BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Uraian Tumbuhan Temu giring banyak ditemukan tumbuh liar di hutan-hutan kecil atau
peladangan dekat rumah penduduk, terutama di kawasan Jawa Timur. Kini, temu giring sudah banyak diusahakan oleh masyarakat sebagai tanaman apotik hidup, terutama di pulau Jawa. Penduduk Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat sudah mengusahakannya sebagai bahan jamu atau obat tradisional yang relatif menguntungkan (Muhlisah, 1999). 2.1.1
Sistematika Tumbuhan Sistematika tumbuhan temu giring menurut Citrosoepomo (1991) adalah
sebagai berikut:
2.1.2
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Curcuma
Jenis
: Curcuma heyneana Val et van Zijp.
Nama Daerah
Jawa : Temu giring Bali
: Temu poh (Ditjen POM, 1989).
2.1.3
Nama Asing
Inggris : Pale tumeric 2.1.4
Morfologi Tumbuhan Temu giring merupakan suatu tumbuhan tahunan. Tumbuhan temu giring
memiliki ketinggian mencapai 2 meter (Wijayakusuma, 2006). Batang temu giring berwarna hijau pucat dan tumbuh tegak yang tersusun atas banyak pelepah daun. Daunnya berbentuk lanset yang melebar. Helaian daunnya tipis, uratnya kelihatan dan berwarna hijau muda. Bunga temu giring muncul dari bagian samping batang semu. Pinggiran mahkota bunga berwarna merah. Bunga ini memiliki daun-daun pelindung yang berujung lancip. Musim bunga berlangsung dari bulan Agustus sampai bulan Mei tahun berikutnya, namun paling
banyak
dijumpai
pada
bulan
September
sampai
Desember
(Muhlisah,1999). Rimpang temu giring tumbuh menyebar di sebelah kiri dan kanan batang secara memanjang sehingga terlihat kurus atau membengkok ke bawah. Secara kesuluruhan, rimpang temu giring umumnya tumbuh mengarah ke bawah dengan percabangan berbentuk persegi. Apabila rimpang dibelah, akan terlihat daging rimpang berwarna kuning, berbau khas temu giring. Rimpang bagian samping umumnya memiliki rasa lebih pahit (Muhlisah, 1999). Tanaman ini tumbuh pada daerah hingga ketinggian 750 m di atas permukaan laut. Temu giring dijumpai sebagai tanaman liar di hutan jati atau di halaman rumah, terutama di tempat yang teduh. Perbanyakan dilakukan dengan stek rimpang induk atau rimpang cabang yang bertunas (Mursito, 2003).
2.1.5
Kandungan Kimia Kandungan kimia rimpang temu giring antara lain minyak atsiri dengan
komponen utama 8(17),12-labdadiene-15,16-dial, tanin dan kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksi-kurkumin dan bis-desmetoksi-kurkumin, pati, saponin, dan flavonoid (Ditjen POM, 1989). 2.1.6
Kurkumin (Kurkuminoid) Kurkuminoid adalah kelompok senyawa fenolik yang terkandung dalam
rimpang tanaman famili Zingiberaceae, termasuk temu giring. Kandungan utama dari kurkuminoid adalah kurkumin yang berwarna kuning. Kandungan kurkumin dalam rimpang temu-temuan berkisar 3 – 4% (Joe et al., 2004; Eigner dan Schulz, 1999). Kurkumin tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam etanol dan aseton (Joe et al., 2004; Chattopadhyay et al., 2004; Araujo dan Leon, 2001). Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa kurkumin aman dan tidak toksik bila dikonsumsi oleh manusia. Jumlah kurkumin yang aman dikonsumsi oleh manusia adalah 100 mg/ hari sedangkan untuk tikus 5 g/hari (Commandeur dan Vermeulen, 1996). Kurkuminoid memberikan warna kuning pada temu-temuan dan dikenal sebagai zat yang bertanggung jawab terhadap adanya efek terapi dari tumbuhan tersebut (Aggarwal, 2006). Kurkuminoid terdiri dari kurkumin (deferuloilmetan), desmetoksi-kurkumin
(feruloil-p-hidroksi-sinnamoiletan)
dan
kurkumin (bis-(p-hidroksisinnamoil)-metan) (Bermawie, dkk., 2008).
bis-desmetoksi-
B
A
C Gambar 2.1 Struktur Kurkuminoid Keterangan : A = Struktur kurkumin
B = Struktur desmetoksi-kurkumin
C = Struktur bis-desmetoksi-kurkumin Kurkumin akan terdegradasi oleh sinar ultra violet. Oleh sebab itu pada proses pengeringan menggunakan sinar matahari perlu diperhatikan, agar efikasi kurkumin tetap terjamin. Daya serap tubuh terhadap kurkumin rendah sampai menengah. Di dalam tubuh kurkumin diabsorpsi oleh darah, dengan cepat dimetabolisme di dalam hati dan disekresi bersama kotoran. Penggunaan jangka pendek dan menengah cukup aman. Percobaan pada tikus yang diberikan kurkumin dosis tinggi secara terus-menerus dalam jangka panjang sampai 24 bulan bisa menimbulkan efek samping berupa adenoma dan lymphoma (Bermawie, dkk., 2008). Pada pemberian secara oral, kurkumin akan dimetabolisme menjadi kurkumin glukoronida dan kurkumin sulfonat. Sedangkan pada pemberian secara sistemik atau intraperitoneal, kurkumin akan dimetabolisme menjadi tetrahidrokurkumin dan heksahidrokurkumin (Aggarwal, 2006). 2.1.7
Khasiat
Secara tradisional rimpang temu giring mempunyai beberapa khasiat antara lain sebagai obat luka (Ditjen POM, 1989), obat cacing, obat sakit perut, obat pelangsing, memperbaiki warna kulit (Mursito, 2003), obat untuk mengatasi perasaan tidak tenang atau cemas, jantung berdebar-debar, haid tidak teratur, obat
rematik, menambah nafsu makan, meningkatkan stamina, menghaluskan kulit, obat jerawat, obat cacar air dan obat batuk (Wijayakusuma, 2006). Temu giring mengandung senyawa khas kurkumin yang dapat meningkatkan proliferasi sel T, sehingga kurkumin mempunyai prospek cukup baik untuk meningkatkan sistem imun (Varalakshmi dkk, 2008). 2.2
Ekstraksi Ekstrak temu giring dibuat dari rhizoma temu giring yang mengandung
minyak menguap tidak kurang dari 0,6% dan kurkuminoid tidak kurang dari 2,0% (NADFC, 2004). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen POM, 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). Farmakope Indonesia menetapkan bahwa cairan penyari untuk ekstraksi adalah air, etanol, dan etanol-air atau eter. Penyarian pada perusahaan obat tradisional masih terbatas pada penggunaan penyari air, etanol, atau etanol-air (Ditjen POM, 1986).
2.3
Metode-Metode Ekstraksi Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu:
1.
Cara dingin Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:
a.
Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. b.
Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). 2.
Cara panas Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:
a.
Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. b.
Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c.
Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50oC). d.
Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit). e.
Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur
sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). 2.4
Sistem Imun Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh, baik manusia maupun
hewan, yang mempunyai kemampuan mengenal suatu benda asing terhadap tubuh dan selanjutnya tubuh akan memberikan respon dalam bentuk netralisasi, melenyapkan atau memasukkan dalam proses metabolisme dengan akibat dapat menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan bagi jaringan tubuhnya (Subowo,1993). Semua makhluk hidup vertebrata mampu memberikan tanggapan dan menolak benda-benda atau konfigurasi yang dianggap asing oleh tubuhnya. Kemampuan ini disebabkan oleh sel-sel khusus yang mampu mengenali dan membedakan konfigurasi asing (non-self) dari konfigurasi yang berasal dari tubuhnya sendiri (self). Sel khusus tersebut adalah limfosit yang merupakan sel imunokompeten dalam sistem imun. Konfigurasi asing tersebut dinamakan
antigen atau imunogen, sedangkan proses serta fenomena yang menyertainya dinamakan respon imun (Subowo, 1993). Tahap awal mekanisme tubuh dalam mengenal molekul asing adalah tahap pengenalan. Ada 2 sistem pertahanan tubuh yang berperan dalam hal ini, yaitu: 1. Sistem pertahanan tubuh alamiah (innate immune system), yang dibawa
sejak lahir. Komplemen memegang peranan penting dalam mengenal jasad mikroorganisme tertentu dan segera menghancurkannya. 2. Sistem pertahanan tubuh yang didapat (adaptive immune system), dalam
hal ini antibodi memegang peranan utama. Dalam mengenal molekul asing yang masuk ke dalam tubuh reseptor dibentuk dengan cara menyatukan beberapa segmen dari gen sehingga terbentuk suatu reseptor yang spesifik untuk molekul tertentu (Handojo, 2003). Bila sistem imun bekerja pada zat yang diangap asing, maka ada dua jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik (Kresno, 2001).
Sistem imun Nonspesifik
Fisis/ mekanis
- Kulit - Selaput lendir - Silia - Batuk - Bersin
Spesifik
Larut
Selular
Biokimia - Asam lambung - Lisozim - Laktoferin - Asam neurominik Humoral - Komppleme n - Interferon - C Reactive Protein (CPR)
Fagosit - Mononuklear (Monosit dan makrofag) - Polimorfonuklear (Eosinofil dan Neutrofil) Sel Nol - N atural Killer Cells (NK Cells) - Killer Cells (K cells) Sel Mediator - Basofil dan Mastosit - Trombosit
Humoral
Sel B
Sel Plasma
Selular
Sel T
- Sel Th (Th1 dan Th2) - Sel Ts - Sel Tc
Antibodi
Gambar 2.2 Diagram Sistem Imun (Baratawidjaja, 2001) 2.4.1
Respon imun nonspesifik Respon imun nonspesifik pada umumnya merupakan imunitas bawaan
(innate immunity), artinya bahwa respon terhadap zat asing yang masuk ke dalam tubuh dapat terjadi walaupun tubuh belum pernah terpapar pada zat tersebut (Kresno, 2001). Respon imun nonspesifik dapat mendeteksi adanya zat asing dan melingdungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, tetapi tidak mampu mengenali dan mengingat zat asing tersebut. Komponen-komponen utama respon imun nonspesifik adalah pertahanan fisik dan kimiawi. Pertahanan ini meliputi epitel dan zat-zat antimikroba yang dihasilkan dipermukaannya, berbagai jenis protein dalam darah termasuk komplemen-komplemen sistem komplemen,
mediator inflamasi lainnya dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit yaitu sel-sel polimorfonuklear, makrofag dan sel natural killer (NK) (Kresno, 2001). 2.4.2
Respon Imun Spesifik Respon imun spesifik merupakan imunitas yang didapat (adaptive
immunity) dimulai dari pengenalan zat asing hingga penghancuran zat asing tersebut dengan berbagai mekanisme (Subowo, 1993). Dalam respon imun spesifik, limfosit merupakan sel yang memainkan peranan penting karena sel ini mampu mengenali setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh, baik yang terdapat intraseluler maupun ekstraseluler. Secara umum, limfosit dibedakan menjadi dua jenis yaitu limfosit T dan limfosit B. Respon imun spesifik dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu respon imun seluler, respon imun humoral dan interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral (Kresno, 2001). Limfosit T dan B (sel T dan B) berasal dari sel induk yang sama yaitu di sumsum tulang belakang. Pada masa janin dan anak-anak, limfosit imatur bermigrasi ke timus dan mengalami pengolahan lebih lanjut menjadi limfosit T. limfosit yang matang di tempat lain selain timus akan menjadi limfosit B.
Sel darah merah Trombosit Monosit Granulosit
Sumsum tulang Sel prekursor Hemopoetik
Limfosit sumsum
Timus
Sel T
Sel B
Jaringan limfoid perifer
+ Sel B
Respon imun humoral
Invasi asing
+ Sel T
Respon imun seluler
Gambar 2.3 Diagram Asal Sel B dan Sel T (Sherwood, 2001) Sel B berasal dari limfosit yang matang dan berdiferensiasi di sumsum tulang, sedangkan sel T berasal dari limfosit yang berasal dari sumsum tulang tetapi matang di timus. sel T dan B yang matang mengalir malalui darah dan berdiam di jaringan limfoid perifer dan membentuk koloni. Kedua sel ini akan berproliferasi setelah mendapat stimulasi dengan adanya invasi asing. Sel T Sel T adalah sel yang bertanggung jawab dalam respon imun selular. Sel T dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Sel Thelper (Sel Th) Sel Th adalah sel yang membantu meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T supresor yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Sel Th dapat dibedakan menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 berperan sebagai limfosit yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi, sedangkan sel Th2 berperan dalam memproduksi antibodi dengan menstimulasi sel B menjadi sel plasma. b. Sel Tsuppresor (Sel Ts) Sel Ts adalah sel yang berperan dalam membatasi reaksi imun melalui mekanisme “check and balance”dengan limfosit yang lain. Sel Ts menekan akitivitas sel T lainnya dan sel B. Sel Th dan sel Ts akan berinteraksi dengan adanya metode umpan balik. Sel Th membantu sel Ts beraksi dan sel Ts akan menekan sel T lainnya. Dengan demikian sel Ts dapat menghambat respon imun yang berlebihan dan bersifat antiinflamasi. c. Sel Tcytotoxic (Sel Tc) Sel Tc adalah sel yang mampu menghancurkan sel cangkokan dan sel yang terinfeksi virus (Sherwood, 2001). Sel B Sel B terdapat kurang lebih 25% dari jumlah limfosit total (Tan, 2007). Pada membran sel B terdapat reseptor khas untuk megikat antigen. Aktivitas sel B distimulasi dengan adanya sel Th2 menjadi sel plasma dan akan membentuk antibodi.
Antigen Antigen adalah molekul kompleks berukuran besar yang dapat mencetuskan respon imun (Sherwood, 2001). Protein adalah antigen yang paling sering dijumpai karena ukuran dan kompleksitasnya. Substansi organik yang mempunyai berat molekul rendah yang dapat bereaksi dengan antibodi tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung disebut hapten. Hapten baru dapat merangsang pembentukan antibodi apabila berikatan dengan molekul besar yang disebut carrier. Antibodi Antibodi adalah immunoglobulin (Ig) yang merupakan golongan yang dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Menurut perbedaan struktur dan aktivitas biologis, antibodi dibedakan menjadi 5 subkelas: Tabel 2.1 Pembagian Subkelas Imunoglobulin Struktur Subkelas Keterangan Miu (µ) IgM - Terdapat dalam bentuk pentamer - Merupakan molekul paling besar - Berfungsi sebagai reseptor permukaan sel B untuk tempat antigen melekat dan disekresikan dalam tahap-tahap awal respon sel. Gamma (γ) IgG - Merupakan immunoglobulin yang paling banyak di dalam serum Epsilon (ε) IgE - Merupakan mediator antibodi untuk respon alergi - Mampu melekat pada sel mastosit atau basofil yang melepaskan mediator histamin, heparin, prostaglandin yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat Alpha (α) IgA - Ditemukan dalam sekresi sistem pencernaan, pernafasan, dan genitouria, serta dalam air susu dan air mata Delta (δ) IgD - Terdapat di permukaan sel B, tetapi fungsinya masih belum jelas.
2.4.2.1 Respon imun selular Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Antigen akan menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T menjadi beberapa subpopulasi. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali antigen pada permukaan sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui T-cell receptors (TCR) dan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas-II. Sinyal yang diberikan oleh sel terinfeksi akan menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin yang dapat membantu menghancurkan antigen tersebut. Subpopulasi sel T lain yang disebut sel T-cytotoxic (Tc) akan menghancurkan antigen melalui MHC kelas-I dengan cara kontak langsung dengan sel (cell to cell contact). Selain itu, sel Tc memproduksi γ-interferon yang mencegah penyebaran antigen lebih jauh (Kresno, 2001). 2.4.2.2 Respon imun humoral Respon imun humoral dilakukan oleh sel B dan produknya, yaitu antibodi. Respon ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi suatu populasi sel plasma yang meproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah. Diferensiasi sel B dibantu oleh sel Th2. Adanya sinyal yang diberikan oleh makrofag, sel Th2 akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi. Sel Tsupresor juga ikut berperan dalam pengaturan produksi antibodi agar seimbang dan sesuai dengan kebutuhan. Antibodi yang terbentuk akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Pada respon imun humoral juga terjadi respon primer yang membentuk populasi sel B memory (Kresno, 2001).
2.4.2.3 Interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral Salah satu interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral adalah antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Pada interaksi ini sitolisis terjadi dengan bantuan antibodi yang berfungsi melapisi antigen sasaran (opsonisasi), sehingga sel natural killer (NK) yang mempunyai reseptor pada fragmen Fc antibodi tersebut dapat melekat pada antigen sasaran dan menghancurkan antigen tersebut (Kresno, 2001). 2.4.3
Imunomodulator Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meregulasi sistem
imun dengan tujuan menormalkan atau membantu mengoptimalkan sistem imun. Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling berpengaruh. Imunomodulator dapat dibagi menjadi 2, yaitu imunostimulator dan imunosupresor. 2.4.3.1 Imunostimulator Imunostimulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan respon imun. Imunostimulator dapat mereaktivasi sistem imun dengan berbagai cara seperti meningkatkan jumlah dan aktivitas sel T, NK-cells dan makrofag serta melepaskan interferon dan interleukin (Tan H.T., 2007). 2.4.3.2 Imunosupresor Imunosupresor adalah senyawa yang dapat menurunkan respon imun. Imunosupresor mampu menghambat traskripsi dari sitokin dan memusnahkan sel T. Imunosupresor dapat dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu agen alkilasi, tiopurin, antimetabolit, produk fungi misalnya siklosporin, dan golongan kortikosteroid (Tan H.T., 2007).
2.4.3.3 Siklofosfamida
Gambar 2.4 Siklofosfamida Siklofosfamida
merupakan
agen
alkilasi
yang
mempunyai
efek
imunosupresif. Siklofosfamida memiliki aktivitas antiproliferasi yang kuat yang dilihat dari kemampuannya menurunkan produksi antibodi selama fase proliferasi. Siklofosfamid memberikan efek pada mencit dengan dosis pemberian 50 mg/kg BB. Siklofosfamida menghambat aksi sel Ts dan sel Th2 sehingga menekan produksi antibodi oleh sel B. Sel Th1 tidak dipengaruhi oleh siklofosfamida dan tetap bekerja secara normal. Sel Th1 akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi sehingga akan menarik makrofag ke tempat terjadinya induksi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan di tempat induksi (Turk, 1989). 2.4.3.4 Metode Pengujian Efek Imunomodulator Ada
beberapa
metode
yang
digunakan
dalam
pengujian
efek
imunomodulator. Beberapa di antaranya adalah uji respon hipersensitivitas tipe lambat, pengukuran antibodi (titer antibodi), uji transformasi limfosit T, uji komplemen, indeks migrasi makrofag, uji granulosit, bioluminisensi radikal, respon fagositik, respon proliferasi limfosit.
Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Uji respon hipersensitivitas merupakan pengujian efek imunomodulator terkait dengan respon imun spesifik. Respon hipersensitivitas tipe lambat merupakan respon imun seluler yang melibatkan aktivasi sel Th yang akan melepaskan sitokin dan meningkatkan aktivitas makrofag sehingga dapat meningkatkan reaksi inflamasi yang ditandai dengan pembengkakan kaki hewan uji (Roit,1989) Titer Antibodi Respon imun spesifik dapat berupa respon imun seluler dan respon imun humoral. Penilaian titer antibodi merupakan pengujian terhadap respon imun humoral yang melibat pembentukan antibodi. Peningkatan nilai titer antibodi terjadi karena peningkatan aktivitas sel Th yang menstimulasi sel B untuk pembentukan antibodi dan peningkatan aktivitas sel B dalam pembentukan antibodi (Roit, 1989).