BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Tinjauan Terhadap Penelitian Terdahulu Silvya Levina Mandey (2009) dengan disertasi yang berjudul pengaruh kualitas layanan, perilaku peran ekstra, kualitas komunikasi tim medis, dan kepercayaan pasien terhadap kepuasan pasien dan niat berperilaku pasien rumah sakit/bersalin di Sulawesi Utara. Penelitian dari Silvya Levina Mandey (2009) menggunakan Metode Kuantitatif, sedangkan pada penelitian ini Peneliti menggunakan Metode Kualitatif. Bedanya penelitian ini dari Silvya Levina Mandey bertujuan untuk menganalisis pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan pasien dan niat berperilaku pasien, menganalisis pengaruh perilaku peran ekstra terhadap kepuasan pasien dan niat berperilaku pasien, menganalisis pengaruh kualitas komunikasi tim medis terhadap kepuasan pasien dan niat berperilaku pasien, menganalisis pengaruh kepercayaan terhadap kepuasan pasien dan niat berperilaku pasien, serta menganalisis pengaruh kepuasan pasien terhadap niat berprilaku pasien. Sedangkan menurut peneliti, bagaimana hal kualitas pelayanan kesehatan rawat inap kelas tiga di RSUP. Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Sampel penelitian terdahulu adalah seluruh pasien yang pernah bersalin secara normal dirumah sakit dengan biaya sendiri (di luar Askes) yang ada di provinsi Sulawesi Utara. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kualitas layanan berpengaruh
12
13
signifikan terhadap kepuasan pasien. Kualitas layanan berpengaruh signifikan terhadap niat berprilaku. Perilaku peran ekstra berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pasien. Perilaku peran ekstra berpengaruh signifikan terhadap niat berperilaku. Kualitas komunikasi tim medis berpengaruh signifikan terhadap niat berprilaku secara negatif. Kepercayaan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan. Kepercayaan berpengaruh signifikan terhadap niat berperilaku. Kepuasan pasien berpengaruh tidak signifikan terhadap niat berperilaku. Kepuasan pasien tidak menimbulkan niat berperilaku. Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan di Rumah sakit Umum Pusat Prof Dr. R.D. Kandou Manado dengan memfokuskan permasalahan pada pelayanan kesehatan rawat inap kelas tiga, maka konsep yang digunakan melalui kaedah Servqual. Maka untuk mengukur Kualitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou Manado menggunakan pendekatan Servqual yang dikembangkan Parasuraman dkk, (1990:21)
yang
artinya suatu kuesioner yang digunakan untuk mengukur Mutu/Kualitas jasa dengan mendeteksi sepuluh dimensi menjadi lima dimensi dari Kualitas Layanan. Kesepuluh dimensi yang kemudian dirangkum menjadi 5 (lima) dimensi dalam Servqual setelah dilakukan suatu tes yang empiris. Model Mutu/Kualitas Jasa tersebut menurut Parasuraman dkk, (1990:23), yaitu: 1. Tangibles/Benda berwujud, penampilan fisik, perlengkapan, karyawan dan bahan komunikasi, 2. Reliability/Keandalan,
kemampuan
melaksanakan
layanan
yang
14
dijanjikan secara meyakinkan dan akurat; 3. Responsiveness/Daya Tanggap, kesediaan membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat; 4.
Assurance/Jaminan, pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka menyampaikan kepercayaan dan keyakinan;
5. Empaty/Empati, kesediaan memberikan perhatian yang mendalam dan khusus kepada masing-masing pelanggan. Benda berwujud, penampilan fisik, perlengkapan, karyawan dan bahan komunikasi; Keandalan, kemampuan melaksanakan layanan yang dijanjikan secara meyakinkan dan akurat; Daya tanggap, kesediaan membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat; Jaminan, pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka menyampaikan kepercayaan dan keyakinan; Empati, kesediaan memberikan perhatian yang mendalam dan khusus kepada masing-masing pelanggan. Ariani (2008) dalam disertasinya yang berjudul "Peningkatan kualitas pelayanan Rumah Sakit Umum (RSU) Mataram", menggunakan metode kualitatif disertatif sama dengan peneliti menggunakan metode kualitatif. Fokus dari penelitian ini adalah mengkaji masalah perilaku dokter dan perawat selaku tenaga medis pada proses pemberian pelayanan kesehatan masyarakat di poliklinik RSU Mataram serta faktor-faktor pembentuk perilaku kerja tersebut. Penelitian ini menggunakan konsep (1) pelayanan publik, (2) perilaku individu, (3) street level bureaucracy. Penelitian kualitatif deskriptif ini menggunakan tehnik wawancara, observasi partisipan dan dokumentasi dalam pengumpulan data dilapangan, serta
15
menggunakan tehnik bola salju (snowball) dalam penentuan informan. Dari hasil penelitian ditemukan delapan dimensi empiris tentang perilaku tenaga kerja medis yang menjadi masalah dalam peningkatan kualitas pelayanan RSU Mataram, yaitu: dimensi keramahan (Courtesy), kelayakan (Appropriateness), Efisiensi (Efficiency),
Kepedulian
(Caring),
Emosional
(Emotional),
Komunikasi
(Communication), Keadilan (Equity), dan keberagaman keahlian tenaga medis (Staff diversity). Konsep teori yang digunakan ialah Lipsky tentang birokrasi garis depan yang disebut pejabat publik adalah mereka yang berinteraksi secara langsung dengan warga Negara dalam menjalankan kebijakan publik, mempunyai kecenderungan ditandai dengan 5 (lima) karakteristik, yaitu: sumber daya secara rill dan faktual kurang memadai jika dibandingkan dengan beban tugas yang harus diselasaikan, permintaan pelayanan cenderung meningkat dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat, menjadi tim bagi warga negaranya, orientasi kinerja mereka terhadap pencapaian organisasi cenderung menjadi sulit juga tidak terukur, pekerjaan tidak bersifat sukarela. Santoso (2011) dengan judul penelitian "Penilaian Kualitas Pelayanan Pusat Kesehatan Masyarakat di Wilayah Sumatera Utara". Penelitian ini mendasari bahwa pusat kesehatan masyarakat merupakan fasilitas pelayanan kesehatan utama dalam pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia dan mempunyai peranan yang besar dalam mencapai Visi Indonesia Sehat 2010. Tujuan penelitian ini untuk menilai kualitas pelayanan kesehatan puskesmas. Penilaian kualitas pelayanan puskesmas ini melalui kaedah Servqual, serta pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Metode dan Hasil: Analisis kuantitatif
16
memperoleh rata-rata skor persepsi kualitas adalah 3.79. Seterusnya, kualitas pelayanan kesehatan puskesmas terhadap semua dimensi secara umum menunjukkan skor melebihi 3. Ini berarti kualitas pelayanan kesehatan puskesmas secara relatifnya baik. Diurutkan menurut rata-rata skor, maka dimensi keresponsifan (responsiveness) dan kepercayaan (reliability) menghasilkan ratarata skor persepsi 3.85 seterusnya dimensi empati (empathy) menunjukkan ratarata skor persepsi 3.81 dimensi jaminan (assurance) pula memperlihatkan ratarata skor persepsi 3.79. Kesimpulan Dimensi bukti nyata (tangibles) menunjukkan rata-rata
skor
persepsi
paling
rendah
yaitu
3.64.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan puskesmas pula terdiri daripada faktor masukan, proses, dan lingkungan bagi mencapai Visi Indonesia Sehat 2010 melalui pelaksanaan Proyek Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan uraian tersebut di atas menunjukan bahwa Penelitian dari Silvya Levina Mandey (2009) berorientasi pada pasien rumah sakit/bersalin di Sulawesi Utara dengan menggunakan Metode Kuantitatif; sedangkan Penelitian Ariani (2008) berorientasi pada pelayanan kesehatan masyarakat di poliklinik RSU Mataram dengan menggunakan metode kualitatif, dan selanjutnya Penelitian Santoso (2011) berorientasi pada kualitas pelayanan kesehatan puskesmas di Propinsi Sumatera Utara dengan menggunakan metode secara kuantitatif dan kualitatif. Penelitian-penelitian tersebut di atas berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti karena penelitian ini difokuskan pada Kualitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D.
17
Kandou Manado. Hal ini dimaksudkan bahwa penelitian ditujukan pada Pasien Rawat Inap Kelas Tiga, yaitu pada pasien yang mempunyai tingkat ekonomi yang lemah. Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah: Metode Kualitatif. Model Kualitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou Manado menggunakan kaedah Servqual yang dikembangkan Parasuraman dkk, (1990:21), yang semula berorientasi pada sepuluh dimensi, yaitu: Tangibles, Reliable, Responsiveness, Competence,
Courtesy,
Credibility,
Security,
Access,
Communication,
Understanding the customer yang kemudian dirangkum menjadi 5 (lima) dimensi, yakni: Tangibles/Benda berwujud, penampilan fisik, perlengkapan, karyawan dan bahan komunikasi, Reliability/Keandalan, kemampuan melaksanakan layanan yang dijanjikan secara meyakinkan dan akurat; Responsiveness/Daya Tanggap, kesediaan
membantu
pelanggan
dan
memberikan
jasa
dengan
cepat;
Assurance/Jaminan, pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka menyampaikan kepercayaan dan keyakinan; Empaty/Empati, kesediaan memberikan perhatian yang mendalam dan khusus kepada masing-masing pelanggan.
2.1.2. Kualitas Pelayanan Publik Memahami konsep pelayanan publik secara sederhana dapat digambarkan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah
18
ditetapkan. Pelayanan publik merupakan isu penting dalam reformasi birokrasi yang terus berkembang dan penuh kritik dewasa ini. Tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah untuk memuaskan dan memenuhi kebutuhan sesuai dengan keinginan masyarakat pada umumnya untuk mencapai hal ini, diperlukan kualitas pelayanan sesuai harapan dari masyarakat. Widodo (2005:162) mengemukakan bahwa: Arah yang dicapai oleh pemerintah daerah dalam memberikan layanan publik, tidak lain yakni layanan yang lebih baik (better), lebih dekat (closer), lebih murah (cheaper) dan lebih cepat (faster). Muaranya yakni terwujudnya kepuasan masyarakat dalam menerima layanan yang diberikan oleh perangkat pemerintah daerah. Paiman Napitulu (2007:174), menyatakan bahwa: Prinsip kepuasan masyarakat dalam proses pelayanan jasa publik oleh pemerintah sebagai service provider sangat penting karena hanya dengan memenuhi kebutuhan pelanggan secara memuaskan, keberadaan pemerintah itu diakui dan mendapatkan legitimasi serta kepercayaan dari rakyatnya. Hal ini berarti pemerintah sebagai pemberi pelayanan mempunyai peranan penting untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah yang mendapat kepercayaan atau legitimasi dari masyarakat dalam melaksanakan proses pelayanan jasa publik, haruslah benar-benar dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya, tanpa membeda-bedakan suku, agama, golongan, ras dan lainnya. Selanjutnya menurut Subarsono (2006:142), Kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat kompetensi aparat, kualitas peralatan yang digunakan untuk memproses pelayanan, budaya, birokrasi, dan sebagainya. Kompetensi aparat birokrasi merupakan akumulasi dari sejumlah sub variabel seperti tingkat pendidikan, jumlah tahun pengalaman kerja dan variasi pelatihan yang telah diterima. Sedangkan kualitas dan kuantitas peralatan yang digunakan akan mempengaruhi prosedur,
19
kecepatan proses, dan kualitas keluaran (output) yang akan dihasilkan. Apabila organisasi menggunakan teknologi modern seperti komputer maka metode dan prosedur kerja berbeda dengan ketika organisasi menggunakan cara kerja manual. Melalui adopsi teknologi modern dapat menghasilkan output yang lebih banyak dan berkualitas yang relatif lebih cepat. Sesungguhnya, kebanyakan organisasi memiliki aspek-aspek tertentu dari birokrasi walaupun tidak sebuahpun organisasi bersifat birokrasi sempurna. (Winardi, 2003:91). Maka birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang baik dan profesional kepada seluruh masyarakat.
Pelayanan publik menurut Harbani Pasolong (2007:128), adalah: Setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dengan demikian pelayanan publik merupakan pemberian layanan (melayani) berbagai keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada suatu organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan sebelumnya. Selanjutnya Widodo (2005:163), mengemukakan: Kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi yang dialami oleh masyarakat.
20
Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahnya. Kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Arah pembangunan kualitas manusia tadi adalah memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Pelayanan
publik
yang
profesional
setidaknya
didasarkan
pada
akuntabilitas, dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah) melalui penguatan pranata pelayanan dengan lebih mengedepankan efektivitas pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran, sederhana dalam prosedur dan tata cara pelayanan yang diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan, perlunya kejelasan dan kepastian (transparan) mengenai kepastian mengenai persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif, unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan
21
bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya, maupun jadwal waktu penyelesaian pelayanan. Demikian pula halnya pelayanan publik yang berkualitas memerlukan keterbukaan yang mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta, efisiensi berkaitan dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan, pencegahan atas pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait, ketepatan waktu pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan, responsif yang lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani maupun adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang. Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis dewasa ini menjadikan birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Bermula dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogik dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatik (Widodo, 2005:162).
22
Revitalitas birokrasi publik (terutama aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dapat terwujud. Sehubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan setidaknya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya baik yang menyangkut pelayan masyarakat, pembangunan dan perlindungan. Hal yang terpenting kemudian adalah sejauh mana pemerintah dapat mengelola fungsi-fungsi tersebut agar dapat lebih ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya. Selain itu, pemerintah dituntut untuk menerapkan prinsip keadilan dalam menjalankan fungsi-fungsi tadi yang mengandung pengertian bahwa pelayanan pemerintah tidak boleh diberikan secara diskriminatif. Pelayanan diberikan tanpa memandang status, pangkat, golongan dari masyarakat dan semua warga masyarakat mempunyai hak yang sama atas pelayanan-pelayanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pola kerja sama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan reinventing government yang dikembangkan Osbome dan Gaebler (1992:52). Namun dalam kaitannya dengan sifat barang privat dan barang publik murni, maka pemerintah adalah satu-satunya pihak yang berkewajiban menyediakan barang publik murni, khususnya barang publik yang bernama rules atau aturan (kebijakan publik). Barang publik murni yang berupa aturan tersebut tidak pernah dan tidak boleh diserahkan penyediaannya kepada swasta, karena apabila hal itu dilakukan maka di dalam aturan tersebut akan melekat
23
kepentingan-kepentingan swasta yang membuat aturan, sehingga aturan menjadi penuh dengan vested interest dan menjadi tidak adil (unfair rule). Maka peran pemerintah yang akan tetap melekat disepanjang keberadaannya adalah sebagai penyedia barang publik murni yang bernama aturan. Menurut Kristian Widya Wicaksono (2006:9), pada level yang umum, apabila birokrasi melakukan pelayanan publik dengan baik maka birokrasi tersebut mampu menunjukkan sejumlah indikasi perilaku: 1. Memproses pekerjaannya secara stabil dan giat; 2. Memperlakukan individu yang berhubungan dengannya secara adil dan berimbang; 3. Mempekerjakan dan mempertahankan pegawai berdasarkan kualifikasi professional dan orientasi terhadap keberhasilan program; 4. Mempromosikan staf berdasarkan system meriet dan hasil pekerjaan baik yang dapat dibuktikan; 5. Melakukan pemeliharaan terhadap prestasi yang sudah dicapai sehingga dapat segera bangkit bila menghadapi keterpurukan. Sedangkan tujuan penyajian birokrasi pemerintahan adalah, sebagai berikut: 1. Menyediakan sejumlah layanan sebagai hakikat dari tanggung jawab pemerintah. 2. Memajukan kepentingan sektor ekonomi spesific, seperti pertanian, buruh atau segmen tertentu dari bisnis privat. 3. Membuat regulasi atas berbagai aktivitas privat. 4. Meredistribusikan sejumlah keuntungan seperti pendapatan, hak-hak, perawatan medis dan lain-lain. Maka dapat dikatakan kedudukan aparatur pemerintah pada level yang umum dalam pelayanan publik sangatlah strategis. Dipandang dari sudut ekonomi, pelayanan merupakan salah satu alat pemuas kebutuhan manusia sebagaimana halnya dengan barang. Namun pelayanan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari barang. Salah satu yang membedakannya dengan barang, sebagaimana dikemukakan oleh Gasperz (1994:18), adalah outputnya yang tidak berbentuk (intangible output), tidak
24
standar, serta tidak dapat disimpan dalam inventors melainkan langsung dapat dikonsumsi pada saat produksi. Karakteristik pelayanan sebagaimana yang dikemukakan Gasperz secara jelas membedakan pelayanan dengan barang, meskipun sebenarnya keduanya merupakan alat pemuas kebutuhan. Sebagai suatu produk yang intangible, pelayanan memiliki dimensi yang berbeda dengan barang yang bersifat tangible. Produk akhir pelayanan tidak memiliki karakteristik fisik sebagaimana yang dimiliki oleh barang. Produk akhir pelayanan sangat tergantung dari proses interaksi yang terjadi antara layanan dengan konsumen. Sehubungan konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik. Senada dengan itu, Moenir (1992:14) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Selanjutnya Pandji Santosa (2008:57), menyatakan Pelayanan Publik adalah Pemberian jasa, baik oleh pemerintah, swasta atas nama pemerintah, ataupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat. Berkaitan dengan versi pemerintah, definisi pelayanan publik dikemukakan dalam Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1995, yaitu segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara
25
(BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik selalu berkaitan dengan perasaan puas dari masyarakat yang menerima pelayanan. Berangkat dari persoalan mempertanyakan kepuasan masyarakat terhadap apa yang diberikan oleh pelayan dalam hal ini yaitu administrasi publik adalah pemerintah itu sendiri dengan apa yang mereka inginkan, maksudnya yaitu sejauh mana publik berharap apa yang akhimya mereka diterima. Maka dilakukan penilaian tentang sama tidaknya antara harapan dengan kenyataan, apabila tidak sama maka pemerintah diharapkan dapat mengoreksi keadaan agar lebih teliti untuk peningkatan kualitas pelayanan publik. Selanjutnya dipertanyakan apakah terhadap kehendak masyarakat, seperti ketentuan biaya yang tepat, waktu yang diperhitungkan dan mutu yang dituntut masyarakat telah dapat terpenuhi. Andaikata tidak terpenuhi, pemerintah diharapkan mengkoreksi keadaan, sedangkan apabila terpenuhi dilanjutkan pada pertanyaan berikutnya, tentang berbagai informasi yang diterima masyarakat berkenaan dengan situasi dan kondisi, serta aturan yang melengkapinya. Various approaches have been suggested regarding how to define and measure service quality. (Hanjoon Lee dkk, 2000:234). Hal ini berarti, bahwa berbagai
pendekatan
telah
disarankan
sehubungan
dengan
bagaimana
mendefinisikan dan mengukur kualitas pelayanan. Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi
26
harapan. Kata kualitas sendiri mengandung banyak pengertian, beberapa contoh pengertian kualitas menurut Fandy Tjiptono (2001:3) adalah sebagai berikut: 1. Kualitas meliputi: usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. 2. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan. 3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada masa mendatang). Pengertian-pengertian tersebut di atas pada prinsipnya dapat diterima dan menjadi pertanyaan adalah ciri-ciri atau atribut-atribut apakah yang ikut menentukan kualitas pelayanan publik tersebut. Ciri-ciri atau atribut-atribut tersebut sebagaimana pemikiran Hanjoon Lee dkk (2000:236), yaitu: 1. Jaminan: Courtesy ditampilkan oleh dokter, perawat, atau staf kantor dan kemampuan mereka untuk menginspirasi kepercayaan pasien dan keyakinan. 2. Empati: Peduli, perhatian individual yang diberikan dokter, perawat dan staf mereka kepada pasien. 3. Keandalan: Kemampuan untuk melakukan pelayanan yang diharapkan dependably dan akurat. 4. Responsif: Kesediaan untuk memberikan layanan yang cepat. 5. Tangibles: fisik fasilitas, peralatan dan penampilan dari kontak. 6. Inti Medis Layanan, yaitu Aspek medis pusat layanan: Kesesuaian, efektivitas dan manfaat kepada pasien. 7. Profesionalisme/ketrampilan pengetahuan, keahlian teknis, jumlah pelatihan dan pengalaman. Penilaian kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk? Parasuraman dkk (1990:23) mengemukakan dalam mendukung hal tersebut, ada 5 (lima) dimensi yang harus diperhatikan dalam melihat pelayanan publik, yaitu sebagai berikut: 1. Tangibles/Benda berwujud, penampilan fisik, perlengkapan, karyawan dan bahan komunikasi,
27
2. Reliability/Keandalan,
kemampuan
melaksanakan
layanan
yang
dijanjikan secara meyakinkan dan akurat; 3. Responsiveness/Daya Tanggap, kesediaan membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat; 4.
Assurance/Jaminan, pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka menyampaikan kepercayaan dan keyakinan;
5. Empaty/Empati, kesediaan memberikan perhatian yang mendalam dan khusus kepada masing-masing pelanggan. Organisasi pelayanan publik mempunyai ciri public acountability, dimana setiap warga negara mempunyai hak untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang mereka terima. Organisasi adalah merupakan alat atau wadah dari sekelompok orang yang bekerja sama dengan terkoordinasi dengan cara yang terstruktur, untuk mencapai tujuan tertentu. (Sri Waluyeng, 2007:11). Setiap organisasi berlandaskan sejumlah manusia; tiada organisasi dapat eksis tanpa manusia. (Winardi, 2003: 26). Organisasi hanya merupakan alat dan wadah tempat manajer melakukan kegiatan-kegiatannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Malayu S.P. Hasibuan, 2008:23). Hal ini dikarenakan bahwa organisasi merupakan suatu sistem yang terdiri dari pola aktivitas kerjasama yang dilakukan secara teratur dan berulang-ulang oleh sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan. (Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita 1997:1). Organisasi yang terbesar dimanapun sudah barang tentu organisasi publik yang mewadahi seluruh lapisan masyarakat dengan ruang lingkup negara. Oleh karena itu organisasi publik mempunyai kewenangan yang sah (terlegitimasi)
28
sehingga
mempunyai
kewajiban
melindungi
warganya,
serta
melayani
kebutuhannya. (Inu Kencana Syafiie, 2006:53). Pengorganisasian tidak pernah selesai bahkan bersifat dinamis. (George G. Terry dan Leslie W. Rue, 2012:153) Sangat sulit untuk menilai kualitas suatu pelayanan tanpa mempertimbangkan peran masyarakat sebagai penerima pelayanan dan aparat pelaksana pelayanan itu. Evaluasi yang berasal dari pengguna pelayanan, merupakan elemen pertama dalam analisis kualitas pelayanan publik. Elemen kedua dalam analisis adalah kemudahan suatu pelayanan dikenali baik sebelum dalam proses atau setelah pelayanan itu diberikan. Adapun dasar untuk menilai suatu kualitas pelayanan selalu berubah dan berbeda. Apa yang dianggap sebagai suatu pelayanan yang berkualitas saat ini tidak mustahil dianggap sebagai sesuatu yang tidak berkualitas pada saat yang lain, maka kesepakatan terhadap kualitas sangat sulit untuk dicapai. Sehubungan dengan hal ini yang dijadikan pertimbangan adalah kesulitan atau kemudahan konsumen dan produsen di dalam menilai kualitas pelayanan. Patricia Patton (1998:16) memperkenalkan konsep kualitas pelayanan publik dengan sebutan "layanan sepenuh hati". Layanan sepenuh hati merupakan layanan yang berasal dari diri sendiri yang mencerminkan emosi, watak, keyakinan, nilai, sudut pandang dan perasaan. Kualitas dapat diberi pengertian sebagai totalitas dari karakteristik suatu produk (barang dan/atau jasa) yang menunjang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan. Kualitas memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan sesuatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan perusahaan.
29
(Tjiptono 1996:54). Menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan, dinyatakan bahwa hakekat pelayanan umum adalah : 1. Meningkatkan mutu produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah di bidang pelayanan umum. 2. Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara berdaya guna dan berhasil guna. 3. Mendorong
tumbuhnya
kreativitas,
prakarsa
dan
peran
serta
masyarakat. 4. Pembangunan serta dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Maka dalam pelayanan publik harus mengandung unsur-unsur dasar sebagai berikut (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan): 1. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun pelayanan umum harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak. 2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang teguh pada efisiensi dan efektivitas. 3. Kualitas, proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar dapat memberi keamanan, kenyamanan, kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. 4. Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah yang bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya.
30
Selain itu, Parasuraman dkk (1990:37) mengatakan bahwa ada 4 (empat) jurang pemisah yang menjadi kendala dalam pelayanan publik, yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Ketidak-tahuan akan apa yang diharapkan oleh pelanggan. Standar kualitas layanan yang salah Gap performansi layanan Etika janji-janji yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Pada hakekatnya, kualitas pelayanan publik dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi para pelanggan (masyarakat) atas pelayanan yang sesungguhnya mereka inginkan. Apabila pelayanan pada prakteknya dapat diterima oleh masyarakat sama dengan harapan atau keinginan mereka, maka pelanggan tersebut dikatakan sudah memuaskan. Terciptanya kepuasan pelanggan dapat memberikan berbagai manfaat, diantaranya hubungan antara pelanggan dan pemberi layanan menjadi harmonis, sehingga memberikan dasar yang baik bagi terciptanya loyalitas pelanggan, membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word of mouth). Yang menguntungkan bagi pemberi layanan, reputasi yang semakin baik di mata pelanggan, serta laba (PAD) yang diperoleh akan semakin meningkat (Tjiptono, 1996:261). Dari semua uraian di atas jelas menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan oleh aparatur negara sesungguhnya tidak dapat lepas dari birokrasi dan tidak dapat lepas dari etika pelayanan birokrat itu sendiri. Sebagaimana dikemukakan di atas penelitian ini memfokuskan kepada adanya pelayanan kesehatan rawat inap kelas tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof Dr. R.D. Kandou Manado. Pelayanan rawat inap kelas tiga ini umumnya digunakan oleh masyarakat ekonomi lemah melalui program jaminan kesehatan baik Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek, Jaminan Persalinan maupun jaminan sosial lainnya. Hal ini berarti Rumah Sakit Umum Pusat Prof Dr. R.D. Kandou Manado melaksanakan
31
pelayanan kesehatan pada masyarakat ekonomi lemah melalui program jaminan kesehatan baik Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek, Jaminan Persalinan dalam ruang rawat inap kelas tiga. Aditama, T.Y. (2003 : vii), mengemukakan bahwa Rumah Sakit merupakan salah satu jaringan pelayanan kesehatan yang penting, sarat dengan tugas, beban, masalah dan harapan yang digantungkan padanya. Perkembangan jumlah rumah sakit di Indonesia, yang diikuti pula dengan perkembangan pola penyakit, perkembangan teknologi kedokteran dan kesehatan serta perkembangan harapan masyarakat terhadap layanan rumah sakit menjadikan dibutuhkannya manajermanajer rumah sakit yang handal. Manajemen pada umumnya dan manajemen rumah sakit pada khususnya bukanlah hal yang mudah. Para petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit telah dibekali dengan ilmu kedokteran dan kesehatan dalam pendidikannya. Istilah manajemen sendiri berasal dari bahasa Latin Manoi, berarti tangan yang pegang kendali kuda agar sang kuda dapat diarahkan mencapai tujuan dengan baik. (Aditama, T.Y. 2003:13). Manajemen merupakan proses merencanakan, mengorganisasi, dan mengendalikan yang mencakup manusia, material dan sumber daya keuangan dalam suatu lingkungan organisasi. (Amin Widjaja Tunggal, 1993:31) Pelayanan Kesehatan yang juga merupakan pelayanan publik adalah isu yang sangat krusial dan menarik untuk selalu didiskusikan. Berdasarkan prakteknya selalu saja publik berada pada posisi tawar yang tidak seimbang dengan pemerintah. Pemerintah sebagai pemeran utama birokrasi cenderung
32
membuat peraturan yang berbelit-belit dan rumit. Menurut Azwar (1980:11) pengertian pelayanan kesehatan, ialah: Setiap bentuk pelayanan atau program kesehatan yang ditujukan pada perseorangan atau masyarakat dan dilaksanakan secara perseorangan atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara ataupun meningkatkan derajat kesehatan yang dipunyai. Menurut Tjandra Yoga Aditama (2007:157), salah satu definisi menyatakan bahwa mutu pelayanan kesehatan biasanya mengacu pada kemampuan rumah sakit memberi pelayanan yang sesuai dengan standart profesi kesehatan dan dapat diterima oleh pasiennya. Menurut WHO 1947 dalam Heri D.J. Maulana (2009:4), Kesehatan secara luas tidak hanya meliputi aspek medis, tetapi juga aspek mental dan sosial dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Pengertian ini sangat komprehensif. Sesuai dengan batasan yang seperti ini, segera mudah dipahami bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang dapat ditemukan banyak macamnya. Kompleksitas pelayanan kesehatan yang terdapat di masyarakat, secara umum dapat dibedakan atas tiga macam, yakni: (Azrul Azwar, 1996:41-42) 1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health services) adalah pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic health services), yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat serta mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan (ambulatory/out patient services). 2. Pelayanan Kesehatan tingkat kedua, Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary health services), adalah pelayanan kesehatan yang lebih lanjut, telah bersifat rawat inap (in patient services) dan untuk menyelenggarakan telah dibutuhkan tersedianya tenaga-tenaga spesialis. 3. Pelayanan Kesehatan tingkat ketiga
33
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tertiary health services) adalah pelayanan kesehatan yang bersifat lebih komplek dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga subspesialis. Karena kesemuanya ini amat ditentukan oleh: (Azrul Azwar, 1996:36). 1. Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi 2. Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya 3. Sasaran pelayanan kesehatan, apakah untuk perseorangan, keluarga, kelompok ataupun untuk masyarakat secara keseluruhan. Pengorganisasian dilakukan untuk menghimpun dan mengatur sumber-sumber yang diperlukan, termasuk manusia sehingga pekerjaan yang dikehendaki dapat dilaksanakan dengan baik. (Brantas, 2009:71). Krisis ekonomi memang telah banyak menimbulkan dampak terhadap pembangunan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan saat ini sudah berkembang menjadi industri jasa yang perlu dikelola secara efisien dan efektif. (Muninjaya, 2004;34). Oleh karena itu pelayanan kesehatan dalam suatu organisasi harus di kelola dengan baik. Untuk mengelola organisasi, agar menjadi baik dibutuhkan pimpinan yang berkualitas. “kondisi organisasi sangat dipengaruhi oleh pimpinan organisasi dalam mengatur, menanggapi dan memanipulasi unsur-unsur organisasi”. (Hayati Djatmiko Y., 2002:72). Sekalipun bentuk dan jenis pelayanan kesehatan banyak macamnya, namun jika disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua. Bentuk dan jenis pelayanan kesehatan tersebut, jika dijabarkan dari pendapat Hodgetss dan Cascio (1983:16) adalah:
34
1) Pelayanan Kedokteran Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran (medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi atau lembaga (institution), tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga. 2) Pelayanan kesehatan masyarakat Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan masyarakat (public health services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam satu organisasi, tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, serta sasarannya terutama untuk kelompok dan masyarakat. Begitu pentingnya kesehatan itu, sehingga dalam suatu organisasi perlu dilakukan pelayanan sebaik-baiknya, karena kesehatan "suatu keadaan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani, rohani dan sosial yang utuh". Eckholm (1983:5). Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Notoatmodjo (2010:4). Perbedaan lebih lanjut dari kedua bentuk pelayanan kesehatan itu antara lain pelayanan kedokteran penekanannya pada tenaga pelaksananya diutamakan adalah para dokter dan perhatian utamanya pada penyembuhan penyakit, sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat tenaga pelaksananya terutama ahli kesehatan masyarakat dan perhatian utamanya pada penyembuhan penyakit. Sekalipun
pelayanan
kedokteran
berbeda
dengan
pelayanan
kesehatan masyarakat, namun untuk dapat disebut sebagai suatu pelayanan kesehatan yang baik, keduanya harus memiliki berbagai persyaratan pokok. Syarat pokok yang dimaksud adalah: Azrul Azwar (1996:38-39) 1. Tersedia dan berkesinambungannya pelayanan kesehatan.
35
2.
3.
4.
5.
Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia dimasyarakat (available) serta bersifat berkesinambungan (continous). Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan. Dapat diterima dan wajar. Syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah yang dapat diterima (acceptable) oleh masyarakat serta bersifat wajar (appropriate). Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik. Mudah dicapai Syarat pokok ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah dicapai (accessible) oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian yang dimaksudkan disini terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja dan sementara itu tidak ditemukan di daerah pedesaan bukanlah pelayanan kesehatan yang baik. Mudah dijangkau Syarat pokok keempat pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah dijangkau (affordable) oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang dimaksudkan disini terutama dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal karena itu hanya mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik. Bermutu Syarat pokok kelima pelayanan kesehatan yang baik adalah yang bermutu (quality). Pengertian bermutu yang dimaksudkan disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan dan dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang ditetapkan.
Menurut Wijono (1999:67), bahwa: Mutu pelayanan kesehatan dapat semata-mata dimaksudkan adalah dari aspek teknis medis yang hanya berhubungan langsung antara pelayan medis dan pasien saja, atau mutu kesehatan dari sudut pandang sosial dan sistem
36
pelayanan kesehatan secara keseluruhan, termasuk akibat-akibat manajemen administrasi, keuangan, peralatan dan tenaga kesehatan lainnya. Mutu pelayanan kesehatan merupakan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang memuaskan pelanggan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata pelanggan, serta diberikan sesuai standart dan etika profesi". Pengertian pelayanan kesehatan menurut Prasetyawati (2010:36) merupakan proses memberikan dan mengelola masukan di dalam kegiatan produksi jasa kesehatan yang terjadi dalam suatu tatanan organisasi tertentu. Kesemuanya itu mengarah kepada dilakukannya serangkaian intervensi terhadap masalah-masalah kesehatan yang ada. Maka, dalam hal ini, unsur penting yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara pemberi pelayanan dengan pengguna/"pembeli" pelayanan, akuntabilitas pemberi pelayanan, manajemen yang dipraktekkan oleh masing-masing pemberi pelayanan, dan hubungan antara berbagai pemberi pelayanan yang ada. Pohan (2003:43) mengungkapkan bahwa: "Pelayanan kesehatan yang berkualitas adalah suatu pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dalam hal ini akan ditentukan oleh profesi pelayanan kesehatan dan sekaligus di inginkan baik oleh pasien maupun masyarakat serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Oleh karenanya Wijono (2000:67) mengungkapkan bahwa: "Kualitas dalam pelayanan kesehatan bukan hanya ditinjau dari aspek pelayanan teknis medis yang berhubungan langsung antara pelayan medis dengan pasien saja tetapi juga sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan termasuk manajemen administrasi, keuangan, peralatan dan tenaga kesehatan lainnya. Pelayanan kesehatan yang berkualitas ditentukan oleh profesi pelayan kesehatan dan teknis medis serta sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan termasuk di dalamnya manajemen administrasi, keuangan, peralatan dan tenaga kesehatan.
37
Secara umum pelayanan publik mutlak menjadi milik publik artinya mereka berhak mendapatkannya karena memang tugas birokrat melayani publik. Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah pelayanan publik yang baik dan memuaskan publik dan apakah ukuran atau indikator kinerja dari pelayanan publik oleh organisasi publik? Persoalan ini timbul manakala masing-masing pihak merasa belum mendapatkan pelayanan yang memuaskan dan birokrat merasa dirinya sudah berbuat dan memberikan pelayanan yang baik kepada publik. Adanya dua titik yang berbeda tersebut. Dwiyanto (2003:98) menilai perlunya indikator kinerja untuk menilai kualitas pelayanan publik dan organisasi publik harus memiliki tujuan dan misi organisasi. Indikator kinerja, tujuan dan misi organisasi diperlukan dalam rangka peningkatan kualitas layanan untuk publik. Indikator tersebut adalah: (Dwiyanto, 2003:98) 1. Produktivitas, pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dan output oleh suatu organisasi publik atau swasta. 2. Kualitas layanan (quality of service), adalah Kualitas layanan membentuk image masyarakat terhadap organisasi publik. Apabila masyarakat puas dengan layanan yang diberikan maka image positif yang tercipta, sebaliknya bila ketidakpuasan yang diterima maka image negatiflah yang melekat pada organisasi publik. 3. Responsivitas (responsivenees) yaitu kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat. 4. Responsibilitas (responsibility) penilaian terhadap organisasi publik yaitu mencocokkan pelaksanaan kegiatan dan program dengan prosedur administrasi dan ketentuan-ketentuan yang ada pada organisasi. 5. Akuntabilitas (accountability) penilaian yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat (wakil rakyat, pejabat politik, tokoh masyarakat) dimana hasilnya dijadikan alat untuk menilai akuntabilitas organisasi publik.
38
Terwujudnya
pelayanan
yang
berkualitas
merupakan
tujuan
yang
diharapkan oleh pemerintah bagi masyarakatnya termasuk didalamnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat ekonomi lemah. Tercapainya tujuan akan sangat ditentukan oleh kemampuan dalam merumuskan tujuan yang ingin di capai. Ada banyak cara untuk merumuskan tujuan secara efektif, salah satunya yang terkenal adalah konsep SMART (specific, measurable, achievable, realistic, time-based). Konsep ini pertama kali digunakan oleh Doran (1981:35-36), yaitu: 1. Specific Tujuan yang anda tetapkan harus jelas dan spesifik. Jelas akan membantu menguraikan apa yang akan Anda lakukan, sedangkan spesifik akan membuat segala upaya Anda fokus pada target yang akan dicapai. 2. Measurable Apa yang ingin Anda capai haruslah bisa diukur, misalnya seberapa kuat, seberapa sering, seberapa banyak, atau seberapa dalam. 3. Achievable Tujuan yang Anda tetapkan haruslah bisa dicapai. Dengan begitu Anda akan berkomitmen untuk mencapainya dengan sungguhsungguh. Jangan sampai Anda menetapkan tujuan yang tidak mungkin Anda capai. 4. Realistic Realistic atau masuk akal adalah hal lain yang harus dipenuhi oleh tujuan yang ingin Anda capai. Jangan membuat tujuan yang terlalu sulit sehingga tidak mungkin Anda capai atau membuat tujuan yang tidak sejalan dengan keinginan atau hasrat hati Anda. 5. Time-Based Anda harus bisa menetapkan kapan tujuan tersebut harus dicapai. Apakah minggu depan, tahun depan, atau lima tahun lagi. Dengan adanya batasan waktu, anda akan terpacu untuk segera memulai melakukan tindakan. Konsep SMART tersebut adalah penentuan kegiatan yang merupakan cerminan dari strategi konkrit organisasi. (Mustobadidjaja, 2003:74). Selanjutnya tujuan yang dirumuskan secara efektif akan memudahkan pada pencapaian kinerja pelayanan publik yang berkualitas.
39
Menurut Lenvine dkk (1995:18) menyebutkan diperlukan tiga konsep untuk mengukur kinerja birokrasi publik yaitu responsivieness, responsibility dan accountability. Sementara itu Warsito Utomo (1997:22) menilai dari sisi organisasi mengapa organisasi publik buruk penilaiannya?
Pelayanan publik
adalah suatu bentuk jasa yang diperoleh oleh masyarakat dari pemerintah, dimana mereka mendapatkannya sesuai dengan ketentuan yang mengatur akan adanya jasa tersebut.
2.1.3. Dimensi Kualitas Pelayanan Kesehatan Kualitas pelayanan dewasa ini merupakan bagian yang menentukan dari keberhasilan dalam mewujudkan kesejahteraan suatu bangsa pada umumnya. Maka perlu memahami benar situasi lingkungan pelayanan kontemporer secara baik, merancang sistem dan strategi pelayanannya, mengelola dengan baik dalam tatalaksana pengawasan dan umpan baliknya. Menurut Gde Muninjaya (2004: 238), bahwa: Kualitas jasa merupakan bagian penting yang perlu mendapat perhatian dari organisasi penyedia jasa pelayanan kesehatan seperti RS dan Puskesmas. Pengemasan kualitas jasa yang akan diproduksi harus menjadi salah satu strategi pemasaran RS atau Puskesmas yang akan menjual jasa pelayan kepada pengguna jasanya (pasien dan keluarganya). Pelayanan kesehatan menyangkut sejumlah yang diinginkan pelanggan kesehatan, tindakan yang sukar disentuh dan diukur secara eksak ukuran kepuasaannya, sangat sensitif dan sukar diprediksikan kedepannya serta sangat tergantung juga pada nilai yang dianggap pantas oleh pelanggan kesehatan terhadap apa yang diterima dan dibayarnya. Kemanapun kita pergi, kita akan menemukan pelayanan dengan beragam jenisnya, tingkat kehandalannya dan tidak
40
diragukan lagi bahwa pelayanan tidak boleh dianggap sebagai hal yang sepele. Fitzsimmons, dkk, (1994:90) memberikan pemikiran pelayanan dapat dibedakan antara elemen strukturalnya dan elemen manajerialnya. Konsep elemen struktural meliputi aplikasi rancangan fasilitasnya, lokasi pelayanannya dan kapasitas perencanaannya. Elemen manajerialnya meliputi penemuan model pelayanan yang tepat, kualitas, kapasitas pengelolaannya, mengerti tuntutan dan tantangannya serta kelengkapan informasinya. Bahkan ditambahkan juga pentingnya
pimpinan-pimpinan
pelayanan
yang
dalam
kepemimpinan
pelayanannya itu memiliki misi pelayanan yang jelas, standar yang tinggi, gaya kepemimpinan yang sesuai dan memiliki integritas (Zeithaml, 1990:3-8). Sedangkan menurut (Ibrahim, 2004:4) khusus dalam gaya kepemimpinan, berpendapat sudah sewajarnya yang bergaya transformasional. Menurut Ibrahim (2008:4-5) mengemukakan pelayanan sangat penting peranannya bagi keberhasilan organisasi. Jenis apapun juga, walaupun dengan sasaran yang berbeda–beda. Bagi organisasi bisnis atau swasta tentunya pelayanan merupakan bagian penting dari upaya mendapatkan keuntungan yang layak, bagi organisasi publik tentunya pelayanan publik itu memang harus menjadi keluarannya
(karena
sifatnya
yang non profit) bagi
organisasi
sosial
kemasyarakatan (misalnya LSM) maka pelayanan itu bermakna memberikan pengabdian yang sebaik–baiknya bagi konstituen yang dibelanya (karena juga sifatnya yang non profit). Maka pelayanan merupakan bagian dari kehidupan kita karena kemana saja kita pergi kita akan berhadapan dengan pelayanan. Pelayanan yang kita hadapi berbagai macam ragam bentuk dan model kualitas pelayanannya.
41
Semakin maju suatu negara semakin diperhadapkan dengan pelayanan yang menuntut adanya kualitas pelayanan yang baik. Pengertian Pelayanan Publik untuk masyarakat luas, karena memang keluaran utama yang diharapkan dari administrasi pemerintahan adalah pelayanan (kalau dapat harus prima). Ingat pengertian administrasi publik disini ialah fungsi atau
integrasi
dari
penerapan
kaidah-kaidah
manajemen
pemerintahan
(POAC/PODSCORB) dan dukungannya (anggaran logistik, tatalaksana, SDM, sistem informasi). (Ibrahim, 2004: 5). Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 / 1993 tanggal 25 November 1993, dalam Pedoman Pelayanan Umum, Pascasarjana UNPAD, 2005. Mengemukakan pelayanan umum adalah segala bentuk kegiatan pelayanan kepada masyarakat umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN / BUMD) dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini termasuk tatalaksananya, tatakerjanya, prosedur kerjanya, sistem kerjanya, wewenang biayanya, pemberi pelayanan dan penerima pelayanan tersebut. Hampir semua kegiatan dalam masyarakat ini dimulai dari Negara dan yang amat berperan adalah Negara. (Miftah Thoha, 2008:68). Sektor publik (pemerintah), melakukan koordinasi/sinergi dengan sektor masyarakat (private sector). (Bintaro Tjokroadmidjojo, 2004:92). Achmad Nurmandi, (2010:29) memahami pelayanan publik dalam dua hal yaitu:
42
Pertama pelayanan sebagai "the sense of a public utility i,e.,a technicaleconomic interpretation of the term that refers to the kind of services governments commonly provide – postal service, roads, railroads, etc – where the prime criteria of success are signal quality, efficiency of operations and a distribution". Definisi public service sebagai "public sphere " or "the Commons ". Dalam makna ini "public service" sebagai broadcasting in the service of the public sphere, i.e.,a meaning in which content and values figure somewhat more explicitly. Kegunaan dari publik adalah dilakukan dengan teknis – ekonomi dimana interpretasi yang mengacu pada jenis layanan pemerintah yang biasanya memberikan layanan pos, jalan, rel kereta api, dan lain-lain. Berdasarkan Bahasa Yunani istilah public seringkali dipadankan pula dengan istilah Koinon atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata common yang bermakna hubungan antar Individu. (Kristian Widya Wicaksono, 2006:27). Kriteria utamanya adalah keberhasilan kualitas sinyal, efisiensi operasi dan distribusi. Lebih lanjut pelayanan publik sebagaimana Nurmandi (2010:32-33) mempunyai berbagai dimensi seperti: 1. Dimensi politik menyangkut hubungan antara warganegara dan politisi dan policy, maka dalam pelayanan publik politisi dalam pemilihan umum menjanjikan kepada warga negara untuk meningkatkan fasilitas pendidikan atau bebas biaya pendidikan merupakan salah satu contoh kontrak politik antara kedua belah pihak, 2. Dimensi ekonomi mencakup pembiayaan pelayanan publik apakah akan dibiayai oleh Negara ataukah oleh pihak swasta. 3. Dimensi sosial menyangkut pilihan-pilihan secara sengaja dalam kebijakan untuk mengalokasikan dan memproduksi pelayanan publik kepada kelompok sosial tertentu, misalnya kelompok masyarakat miskin. 4. Dimensi organisasi dan komunikasi menyangkut kinerja organisasi pelayanan publik. Standar kinerja, aparat pelaksana, komunikasi antara penerima pelayanan dengan pemberi pelayanan dan lain sebagainya. Berdasarkan pendapat di atas, pelayanan publik sangat luas, komprehensif atau tidak terbatas pada persepsi konsumen pada pelayanan perizinan,
43
transportasi, kesehatan saja akan tetapi juga pada perencanaan, penganggaran, sumber daya manusia, politik pelayanan, ekonomi, sosial, sistem informasi manajemen dan pemasaran pelayanan dan lain sebagainya, yang diatur melalui manajemen negara termasuk juga domeinnya swasta. Pelayanan kesehatan merupakan suatu bentuk upaya kesehatan sebagaimana dalam UU No. 23 tahun 1992 pasal I yaitu setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Upaya kesehatan yang dimaksud adalah merata dan terjangkau oleh masyarakat diseluruh wilayah termasuk fakir miskin dan orang terlantar.
Menurut Azrul Azwar (1996:135), pelayanan kesehatan adalah: "upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan perseorangan, keluarga kelompok dan atau masyarakat". Pelayanan kesehatan saat ini sudah berkembang menjadi sebuah industri jasa yang perlu dikelola secara efisien dan efektif. (Gde Munindjaya, 2004:34). Menurut Arsita Eka Prasetyawati (2010:40-41), Pelayanan Kesehatan adalah perihal atau cara melayani kesehatan, saat itulah manusia bertemu secara langsung sebagai pemberi dan pemakai dari intervensi kesehatan yang ditawarkan. Di dalam pelayanan kesehatan, manusia merupakan pasien (bila itu intervensi klinik) atau kelompok sasaran (bila itu intervensi kesehatan masyarakat). Dalam pelayanan kesehatan tersebut manusia dapat pula berperan sebagai konsumen, karena mereka berprilaku yang mempengaruhi kesehatannya, misalnya pilihan dalam penggunaan pelayanan kesehatan.
44
Maka pelayanan adalah bagian dari kehidupan kita karena dimana saja kita pergi diperhadapkan dengan pelayanan yang bermacam-macam sedangkan pelayanan publik adalah pelayanan yang ruang lingkupnya sangat luas, bukan hanya pada pelayanan perizinan, transportasi kesehatan dan lain-lain. Selanjutnya pelayanan kesehatan difokuskan pada kegiatan mencegah, menyembuhkan, memulihkan penyakit yang dialami oleh seseorang, sekelompok orang dalam masyarakat. Hanjoon
Lee dkk
(2000:234) mengungkapkan bahwa
Kualitas
Pelayanan adalah konsep yang abstrak dan eksklusif karena “kerumitannya” dan “ketidakterpisahannya dengan produksi dan konsumen. Berbagai pendekatan telah disarankan sehubungan dengan bagaimana mendefinisikan dan mengukur kualitas pelayanan. Kualitas yang dialami adalah penilaian dari konsumen tentang keunggulan secara menyeluruh atau superioritas. Penelitian kali ini dilihat dari dua kualitas yang dialami berbeda dengan kualitas objektif, para peneliti telah menekankan perbedaan antara objektif dan yang dialami, sebagai contoh bahwa konsumen tidak menggunakan istilah sebagaimana yang digunakan oleh para peneliti dan para pelaku pasar, yang mendefinisikan hal tersebut secara konseptual. (Parasuraman dkk, 1990:13). Kualitas sebagai bentuk dari evaluasi suatu produk secara keseluruhan sama dengan sikap dari berbagai hal. Begitu pula dengan kualitas yang berhadapan dengan kepuasan meringkas pemikiran terkini tentang kepuasan, dimana kepuasan adalah sebuah ringkasan keadaan psikologis yang dihasilkan ketika emosi mengelilingi ekspektasi yang tidak dikonfirmasi dipasangkan dengan perasaan
45
utama dari konsumen tentang pengalaman konsumsi. Penelitian kualitas pelayanan kesehatan setidaknya melihat dari segi ekspektasi dalam hal persepsi dengan mendukung pemikiran bahwa kualitas jasa sebagaimana dipahami oleh masyarakat atau pasien dijadikan pokok untuk suatu perbandingan dari apa yang mereka rasa dari pemberi layanan atau pihak rumah sakit berikan dengan persepsi mereka akan performansi dari firma yang menyediakan jasa tersebut. Dimensi dari kualitas jasa mengungkapkan bahwa kriteria yang digunakan saling tumpang tindih. Hasil konseptual yang berhubungan dengan kualitas service yang dipahami untuk meningkatkan kualitas jasa ke tingkat yang lebih tinggi. Makna pemikiran dimensi kualitas yang dikenal dengan servqual berdasarkan pemikiran Parasuraman dkk (1990) digunakan oleh Hanjoon Lee dkk (2000:233). Setelah dikaji dari kesepuluh dimensi yang ada sehingga menjadi lima dimensi utama dalam servqual yang juga masuk dalam tujuh dimensi hasil penelitian
Hanjoon
(2000:245)
yaitu
kenyataan,
reliabilitas,
kebertanggungjawaban, kepastian, empati. Parasuraman dkk, (1990:23) mengemukakan konsep servqual dalam lima dimensi, yaitu: 1. Tangibles: Physical facilities, equipment, and appearancennel; 2. Reliability: Ability to perform the promised service dedpandably and accurately; 3. Responsiveness: Willingness to help customers and provide prompt service; 4. Assurance: Knowledge and courtesy of employess and their ability to inspire trust and confidence 5. Empathy: Caring, individualized attention the firm provides its custumers.
46
Maka dapat dikatakan lima dimensi dari Parasuraman, sebagai berikut: 1. Tangibles/Benda berwujud, Penampilan fisik, perlengkapan, karyawan dan bahan komunikasi; 2. Reliability/Keandalan,
Kemampuan
melaksanakan
layanan
yang
dijanjikan secara meyakinkan dan akurat; 3. Responsiveness/Daya Tanggap, Kesediaan membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat; 4.
Assurance/Jaminan, Pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka menyampaikan kepercayaan dan keyakinan;
5. Empaty/Empati, Kesediaan memberikan perhatian yang mendalam dan khusus kepada masing-masing pelanggan. Konsep pemikiran Hanjoon Lee dkk (2000:235) mengenai kualitas pelayanan
kesehatan
menekankan
pada
jasa
profesional
dalam
upaya
meningkatkan kepuasan dan memahami ketidak-puasan yang terkait dengan yang diberikan oleh provider. Sehubungan dengan pentingnya kualitas jasa dan keunikan
jasa
profesional.
Profesional
jelas
dapat
mengontrol
untuk
menyesuaikan dalam hal mengubah persepsi klien, mengubah ekspektasi klien terhadap jasa mereka dan terhadap diri mereka sendiri. Kajian ini menunjukkan bahwa
dokter
sering
mengover-estimasi
ketertarikan
konsumen
dalam
penggunaan informasi dan perawatan kesehatan. Mengenali fakta ini, para profesional dalam hal ini para medis perlu berbenah diri untuk bisa memenuhi ekspektasi tersebut. Kajian ini juga menunjukkan bahwa para profesional/para medis harus lebih percaya diri dan lebih santai dengan klien mereka. Maka dalam
47
melakukan jasa mereka pada klien para profesional/para medis harus membuka komunikasi dua arah untuk kepuasan dari klien. Pelayanan kesehatan memang haruslah didasarkan pada profesionalisme tenaga kesehatan dalam menjalankan pelayanan. Profesionalisme pelayanan menjadikan pasien menjadi terlayani dengan baik. Pengembangan ekspektasi yang konsisten membutuhkan usaha untuk mengubah ekspektasi dari klien untuk melibatkan diciptakannya kepedulian dari pelaksanaan jasa dalam usaha untuk mengubah persepsi klien. Namun demikian hal ini membutuhkan perubahan pada perilaku dari para medis dan juga perilaku dari staf-stafnya. Kesemuanya itu berujung pada tanggung jawab dari profesional untuk mendidik klien mereka agar menjadi lebih peduli dan berpengetahuan tentang mereka (para profesional/para medis) dan jasa apa yang bisa mereka berikan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara membuka komunikasi dua arah atau media-media komunikasi yang lain seperti surat-surat khusus untuk klien atau brosur-brosur yang berisikan informasi. Penguatan profesionalisme guna peningkatan kualitas pelayanan termasuk di dalamnya profesionalisme tenaga kesehatan juga dikemukakan oleh Tjiptono (2004:261), menurutnya dalam berbagai riset yang telah dilakukan Profesionalism and Skills merupakan kriteria pertama dari enam kriteria kualitas jasa yakni : 1. Profesionalism and Skills. Pelanggan mendapati bahwa penyedia jasa, karyawan, sistem operasional dan sumber daya fisik, memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah mereka secara profesional (outcome-related criteria). 2. Attitudes and Behavior. Pelanggan merasa bahwa karyawan jasa (Customer contact personnel) menaruh perhatian besar pada mereka dan berusaha membantu memecahkan masalah mereka secara spontan dan ramah (process-related criteria). 3. Accessibility and Flexibility. Pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam operasi, karyawan dan sistem operasionalnya, dirancang dan
48
dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat mengakses jasa tersebut dengan mudah. Selain itu, juga dirancang dengan maksud agar dapat menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan secara luwes (process-related criteria). 4. Reliability and Trustworthiness. Pelanggan memahami bahwa apapun yang terjadi atau telah disepakati, mereka bisa mengendalikan penyedia jasa beserta karyawan dan sistemnya dalam memenuhi janji dan melakukan segala sesuatu dengan mengutamakan kepentingan pelanggan (process-related criteria). 5. Recovery. Pelanggan menyadari bahwa bila terjadi kesalahan atau sesuatu yang tidak diharapkan dan tidak dapat diprediksi, maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari solusi yang tepat (process-related criteria). 6. Reputation and Credibility. Pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai / imbalan yang sepadan dengan biaya yang dikeluarkan (image-related criteria). Hal demikian pada dasarnya menegaskan apa yang dikemukakan oleh Supriyatna (2000:48) bahwa: ”Sumber-sumber lain seperti uang, material, mesin dan lain-lain tidak banyak artinya bila mana unsur sumber daya manusia yang mengelolanya kurang memiliki profesionalisme yang tinggi”. Pandangan demikian pada umumnya dikaitkan dengan kenyataan bahwa seberapapun tersedia berbagai sumber daya lain dalam organisasi, seperti sumber daya keuangan, dan teknologi, pada akhirnya berfungsi atau tidaknya kesemua sumber daya tersebut akan ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusia dalam mengoptimalkan berbagai sumber daya tersebut. Penelitian Parasuraman dkk dalam penilaian kualitas pelayanan oleh Hanjoon Lee, dkk (2000:233-246) membandingkan, bahwa: Ketiga metode pengukuran dalam penilaian kualitas pelayanan perawatan kesehatan. Berangkat dari ketiga metode jumlah constant menujukkan hampir tidak adanya konvergensi. Sebaliknya sebagaimana harapan pada umumnya, pengukuran global item tunggal menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada pengukuran multi item dalam hal memberikan perhatian pada dimensi-dimensi yang dimaksudkan. Suatu usaha untuk menggeneralisasikan temuan-temuan ini bisa berakibat pada pemahaman
49
bahwa dokter responden telah memahami seutuhnya dimensi-dimensi kualitas pelayanan perawatan kesehatan. Sehubungan dengan satu hal yang harus diperhatikan juga bahwa hasil dari penelitian ini bersumber dari penerima layanan karena dianggap memfaliditas diskriminan, diskriminasi didemonstrasikan dari kualitas pelayanan perawatan kesehatan kelihatannya tidak bisa dipisahkan dalam pemahaman praktis. Inti dari kualitas pelayanan perawatan kesehatan adalah bagaimana para penyedia layanan dapat memberikan layanan yang terbaik pada penerima layanan yang didasari pada kelima dimensi yang ditetapkan karena persepsi dari penerima layanan pasien memainkan peranan penting untuk bidang kesehatan. Berdasarkan tingkat ketrampilan penyedia jasa, jasa terdiri atas professional service (misalnya konsultan manajemen, konsultan hukum, konsultan pajak, konsultan sistem informasi, dokter, perawat, dan arsitek) dan nonprofessional service (misalnya sopir taksi dan penjaga malam). Pada jasa yang memerlukan ketrampilan tinggi dalam proses operasinya, pelanggan cenderung sangat selektif dalam memilih penyedia jasa. Hal ini yang menyebabkan para profesional dapat “mengikat” para pelanggannya. Sebaliknya jika tidak memerlukan ketrampilan tinggi, seringkali loyalitas pelanggan rendah karena penawarannya sangat banyak. (Fandy Tjiptono 1996:9). Apabila karyawan-karyawan eceran merasa bosan, tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana berkunjung pada saat pelanggan sedang menunggu, pelanggan akan berpikir dua kali untuk melakukan bisnis lagi dengan penjual tersebut. Pelanggan menciptakan harapan-harapan layanan dari pengalaman masa lalu, cerita dari mulut ke mulut dan iklan. Pelanggan membandingkan jasa yang dipersepsikan dengan jasa yang diharapkan. Jika persepsi jasa memenuhi atau melebihi harapan mereka. Mereka cenderung menggunakan penyedia tersebut lagi.
50
Parasuraman
(1990:37-45),
merumuskan
model
mutu
jasa
yang
menekankan syarat-syarat utama dalam memberikan mutu jasa yang tinggi. Model tersebut,
yang
mengidentifikasi
lima
kesenjangan
yang
mengakibatkan
ketidakberhasilan penyerahan jasa: 1.
2.
3.
4.
5.
Kesenjangan antara harapan konsumen dan persepsi manajemen. Manajemen tidak selalu memahami dengan tepat apa yang diinginkan pelanggan. Pengurus rumah sakit mungkin berpikir bahwa pasien menginginkan makanan yang lebih baik, tetapi pasien mungkin lebih memikirkan daya tanggap perawat. Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi mutu jasa. Manajemen mungkin memahami dengan tepat keinginan-keinginan pelanggan tetapi tidak menetapkan standar kinerja. Pengurus rumah sakit mungkin meminta perawat memberikan layanan yang cepat tanpa menguraikannya dengan sangat jelas. Kesenjangan antara spesifikasi mutu jasa dan penyerahan jasa. Karyawan mungkin kurang terlatih, tidak mampu atau tidak mau mematuhi standar atau mereka mungkin dihadapkan pada standar yang saling bertentangan, seperti menyediakan waktu untuk mendengarkan pelanggan dan melayani mereka dengan cepat. Kesenjangan antara penyerahan jasa dan komunikasi eksternal Harapan-harapan konsumen dipengaruhi pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan perwakilan dan iklan perusahaan. Jika brosur rumah sakit memperlihatkan kamar yang indah, tetapi pasien tiba dan menemukan kamar yang tampak murahan dan kotor, komunikasi eksternal telah melenceng jauh dari harapan pelanggan. Kesenjangan antara persepsi jasa dan jasa yang diharapkan. Kesenjangan ini terjadi apabila konsumen tersebut memiliki persepsi yang keliru tentang mutu jasa tersebut. Dokter mungkin tetap mengunjungi pasien untuk menunjukkan kepeduliannya, tetapi pasien tersebut menafsirkan hal ini sebagai indikasi bahwa ada sesuatu yang benar-benar tidak beres.
Selanjutnya menurut Fandy Tjiptono (1996:99) mengemukakan Untuk model pengukuran Parasuraman dkk telah dibuat sebuah skala multi item yang diberi nama Servqual. Alat ini dimaksudkan untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan, dan kesenjangan (gap) yang ada di model kualitas jasa. Pada penelitian awalnya, Parasuraman, dkk (1990:23) mengindentifikasi sepuluh dimensi pokok, yakni reliabilitas, daya tanggap, kompetensi, akses,
51
kesopanan,
komunikasi,
kredibilitas,
keamanan,
kemampuan
memahami
pelanggan dan bukti fisik. Namun pada penelitian berikutnya, (Parasuraman, dkk, 1990:25)
menyempurnakan
dan
merangkum
sepuluh
dimensi
tersebut.
Kompetensi, kesopanan, kredibilitas dan keamanan disatukan menjadi jaminan (assurance). Sedangkan akses, komunikasi dan kemampuan memahami pelanggan dikategorikan sebagai empati (empathy). dengan demikian, terdapat lima dimensi utama (sesuai urutan derajat kepentingan relatifnya untuk contoh cara konsumen menilainya), yakni: 1. 2. 3. 4.
5.
Bukti fisik (Tangibles) meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi. Reliabilitas (reliability) yakni kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Daya tanggap (Responsiveness) yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan layanan dengan tanggap. Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Empati (Empathy) meliputi kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan pemahaman atas kebutuhan individual para pelanggan.
Menurut Fandy Tjiptono (1996:71-72), contoh cara menilai lima dimensi Kualitas Jasa adalah: 1. Bidang Jasa Reparasi Mobil (pasar konsumen): a. Kehandalan: Masalah diatasi dengan cepat dan selesai pada waktu yang dijanjikan. b. Daya Tanggap: Dapat diakses, tidak lama menunggu; respon terhadap permintaan. c. Jaminan: Mekanik yang berpengetahuan luas. d. Empati: Mengenal nama pelanggan; mengingat masalah dan preferensi pelanggan sebelumnya. e. Bukti Langsung: Fasilitas reparasi; ruang tunggu; seragam; peralatan. 2. Bidang Jasa Penerbangan (pasar konsumen): a. Kehandalan: Terbang tepat waktu dan tiba di tujuan sesuai jadwal. b. Daya Tanggap: Sistem ticketing, in-flight, dan penanganan bagasi
52
yang cepat. c. Jaminan: Terpercaya; reputasi yang baik dalam hal keselamatan penumpang; karyawan yang kompenen. d. Empati: Memahami kebutuhan khusus individual; mengantisipasi kebutuhan pelanggan. e. Bukti Langsung: Pesawat; tempat pemesanan tiket; tempat bagasi; seragam 3. Bidang Jasa Kesehatan (pasar konsumen): a. Kehandalan: Janji ditepati sesuai jadwal; diagnosisnya terbukti akurat. b. Daya Tanggap: Dapat diakses; tidak lama menunggu; bersedia mendengar keluh kesah pasien. c. Jaminan: Pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan, reputasi. d. Empati: Mengenal pasien dengan baik; mengingat masalah (penyakit, keluhan, dll), sebelumnya; pendengar yang baik, sabar. e. Bukti Langsung: Ruang tunggu; ruang operasi; peralatan bahanbahan tertulis. 4. Bidang Jasa Arsitektur (pasar konsumen): a. Kehandalan: Memberikan rancangan sesuai saat yang dijanjikan berikut dengan anggaran yang sesuai. b. Daya Tanggap: Menanggapi permintaan khusus; adaptif terhadap perubahan. c. Jaminan: Kepercayaan, reputasi, nama baik di masyarakat, pengetahuan dan ketrampilan. d. Empati: Memahami industri klien; memahami dan tanggap akan kebutuhan spesifik klien; mengenal kliennya. e. Bukti Langsung: Kantor; laporan; rancangan; tagihan; busana karyawan. 5. Bidang Jasa Pemrosesan Informasi (pelanggan internal): a. Kehandalan: Menyediakan informasi yang dibutuhkan pada saat diminta. b. Daya Tanggap: Respon cepat terhadap permintaan; tidak birokratis; menangani masalah dengan segera. c. Jaminan: Staf berpengetahuan luas; terlatih; terpercaya. d. Empati: Mengenal pelanggan internal sebagai para individu; memahami kebutuhan individual dan departemen. e. Bukti Langsung: Laporan internal; kantor; busana karyawan. Pengukuran kualitas pelayanan dengan konsep servqual digunakan, untuk mengukur kualitas jasa menunjukkan seberapa besar sela (gap) yang ada diantara persepsi pelanggan dan ekspektasi pelanggan terhadap suatu perusahan jasa, konsep servqual ini dapat diubah-ubah (disesuaikan) agar cocok dengan industri
53
jasa yang berbeda pula. Servqual ini asal mulanya dari dunia bisnis, walaupun kemudian tidak sedikit diadopsi untuk organisasi publik. Walaupun konsep tentang service quality (servqual) yang dikemukakan para ahli tersebut secara universal tidak seragam tetapi semua itu dapat menambah pemahaman secara mendalam tentang servqual tersebut. (Harbani Pasolong 2007:134). Kajian ini memusatkan perhatian pada bagaimana rumah sakit Prof Dr. R.D. Kandou Manado memandang kualitas pelayanan kesehatan.
2.1.4. Aparat Pelaksana Kegiatan Pelayanan Usaha peningkatan kinerja pelayanan publik tanpa mengikut sertakan aparaturnya akan tidak berhasil. Selaku tenaga operasionalisasi dari suatu bentuk pelayanan umum, baik buruknya pelayanan umum tadi sangat tergantung pada penampilan aparaturnya, di samping faktor lainnya, seperti kinerja peraturan dan program kerjanya. Berkaitan dengan pelayanan umum, aparatur sering dituduh sebagai penyebab timbulnya berbagai ketidakpuasan terhadap bentuk pelayanan umum. Kultur birokrasi pemerintahan yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia. Namun mereka tidak dapat disalahkan sepenuhnya, hal ini karena sikap dan perilaku mereka tidak terlepas dari pengaruh atas sistem kemasyarakatan di Indonesia. Menurut Pandji Santosa (2008: 3), bahwa: Penerapan birokrasi senantiasa dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Birokrasi dimaksudkan sebagai satu system otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan. Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisasi, secara teratur, suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh orang banyak
54
Sentralisme dalam birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi. Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi ke atas, yaitu pada kepentingan politik kekuasaan, bukannya kepada publik sehingga wajar saja jika, kenyataannya saat ini pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi pemerintah masih jauh dari harapan. Aparat dianggap kurang profesional, berbelit-belit, disiplin kerja rendah, dan sebagainya yang menunjukkan seakan-akan justru aparatlah yang minta dilayani, bukan warga masyarakat. Menghadapi tuntutan yang semakin meningkat tersebut sesungguhnya berarti bahwa tidak ada pilihan lagi bagi suatu pemerintahan Negara kecuali terus menerus meningkatkan kapasitas kerja para anggotanya. Sasarannya tidak hanya menyangkut segi-segi teknikal administratif seperti efesiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang semakin tinggi, akan tetapi terutama yang menyangkut keprilakuan. (Siagian 2001:153). Berkaitan dengan hal tersebut Kumorotomo (2005: 136) menyatakan, yang terpenting dalam peningkatan kinerja pelayanan publik adalah: Menegakkan dan menguatkan dasar fondasi aparat birokrasi pada prinsipprinsip moral yang harus ditegakkan, karena kebenaran yang ada dalam diri setiap aparat dan sama sekali tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Penegakkan dan penguatan melalui pendekatan ini, dilakukan dengan nilainilai moral yang mengikat. Tugas pejabat atau aparat pemerintah tidak bisa disebut mudah. Sebagaimana banyak ungkapan bahwa setiap orang yang menerima suatu pekerjaan harus bersedia menerima tanggung jawab yang menyertainya dan mau menanggung konsekuensi atas setiap kegagalan yang mungkin terjadi, maka pejabat negarapun harus memikul tanggung jawab seperti
55
itu. Hal yang sama berlaku bagi para pegawai negeri pada eselon yang lebih rendah. Tak seorangpun dapat menghindar dari pernyataan bahwa para pegawai negeri harus melakukan apa yang menjadi harapan rakyat, mentaati kaidah hukum, menaruh perhatian terhadap keprihatinan dan masalah-masalah warga negara dan mengikuti pola perilaku etis tanpa cacat. Pelaksanaan kebijakankebijakan yang ditugaskan, kebanyakan isu akan muncul bilamana seorang aparat tidak dapat memuaskan setiap orang. Karena cara-cara dan sikap yang dilakukan setiap aparat pelaksana pada organisasi publik ketika berhadapan dengan masyarakat pengguna jasanya, akan selalu disertai risiko bahwa ia mengecewakan atau membuat marah sebagian warga, negara dan sekaligus memuaskan warga negara yang lain. Aparatur negara yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah memiliki posisi penting dalam kaitannya dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Kebijakan-kebijakan yang diambil olehnya akan berdampak luas manakala keputusan itu bertalian dengan hajat hidup masyarakat luas. Rasionalitas saja terkadang tidak mampu untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan hakiki orang banyak dan tidak jarang keputusan-keputusan yang baik harus menyertakan pengalaman, intuisi, dan hati nurani. Ditambahkan oleh Kumorotomo (2005:136), bagaimanapun juga falsafah, kearifan, dan niat baik akan menjadi penopang yang paling kokoh bagi para administrator untuk menjaga kewibawaan dan kredibilitas mereka. Lebih dari itu, dalam persoalan apapun sepanjang menyangkut hubungan antar dua atau lebih individu, pertanyaan-pertanyaan yang mengandung nilai-nilai
56
filosofis dan moral akan senantiasa relevan. Sebuah keharusan bagi aparat pemerintah untuk lebih meningkatkan kesadaran akan moralitasnya, mengingat interaksi antar individu yang berlangsung pada proses pelayanan publik. Proses pelayanan publik tersebut merupakan bidang yang rawan terhadap berbagai penyalahgunaan kekuasaan, penyelewengan keuangan, dan pemanfaatan jabatan untuk tujuan-tujuan yang tidak bermoral. Berdasarkan dunia empiris, memasukkan nilai-nilai moral ke dalam manajemen pelayanan publik merupakan upaya yang tidak mudah, karena harus mengubah pola pikir yang sudah lama menjiwai aparatur pemerintah, meski semua ini sangat tergantung dari aparat itu sendiri. Harapannya adalah agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Jika hal ini sudah melembaga dalam diri aparat pemerintah dan masyarakat, maka birokrasi barulah patut dijadikan teladan. Mereka tidak akan melakukan segala sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat, terutama yang secara langsung berhubungan dengan pelayanan yang diberikan, misalnya saja dengan yang terjadi sejauh ini dalam praktek pelayanan di kantor pertanahan banyak aparat yang masih terlibat dengan praktek. mafia atau sebagai calo, sehingga merusak mekanisme dan sistem yang telah ditetapkan secara prosedural. Telah disepakati bahwa moral merupakan daya dorong internal dalam hati nurani manusia untuk mengarah kepada perbuatan-perbuatan baik dan menghindari perbuatan-perbuatan buruk. Sangat penting sisi moralitas aparat untuk diperhatikan dalam upaya meningkatkan kinerja pelayanan publik juga
57
disebabkan oleh adanya konflik kepentingan pada tubuh organisasi publik itu sendiri. Sehubungan dengan hal ini Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou Manado sebagai institusi yang berwenang melayani masyarakat dibidang kesehatan juga sarat dengan konflik kepentingan yang ada di dalamnya dan secara langsung melibatkan aparat sendiri. Permasalahan yang terus menjadi sorotan masyarakat selaku penerima layanan kesehatan menyangkut pelayanan yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Masyarakat yang sangat membutuhkan pelayanan sering dibuat bingung dan marah oleh karena pelayanan dari tim medis yang tidak sesuai dengan prosedur pelayanan ataupun memperlambat pelayanan.
2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. DR. R.D. Kandou Manado tentunya tidak terlepas dari pelayanan publik dalam bidang kesehatan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan merupakan bagian dari pelayanan publik. Sehubungan dengan Kualitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. DR. R.D. Kandou Manado, peneliti menggunakan pendekatan Servqual yang dikemukakan oleh Parasuraman berdasarkan penilaian kualitas pelayanan dalam sepuluh dimensi yang kemudian dimodifikasi dalam lima Dimensi, yakni: Parasuraman dkk, (1990:23) 1. Tangibles: Physical facilities, equipment, and appearancennel; 2. Reliability: Ability to perform the promised service dedpandably and accurately; 3. Responsiveness: Willingness to help customers and provide prompt
58
service; 4. Assurance: Knowledge and courtesy of employess and their ability to inspire trust and confidence 5. Empathy: Caring, individualized attention the firm provides its custumers.
Hal tersebut di atas dapatlah dijabarkan, sebagai berikut:
1. Tangibles/Benda berwujud, Penampilan fisik, perlengkapan, karyawan dan bahan komunikasi, 2. Reliability/Keandalan,
Kemampuan
melaksanakan
layanan
yang
dijanjikan secara meyakinkan dan akurat; 3. Responsiveness/Daya Tanggap, Kesediaan membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat; 4.
Assurance/Jaminan, Pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka menyampaikan kepercayaan dan keyakinan;
5. Empaty/Empati, Kesediaan memberikan perhatian yang mendalam dan khusus kepada masing-masing pelanggan. Adapun yang menjadi dasar pemikiran penggunaan pendekatan pendekatan Servqual yang dikemukakan oleh Parasuraman, yaitu berdasarkan penilaian kualitas pelayanan yang terdapat dalam sepuluh dimensi yang kemudian dimodifikasi dalam lima dimensi karena Pelayanan Kesehatan merupakan Jasa Kesehatan, sehingga menurut Fandy Tjiptono (1996:6) bahwa, Jasa (services jasa) merupakan: aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual. Contohnya: bengkel reparasi, salon kecantikan, kursus ketrampilan, hotel, rumah sakit, dan sebagainya. Sehubungan dengan pendapat tersebut di atas bahwa
59
penilaian terhadap kualitas jasa Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof DR. R.D. Kandou Manado tentunya tidak terlepas dengan penilaian kualitas pelayanan sebagaimana yang dikemukakan oleh Parasuraman dkk. Maka untuk mengukur Kualitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou Manado peneliti menggunakan kaidah Servqual yang dikembangkan Parasuraman dkk. Kesepuluh Competence,
dimensi,
Courtesy,
yaitu:
Credibility,
Tangibles, Security,
Reliable, Access,
Responsiveness, Communication,
Understanding the customer yang kemudian dirangkum menjadi 5 (lima) dimensi dalam Servqual dilakukan suatu tes yang empiris. Model Mutu/Kualitas Jasa tersebut, yakni: Benda berwujud, Penampilan fisik, perlengkapan, karyawan dan bahan komunikasi; Keandalan, Kemampuan melaksanakan layanan yang dijanjikan secara meyakinkan dan akurat; Daya Tanggap, Kesediaan membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat; Jaminan, Pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka menyampaikan kepercayaan dan keyakinan; Empati, Kesediaan memberikan perhatian yang mendalam dan khusus kepada masing-masing pelanggan. Adapun pendekatan Servqual yang dikemukakan oleh Parasuraman yang dimodifikasi dalam lima dimensi yang menjadi landasan teori untuk mengukur Kualitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou Manado, adalah sebagai berikut: 1. Bukti fisik/Tangibles: adalah fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan
60
sarana komunikasi. Dilihat dari penampilan seragam dari staf, penampilan/seragam dokter, lokasi kantor, lokasi rumah sakit, fasilitas yang kelihatannya menarik dan nyaman, peralatan yang aktual dan canggih untuk menyediakan jasa. 2. Reabilitas/Reability adalah kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Dilihat dari: dokter-dokter, perawat-perawat yang bersahabat dan juga staf yang bersahabat dan profesional, menjelaskan biaya jasa pada pasien, dokter yang bersahabat, sensitifitas dari kerahasiaan pasien. 3. Daya Tanggap/Responsiveness, adalah: keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan layanan dengan tanggap. Dilihat dari menyediakan jasa pada waktu yang telah dijanjikan, dokter bisa ditelepon oleh pasien, ketaatan mengikuti jadwal janjian dengan pasien. 4. Jaminan/Assurance,
adalah
mencakup
pengetahuan,
kompetensi,
kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Dilihat dari dokter yang terlatih secara residen, dokter yang sangat berpengalaman, dokter dengan ijasah, dokter yang berpengetahuan dan memiliki keahlian, menjelaskan pertukaran antara jasa dan biaya kepada pasien, rekam jejak dokter dari malpraktek. perawat- perawat yang andal dan staf yang mendukung, ketepatan dalam tagihan pasien,
61
akurat dan rapi dalam rekam medis, penanganan yang tepat pada penanganan pertama, reputasi dari dokter diantara para pasien, reputasi dokter diantara para dokter, reputasi dari rumah sakit, kesesuaian dengan kewaspadaan universal, kesopanan yang ditunjukkan oleh dokter,
perawat,
staf
kantor
dan
kemampuan
mereka
untuk
menginspirasi rasa percaya diri mereka, kemampuan untuk melakukan layanan / jasa yang diharapkan secara bertanggung-jawab dan tepat. 5. Empati/Empaty, adalah peduli, kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan pemahaman atas kebutuhan individual para pelanggan. Dilihat dari menaikkan kepedulian pasien terhadap perawatan medis, sikap personal dari dokter, mempelajari kebutuhan personal dari pasien, pasien menyediakan pertimbangan individu pada pasien, mengingat nama dan wajah dari pasien. Dimensi - dimensi tersebut di atas menjadi landasan teori dalam penelitian tentang Kualitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga di Rumah Sakit Prof Dr. R.D. Kandou Manado. Kelima Dimensi tersebut dapat digunakan untuk mengungkapkan Kualitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof Dr. R.D. Kandou Manado. Pelayanan bagi pasien rawat inap kelas tiga diakui bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Pasien rawat inap kelas tiga umumnya merupakan pasien yang termasuk dalam program jaminan kesehatan. Maka untuk mencapai visi rumah sakit sebagai rumah sakit unggulan yang memberikan pelayanan kesehatan yang
62
profesional, bermutu, tepat waktu dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou Manado berkewajiban melayani pasien rawat inap kelas tiga yang menggunakan program jaminan kesehatan baik jaminan sosial, askes, jamkesmas maupun jamkesda. Untuk dapat berjalannya pelayanan ini sehubungan dengan program jaminan kesehatan yang ada, pihak Rumah Sakit Umum Pusat Prof Dr. R. D. Kandou Manado harus berhubungan dengan berbagai pihak baik dalam penanganan pelayanan medis maupun penyelesaian administrasi. Menurut Hasibuan (2008:31-32), mengemukakan tanda-tanda (ciri-ciri) organisasi yang baik dan efektif antara lain adalah: 1. Tujuan organisasi itu jelas dan realistis. 2. Pembagian kerja dan hubungan pekerjaan antara unit-unit subsistemsubsistem atau bagian-bagian harus baik dan jelas. 3. Organisasi itu harus menjadi alat dan wadah yang efektif dalam mencapai tujuan. 4. Tipe organisasi dan strukturnya harus sesuai dengan kebutuhan perusahaan. 5. Unit-unit kerja (departemen bagian)-nya ditetapkan berdasarkan atas eratnya hubungan pekerjaan. 6. Job description setiap jawaban harus jelas dan tidak ada tumpang tindih pekerjaan. 7. Rentang kendali setiap bagian harus didasarkan volume pekerjaan dan tidak boleh berlaku banyak. 8. Sumber perintah dan tanggung jawab harus jelas, melalui jarak yang terpendek. 9. Jenis wewenang (authority) yang dimiliki setiap pejabat harus jelas. 10. Manajemen penempatan karyawan tidak ada. 11. Hubungan antara bagian dengan bagian lainnya jelas dan serasi. 12. Pendelegasi wewenang harus berdasarkan job description karyawan. 13. Deferensiasi koordinasi, integrasi dan sinkronisasi harus baik. 14. Organisasi harus luwes dan fleksibel. 15. Organisasi harus mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Sebagai salah satu faktor untuk mencapai keberhasilan organisasi maka
63
hubungan baik harus diterapkan kedalam seluruh kegiatan yang ada pada organisasi, dalam hal ini organisasi Rumah Sakit Umum Pusat Prof Dr. R.D. Kandou Manado. Maka dapatlah dikatakan Rumah Sakit sebagai suatu organisasi memiliki empat unsur, yaitu: sistem, pola aktivitas, sekelompok orang dan tujuan. Hubungan yang baik sebagai fungsi sebagai usaha pengaturan sekelompok orang secara teratur untuk kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya tujuan bersama. Untuk mencapai tujuan organisasi, khususnya pelayanan kesehatan perlu untuk melakukan hubungan agar terjalin suatu kontak dan saling bekerjasama serta keselarasan diantara unit-unit, biro-biro, bagian-bagian, serta antar aparat, baik sebagai pejabat tingkat atas dan tingkat bawah. Semua kegiatan yang ada dapat berjalan tertib, seirama dengan tujuan yang ditentukan sebelumnya sebagai pelayan masyarakat. Sering terjadi pula dalam usaha demi tercapainya suatu kualitas pelayanan bagi publik, mungkin banyak hambatan atau permasalahan di dalam proses pengaturan kerja sama antar orang dalam organisasi. Apabila dalam suatu organisasi terselenggara pengaturannya dengan baik maka kemungkinan kecil akan terjadi hal-hal yang bertentangan dengan jalannya aktivitas/kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, dengan kata lain apabila di dalam suatu organisasi diselenggarakan komunikasi secara baik, maka aktivitas yang diselenggarakan akan menghasilkan pekerjaan yang baik pula. Berdasarkan pendapat di atas yang dikaitkan dengan penelitian ini, maka peneliti menitikberatkan pada kualitas pelayanan yang diberikan oleh pihak
64
Rumah Sakit Umum Pusat Prof Dr. R.D. Kandou Manado dalam hal ini pasien rawat inap kelas tiga yang tidak dapat dipisahkan oleh hubungan yang baik, dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa tingkat hubungan yang baik akan menghasilkan pelayanan yang baik pula. Pasien rawat inap kelas tiga merupakan pasien peserta program kesehatan baik askes, jamsostek, jamkesmas, jamkesda maupun jaminan bersalin. Berjalannya pelayanan di rumah sakit sangat memerlukan komunikasi antar pihak baik pihak askes, jamsostek, pemerintah daerah maupun dengan pemerintah kabupaten/kota yang ada. Komunikasi dilakukan baik antar tenaga medis, pihak rumah sakit secara internal dengan pemerintah daerah dalam penanganan masyarakat miskin melalui program kesehatan yang ada akan memberikan pelayanan dapat berjalan dengan baik. Berbagai permasalahan di atas dapat diatasi apabila semua pihak yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit melakukan komunikasi yang baik secara vertikal maupun horizontal untuk semua kegiatan, dengan memperhatikan waktu yang cepat dan tepat tanpa mengabaikan kuantitas dan kualitas pelayanan. Penelitian ini mengkaji apakah Kualitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou Manado sesuai dengan teori-teori tersebut atau tidak. Teori-teori tersebut di atas menjadi tolak ukur peneliti untuk mengukur Kualitas Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Kelas Tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Maka berdasarkan teori-teori tersebut dikaitkan dengan permasalahan yang diungkapkan
65
sebelumnya terlihat bagaimana gambaran sebenarnya pelayanan kesehatan rawat inap kelas tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Keluhan dan bahkan bantahan menyangkut pelayanan yang diterima oleh pasien menunjukkan pada ketidakmerataan pelayan kesehatan sebab para medis lebih mendahulukan hubungan kekerabatan/kedekatan sehingga para medis tidak memprioritaskan pasien yang sudah gawat yang perlu untuk didahulukan. Hal ini juga diikuti dengan adanya perilaku tenaga medis yang kurang memperhatikan pasien yang memperoleh keringanan kesehatan (Jamkesmas). Berdasarkan kondisi jumlah para medis yang menangani pelayanan kesehatan tidak seimbang dengan jumlah pasien yang dilayani serta adanya fasilitas ruangan, tempat tidur yang tidak seimbang dengan jumlah pasien yang ada dan kurangnya ketersediaan alat-alat kesehatan, misalnya: ketersediaan EKG (electro cardiografic), oksigen portable, incubator, entilator (alat bantu nafas), telisator (untuk mensteril), alat dan bahan tenun dibandingkan dengan jumlah pasien yang ada semakin memperlihatkan kualitas pelayanan kesehatan yang masih jauh dari harapan. Untuk memperlihatkan sebuah pelayanan yang berkualitas, sebagaimana pelayanan kesehatan rawat inap kelas tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou Manado pada dasarnya dapat dilihat dengan adanya lima dimensi yaitu: (1). Bukti fisik (Tangibles) meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi; (2). Reliabilitas (reliability) yakni kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan; (3). Daya tanggap (Responsiveness) yaitu keinginan para staf untuk membantu para
66
pelanggan dan memberikan layanan dengan tanggap; (4). Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan; (5). Empati (Empathy) meliputi kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan pemahaman atas kebutuhan individual para pelanggan. Penelitian kualitas pelayanan kesehatan setidaknya melihat dari segi ekspektasi dalam hal persepsi dengan mendukung pemikiran bahwa kualitas jasa sebagaimana dipahami oleh masyarakat atau pasien dijadikan pokok untuk suatu perbandingan dari apa yang mereka rasa dari pemberi layanan atau pihak rumah sakit berikan dengan persepsi mereka akan performans dari firma yang menyediakan jasa tersebut. Maka sehubungan hal tersebut Pengukuran kualitas pelayanan kesehatan dengan konsep servqual digunakan, untuk mengukur kualitas jasa kesehatan yang menunjukkan
seberapa
besar
sela
(gap)
yang
ada
diantara
persepsi
pelanggan/pasien dan ekspektasi pelanggan/pasien servqual terhadap Rumah Sakit. Model pengukuran Parasuraman dkk telah dibuat sebuah skala multi item yang diberi nama Servqual. Alat ini dimaksudkan untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan/pasien, dan kesenjangan (gap) yang ada di model kualitas jasa kesehatan pada Rumah Sakit, yaitu: Ketidak-tahuan akan apa yang diharapkan oleh pelanggan; Standar kualitas layanan yang salah; Gap performansi layanan; Etika janji-janji yang tidak sesuai dengan kenyataan. Berdasarkan pada hal tersebut kualitas pelayanan kesehatan dapat diketahui
67
dengan cara membandingkan persepsi para pelanggan/pasien atas pelayanan kesehatan yang sesungguhnya mereka inginkan. Apabila pelayanan kesehatan dalam prakteknya yang diterima oleh pasien sama dengan harapan atau keinginan mereka, maka pelanggan/pasien tersebut dikatakan sudah memuaskan.
2.3. Hipotesis Kerja Berdasarkan
kerangka
pemikiran
tersebut
diatas
maka
dapat
dikemukakan hipotesis kerja adalah kualitas pelayanan kesehatan rawat inap kelas tiga di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R.D. Kandou Manado meliputi
aspek
bukti
fisik/tangibles,
Reabilitas/Reability,
tanggap/responsiveness, jaminan/assurance, empati/Empaty.
daya