BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Studi Gerak dan Waktu Studi gerak dan waktu terdiri atas dua elemen penting, yaitu studi waktu dan studi gerakan.
2.1.1. Studi Waktu Menurut Wignjosoebroto (2008), pengukuran waktu kerja adalah metode penetapan keseimbangan antara kegiatan manusia yang dikontribusikan dengan unit output yang dihasilkan. Pengukuran waktu kerja ini akan berhubungan dengan usaha-usaha untuk menetapkan waktu baku yang dibutuhkan guna menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu baku ini sangat diperlukan untuk : 1. Man power planning (perencanaan kebutuhan kerja) 2. Estimasi biaya-biaya untuk upah karyawan/pekerja 3. Penjadwalan produksi dan pengangguran 4. Perencanaan sistem pemberian bonus dan insentif bagi karyawan/pekerja yang berprestasi 5. Indikasi output yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja. Pada garis besarnya teknik-teknik pengukuran waktu kerja dibagi dalam dua bagian, yaitu pengukuran waktu secara langsung dan tidak langsung. Pada pengukuran waktu secara langsung terbagi lagi atas dua metode, yaitu metode pengukuran waktu kerja dengan jam henti dan sampling kerja.
2.1.1.1. Metode Pengukuran Waktu Kerja Dengan Jam Henti Pengukuran waktu kerja dengan jam henti (Stopwatch Time Study) diperkenalkan pertama kali oleh Frederick W. Taylor sekitar abad 19 yang lalu. Metode ini terutama sekali diaplikasikan untuk pekerjaan-pekerjaan yang berlangsung singkat dan berulang-ulang. Dari hasil pengukuran maka akan diperoleh waktu baku untuk menyelesaikan suatu siklus pekerjaan, yang mana waktu ini akan dipergunakan sebagai standar penyelesaian pekerjaan bagi semua pekerja yang akan melaksanakan pekerjaan yang sama seperti itu. a. Penetapan Jumlah Siklus Kerja Yang Diamati Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan elemen-elemen kerja pada umunya akan sedikit berbeda dari siklus-siklus kerja sekalipun operator bekerja pada kecepatan normal dan seragam, tiap-tiap elemen dalam siklus yang berbeda tidak selalu akan bisa diselesaikan dalam waktu yang persis sama. Aktivitas pengukuran kerja pada dasarnya adalah merupakan proses sampling. Konsistensi dari hasil pengukuran dan pembacaan waktu oleh stop watch merupakan hal yang diinginkan dalam proses pengukuran kerja. Semakin kecil perbedaan data waktu yang ada, maka jumlah pengamatan/pengukuran yang harus dilakukan akan cukup kecil, begitupun sebaliknya. Untuk mendapatkan jumlah pengamatan/pengukuran yang memiliki tingkat kepercayaan 95% dan derajat ketelitian 5% dari data waktu yang diukur, maka digunakan persamaan (2.1).
(2.1)
3
Dimana : N’ N X
b.
= jumlah pengamatan/pengukuran yang seharusnya = jumlah pengamatan untuk elemen kerja yang diukur = data waktu yang dibaca oleh stop watch untuk tiap-tiap pengamatan.
Penyesuaian Waktu Dengan Rating Performance Kerja Salah satu bagian yang penting dalam pelaksanaan pengukuran kerja adalah kegiatan evaluasi kecepatan atau tempo kerja pekerja pada saat pengukuran kerja berlangsung. Aktivitas menilai atau mengevaluasi kecepatan kerja dikenal sebagai rating performance. Dengan melakukan rating ini diharapkan waktu kerja yang diukur bisa ”dinormalkan” kembali. Ketidaknormalan dari waktu kerja ini diakibatkan oleh operator yang bekerja secara kurang wajar, yaitu bekerja dalam tempo yang tidak semestinya. Dalam rating performance terdapat beberapa sistem untuk memberikan rating pada aktivitas pengukuran kerja, yaitu skill and effort rating, westinghouse system’s rating, synthetic rating, dan performance rating atau speed rating. Namun untuk penelitian kali ini digunakan westinghouse system’s rating. 1) Westinghouse System’s Rating Westinghouse Company (1972) juga ikut memperkenalkan sistem yang dianggap lebih lengkap dibandingkan dengan sistem Bedaux (Skill and Effort Rating). Disini selain kecakapan (skill) dan usaha (effort) yang telah dinyatakan oleh Bedaux sebagai faktor yang mempengaruhi performance manusia, maka Westinghouse menambahkan lagi dengan kondisi kerja (working condition) dan konsistensi (consistency) dari operator di dalam melakukan kerja. Untuk ini Westinghouse telah berhasil membuat suatu tabel performance rating yang berisikan nilai-nilai yang berdasarkan tingkatan yang ada dari masing-masing faktor tersebut. Untuk menormalkan waktu yang ada maka hal ini dilakukan dengan mengalihkan waktu yang diperoleh dari pengukuran kerja dengan jumlah keempat rating faktor yang dipilih sesuai dengan performance yang ditunjukkan oleh operator.
4
Tabel 1. Tabel Performance Rating Dengan Sistem Westinghouse SKILL EFFORT 0.15
A1
0.13
A2
0.11
B1
0.08
B2
0.06
C1
0.03
C2
0.00
D
0.05
E1
0.10
E2
0.16
F1
0.22
F2
Superskill
0.13
A1
0.12
A2
0.10
B1
0.08
B2
0.05
C1
0.02
C2
Average
0.00
D
Average
Fair
0.04
E1
Fair
0.08
E2
0.12
F1
0.17
F2
Excellent
Good
Poor
CONDITION
Superskill
Excellent
Good
Poor
CONSISTENCY
0.06
A
Ideal
0.04
A
Ideal
0.04
B
Excellent
0.03
B
Excellent
0.02
C
Good
0.01
C
Good
0.00
D
Average
0.00
D
Average
0.03
E
Fair
0.02
E
Fair
0.07
F
Poor
0.04
F
Poor
*Sumber : Wignjosoebroto (2006)
c.
Penetapan Waktu Longgar Dan Waktu Baku Waktu normal untuk suatu elemen operasi kerja adalah semata-mata menunjukkan bahwa seorang operator yang berkualifikasi baik akan bekerja menyelesaikan pekerjaan pada kecepatan yang normal.
Walaupun demikian pada prakteknya kita akan melihat bahwa tidaklah bisa diharapkan operator tersebut akan mampu bekerja secara terus menerus sepanjang hari tanpa adanya interupsi sama sekali. Disini kenyataannya operator akan sering menghentikan kerja dan membutuhkan waktu-waktu khusus untuk keperluan contohnya istirahat melepas lelah. Waktu longgar yang dibutuhkan akan menunda atau memperlambat proses produksi. Waktu longgar dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu kelonggaran waktu untuk kebutuhan pribadi (personal allowance), kelonggaran waktu untuk melepas lelah (fatigue allowance), dan kelonggaran waktu karena keterlambatan-keterlambatan (delay allowance). 1) Kelonggaran Waktu Untuk Kebutuhan Pribadi (Personal Allowance) Yang termasuk ke dalam kebutuhan pribadi disini adalah seperti minum untuk menghilangkan rasa haus, ke kamar kecil, mengobrol dengan teman sekerja, dll.
5
Kebutuhan ini mutlak dibutuhkan bagi seorang pekerja. Besarnya kelonggaran yang diberikan untuk kebutuhan pribadi seperti itu berbeda-beda dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lainnya karena setiap pekerjaan memiliki karakteristik tersendiri dengan ”tuntutan” yang berbeda-beda. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ternyata besarnya kelonggaran bagi pria dan wanita itu berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Besarnya kelonggaran berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh FAKTOR CONTOH PEKERJAAN KELONGGARAN ( % ) A. TENAGA YG
EKIVALEN BEBAN
DIKELUARKAN 1. Dapat diabaikan
PRIA
WANITA
tanpa beban
0,0- 6,0
0,0- 6,0
2. Sangat ringan
Bekerja dimeja, duduk
0,00-2,25 kg
6,0-7,5
6,0- 7,5
3. Ringan
Bekerja dimeja, berdiri
2,25-9,00
7,5-12,0
7,5-16,0
4. Sedang
Menyekop , ringan
9,00-18,00
12,0-19,0
5. Berat
Mencangkul
19,00-27,00
19,0-30,0
6. Sangat berat
Mengayun palu yg berat
27,00 – 50,00
30,0-50,0
7. Luar biasa berat B. SIKAP KERJA
Memanggul beban
Diatas 50 kg
1. Duduk
Memanggul karung berat Bekerja duduk, ringan
0,0 - 1,0
2. Berdiri diatas dua kaki
Badan tegak, ditumpu dua kaki
1,0 - 2,5
3. Berdiri diatas satu kaki
Satu kaki mengerjakan alat
2,5 - 4,0
16,0- 30,0
kontrol 4. Berbaring
Pada bagian sisi , belakang atau
2,5 - 4,0
depan badan 5. Membungkuk
Badan dibungkukkan bertumpu
4,0 - 10,0
pada dua kaki C. GERAKAN KERJA 1. Normal
Ayunan bebas dari palu
0
2. Agak terbatas
Ayunan terbatas dari palu
0 - 5
3. Sulit
Membawa beban berat dengan
0- 5
satu tangan 4. Pada anggota badan Terbatas 5. Seluruh anggota badan terbatas
Bekerja dengan tangan diatas
5 - 10
kepala Bekerja dilorongpertambangan yg
10 - 15
sempit
6
Tabel 3. Besarnya kelonggaran berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh (lanjutan) FAKTOR CONTOH PEKERJAAN KELONGGARAN ( % ) D. KELELAHAN MATA *)
1. Pandangan yg terputus-putus
PENCAHAYAAN BAIK
BURUK
Membawa alat ukur
0,0 - 6,0
0,0 - 6,0
Pekerjaan-pekerjaan
6,0 - 7,5
6,0 - 7,5
7,5 - 12,0
7,5 - 16,0
19,0 - 30,0
16,0 - 30,0
2. Pandangan yg hampir terus menerus 3. Pandangan terus menerus dgn fokus berubah-ubah 4. Pandangan terus menerus dgn fokus tetap
yang teliti Memeriksa cacat-cacat pada kain Pemeriksaan yang sangat
teliti E. KEADAAN TEMPERATUR TEMPAT KERJA**) TEMPERATUR ( C) 1. Beku dibawah 0 2. Rendah 0 - 13 3. Sedang 13 - 22 4. Normal 22 - 28 5. Tinggi 28 - 38 6. tinggiATMOSFER***) diatas 38 F. Sangat KEADAAN Ruang yg berventilasi baik, udara segar Ventilasi kurang baik, ada bau-bauan Adanya debu beracun atau tidak beracun tapi banyak 4. Buruk Adanya bau-bauan berbahaya harus menggunakan alat pernafasan G.KEADAAN LINGKUNGAN YANG BAIK 1. Bersih, sehat, cerah dengan kebisingan rendah 2. Siklus kerja berulang-ulang antara 5 – 10 detik 3. Siklus kerja berulang-ulang antara 0 – 5 detik 4. Sangat bising 5. Jika faktor yg berpengaruh dapat menurunkan kualitas 6. Terasa adanya getaran lantai 7. Keadaan yg luar biasa (bunyi, kebersihan dll)
KELEMBABAN NORMAL BERLEBIHAN PRIA WANITA Diatas 10 diatas 12 10 – 5 12 - 5 5–0 8-0 0–5 0-8 5 – 40 8 - 100 Diatas 40 diatas 100
1. Baik 2. Cukup 3. Kurang baik
0 0–5 5 – 10 10 – 20
0 0–1 1–3 0–5 0–5 5 – 10 5 – 10
*) Kontras antara warna hendaknya diperhatikan **) Tergantung juga pada keadaan ventilasi ***) Dipengaruhi juga oleh ketinggian tempat kerja dari permukaan laut dan keadaan iklim Catatan pelengkap : kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi : Pria = 2 – 2,5 % dan Wanita = 2 – 5 % *Sumber : Sutalaksana et.al.(1979)
7
Waktu standar ini merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerjadengan tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan pekerjaan pekerja tersebut (Mundel dan Danner, 1994). Waktu standar mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut : 1. Perencanaan kebutuhan tenaga kerja 2. Perkiraan biaya-biaya untuk upah karyawan 3. Penjadwalan produksi dan penganggaran 4. Perencanaan sistem pemberian insentif 5. Indikasi keluaran output yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja 6. Menyeimbangkan lintasan produksi (the balancing of production lines). Waktu baku atau waktu standar merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu kegiatan atau pekerjaan. Dengan demikian waktu baku dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (2.2)
Biasanya secara umum, ditetapkan nilai personal allowance adalah 5%. 2) Kelonggaran Waktu Untuk Melepas Lelah (Fatigue Allowance) Rasa fatigue tercermin antara lain menurunnya hasil produksi baik dalam jumlah maupun kualitas. Jika rasa fatigue telah datang dan pekerja harus menghasilkan performance normalnya, maka usaha yang dikeluarkan pekerja lebih besar dari normal dan ini akan menambah rasa fatigue. Bila hal ini berlangsung terus pada akhirnya akan menjadi fatigue total yaitu jika anggota badan yang bersangkutan sudah tidak dapat melakukan gerakan kerja sama sekali walaupun sangat dikehendaki. 3) Kelonggaran Waktu Karena Keterlambatan-Keterlambatan (Delay Allowance) Dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja tidak akan lepas dari hambatanhambatan. Ada hambatan yang dapat dihindarkan dan ada pula yang tidak. Bagi hambatan yang dapat dihindarkan jelas tidak ada pilihan selain menghilangkannya, sedangkan bagi hambatan yang tidak dapat dihilangkan harus diusahakan dikurangi sebisa mungkin, hambatan akan tetap ada dan karenanya harus diperhitungkan dalam perhitungan waktu baku. Contoh hambatan yang tidak dapat dihindarkan seperti menerima petunjuk dari pengawas atau supervisor, memperbaiki mesin, dll.
2.1.2. Studi Gerakan Menurut Wignjosoebroto (2008), studi gerakan atau motion study suatu studi tentang gerakan-gerakan yang dilakukan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dengan studi ini akan diperoleh gerakan-gerakan standar untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang efektif dan efisien. Untuk memudahkan analisa gerakan maka digunakan metode THERBLIG yang diciptakan oleh Frank dan Lillian Gilberth. Pada metode THERBLIG diuraikan gerakan-gerakan kerja ke dalam 17 gerakan. Sebagian elemen-elemen dasar THERBLIG merupakan gerakan tangan yang biasa terjadi apabila suatu pekerjaan terjadi, terlebih bila bersifat manual. Frank dan Lillian Gilberth
8
menyatakan metode ini dalam simbol-simbol gambar dan warna tertentu seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini.
*Sumber : Wignjosoebroto (2006)
Gambar 1. Simbol-simbol dalam metode THERBLIG
2.2. Peta Kerja Menurut Sritomo Wignjosoebroto (2008), peta kerja, atau sering disebut sebagai peta proses, adalah alat komunikasi yang sistematis dan logis guna menganalisa proses kerja dari tahap awal sampai akhir, melalui peta proses ini kita mendapatkan informasi-informasi yang diperlukan untuk memperbaiki metode kerja. Melalui peta kerja kita bisa melihat semua prosedur kerja yang dilakukan mulai dari awal hingga akhir. Selain dapat digambarkan menurut aliran kerja manusia dan aliran material, peta kerja juga dapat digambarkan secara berbeda menurut derajat detail ataupun ruang lingkup yang ingin djelaskan. Dalam hal ini kita bisa menggambarkan peta kerja dengan klasifikasi : a. Peta-peta kerja yang digunakan untuk menganalisa kerja secara keseluruhan b. Peta-peta kerja yang digunakan untuk menganalisa kerja setempat.
9
Suatu kegiatan disebut sebagai kegiatan kerja keseluruhan apabila kegiatan tersebut melibatkan sebagian besar atau semua fasilitas yang diperlukan untuk membuat/mengerjakan produk yang bersangkutan. Sedangkan suatu kegiatan kerja disebut kegiatan kerja setempat apabila kegiatan tersebut terjadi dalam suatu stasiun kerja. Untuk menganalisis proses kerja secara keseluruhan atau secara setempat (per stasiun kerja). Untuk penggambaran analisa kerja secara keseluruhan maka aplikasi dan simbol-simbol ASME akan banyak membantu. Transportasi Kegiatan transportasi terjadi bila fasilitas kerja lainnya yang dianalisa bergerak berpindah tempat yang bukan merupakan bagian dari suatu operasi kerja. Suatu pergerakan yang merupakan bagian dari suatu operasi atau disebabkan oleh pekerja pada tempat kerja sewaktu operasi atau pemeriksaan berlangsung bukanlah merupakan kegiatan transportasi. Inspeksi Kegiatan inspeksi atau pemeriksaan terjadi apabila suatu objek diperiksa, baik pemeriksaan pada segi kualitas maupun kuantitas, apakah sudah sesuai dengan karakteristik performa yang disatandarkan. Pemeriksaan ini bisa termasuk kegiatan mengukur besaran dengan memakai peralatan ukur atau sekedar membandingkan secara visual dengan objek lain yang sudah diklasifikasikan standar. Menunggu Proses menunggu terjadi apabila material, benda kerja, operator atau fasilias kerja dalam kondisi berhenti dan tidak terjadi kegiatan apapun selain menunggu. Kegiatan ini biasanya berlangsung sementara, dimana objek terpaksa menunggu atau ditinggakan sementara sampai suatu saat dikerjakan/diperlukan kembali. Memimpin Proses penyimpanan terjadi apabila obyek disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Jika obyek itu akan kembali diambil, biasanya akan memerlukan prosedur perijinan yang khusus. Simbol ini digunakan untuk menyatakan bahwa suatu obyek mengalami proses penyimpanan permanen, yaitu ditahan atau dilindungi terhadap pengeluaran tanpa ijin tertentu. Prosedur perijinan dan lamanya waktu adalah dua hal yang membedakan antara kegiatan menyimpan dan menunggu. Aktivitas Ganda Seringkali dijumpai kondisi-kondisi dimana dua elemen kerja harus dilaksanakan secara bersamaan. Contohnya adanya kegiatan operasi yang harus dilaksanakan secara bersamaan dengan kegiatan pemeriksaan pada stasiun kerja yang sama pula. Untuk penggambaran simbol yang dipergunakan adalah dengan meletakkan simbol kerja yang satu di atas simbol kerja yang lain. Untuk memilih peta kerja apa yang paling tepat untuk diaplikasikan, maka terlebih dahulu harus didefinisikan secara jelas dan tepat mengenai kegiatan apa yang ingin diuraikan (pekerja, mesin, atau aliran material) dan ruang lingkup yang ingin dianalisa. Ada berbagai macam peta kerja yang umum dipakai untuk menganalisa proses kerja keseluruhan, yaitu antara lain : peta proses operasi, peta produk banyak, peta aliran proses, dan diagram aliran. Pada penelitian kali ini akan digunakan peta aliran proses.
2.3. Keseimbangan Lintasan Produksi (Line Balancing) Line balancing merupakan suatu metode penugasan sejumlah pekerjaan ke dalam beberapa stasiun kerja yang saling berkaitan dalam suatu lini produksi sehingga setiap stasiun
10
kerja memiliki waktu stasiun yang tidak melebihi waktu siklus dari line balancing. Tujuan dari penyeimbangan lintasan adalah untuk meningkatkan efisiensi tiap stasiun kerja dan menyeimbangkan lintasan sehingga seluruh stasiun kerja dalam lintasan, bekerja dengan kecepatan yang sedapat mungkin sama. Keseimbangan yang sempurna tercapai apabila ada persamaan keluaran (output) dari setiap operasi dalam suatu runtutan lini. Bila keluaran yang dihasilkan tidak sama, maka keluaran maksimum mungkin tercapai untuk lini operasi yang paling lambat. Operasi yang paling lambat menyebabkan ketidakseimbangan dalam lintasan produksi. Keseimbangan pada stasiun kerja berfungsi sebagai sistem keluaran yang efisien. Hasil yang bisa diperoleh dari lintasan yang seimbang akan membawa ke arah perhatian yang lebih serius terhdap metode dan proses kerja. Keseimbangan lintasan juga memerlukan ketrampilan operator yang ditempatkan secara layak pada stasiun-stasiun kerja yang ada. Keuntungan keseimbangan lintasan adalah pembagian tugas secara merata sehingga kemacetan bisa dihindari. (Setiawan, 2000).
2.3.1. Pengaruh Kecepatan Lintasan Terhadap Penyusunan Stasiun Kerja Hal yang berpengaruh pada penyusunan stasiun kerja adalah kecepatan lintasan yang ditentukan dari tingkat kapasitas permintaan serta waktu operasi terpanjang. Semakin tinggi kecepatan lintasan, jumlah stasiun kerja yang yang dibutuhkan akan menjadi semakin banyak. Sebaliknya, semakin rendah kecepatan lintasan perkitan maka jumlah stasiun kerja yang dibutuhkan menjadi semakin sedikit. (Kusuma, 2002). Presedence Diagram Precedence diagram digunakan sebelum melangkah pada penyelesaian menggunakan metode keseimbangan lintasan. Precedence diagram sebenarnya merupakan gambaran secara grafis dari urutan operasi kerja, serta ketergantungan pada operasi kerja lainnya yang tujuannya untuk memudahkan pengontrolan dan perencanaan kegiatan yang terkait di dalamnya. (Baroto, 2002), Adapun tanda yang dipakai dalam precedence diagram adalah: 1. Simbol lingkaran dengan huruf atau nomor di dalamnya untuk mempermudah identifikasi asli dari suatu proses operasi. 2. Tanda panah menunjukkan ketergantungan dan urutan proses operasi. Dalam hal ini, operasi yang ada di pangkal panah berarti mendahului operasi kerja yang ada pada ujung anak panah. 3. Angka di atas simbol lingkaran adalah waktu standar yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap proses operasi. Istilah-Istilah Dalam Line Balancing: a) Work Station Work Station merupakan tempat pada lini perakitan di mana proses perakitan dilakukan. Setelah menentukan interval waktu siklus, maka jumlah stasiun kerja yang efisien dapat ditetapkan dengan rumus (Baroto, 2002): (2.3)
Dimana : ti =Waktu operasi (elemen)
11
C = Waktu siklus stasiun kerja Kmin = Jumlah stasiun kerja minimal. b) Waktu Menganggur (Idle Time) Idle time adalah selisih atau perbedaan antara Cycle Time (CT) dan Stasiun Time (ST), atau CT dikurangi ST. (Baroto, 2002).
(2.4)
Dimana : n = Jumlah stasiun kerja Ws = Waktu stasiun kerja terbesar Wi =Waktu sebenarnya pada stasiun kerja i = 1,2,3,…,n c)
Efisiensi Stasiun Kerja Efisiensi stasiun kerja merupakan rasio antara waktu operasi tiap stasiun kerja (Wi) dan waktu operasi stasiun kerja terbesar (Ws). Efisiensi stasiun kerja dapat dirumuskan sebagai berikut (Nasution, 1999): (2.5)
d) Efisiensi Lintasan Produksi (Line Efficiency) Line Efficiency merupakan rasio dari total waktu stasiun kerja dibagi dengan siklus dikalikan jumlah stasiun kerja (Baroto, 2002) atau jumlah efisiensi stasiun kerja dibagi jumlah stasiun kerja (Nasution, 1999). Line Efficiency dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2.6) Dimana : STi = Waktu stasiun kerja dari ke-i K = Jumlah stasiun kerja CT = Waktu siklus e)
Smoothness Index Smoothness Index adalah suatu indeks yang menunjukkan kelancaran relatif dari penyeimbangan lini perakitan tertentu.(Baroto, 2002)
(2.7)
12
Dimana : ST max = Maksimum waktu di stasiun STi = Waktu stasiun di stasiun kerja i f)
Keseimbangan Waktu Senggang (Balance Delay) Balance Delay merupakan ukuran dari ketidakefisienan lintasan yang dihasilkan dari waktu mengganggur sebenarnya yang disebabkan karena pengalokasian yang kurang sempurna di antara stasiun-stasiun kerja. Balance Delay dapat dirumuskan sebagai berikut (Baroto, 2002): (2.8)
Dimana : D = Balance Delay (%) n = Jumlah stasiun kerja C = Waktu siklus terbesar dalam stasiun kerja ∑ti = Jumlah semua waktu operasi ti = Waktu operasi
2.3.2. Metode Peringkat Bobot Posisi (Rangked Positional Weight Method). Metode ini disebut metode peringkat bobot posisi (Rangked Positional Weight Method) karena metode ini menggunakan pendekatan dengan meugaskan operasi ke dalam stasiunstasiun kerja dengan dasar panjang waktu operasi. Proses kerja diurutkan berdasarkan peringkat mulai yang paling besar sampai yang paling kecil. Nilai peringkat didapat dari jumlah waktu operasi mulai dari awal sampai akhir proses. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : a) Hitung kecepatan lintasan yang diinginkan. Kecepatan lintasan aktual adalah kecepatan lintasan yang diinginkan. b) Buat matriks keterdahuluan berdasarkan jaringan kerja produksi. c) Hitung bobot posisi tiap operasi yang dihitung berdasarkan jumlah waktu siklus tersebut dan operasi-operasi pengikutnya. d) Urutkan operasi-operasi mulai dari bobot terbesar sampai dengan bobot yang terkecil. e) Lakukan pembebanan operasi pada stasiun kerja mulai dari operasi dengan bobot terbesar sampai dengan bobot terkecil, dengan kriteria total waktu operasi lebih kecil dari kecepatan lintasan yang ditentukan. f) Hitung efisiensi rata-rata stasiun kerja terbentuk. g) Gunakan prosedur trial dan error untuk mencari pembebanan yang akan menghasilkan efisiensi rata-rata lebih besar dari efisiensi rata-rata pada poin f) diatas. h) Ulangi langkah f) dan g) sampai tidak ditemukan lagi stasiun kerja yang memiliki efisiensi rata-rata yang lebih tinggi. Jumlah stasiun kerja yang dihasilkan dari metode ini akan menentukan besarnya waktu menganggur yang dihasilkan dari lintasan tersebut. Hal ini berdampak pada berubahnya tekanan kerja pada operator yang mengakibatkan berkurangnya rasa lelah saat bekerja. Menurut Nugraha (2009), Penurunan waktu menganggur setelah lintasan diperbaiki pada keseimbangan lini dapat digunakan sebagai acuan perbandingan jumlah pemborosan yang terjadi antara kondisi sebelum
13
perbaikan dan setelah perbaikan. Untuk mengetahui jumlah pemborosan dari lintasan produksi dapat diketahui dengan menggunakan persamaan (2.9). (2.9)
Menurut Rindingpadang (2006), sistem perhitungan efisiensi pada lintasan yang digunakan perusahaan adalah berdasarkan output yang dihasilkan dan target produksi per hari untuk tiap lintasan. Output yang dihasilkan merupakan hasil yang didapat selama jam kerja dan target produksi di dapat dari perhitungan antara jam kerja, waktu proses di lintasan produksi dan jumlah operator di lintasan tersebut. Maka untuk memperoleh target produksi per hari dapat dilakukan dengan persamaan (2.10). (2.10)
14