BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Terdahulu
2.1.1 Novrianto (2012) Novrianto
dengan
penelitian
yang
berjudul
pengaruh
leverage,
profitabilitas, dan ukuran perusahaan terhadap pengungkapan informasi sosial pada perusahaan manufaktur di BEI. Tujuan yang diharapkan terpenuhi dari penelitian ini, yaitu memperoleh bukti empiris adanya pengaruh faktor leverage, profitabilitas, dan ukuran perusahaan terhadap kebijakan pengungkapan informasi pertanggungjawaban sosial pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2008-2010. Penelitian ini memiliki variabel dependen pengungkapan informasi sosial dan variabel independen leverage, profitabilitas dan ukuran perusahaan. Tekhnik analisis data tersebut adalah menggunakan uji normalitas, uji multikolonearitas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Pengambilan sampel ditentukan secara purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria, yaitu perusahaan menerbitkan dan mempublikasikan laporan tahunan
periode
2008-2010
secara
lengkap.
Hasil
penelitian
tersebut
menunjukkan bahwa leverage mempunyai pengaruh negatif tapi tidak signifikan, sedangkan ukuran perusahaan secara statistik mempunyai pengaruh yang positif tapi juga tidak signifikan terhadap keluasan pengungkapan informasi sosial dalam 12
13
laporan tahunan atau annual report perusahaan manufaktur. Hal ini berarti hipotesis 1 dan 3 ditolak, dan hasil penelitian ke dua menunjukkan bahwa profitabilitas mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap keluasan pengungkapan informasi sosial. Hal ini berarti hipotesis 2 diterima. Persamaaan : Sama-sama menggunakan variabel independen profitabilitas , leverage dan ukuran perusahaan, variabel dependen sama-sama mengunakan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), sama-sama menggunakan alat uji regresi. Perbedaan : Sampel perusahaan pada perusahaan manufaktur sedangkan pada penelitian ini pada bank umum syariah, dan juga variabel independen umur perusahaan. 2.1.2 Marzully Nur dan Denies Priantinah (2012) Marzully Nur dan Denies Priantinah dengan penelitian yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Social Responsibility Di Indonesia (Studi Empiris Pada Perusahaan Berkategori High Profile Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh profitabilitas,ukuran perusahaan, kepemilikan saham publik, dewan komisaris, leverage dan pengungkapan media terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility. Penelitian ini menggunakan variabel independen profitabilitas,ukuran perusahaan, kepemilikan saham publik, dewan komisaris, leverage dan Corporate Social Responsibility sebagai variable dependen. Populasi dalam penelitian ini adalah
14
perusahaan berkategori high profile yang terdaftar di BEI periode 2008-2010 dengan 177 perusahaan. Metode pengambilan sampel menggunakan purposive sampling sehingga diperoleh 66 sampel penelitian. Teknik analisis yang digunakan adalah Analisis Deskriptif, Uji Asumsi Klasik, Analisis . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Profitabiltas, ukuran perusahaan, kepemilikan saham publik, dewan komisaris, leverage dan pengungkapan media secara bersama-sama mempengaruhi pengungkapan CSR. Persamaan : Dalam penelitian ini sama-sama menggunakan Variabel Independen yaitu Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, leverage dan Variabel Dependen pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Sama-sama menggunakan uji regresi. Perbedaan : Dalam penelitian ini perbedaannya terletak pada sampel yaitu perusahaan yang berkategori high profile yang terdaftar di BEI sedangkan pada penelitian ini di Bank Umum Syariah dan juga variabel independen kepemilikan saham, umur perusahaan, dewan komisaris dan pengungkapan media. 2.1.3 Agus Purwanto (2011) Agus Purwanto dengan penelitian yang berjudul Pengaruh Tipe Industri, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Terhadap Corporate Social Responsibility. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh tipe industri, ukuran perusahan
dan
profitabilitas
perusahaan
terhadap
pengungkapan
pertanggungjawaban sosial perusahaan. Penelitian ini menggunakan variabel tipe industri, ukuran perusahaan, dan profitabilitas sebagai variabel independen, dan
15
pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan sebagai variable dependen. Subyek penelitian perusahaan non-keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009. Teknik analisis yang digunakan adalah Analisis Deskripsi, Uji Hipotesis, Analisis Regresi Berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tipe industri berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan pertanggungjawaban sosial, ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan pertanggungjawaban sosial, profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan pertanggungjawaban sosial. Persamaan : Dalam penelitian ini sama-sama menggunakan Variabel Independen yaitu Ukuran Perusahaan, Profitabilitas dan Variabel Dependen tanggunga jawab sosial perusahaan (CSR) dan juga menggunakan uji regresi. Perbedaan : Dalam penelitian ini perbedaannya terletak pada sampel penelitian yaitu perusahaan non-keuangan yang terdaftar di BEI sedangkan pada penelitian ini di Bank Umum Syariah, menambahkan variabel independen yaitu Leverage dan umur perusahaan dan juga menghilangkan variabel independen tipe industri. 2.2
Landasan Teori
2.2.1
Teori Stakeholder Konsep merupakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan
yang meliputi karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat, pemerintah selaku regulator, pemegang saham, kreditur, pesaing, dan lain-lain. Teori Stakeholder menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk
16
kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder (Gray, et al., 1994 dalam Ghozali dan Chariri, 2007) menyatakan bahwa: “Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Makin powerful stakeholder, makin besar usaha perusahaan untuk beradaptasi. Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan stakeholder-nya”. Mitchell et al., 1997 dalam (Hoffman, 2007) menyatakan bahwa berdasarkan pada teori stakeholder, perusahaan memiliki tanggung jawab kepada setiap kelompok atau individu yang dapat atau telah terpengaruh oleh kewajiban yang dimiliki oleh perusahaan. Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan diri atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Hal ini ditentukan oleh besar kecilnya kekuatan (power) yang dimiliki oleh stakeholder atas sumber ekonomi tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007). Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan atau kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Deegan, 2000 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). 2.2.2
Teori Legitimasi Teori legitimasi menyatakan bahwa perusahaan secara terus menerus
mencoba untuk meyakinkan bahwa kegiatan atau aktivitas yang dilakukan sesuai dengan batasan dan norma-norma masyarakat dimana perusahaan beroperasi atau
17
berada.Legitimasi dapat dianggap sebagai menyamakan persepsi atau asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas adalah merupakan tindakan yang diinginkan, pantas, ataupun sesuai dengan sistem norma, nilai, kepercayaan, dan definisi yang dikembangkan secara sosial (Suchman, 1995 dalam Rawi dan Muchlish, 2010). Menurut Dowling dan Pfeffer, 1975 dalam (Ghozali dan Chariri, 2007), teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis perilaku organisasi. Kedua peneliti tersebut menyatakan bahwa: “Karena legitimasi adalah hal yang penting bagi organisasi, batasan-batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan nilainilai sosial, dan reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memperhatikan lingkungan”. Menurut (Guthrie dan Parker, 1989) dan (O’Dwyer, 2002) dalam (Ghazali, 2007) menyatakan bahwa teori legitimasi tidak dapat digunakan untuk menjelaskan social reporting behavior di semua negara. (Gray et al., 1995) menyatakan bahwa perusahaan yang melaporkan kinerjanya berpengaruh terhadap nilai sosial dimana perusahaan tersebut beroperasi. Hal ini disebabkan karena legitimasi dipengaruhi oleh kultur, interpretasi masyarakat yang berbeda, sistem politik dan ideologi pemerintah. Legitimasi berfokus pada interaksi antara perusahaan dengan masyarakat. Menurut (Dowling dan Pfeffer, 1975) dalam (Ghozali dan Chariri, 2007), hal tersebut didasarkan pada pandangan bahwa perusahaan berusaha untuk menciptakan keselarasan antara nilai-nilai sosial yang melekat dalam kegiatannya dengan norma-norma perilaku yang ada dalam sistem sosial masyarakat dimana perusahaan adalah bagian dari sistem tersebut. Selama kedua sistem nilai tersebut
18
selaras, hal tersebut dapat dipandang sebagai legitimasi perusahaan. Namun, ketika terjadi ketidakselarasan aktual diantara kedua sistem nilai tersebut, maka akan terdapat ancaman terhadap legitimasi perusahaan. Legitimasi perusahaan dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi dapat dikatakan sebagai manfaat atau sumber potensi bagi perusahaan untuk bertahan hidup (Ashforth dan Gibbs, 1990, Dowling dan Pfeffer, 1975 dalam Ghozali dan Chariri, 2007; O’Donovan, 2002). Ketika terdapat perbedaan antara nilai-nilai yang dianut perusahaan dengan nilai-nilai masyarakat, legitimasi perusahaan akan berada pada posisi terancam. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dengan nilai-nilai sosial masyarakat sering dinamakan “legitimacy gap” dan dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melanjutkan kegiatan usahanya (Dowling dan Pfeffer, 1975 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Untuk mengurangi legitimacy gap tersebut, perusahaan harus mengidentifikasi aktivitas yang berada dalam kendalinya dan mengidentifikasi publik yang memiliki kekuatan sehingga mampu memberikan legitimasi kepada perusahaan (Neu et. al, 1998 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). 2.2.3
Corporate Social Responsibility (CSR) Berbagai definisi mengenai pertanggungjawaban sosial atau CSR telah
dikemukakan oleh banyak pihak. Seperti (Darwin, 2004 dalam Rawi dan Muchlish, 2010) yang mendefinisikan CSR sebagai mekanisme bagi suatu organisasi untuk mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke
19
dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholder, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum. The World Business Council for Sustainable Development, 2000 dalam (Moir, 2001) mendefinisikan CSR sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan serta terus menerus dampak tersebut memberikan manfaat kepada masyarakat dan lingkungan. CSR merupakan komitmen berkelanjutan dari perusahaan untuk berperilaku dengan etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja dan keluarganya. Demikian pula terhadap masyarakat sekitar tempat perusahaan beroperasi dan terhadap masyarakat luas. Definisi tersebut menunjukkan bahwa adanya perubahan paradigma yakni perubahan dari pandangan tradisional terhadap bisnis yang hanya mementingkan perolehan profit. Praktik bisnis pada masa sekarang ini tidak terbatas pada tujuan pembuatan profit tetapi juga meliputi elemen CSR dan akuntabilitas (Ghazali, 2007). 2.2.4 Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan (Annual Report) Hendriksen, (1997) mendefinisikan pengungkapan (disclosure) sebagai penyajian informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan yang dilakukan perusahaan dapat bersifat pengungkapan wajib (mandatory disclosure) yaitu pengungkapan informasi wajib dilakukan oleh perusahaan berdasarkan pada peraturan atau standar tertentu dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure).
20
Pengungkapan pertanggungjawaban sosial disebut juga dengan social disclosure, corporate social reporting, dan social reporting (Mathews, 1995) dalam (Sembiring, 2006) yaitu merupakan proses mengkomunikasikan dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi perusahaan terhadap kelompok yang berkepentingan terhadap perusahaan secara keseluruhan. Deegan, (2002) menyatakan beberapa alasan perusahaan melakukan pengungkapan sosial dan lingkungan, diantaranya adalah: 1. Keinginan untuk memenuhi persyaratan yang ada dalam undang-undang. 2. Pertimbangan rasionalitas ekonomi (economic rationality). Atas dasar alas an ini, praktik pengungkapan pertanggungjawaban social memberikan keuntungan bisnis karena perusahaan melakukan “hal yang benar” dan alasan ini mungkin dipandang sebagai motivasi utama. 3. Keyakinan dalam proses akuntabilitas atau pertanggungjawaban untuk melaporkan. Artinya, manajer berkeyakinan bahwa orang memiliki hak yang tidak dapat dihindari untuk memperoleh informasi yang memuaskan dan manajer tidak peduli dengan cost yang diperlukan untuk menyajikan informasi. 4. Keinginan untuk mematuhi persyaratan peminjaman. Lembaga pemberi pinjaman, sebagai bagian dari kebijakan manajemen risiko mereka, cenderung menghendaki peminjam untuk secara periodik memberikan berbagai item informasi tentang kinerja dan kebijakan sosial dan lingkungannya. 5. Untuk memenuhi atau menyesuaikan dengan ekspektasi masyarakat.
21
6. Sebagai konsekuensi dari ancaman terhadap legitimasi perusahaan. 7. Untuk me-manage kelompok stakeholder tertentu yang powerful. 8. Untuk menarik dana investasi. 9. Untuk mematuhi persyaratan industri (code of conduct) tertentu. Sehingga terdapat tekanan tertentu untuk mematuhi aturan tersebut yang selanjutnya dapat mempengaruhi persyaratan pelaporan. 10. Untuk memenangkan penghargaan pelaporan tertentu. Hal ini memiliki implikasi positif terhadap reputasi perusahaan pada stakeholder. Di Indonesia, pengungkapan pertanggungjawaban sosial merupakan praktik pengungkapan yang wajib (mandatory disclosure) dilaksanakan bagi perusahaan karena telah diatur dalam beberapa peraturan dan perundangan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada pasal 66 ayat 1 menyatakan bahwa hal-hal yang harus dimuat dalam laporan tahunan perusahaan diantaranya adalah pelaporan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Pedoman pengungkapan pertanggungjawaban sosial di Indonesia dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia yaitu dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 (Revisi 2009) paragraf 12, yang berbunyi sebagai berikut: “Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap karyawan sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”.
22
Pengungkapan pertanggungjawaban sosial (CSR Disclosure-CSRD) yang dilakukan perusahaan berguna dalam memberikan informasi berkaitan dengan praktik CSR perusahaan kepada pemegang saham. Pengungkapan CSR dalam laporan tahunan terbukti berpengaruh terhadap
reaksi investor yaitu yang
dibuktikan dengan volume perdagangan saham yang meningkat (Zuhroh dan Sukmawati, 2003). 2.2.5
Sejarah Perkembangan Social Responsibility Tanggung jawab sosial muncul dan berkembang sejalan dengan interrelasi
antara perusahaan dan masyarakat, yang sangat ditentukan oleh dampak yang timbul dari perkembangan dan peradaban masyarakat. Semakin tinggi tingkat peradaban
masyarakat,
khususnya
akibat
perkembangan
ilmu
sehingga
meningkatkan kesadaran dan perhatian lingkungan memunculkan tuntutan tanggung jawab perusahaan. Hal itu karena, peningkatan pengetahuan masyarakat meningkatkan
keterbukaan
ekspektasi
masa
depan
dan
sustainbilitas
pembangunan (Hadi, 2011). Belkaoui dan Karpik, 1989 dalam (Hadi, 2011) menyatakan pergeseran dampak
negatif
industrialisasi
memicu
illegitimasi
masyarakat,
karena
peningkatan pengetahuannya. Dowling (1975) dalam (Hadi, 2011) menyatakan legitimasi
mengalami
pergeseran
bersamaan
dengan
perubahan
dan
perkembangan lingkungan dan masyarakat di mana perusahaan berada. Perubahan nilai, norma dan peradaban masyarakat menuntut tanggungjawab perusahaan secara meluas. Disitulah letak peran social responsibility, mengingat social responsibility merupakan bagian dari perluasan tanggungjawab perusahaan.
23
Dengan demikian dapat dikatakan, social responsibility bersifat dinamis, sesuai dengan konteks yang melingkupinya. 2.2.6
Prinsip-prinsip Social Responsibility Ranah tanggungjawab sosial (social responsibility) mengandung dimensi
yang sangat luas dan kompleks. Disamping itu, tanggungjawab sisial (social responsibility) juga mengandung interpretasi yang sangat berbeda, terutama berkaitan dengan kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder). Untuk itu, dalam rangka memudahkan pemahaman dan penyederhanaan, banyak ahli mencoba menggaris bawahi prinsip dasar yang terkandung dalam tanggungjawab sosial (social responsibility). Crowther David (2008) dalam (Hadi, 2011) mengurai prinsip-prinsip tanggungjawab sosial (social responsibility) menjadi tiga, yaitu: (1) sustainbility; (2) accountability; (3) transparency. Sustainbility, berkaitan dengan bagaimana perusahaan dalam melakukan aktivitas (action) tetap memperhitungkan keberlanjutan sumberdaya dimasa depan.
Keberlanjutan
juga
memberikan
arahan
bagaimana
penggunaan
sumberdaya sekarang tetap memperhatikan dan memperhitungkan kemampuan generasi masa depan. Dengan demikian, sustaibility berputar pada keberpihakan dan
upaya
bagaimana
society
memanfaatkan
sumberdaya
agar
tetap
terbuka
dan
memperhatikan generasi masa datang. Accountability,
merupakan
upaya
perusahaan
bertanggungjawab atas aktivitas yang telah dilakukan. Akuntabilitas dibutuhkan,
24
ketika aktivitas perusahaan mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan eksternal. Konsep ini menjelaskan pengaruh kuantitatif aktivitas perusahaan terhadap pihak internal dan eksternal (Crowther David, 2008) dalam (Hadi, 2011). Transparency,
merupakan
prinsip
penting
bagi
pihak
eksternal.
Transparansi bersinggungan dengan pelaporan aktivitas perusahaan. Transparansi merupakan satu hal yang amat penting bagi pihak eksternal, berperan untuk mengurangi asimetri informasi, kesalahpahaman, khususnya informasi dan pertanggungjawaban berbagai dampak dari lingkungan. Post (2002) dalam (Hadi, 2011) menyatakan bahwa ragam tanggung jawab perusahaan terdiri dari tiga dimensi, yaitu: (1) economic responsibility; (2) legal responsibility; (3) social responsibility Economic
responsibility,
keberadaan
perusahaan
ditujukan
untuk
menungkatkan nilai bagi steakholder, seperti: meningkatkan keuntungan (laba), harga saham, pembayaran deviden, dan jenis lainnya. Disamping itu perusahaan juga perlu meningkatkan nilai bagi para kreditur, yaitu kepastian perusahaan dapat mengembalikan pinjaman berikut interest yang dikenakan. Legal responsibility, sebagai bagian anggota masyarakat, perusahaan memiliki
tanggungjawabmematuhi
peraturan
perundangan
yang
berlaku.
Termasuk, ketika perusahaan sedang menjalankan aktivitas operasi, maka harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan perundangan. Social responsibility, merupakan tanggungjawab perusahaan terhadap lingkungan dan para pemangku kepentingan. Social responsibility, menjadi satu
25
tuntutan ketika operasional perusahaan mempengaruhi pihak eksternal, terutama ketika terjadi externalities dis-economic. Hal itu, memunculkan resistensi sosial dan dapat memunculkan konflik sosial. 2.2.7
Pandangan Perusahaan tentang Social Responsibility Social responsibility, dengan perjalanan waktu menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari keberadaan perusahaan. Hal itu karena, keberadaan perusahaan di tengah lingkungan memiliki dampak positif maupun negatif. Khusus dampak negatif memicu reaksi dan protes stakeholder, sehingga perlu penyeimbangan lewat peran sosial responsibility sebagai salah satu strategi legitimasi perusahaan. Hadi, (2009) menyatakan keberpihakan sosial perusahaan terhadap masyarakat mengandung motif, baik sosial maupun ekonomi. Social responsibility memiliki kemanfaatan baik secara sosialmaupun konsekuensi ekonomi. Hasil penelitian (Hadi, 2009) menunjukkan bahwa biaya sosial yang dikeluarkan perusahaan memiliki manfaat meningkatkan kinerja sosial, yaitu meningkatkan legitimasi dan mengurangi komplain stakeholder. Di samping itu, biaya sosial (biaya keberpihakan perusahaan terhadap stakeholder) juga dapat meningkatkan image, baik dipasar komoditas maupun pasar modal. 2.2.8
Perencanaa Corporate Social Responsibility Sebagai awal pengendalian dan pengawasan, melakukan perencanaan
pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan merupakan hal yang dipandang penting. Perencanaan, menjadi satu dimensi keseriusan perusahaan dalam ikut berpartisipasi dan empathy terhadap berbagai masalah lingkungan dan sosial.
26
Corporate social responsibility butuh perumusan yang jelas, baik materi, strategi, sasaran, penelitian pemangku kepentingan, maupun anggaran yang dibutuhkan. Untuk itu, butuh kajian mendalam dan berkelanjutan, khususnya dalam menentukan isi dan sasaran agar memiliki daya dukung dalam pembangunan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan pemberdayaan pada para pemangku kepentingan. Dengan demikian, kualitas perencanaan praktik tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) tergantung pada analisis perusahaan terhadap lingkungan dan sosial. Wibisono, (2007) menyatakan bahwa perencanaan program menjadi penting karena dapat dijadikan arah untuk melaksanakan (implementasi) pelaksanaan program. Di samping itu, perencanaan juga menentukan strategi yang lebih efektif dapat dilaksanakan. Paling tidak terdapat sembilan hal yang perlu diperhatikan, antara lain: merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, merancang struktur organisasi, menyiapkan SDM, membagi wilayah, mengelola dana, rancang imolementasi, evaluasi dan pelaporan. 2.2.9
Implementasi Social Responsibility Implementasi tanggungjawab sosial (social responsibility) merupakan
tahap aplikasi program social responsibility sebagaimana telah direncanakan sebelumnya. Penerapan tanggungjawab sosial membutuhkan iklim organisasi yang saling percaya dan kondusif, sehingga memunculkan motivasi dan komitmen karyawan pelaksana.
27
Pada dasarnya, belum terdapat formula yang dapat dijadikan acuan ideal dalam implementasi social responsibility. Berbagai forum baik dalam skala nasional maupun internasional digelar untuk merumuskannya. Tahun 2005 Forum Ekonomi Dunia di Davos melalui Global Governance Initiative, mengajak kalangan bisnis untuk merespon dan menggagas kemiskinan melalui praktik tanggungjawab sosial (social responsibility). Tanggal 8-9 September 2005 Indonesia menjadi tuan rumah Asian Forum for Corporate Social Responsibility (AFSR) tepatnya di Jakarta, memaparkan bagaimana social responsibility harus dipraktikkan dudunia bisnis, khususnya di Asia. Hal itu, merupakan wujud perkembangan dan kesadaran dunia tentang arti penting tanggungjawab sosial dalam mendukung sustainbility development. Pertemuan PBB New York merumuskan bahwa praktik social responsibility adalah wujud komitmen dunia bisnis untuk membantu PBB merealisasi terget Millenium Development Goals (MDGs). Terdapat banyak prinsip yang harus dijadikan pijakan dalam praktik tanggungjawab sosial (social responsibility). Equator principles yang diadopsi beberapa negara, merumuskan beberapa prinsip, antara lain (Wibisono, 2007): 1. Accountability’s (AA1000) Standard, yang mengacu pada prinsip “Triple Botton Line” dari John Elkington. 2. Gobal Reporting Initiative (GRI), yang merupakan panduan pelaporan perusahaan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang digagas oleh PBB lewat Coalition for Envoironmental Economies (CERES) dan UNEP pada tahun 1997.
28
3. Social Accountability International SA8000 Standard. 4. ISO 14000 environmental management standard. 5. ISO 26000. 2.2.10 Evaluasi Social Responsibility Sebagai satu program, social responsibility membutuhkan pemantauan dan evaluasi dalam rangka perbaikan dimasa depan, dan sekaligus menentukan tingkat capaian kerja aktivitas sosial yang telah dilakukan. Evaluasi dan pemantauan juga ditujukan untuk mengetahui sejauhmana pencapaian tujuan program serta apakah terdapat penyimpangan yang membutuhkan tindakan koreksi. Terutama bagi tanggungjawab sosial (social responsibility) yang bersifat multy years. Evaluasi pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan dilakukan dalam rangka untuk mencapai tujuan: 1. Memperoleh temuan masukan untuk perencanaan program atau kegiatan yang dilaksanakan 2. Memperoleh berbagai bahan pertimbangan dalam rangka mendukung pengambilan keputusan, layak atau tidak layak program tanggungjawab sosial untuk dilanjutkan 3. Memperoleh temuan untuk masukan perbaikan program atau kegiatan yang sedang dilaksanakan 4. Memperoleh temuan hambatan program yang sedang dilaksanakan 5. Memperoleh temuan untuk perbaikan 6. Memperoleh rekomendasi dan pelaporan terhadap penyandang dana.
29
Melihat berbagai dimensi tersebut diatas, evaluasi program tanggungjawab sosial (social responsibility) penting untuk dilaksanakan. Paling tidak, evaluasi merupakan usaha prefentif munculnya variance kesalahan dan kekurangefektifan satu program yang sedang dilaksanakan. Mengingat, di lapangan banyak kendala yang menghadang dalam praktik tanggungjawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan. 2.2.11 Pelaporan Program CSR ( Jenis Dampak Operasi Perusahaan) Aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan akan memiliki berbagai dampak terhadap lingkungan internal maupun lingkungan eksternal perusahaan. Saat ini perusahaan dituntut untuk mengelola dampak kegiatan perusahaan agar memungkinkan
terciptanya
pembangunan
berkelanjutan
(sustainaibility
development). Pembangunan berkelanjutan tersebut tentunya hanya akan dapat diraih apabila sejak sekarang perusahaan-perusahaan melakukan pengelolaan dampak operasi mereka pada tiga tataran dampak, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan. Andriof dan McIntish (2001) dalam (Solihin, (2009) menggambarkan rentetan dampak perusahaan terhadap tiga tataran dampak atau tiga bottom line. 2.2.11.1 Dampak Ekonomi Dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan akan mempengaruhi para pemangku kepentingan dan sistem ekonomi baik lokal, nasional,
maupun
pada
tingkat
global.
Dalam
kaitan
ini
GRI
mengelompokkanadanya dua jenis dampak ekonomi yakni dampak ekonomi langsung dan dampak ekonomi tidak langsung. GRI mendefinisikan dampak ekonomi langsung sebagai perubahan potensi
30
produktif dari kegiatan ekonomi yang dapat mempengaruhi kesejahteraan komunitasatau para pemangku kepentingan dan prospek pembangunan dalam jangkan panjang. Sedangkan yang dimaksud dengan dampak ekonomi tidak langsung adalah konsekuensi tambahan yang muncul sebagai akibat pengaruh langsung transaksi keuangan dan aliran uang antara organisasi dan para pemangku kepentingannya. 2.2.11.2 Dampak Lingkungan GRI menjelaskan dampak operasi perusahaan terhadap lingkungan menjadi tiga struktur dampak, yaitu dampak yang diakibatkan oleh pemakaian input produksi, output produksi, yang diakibatkan oleh perusahaan. Energi, air, dan material merupakan tiga tipe input standar yang banyak digunakan oleh berbagai
jenis
perusahaan.
Selain
ketiga
jenis
input
tersebut,
aspek
keanekaragaman hayati (biodiversity) juga memiliki hubungan yang sangat erat dengan input, sepanjang input tersebut berasal dari sumber daya alam. Pada proses konversi dari input menjadi output terdapat berbagai dampak yang dapat dikategorikan menjadi tiga kategori utama, yakni: emisi, affluents, dan limbah. Sedangkan modus dampak operasi perusahaan terhadap lingkungan mencakup berbagai aspek seperti transportasi serta produk dan jasa yang dihasilkan perusahaan yang dapat memberikan dampak lanjutan terhadap lingkungan. Dampak produk dan jasa terhadap lingkungan biasanya melibatkan pihak lain, misalnya konsumen yang dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan
melalui
konsumsi
produk
yang
tidak
ramah
lingkungan.
31
2.2.11.3 Dampak Sosial GRI membagi dampak sosial kedalam empat kategori, yakni hak asasi manusia, tenaga kerja, masyarakat, serta tanggung jawab produk. Hak asasi manusia mempunyai nerbagai indikatoruntuk mengukur dampak operasi perusahaan terhadap hak asasi manusia, antara lain: (1) persentase dan jumlah investasi yang signifikan dimana didalamnya memuat klausul tentang hak asasi manusia; (2) jumlah jam pelatihan yang diberikan kepada karyawan untuk memahami kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan hak asasi manusia; (3) jumlah insiden diskriminasi di tempat kerja serta tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mengatasinya; (4) ada tidaknya kebebasan didalam membentuk serikat pekerja untuk melakukan tawar-menawar secara kolektif dalam perumusan kesepakatan kerja bersama. Tenaga kerja mempunyyai berbagai indikator yang digunakan untuk mengukur dampak operasi perusahaan terhadap tenaga kerja, antara lain: (1) jumlah keseluruhan tenaga kerja yang dioekerjakan diperusahaan berdasarkan kategori pekerja, kontrak pekerja, kontrak dan wilayah di mana karyawan bekerja; (2) benefit yang ditawarkan perusahaan kepada karyawan penuh yang tidak diberikan kepada karyawan kontrak ataupun paruh waktu; (3) persentase jumlah karyawan yang dilindungi oleh kesepakatan kerja bersama; (4) tingkat cedera karena pekerja, peyakit akibat kerja, hari-hari yang hilang karena sakit, tingkat kemangkiran kerja, serta jumlah kecelakaan yang terkait dengan pekerjaan berdasarkan wilayah kerja; (5) rata-rata jam pelatihan yang diberikan kepada karyawan per tahun per kategori pegawai; (6) berbagai program untuk
32
meningkatkan kemampuan manajemen serta kegiatan belajar seumur hidup yang memungkinkan karyawan bisa tetap bekerja diperusahaan; (7) komposisi badan pengelola perusahaan yang menunjukkan adanya peluang yang sama antara pria dan wanita serta antara golongan meyoritas dengan golongan minoritas. Masyarakat memiliki berbagai indikator yang digunakan untuk mengukur dampak operasi perusahaan terhadap masyarakat antara lain: (1) sifat, cukupan, efektivitas dari berbagai program dan praktik yang dapat mengukur dam mengelola dampak dari operasi perusahaan terhadap masyarakat; (2) persentase dan jumlah unit bisnis yang memiliki resiko korupsi; (3) persentase jumlah karyawan yang dilatih dalam hal kebijakan dan prosedur menanggulangi krupsi didalam organisasi; (4) tindakan yang diambil perusahaan terhadap tindakan korupsi; (5) partisipasi dalam lobi dan perumusan kebijakan publik; (6) jumlah nilai uang yang harus dikeluarkan oleh perusahaan karena membayar denda atau sangsi non-moneter akibat ketidakpatuhan perusahaan terhadap undang-undang dan peraturan tentang lingkungan hidup yang berlaku disuatu negara. Product responsibilities mempunyai berbagai indikator yang digunakan untuk mengukur dampak operasi perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa terhadap pemangku kepentingan dan lingkungan, antara lain: (1) dampak kesehatan dan keselamatan dari pemakai produk dan jasa yang diperhitungkan perusahaan sejak produk tersebut masih berada dalam tahap R&D sampai produk tersebut dibuang oleh konsumen setelah dikonsumsi; (2) jumlah kejadian yang berkaitan dengan tuntutan konsumen terhadap dampak kesehatan dan keselamatan atas konsumsi produk dan jasa yang dihasilkan perusahaan, sebagai akibat
33
ketidakpatuhan perusahaan terhadap peraturan kesehatan dan keselamatan yang berlaku; (3) jenis informasi yang dibutuhkan oleh konsumen dari suatu produk dan jasa sesuai dengan prosedur yang berlaku serta persentase produk dan jasa perusahaan yang telah memuat informasi sesuai prosedur; (4) jumlah kejadian yang berkaitan dengan ketidakpatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku dalam hal penyajian informasi produk dan jasa; (5) berbagai praktik yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepuasan konsumen, termasuk didalamnya survei untuk mengukur kepuasan konsumen; (6) berbagai proram komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan standar dan hukum yang berlaku. Promosi pemasaran tersebut mencakup: perklanan, promosi, dan sponsorship; (7) jumlah kejadian yang berkaitan dengan ketidakpatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku dalam hal komunikasi pemasaran; (8) jumlah keluhan konsumen akibat pelanggaran privasi konsumen dan hilangnya data konsumen; (9) jumlah nilai uang yang harus dikeluarkan oleh perusahaan karena membayar denda atau sangsi nonmoneter akibat ketidakpatuhan perusahaan terhadap undang-undang dan peraturan tentang ketentuan kesehatan dan keselamatan produk dan jasa. 2.2.12 Pengungkapan CSR berdasarkan Indikator GRI GRI (Global Reporting Intiative) merupakan sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terusmenerus melakukan perbaikan dan penerapan di seluruh dunia.
34
Tiga fokus pengungkapan GRI, antara lain: 1. Indikator Kinerja Ekonomi (economic performance indicator), terdiri dari 9 item 2. Indikator Kinerja Lingkungan (environment performance indicator), terdiri dari 30 item 3. Indikator Kinerja Sosial (social performance indicator), terdiri dari 40 item. 2.2.13 Umur Perusahaan Definisi umur perusahaan yaitu lamanya suatu perusahaan berdiri yang dihitung sejak berdirinya perusahaan sampai tahun penelitian. Menurut teori legitimasi, perusahaan dianjurkan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima masyarakat, sehingga semakin lama perusahaan dapat bertahan maka semakin banyak juga informasi sosial yang diungkapkan perusahaan tersebut sebagai wujud tanggung jawabnya agar tetap diterima di masyarakat (Utami, 2011). Umur perusahaan menunjukan seberapa lama perusahaan mampu bertahan. Semakin lama umur perusahaan, maka semakin banyak informasi yang telah diperoleh perusahaan tersebut sehingga memperkecil ketidakpastian investor di masa yang akan datang . Dalam penelitian ini Umur perusahaan dihitung sejak tahun perusahaan tersebut berdiri hingga perusahaan tersebut dijadikan sampel dalam penelitian. 2.2.14 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya perusahaan. Semakin besar ukuran suatu perusahaan maka semakin mendapat perhatian dari pasar
35
maupun publik (Handayati, 2011) Ukuran perusahaan merupakan salah satu variabel
yang
umum
digunakan
untuk
menjelaskan
mengenai
variasi
pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan. Berkembang suatu fenomena bahwa pengaruh total aktiva (proksi dari ukuran perusahaan) hampir selalu konsisten dan secara signifikan berpengaruh terhadap kualitas pengungkapan. Hal ini dibuktikan oleh (Cooke, 1989) dalam (Pian, 2010) dalam (Agus, 2011) yaitu perusahaan besar mempunyai biaya informasi yang rendah, perusahaan besar juga mempunyai kompleksitas dan dasar pemilikan yang lebih luas dibanding perusahaan kecil. Ukuran perusahaan merupakan variabel yang penting dalam praktik CSR dan berperan seperti barometer yang menjelaskan mengapa perusahaan terlibat dalam praktik CSR (Gardiner et al., 2003 dan Seifert et al., 2003 dalam Saleh, et al. 2010). Selain itu, juga dinyatakan bahwa CSR hanya akan tampak berbeda apabila konsep CSR terintegrasi dengan prinsip dan praktik perusahaan dan ketika kemajuan pelaksanaan CSR secara teratur dilakukan monitoring. Perusahaan besar merupakan emiten yang paling banyak disoroti oleh publik sehingga pengungkapan yang lebih besar merupakan pengurangan biaya politis sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan (Sembiring, 2006). 2.2.15 Profitabilitas Profitabilitas menunjukkan seberapa besar kinerja keuangan perusahaan dalam menghasilkan atau memperoleh keuntungan. Profitabilitas merupakan faktor yang membuat
manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk
mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham (Heinze,
36
1976) dalam (Anggraini, 2006). Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan, semakin besar pengungkapan pertanggungjawaban sosial yang dilakukan perusahaan. Rasio profitabilitas merupakan sekelompok rasio yang menunjukkan gabungan pengaruh dari likuiditas, manajemen aktiva, dan utang pada hasil operasi perusahaan (Houston, 2006). Dalam mengukur tingkat profitabilitas ada beberapa rasio yang bisa dipakai. Diantaranya akan dijelaskan dibawah ini, yaitu: 1.
Gross Profit Margin (Margin Laba Kotor) Yaitu rasio yang menunjukan kemampuan penjualan dalam menghasilkan
laba kotor. Sehingga bisa diketahui tingkat penjualan yang berhasil dilakukan akan memberikan tingkat pendapatan yang berupa laba kotor. Rumusnya yaitu: 𝐺𝑟𝑜𝑠𝑠 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 =
2.
Laba Kotor Penjualan Bersih
Net Profit Margin (Margin Laba Bersih) Yaitu rasio yang menunjukan kemampuan penjualan dalam menghasilkan
laba bersih. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus yaitu: 𝑁𝑒𝑡 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 =
3.
Laba Setelah Pajak Penjualan Bersih
Return On Asset (Pengembalian atas Asset) Yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan dari modal yang
diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan netto. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus yaitu: 𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑂𝑛 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 =
Laba Bersih Total Aktiva
37
4.
Return On Equity (Pengembalian atas Ekuitas) Yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan dari modal
sendiri untuk menghasilkan keuntungan bagi seluruh pemegang saham, baik saham biasa maupun saham preferen. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus yaitu:
𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑂𝑛 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 =
Laba Setelah Pajak Ekuitas Pemegang Saham
2.2.16 Leverage Leverage merupakan proporsi total hutang terhadap rata-rata ekuitas pemegang saham. Rasio tersebut digunakan untuk memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki perusahaan, sehingga dapat dilihat tingkat resiko tak tertagihnya suatu utang. Leverage merupakan salah satu rasio keuangan. Menurut peneliti (Harahap, 2008), rasio leverage menggambarkan kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjangnya atau kewajiban-kewajiban apabila perusahan dilikuidasi. Rasio ini berhubungan dengan keputusan pendanaan dimana perusahaan lebih memilih pembiayaan hutang dibandingkan modal sendiri. Rasio ini juga menunjukkan seberapa besar perusahaan dibiyai oleh pihak luar atau kreditor. Adapun rasio yang tergabung dalam rasio leverage diantaranya yaitu: 1.
Total Debt to Equity Ratio (Rasio Hutang terhadap Ekuitas) Yaitu perbandingan antara hutang–hutang dan ekuitas dalam pendanaan
38
perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal sendiri perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus yaitu: 𝐷𝑒𝑏𝑡 𝑡𝑜 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 =
2.
Total Hutang Ekuitas Pemegang Saham
Total Debt to Total Asset Ratio (Rasio Hutang terhadap Total Aktiva) Yaitu perbandingan antara hutang lancar dan hutang jangka panjang dan
jumlah seluruh aktiva diketahui. Rasio ini menunjukkan berapa bagian dari keseluruhan aktiva yang dibelanjai oleh hutang. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus yaitu: 𝐷𝑒𝑏𝑡 𝑡𝑜 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 =
2.3
Total Hutang Total Aktiva
Hubungan Antar Variabel
2.3.1 Pengaruh Umur perusahaan terhadap pengungkapan CSR Umur perusahaan diperkirakan memiliki hubungan positif dengan kualitas ungkapan sukarela. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa perusahaan yang berumur lebih tua memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam publikasi laporan keuangan. Perusahaan yang memiliki pengalaman lebih banyak akan lebih mengetahui kebutuhan konstituennya akan informasi tentang perusahaan. Berbeda dengan pendapat (Irawan, 2006) yang menyatakan bahwa perusahaan yang berumur muda (first issue di BEJ) cendrung mengungkapkan informasi yang lebih luas dibandingkan perusahaan yang lebih dahulu terdaftar di BEJ. Hal ini mungkin dikarenakan oleh adanya peraturan yang ditetapkan oleh BAPEPAM, serta kemungkinan lain adalah perusahaan yang berumur muda mengungkapkan
39
informasi yang lebih luas untuk menarik perhatian calon investor. Akan tetapi bank umum syariah belum go public sehingga umur perusahaan yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah awal berdirinya sebuah bank umum syariah dan sedah terbuatnya laporan tahunan pada bank umum syariah. 2.3.2 Pengaruh Ukuran perusahaan terhadap pengungkapan CSR Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Agus, 2011) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh terhadap pengungkapan social yang mengandung arti bahwa semakin besar suatu perusahaan maka cenderung melakukan pengungkapan informasi sosial yang lebih luas. Penelitian ini, menggunakan total aktiva (total asset) yang dimiliki perusahaan sebagai proksi dari ukuran perusahaan sebagai variabel independen. 2.3.3 Pengaruh profitabilitas terhadap pengungkapan CSR Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham, sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka akan semakin besar pula pengungkapan pertanggungjawaban sosialnya (Marbun, 2008). Ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Novrianto, 2012) dimana dia menggunakan profitabilitas sebagai variabel independen, dan menemukan hubungan yang signifikan terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan. 2.3.4 Pengaruh Leverage terhadap pengungkapan CSR Leverage merupakan alat untuk mengukur seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiyai asset perusahaan. Leverage memiliki
40
arti penting bagi perusahaan, karena dapat diketahui dampak leverage terhadap profitabilitas. Semakin tinggi tingkat leverage besar kemungkinan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha melaporkan laba yang lebih tinggi dengan cara mengurangi biaya-biaya termasuk biaya pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Marzully Nur dan Denies Priantinah (2012), dimana dia menggunakan leverage sebagai variabel independen, dan menemukan hubungan yang signifikan terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan. Kerangka Pemikiran VERIABEL INDEPENDEN
VARIABEL DEPENDEN
Umur Perusahaan
Ukuran Perusahaan
Profitabilitas
Leverage
Tanggungjawab Sosial Perusahaan (CSR)
41
Hipotesis : H1
: umur perusahaan berpengaruh terhadap tanggungjawab sosial
perusahaan pada bank umum syariah H2
: ukuran perusahaan berpengaruh terhadap tanggungjawab sosial
perusahaan pada bank umum syariah H3
: profitabilitas berpengaruh terhadap tanggungjawab sosial
perusahaan pada bank umum syariah H4
: leverage berpengaruh terhadap tanggungjawab sosial perusahaan
pada bank umum syariah H5
: umur perusahaan, ukuran perusahaan, profitabilitas dan leverage
berpengaruh terhadap tanggungjawab sosial perusahaan pada bank umum syariah.
40