BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Biogas Sejarah penemuan proses anaerobik digestion untuk menghasilkan biogas tersebar dibenua Eropa. Penemuan ilmuan Alessandro Volta terhadap gas yang dikeluarkan dirawa-rawa terjadi pada tahun 1770, beberapa decade kemudian Avogadro mengidentifikasikan tentang gas Methana. Setelah tahun 1875 dipastikan bahwa biogas merupakan produk dari proses anaerobik digestion. Tahun 1884 Pateour melakukan penelitian tantang biogas menggunakan kotoran hewan. Era penelitian Pasteour menjadi landasan untuk penelitian biogas hingga saat ini. Pada akhir abad ke-19 ada beberapa riset dalam bidang ini dilakukan. Di Jerman dan Perancis melakukan riset pada masa antara dua perang dunia dan beberapa unit pembangkit biogas dengan memanfaatkan limbah pertanian. Selama perang dunia II banyak petani di Inggris dan benua Eropa yang membuat digester kecil untuk menghasilkan biogas yang digunakan untuk menggerakkan traktor. Karena harga BBM semakin murah dan mudah memperolehnya pada tahun 1950-an pemakaian biogas di Eropa ditinggalkan. Namun, di Negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah dan selalu tersedia ada. Kegiatan produksi biogas di India telah dilakukan semenjak abad ke-19. Alat pencerna anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900 (Burhani Rahman,http://www.energi.lipi.gi.id).
7
Universitas Sumatera Utara
2.2 Definisi Biogas Biogas adalah gas produk akhir pecernaan atau degradasi anaerobik bahanbahan organik oleh bakteri-bakteri anaerobik dalam lingkungan bebas oksigen atau udara. Komponen terbesar biogas adalah Methana (CH4, 54-80%-vol) dan karbondioksida (CO2, 20-45%-vol) serta sejumlah kecil H2, N2 dan H2S. Pada literature lain komposisi biogas secara umum ditampilkan dalam tabel berikut : Tabel 2.1 Komposisi Biogas Secara Umum. Komposisi dalam biogas
Kadar komponen (%)
Metana
50-60
Karbondioksida
34-48
Hydrogen
2
Hydrogen Sulfida
Tapak
Karbon
Tapak
Holokarbon
Tapak
Non-Methane volatile organic
Tapak
Sumber : Juanga, 2007 Biogas dapat digunakan dalam berbagai keperluan seperti memasak, penerangan, pompa air, boiler dan sebagainya. Berikt ini adalah gambar penggunaan gas metana untuk berbagai aplikasi.
8
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Penggunaan biogas untuk berbagai aplikasi (Kosaric dan Velikonja, 1995) 2.3 Proses Produksi Biogas Proses produksi biogas, terjadi dua tahap yaitu penyiapan bahan baku dan proses penguraian anaerobik oleh mikroorganisme untuk menghasilkan gas metana. 2.3.1 Bahan baku Biogas berasal dari hasil fermentasi bahan-bahan organik diantaranya (Judoamidjojo dkk,1992) : a. Limbah tanaman : tebu, rumput-rumputan, jagung, gandum dan lain-lain. b. Limbah dari hasil produksi :minyak, bagas, penggilingan padi, limbah sagu. c. Hasil samping industri : tembakau, limbah pengolahan buah-buahan dan sayur-sayuran, dedak, kain dari tekstil, ampas tebu dari industri gula dan tapioka, industri tahu (limbah cair). d. Limbah perairan : alga laut, tumbuh-tumbuhan air.
9
Universitas Sumatera Utara
e. Limbah peternakan : kotoran sapi, kerbau, kambing, unggas. Salah satu pemasalahan yang dihadapi dalam fermentasi anaerob adalah keberadaan senyawa-senyawa tertentu yang bertindak sebagai inhibitor. Oleh karena itu perlu ditambahkan sesuatu pada bahan baku supaya menghilangkan pengaruh inhibitor yang ada. Rasio ideal C/N untuk proses dekomposisi anaerob untuk menghasilkan metana adalah 25-30. Oleh karena itu, pada proses pencemaran bahan baku diusahakan memenuhi rasio ideal. Rasio C/N dari beberapa bahan organik dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 2.2 Rasio C/N untuk berbagai bahan organik Bahan organik
N dalam %
C/N
Kotoran manusia
6
5,9-10
Kotoran sapi
1,7
16,6-25
Kotoran babi
3,8
6,2-12,5
Kotoran ayam
6,3
5-7,1
Kotoran kuda
2,3
25
Kotoran domba
3,8
33
Jerami
4
12,5-25
Lucemes
2,8
16,6
Alga
1,9
100
Gandum
1,1
50
Serbuk jerami
0,5
100-125
10
Universitas Sumatera Utara
Ampas tebu
0,3
140
Serbuk gergaji
0,1
200-500
Kol
3,6
12,5
Tomat
3,3
12,5
Mustard (Runch)
1,5
25
Kulit kentang
1,5
25
Sekam
0,6
67
Bonggol jagung
0,8
50
Daun yang gugur
1
50
Batang kedelai
1,3
33
Kacang toge
0,6
20
Sumber : Kaltwasser, 1980 Penggunaan limbah sebagai bahan baku biogas memerlukan metode pengumpulan, penyiapan, penanganan dan penyimpanan yang memadai. Pemilihan metode didasarkan pada sifat dan jumlah bahan baku yang bervariasi. Sifat alami bahan baku adalah padatan, semipadatan atau cairan. Sejalan dengan itu sistem penanganannya harus sesuai dengan kondisi setempat. 2.3.2 Proses anaerob Proses penguaraian oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik terjadi secara anaerob. Pada prinsipnya proses anaerob adalah proses biologi yang berlangsung pada kondisi tanpa oksigen oleh mikrooeganisme tertentu yang mampu mengubah senyawa organik menjadi metana (biogas). Proses ini banyak
11
Universitas Sumatera Utara
dikembangkan untuk mengolah kotoran hewan dan manusia atau air limbah yang kandungan bahan organiknya tinggi. Sisa pengolahan bahan organik dalam bentuk padat digunakan untuk kompos. Berikut ini adalah proses pengolahan bahan organik menjadi biogas dengan proses anaerobik.
panas Tangki penyimpanan
Unit proses metana
tenaga
sisa Proses mengkontrol memantau digester.
dan
Tempat aerasi.
kompos pengolahan
secara
pupuk
Gambar 2.2 Instalasi sistem produksi dan pemanfaatan biogas (Nemerow,1978). Secara umum, proses anaerob terdiri dari empat tahap yakni : hidrolisis, pembentukan asam, pembentukan asetat dan pembentukan metana. Proses anaerob dikendalikan oleh dua golongan mikroorganisme (hidrolitik dan metanogen). Bakteri hidrolitik terdapat dalam jumlah yang besar dalam kotoran unggas karena reproduksinya sangat cepat. Organisme ini memecah senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Senyawa sederhana diuraikan oleh bakteri penghasil asam (acid-forming bacteria) menjadi asam lemak dengan berat molekul rendah seperti asam asetat dan asam butirat. Selanjutnya bakteri metanogenik mengubah asam-asam tersebut menjadi metana.
12
Universitas Sumatera Utara
Rangkaian reaksi enzimatis berbagai senyawa organik misalnya pengurai karbohidrat, lemak, protein dapat dilihat berdasarkan reaksi berikut ini (Nemerow, 1978) : * Penguraian karbohidrat : (C6H10O6)x + xH2O
(C6H12O6)
(C6H12O6)
2 C2H5OH + 2 CO2
2CH3CH2OH
2CH3COOH + CH4
CH3COOH
CH4 + CO2
* Penguraian lemak :
* Alfa oksidasi asam : 2RCH2CH2COOH + CO2 + 2 HOH
4RCOOH + CO2
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme anaerob antara lain : 1. Temperatur Gabungan bakteri anaerob bekerja dibawah tiga kelompok temperatur utama. Temperatur kriofilik yakni kurang dari 200 C, mesofilik berlangsung pada temperatur 20-45 0C (optimum pada 30-450 C) dan termofilik terjadi pada temperatur 40-80 0C (optimum pada 55-75 0C). Kondisi optimum merupakan kondisi dimana laju pertumbuhan mencapai maksimum sehingga laju penguaraian senyawa organik juga akan mencapai maksimum. Produksi
13
Universitas Sumatera Utara
biogas akan menurun secara cepat akibat perubahan temperatur yang mendadak didalam instalasi pengolahan biogas (Simamora dkk,2006) 2. pH Pada dekomposisi anaerob faktor pH sangat berperan, karena pada rentang pH yang tidak sesuai mikorba tidak dapat tumbuh dengan maksimum dan bahkan
dapat
menyebabkan
kematian
yang
pada
akhirnya
dapat
menghambat perolehan gas metana. Derajat keasaman yang optimum bagi kehidupan mikroorganisme adalah 6,8-7,8 (Simamora dkk, 2006). 3. Nutrisi Mikroorganisme membutuhkan beberapa vitamin essensial dan asam amino. Zat tersebut dapat disuplai kemedia kultur dengan memberikan nutrisi tertentu untuk pertumbuhan dan metabolismenya. Berdasarkan nilai COD, perbandingan COD: N : P adalah 400: 7: 1 dan 1000: 7: 1 dikatakan sebagai kebutuhan untuk substrat tinggi dan rendah. Selain itu juga dibutuhkan mikronutrien untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme misalnya besi, magnesium, kalsium, natrium, barium, selenium, kobalt dan lain-lain (Malina, 1992). 4. Ion kuat dan Salinitas Salinitas (kandungan garam) NaCL 0,2 M dilaporkan memiliki pengaruh yang minimal terhadap populasi metanogenik, namun salinitas yang lebih besar dapat bersifat inhibitor. Tabel 2.4 menyajikan pengaruh beberapa ion logam ringan pada proses anaerob.
14
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Konsentrasi Kation ringan Stimulatory Konsentrasi dalam mg/l Kation
Stimulatory
Moderately
Strongly
inhibitor
inhibitor
Natrium (Na)
100-200
3500-5500
8000
Kalium (K)
200-400
2500-4500
12000
Kalsium (Ca)
100-200
2500-4500
8000
Magnesium (Mg)
75-150
1000-1500
3000
Sumber : Grady dan Henry, 1980 5. Keracunan dan hambatan Keracunan (toxicity) dan hambatan (inhibition) proses anaerob dapat disebabkan oleh berbagai hal misalnya produk antar asam lemak lebih mudah menguap (volatile) yang dapat mempengaruhi pH. Pertumbuhan mikroba metanogenik terbatas jika jumlah asam lemaknya berlebihan. Amonia, hidrogen sulfida dan asam lemak volatil berasal dari reduksi sulfat dan nitrat oleh bakteri yang juga dapat membentuk asam lemah dan basa le,ah pada sistem penyangga (buffer). Zat- zat penghambat lain terhadap aktivitas mikoorganisme pada proses anaerob diantaranya kandungan logam berat sianida. 6. Faktor konsentrasi padatan. Konsentrasi ideal padatan untuk memproduksi biogas adalah 7-9 % kandungan kering. Kondisi ini dapat membuat proses digester anaerob
15
Universitas Sumatera Utara
berjalan dengan baik. Berikut ini nilai dalam kandungan kering (Total Solid, % TS) beberapa bahan baku biogas. Tabel 2.4. Nilai Dalam Kandungan Kering Bahan Baku Biogas. Bahan baku
Kandungan kering (%)
Kotoran manusia
11
Sapi
18
Babi
11
Ayam
25
Sumber : Peter John Maynell, 1981.
2.4. Sistem Produksi Biogas Sistem produksi biogas dibedakan menurut cara pengisian bahan bakunya yaitu pengisian curah dan pengisian kontinyu ( Teguh dan Agung, 2005). A. Pengisian curah. Yang dimaksud dengan sistem pengisian curah (SPC) cara penggantian bahan yang dilakukan dengan mengeluarkan sisa bahan yang sudah dicerna dari tangki pencerna setelah produksi biogas berhenti dan selanjutnya dilakukan pengisian bahan baku yang baru. Sistem ini terdiri dari dua komponen yaitu tangki pencerna dan tangki pengumpul gas. B. Pengisian kontinyu. Yang dimaksud dengan sistem pengisian kontinyu (SPK) adalah bahwa pengisian bahan baku kedalam tangki pencerna dilakukan secara
16
Universitas Sumatera Utara
konntinyu (setiap hari) tiga hingga empat minggu sejak pengisian awal, tanpa harus mengeluaekan bahan yang sudah dicerna. Bahan baku segar yang diisikan setiap hari akan mendorong bahan isian yang sudah dicerna keluar dari tangki pencerna melalui pipa pengeluaran. Keluaran biasanya dimanfaatkan sebagai pupuk kompos bagi tanaman, sedangkan cairannya sebagai pupuk bagi pertumbuhan algae pada kolam ikan. Biogas sistem anaerob (kedap udara) dapat dibuat dengan mudah. Terdapat dua jenis sistem biogas yaitu jenis terapung (floating) dan jenis kubah tetap (fixed dome). Pada tipe terapung, diatas tumpukan bahan bio (digester) diletakkan drum terbalik dalam posisi terapung. Pada reaktor biogas jenis kubah tetap, digester diletakkan didalam tanah dan dibagian atasnya dibuat ruangan dengan atap seperti kubah terbalik. Fungsi drum terbalik atau kubah terbalik ini untuk menampung gas yang dihasilkan. Gambar-gambar dibawah ini menunjukkan kedua jenis reaktor biogas yang dimaksud.
17
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Pencerna tipe Floating Dome (India), (Syamsudin dan Iskandar, 2005)
Gambar 2.4 Pencerna tipe Fixed Dome (China), (Syamsudin dan Iskandar, 2005)
18
Universitas Sumatera Utara
Tahapan untuk terbentuknya biogas dari proses fermentasi anaerob dapat dipisahkan menjadi tiga yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman dan tahap pembentukan gas metana. Pada tahap hidrolisis, bahan-bahan biomassa yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan bahan ekstraktif seperti protein, karbohidrat dan lipida akan diurai menjadi senyawa dengan rantai yang lebih pendek. Sebagai contoh polisakarida terurai menjadi monosakarida sedangkan protein terurai menjadi peptida dan asam amino (Khasristya, 2004). Pada tahap hidrolisis, mikroorganisme yang berperan adalah enzim ekstraseluler seperti selulosa, amilase, protease dan lipase (Khasristya, 2004). Pada tahap pengasaman, bakteri akan menghasilkan asam yang akan berfungsi untuk mengubah senyawa pendek hasil hidrolisis menjadi asam asetat, H2 dan CO2. bakteri ini merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh pada keadaan asam. Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan. Selain itu, bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alkohol, asam organik, asam amino, CO2, H2S dan sedikit gas CH4 (Khasristya, 2004). Pada tahap pembentukan gas CH4, bakteri yang berperan adalah bakteri metanogenesis. Bakteri ini akan membentuk gas CH4 dan CO2 dari gas H2, CO2 dan asam asetat yang dihasilkan pada tahap pengasaman (Khasristya, 2004). Ketiga proses dalam reaktor biogas dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
19
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5. Proses dalam reaktor biogas (Sufyandi, 2001).
Perlu diketahui bahwa laju pembentukan gas CH4 dalam reaktor biogas sangat dipengaruhi oleh temperatur. Temperatur ini akan berhubungand dengan kemampuan bakteri yang ada dalam reaktor. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi biogas. Faktor pendukung untuk mempercepat proses fermentasi adalah kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan bakteri perombak. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap produksi biogas sebagai berikut (Simamora dkk, 2006) : 1. Kondisi anaerob atau kedap udara. Biogas dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme anaerob. Karena itu, instalasi pengolah biogas harus kedap udara (keadaan anaerob).
20
Universitas Sumatera Utara
2. Bahan baku isian. Bahan baku isian berupa bahan organik seperti kotoran ternak, limbah pertanian, sisa dapur dan sampah organik. Bahan baku isian ini harus terhindar dari bahan baku anorganik seperti pasir, batu, plastik dan beling. Bahan isian ini harus mengandung berat kering sekitar 7-9 %. Keadaan ini dapat dicapai dengan melakukan pengenceran menggunakan air 1:1-2 (bahan baku: air). 3. Imbangan C/N. Imbangan Carbon (C) dan Nitrogen (N) yang terkandung dalam bahan organik sangat menentukan kehidupan dan aktivitas mikroorganisme. Imbangan C/N yang optimum bagi mikroorganisme perombak adalah 25-30. 4. Derajat keasaman (pH). Derajat keasaman sangat berpengaruh terhadap kehidupan mikroorganisme. Derajat keasaman yang optimum bagi kehidupan mikroorganisme adalah 6,87,8. Pada tahap awal fermentasi bahan organik akan terbentuk asam (asam organik) yang akan menurunkan pH. Mencegah terjadinya penurunan pH dapat dilakukan dengan menambahkan larutan kapur (Ca(OH)2) atau kapur (CaCO3). 5. Temperatur. Produksi biogas akan menurun secara cepat akibat perubahan temperatur yang mendadak
didalam
instalasi
pengolah
biogas.
Upaya
praktis
untuk
menstabilkan temperatur adalah dengan menempatkan instalasi biogas didalam tanah.
21
Universitas Sumatera Utara
6. Starter. Starter diperlukan untuk mempercepat proses perombakan bahan organik hingga menjadi biogas. Starter merupakan mikroorganisme perombak yang telah dijual komersial. Bisa juga menggunakan lumpur aktif organik atau isi rumen.
2.5. Limbah Cair Industri Tahu Limbah industri tahu terdiri dari dua jenis, yaitu limbah cair dan padat. Dari kedua jenis limbah tersebut, limbah cair merupakan bagian terbesar dan berpotensi mencemari lingkungan. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan bersumber dari cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu pada tahap proses penggumpalan dan penyaringan yang disebut air dadih atau whey. Sumber limbah cair lainnya berasal dari proses sortasi dan pembersihan, pengupasan kulit, pencucian, penyaringan, pencucian peralatan proses dan lantai. Jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu sebanding dengan penggunaan air untuk pemrosesannya. Secara umum, skema proses pembuatan tahu dapat dilihat pada Gambar 2.7.
22
Universitas Sumatera Utara
Kedelai Air
Sortasi dan pembersihan
Air
Perendaman
Air
Pengupasan Kulit
Air
Pencucian
Air
Penggilingan
Air Air
Kotoran Limbah Cair
(3 – 12 jam) Kulit kedelai Limbah Cair (BOD, TSS) (30-40 menit)
Limbah cair
- Air hangat ( 8 : 1)
Pemasakan bubur kedelai – air hangat, 100oC, 15 – 30 menit Ampas tahu Penyaringan air hangat FILTRAT
Batu tahu Asam Asetat atau Whey
Penggumpalan
30 menit
Air tahu/ whey (TSS, BOD)
Penyaringan Pencetakan/pengepresan/pemotongan Air
Perebusan
Limbah cair (BOD, TSS)
80oC
Air tahu air rebusan
Tahu Sumber : Santoso, 1993; Bapedal, 1994 dan BPPT, 1997a
Gambar 2.6. Bagan Proses Pembuatan Tahu
23
Universitas Sumatera Utara
Menurut Nuraida (1985) jumlah kebutuhan air proses dan jumlah limbah cair yang dihasilkan dilaporkan berturut-turut sebesar 45 dan 43,5 liter untuk tiap kilogram bahan baku kacang kedelai. Pada beberapa industri tahu, sebagian kecil dari limbah cair tersebut (khususnya air dadih) dimanfaatkan kembali sebagai bahan penggumpal (Dhahiyat, 1990). Perincian pengggunaan air dalam setiap tahapan proses dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Perkiraan kebutuhan air pada pengolahan tahu dari 3 kg kedelai Tahap Proses
Kebutuhan Air (Liter)
•
Pencucian
10
•
Perendaman
12
•
Penggilingan
3
•
Pemasakan
30
•
Pencucian ampas
50
•
Perebusan
20
Jumlah
135
Sumber : Nuraida (1985)
Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik kompleks yang tinggi terutama protein dan asam-asam amino (EMDI ─ Bapedal, 1994) dalam bentuk padatan tersuspensi maupun terlarut (BPPT, 1997a). Adanya senyawasenyawa oeganik tersebut menyebabkan limbah cair industri tahu mengandung BOD, COD dan TSS yang tinggi (Tay, 1990; BPPT, 1997a; dan Husin, 2003) yang apabila
24
Universitas Sumatera Utara
dibuang ke perairan tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat menyebabkan pencemaran.
2.6. Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu Secara umum karakteristik air buangan dapat digolongkan atas sifat fisika, kimia dan biologi. Akan tetapi, air buangan industri biasanya hanya terdiri dari karakteristik kimia dan fisika. Menurut Eckenfelder (1989), parameter yang digunakan untuk menunjukkan karakter air buangan industri adalah : a. Parameter fisika, seperti kekeruhan, suhu, zat padat, bau dan lain-lain. b. Parameter kimia, dibedakan atas : b.1. Kimia Organik : kandungan organik (BOD, COD, TOC), oksigen terlarut (DO), minyak/lemak, Nitrogen-Total (N-Total), dan lain-lain. b.2. Kimia anorganik : pH, Ca, Pb, Fe, Cu, Na, sulfur, H2S, dan lain-lain. Beberapa karakteristik limbah cair industri tahu yang penting antara lain : (1). Padatan tersuspensi, yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam air. Padatan tersuspensi sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air, semakin tinggi kandungan bahan tersuspensi tersebut, maka air akan semakin keruh (MetCalf & Eddy, 2003). (2). Biochemical Oxygen Demand (BOD), merupakan parameter untuk menilai jumlah zat organik yang terlarut serta menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh aktivitas mikroba dalam menguraikan zat organik secara
25
Universitas Sumatera Utara
biologis di dalam limbah cair
(MetCalf & Eddy, 2003). Limbah cair
industri tahu mengandung bahan-bahan organik terlarut yang tinggi. (3). Chemical Oxygen Demand
(COD) atau kebutuhan oksigen kimiawi
merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh oksidator (misal kalium dikhromat) untuk mengoksidasi seluruh material baik organik maupun anorganik yang terdapat dalam air (MetCalf & Eddy, 2003). Jika kandungan senyawa organik dan anorganik cukup besar, maka oksigen terlarut di dalam air dapat mencapai nol sehingga tumbuhan air, ikan-ikan dan hewan air lainnya yang membutuhkan oksigen tidak memungkinkan hidup. (4). Nitrogen-Total (N-Total) yaitu fraksi bahan-bahan organik campuran senyawa kompleks antara lain asam-asam amino, gula amino, dan protein (polimer asam amino). Dalam analisis limbah cair, N-Total terdiri dari campuran N-organik, N-amonia, nitrat dan nitrit (Sawyer et al, 1994). Nitrogen organik dan nitrogen amonia dapat ditentukan secara analitik menggunakan metode Kjeldahl, sehingga lebih lanjut konsentrasi total keduanya dapat dinyatakan sebagai Total Kjeldahl Nitrogen (TKN). Senyawa-senyawa
N-Total
adalah
senyawa-senyawa
yang
mudah
terkonversi menjadi amonium (NH4+) melalui aksi mikroorganisme dalam lingkungan air atau tanah (MetCalf dan Eddy, 2003). Menurut Kuswardani (1985) limbah cair industri tahu mengandung N-Total sebesar 434,78 mg/L.
26
Universitas Sumatera Utara
(5). Derajat Keasaman (pH). Air limbah industri tahu sifatnya cenderung asam (BPPT, 1997a), pada keadaan asam ini akan terlepas zat-zat yang mudah menguap. Hal ini mengakibatkan limbah cair industri tahu mengeluarkan bau busuk. Berdasarkan hasil studi Balai Perindustrian Medan terhadap karakteristik air buangan industri tahu di Medan (Bappeda Medan, 1993), diketahui bahwa limbah cair industri tahu rata-rata mengandung BOD (4583 mg/l); COD (7050 mg/l), TSS (4743 mg/l) dan minyak atau lemak 26 mg/l serta pH 6,1. Sementara menurut Laporan EMDI ─ Bapedal (1994) limbah cair industri tersebut rata-rata mengandung BOD, COD dan TSS berturut-turut sebesar 3250, 6520, dan 1500 mg/l. Penggunaan bahan kimia seperti batu tahu (CaSO4) atau asam asetat sebagai koagulan tahu juga menyebabkan limbah cair tahu mengandung ion-ion logam. Kuswardani (1985) melaporkan bahwa limbah cair industri tahu mengandung Pb (0,24 mg/l); Ca (34,03 mg/l); Fe (0,19 mg/l); Cu (0,12 mg/l) dan Na (0,59 mg/l).
2.7. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Berbagai upaya untuk mengolah limbah cair industri tahu telah dicoba dan dikembangkan. Secara umum, metode pengolahan yang dikembangkan tersebut dapat digolongkan atas 3 jenis metode pengolahan, yaitu secara fisika, kimia maupun biologis. Cara fisika, merupakan metode pemisahan sebagian dari beban pencemaran khususnya padatan tersuspensi atau koloid dari limbah cair dengan memanfaatkan gaya-gaya fisika (Eckenfelder, 1989 dan MetCalf & Eddy, 2003). Dalam pengolahan
27
Universitas Sumatera Utara
limbah cair industri tahu secara fisika, proses yang dapat digunakan antara lain adalah filtrasi dan pengendapan (sedimentasi). Filtrasi (penyaringan) menggunakan media penyaring terutama untuk menjernihkan dan memisahkan partikel-partikel kasar dan padatan tersuspensi dari limbah cair. Dalam sedimentasi, flok-flok padatan dipisahkan dari aliran dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Cara kimia, merupakan metode penghilangan atau konversi senyawa-senyawa polutan dalam limbah cair dengan penambahan bahan-bahan kimia atau reaksi kimia lainnya (MetCalf & Eddy, 2003). Beberapa proses yang dapat diterapkan dalam pengolahan limbah cair industri tahu diantaranya termasuk koagulasi-flokulasi dan netralisasi. Proses netralisasi biasanya diterapkan dengan cara penambahan asam atau basa guna menetralisir ion-ion terlarut dalam limbah cair sehingga memudahkan proses pengolahan selanjutnya. Dalam proses koagulasi-flokulasi menurut Mysels (1959), partikel-partikel koloid hidrofobik cenderung menyerap ion-ion bermuatan negatif dalam limbah cair melalui sifat adsorpsi koloid tersebut, sehingga partikel tersebut menjadi bermuatan negatif. Koloid bermuatan negatif ini melalui gaya-gaya Van der Waals menarik ionion bermuatan berlawanan dan membentuk lapisan kokoh
(lapisan stern)
mengelilingi partikel inti. Selanjutnya lapisan kokoh stern yang bermuatan positif menarik ion-ion negatif lainnya dari dalam larutan membentuk lapisan kedua (lapisan difus). Kedua lapisan tersebut bersama-sama menyelimuti partikel-partikel koloid dan membuatnya menjadi stabil. Partikel-partikel koloid dalam keadaan stabil menurut Davis dan Cornwell (1991) cenderung tidak mau bergabung satu sama
28
Universitas Sumatera Utara
lainnya membentuk flok-flok berukuran lebih besar, sehingga tidak dapat dihilangkan dengan proses sedimentasi ataupun filtrasi. Koagulasi pada dasarnya merupakan proses destabilisasi partikel koloid bermuatan dengan cara penambahan ion-ion bermuatan berlawanan (koagulan) ke dalam koloid, dengan demikian partikel koloid menjadi netral dan dapat beraglomerasi satu sama lain membentuk mikroflok. Selanjutnya mikroflokmikroflok yang telah terbentuk dengan dibantu pengadukan lambat megalami penggabungan menghasilkan makroflok (flokulasi), sehingga dapat dipisahkan dari dalam larutan dengan cara pengendapan atau filtrasi (Eckenfelder, 1989; Farooq dan Velioglu, 1989). Koagulan yang biasa digunakan antara lain polielektrolit, aluminium, kapur, dan garam-garam besi. Masalah dalam pengolahan limbah secara kimiawi adalah banyaknya endapan lumpur yang dihasilkan (Ramalho, 1983; Eckenfelder, 1989; MetCalf dan Eddy, 2003), sehingga membutuhkan penanganan lebih lanjut. Selain kedua metode tersebut di atas, metode gabungan fisika-kimia mencakup flokulasi yang dikombinasikan dengan sedimentasi juga telah dicoba digunakan dalam skala laboratorium antara lain oleh Husin (2003) dan Satyanaran et al (2004). Namun, penerapan metode fisika, kimia atau gabungan keduanya dalam skala riil hasilnya kurang memuaskan khususnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor antara lain : metode pengolahan fisika-kimia terlalu kompleks, kebutuhan bahan kimia cukup tinggi, serta lumpur berupa endapan sebagai hasil dari sedimentasi menjadi masalah penanganan lebih lanjut.
29
Universitas Sumatera Utara
Cara biologi dapat menurunkan kadar zat organik terlarut dengan memanfaatkan mikroorganisme atau tumbuhan air. Pada dasarnya cara biologi adalah pemutusan molekul kompleks menjadi molekul sederhana. Proses ini sangat peka terhadap faktor suhu, pH, oksigen terlarut (DO) dan zat-zat inhibitor terutama zat-zat beracun. Mikroorganisme yang digunakan untuk pengolahan limbah adalah bakteri, algae, atau protozoa (Ritmann dan McCarty, 2001). Sedangkan tumbuhan air yang mungkin dapat digunakan termasuk gulma air (aquatic weeds) (Lisnasari, 1995). Metode biologis lainnya juga telah dicoba diterapkan dalam penanganan limbah cair industri tahu. Tay (1990) mencoba menggunakan proses lumpur aktif (activated sludge) untuk mendegradasi kandungan organik dalam limbah cair tahu dan susu kedelai. Hasil yang dicapai dilaporkan secara teknis cukup memuaskan, dimana diperoleh penurunan BOD terlarut, nitrogen dan fosfor berturut-turut sebesar 95%, 67% dan 57%. Akan tetapi melihat tingkat pengetahuan para pengrajin tahu khususnya di Indonesia yang relatif minim dalam hal penanganan limbah dan faktorfaktor teknis lainnya, seperti biaya investasi dan operasi cukup tinggi, luas lahan yang diperlukan cukup besar, serta pengendalian proses yang relatif kompleks. Sehingga, penerapan metode ini khususnya di Indonesia kurang berdaya guna. Hal ini dapat dilihat, bahwa banyak di antara pengrajin tahu membuang limbahnya ke perairan tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu (Lisnasari, 1995). Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, perlu dicari metode pengolahan limbah cair yang lebih sederhana, efektif dan murah dan mudah dioperasikan,
30
Universitas Sumatera Utara
sehingga dapat diterima dan diterapkan di Indonesia. Berdasarkan laporan EMDI ─ Bapedal (1994) metode pengolahan biologis yang juga patut dipertimbangkan untuk mengolah limbah cair tahu di antaranya adalah proses aerob dan anaerob di samping metode penimbunan pada tanah dan penyemprotan irigasi. Berdasarkan informasi tersebut, salah satu cara pengolahannya adalah menggunakan proses anaerob. Pemilihan metode ini sesuai dengan gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Eckenfelder (1989) dan Tobing (1989), bahwa untuk limbah cair pekat dengan kandungan BOD5 > 1000 mg/l metode pengolahan yang lebih layak adalah dekomposisi anaerob.
2.8. Pengolahan Limbah Cair Secara Anaerobik Pengolahan limbah cair dengan proses anaerob pada dasarnya sama dengan proses aerobik, dimana sama-sama memanfaatkan aktivitas mikroorganisme atau metabolisme sel untuk menurunkan atau menghilangkan substrat tertentu terutama senyawa-senyawa organik biodegradable dalam air buangan. Proses metabolisme sel dapat dipisahkan atas 2 jenis proses, yaitu katabolisme dan anabolisme (Davis dan Cornwell, 1991; Manahan, 1994 ; Rittmann dan McCarty, 2001).
Katabolisme
adalah semua proses biokimia yang terlibat dalam degradasi atau oksidasi substrat menjadi produk akhir yang disertai dengan pelepasan energi. Anabolisme adalah termasuk semua proses biokimia yang dilakukan bakteri untuk sintesa sel baru atau komponen seluler dari sumber karbon (Manahan, 1994). Berdasarkan pemanfaatan oksigen dalam proses metabolisme sel, pengolahan limbah
31
Universitas Sumatera Utara
cair secara biologis dapat dikelompokkan atas 2 kelompok, yaitu proses aerob dan anaerob. Pada proses aerob, katabolisme senyawa organik berlangsung dengan memanfaatkan oksigen bebas yang terdapat dalam lingkungan sebagai penerima elektron terakhir. Pada proses anaerob atau disebut respirasi anaerob, katabolisme senyawa organik berlangung tanpa oksigen bebas dalam lingkungan dan penguraian terjadi dengan memanfaatkan senyawa organik sebagai penerima elektron terakhir (Rittmann dan McCarty, 2001). Dalam perlakuan biologis, prinsip biologi diterapkan untuk mengolah limbah cair dengan bantuan mikroorganisme yang dapat diperoleh secara alamiah (Rittmann dan McCarty, 2001; MetCalf & Eddy, 2003) atau seleksi (Tobing dan Loebis, 1994). Sistem ini cukup efektif dengan biaya pengoperasian rendah dan dapat mereduksi BOD hingga 90% (Fardiaz, 1992). Oleh karena itu, pengolahan limbah cair secara biologis merupakan cara yang sangat menarik dan menguntungkan. Keuntungan lainnya adalah lumpur yang dihasilkan dari pengolahan limbah khususnya proses anaerob relatif sedikit (Rittmann dan McCarty, 2001; MetCalf dan Eddy, 2003). Perlakuan anaerobik untuk degradasi senyawa organik kompleks dalam limbah cair tahu muncul sebagai pilihan yang logis dan menarik, karena biodegradasi senyawa-senyawa organik kompleks dapat dilakukan dalam sistem anaerob. Dalam proses anaerob, senyawa-senyawa organik kompleks (protein, karbohidrat dan minyak/lemak) berantai panjang mula-mula didegradasi menjadi asam lemak dan asam amino sederhana dan berantai pendek serta sejumlah kecil gas hidrogen (Parkin dan Owen, 1986; Ridlo, 1996; MetCalf dan Eddy, 2003). Selanjutnya asam-asam organik dan asam-asam amino sederhana diuraikan lebih lanjut menjadi gas metan
32
Universitas Sumatera Utara
(CH4), karbon dioksida (CO2) dan sejumlah kecil H2, hidrogen sulfida (H2S) dan nitrogen serta biomassa (Balch et al, 1977; Speece, 1983). 2.9. Mikroorganisme Yang Terlibat Dalam Proses Degradasi Anaerobik Pengolahan limbah cair secara anaerobik melibatkan mikroorganisme untuk mendegradasi substrat dalam limbah cair menjadi bahan yang tidak mengakibatkan pencemaran. Secara umum, di dalam air limbah ditemukan banyak sekali jenis mikroorganisme yang diantaranya termasuk bakteri uniseluler, jamur, virus, protozoa, alga dan rotifera. Sebagaimana makhluk hidup lainnya, mikroorganisme ini juga membutuhkan nutrisi untuk keperluan pertumbuhan dan fungsinya. Menurut MetCalf dan Eddy (2003), kebutuhan tersebut antara lain : a. Sumber energi dapat berupa cahaya (mikroba fototrof) atau senyawa kimia (mikroba khemototrof). b. Sumber karbon dalam bentuk bahan-bahan organik (mikroba heterotrof) atau bentuk karbon dioksida (mikroba autotrof). c. Nutrient dalam bentuk anorganik ( N, S, P, K, Mg, Ca, Fe, Na, dan Cl) dan nutrient minor termasuk Zn, Mn, Mo, Se, Cu, dan Ni (Madigan et al, 2000). d. Faktor Pertumbuhan atau nutrient organik dalam bentuk asam-asam amino, senyawa-senyawa berbasis nitrogen (seperti purin dan pirimidin) serta vitamin. e. Air, karena semua nutrient harus berada dalam keadaan terlarut sebelum masuk ke dalam sel mikroorganisme (Damayanthie, 2000).
33
Universitas Sumatera Utara
Selain membutuhkan nutrisi (Damayanthie, 2000; Rittmann dan McCarty, 2001; MetCalf dan Eddy, 2003), mikroorganisme juga membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan dan fungsinya secara normal. Adanya kandungan nutrisi yang cukup dan seimbang dalam limbah cair disertai kondisi lingkungan yang sesuai, dapat menjadikan air limbah sebagai media pertumbuhan
bagi
mikroorganisme
tertentu.
Dalam
kondisi
demikian,
mikroorganisme akan mendegradasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam limbah cair melalui metabolisme sel dan metabolisme energi. Dalam proses fermentasi anaerob, proses degradasi bahan-bahan organik kompleks menjadi gas metan, CO2 dan biomassa terjadi dalam 3 tahapan reaksi biokimia, yaitu hidrolisis, fermentasi asam dan metanogenesis (Ridlo, 1983; Spaan, 1983; dan Polprasert, 1989). Mikroorganisme yang terlibat dalam tiap tahap proses degradasi tersebut dapat dikelompokkan atas 2 jenis mikroorganisme (MetCalf dan Eddy, 2003), yaitu : a. Mikroorganisme
yang
merespon
proses
hidrolisis
dan
fermentasi
.
Mikroorganisme ini termasuk dalam grup non-metanogenik terdiri dari bakteri fakultatif dan obligat anaerob. Baketri fakultatif adalah bakteri yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada kondisi ada atau tanpa molekulmolekul oksigen. Sedangkan obligat anaerob adalah organisme yang membangkitkan energi dengan fermentasi dan dapat eksis hanya dalam lingkungan yang tidak terdapat oksigen (Rittmann dan McCarty, 2001). b. Mikroorganisme yang merespon untuk produksi metana. Mikroorganisme ini diklasifikasikan sebagai archaea ― merupakan obligat anaerob. Kebanyakan
34
Universitas Sumatera Utara
mikroorganisme metanogenik yang diidentifikasi dalam digester anaerob sama dengan yang dijumpai dalam perut hewan mammalia dan sedimen yang diambil dari dasar danau dan sungai (MetCalf dan Eddy, 2003). Genera utama mikroorganisme
yang telah teridentifikasi pada kondisi
mesofilik
berbentuk
termasuk
bakteri
batang
(Methanobacterium,
Methanobacillus) dan bakteri berbentuk bola (Methanococcus, Methanothrix, dan Methanosarcina) (Lettinga et al, 1988). Diantara mikroorganisme methanogenik tersebut, hanya Methanosarcina dan
Methanothrix
(juga
disebut
Methanosaeta)
saja
yang
mampu
menggunakan asetat untuk menghasilkan methana dan CO2. Sedangkan mikroorganisme yang lain mengoksidasi hidrogen dengan CO2 sebagai elektron akseptor untuk memproduksi metana (Balch et al, 1977). Mikroorganisme metanogen pengguna asetat juga terobservasi dalam reaktor thermofilik (Van Lier, 1996 ; Zinder dan Koch, 1984; dan Ahring, 1995). Beberapa spesies Methanosarcina terinhibisi oleh temperatur pada 65oC, sebaliknya yang lain tidak (MetCalf dan Eddy, 2003).
35
Universitas Sumatera Utara
2.10. Fermentasi Anaerobik Fermentasi secara anaerob berarti selama proses ferementasi tidak ada udara yang masuk di dalam reaktor. Fermentasi anaerob memiliki bebearapa keuntungan dan kerugian, yaitu:
Tabel 2.6. Keuntungan dan Kerugian Fermentasi Anaerobik No. 1.
Keuntungan
Kerugian
Energi yang dibutuhkan sedikit
Membutuhkan waktu pembiakan yang lama
2.
3.
Produk samping yang dihasilkan
Membutuhkan penambahan
sedikit
senyawa alkalinity
Nutrisi yang dibutuhkan sedikit
Tidak mendegradasi senyawa nitrogen dan phospor
4.
Dapat menghasilkan senyawa methana Sangat sensitif terhadap efek dari yang merupakan sumber energi yang
perubahan temperatur
potensial 5.
Hanya membutuhkan reaktor dengan
Menghasilkan senyawa yang
volume yang kecil
beracun seperti H2S.
(Metcalf & Eddy, 2003)
36
Universitas Sumatera Utara
2.11. Pemanfatan Biogas Biogas atau metana dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti halnya gas alam. Tujuan utama pembuatan biogas adalah untuk mengisi kekurangan atau mensubtitusi sumber energi pada seluruh pengusaha tahu sebagai bahan bakar pengganti kayu bakar. Biogas mengandung berbagai macam zat, baik yang terbakar maupun zat yang tidak dapat dibakar. Zat yang tidak dapat dibakar merupakan kendala yang dapat mengurangi mutu pembakaran gas tersebut. Seperti pada tabel 2.7 walaupun kandungan kalornya relatif rendah dibandingkan dengan gas alam, butana dan propana, tetapi masih lebih tinggi dari gas batu bara. Selain itu biogas ramah lingkungan, karena sumber bahannya memiliki rantai karbon yang lebih pendek bila dibandingkan dengan minyak tanah, sehingga gas CO yang dihasilkan relatif kecil. Tabel 2.7. Perbandingan nilai kalor biogas. Jenis gas
Nilai kalor (joules/cm3)
Gas batubara
16,7-18,5
Biogas
20-26
Gas metana
33,2-39,6
Gas alam
38,9-81,4
Gas propana
81,4-96,2
Gas butana
107,3-125,8
Sumber : Meynell, 1976
37
Universitas Sumatera Utara
2.12. Karakteristik Flokulan Biji Asam Jawa Asam jawa sejenis buah yang masam rasanya. Asam jawa dihasilkan oleh pohon yang bernama ilmiah Tamarindus Indica, termasuk kedalam suku Fabaceae (Leguminoseae). Asam jawa termasuk tanaman tropis. Ekstrak biji asam jawa mengandung polisakarida alami yang tersusun atas D-galactose, D-glucose dan Dxyylose yang merupakan flokulan alami. Flokulan alami terutama polisakarida lebih ramah lingkungan bila dibandingkan dengan koagulan organik dan anorganik (www.wikipedia.com).
38
Universitas Sumatera Utara