BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pepaya (C. papaya L.) Pepaya merupakan tanaman berbatang tunggal dan tumbuh tegak. Batang tidak berkayu, silindris, berongga dan berwarna putih kehijauan. Tanaman ini termasuk perdu. Tinggi tanaman berkisar antara 5-10 meter, dengan perakaran yang kuat. Tanaman pepaya tidak mempunyai percabangan. Daun tersusun spiral menutupi ujung pohon. Daunnya termasuk tunggal, bulat, ujung meruncing, pangkal bertoreh, tepi bergerigi, berdiameter 25-75 cm. Pertulangan daun menjari dan panjang tangkai 25-100 cm. Daun pepaya berwarna hijau. Helaian daun pepaya menyerupai telapak tangan manusia. Apabila daun pepaya tersebut dilipat menjadi dua bagian persis ditengah, akan nampak bahwa daun pepaya tersebut simetris. Bunga pepaya berwarna putih dan berbentuk seperti lilin (Muktiani, 2011). Tanaman pepaya adalah tanaman asal Amerika dari daerah sekitar Meksiko. Buah pepaya memang tergolong buah yang populer. Daging buahnya yang mengandung banyak air, rasanya manis dan menyegarkan. Mengandung banyak provitamin A, vitamin C, juga mineral dan kalsium. Tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1000 m dpl (Kalie, 2004). Biji pepaya bentuknya agak bulat, besarnya dapat mencapai 5 mm dan terdiri dari embrio, jaringan bahan makanan dan kulit biji. Banyaknya biji tergantung dari besar kecilnya buah. Permukaan biji agak keriput dan dibungkus 5
6
oleh kulit ari yang bersifat seperti agar atau transparan, kotiledon putih, rasa biji pedas atau tajam dengan aroma yang khas (Kalie, 2004). Kandungan kimia yang terdapat dalam biji pepaya adalah glucoside cacirin dan carpaine. Getah mengandung papain, chymopapain, lisosim, lipase, glutamin, dan siklotransferase. Glucoside cacirin berkhasiat sebagai obat cacing, meluruhkan haid (emenagog), dan karminatif. Papain membantu mencerna protein di lambung dan digunakan untuk membantu pencernaan yang kurang baik dan radang lambung (Dalimartha, 2009). Biji juga mengandung senyawa benzil isotiosianat (suatu aglikon glikosida glukotropeolin), glikosida sinigrin, enzim mirosin, dan karpasemina. Benzil isotiosianat bersifat bakterisid dan antelmintik (Umri, 2010). Biji pepaya dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri karena biji pepaya diketahui mengandung senyawa kimia seperti golongan fenol, alkaloid, dan saponin (Warisno, 2003). Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kental metanol biji pepaya diketahui mengandung senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid, flavonoid, alkaloid, dan saponin. Secara kualitatif, berdasarkan terbentuknya endapan atau intensitas warna yang dihasilkan dengan pereaksi uji fitokimia, diketahui bahwa kandungan senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid merupakan komponen utama biji pepaya (Sukadana, 2007). Hasil analisa fitokimia yang dilakukan di Afrika menunjukan biji pepaya mengandung flavonoid, tanin, saponin, anthraquinon dan athosianosid (Arsyiyanti, 2012).
7
2.1.1
Tanin Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam
golongan polifenol. Senyawa tanin ini banyak dijumpai pada tumbuhan. Tanin memiliki aktivitas antibakteri, secara garis besar mekanisme yang diperkirakan adalah toksisitas tanin dapat merusak membran sel bakteri, senyawa astringent tanin dapat menginduksi pembentukan kompleks ikatan tanin terhadap ion logam yang dapat menambah daya toksisitas tanin itu sendiri. Mekanisme kerja tanin diduga dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Akibat terganggunya permeabilitas, sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat dan mati (Ajizah, 2004). Tanin juga mempunyai daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein, karena diduga tanin mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik. Efek antibakteri tanin antara lain melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik (Masduki, 1996). 2.1.2
Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak
reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim. Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenol (Sjahid, 2008). Mekanisme kerja flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein extraseluler yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri. Mekanisme kerjanya dengan cara mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi (Juliantina 2008).
8
2.1.3
Saponin Saponin merupakaan senyawa glikosida kompleks dengan berat molekul
tinggi yang dihasilkan terutama oleh tanaman. Berdasarkan struktur kimianya, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama yaitu kelas streroid, kelas steroid alkaloid, dan kelas triterpenoid. Sifat yang khas dari saponin antara lain berasa pahit, berbusa dalam air. Triterpenoid adalah senyawa metabolit sekunder yang merupakan komponen utama biji pepaya (Carica papaya L.) (Sukadana, 2007). Mekanisme triterpenoid sebagai antibakteri adalah bereaksi dengan porin (protein transmembran) pada membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya porin. Rusaknya porin yang merupakan pintu keluar masuknya senyawa akan mengurangi permeabilitas membran sel bakteri yang akan mengakibatkan sel bakteri akan kekurangan nutrisi, sehingga pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Rachmawati, 2009). 2.1.4
Alkaloid Senyawa alkaloid memiliki mekanisme penghambatan dengan cara
mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Juliantina, 2008). Selain itu, menurut Gunawan 2009, menyatakan bahwa di dalam senyawa alkaloid terdapat gugus basa yang menggandung nitrogen akan bereaksi dengan senyawa asam amino yang menyusun dinding sel bakteri dan DNA bakteri. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan susunan asam amino. sehingga akan menimbulkan perubahan keseimbangan
9
genetik pada rantai DNA sehingga akan mengalami kerusakan akan mendorong terjadinya lisis sel bakteri yang akan menyebabkan kematian sel pada bakteri. 2.2 Mekanisme kerja zat antibiotik Antibiotik adalah yaitu suatu substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroba dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain (Agustini, 2007). Mekanisme kerja antibiotik adalah sebagai berikut: 2.2.1
Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri
Pada klasifikasi ini penghambatan pertumbuhan bakteri dengan cara antibiotik berikatan
pada
enzim
DD-transpeptidase
yang
memperantarai
dinding
peptidoglikan bakteri, sehingga dengan demikian akan melemahkan dinding sel bakteri Hal ini mengakibatkan sitolisis karena ketidakseimbangan tekanan osmotis, serta pengaktifan hidrolase dan autolysis yang mencerna dinding peptidoglikan yang sudah terbentuk sebelumnya. 2.2.2
Antibiotik yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat.
Antibiotik menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan dengan βsubunit dari RNA polymerase sehingga menghambat transkripsi RNA dan pada akhirnya sintesis protein terganggu atau masuk melalui porins dan menyerang DNA girase dan topoisomerase sehingga dengan demikian akan menghambat replikasi dan transkripsi DNA. 2.2.3
Antibiotik yang menghambat sintesis protein.
Antibiotik bekerja dengan cara berikatan pada subunit 50S ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translokasi peptidil tRNA yang diperlukan untuk sintesis protein, atau antibiotik bakteriostatis yang berikatan dengan subunit
10
ribosomal 16S-30S dan mencegah pengikatan aminoasil-tRNA dari situs A pada ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translasi protein. 2.2.4
Antibiotik yang mengganggu fungsi membran sel bekerja dengan
meningkatkan kadar kalsium intrasel sehingga mengganggu kesetimbangan osmosis dan menyebabkan kebocoran sel. 2.2.5
Antibiotik yang mengganggu metabolisme bakteri. Pada cara ini antibiotik
bersifat sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim dihidropteroate sintetase (DHPS). Dengan dihambatnya enzim DHPS ini menyebabkan tidak terbentuknya asam tetrahidrofolat bagi bakteri. Tetrahidrofolat merupakan bentuk aktif asam folat, dimana fungsinya adalah untuk berbagai peran biologis di antaranya dalam produksi dan pemeliharaan sel serta sintesis DNA dan protein (Bakhriansyah, 2008). 2.3 Infusa Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit. Pemakaian bentuk infusa di masyarakat juga sangat luas. Namun penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar kuman. Oleh karna itu sari tidak mudah disimpan lebih dari 24 jam. Pembuatan infusa daun yang telah dikeringkan kemudian ditimbang simplisia kering sebanyak 10 gr ditambah 100 ml air suling. Penyarian dilakukan selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 900C, kemudian disaring dengan kain kasa (Gunawan, 2009).
11
2.4 Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, berbentuk kokus (0,8 sampai 0,9 µ), tersusun bergerombol, tidak mempunyai flagel-tidak motil, bersifat aerob fakultatif, tidak bersimpai dan tidak berspora. Tumbuh dengan optimum pada suhu 37 oC. Pada media NA (Nutrient agar) setelah inkubasi 24 jam koloninya berpigmen kuning
emas, berukuran 2 sampai 4 mm, bulat,
mempunyai konsistensi lembek, cembung, mengkilat dengan tepi rata. Pada media BAP (Blood Agar Plate) disekeliling koloni terlihat zona beta hemolisis (zona jernih). S. aureus menghasilkan katalase, yaitu enzim yang memecah H2O2 menjadi H2O dan O2, juga mampu meragikan gula dengan membentuk asam tanpa gas (glukosa, sukrosa, maltosa, laktosa, manitol) dan koagulasi positif (Gupte, 1990).
(http://www.lib.uiowa.edu) Gambar 1. Morfologi sel bakteri Staphylococcus aureus dengan pengecatan Gram
12
Klasifikasi bakteri Staphylococcus aureus Kingdom
:
Eubacteria
Filum
:
Firmicutes
Kelas
:
Schizomycetes
Ordo
:
Eubacteriales
Famili
:
Micrococaceae
Genus
:
Staphylococcus
Spesies
:
Staphylococcus aureus (Bergeys, 1962)
Staphylococcus aureus bersifat
merupakan penyebab terjadinya infeksi yang
piogenik. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri ini biasanya timbul
dengan tanda-tanda khas yaitu peradangan, nekrosis, dan pembentukan abses. Keracunan makanan juga dapat disebabkan karena S. aureus dan dapat menyebabkan berbagai macam infeksi seperti pada jerawat, bisul, atau penanahan pada bagian tubuh yang lain. Karena kemampuannya berkembangbiak dan menyebar luas dalam jaringan tubuh serta adanya beberapa zat ekstraseluler yang dapat diproduksi S. aureus dapat menimbulkan berbagai penyakit (Jawetz, 2008). Staphylococcus aureus menghasilkan koagulase yaitu suatu protein mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma yang mengandung oksalat atau sianat. Koagulase berikatan dengan protombin dan mampu menyimpan fibrin pada permukaan Staphylococcus. Eksotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus adalah α, β, γ-toksin. αtoksin merupakan hemolisin kuat. β-toksin mampu menguraikan sfingomielin
13
sehingga toksin untuk sel darah manusia. γ-toksin mampu melisiskan sel darah merah manusia Leukosidin adalah toksin yang dihasilkan oleh S. aureus dimana toksin tersebut dapat memecah sel darah putih manusia. Toksin sindrom-syok-toksik adalah toksin yang dihasilkan oleh S. aureus yang bisa menyebabkan demam, syok, dan melibatkan berbagai sistem tubuh, termasuk ruam kulit deskuamatif Enterotoksin
merupakan
penyebab
utama
keracunan
makanan.
Enterotoksin dihasilkan apabila S. aureus tumbuh dimakanan yang mengandung karbohidrat dan protein (Jawetz, 2008). 2.5 Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aruginosa adalah bakteri gram negatif, berbentuk batang, berukuran antara 0,6-2 μm. Dapat ditemukan satu-satu, berpasangan, dan kadangkadang membentuk rantai pendek, tidak mempunyai spora, tidak bersimpai, serta mempunyai flagel monotrik pada salah satu ujungnya. Bersifat aerob obligat yang dapat dengan mudah tumbuh pada banyak jenis media pembiakan, karena memiliki kebutuhan nutrisi yang sangat sederhana. Tumbuh baik pada suhu 3742oC. Pertumbuhannya pada suhu 42oC membantu membedakannya dari spesies Pseudomonas lain dalam kelompok flouresen. Pseudomonas mampu membentuk pigmen pada suhu 20-42˚C pada media padat (Jawetz, 2008). Pada media NA (Nutrient Agar) P. aeruginosa membentuk koloni bulat, halus, memproduksi pigmen pioverdin yang berflouresensi, yang memberikan warna kehijauan pada media. Pada media MC (Mac Conkey) menunjukan koloni tidak dapat meragi laktosa (Non Lactose Fermenter). P. aeruginosa mampu meragi glukosa menjadi
14
asam, pada media TSIA (Triple Sugar Iron Agar) membentuk pH merah (alkali) / merah (alkali) dengan koloni berwarna kecoklatan, katalase dan oksidasi positif (Gupte, 1990).
(http://soils1.cses.vt.edu/microbes/pseud.html) Gambar 2. Morfologi sel bakteri Pseudomonas aeruginosa dengan pengecatan Gram Klasifikasi bakteri Pseudomonas aeruginosa Kingdom
:
Bacteria
Filum
:
Proteobacteria
Kelas
:
Proteobacteriales
Ordo
:
Pseudomonadales
Famili
:
Pseudomonadaceae
Genus
:
Pseudomonas
Spesies
:
Pseudomonas aeruginosa
(Bergeys,1994) Pseudomonas aeruginosa bersifat patogenik apabila terpajan pada daerah yang tidak terdapat pertahanan tubuh normal. Bersifat invasif dan toksigenik, dapat menyebabkan infeksi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang abnormal.
15
Salah satu bakteri penyebab infeksi nosokomial adalah P.aeruginosa. Biasanya bakteri ini menyebabkan infeksi sekunder pada luka, luka bakar dan luka menahun pada kulit. Juga sebagai salah satu bakteri penyebab diare pada bayi (Gupte, 1990). Sebagian besar isolat P.aeruginosa yang berasal dari infeksi klinis menghasilkan enzim ekstraselullar, termasuk elastase, protease, dan dua hemolisin, fosfolipase C yang tidak tahan panas dan glikolipid yang tahan panas. Endotoksin P.aeruginosa seperti yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif lain, menyebabkan gejala sepsis dan syok septik. Eksotoksin A yang dihasilkan banyak strain menyebabkan nekrosis jaringan (Jawetz, 2008). 2.6 Escherichia coli Escherichia coli berbentuk batang pendek gemuk berukuran 2,4 μm x 0,4 μm sampai 0,7 μm, bersifat gram negatif, tidak berspora dan tidak berkapsul. E. coli merupakan bakteri anaerob fakultatif yang bergerak dengan flagel peritrik sehingga mempunyai motil positif. Pada media NA (Nutrient Agar) koloni berbentuk bulat berdiameter 1 sampai 3 mm, licin, konsistensi lembek, tepinya rata. Pada media MC (Mac Conkey) koloni berwarna merah muda karena mampu meragi laktosa, pada media EA (Endo Agar) koloni menghasilkan warna hijau metalik. E. coli mampu meragi laktosa, glukosa, sukrosa, maltosa, manitol dengan membentuk asam dan gas. Indol dan merah metil positif, sedangkan VP dan sitrat negatif. Tidak menghidrolisa urea dan tidak menghasilkan H2S (Gupte, 1990).
16
(http://soils1.cses.vt.edu/microbes/E.coli.html) Gambar 3. Morfologi sel bakteri Escherichia coli dengan pengecatan Gram Klasifikasi bakteri Escherichia coli Kingdom
:
Bacteria
Filum
:
Proteobacteria
Kelas
:
Schizomycetes
Ordo
:
Eubacteriales
Famili
:
Enterobacteriaceae
Genus
:
Escherichia
Spesies
:
Escherichia coli
(Bergeys, 1962) Penyakit yang sering ditemukan di seluruh dunia yang ditimbulkan oleh E. coli adalah diare. E. coli
ini diklasifikasikan oleh ciri khas sifat – sifat
virulensinya dan setiap grup menimbulkan penyakit melalui mekanisme yang berbeda. Antara lain, Enteropatogenik (EPEC). Penyebab penting diare pada bayi, khususnya di Negara berkembang. EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil. Faktor yang diperantarai secara kromosom menimbulkan pelekatan yang kuat. Akibat dari infeksi EPEC adalah diare cair yang biasanya sembuh sendiri tetapi
17
dapat juga kronik. Lamanya diare EPEC dapat diperpendek dengan pemberian antibiotik. Seperti ETEC, EPEC juga menyebabkan diare tetapi mekanisme molekular dari kolonisasi dan etiologi adalah berbeda. EPEC sedikit fimbria, ST dan LT toksin, tetapi EPEC menggunakan adhesin yang dikenal sebagai intimin untuk mengikat inang sel usus. Sel EPEC invasif (jika memasuki sel inang) dan menyebabkan radang. Escherichia coli Enterotoksigenik (ETEC), Faktor kolonisasi ETEC yang spesifik untuk menimbulkan pelekatan ETEC pada sel epitel usus kecil. Lumen usus terengang oleh cairan dan mengakibatkan hipermortilitas serta diare, dan berlangsung selama beberapa hari. Beberapa strain ETEC
menghasilkan
eksotosin
tidak
tahan
panas.
Escherichia
coli
Enterohemoragik (EHEC), Menghasilkan verotoksin, dinamai sesuai efek sitotoksinya pada sel Vero, suatu sel hijau dari monyet hijau Afrika. Terdapat sedikitnya dua bentuk antigenic dari toksin. EHEC berhubungan dengan holitis hemoragik, bentuk diare yang berat dan dengan sindroma uremia hemolitik, suatu penyakit akibat gagal ginja akut, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan trombositopenia. Banyak kasus EHEC dapat dicegah dengan memasak daging sampai matang. Enteroinvasive E. coli (EIEC) menyebabkan penyakit mirip shigellosis sedangkan Enteroagregative E. coli (EAEC) menyebabkan diare yang akut dan kronis (Juliantina, 2008). 2.7 Antibakteri Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme bakteri. Antibakteri hanya dapat digunakan jika mempunyai sifat toksik selektif, artinya dapat
18
membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya. Faktor-faktor yang berpengaruh pada aktivitas zat antibakteri adalah pH, suhu stabilitas senyawa, jumlah bakteri yang ada, lamanya inkubasi, dan aktivitas metabolisme bakteri. Antibakteri dapat dibedakan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu antibakteri yang menghambat pertumbuhan dinding sel, antibakteri yang mengakibatkan perubahan permeabilitas membran sel atau menghambat pengangkutan aktif melalui membran sel, antibakteri yang menghambat sintesis protein, dan antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel. Aktivitas antibakteri dibagi menjadi 2 macam yaitu aktivitas bakteriostatik (menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh bakteri patogen) dan aktivitas bakterisidal (dapat membunuh bakteri patogen) (Bakhriansyah, 2008). 2.8 Uji sensitivitas antibakteri uji sentifitas antibakteri merupakan suatu metode untuk menentukan tingkat kerentanan bakteri terhadap zat antibakteri dan untuk mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas antibakteri. Uji sensitivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran (dilusi). Disc diffusion test atau uji difusi cakram dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak. Sedangkan metode dilusi atau pengenceran adalah senyawa antibakteri diencerkan hingga diperoleh beberapa macam konsentrasi, kemudian masing-masing konsentrasi ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media cair, syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan
19
(sensitivitas) yaitu 105-108 CFU/ml. Perlakuan tersebut akan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam dan diamati ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri, yang ditandai dengan terjadinya kekeruhan. Larutan uji senyawa antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji, ditetapkan sebagai Kadar Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC). Selanjutnya biakan dari semua tabung yang jernih diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 1824 jam, lalu diamati ada atau tidaknya koloni bakteri yang tumbuh. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai Kadar Bunuh Minimal (KBM) atau Minimal Bactericidal Concentration (MBC) (Irianto, 2006).
20
2.9 Kerangka Teori
Faktor konsentrasi zat aktif biji pepaya: Flavonoid, Alkaloid, Tanin, Saponin, Triterpenoid
Faktor jumlah bakteri dan waktu kontak
jumlah koloni Pertumbuhan bakteri S. aureus, E. coli dan P. aeruginosa.
Faktor lingkungan : Kelembaban, pH, Suhu, tekanan osmotik,oksigen
Gambar 4. Kerangka Teori Penelitian
Faktor aktivitas metabolisme bakteri
21
2.10
Kerangka Konsep
Konsentrasi Infusa biji Jumlah koloni bakteri S. aureus, E. pepaya (carica papaya L) Variabel Bebas (independen)
Variabel Terikat (Dependen) coli dan P. aeruginosa
dan waktu kontak
Variabel Bebas (Independent)
Vareiabel Terikat (Dependent)
Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian
2.11
Hipotesis Infusa biji pepaya (C. papaya L) efektif menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, E. coli dan P. aeruginosa. Semakin lama waktu lama kontak antara infusa dengan bakteri maka akan lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, E. coli dan P. aeruginosa.