BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Dividen Kebijakan dividen menyangkut keputusan apakah laba akan dibayarkan sebagai dividen payout atau ditahan untuk reinvestasi dalam perusahaan. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi kebijakan dividen adalah kesempatan investasi yang tersedia, ketersediaan biaya modal alternatif dan preferensi pemegang saham untuk menerima pendapatan pada saat ini atau di masa yang akan datang. Terdapat dua teori yang saling bertentangan mengenai kebijakan dividen yang seharusnya dianut oleh perusahaan. Yang pertama adalah teori yang dikembangkan oleh Modligiani dan Miller (1961) yang menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak relevan. Modligiani dan Miller (1961) menyatakan juga bahwa dengan suatu keputusan investasi tertentu, rasio dividen yang dibagikan tidak ada pengaruhnya dengan nilai perusahaan. Inti dari pendapat mereka bahwa kebijakan dividen tidak relevan. Menurut Modligani dan Miller (1961) sebagai penganjur utama teori ketidakrelevanan dividen (dividend irrelevance theory), bahwa nilai perusahaan (perubahan harga saham) hanya ditentukan oleh kemampuan dasarnya untuk menghasilkan laba serta resiko bisnisnya, dengan kata lain mereka berpendapat bahwa nilai suatu perusahaan tergantung sematamata pada laba yang dihasilkan oleh aktivanya bukan pada bagaimana laba tersebut dibagikan diantara pembayaran dividen dengan laba yang ditahan. Di lain pihak, Gordon dan Lintner (1956), mengemukakan teori bird in the
Universitas Sumatera Utara
hand. Mereka berpendapat bahwa dividen akan kecil resikonya jika dibandingkan dengan kenaikan nilai modal, dan oleh karena itu biaya ekuitas perusahaan akan naik apabila dividen dikurangi. Dengan demikian suatu perusahaan dapat menetapkan suatu rasio pembagian dividen yang tinggi dan menawarkan hasil dividen yang tinggi guna meminimumkan biaya modalnya. Disamping itu, pembagian dividen merupakan suatu pertanda bagi investor, dimana kenaikan dividen yang sangat besar menandakan bahwa manajemen merasa optimis, sedangkan penurunan dividen menunjukkan bahwa manajemen, pesimistis atas masa depan perusahaan. Kebijakan dividen perusahaan akan menarik minat dari kalangan investor tertentu yang sepaham dengan kebijakan dividen perusahaan. Bird in the Hand Theory yang diajukan Gordon dan Lintner (1956), mengemukakan bahwa ada hubungan antara nilai perusahaan dengan kebijakan dividen. Mereka mengemukakan bahwa nilai perusahaan akan dimaksimumkan oleh rasio pembayaran dividen yang tinggi, karena investor menganggap bahwa resiko dividen tidak sebesar resiko kenaikan nilai modal. Dengan kata lain investor lebih menyukai keuntungan dalam bentuk dividen daripada keuntungan yang diharapkan dari kenaikan nilai modal. Dalam prakteknya, kebijakan dividen sangat dipengaruhi oleh peluang investasi dan ketersediaan dana untuk membiayai investasi baru. Kenyataan ini cenderung menimbulkan kebijakan dividen residual. Kebijakan dividen residual adalah kebijakan tentang besarnya pembayaran dividen yang sama dengan laba aktual dikurangi dengan laba yang perlu ditahan untuk membiayai anggaran modal
Universitas Sumatera Utara
perusahaan yang optimal. (Keown, 2003) mengemukakan beberapa langkah yang perlu diikuti dalam menentukan besarnya rasio pembagian dividen pada kebijakan dividen residual ; 1. menentukan anggaran barang modal yang optimal, 2. menentukan junlah modal yang dibutuhkan untuk membelanjai anggaran tersebut, 3. Sedapat mungkin menggunakan laba yang ditahan untuk memenuhi komponen penyertaan modal, 4. Membayar dividen, jika laba yang tersedia lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk mendukung anggaran modal yang optimal. (Keown, 2003), juga mengemukakan beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan dividen, diantaranya adalah : 1. kendala atas pembagian dividen 2. peluang investasi 3. ketersediaan dan biaya dari sumber modal alternative 4. pengaruh kebijakan dividen terhadap biaya ekuitas perusahaan
2.2. Kebijakan Struktur Modal Struktur modal merupakan isu kontroversional dalam manajemen keuangan. Sejumlah hipotesis yang berbeda muncul dalam penentuan struktur modal yang paling optimal. Hipotesis yang dikemukan Modligiani dan Miller (1961) menyatakan bahwa struktur modal itu relevan. Mereka berpendapat bahwa ada struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal berasal dari
Universitas Sumatera Utara
penyeimbangan tax saving dari pemakaian utang terhadap biaya kebangkrutan (Keown, 2003). Pendapat penyeimbangan ini memprediksi suatu hubungan positif antara securability of assets and debt. Teori struktur modal menjelaskan bagaimana pengaruh keputusan pembelanjaan terhadap nilai perusahaan atau biaya modal perusahaan. Dalam keadaan pasar modal sempurna dan tidak ada pajak, ternyata keputusan struktur modal tidak relevan. Tetapi dalam keadaan ada pajak, Modligiani dan Miller (1961) membuktikan bahwa penggunaan utang akan memberikan manfaat, yaitu meningkatkan nilai perusahaan. Hal ini disebabkan karena beban bunga dapat dikurangkan dari perhitungan income tax. Meskipun demikian, Modligiani dan Miller (1961) tidak berpendapat bahwa perusahaan seharusnya menggunakan utang sebanyak-banyaknya, karena ada ketidaksempurnaan pasar modal, seperti adanya biaya kebangkrutan dan perubahan biaya utang kalau proporsi utang makin besar. Dalam hal ini penggunaan utang sebanyak-banyaknya mungkin tidak akan menghasilkan struktur modal yang optimal. Modligiani dan Miller (1961) berpendapat bahwa perusahaan perlu bekerja pada target debt ratio, yaitu struktur modal dianggap terbaik atau optimal. Struktur modal yang optimal adalah struktur modal yang memaksimumkan nilai perusahaan atau meminimumkan biaya modal perusahaan. Dalam teori, struktur modal yang optimal adalah suatu struktur dimana biaya marginal (marginal real cost) dari masing-masing somber pembelanjaan adalah sama. Biaya riil (real cost) yang dimaksud adalah jumlah biaya eksplisii dan implisit. Hingga saat ini sulit bagi para peneliti untuk menentukan suatu struktur modal yang paling tepat. Dan
Universitas Sumatera Utara
hingga saat ini, pembicaraan mengenai struktur modal masih cenderung bersifat teoritis. Perusahaan menganalisis sejumlah faktor yang kemudian menetapkan struktur modal yang ditargetkan. Struktur modal yang ditargetkan (target capital structure) adalah bauran atau paduan dari utang, saham preferen, dan saham biasa yang dikehendaki perusahaan dalam struktur modalnya. Target struktur modal ini selalu berubah-ubah sesuai dengan perubahan kondisi, tetapi pada setiap saat dibenak manajemen perusahaan terdapat bayangan dari struktur modal yang ditargetkan tersebut. Jika tingkat utang yang sesungguhnya dibawah target, mungkin perlu diadakan ekspansi dengan melakukan pinjaman, sedangkan jika rasio utang melampaui target, maka kemungkinan perlu dilakukan penjualan saham. Kebijakan mengenai struktur modal melibatkan trade off antara resiko dan tingkat pengembalian, penambahan utang memperbesar resiko perusahaan tetapi sekaligus juga memperbesar tingkat pengembalian yang diharapkan. Resiko yang makin tinggi akibat membesarnya utang cenderung akan menurunkan harga saham, walaupun akan meningkatkan tingkat pengembalian yang diharapkan. Dalam menentukan struktur modal perusahaan, manajemen juga mempertimbangkan analisis subjektif (judgment) bersama dengan analisis kuantitatif. Atmaja (2002) dalam bukunya menjelaskan tentang berbagai faktor yang dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan tentang struktur modal. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Resiko Bisnis perusahaan. Resiko bisnis adalah resiko yang berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
proyeksi tingkat pengembalian atas ekuitas (ROE) dan suatu perusahaan dimasa yang akan datang dengan mengasumsikan bahwa perusahaan tersebut tidak menggunakan utang. Makin besar resiko bisnis perusahaan, maka semakin rendah utang yang optimal. 2. Posisi Pajak perusahaan. Bunga adalah beban yang dapat dikurangkan untuk tujuan perpajakan (deductible expense), dan pengurangan tersebut sangat bernilai bagi perusahaan yang terkena tarif pajak yang tinggi. Karena itu semakin tinggi tarif pajak, maka semakin besar keuntungan dari penggunaan utang. 3. Fleksibilitas keuangan. Fleksibilitas keuangan adalah kemampuan untuk menambah modal dengan persyaratan yang masuk akal dalam keadaan yang kurang menguntungkan. 4. Stabilitas penjualan. Perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil mungkin akan lebih gampang memperoleh pinjaman yang mengakibatkan biaya tagihan tetapnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan perusahaan yang mempunyai tingkat penjualan yang tidak stabil. 5. Struktur Aktiva. Apabila perusahaan mempunyai aktiva yang dapat digunakan sebagai agunan kredit, maka perusahaan tersebut cenderung menggunakan banyak utang. 6. Leverage Operasi. Jika yang lain dianggap sama, maka perusahaan dengan leverage operasi kecil akan lebih mampu untuk memperbesar leverage keuangannya, karena interaksi leverage operasi dan keuangan yang mempengaruhi penurunan penjualan terhadap laba operasi dan arus kas bersih
Universitas Sumatera Utara
secara keseluruhan. 7. Tingkat Pertumbuhan Perusahaan. Jika perusahaan mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi atau pesat terpaksa harus lebih banyak bergantung pada modal ekstemal. 8. Profitabilitas.
Berdasarkan
pengamatan,
perusahaan
dengan
tingkat
pengembalian yang tinggi atas investasinya menggunakan utang yang relatif kecil. 9. Sikap Manajemen. Dengan tidak adanya bukti bahwa struktur modal akan mempengaruhi harga saham, manajemen dapat menilai sendiri struktur modal yang tetap. 10. Sikap Pemberi Pinjaman. Sikap pemberi pinjaman sangat berpengaruh terhadap keputusan struktur modal. 11. Kondisi Pasar. Kondisi pasar saham dan obligasi mengalami perubahan jangka panjang dan pendek yang mempunyai pengaruh terhadap struktur modal perusahaan yang optimal.
2.3. Kebijakan Dividen dan Struktur Modal dalam Contracting Theory Asumsi utama yang dipergunakan dalam contracting theory yaitu pemilihan kebijakan perusahaan, baik kebijakan akuntansi, kebijakan struktur modal maupun kebijakan dividen adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Argumentasi ini muncul setelah ada suatu debat tentang timbulnya gagasan positive accounting theory. Positive accounting theory menjelaskan bahwa perbedaan di dalam pemilihan
Universitas Sumatera Utara
kebijakan perusahaan dipengaruhi oleh perilaku manajemen (Watts dan Zimmerman, 1990). Pembedaan kebijakan tersebut berkaitan dengan efficiency contracting perspective dan pandangan manajemen yang opportunities. Dalam perspective efficiency contracting, manajer akan memilih metode akuntansi yang akan memperkecil biaya agensi, sehingga pada akhirnya akan memaksimalkan nilai perusahaan. Perusahaan yang mengarah pada perspective efficiency contracting akan mencari suatu solusi contracting yang terbaik dalam mengimplementasikan kebijakan perusahaan yang dapat diterima baik oleh manajemen maupun pemegang saham (Skinner, 1993). Sebaliknya, pandangan manajemen yang oportunistik akan berasumsi bahwa perbedaan pemilihan kebijakan yang dilakukan ditujukan untuk memaksimalkan kepentingan manajer. Smith dan Watt (1992) telah menguji persektif efficiency contracting, mereka menguji hubungan antara karaktertistik perusahaan yang berkaitan dengan kebijakan perusahaan dengan pertumbuhan perusahaan. Smith dan Watt (1992) memprediksi
secara
langsung
mengenai
hubungan
antara
pertumbuhan
perusahaan dengan kebijakan pendanaan, dividen dan kebijakan kompensasi. Berkaitan dengan kebijakan struktur modal, perusahaan yang mempunyai peluang untuk tumbuh memiliki debt to equity yang lebih rendah dalam struktur modalnya, sebab pembiayaan melalui ekuitas dapat mengendalikan potensi terjadinya under investment yang berasosiasi/berkaitan dengan utang yang beresiko/risk debt (Myers, 1977). Pada perusahaan yang mempunyai potensi tumbuh juga diduga memiliki kebijakan Dividend Payout yang rendah, karena investasi dan dividen
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan arus kas perusahaan. Menurut Smith & Watts (1992), semakin besar jumlah investasi yang dilakukan perusahaan selama periode tertentu, maka semakin kecil dividen yang dibayarkan atau semakin besar pengeluaran saham baru (new equity issued). Jensen (1986) menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai peluang investasi yang lebih tinggi akan memiliki free cash flow yang lebih rendah dan akan membayar dividen yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki peluang tumbuh. Akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara proporsi asset in place dengan dividend policy. Ada dua argumen yang membantah hubungan ini. Pertama, Rozeff (1982) dan Easterbrook (1984; menyatakan bahwa pengeluaran ekuitas yang baru akan menurunkan biaya-biaya agensi dengan melakukan suatu pengawasan yang efektif. Perusahaan dengan kesempatan tumbuh yang lebih rendah akan membayar dividen yang lebih kecil karena hal ini akan memberi manfaat yang lebih besar bagi perusahaan. Kedua, perjanjian dividen yang menetapkan suatu batas maksimum pada pembayaran dividen secara efektif akan memaksa untuk menetapkan batas minimum investasi, (Smith and Watts 1992 ; Kalay, 1982), dengan demikian mengurangi masalah under investment. Menurut Smith dan Watts (1992), hubungan kebijakan investasi dan dividen dapat diidentifikasi melalui arus kas perusahaan. Semakin besar jumlah investasi dalam satu periode tertentu, semakin kecil dividen yang diberikan, karena perusahaan yang tumbuh diidentifikasi sebagai perusahaan yang free cash flow-nya rendah (Jensen, 1986 dalam Smith & Watts, 1992). Hal ini sesuai dengan hipotesis pecking order (Myers dan Majluf
Universitas Sumatera Utara
1984, dalam Hartono, 1999) bahwa perusahaan yang profitabel memiliki dorongan membayar dividen relatif kecil dalam rangka memilih dana internal yang lebih banyak untuk membiayai proyek-proyek investasinya. Bahkan bag; perusahaan tumbuh, peningkatan dividen dapat menjadi berita buruk karena diduga perusahaan telah mengurangi rencana investasinya (Hartono, 1999). Menurut Gaver and Gaver (1993), dividen yield signifikan memiliki hubungan negatif dengan pertumbuhan, namun koefisien pertumbuhan dalam model devidend payout ratio tidak signifikan. Sarni, dkk (1999) menunjukkan bahwa pertumbuhan memiliki koefisien negatif walaupun tidak signifikan dalam model kebijakan dividen jika kebijakan dividen diukur dengan dividend yield, dan sebaliknya berkoefisien positif ketika diukur dengan devidend payout. Perusahaan yang memiliki utang beresiko tinggi untuk menjalankan proyek dengan net present value positif, dan dapat memungkinkan terjadinya penurunan nilai perusahaan. Penurunan nilai perusahaan dapat terjadi akibat dari tidak dilaksanakannya kesempatan investasi yang menguntungkan, karena perusahaan menganggap debitur akan memiliki klaim pertama terhadap arus kas netto proyek tersebut. Salah satu cara mengendalikan masalah under investment adalah dengan membiayai pilihan-pilihan pertumbuhan dengan menggunakan struktur modal yang lebih menekankan pada modal saham yang lebih besar dibandingkan dengan utang (Myers 1977, dalam Smith & Watts 1992). Manajemen perusahaan yang memiliki kesempatan investasi besar relatif lebih fleksibel untuk bertindak oportunistik dan sulit dideteksi, karena real option sulit diobservasi tanpa informasi dari pihak internal perusahaan. Akibatnya biaya
Universitas Sumatera Utara
agensi meningkat (Myers 1977, dalam. Callan dan Hossain 1996). Hal ini menjadi dasar dugaan bahwa level pertumbuhan menjelaskan variasi kebijakan perusahaan, diantaranya kebijakan dividen Jan struktur modal perusahaan. Kebijakan dividen menyangkut keputusan untuk membagikan laba atau menahannya guna diinvestasikan kembali di dalam perusahaan. Model dasar harga saham memperlihatkan bahwa jika perusahaan bersangkutan menjalankan kebijakan untuk membagikan tambahan dividen tunai, hal ini akan meningkatkan nilai perusahaan yang tercermin dalam peningkatan harga saham. Namur jika dividen tunai meningkat, maka akan semakin sedikit dana yang tersedia untuk melakukan investasi kembali, sehingga tingkat pertumbuhan yang diharapkan untuk masa mendatang akan rendah, dan hal ini akan menekan harga saham. Pembagian dividen perusahaan kepada pemegang saham menyebabkan posisi kas suatu perusahaan semakin berkurang. Hal ini akan menyebabkan berubahnya struktur modal perusahaan yaitu rasio antara, utang dan ekuitas akan semakin besar. Dampak yang ditimbulkannya adalah para pelaku pasar akan berfikir secara negatif terhadap perusahaan. Kebijakan dividen yang optimal pada suatu perusahaan adalah kebijakan yang menciptakan keseimbangan diantara dividen saat ini dan pertumbuhan perusahaan dimasa mendatang. Modigliani dan Miller (1961) mengemukakan bahwa, dengan suatu keputusan investasi tertentu, rasio dividen yang dibagikan tidak ada pengaruhnya terhadap nilai perusahaan. Inti dari pendapat mereka adalah bahwa kebijakan dividen, tidak relevan. Menurut Modigliani dan Miller (1961), penganjur utama, teori ketidakrelevanan dividen (dividend irrelevance theory), bahwa nilai
Universitas Sumatera Utara
perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan dasarnya untuk menghasilkan laba serta, resiko bisnisnya. Dengan kata lain mereka berpendapat bahwa nilai suatu perusahaan tergantung semata-mata pada laba yang dihasilkan oleh aktivanya bukan pada bagaimana laba tersebut dibagikan diantara pembayaran dividen dengan laba yang ditahan. Bird in the Hand Theory yang diajukan Gordon dan Limner (1963), mengemukakan bahwa ada hubungan antara nilai perusahaan dengan kebijakan dividen. Mereka mengemukakan bahwa nilai perusahaan akan dimaksimumkan oleh rasio pembayaran dividen yang tinggi, karena investor menganggap bahwa resiko dividen tidak sebesar resiko kenaikan nilai modal. Dengan kata lain investor lebih menyukai keuntungan dalam bentuk dividen daripada keuntungan yang diharapkan dari kenaikan nilai modal. Hal ini dapat dipahami mengingat keuntungan dalam bentuk dividen lebih real untuk diterima.
2.4. Kepemilikan Manajerial, Kebijakan Divides dan Struktur Modal dalam Agency Theory Agency theory muncul dilatarbelakangi oleh adanya konflik kepentingan antara para manajer perusahaan, pemegang saham, dan bondholders. Para manajer turut memiliki saham di perusahaan, melakukan pembiayaan dari sumber yang berbeda, yakni dari utang dan ekuitas, dan pembayaran dividen untuk mengurangi biaya yang timbul akibat adanya agency conflict. Agency cost akan meningkat akibat conflict of interest antara pemegang saham dengan manajer atau antara pemegang saham dengan bondholder. Peningkatan dari agency cost cenderung disebabkan karena manajer hanya
Universitas Sumatera Utara
mementingkan dirinya sendiri. Mereka menggunakan dana orang lain untuk meningkatkan kekayaannya/kepentingannya. Disamping itu, peningkatan agency cost akibat pendanaan melalui utang yang memberikan keuntungan bagi stockholder karena mereka akan menggantikan suatu proyek yang beresiko rendah dengan proyek yang mempunyai resiko lebih tinggi, (Jensen dan Meckling, 1976) atau untuk menolak proyek yang mempunyai suatu positive net present value jika manfaatnya akan diterima oleh bondholder (Myers, 1977). Levy
dan
Samat
(1988:7)
seperti
yang
dikutip
Wahidahwati
(2001)
mengklasifikasikan potensi konflik antara pemegang saham dengan manajer dalam tiga tipe utama yaitu : 1. Manajer mungkin akar menggunakan somber daya perusahaan bagi kepentingan pribadinya atau melakukan ekspansi yang tidak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. 2. Manajer kemungkinan mempunyai horison waktu yang lebih pendek dibanding pemegang saham, sebagai akibatnya manajer mungkin akan menyukai proyekproyek investasi dengan jangka waktu pengembalian pendek dibandingkan dengan
yang memiliki jangka waktu pengembalian panjang, karena hal ini berkaitan dengan kecepatan promosi jabatan mereka. 3. Manajer dan pemegang saham kemungkinan mempunyai penilaian yang berbeda atas risiko. Oleh karena tujuan principa/stockholder dan manajer tidak sama, maka
Universitas Sumatera Utara
stockholder akan membuat pengeluaran yang akan membatasi kegiatan manajer. Sebagai tambahan, manajer akan terikat pada suatu peraturan yang akan membatasi kegiatannya yang menyimpang. Ada beberapa cara untuk mengurangi biaya agensi (agency cost), yakni : Pertama, agency cost akan berkurang, jika manajer perusahaan meningkatkan kepemilikan sahamnya di perusahaan, karena kepentingan manajer akan sama dengan kepentingan pemilik saham (Jensen dan Meckling, 1976). Walaupun manajer meningkatkan kepemilikannya di perusahaan, personal wealth mereka akan kurang diversifikasi. Dengan demikian peningkatan kepemilikan saham diperusahaan akan mengontrol agency cost. Kedua agency cost dapat juga dikurangi dengan cara meningkatkan Dividend Payout, sehingga tidak cukup free cash flow untuk mendanai investasi mereka dan kemudian manajer akan berusaha untuk mendapatkan dana dari luar dalam bentuk utang (Rozeff, 1982; Easterbrook; 1984). Pembayaran dividen lebih besar meningkatkan kesempatan untuk mengeluarkan ekuitas baru. Ketika ekuitas baru dikeluarkan, maka Para manajer akan diawasi oleh security and exchange commission, dan investment banker. Pengawasan ini akan mempengaruhi para manajer untuk mempertahankan diri dengan bertindak demi kepentingan pemegang saham. Bagaimanapun, penggunaan dividen tidak akan menimbulkan agency cost. Rozeff (1982) menyatakan bahwa pembayaran dividen yang lebih tinggi itu mengurangi konflik kepentingan antara para manajer dan pemegang saham dan ditemukan bukti bahwa ada hubungan antara pertumbuhan, profitabilitas, dan dividen. Risiko bisnis yang lebih besar membuat hubungan
Universitas Sumatera Utara
antara profitabilitas sekarang dengan yang diharapkan semakin pasti. Ketiga, untuk mengurangi agency cost dapat dilakukan dengan menggunakan utang yang lebih banyak (Jensen dan Meckling, 1976). Penggunaan utang yang lebih besar akan mengurangi konflik antara manajer dan stockholder. Penggunaan utang akan mengurangi kelebihan cash flow dalam perusahaan dan juga akan mengurangi pemborosan yang dilakukan oleh manajer (Jensen, et.al, 1992 ; Jensen, 1986). Tetapi hal ini akan menimbulkan konflik kepentingan yang baru yaitu konflik kepentingan antara bondholder dan stockholder. Keempat, dengan adanya institutional investor sebagai pengawas. Moh'D et al (1998) mengatakan bahwa distribusi saham antara institutional investor (outside investor) dan pemegang saham minoritas dapat mengurangi agency cost, sebab kepemilikan mereka yang mayoritas dapat digunakan untuk memonitor para manajer. Friend and Lang (1988) menemukan bahwa struktur modal mempunyai hubungan negatif dengan managerial ownership. Ini menunjukkan bahwa penggunaan utang akan semaikin berkurang seiring dengan meningkatnya kepemilikan manajerial di dalam perusahaan. Pendapat ini didukung oleh Jensen et al (1992). Sedangkan menurut Agrawal dan Mendelker (1987), Kim dan Sorensen (1986) dan Mehran (1992) kepemilikan manajerial pada perusahaan yang varian returnnya meningkat, lebih besar daripada perusahaan yang varian returnnya rendah. Hasil ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kepemilikan manajerial dan debt ratio. Moh'd, et al (1998), Bathala, et al. (1994) menemukan bahwa struktur kepemilikan saham oleh pihak eksternal
Universitas Sumatera Utara
(institusional ownership) dan kepemilikan saham oleh pihak internal (managerial ownership) mempunyai pengaruh yang signifikan dan berhubungan negatif dengan debt ratio.
2.5. Kerangka Pemikiran 2.5.1. Pertumbuhan Perusahaan dan Kebijakan Dividen Free cash flow diperoleh dari hasil operasi perusahaan yang tidak diperlukan untuk mendanai proyek yang mempunyai net present value yang benilai positif. Dengan demikian keberadaan free cash flow dapat menjadi sinyal bahwa perusahaan itu tidak melakukan investasi atau dengan kata lain tidak melakukan pertumbuhan. Jensen (1986) mengemukakan bahwa agency cost berhubungan dengan free cash flow, yakni para manajer akan tergoda untuk meningkatkan penghasilan tambahan atau untuk menggunakan free cash flow pada investasi yang tidak optimal atau pada proyek yang mempunyai negatif net present value. Pasar merespon kondisi ini dan menghukum perusahaan yang mempunyai free cash flow ini dengan membebankan tingkat bunga yang tinggi (Jensen can Mecling, 1976). Manajer dapat mengurangi agency cost akibat adanya . free cash flow dengan melakukan kontrak atau komitmen yang memaksanya untuk melakukan pembayaran tunai secara berkala. Satu jenis kontrak yang memerlukan pembayaran tunai yang berkala adalah utang. Jensen (1986) meramalkan bahwa perusahaan dengan free cash flow yang lebih tinggi lebih sering menggunakan utang yang lebih tinggi dibandingkan ekuitas dalam keputusan struktur modalnya. Hal ini menyebabkan ada hubungan positif antara
Universitas Sumatera Utara
free cash flow dengan leverage Terdapat suatu hubungan yang negatif antara free cash flow dan pertumbuhan perusahaan. Jika pertumbuhan perusahaan tinggi, berarti perusahaan mempunyai lebih banyak proyek dengan net present value positive yang tersedia. Arus kas yang dihasilkan oleh operasi diperlukan untuk mendanai proyek ini, dan para manajer akan lebih sedikit menggunakan uang pada cara yang tidak optimal. Salah satu jalan keluar untuk mengurangi agency cost pada perusahaan yang tingkat pertumbuhannya tinggi adalah dengan menggunakan suatu mekanisme tertentu. Mekanisme tersebut antara lain kebijakan utang atau kebijakan dividen yang dapat mendisiplinkan manajer dalam mengelola cash flow. Dengan kata lain, kesempatan tumbuh akan mengurangi free cash flow dan pembayaran dividen, pertumbuhan perusahaaan yang tinggi akan menyebabkan pembayaran dividen yang lebih rendah. Sebagai tambahan, perusahaan yang tumbuh diharapkan untuk membayar dividen lebih rendah sebab perusahaan yang tidak mempunyai kesempatan investasi yang menguntungkan diharuskan untuk membayar dividen yang lebih tinggi daripada digunakan untuk investasi yang mempunyai negative net present value (Broth and Watts, 1992) 2.5.2. Pertumbuhan Perusahaan dan Kebijakan Struktur Modal Perusahaan yang tumbuh akan menggunakan utang yang lebih sedikit untuk mengatasi conflict of interest antara debtholder dan stockholder. Jika konflik tersebut dikendalikan., maka perusahaan kemungkinan akan mengurangi investasi dalam proyek yang mempunyai nilai net present value yang positif (Smith dan Watt, 1992). Konflik akan muncul iika manajer mengutamakan
Universitas Sumatera Utara
kepentingan stockholder dengan cara memindahkan kemakmuran dari debtholder ke pemegang saham. Bertindak atas nama pemegang saham, para manajer dapat memanipulasi klaim dari debtholder dengan mengurangi investasi, meningkatkan pembayaran dividen (Keown, 2003). Masalah under investment akan timbul dengan adanya utang yang mempunyai resiko, manajer akan bertindak untuk kepentingan pemegang saham, mereka tidak akan menanamkan dana pada proyek yang memiliki positive net present value karena hasil dari proyek tersebut hanya untuk melakukan pembayaran atas utang yang mereka lakukan. Oleh karena utang memerlukan cash outgoes yang konsisten dan reward dari proyek tersebut hanya dapat direalisir jika seluruh utang dilunasi, maka perusahaan yang tumbuh akan cenderung untuk menggunakan utang yang lebih rendah (Laver dan Gave,-, 1993 ; Smith dan Waits, 1992). Perusahaan yang tidak tumbuh akan menggunakan utang untuk membiayai kesempatan investasinya. Sebaliknya, perusahaan yang tumbuh akan berusaha untuk menghindari penggunaan utang. Oleh karena itu, perusahaan yang tumbuh akan mempunyai utang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perusahaan yang tidak tumbuh. 2.5.3. Kepemilikan Manajerial, Pertumbuhan Perusahaan dan Kebijakan Perusahaan Kepemilikan manajerial akan membuat para manajer melakukan strategi yang akan meningkatkan harga saham dan pembayaran dividen. Oleh karena itu akan lebih sedikit kemungkinan adanya problem underinvestment. Jika manajer mempunyai saham dalam perusahaan, maka mereka akan meningkatkan nilai
Universitas Sumatera Utara
perusahaan untuk jangka waktu panjang. Oleh karena itu, ada lebih sedikit kemungkinan para manajer yang mengadopsi strategi yang mendorong ke arah pemberian imbalan jangka pendek kepada pemegang saham. Mereka akan bcrusaha untuk meningkatkan kemakmuran pemegang saham dengan cara melakukan kebijakan yang akan meningkatkan nilai perusahaan. Hal ini menyebabkan hubungan yang negatif antara pertumbuhan perusahaan dengan kebijakan struktur modal dan kebijakan dividen akan diperkuat dengan adanya kepemilikan manajerial. Berdasarkan telaah literatur di atas, maka dapat dikembangkan suatu kerangka penelitian yang digambarkan dalam bentuk diagram skematik sebagai berikut :
Variable Dependen Kebijakan Dividen Variable Independen Pertumbuhan Perusahaan Variable Dependen Kebijakan Struktur Modal
Variable Moderating Kepemilikan Manajerial
Gambar 2.1. Kerangka Penelitian
Universitas Sumatera Utara
2.6. Hipotesis Penelitian Penulis menggunakan contracting theory dan agency theory dalam mengembangkan hipotesis dari penelitian ini. Hipotesis yang dikembangkan penulis adalah sebagai berikut : H1. Terdapat pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap kebijakan dividen. H2.
Terdapat pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap kebijakan
struktur modal. H3.
Kepemilikan manajerial akan mempengaruhi hubungan antara
pertumbuhan perusahaan dengan kebijakan dividen. H4. Kepemilikan manajerial akan mempengaruhi hubungan antara pertumbuhan perusahaan dengan kebijakan struktur modal.
Universitas Sumatera Utara