BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1
Faktor-faktor Audit Dalam melakukan pemeriksaan atas kertas kerja pemeriksaan harus
sesuai dengan faktor dan prosedur dalam melaksanakan audit sesuai dengan ketentuan. Dilakukan para auditor sesuai dengan prosedur dan independen. 2.1.1.1 Pengertian Auditing dan Auditor Auditing memberikan nilai tambah bagi laporan keuangan perusahaan, karena akuntansi publik sebagai yang ahli dan independen pada akhir pemeriksaannya akan memberikan pendapat mengenai kewajaran posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan laporan arus kas. Auditing merupakan salah satu atestasi. Atestasi, pengertian umumnya merupakan suatu komunikasi dari seorang expert mengenai kesimpulan tentang realibilitas dari pernyataan seseorang. Berikut ini pengertian Auditing : Definisi Auditing Menurut ((Whittington, O. Ray dan Kurt Pann , 2012:4) auditing adalah “Auditing is an examination of a company’s financial statements by a firm of independent public accountants. The audit consists of a searching investigation of the accounting records and other evidence supporting those financial statements. By obtaining an understanding of the company’s internal control, and by inspecting documents, observing of assets, making enquires
11
12
within and outside the company, and performing other auditing procedures, the auditors will gather the evidence necessary to determine whether the financial statements provide a fair and reasonably complete picture of the company’s financial position and its activities during the period being audited”. Audit
adalah
pemeriksaan
laporan
keuangan
perusahaan
oleh
perusahaan akuntan publik yang independen. Audit terdiri dari penyelidikan mencari catatan akuntansi dan bukti lain yang mendukung laporan keuangan tersebut. Dengan memperoleh pemahaman tentang pengendalian internal perusahaan, dan dengan memeriksa dokumen, mengamati asset, membuat pertanyaan dalam dan di luar perusahaan dan melakukan prosedur audit lain, auditor akan mebgumpulkan bukti yang diperlukan untuk menentukan apakah laporan keuangan menyediakan adil dan cukup ,elengkapi gambaran yang sebenarnya posisi keuangan perusahaan dan kegiatan selama periode yang diaudit. Seorang auditor harus mempunyai kemampuan memahami kriteria yang digunakan serta mampu menetukan sejumlah bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan diambilnya. Auditor harus objektif dan mempunyai sikap mental independen. Sekalipun auditor seorang ahli, tetapi apabila dia tidak mempunyai sikap independen dalam pengumpulan informasi, maka informasi yang digunakan untuk mengmabil keputusan dianggap bisa. Tahap terakhir setelah selesai melakukan audit adalah penyusunan laporan audit yang merupakan alat penyampaian informasi kepada pemakai laporan. Definisi tersebut mengandung tujuh unsur-unsur penting yaitu (Menurut Mulyadi, 2002:9)
13
1. Suatu proses sistematis artinya audit merupakan suatu langkah atau prosedur yang logis, berkerangka dan terorganisasi. Auditing dilakukan dengan suatu urutan langkah yang direncanakan, terorganisasi dan bertujuan. 2. Untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif artinya proses sistematik ditujukan untuk memperoleh bukti yang mendasari pernyataan yang dibuat oleh individu atau badan usaha serta untuk mengevaluasi tanpa memihak atau berprasangka terhadap bukti-bukti tersebut. 3. Pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi artinya pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi merupakan hasil proses akuntansi. 4. menetapkan tingkat kesesuaian artinya pengumpulan bukti mengenai pernyataan dan evaluasi terhadap hasil pengumpulan bukti tersebut dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Tingkat kesesuaian antara pernyataan dengan kriteria
tersebut
kemungkinan
dapat
dikuantifikasikan,
kemungkinan pula bersifat kualitatif. 5. kriteria yang telah ditetapkan artinya kriteria atau standar yang dipakai sebagai dasar untuk menilai pernyataan (berupa hasil akuntansi) dapat berupa: 6. peraturan yang ditetapkan oleh suatu badan legislatif
14
Penyampaian hasil auditing sering disebut dengan atestasi. Penyampaian hasil ini dilakukan secara tertulis dalam bentuk laporan audit. Atestasi dalam bentuk laporan tertulis ini dapat menaikkan
atau
menurunkan
tingkat
kepercayaan
pemakai
informasi keuangan atas asersi yang dibuat oleh pihak yang diaudit. 7. Para pemakai yang berkepentingan Para pemakai yang berkepentingan terhadap laporan keuangan yang diaudit adalah para pembuat keputusan yang menggunakannya sebagai dasar untuk membuat keputusan – keputusan ekonomi. Para pemakai tersebut antara lain investor maupun calon investor dipasar modal, pemegang saham, kreditor maupun calon kreditor, badan pemerintahan, manajamen. 2.1.1.2 Prosedur Audit Prosedur audit adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan atau metoda dan teknik yang digunakan oleh auditor untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti audit”. Prosedur audit terbagi menjadi: 1) Prosedur Analitis (Analytical Procedures) Prosedur ini terdiri dari kegiatan mempelajari dan membandingkan data yang memiliki hubungan. Dalam prosedur ini digunakan data finansial dan non finansial yang menghasiilkan bukti analitis.
15
2) Menginspeksi (Inspecting) Prosedur ini melakukan pemeriksaan secara teliti atas dokumen, catatan, pemeriksaan fisik atas sumber berujud. 3) Mengkonfirmasi (Confirming) Prosedur ini dilakukan melalui pengajuan pertanyaan yang memungkinkan auditor untuk mendapatkan informasi langsung dari sumber independen di luar organisasi klien. 4) Mengajukan Pertanyaan (Inquiring) Prosedur ini dilakukan secara lisan dan tertulis kepada sumber-sumber intern dalam perusahaan, seperti manajemen dan karyawan. 5) Menghitung (Counting) Prosedur ini dilakukan dengan penghitungan fisik atas barang-barang berujud dan penghitungan atas dokumen bernomor urut tercetak. 6) Menelusur (Tracing) Prosedur ini dilakukan dengan menelusur informasi sejak awal data direkam pertama kali pada dokumen hingga pelacakan pengolahan data tersebut dalam proses akuntansi. 7) Mencocokkan ke dokumen (Vouching) Prosedur ini dilakukan dengan pencocokan dokumen untuk mendeteksi terjadinya pencatatan di atas semestinya dalam catatan akuntansi.
16
8) Mengamati (Observing) Prosedur ini dilakukan dengan melihat pelaksanaan sejumlah kegiatan atau proses yang terjadi dalam perusahaan. 9) Melaksanakan ulang ( Reperforming) Prosedur ini dilakukan dengan menghitung ulang dan membuat rekonsiliasi yang telah dilakukan oleh klien/perusahaan. 10) Teknik audit berbantuan komputer (Computer assisted audit techniques) Prosedur ini dilakukan jika perusahaan menyelenggarakan catatan akuntansi dalam media elektronik. 2.1.1.3 Standar Audit Menurut PSAP 01 (2011: 150.1-150.2) Standar auditing yang ditetapkan dan disahkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia terdiri atas sepuluh standar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu: a. Standar Umum 1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. 2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. 3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
17
b. Standar Pekerjaan Lapangan 1.
Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
2.
Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
3.
Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
c. Standar Pelaporan 1.
Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
2.
Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan standar akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan standar akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
3.
Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
4.
Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara
18
keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor. (IAPI, 2011:150.1 & 150.2) 2.1.1.4 Fase-fase Pelaksanaan Audit Dalam menjalankan tugasnya, seorang auditor harus mengunjungi unit kerja yang akan diaudit. Dalam menjalankan fungsinya, seorang auditor mempunyai hak untuk mendapatkan akses informasi yang dibutuhkan. Untuk itu maka pimpinan unit harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada auditor dalam berinteraksi dengan staf atau pimpinan unit tersebut. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh auditor dalam mendapatkan informasi dari auditee, antara lain: 1. Mengamati Proses Kerja. Dalam hal ini, auditor dapat memulai tugasnya dengan mengamati atau melakukan observasi secara langsung proses kerja dalam perspektif manajemen
mutu.
Melalui
pengamatan
ini,
auditor
dapat
mengumpulkan data/informasi dan mendeteksi apakah terdapat gejala adanya penyimpangan atau kesenjangan (diskrepansi).
19
2. Meminta Penjelasan Auditor dapat menggali informasi dengan cara meminta penjelasan dari unit kerja yang dikunjungi (auditee). Untuk mendapatkan informasi yang banyak, maka teknik bertanya auditor sebaiknya menggunakan pertanyaan terbuka. 3. Meminta Peragaan Dalam kasus tertentu, auditor dapat meminta auditee memperagakan suatu kegiatan. Ketika peragaan sedang dilakukan, auditor mengamati sambil membandingkan dengan ketentuan atau persyaratan yang telah diatur dalam Buku Pedoman Simintas. 4. Menelaah Dokumen Simintas Melalui proses telaah dokumen, auditor dapat mencatat berbagai informasi signifikan untuk ditanyakan kepada auditee. 5. Memeriksa Silang Dalam
proses
audit,
auditor
diperbolehkan
mengumpulkan
data/informasi dari unit-unit lain yang berkaitan. Misalnya untuk mengaudit Fakultas dalam penyiapan dan koreksi soal ujian, seorang auditor boleh memeriksa silang ke Pusat Pengujian. 6. Mencari Bukti-bukti Dalam proses audit, tujuan auditor adalah mencari informasi/data dan buktibukti objektif. Bukti objektif dapat berupa catatan, dokumen, atau kondisi faktual yang dapat dianalisis dan dibuktikan kebenarannya. Misalnya auditor menemukan suatu diskrepansi atau penyimpangan,
20
maka auditor perlu mencari bukti-bukti yang dapat mendukung untuk menguji kebenaran temuan tersebut. 7. Melakukan Survei Apabila dimungkinkan, seorang auditor boleh menggunakan seperangkat angket survei untuk mengecek hal-hal tertentu, misalnya tingkat
kepuasan
pelanggan,
efektifitas
komunikasi,
masalah
kepemimpinan, dan sebagainya. 2.1.2
KAP (Kantor Akuntan Publik)
2.1.2.1 Pengertian Kantor Akuntan Publik (KAP) Kantor akuntan publik (KAP) merupakan wadah bagi para auditor dalam memberikan jasanya dan untuk melaksanakan tugasnya seorang auditor bekerja pada kantor akuntan publik (KAP). KAP sendiri menurut undangundang tentang akuntan publik no 5 tahun 2011, adalah badan usaha yang didirikan
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
dan
mendapatkan izin usaha berdasarkan undang-undang akuntan publik no 5 tahun 2011. KAP ini bisa berbentuk usaha pereorangan, persekutuan perdata, firma, atau bisa juga berbentuk usaha lain sesuai dengan karakteristik profesi akuntan publik yang di atur dalam undang-undang.
21
2.1.2.2 Kegiatan Kantor Akuntan Publik Kantor akuntan publik melaksanakan empat kategori jasa yang utama yaitu: 1. Kegiatan pembuktian atau pengujian meliputi semua kegaitan kantor akuntan diamana diterbitkannya suatu laporan tertulis yang menyatakan kesimpulan atas keandalan dari pernyataan tertulis yang merupakan tanggung jawab pihak lain. Kegiatan pembuktian ini meliputi audit atas laporan keuangan historis, dan tinjauan atas laporan keuangan historis. 2. Penyuluhan pajak, menyusun surat pemberitahuan pajak dari perusahan dan peroarangan baik yang merupakan kliennya maupun yang bukan. 3. Konsultasi manjemen, jasa ini berkisar dari pemeberian saran sederhana,
mengenai
pembenahan
sistem
akuntansi
sampai
keikutsertaan dalam menyusun strategi pemasaran dan konsultasi asuransi. 4. Jasa akuntansi dan atministrasi pembukuan, ini dilakukan karena banyaknya klien kecil dengan staf akuntansi yang terbatas menyerahkan pembutan laporan keuangan kepada kantor akuntan publik..
22
2.1.2.3 Kewajiban dan Larangan KAP Kewajiban dan larangan KAP menurut Undang-Undang tentang Akuntan Publik no 5 tahun 2011 adalah sebagai berikut: 1. KAP atau cabang KAP wajib: a. mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang tenaga kerja profesional pemeriksa di bidang akuntansi b. mempunyai kantor atau tempat untuk menjalankan usaha c. memiliki dan menjalankan sistem pengendalian mutu. d. memasang nama lengkap kantor pada bagian depan kantor. KAP wajib menyampaikan secara lengkap dan benar laporan kegiatan usaha dan laporan keuangan untuk takwim sebelumnya dan wajib menyampaikan laporan program dan realisasi tahunan program pengembangan profesi akuntan publik (auditor) dan/atau dunia pendidikan bagi KAP paling lambat pada ahkir bulan april kepada menteri, dalam memberikan jasanya akuntan publik dan KAP wajib menjaga independensi serta bebas dari benturan kepentingan, yang meliputi kepentingan keuangan atau memiliki kendali yang signifikan pada klien atau memperoleh manfaat ekonomis dari klien, memiliki hubungan kekeluargaan dengan orang yang memiliki posisi kunci di bidang keuangan, serta wajib menjaga kerahasian informasi yang diperoleh dari klien.
23
1. KAP dilarang untuk: a. Melakukan kerja sama dengan KAPA (kantor akuntan publik asing) OAA (organisasi audit asing) yang telah melakukan kerja sama dengan KAP lain. b. Mencantumkan nama KAPA atau OAA yang status terdaftar KAPA atau OAA tersebut pada menteri dibekukan atau di batalkan. c. Memiliki rekan non-akuntan publik yang tidak terdaftar pada menteri. d. Membuka kantor dalam bentuk lain, kecuali bentuk kantor cabang e. Membuat iklan yang menyesatkan. 2.1.3 Penerimaan Perilaku Disfungsional Audit ( Acceptance Disfungsional Audit Behaviors) SAS No 82 dalam Pujaningrum (2012:14), menyatakan bahwa sikap auditor menerima
perilaku disfungsional merupakan indikator perilaku
disfungsional aktual. Dysfunctional audit behavior merupakan reaksi terhadap lingkungan (Donnelly et al., 2003:89). Beberapa perilaku disfungsional yang membahayakan kualitas audit yaitu: Underreporting of time, premature signoff, altering/ replacement of audit procedure. Underreporting of time menyebabkan keputusan personil yang kurang baik, menutupi kebutuhan revisi anggaran, dan menghasilkan time pressure untuk audit di masa datang yang tidak diketahui. Premature sign-off (PMSO) merupakan suatu keadaan yang menunjukan auditor menghentikan satu atau beberapa langkah audit yang diperlukan dalam prosedur audit tanpa
24
menggantikan dengan langkah yang lain (Marxen, 1990 dalam Pujaningrum, 2012:14). Graham (1985) menyimpulkan bahwa kegagalan audit sering disebabkan karena penghapusan prosedur audit yang penting dari pada prosedur audit yang tidak dilakukan secara memadai untuk beberapa item. Sedangkan altering/ replacing of audit procedure adalah penggantian prosedur audit yang seharusnya yang telah ditetapkan dalam standar auditing. 2.1.4 Turnover Intention 2.1.4.1 Pengertian Turnover Intention Turnover intentions didefinisikan sebagai kemauan dengan kesadaran dan pertimbangan untuk meninggalkan organisasi (Tett dan Mayer, 1993). Pada awal pengembangan literatur behavioral intention (Fishbein dan Azjen, 1975) dikembangkan suatu model yang diidentifikasi sebagai prediktor tunggal terbaik dari perilaku individu untuk mengukur niat atau maksud untuk melakukan suatu tindakan. Jelasnya, turnover intentions merupakan elemen kunci dalam model tindakan turnover pegawai dan behavioral intention merupakan prediktor terbaik untuk turnover (Abrams, Ando dan Hinkle, 1998; Lee dan Mowday, 1987; Michael dan Spector, 1982). Jadi turnover intentions merupakan precursor terbaik untuk turnover. 2.1.4.2 Penyebab Turnover intention Turnover intentions dipengaruhi oleh adanya konflik pada organisasi atau profesi. Pengujian mengenai turnover intentions ini mendapatkan
25
perhatian penting ketika penelitian-penelitian sebelumnya menyarankan bahwa variable turnover intentions merupakan prediktor signifikan atas turnover aktual (Hom, Katerberg dan Hulin, 1979 dalam Pujaningrum,2012:20). Turnover intentions juga dipengaruhi oleh skill dan ability, dimana kurangnya kemampuan seseorang (auditor) bisa mengurangi keinginannya untuk meninggalkan organisasi (Aranya dan Ferrish, 1984). Turnover intentions dipengaruhi oleh adanya konflik pada organisasi atau profesi. Pengujian mengenai turnover intentions ini mendapatkan perhatian penting ketika penelitian-penelitian sebelumnya menyarankan bahwa variable turnover intentions merupakan prediktor signifikan atas turnover aktual (Hom, Katerberg dan Hulin, 1979 dalam Pujaningrum, 2012:21). Turnover intentions juga dipengaruhi oleh skill dan ability, dimana kurangnya kemampuan seseorang (auditor) bisa mengurangi keinginannya untuk meninggalkan organisasi (Aranya dan Ferrish, 1984). 2.1.5 Kinerja Kinerja adalah suatu konsep yang menunjukkan adanya kaitan output dengan input yang dibutuhkan seorang tenaga kerja untuk menghasilkan produk. Kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan (Vroom, 1964).Pengukuran kinerja dilakukan dengan melihat jumlah output yang dihasilkan oleh setiap karyawan selama sebulan. Seorang karyawan dapat dikatakan produktif apabila ia mampu menghasilkan jumlah produk yang lebih banyak dibandingkan dengan karyawan lain dalam waktu yang sama. Jadi kinerja karyawan terlihat melalui beberapa jumlah produk yang
26
dihasilkan oleh karyawan dalam waktu tertentu. Kinerja karyawan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : a. Penggunaan waktu istirahat b. Lamanya bekerja c. Umur d. Suhu dan peranginan e. Penerangan f. Suara g. Kerja yang senada h. Suara musik Meningkatkan kinerja karyawan merupakan suatu keinginan setiap perusahaan. Melalui para manajernya, perusahaan berusaha sekuat tenaga dan cara apapun untuk memaksimalkan potensi karyawan. Masalah meningkatkan kinerja karyawan bukan hanya penting bagi perusahaan yang mencari keuntungan melainkan juga penting bagi organisasi-organisasi sosial. Definisi kinerja manajerial (Mahoney et al, 1965) yaitu seberapa jauh manajer mampu melaksanakan
fungsi-fungsi
manajemen
yang
meliputi
perencanaan,
investigasi, koordinasi, evaluasi, supervisi, pemilihan staf, negosiasi, dan perwakilan. Kinerja manajerial merupakan refleksi dari fungsi manajemen perusahaan yang menentukan pencapaian tujuan perusahaan. Kinerja didifinisikan sebagai konstruksi multi dimensional dimana pengukurannya bervariasi tergantung variasi faktor – faktornya, tergantung pada tujuan pengukuran untuk mengetahui hasil kinerja atau perilaku.
27
Kinerja manajerial menurut Mahoney et al (1965) adalah seberapa jauh manajer mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen yang meliputi perencanaan, investigasi, koordinasi, evaluasi, supervisi, pemilihan staff, negosiasi dan perwakilan. Pengertian ini lebih banyak memberi pengertian kinerja dalam bentuk perilaku yang merupakan hasil tindakan seorang manajer dalam melaksanakan pekerjaanya. Pendapat lain mengatakan bahwa manajer yang sukses harus diukur dari kinerja kelompok/departement dimana dia ditugaskan dan bukan dari perkembangan karirnya. Kinerja adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut kriteria yang berlaku untuk pekerjaan yang dilakukannya. Kriteria untuk mengukur kinerja bervariasi cukup lebar dan semua relevan sesuai tujuan pengukuran, sehingga Stewart (1995) menyarankan agar dalam pemilihan kriteria ditentukan berdasarkan tujuan suatu sistem. Dimana tujuan suatu sistem diturunkan dari tujuan organisasi dan tujuan pengukuran kinerja dalam organisasi tersebut. Hal ini didukung oleh Kane (1996) yang mendifinisikan kinerja adalah sesuatu yang seseorang kerjakan dan ada sebagai bagian dari suatu tujuan. Diperkuat oleh pendapat Brownell & Innes (1986) memberikan pengertian kinerja sebagai pekerjaan seseorang yang dapat diukur yang relevan dengan tujuan organisasi. Pengertian ini lebih banyak memberi pengertian kinerja dalam bentuk hasil akibat tindakan yang diambil oleh seorang manajer yang dikaitkan dengan tujuan keberadaan organisasi dimana manajer tersebut bekerja. Dengan demikian akan sangat tepat jika kinerja dalam hal ini diukur menggunakan ukuran kinerja yang dipakai oleh organisasi tersebut.
28
2.1.6 Komitmen Organisasi 2.1.6.1 Pengertian Komitmen Organisasi Menurut Mahis dan Jackson (2000) memberikan definisi : ”Organizational Commitment is the degree to which employees believe in and accept organizational goals and desire to remain with the organization”. Komitmen organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi. Mowday (1982) Komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional. Komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Komitmen organisasional merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan anggota organisasi untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi. komitmen organisasional mencakup kebanggaan anggota, kesetiaan anggota, dan kemauan anggota pada organisasi (Lincoln, 1994), . Sedangkan (Blau dan Boal, 1995) komitmen organisasional didefinisikan sebagai suatu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari karyawan terhadap organisasi. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah suatu ikatan psikologis karyawan pada organisasi yang ditandai dengan adanya:
29
1. Sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari organisasi, 2. Sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan organisasi, 3. Sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi. 2.1.6.2 Bentuk Komitmen Organisasi Kanter (1986) mengemukakan pendapat : 1. Komitmen berkesinambungan (continuance commitment), yaitu komitmen yang berhubungan dengan dedikasi anggota dalam melangsungkan kehidupan organisasi dan menghasilkan orang yang mau berkorban dan berinvestasi pada organisasi; 2. Komitmen terpadu (cohesion commitment), yaitu komitmen anggota terhadap organisasi sebagai akibat adanya hubungan sosial dengan anggota lain di dalam organisasi. Ini terjadi karena karyawan percaya bahwa norma-norma yang dianut organisasi merupakan normanorma yang bermanfaat; 3. Komitmen terkontrol (control commitment), yaitu komitmen anggota pada norma anggota organisasi yang memberikan perilaku yang diinginkannya. Norma yang dimiliki organisasi mampu memberikan sumbangan terhadap perilaku yang diinginkannya. Menurut Meyer, et al (1998) mengemukakan tiga komponen komitmen organisasional, yaitu:
30
1. Affective commitment, terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional; 2. Continuance commitment, muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan lain, atau karena tidak menemukan pekerjaan lain; 3. Normative commitment, timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan. 2.1.6.3 Faktor yang mempengaruhi Komitmen Organisasi Januarti, (2006 : 15) mengemukakan komitmen organisasi, terbangun bila tiap individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan terhadap organisasi dan atau profesi yaitu : Identification yaitu pemahaman atau penghayatan dari tujuan organisasi, Involment yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan atau perasaan bahwa pekerjaannya adalah menyenangkan, dan Loyality yaitu perasaan bahwa organisasi adalah tempat bekerja dan tempat tinggal. Menurut
David
(1997)
mengemukakan
empat
faktor
yang
mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu: 1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, kepribadian, dll; 2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan, konflik, peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan, dll;
31
3. Karekteristik struktur, misalnya besar/kecilnya organisasi, bentuk organisasi (sentralisasi/desentralisasi), kehadiran serikat pekerja; 4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. 2.2
Hubungan antar Variabel
2.2.1
Hubungan Kinerja terhadap Penerimaan Dysfungsional Audit
Behaviours Tidak ada bukti meyakinkan mengenai hubungan antara kinerja dan perilaku disfungsional secara umum. Akan tetapi terdapat dukungan teoritis bahwa perilaku disfungsional lebih mungkin terjadi pada situasi ketika persepsi pribadi (self-perception) individu atas kinerjanya rendah. Gable dan De Angelo (1994) dalam Donnelly et al. (2003:91) menyatakan bahwa perilaku disfungsional terjadi pada situasi ketika individu merasa dirinya kurang mampu mencapai hasil yang diharapkan melalui usahanya sendiri. Dalam penelitian yang serupa, Solar dan Bruehl (1971) dalam Donnelly et al. (2003:91) menyatakan bahwa individu yang tingkat kinerjanya berada dibawah harapan supervisor memiliki kemungkinan yang lebih besar terlibat dalam perilaku disfungsional karena menganggap dirinya tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam organisasi melalui usahanya sendiri. Jadi, perilaku disfungsional dipandang sebagai hal yang perlu karena tujuan individu maupun organisasi tidak dapat dicapai melalui tingkat kinerja tersebut.
32
2.2.2 Hubungan Turnover Intention terhadap Penerimaan Dysfunctional Audit Behavior. Turnover intentions mengacu pada niat karyawan untuk mencari alternatif pekerjaan lain dan belum terwujud dalam bentuk perilaku nyata (Pasewark dan Strawser, 1996). Tinggi rendahnya turnover karyawan pada organisasi berakibat secara langsung pada biaya perekrutan, seleksi, dan pelatihan yang harus ditanggung organisasi (Mercer, 1988). Hal tersebut dapat mengganggu efisiensi operasional bila karyawan yang meninggalkan organisasi memiliki pengetahuan dan pengalaman, sehingga memerlukan persiapan dan biaya untuk penggantinya. Dampak positif turnover adalah jika menimbulkan kesempatan untuk menggantikan individu yang kinerjanya tidak optimal dengan individu yang berketerampilan dan bermotivasi tinggi (Dalton dan Todor, 1981) Malone dan Roberts (1996) dalam Donnelly et al. (2003:91) menyatakan bahwa auditor yang memiliki keinginan berpindah kerja lebih mungkin terlibat dalam perilaku disfungsional karena adanya penurunan rasa takut dari kondisi yang mungkin terjadi bila perilaku tersebut terdeteksi. Lebih lanjut, individu yang bermaksud meninggalkan perusahaan mungkin kurang memperhatikan pengaruh balik potensial dari dysfunctional behavior terhadap promosi dan penilaian kinerja. 2.2.3 Komitmen Organisasional dan Penerimaan Dysfunctional Audit Behavior Ferris (1981) dalam Donnelly et al. (2003:94) menemukan bahwa kinerja yang ditunjukkan oleh akuntan junior dipengaruhi oleh tingkat
33
komitmennya terhadap organisasi. Dalam penelitian yang hampir sama mengenai penentu kinerja auditor, Ferris dan Larcker (1983) dalam Donnelly et al. (2003:94) mengindikasikan bahwa kinerja auditor adalah bagian dari fungsi komitmen organisasional. Nouri dan Parker (1998) dalam Donnelly et al. (2003:94) menemukan bahwa komitmen organisasional secara positif mempengaruhi kinerja. Hasil penelitian Randall (1990) dalam Donnelly et al. (2003:94) menyatakan bahwa komitmen organisasional mempunyai hubungan positif dengan kinerja karyawan, tetapi hubungannya kecil. Luthans (1997) mengungkapkan bahwa sejalan dengan tingkat kepuasan kerja, terdapat bauran hasil (mixed outcomes) dari komitmen organisasional, salah satunya rendahnya turnover.
2.3
Penelitian Terdahulu TABEL 2.1 RINGKASAN PENELITIAN TERDAHULU No
Nama
1
Donnelly, David P. Jeffery J. Quirin dan David O’Brian (2003)
Judul penelitian Auditor Acceptance of Dysfunctional Audit Behavior: An Explanatory Model Using Auditors’ Personal Characteristics
Metodelogi Variabel Independen - Locus of Control - Organizational Commitment - Employ Performance - Turnover Intention Variabel Dependen - Acceptance Dysfunctional
Alat Analisa Structural Equation Modeling (SEM)
Hasil -Locus of control, employ performance, berpengaruh signifikan terhadap acceptance dysfunctional behavior - turnover intention tidak berpengaruh
34
Behavior Responden Penelitian akuntan publik yang bekerja di kantor akuntan publik di Amerika dengan sampel 106 akuntan publik Analisis Variabel Penerimaan Independen Auditor Atas - Locus of Dysfunctional Control Audit Behavior - Kinerja : Sebuah - Turnover Pendekatan Intention Karakteristik Variabel Personal Dependen Auditor Dysfunctional Audit Behavior Responden Penelitian 20 akuntan publik yang bekerja di KAP di Jawa Tengah
2
Dwi Harini, dkk (2010)
3
Pujaningrum Analisis (2012) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Penerimaan Auditor Atas Penyimpangan Perilaku Dalam Audit
Variabel Independen - Locus of Control - Kinerja - Turnover Intention - Komitmen Organisasi Variabel Dependen Dysfunctional Audit Behavior
terhadap acceptance dysfunctional behavior
Structural Equation Modeling (SEM)
locus of control dan berpengaruh signifikan terhadap dysfunctional audit behavior - turnover intention tidak berpengaruh terhadap dysfunctional audit behavior
Regresi Linear berganda
locus of control eksternal, kinerja dan turnover intention secara langsung berpengaruh signifikan terhadap penerimaan dysfunctional
35
Responden Penelitian 64 akuntan publik yang bekerja di KAP
2.4
audit behavior masingmasing dengan arah yang sesuai sedangkan komitmen organisasi tidak berpengaruh signifikan.
Kerangka Pemikiran Secara ringkas penelitian ini akan menganalisis pengaruh antara variabel
–variabel komitmen organisasional, kinerja, turnover intention dan penerimaan dysfunctional audit behavior. Dalam situasi dimana eksternal tidak mampu memperoleh dukungan yang dibutuhkan untuk bertahan, mereka memandang manipulasi sebagai strategi untuk bertahan (Solar dan Bruehl, 1971). Gable dan Dangello (1994) menyatakan bahwa perilaku disfungsional terjadi pada situasi ketika individu merasa dirinya kurang mampu mencapai hasil yang diharapkan melalui usahanya sendiri. Dalam penelitian yang serupa, Solar dan Bruehl (1971) menyatakan bahwa individu yang tingkat kinerjanya berada dibawah harapan supervisor memiliki kemungkinan yang lebih besar terlibat dalam perilaku
disfungsional
karena
menganggap
dirinya
tidak
mempunyai
kemampuan untuk bertahan dalam organisasi melalui usahanya sendiri. Jadi, perilaku disfungsional dipandang sebagai hal yang perlu karena tujuan individu maupun organisasi tidak dapat dicapai melalui tingkat kinerja tersebut. Untuk
36
dapat memudahkan dalam melaksanakan penelitian ini, disusun kerangka pemikiran sebagai berikut :
X1
X2
Y
X3
Gambar 2.1 Model Hubungan Antar Variabel
Keterangan: X1 = Kinerja X2 = Turnover intention X3 = Komitmen Organisasi Y = Penerimaan Dysfunctional Audit Behavior
37
2.5
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka penelitian diatas, maka hipotesis penetian dirumuskan sebgai berikut: Hipotesis 1
:
Kinerja berpengaruh positif terhadap penerimaan dysfunctional audit behavior. Hipotesis 2
:
Turnover
Intention
berpengaruh
positif
terhadap
penerimaan
dysfunctional audit behavior. Hipotesis 3
:
Komitmen berpengaruh positif terhadap penerimaan dysfunctional audit behavior