BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Teori tentang Kepuasan Kerja II.1.1. Pengertian Kepuasan Kerja Suatu organisasi dikatakan sukses sangat tergantung dari kualitas sumber daya manusia yang dimiliki karena sumber daya manusia yang berkualitas adalah sumber daya manusia yang mampu berprestasi maksimal.
Kepuasan kerja mempunyai
peranan yang sangat penting terhadap prestasi kerja karyawan, dengan kepuasan kerja tersebut diharapkan organisasi mampu mencapai tujuannya dengan lebih baik dan akurat. Malthis dan Jackson (2006) mendefinisikan kepuasan adalah “ a positive emotional state resulting from evaluating one’s job experience”. (Artinya emosi yang positif sebagai hasil dari evaluasi pengalaman kerja). Menurut Siagian (2002) kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seorang baik yang bersifat positif maupun bersifat negatif mengenai pekerjaannya. Gibson dalam Wibisono (2007) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap yang dimiliki pekerja tentang pekerjaan. Davis dan Newstrom (1996) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan karyawan tentang menyenangkan atau tidak menyenangkan pekerjaan mereka. Dimana kepuasan ini menunjukkan kesesuaian antara harapan karyawan yang timbul dan imbalan yang disediakan perusahaan.
10 Universitas Sumatera Utara
Luthans (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan karyawan memberikan hal yang dinilai penting. Koesmono dalam Brahmasari dan Suprayetno (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian, perasaan atau sikap seseorang atau karyawan terhadap
pekerjaannya
dan
berhubungan
dengan
lingkungan
kerja,
jenis
pekerjan,kompensasi dan hubungan antar teman kerja serta hubungan sosial ditempat kerja dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja adalah dipenuhinya beberapa keinginan dan kebutuhannya melalui kegiatan kerja atau bekerja. Fathoni (2006) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaan. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa karyawan yang memiliki kepuasan terhadap pekerjaannya adalah karyawan yang memandang pekerjaannya sebagai hal yang penting dan menyenangkan. II.1.2. Faktor-faktor Kepuasan Kerja Mangkunegara dalam Brahmasari dan Suprayetno (2008) mengemukakan bahwa ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu faktor yang ada pada diri pegawai dan faktor pekerjaan. Faktor yang ada pada diri pegawai yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur dan jenis kelamin serta kondisi fisik,
Universitas Sumatera Utara
pendidikan dan pengalaman kerja, masa kerja, serta kepribadian, emosi dan cara berpikir, persepsi dan sikap kerja. Sedangkan faktor pekerjaan yaitu jenis pekerjan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan keuangan, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja. Beberapa pendapat pakar tentang pengaruh kepuasan kerja terhadap karyawan: Yuli (2006) menyatakan bahwa ada 6 (enam) faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan yaitu: 1. Komponen upah atau gaji yaitu imbalan keuangan yang diterima karyawan seperti upah, premi bonus, atau tunjangan-tunjangan keuangan lainnya. 2. Pekerjaan, dimana komponen pekerjaan sangat berperan dalam menentukan kepuasan kerja. Ada dua aspek penting yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu variasi pekerjaan dan kontrol atas metode dan langkah-langkah kerja. Secara umum, pekerjaan dengan jumlah variasi yang moderat akan menghasilkan kepuasan kerja yang relative besar. 3. Pengawasan, tugas pengawasan tidak dapat dipisahkan dari tugas kepemimpinan, yaitu usaha untuk mempengaruhi kegiatan pengikut melalui proses komunikasi untuk tujuan tertentu. Supervisor secara langsung mempengaruhi kepuasan kerja dan prestasi melalui kecermatannya dalam mendisiplinkan dan menerapkan peraturanperaturan. 4. Promosi karir, yaitu perencanaan karir seseorang pada pekerjaan yang lebih baik dalam bentuk tanggung jawab yang lebih besar dan meningkatnya upah atau gaji. Promosi ini berfungsi sebagai stimulus bagi karyawan yang memiliki ambisi dan prestasi kerja yang tinggi. Dengan demikian, usaha-usaha menciptakan kepuasan kerja atas komponen kerja dapat mendorong mereka untuk berprestasi lebih baik. 5. Kelompok Kerja. Didalam kelompok kerja karyawan dapat menemukan pemahaman, pergaulan dan kesetiakawanan dalam pekerjaan. Seseorang karyawan dapat mendiskusikan masalah pekerjaan bahkan masalahmasalah personel didalam kelompok. Keeratan dengan teman sekerja sangat besar artinya bila rangkaian pekerjaan tersebut memerlukan kerjasama tim yang tinggi. Tingkat keeratan hubungan mempunyai dampak terhadap mutu dan intensitas interaksi yang terjadi dalam suatu kelompok. Kelompok yang memiliki tingkat keeratan hubungan yang tinggi cenderung menyebabkan para karyawan puas berada dalam
Universitas Sumatera Utara
kelompok tersebut. Kepuasan itu timbul terutama karena kurangnya ketegangan, kecemasan dalam kelompok dan mereka lebih mampun menyesuaikan diri dengan tekanan pekerjaan. 6. Kondisi Kerja. Yaitu segala sesuatu yang ada dilingkungan kerja karyawan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas, seperti temperature, kelembaban, ventilasi, penerangan, kegaduhan, kebersihan tempat kerja, kondisi alat-alat kerja dan ketidakjelasan tugas dan tanggung jawab. Menurut Gillmer dalam As’ad (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja: 1. Kesempatan untuk maju, yaitu ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalamandan peningkatan kemampuan selama kerja. 2. Keamanan kerja, sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja baik bagi pegawai pria maupun wanita. 3. Gaji/upah lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan kerja jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya. 4. Pengawasan atau supervisi. Supervisi yang buruk dapat mengakibatkan kemangkiran. 5. Faktor intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mengisyaratkan keterampilan tertentu. Sukar mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan. 6. Kondisi kerja, termasuk kondisi tempat, ventilasi, kantin. 7. Aspek sosial dalam pekerjaan, merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor penunjang kepuasan.
Universitas Sumatera Utara
8. Komunikasi antara pegawai dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat atau prestasi kerja para pegawai sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja. 9. Fasilitas lainnya, seperti rumah sakit, cuti, dana pensiun atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan kepuasan kerja. As’ad (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah : 1. Faktor psikologi, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi kejiwaan pegawai yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, minat dan keterampilan. 2. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial, baik antara sesama pegawai, atasannya, maupun pegawai yang berbeda jenis pekerjaannya. 3. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik pegawai, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruang, suhu, penerangan, ventilasi, kondisi kesehatan pegawai, umur dan sebagainya. 4. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan pegawai meliputi : sistem dan besarnya pemberian gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, bonus, promosi dan sebagainya. Berdasarkan pendapat dari keempat pakar diatas maka kepuasan kerja sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal lingkungan kerja dan karywan itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
II.1.3. Keterkaitan Kepuasan Kerja dengan Produktivitas Karyawan Kepuasan kerja merupakan hasil yang diinginkan oleh setiap karyawan dalam melakukan pekerjaannya, begitu juga dengan organisasi. Yuli (2006) menyatakan bahwa karyawan yang merasa puas secara alamiah akan berusaha untuk meningkatkan hasil kerja mereka (ouput) atau produktivitas karyawan. Dan jika output yang dihasilkan tidak sebanding dengan semangat yang diberikan maka kepuasan kerja akan ikut menurun sehingga produktivitas pun juga akan menurun. Dari pernyataan diatas dapat kita amabil kesimpulan bahwa adanya hubungan yang kuat antara kepuasan kerja dan produktivitas kerja, dimana hubungan keduanya adalah searah. Luthans (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang pasti didalam kepuasan dan produktivitas karyawan, tetapi tidak sebesar kebijakan konvensional yang mengasumsikan karyawan yang merasa senang sebagai karyawan yang produktif.
Meskipun terdapat bukti penelitian terbaru yang mendukung adanya
hubungan sebab akibat dimana kepuasan lebih mempengaruhi produktivitas karyawan daripada sebaliknya.
Universitas Sumatera Utara
II.2. Teori tentang Stres Kerja II.2.1. Pengertian Stres Kerja Stres kerja pada dasarnya sering dikaitkan dengan pengertian stres yang terjadi dilingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi antara seorang karyawan dengan elemen-elemen pekerjaannya. Didalam membicarakan stres kerja ini perlu terlebih dahulu memahami definisi stres secara umum. Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa, “stress is a dynamic condition in which an individual is confronted with an opportunity, demand, or resources related to what individual desires and for which the outcome is perceived to be both uncertainty and important. (Stres adalah suatu kondisi dinamik, seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, tuntutan (demands) atau sumber-sumber yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan hasilrnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting). Robbins dan Judge juga menyatakan bahwa stres tidak selalu dipersepsikan negatif atau buruk. Walaupun stres lazimnya dibahas dalam konteks negatif, namun stres juga mempunyai nilai positif. Djanaid dalam Ardana dkk (2009) mengemukakan bahwa stres kerja adalah respon seseorang baik yang berupa emosi fisik, kognitif (konseptual) terhadap situasi yang meminta tuntutan tertentu pada individu. Ivancevich dan matteson dalam Luthans (2006) mendefinisikan stres kerja sebagai respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan atau proses psikologi yang merupakan tuntutan psikologis atau fisik yang berlebihan pada seseorang.
Universitas Sumatera Utara
Rivai (2004) menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seorang karyawan. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan karyawan untuk menghadapi lingkungan. Berdasarkan keempat pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul dari adanya tuntutan yang berlebihan dari lingkungan kerja yang tidak sesuai dengan keinginan atau kemampuan karyawan, dan tanggapan setiap individu yang menghadapinya bisa berbeda. Stres kerja merupakan reaksi atas ketidakseimbangan karakteristik karyawan dengan karakteristik elemen-elemen pekerjaan dan hal ini dapat terjadi pada kondisi tertentu terhadap situasi pekerjaan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi fisik karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Karyawan yang mengalami stres biasanya menjadi nervous dan merasakan kekhatiwaran yang kronis, Karyawan sering mudah marah dan tidak dapat tenang atau menunjukkan sikap yang tidak bisa bekerjasama terutama dalam bekerja. II.2.2. Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja Sumber-sumber stres atau biasa dikenal dengan faktor-faktor stres kerja merupakan kondisi-kondisi yang menyebabkan stres dan stres dapat disebabkan oleh satu faktor saja. Namun pada karyawan, stres dapat disebabkan oleh berbagai macam stressor. Menurut Robbins dan Judge (2008) ada tiga kategori sumber-sumber stres potensial yaitu : 1. Faktor-faktor lingkungan. Atau sering disebut faktor dari luar organisasi, yaitu ketidakpastian lingkungan dapat mempengaruhi desain dari struktur organisasi. Ketidakpastian itu juga dapat mempengaruhi tingkat stres dikalangan para karyawan dalam organisasi. Faktor lingkungan tersebut
Universitas Sumatera Utara
dapat berupa ketidakpastian dalam ekonomi, ketidakpastian politis dan ketidakpastian teknologis. 2. Faktor-faktor organisasi. Banyak faktor didalam organisasi yang dapat menimbulkan stres diantaranya: (1) Tuntutan tugas merupakan faktor yang dikaitkan dengan pekerjaan seseorang. Faktor ini mencakup desain pekerjaan individu (otonomi, keragaman tugas, tingkat otomatisasi), kondisi dan tata letak kerja fisik. Kemudian semakin banyaknya kesalingketergantungan antara tugas seseorang dengan tugas orang lain, makin potensial stres. Tetapi otonomi cenderung mengurangi stres. (2) Tuntutan peran yang berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu dalam organisasi. Konflik peran menciptakan harapan-harapan hampir tidak bias dirujuk atau diharapkan untuk melakukan lebih dari pada yang dimungkinkan oleh waktu. Kedwi-artian peran diciptakan bila harapan peran tidak dipahami dengan jelas dan karyawan tidak pasti dengan apa yang dikerjakan. (3) Tuntutan antar pribadi yaitu tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan dan hubungan antar pribadi yang buruk stres yang cukup besar, terlebih lagi bagi karyawan dengan kebutuhan sosial yang tinggi. 3. Faktor-faktor individual/pribadi merupakan faktor-faktor dalam kehidupan pribadi karyawan, terutama faktor keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakterisktik kepribadian yang inheren. Rivai (2004) menyatakan bahwa off the job dapat menimbulkan stres seperti: 1. Kekuatiran finansial; 2. Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak; 3. Masalah-masalah perkawinan (misalnya perceraian); 4. Perubahan-perubahan yang terjadi ditempat tinggal; 5. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara. Davis dan Newstrom dalam Margiati (1999) menyatakan bahwa penyebabpenyebab stres kerja adalah sebagai berikut: 1. Beban kerja yang terlalu banyak (overload). Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres namun akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan fisik maupun keahlian dan waktu yang tesedia bagi karyawan.
Universitas Sumatera Utara
2. Supervisor yang kurang pandai. Karyawan dalam menjalankan tugas sehariharinya biasanya dibawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkannya kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan benar. 3. Terbatasnya
waktu
dalam
mengerjakan
pekerjaan.
Karyawan
biasanya
mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang terbatas. Akibatnya, karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan atasan. 4. Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memdai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan. 5. Ambiguitas peran. Karyawan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, pengharapan dalam bekerja serta scope dan tanggung jawab dari pekerjaan mereka, agar menghasilkan performan yang baik. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.
Universitas Sumatera Utara
6. Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi. 7. Frustasi. Dalam lingkungan kerja, perasaan frustasi biasanya disebabkan oleh banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustasi kerja adalah terhambatnya
promosi,
ketidakjelasan
tugas
dan
wewenang
serta
penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima. 8. Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebut tidak umum. Situasi ini bisa timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang dilalui atau mutasi pada perusahaan lian, meskipun dalam satu grup namun lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada dibawah perusahaan pertama. 9. Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intersender, konflik peran ini sering terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur.
Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan
yang tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternative.
Universitas Sumatera Utara
Griffin (2002) menyatakan bahwa penyebab-penyebab stres yang berhubungan dengan pekerjaan dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori yaitu: 1. Tuntutan tugas, terkait dengan tugas itu sendiri. Sejumlah pekerjaan secara alami lebih cenderung menimbulkan stres dibanding pekerjaan-pekerjaan lain. Keharusan membuat keputusan cepat, keharusan membuat keputusan tanpa informasi yang lengkap, dan keharusan membuat keputusan dengan konsekuensi yang serius adalah sejumlah situasi yang bisa menimbulkan stres. 2. Tuntutan fisik adalah penyebab-penyebab stres yang terkait dengan lingkungan kerja. Bekerja diluar kantor dengan suhu yang sangat dingin atau panas, atau bahkan di dalam kantor yang tidak ber-AC, bisa menimbulkan stres. Desain kantor yang buruk yang membuat karyawan kurang memiliki privasi atau menghambat interaksi sosial juga bisa menimbulkan stres, begitu juga cahaya yang buruk dan ruang kerja yang sempit. 3. Tuntutan peran, juga dapat menimbulkan stres. Peran adalah sekelompok perilaku yang diharapkan dari suatu jabatan dalam kelompok organisasi. Stres dapat ditimbulkan baik oleh ambiguitas peran atau konflik peran yang dialami individu dalam kelompok. Ambiguitas peran adalah ketidakpastian tentang perilaku apa yang diharapkan dari seseorang pada peran tertentu, dan konflik peran adalah tuntutan yang tidak sesuai dengan peran yang berbeda. 4. Tuntutan interpersonal, merupakan penyebab stres yang terkait dengan hubungan antara pribadi dalam organisasi. Sebagai contoh tekanan kelompok menyangkut restriksi out-put dan kepatuhan terhadap norma bisa menimbulkan stres. Gaya kepemimpinan juga bisa menyebabkan stres. Seseorang yang merasa sangat ingin berpartisipasi dalam pembuatan keputusan akan merasa stres jika atasannya menolak untuk menyediakan ruang partisipasi. Dan individu-individu yang memiliki konflik kepribadian bisa mengalami stres jika diminta bekerjasama. II.2.3. Reaksi Karyawan dalam Menghadapi Stres Ada individu yang tumbuh dan sukses dibawah situasi yang penuh dengan stres. Namun ada juga individu yang terpuruk oleh situasi tersebut. Jadi reaksi individu berbeda-beda dalam menanggapi situasi stres.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan reaksi terhadap stres, Handoko (2001) membagi karyawan menjadi dua tipe yaitu karyawan tipe A dan tipe B. Karyawan tipe A adalah orangorang yang agresif dan kompetitif, menetapkan standar yang tinggi-tinggi dan meletakkan diri mereka dibawah tekanan waktu yang ajeg (konstan). Mereka bahkan masih giat dalam kegiatan olah raga yang bersifat rekreatif dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Karyawan menyadari bahwa banyak tekanan yang mereka rasakan salah lebih disebabkan oleh perbuatannya sendiri daripada lingkungan mereka. Karena merasakan tingkat stres yang ajeg, mereka lebih cenderung mengalami gangguan fisik akibat stres, seperti sakit jantung, penyakit lever dan lainlain. Karyawan tipe B lebih relaks dan tidak suka menghadapi masalah. Karyawan menerima situasi-situasi yang ada dan bekerja didalamnya serta tidak suka bersaing. Karyawan merasa relaks, walaupun bekerja dibawah tekanan waktu sehingga lebih kecil kemungkinan untuk terkena stres. Menurut Hager dalam Jacinta (2002), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Individu merasa terganggu atau tidak, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialami. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil
Universitas Sumatera Utara
manfaat dari situasi yang dihadapi. Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa. Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye dalam Jacinta, 2002). Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor yang membuat penilaian kognitif itu bisa mengubah cara pandang terhadap stres. Stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful, sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu. Quick dan Quick (1990) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu: 1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat produktivitas yang tinggi. 2. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran
Universitas Sumatera Utara
(absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian. Selanjutnya Robbins dan Judge (2008) membagi reaksi karyawan dalam menghadapi stres ke dalam lima variabel atau yang biasa disebut dengan persepsi individu, yaitu : 1. Persepsi. Yaitu suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka. Yang mana karyawan bereaksi untuk menanggapi persepsi mereka terhadap realitas bukannya realitas itu sendiri. Oleh karena itu persepsi akan memperlunak hubungan antara suatu kondisi stress potensial dan reaksi seorang karyawan terhadap kondisi itu. 2. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja juga dapat menjadi aspek pengurangan stress yang sangat baik. Pengalaman pada pekerjaan cenderung berkaitan secara negatif dengan stres kerja. Karyawan yang lebih lama bekerja dalam organisasi adalah mereka dengan ciri-ciri yang leih tahan stress atau yang lebih tahan terhadap karakteristik stres dari organisasi mereka. 3. Dukungan sosial. Yaitu hubungan kolegial dengan rekan sekerja atau penyelia dapat mengurangi dampak stres. Dimana dukungan sosial sebagai pereda, yang mengurangi efek negatif dari pekerjaan-pekerjaan yang tingkat stresnya tinggi. Selain dukungan sosial dapat ditemukan diluar pekerjaan seperti keluarga, teman dan komunitas yang dapat memberikan dukungan terlebih lagi bagi mereka yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi yang tidak terdapat ditempat kerja dan hal ini dapat membuat stressor pekerjaan lebih dapat ditolerir. 4. Keyakinan akan tempat kedudukan kendali. Sumber kendali atau “locus of control” merupakan sampai sejauhmana orang yakin bahwa mereka menguasai nasib mereka sendiri. Mereka dengan tempat kedudukan kendali internal yakin bahwa bahwa mereka mengendalikan tujuan akhir mereka sendiri. Sedangkan mereka yang tempat kedudukan kendali eksternal yakin bahwa kehidupan mereka dikendalikan oleh kekuatan luar. Hal ini menunjukkan bahwa kaum internal mempersepsikan pekerjaan mereka sebagai kurang mengandung stres dan mereka dapat aktif serta berpengaruh besar pada hasil pekerjaan mereka walaupun mereka menghadapi situasi penuh stres dalam pekerjaan mereka. Sedangkan kaum eksternal lebih besar kemungkinan untuk terkena stres. 5. Keyakinan diri. Yaitu keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri untuk mampu menurunkan stres.
Universitas Sumatera Utara
Variabel-variabel yang tersebut diatas dapat menekan ataupun mengurangi tingkat stres yang dialami oleh karyawan sehingga mampu bekerja dengan baik. II.2.4. Strategi dan Manajemen Stres Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa ada dampak yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekedar mengatasinya, yakni belajar menanggulanginya secara adaptif dan efektif. Hampir sama pentingnya untuk mengetahui hal yang tidak boleh dilakukan dan hal yang harus dicoba. Sebagian para karyawan yang stres ditempat kerja
dikarenakan persaingan, dan sering
melampiaskannya dengan bekerja lebih keras dan berlebihan. Ini bukanlah cara efektif dan bahkan tidak menghasilkan dalam memecahkan penyebab dari stres, sebaliknya akan menambah masalah lebih jauh lagi. Sebelum masuk ke cara-cara yang lebih spesifik dalam mengatasi stressor tertentu, harus diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk memacu perubahan dan penanggulangan. Karyawan harus mampu memahami prinsip dasar yang menjadi bagian terpenting dalam merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama berkaitan dengan penyebab stress dilingkungan kerja. Stres yang disebabkan oleh lingkungan kerja seperti ketidakmampuan karyawan bekerja dengan baik, kesalahpahaman antara atasan atau bawahan, atau tidak adanya keterampilan (keterampilan manajemen) sehingga karyawan tidak menyukai orang lain atau patner kerjanya. Suprihanto dkk (2003) mengatakan bahwa dari sudut pandang organisasi, manajemem mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stres yang ringan.
Universitas Sumatera Utara
Alasannya karena pada tingkat stres tertentu akan memberikan akibat positif, karena hal ini akan mendesak karyawan untuk melakukan tugas lebih baik. Pada tingkat stres tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan membuat menurunnya produktivitas kerja atau kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan merupakan hal yang diinginkan. Manajemen mungkin akan berpikir untuk memberikan tugas yang menyertakan stres ringan untuk memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan sebagai tekanan oleh karyawan. Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang tepat dalam mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu pendekatan individual dan pendekatan organisasional. 1. Pendekatan Individual Karyawan dapat berusaha sendiri untuk mengurangi level stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif dapat mengurangi stres yaitu: pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa.
Dengan latihan fisik dapat
meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain itu untuk mengurangi stress yang dihadapi pekerja perlu dilakukan kegiatan-kegiatan santai. Dan sebagai strategi terakhir untuk mengurangi stres adalah berkumpul dengan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
Universitas Sumatera Utara
2. Pendekatan Organisasional Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen, sehingga faktor-faktor itu dapat diubah. Strategi yang dapat digunakan oleh manajemen untuk mengurangi stres karyawan adalah melalui seleksi, penempatan, penetapan tujuan dan redesain pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif serta komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan kondisi fisik dan mental. Margiati (1999) menyatakan bahwa secara umum strategi manajemen stres kerja dapat dikelompokkan menjadi strategi penanganan individual, organisasional dan dukungan sosial: 1. Strategi Penanganan Individual Strategi ini dapat dikembangkan secara pribadi atau individual. Strategi individual ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: a) Melakukan perubahan reaksi perilaku atau perubahan reaksi kognitif. Artinya, jika seorang karyawan merasa dirinya ada kenaikan ketegangan, para karyawan tersebut seharusnya istirahat terlebih dahulu. Cara istirahat ini bisa macam-macam, seperti istirahat sejenak namun masih dalam ruangan kerja, keluar ruangan istirahat (jika menyediakan), pergi sebentar ke kamar kecil untuk membasuh muka air dingin atau berwudlu bagi orang Islam, dan sebagainya. b) Melakukan relaksasi dan
Universitas Sumatera Utara
meditasi. Kegiatan relaksasi dan meditasi ini bisa dilakukan dirumah pada malam hari atau hari-hari libur kerja. Dengan melakukan relaksasi, karyawan dapat membangkitkan perasaan rileks dan nyaman. Karyawan yang melakukan relaksasi diharapkan dapat mentransfer kemampuan dalam membangkitkan perasaan rileks kedalam perusahaan dimana mereka mengalami situasi stres.
Beberapa cara
meditasi yang biasa dilakukan adalah dengan menutup atau memejamkan mata, menghilangkan pikiran yang mengganggu. c) Melakukan diet dan fitnes. Beberapa cara yang bisa ditempuh adalah mengurangi masukan atau konsumsi garam dan makanan mengandung lemak, memperbanyak konsumsi makanan yang bervitamin seperti buah-buahan dan sayur-sayuran, dan banyak melakukan olahraga, seperti lari secara rutin, tenis, bulu tangkis, dan sebagainya. 2. Strategi-strategi Penangangan Organisasional. Strategi ini didesain oleh manajemen untuk menghilangkan atau mengontrol tekanan pada tingkat organisasional untuk mencegah atau mengurani stress kerja untuk pekerja individual. Manajemen stress melalui organisasi dapat dilakukan dengan: a. Menciptakan iklim organisasional yang mendukung. Banyak organisasi yang besar saat ini cenderung memformulasi struktur birokratik yang tinggi dengan menyertakan infleksibel, iklim impersonal. Ini dapat membawa pada stres kerja yang sungguh-sungguh. Sebuah strategi pengaturan mungkin membuat struktur lebih terdesentralisasi dan organik dengan pembuatan keputusan partisipatif dan aliran komunikasi keatas. Perubahan struktur dan proses
Universitas Sumatera Utara
struktural mungkin menciptakan iklim yang lebih mendukung bagi karyawan, memberikan karyawan lebih banyak kontrol terhadap pekerjaan karyawan, dan mungkin mencegah atau mengurani stres kerja mereka. b. Memperkaya desain tugas-tugas dengan memperkaya kerja baik dengan meningkatkan faktor isi pekerjaan (seperti tanggung jawab, pengakuan dan kesempatan untuk pencapaian, peningkatan dan pertumbuhan) atau dengan meningkatkan karakteristik pekerjaan pusat seperti variasi keahlian, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi, dan timbal balik mungkin membawa pada pernyataan
motivasional
atau
pengalaman
berani,
tanggung
jawab,
pengetahuan hasil-hasil. c. Mengurangi konflik dan mengklarifikasi peran organisasional. Konflik peran dan ketidakjelasan diidentifikasi lebih awal sebagai sebuah penekanan individual utama. Ini mengacu pada manajemen untuk mengurangi konflik dan mengklarifikasi peran organisasional sehingga penyebab stres ini dapat dihilangkan atau dikurangi. Masing-masing pekerjaan mempunyai ekspektansi yang jelas dan penting atau sebuah pengertian yang ambigious dari apa yang dia kerjakan. Sebuah strategi klarifikasi peran yang spesifik memungkinkan seseorang dari masing-masing pengirim pesan. Catatan ini kemudian akan dibandingkan dengan ekspektansi fokal seseorang, dan banyak perbedaan akan secara terbuka didiskusikan untuk mengklarifikasi ketidakjelasan dan negoisasikan untuk memecahkan konflik.
Universitas Sumatera Utara
d. Rencana dan pengembangan jalur karir dan menyediakan konseling. Secara tradisional, organisasi telah hanya menunjukkan melalui kepentingan dalam perencanaan karir dan pengembangan pekerja mereka. Individu dibiarkan untuk memutuskan gerakan dan strategi karir sendiri. 3. Strategi Dukungan Sosial. Mengurangi stres kerja, dibutuhkan dukungan sosial terutama orang yang terdekat, seperti keluarga, teman sekerja, pemimpin atau orang lain. Mangkunegara (2002) menyatakan bahwa dalam mendeteksi penyebab stres dan bentuk reaksinya, maka ada tiga pola dalam mengatasi stres, yaitu pola sehat, pola harmonis, dan pola psikologis: 1. Pola sehat Pola sehat adalah kemampuan mengelola perilaku dan tindakan sehingga adanya stres tidak menimbulkan gangguan, akan tetapi menjadi lebih sehat dan berkembang. Karyawan yang tergolong kelompok ini biasanya mampu mengelola waktu dan kesibukan dengan cara yang baik dan teratur sehingga ia tidak perlu merasa ada sesuatu yang menekan, meskipun sebenarnya tantangan dan tekanan cukup banyak. 2. Pola harmonis Pola harmonis adalah kemampuan mengelola waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan. Dengan pola ini, individu mampu mengendalikan berbagai kesibukan dan tantangan dengan cara mengatur waktu
Universitas Sumatera Utara
secara teratur. Individu tersebut selalu menghadapi tugas secara tepat, dan kalau perlu ia mendelegasikan tugas-tugas tertentu kepada orang lain dengan memberikan kepercayaan penuh. Dengan demikian, akan terjadi keharmonisn dan keseimbangan antara tekanan yang diterima dengan reaksi yang diberikan. Demikian juga terhadap keharmonisan antara dirinya dan lingkungan. 3. Pola patologis Pola patologis adalah pola mengadapi stres dengan berdampak pada berbagai gangguan fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan menghadapi berbagai tantangan dengan cara-cara yang tidak memiliki kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan waktu. Cara ini dapat menimbulkan reaksi-reaksi yang berbahaya karena bisa menimbulkan berbagai masalah-masalah yang buruk. Menghadapi stres kerja dengan cara sehat atau harmonis, tentu banyak hal yang dapat dikaji, dapat dilakukan dengan tiga strategi yaitu, (a) memperkecil dan mengendalikan sumber-sumber stres kerja, (b) menetralkan dampak yang ditimbulkan oleh stres kerja, dan (c) meningkatkan daya tahan pribadi. Pada strategi pertama, perlu dilakukan penilaian terhadap situasi sumbersumber stres kerja, mengembangkan alternatif tindakan, mengambil tindakan yang dipandang paling cepat, mengambil tindakan yang lebih positif. Strategi kedua, dilakukan dengan mengendalikan berbagai reaksi baik jasmaniah, emosional, maupun bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri.
Universitas Sumatera Utara
Karyawan dapat membentuk mekanisme pertahanan diri dengan berbagai cara. Misalnya menangis, menceritakan masalah kepada orang lain, humor (melucu), istirahat dan sebagainya. Sedangkan dalam menghadapi reaksi emosional, adalah dengan mengendalikan emosi secara sadar, dan mendapatkan dukungan sosial dengan lebih memahami diri, memahami orang lain, mengembangkan keterampilan pribadi, berolahraga secara teratur, beribadah, pola-pola kerja yang teratur dan disiplin, mengembangkan tujuan dan nilai-nilai yang lebih realistik. II.2.5. Keterkaitan Stres Kerja dengan Produktivitas Karyawan Menurut Ardana dkk (2009) menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa stres perlu untuk dipahami adalah stres berhubungan erat dengan produktvitas. Karyawan yang mengalami stres kerja tidak dapat bekerja secara optimal sehingga akan memberi dampak yang negatif pada hasil kerjanya atau dengan kata lain karyawan tidak dapat mengoptimalkan hasil kerjanya. Rendal Shculer dalam Jacinta (2002) mengemukakan bahwa stres kerja oleh karyawan berhubungan dengan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja serta tendensi mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja dapat berupa: 1. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja. 2. Mengganggu kenormalan aktivitas kerja 3. Menurunkan tingkat produktivitas
Universitas Sumatera Utara
4. Menurunkan pemasukan dan keuntumgan perusahaan. Kerugian Finansial yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya. Munandar dalam Koesmono (2007) menyatakan bahwa pada umumnya karyawan merasakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang mengarah timbulnya penyakit fisik maupun mental, atau mengarah ke perilaku yang tidak wajar. Demikian pula ada stres yang dapat bersifat positif, semakin tinggi dorongannya untuk berprestasi, semakin tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi juga produktivitas dan effisiesinya. Stres dalam jumlah tertentu dapat mengarah ke gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif. II.3. Teori tentang Produktivitas II.3.1. Pengertian Produktivitas Wibisono (2007) mengemukakan bahwa produktivitas adalah rasio keluaran terhadap masukan; merupakan ukuran efisiensi dalam menggunakan sumber daya organisasi yang terbatas untuk menghasilkan barang dan jasa. Semakin besar angka rasio semakin besar efisiensi. Sinungan (1995) mengemukakan bahwa produktivitas pada dasarnya adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini lebih baik dari hari kemarin dari hari esok lebih dari hari ini. Lebih lanjut Sinungan (1995) mengatakan bahwa secara umum produktivitas itu sendiri diartikan sebagai “hubungan antara hasil nyata maupun fisik (barang-barang) atau jasa dengan masukan yang sebenarnya”. Untuk selanjutnya produktivitas merupakan tingkat efisiensi dalam memproduksi barang-barang dan jasa.
Universitas Sumatera Utara
Sutrisno (2009) mendefinisikan produktivitas kerja sebagai rasio dari hasil kerja dengan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dari seseorang tenaga kerja. Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa secara filosofi, produktivitas mengandung pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berusaha untuk meningkatkan mutu kehidupan. Keadaan hari ini harus lebih baik dari kemarin dan mutu kehidupan besok harus lebih baik dari hari ini. Pandangan hidup dan sikap mental yang demikian akan mendorong manusia untuk tidak cepat merasa puas, akan tetapi akan terus mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan kerja. Klinger dan Nanbaldian dalam Gomes (2003) menyatakan bahwa produktivitas merupakan fungsi perkalian dari usaha pegawai (effort), yang didukung dengan motivasi tinggi, dan dengan kemampuan Sumber Daya Manusia (Ability) yang diperoleh melalui latihan-latihan produktivitas yang meningkat, berarti performansi yang baik, akan menjadi umpan balik bagi kegiatan organisasi seterusnya, atau bagi motivasi Sumber Daya Manusia pada tahap berikutnya. Proses keterkaitan ini dapat dijelaskan lebih lanjut oleh Klinger dan Nanbadian dalam pada Gambar II.1. berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
Feedback (Performance Appraisal)
Effort (Motivation)
Ability (Training)
Performance (Productivity)
Working Condition (safety, healthful)
Sumber: Klingner dan Nanbandian dalam Gomes ( 2003)
Gambar II.1. Kaitan Usaha dan Kemampuan dengan Produktivitas Berdasarkan Gambar II.1 produktivitas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ada pada setiap orang, yaitu antara lain: Knowlegde (Pengetahuan), Skills (Keterampilan), Abilities (Kemampuan), Attitudes (Sikap), dan Behaviors (Tingkah laku). Program peningkatan produktivitas yang berhasil itu ditandai dengan adanya andil yang luas dari karyawan atau pekerja yang baik, sehingga menghasilkan kinerja yang baik dan hal tersebut akan menghasilkan produktivitas yang optimal. Secara umum produktivitas diartikan sebagai efisien dari penggunaan sumber daya yang menghasilkan. Sedangkan ukuran produktivitas pada umumnya adalah ratio yang berhubungan dengan keluaran terhadap satu atau lebih masukan yang mengeluarkan keluaran (barang dan jasa) tersebut.
Universitas Sumatera Utara
II.3.2. Faktor-faktor Produktivitas Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa aktivitas perusahaan tidak terjadi dalam isolasi. Segala sesuatu yang terjadi dalam perusahaan dipengaruhi oleh hal-hal yang terjadi diluarnya, seperti sumber-sumber faktor produksi yang digunakan, prospek pemasaran, perpajakan, perizinan, lingkungan hidup dan lain-lain. Sedangkan Ravianto (2003) menyatakan bahwa: “Produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berhubungan dnegan tenaga kerja itu sendiri maupun faktor-faktor lainnya seperti : pendidikan, keterampilan, disiplin, sikap dan etika kerja, motivasi, gizi dan kesehatan, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja, hubungan industrial pancasila, teknologi, sarana produksi, manajemen, kesempatan kerja dan kesempatan berprestasi”. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh karyawan atau tenaga kerja itu sendiri maupun faktor-faktor lainnya yang berasal dari dalam manajemen organisasi atau perusahaan itu sendiri dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu daerah atau negara juga dapat mempengaruhi produktivitas karyawan. Menurut Yuli (2005) ada beberapa faktor yang menentukan besar kecilnya produktivitas karyawan. Faktor-faktor tersebut dapat digolongkan dalam tiga kelompok utama antara lain : 1. Kepuasan kerja. Karyawan yang merasa puas tentu secara alamiah akan berupaya mencapai tingkat kepuasan yang tinggi dengan cara mengoptimalkan hasil kerja (output). Jika output yang dihasilkan tidak sebanding dengan semangat yang diberikan maka kepuasan kerja justru akan menurun sehingga produktivitas juga menurun.
Universitas Sumatera Utara
2. Input. Besar kecilnya input yang dimasukkan dalam sebuah proses produksi akan menentukan hasil akhir dari sebuah pekerjaan. Input yang dimiliki karyawan dalam bekerja antara lain; motivasi, tenaga, sikap, pengetahuan dan keterampilan, sarana yang mendukung dan lingkungan kerja. 3. Waktu kerja. Jam kerja yang lama mendorong karyawan untuk terus memperbanyak dan meningkatkan hasil kerja mereka. Namun faktor ini sifatnya sangat relatif, karena harus didukung oleh faktor lainnya seperti input. Produktivitas merupakan hal yang sangat penting bagi karyawan dalam perusahaan, dengan produktivitas diharapkan karyawan dapat melaksanakan pekerjaan secara efesien dan efektif ntuk mencapai tujuan yang telah ditetapakan. II.3.3. Pengukuran Produktivitas Sutrisno (2009) menyatakan bahwa untuk mengukur produktivitas kerja, diperlukan suatu indikator, yaitu sebagai berikut : 1. Kemampuan. Memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas. Kemampuan seorang karyawan sangat tergantung kepada keterampilan yang dimiliki serta profesionalisme karyawan dalam bekerja. Ini memberikan daya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diembankan kepada mereka. 2. Meningkatkan hasil yang dicapai. Berusaha untuk meningkatkan hasil yang dicapai. Hasil merupakan salah satu yang dapat dirasakan baik oleh yang mengerjakan maupun yang menikmati hasil pekerjaan tersebut. Jadi upaya untuk memanfaatkan produktivitas bagi masing-masing yang terlibat dalam suatu pekerjaan. 3. Semangat kerja Merupakan usaha untuk menjadi lebih baik dari hari kemarin. Indikator ini dapat dilihat adri etos kerja dan hasil yang dicapai dalam satu hari kemudian dibandingkan dengan hari sebelumnya. 4. Pengembangan diri. Senantiasa mengembangkan diri untuk meningkatkan kemampuan kerja. Pengembangan diri dapat dilakukan dengan melihat tantangan dan harapan dengan apa yang akaan dihadapi. Begitu juga harapan untuk
Universitas Sumatera Utara
menjadi lebih baik pada gilirannnnyadan akan sangat berdampak pada karyawan utuk meningkatkan kemampuannya. 5. Mutu. Selalu berusaha meningkatkan mutu lebih baikdari yang telah lalu. Mutu merupakan hasil pekerjaan yang dapat menunjukkan kualiatas kerja seorang karyawan. Meningkatkan mutu bertujuan untuk memberikan hasil yang terbaik serta berguna bagi karyawan dan periusahaan. 6. Efisiensi Perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumberdaya yang digunakan. Masukan dan keluaran merupakan aspek produktivitas yang memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi karyawan. Menurut Sinungan dalam Yuli (2005), secara umum pengukuran produktivitas berarti perbandingan yang dapat dibedakan dalam tiga jenis yang sangat berbeda yaitu: 1. Perbandingan-perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan pelaksanaan histiis yang tidak mungkin menunjukkan apakah pelaksanaan sekarang ini memuaskan, namun hanya mengetengahkan apakah meningkat atau berkurang serta tingkatannya. 2. Perbandingan pelaksanaan antara satu unit (perorangan tugas, seksi, proses) dengan lainnya. Pengukuran seperti itu menunjukkan pencapai relatif. 3. Perbandingan pelaksanaan sekarang dan targetnya. Menurut Sinungan (1995) pengukuran produktivias sebagai sarana untuk menganalisa dan mendorong efisiensi produksi. Manfaat lain adalah untuk menentukan target dan kegunaan, praktisnya sebagai standar dalam pembayaran upah karyawan. Untuk mengukur suatu produktivitas dapat digunakan dua jenis ukuran jam kerja manusia yakni jam – jam kerja yang harus dibayar dan jam – jama kerja yang harus dipergunakan untuk bekerja. Menurut Ravianto (2003) ada dua macam alat pengukuran produktivitas, yaitu: a. Physical productivity, yaitu produktivitas secara kuantitatif seperti ukuran (size), panjang, berat, banyaknya unit, waktu, dan biaya tenaga kerja;
Universitas Sumatera Utara
b. Value producitivity, yaitu ukuran produktivitas dengan menggunakan nilai uang yang dinyatakan dalam rupiah, yen, dollar dan seterusnya. Pada penelitian ini peneliti menggunakan alat pengukuran produktivitas berdasarkan pendapat Sutrisno dengan melihat enam indikator produktivitas yaitu : kemampuan, meningkatkan hasil yang dicapai, semangat kerja, pengembangan diri, mutu dan efisiensi.
Universitas Sumatera Utara