pada setiap lokasi diasumsikan mewakili
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
semua fisik dilokasi tersebut. Kekasaran permukaan jalan adalah nama yang diberikan untuk ketidakrataan memanjang pada permukaan jalan. Ini diukur dengan suatu skala terhadap pengaruh permukaaan pada kendaraan yang bergerak diatasnya. Skala yang banyak digunakan di negara berkembang adalah International Roughness Index. Tingkat kerataan jalan (IRI) merupakan salah satu faktor/fungsi pelayanan (functional performance) dari suatu perkerasan jalan yang sangat berpengaruh pada kenyamanan pengemudi (riding quality). Nilai IRI adalah nilai ketidakrataan permukaan yaitu panjang kumulatif turun naik permukaan persatuan panjang yang dinyatakan dalam m/km. IRI adalah sebuah standar pengukuran kekasaran yang mengacu pada Response-Type Road Roughness Measurement System (RTRRMS). Metode pengukuran kerataan permukaan jalan yang dikenal pada umumnya antara lain metode NAASRA (SNI 03-3426-1994). Metode lain yang dapat digunakan untuk pengukuran dan analisis kerataan perkerasan adalah Rolling Straight Edge, Slope Profilometer /AASHO Road Test, CHLOE Profilometer, dan Roughometer (Yoder and Witczak, 1975 dalam Suwardo dan Sugiharto, 2004). Menurut Saleh, dkk (2008) pada dasarnya penetapan kondisi jalan minimal adalah sedang, dalam Gambar 2.5 terlihat berada pada level IRI antara 4,5 m/km sampai dengan 8 m/km tergantung dari fungsi jalannya. Jika IRI menunjukkan dibawah 4,5 artinya jalan masih dalam tahap pemeliharaan rutin, sementara jika IRI antara 4,5 sampai 8, yang dikategorikan pada kondisi sedang, berarti jalan sudah
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
perlu dilakukan pemeliharaan berkala (periodic maintenance) yakni dengan pelapisan ulang (overlay). Sedangkan jika IRI berkisar antara 8 sampai 12, artinya jalan sudah perlu dipertimbangkan untuk peningkatan. Sementara jika IRI > 12 berarti jalan sudah tidak dapat dipertahankan, sehingga langkah yang harus
dilakukan
rekonstruksi. PEMILIHARAAN BERKALA 4,5 < IRI < 8
RUSAK RINGAN 8 < IRI < 12
RUSAK BERAT 12 < IRI
PENINGKATAN Po
BATAS KONTRUKSI JALAN Pt LINTASAN IDEAL BATAS KRITIS
Iri < 4,5
Pemeliharaan Rutin
Iri < 4,5
Iri < 4,5
Pemeliharaan Rutin
Pemeliharaan Rutin
BATAS MASA PELAYANAN
JIKA TANPA PROGRAM PENINGKATAN JALAN TIDAK MAMPU LAGI MELAYANI LOS YANG ADA
Keterangan: Po : Service Ability Indeks Awal (PHO) Pt : Service Ability Indeks Akhir (Batas Umur Pelayanan) Nilai Po dan Pt tergantung pada klasifikasi Jalan (N, P, K) dan LHR
Gambar 2.5 Hubungan Antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan ( Saleh dkk, 2008)
Jalan
Direktorat Jenderal Bina Marga menggunakan parameter International Roughness Index (IRI) dalam menentukan kondisi konstruksi jalan, yang dibagi atas 4 kelompok. Berikut ditampilkan Tabel 2.3 penentuan kondisi ruas jalan dan kebutuhan penanganannya: Tabel 2.3 Penentuan Kondisi Ruas Jalan dan Kebutuhan Penanganan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Kondisi Jalan
IRI (m/km)
Kebutuhan Penanganan
Baik
IRI rata-rata 4.5
Pemeliharaan Rutin
Sedang
4.5 < IRI rata-rata 8.0
Pemeliharaan Berkala
Rusak
8.0 < IRI rata-rata 12
Peningkatan Jalan
Rusak Berat
IRI rata-rata > 12
Peningkatan Jalan
Sumber : IRMS
2.8
Konsep Dasar Penentuan Prioritas (Priority Setting) Penentuan prioritas (priority setting) dikembangkan sebagai dasar pembuatan
keputusan. Penentuan prioritas perlu dikembangkan dengan memahami sumbersumber daya yang bermanfaat untuk mencapai hasil/outcomes dan pengaruh/impact yang diharapkan. Ketersediaan sumber daya dapat menjadi faktor utama dalam penentuan prioritas. Sembel (2003) dalam Sembiring (2008) menyatakan keterbatasan waktu, tenaga dan dana menyebabkan ketidakmungkinan untuk melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan sehingga perlu untuk dilakukan prioritas. Faktor keterbatasan tersebut membuat prioritas menjadi penting, sehingga perlu dilakukan pembenahan dalam banyak hal yang semuanya harus dilakukan dengan waktu yang cepat, dana yang cukup serta kualitas yang utama sehingga perlu dilakukan suatu cara, yaitu dengan menyusun prioritas. Prioritas disusun berdasarkan tingkat kebutuhan dan disesuaikan dengan visi, misi, dan tujuan yang ingin dicapai. Pada umumnya, penyusunan prioritas akan memperhatikan masalah-masalah dasar yang dihadapi maupun faktor-faktor yang menghambat tercapainya suatu tujuan. Oleh karena itu,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
pemahaman terhadap akar permasalahan yang dihadapi menjadi modal utama bagi pengambil keputusan, khususnya yang terkait dengan masalah fundamental. Efektifitas penentuan prioritas terkait erat dengan proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, pengambilan keputusan harus mempertimbangkan tujuan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. 2.9
Manfaat Penentuan Prioritas Penentuan prioritas dipandang penting karena beberapa alasan sebagai
berikut: a. Agar tetap fokus pada hal-hal yang berada pada prioritas utama atau menuntun perencanaan dan proses update program. b. Untuk mengawasi agar penggunaan sumber daya langka lebih efektif. c. Untuk membangun komunikasi mengenai aktivitas antar stakeholder. d. Untuk menghubungkan antara kebijakan dan tujuan ekonomi sosial pemerintah.
2.10
Kriteria Dalam Menentukan Prioritas Dalam menentukan prioritas diperlukan beberapa kriteria yang menjadi dasar
dalam pemberian bobot pilihan. Peneliti sebelumnya menggunakan kriteria yang berbeda-beda dalam menentukan prioritas penanganan ruas jalan menurut kondisi daerah yang ditelitinya. Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang memiliki relevansi sehingga dapat dijadikan pertimbangan maupun perbandingan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
dalam penentuan prioritas penanganan jalan baik pemeliharaan, peningkatan dan pembangunan jalan. Tanan (2005) mengambil studi penanganan jalan provinsi dalam kondisi budget constrained (Studi Kasus Provinsi Nusa Tenggara Timur). Model alokasi dana yang dikembangkan dalam studi ini menggunakan pendekatan Analisis Multi Kriteria (AMK) dengan metode AHP. Bobot kriteria diberikan berdasarkan persepsi responden wakil stakeholders Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan masyarakat. Terlihat bahwa prosentase pencapaian jalan mantap sangat dipengaruhi oleh besarnya dana yang tersedia, kombinasi pengalokasian dana, serta laju penambahan nilai IRI (yang dipengaruhi oleh pemilihan metode prediksi). Simanullang (2009) menulis studi dengan judul Kajian Peningkatan Status Jalan Kabupaten Menjadi Jalan Provinsi di Humbang Hasundutan menggunakan lima kriteria yaitu pemerataaan aksessibilitas ke seluruh wilayah, kondisi dari ruas jalan, fungsi arus, efektifitas dampak terhadap pengembangan wilayah, dan efektifitas biaya pengembangan ruas jalan. Dari hasil analisis menunjukkan kriteria yang paling dominan adalah kriteria pengembangan wilayah
dan kriteria peningkatan
aksessibilitas. Sedangkan menurut Rochim, dkk (2007) adanya kebijakan pendanaan, dan kebijakan lainnya berakibat semua ruas jalan tidak dapat tertangani seluruhnya, untuk itu dalam penyusunan program penanganan jalan harus menghasilkan urutan prioritas/peringkat ruas-ruas jalan yang akan ditangani. Dengan memakai metode
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
seleksi untuk menentukan peringkat/prioritas tersebut yang dapat menampung berbagai kebijakan dan permasalahan yang terjadi, dalam hal ini metode yang diusulkan adalah Analitycal Hierarchy Process Method. Kriteria yang memperoleh intensitas kepentingannya/prioritas paling tinggi adalah kerusakan pada perkerasan jalan yaitu 56%, hal ini didukung dengan sub kriteria retak-retak (19%) dan deformasi/lubang-lubang (32%) yang mana bila kedua sub kriteria tersebut terjadi maka ruas jalan tersebut harus mendapat penanganan segera. Sedangkan untuk kriteria prilaku lalu lintas bobot tingkat pentingnya adalah pada posisi kedua yaitu 24%, ini karena terdapat sub kriteria derajat kejenuhan 14%. Untuk kriteria kerusakan pada samping jalan dan
public complain walaupun ada sedikit pengaruhnya,
dianggap kurang penting 6%. Hal yang sama dilakukan oleh Fataruba, dkk (2006) juga menggunakan metode AHP dalam penelitiannya. Kriteria yang digunakan adalah kriteria yang ada pada kondisi eksisting ditambah 6 kriteria baru (potensi ekonomi komoditi unggulan, manfaat pemakai jalan, penduduk pengguna ruas jalan, peranserta masyarakat, fasilitas umum, trayek angkutan) yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah wilayah studi. Pada penelitian ini, urutan prioritas usulan ditentukan berdasarkan besarnya jumlah manfaat yang didapat dari jumlah perkalian antara bobot kepentingan kriteria dengan nilai kriteria untuk setiap ruas jalan. Hasil pembobotan tingkat kepentingan kriteria adalah kondisi ruas jalan (27,66%), LHR (21,37%), potensi ekonomi komuditi unggulan (15,86%), manfaat pemakai jalan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
(12,26), trayek angkutan umum (9,60%), jumlah penduduk pengguna ruas jalan (5,56%), peran serta masyarakat (3,93%), dan jumlah fasilitas umum (3,76). Berdasarkan hasil evaluasi perbandingan, hasil urutan prioritas usulan dengan metode pembobotan dinilai lebih baik dan lebih lengkap. Anggreni dan Jennie (2009), dalam “Penentuan Prioritas Perbaikan Jalan Untuk Jalan Beraspal Studi Kasus Jalan Jayapura-Sentani Provinsi Papua” menggunakan Metode AHP dengan faktor pembanding Indeks Permukaan (erat kaitannya dengan nilai kerusakan jalan) yang berbobot 0.53, BCR (Benefit Cost Ratio) memperoleh bobot 0.05, kondisi drainase yang berbobot 0.10 dan LHR (Lalu Lintas Harian Ratarata) dengan bobot 0.32. Penilaian pembobotan ditentukan berdasarkan atas perbandingan antara faktor yang satu dengan lainnya kemudian dianalisa untuk menentukan faktor mana yang paling tinggi dan paling rendah peranannya terhadap level atas di mana faktor tersebut berada. Penelitian ini menghasilkan urutan prioritas perbaikan 9 (sembilan) ruas jalan antara Jayapura dan Sentani. Hadi (2009) dalam “Metode Analytical Hierarchy Process untuk Menentukan Prioritas Penanganan Jalan di Wilayah Balai Pemeliharaan Jalan Mojokerto” menggunakan 4 kriteria, kriteria pertama yaitu kerusakan pada perkerasan jalan dengan sub kriteria keadaan permukaan jalan, crack/retak-retak, deformasi/lubanglubang. Kriteria kedua kerusakan samping jalan yang dibagi menjadi kerusakan pada bahu jalan, kondisi drainase dan kondisi trotoar. Kriteria ketiga prilaku lalu lintas dibedakan menjadi derajat kejenuhan, waktu tempuh dan LHR. Kriteria keempat
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
adalah public complain. Dari hasil kuisioner pada 30 orang responden dan analisa pembobotan maka diperoleh urutan kriteria yang menjadi prioritas yaitu kerusakan pada perkerasan jalan (56%), kriteria prilaku lalu lintas (24%), kriteria kerusakan pada samping jalan dan publik komplain bobotnya 14 % dan 6 %. Dari hasil urutan pembobotan disusun prioritas ruas jalan yang mendapat penanganan baik jalan perkotaan maupun jalan luar kota.
2.11
Konsep Analisis Multi Kriteria (AMK) Salah satu cara untuk memprioritaskan serangkaian alternatif kebutuhan
penanganan jalan di setiap ruas jalan adalah dengan menggunakan Analisis Multi Kriteria (AMK), dimana diharapkan dengan pendekatan AMK ini pengambilan keputusan telah mempertimbangkan semua variabel sekomprehensif mungkin dengan tetap berada dalam koridor proses ilmiah dari proses pengambilan keputusan yang dilakukan. Bila dibandingkan dengan pendekatan pengambilan keputusan lain, AMK memiliki sejumlah keunggulan, yakni: a. Sudut pandang terhadap pemilihan bisa lebih dalam. b. Bisa mengakomodasikan berbagai interest yang berbeda. c. Pemilihan bisa lebih transparan serta hasil pemilihannya bisa diharapkan lebih baik.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Namun di lain pihak kerugian penggunaan metode ini adalah bahwa proses evaluasi lebih kompleks serta perlu data yang banyak dan kemungkinan sulit diinterpretasikan secara sederhana karena adanya bumbu scientific yang menutupi proses analisis. 2.12
Analytical Hierarchie Process Method Salah satu metode multi kriteria yang sering digunakan adalah Proses Hierarki
Analitik (PHA) atau disebut Analytical Hierarchy Process (AHP), yang pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburg, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Metoda yang dikembangkan oleh Thomas Saaty ini pada dasarnya merupakan prosedur yang sistematik untuk merepresentasikan elemen masalah secara hirarki (memecahkan masalah ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil). Metode AHP adalah proses membentuk nilai secara numerik untuk menyusun peringkat dari setiap alternatif keputusan berbasis pada bagaimana sebaiknya alternatif tersebut dicocokkan dengan kriteria para pembuat keputusan. Menurut Saaty (1993) metode AHP memiliki beberapa aksioma yang harus diperhatikan, antara lain: 1. Reciprocal condition axiom Aksioma ini menyatakan bahwa bila suatu alternatif atau kriteria A lebih disukai sebesar n kali daripada B, maka B lebih disukai sebesar 1/n kali daripada A.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2. Homogenity Aksioma ini menjelaskan bahwa dalam membandingkan antara mobil dan apel, tetapi harus apel dan apel. 3. Dependence Aksioma ini mengijinkan perbandingan antara sekumpulan elemen dengan sekumpulan elemen lainnya pada tingkat bawah tergantung elemen di tingkat atas. 4. Expectations Aksioma ini menyatakan bahwa suatu perubahan pada struktur akan membutuhkan suatu evaluasi baru terhadap hirarki. Ukuran yang banyak digunakan dalam AHP menggunakan konsep perbandingan berpasangan, yaitu
proses
membandingkan
antara
dua
kriteria
yang
perlu
dipertimbangkan untuk melakukan suatu pengambilan keputusan. Di dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible ke dalam aturan yang biasa sehingga dapat dibandingkan. Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai metode analisis adalah (Saaty, 1993): 1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak berstruktur. 2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. 4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan. 5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak berwujud untuk mendapatkan prioritas. 6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan
yang
digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. 7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. 8. AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka. 9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensinteis suatu hasil yang representatif dari penilaian-penilaian yang berbeda. 10. AHP memungkinkan orang memperhalus defenisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan. Disamping itu ada juga kelemahan metode AHP yaitu: 1. Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini merupakan persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian keliru. 2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari terbentuknya kebenaran model. Dalam pengerjaannya
metode Analytical
Hierarchy Process
(AHP)
menggunakan prinsip-prinsip yang meliputi: 1. Decomposition: suatu masalah yang kompleks dipecahkan ke level di bawahnya yang mempunyai elemen yang bisa ditangani. 2. Prioritization: dampak tiap elemen dinilai pada levelnya dan dibawa ke level di atasnya. 3. Synthesis: semua prioritas ditarik bersama untuk mendapatkan penilaian keseluruhan. 4. Sensitivity Analysis: kestabilan hasil terhadap perubahan-perubahan dicoba dengan apa yang akan terjadi jika dilakukan perubahan terhadap elemen analisis.
2.12.1 Decomposition Dekomposisi merupakan proses memecah persoalan yang utuh menjadi unsurunsurnya, sampai yang sekecil-kecilnya setelah mendefinisikan permasalahan yang terjadi. Sistem yang kompleks dapat dengan mudah dipahami jika memecahnya menjadi berbagai elemen pokok dan selanjutnya menusun elemen elemen tersebut secara hirarki.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Hirarki
merupakan
alat
mendasar
dari
fikiran
manusia
yang
melibatkan
pengidentifikasian elemen-elemen suatu persoalan. Langkah pertama dalam menyusun
hirarki adalah merumuskan tujuan dari suatu kegiatan penyusunan prioritas yang dilanjutkan dengan menentukan kriteria dari tujuan. Berdasarkan tujuan dan kriteria, maka beberapa pilihan perlu diidentifkasi agar pilihan tersebut merupakan pilihan yang potensial sehingga jumlah pilihan tidak terlalu banyak. Struktur hirarki AHP secara sederhana ditunjukkan dalam Gambar 2.6.
TUJUAN
KRITERIA
PILIHAN
I
II
III
I
II
III
Gambar 2.6 Skema Umum Susunan Hirarkhi/Proses Dekomposisi (Saaty, 1993)
2.12.2 Comparative Judgement Prinsip comparative judgement ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Dalam mengkuantifikasi pendapat kualitatif tersebut digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Menurut Saaty (2003), untuk berbagai permasalahan, skala 1 sampai 9 merupakan skala yang terbaik dalam mengkualifikasikan pendapat, yaitu berdasarkan akurasinya berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan Saaty ada pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Skala Banding Secara Berpasangan (Saaty,1993) INTENSITAS DEFINISI PENTINGNYA 1 Kedua elemen sama pentingnya 3
Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang yang lainnya
5
Elemen yang satu esensial atau sangat penting ketimbang elemen-elemen yang lainnya Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya
7
9
Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen yang lainnya
2,4,6,8
Nilai-nilai antara diantara dua pertimbangan yang berdekatan Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j
Kebalikan
PENJELASAN Dua elemen menyumbang sama besar pada sifat itu Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lainya Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya Satu elemen dengan kuat disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktik Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i Sumber : Saaty (1993)
Penggunaan penilaian skala banding berpasangan pada Tabel 2.4, maka perbandingan antar kriteria akan menghasilkan Tabel 2.5 berikut. Untuk memudahkan, dalam tabel diasumsikan hanya ada 4 (empat) kriteria. Dari tabel tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: 1. cij merupakan hasil penilaian/perbandingan antara kriteria i dengan j. 2. ci merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki kriteria ke i. 3. c merupakan penjumlahan semua nilai ci. 4. Bobot kriteria ke i diperoleh dengan membagi nilai ci. dengan c.
Tabel 2.5 Perbandingan Antar Kriteria Kriteria CR 1 CR 2 CR 3 CR 4 Jumlah
CR 1 c 21 c 31 c 41
CR 2 c 12 c 32 c 42
CR 3 c 13 c 23 c 43
CR 4 c 14 c 24 c 34 -
Jumlah c1 c2 c3 c4 C
Bobot bc 1 = c1/ C bc 2 = c2/ C bc3 = c3/C bc 4 =c 4/ C
Sumber : Susila dkk (2007)
Tabel 2.6. Perbandingan Antar Pilihan Untuk Kriteria C1 C1 OP1 OP2
OP1 o21
OP2 o12 -
OP3 o13 o23
OP4 o14 o24
Jumlah o1 o2
Bobot bo11=o1/O bo21=o2/ O
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
OP3 OP4 Jumlah
o31 o41
o32 o42
o43
o34 -
o3 o4 O
bo31= o3/ O bo41= o4/ O
Sumber : Susila dkk (2007)
Dengan menggunakan prosedur yang sama, maka dilakukan perbandingan antar pilihan (OP) untuk masing-masing kriteria. Tabel 2.6 mengilustrasikan perbandingan antar pilihan untuk kriteria 1 (C1) dengan penjelasan sebagai berikut: 1. oij merupakan hasil penilaian/perbandingan antara pilihan i dengan k untuk kriteria ke j. 2. oi merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki pilihan ke i. 3. o merupakan penjumlahan semua nilai oi. 4. boij merupakan nilai pilihan ke i untuk kriteria ke j. Teknik perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP berdasarkan judgement atau pendapat dari para responden yang dianggap sebagai key person. Mereka dapat terdiri atas pengambil keputusan, para pakar dan orang yang terlibat serta memahami permasalahan yang dihadapi. Pada umumnya jumlah ahli bervariasi, bergantung pada ketersediaan sumber daya. Penilaian dapat dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada masing-masing ahli ataupun dengan melakukan suatu pertemuan para ahli untuk melakukan penilaian.
2.12.3
Synthesis of Priority
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Hasil yang diperoleh dari tahap Comparative Judgement lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks Pairwise Comparison, yaitu perbandingan setiap elemen dengan elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan sehingga didapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif. Dan dari setiap matriks
pairwise comparison dihitung vektor eigen untuk
mendapatkan prioritas lokal, karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk melakukannya secara global harus dilakukan dengan mensintesis diantara prioritas lokal (Synthesis of Priority). Susila dkk (2007) menegaskan bahwa, mensintesis hasil penilaian merupakan tahap akhir dari AHP yang prosedurnya berbeda menurut bentuk hirarki. Pada dasarnya, sintesis ini merupakan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap pilihan pada masing-masing kriteria setelah diberi bobot dari kriteria tersebut. Secara umum, nilai suatu pilihan adalah sebagai berikut: n
bopi boij bc j
( 2.1)
i 1
dimana bop i = nilai/ bobot untuk pilihan ke i. Formula tersebut juga dapat disajikan dalam bentuk tabel. Untuk memudahkan, diasumsikan ada empat kriteria dengan empat pilihan seperti Tabel 2.7 berikut. Tabel 2.7 Matriks Sintesis CR 1 bc1
CR 2 bc2
CR 3 bc3
CR 4 bc4
Prioritas bop i
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
OP1 OP2 OP3 OP4
bo11 bo21 bo31 bo41
bo12 bo22 bo32 bo42
bo13 bo23 bo33 bo43
bo14 bo24 bo34 bo44
bop1 bop2 bop3 bop4
Sumber : Susila dkk (2007)
Sebagai contoh nilai prioritas/bobot pilihan 1 (OP1) diperoleh dengan mengalikan nilai bobot pada ktiteria dengan nilai yang terkait dengan kriteria tersebut untuk pilihan 1 sebagai berikut: bop i = bo11 * bc1+ bo12* bc2 + bo13* bc3+ bo14* bc4
(2.2)
Hal yang identik dilakukan untuk pilihan 2, 3 dan 4, dengan membandingkan nilai yang diperoleh masing-masing pilihan, prioritas dapat disusun berdasarkan besarnya nilai tersebut. Semakin tinggi nilai suatu pilihan, semakin tinggi prioritasnya, dan sebaliknya. Derajat kepentingan dapat dilakukan dengan pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen-elemen dan kriteria-kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil.
2.12.4 Logical Consistency
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Konsistensi memiliki dua makna, yaitu bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keseragaman dan relevansinya dan tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
2.12.5 Uji Konsistensi Konsistensi jawaban atau pembobotan setiap responden harus diperiksa untuk menjaga kualitas model secara keseluruhan. Dalam AHP tingkat konsistensi ini dinyatakan dengan besaran indeks konsistensi (CI). Jany dkk (2009) menyatakan bahwa, pada teori matriks diketahui bahwa kesalahan kecil pada koefisien akan menyebabkan penyimpangan kecil pula pada eigen value. Adapun penghitungan indeks konsistensi dilakukan dengan persamaan : CI = (maks – n)/(n-1)
(2.3)
maks = (Win*Wn)/n
(2.4)
dimana: maks = eigen value maksimum n
= ukuran matriks
Win
= nilai perbandingan antar kriteria i terhadap kriteria n
Wn
= tingkat kepentingan kriteria n
Penetapan suatu matriks dianggap konsisten jika nilai Rasio Konsistensi (CR) lebih kecil atau sama dengan 0,1. Revisi pendapat, dapat dilakukan apabila nilai rasio konsistensi pendapat cukup tinggi (≥ 10%). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi penggunaan revisi ini sangat terbatas mengingat akan terjadinya penyimpangan dari jawaban yang sebenarnya. Rasio konsistensi diperoleh dari persamaan:
CR
Dimana
CI RI
(2.5)
CR = Consistency Ratio CI = Consistency Index RI = Random Index (Tabel 2.8) Tabel 2.8 Nilai Indeks Random (RI)
Ukuran Matriks 1,2 3 4 5 6 7
Indeks Random (Inkonsitensi) 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32
Ukuran Matriks 9 10 11 12 13 14
Indeks Random (Inkonsitensi) 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57
Sumber: Saaty,1993
Nilai rentang CR yang dapat diterima tergantung pada ukuran matriks-nya, sebagai contoh, untuk ukuran matriks 3 x 3, nilai CR = 0,03; matriks 4 x 4, CR = 0,08 dan untuk matriks ukuran besar, nilai CR = 0,1 (Saaty, 2000 dalam Apriyanto, 2008).
Tabel 2.9
Nilai Rentang Penerimaan Bagi CR
No
Ukuran Matriks
Rasio Konsistensi (CR)
1
≤3 x 3
0,03
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2
4x4
0,08
3
>4x4
0,1
Sumber : Saaty (2000) dalam Apriyanto (2008)
Dari Tabel 2.9, jika nilai CR lebih rendah atau sama dengan nilai tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penilaian dalam matriks cukup dapat diterima atau matriks memiliki konsistensi yang baik. Sebaliknya jika CR lebih besar dari nilai yang dapat diterima, maka dikatakan evaluasi dalam matriks kurang konsisten dan karenanya proses AHP perlu diulang kembali.
2.12.6 Proses Penetapan Prioritas Tahapan pengambilan keputusan dalam AHP, secara singkat diuraikan sebagai berikut: 1. Indikasi jumlah alternatif yang akan diperiksa. 2. Tinjau dominansi suatu pilihan terhadap pilihan lainnya, terjadi ketika kinerja suatu alternatif sama/lebih baik untuk semua kriteria terhadap alternatif lainnya. 3. Lakukan pembobotan, dengan menggunakan matrix pair wise comparison. 4. Skoring kinerja tiap alternatif dengan memberikan penilaian terukur terhadap variabel kriteria secara kualitatif ataupun kuantitatif. 5. Mengalikan bobot setiap kriteria dengan score/rangking kinerja alternatif pada kriteria tersebut.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
6. Menjumlahkan nilai setiap kriteria sehingga didapat nilai total suatu alternatif. 7. Merangking
nilai
tersebut
sehingga
didapat
prioritas
alternatif.
Penyimpulan prioritas untuk setiap alternatif ditentukan oleh besarnya nilai kinerja alternatif, dimana alternatif yang menunjukkan nilai yang lebih besar akan lebih diprioritaskan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA