BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Perkerasan Jalan Sampai saat ini ada 3 (tiga) jenis perkerasan jalan yang sering digunakan, yaitu : perkerasan lentur, perkerasan kaku dan gabungan dari keduanya atau yang populer dengan istilah perkerasan komposit. Perbedaan utama dari ketiganya adalah pada bahan pengikat, perkerasan lentur menggunakan aspal dan perkerasan kaku menggunakan portland cement (pc). Perkerasan lentur umumnya terdiri dari tiga lapis yang terdiri dari lapis permukaan, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah yang terletak diatas tanah dasar (subgrade). Sedangkan pada perkerasan kaku, pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Untuk perkerasan komposit dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur. Jika mengikuti sejarah perkembangan perkerasan jalan, metode penggunaan tiga macam atau lebih material yang digunakan dengan cara berlapis pada perkerasan lentur merupakan modifikasi dari perkerasan yang sudah ada sebelumnya. Pada zaman keemasan Romawi yaitu sekitar abad ke 4 SM sampai abad ke 4 M, perkerasan jalan sudah dibuat berlapis seperti terlihat pada Gambar 2.1.
II - 1
Gambar 2.1. Perkerasan di zaman Romawi. Pada akhir abad ke 18, Thomas Telford (1757-1834) seorang ahli jembatan lengkung dari batu berkebangsaan Inggris, membuat konstruksi perkerasan jalan yang prinsipnya seperti jembatan lengkung yaitu prinsip “desak-desakan”. Batubatu belah yang dipasang untuk perkerasan disusun tegak berdiri dengan menggunakan tangan sehingga saling berdesakan. Sedangkan diatas batu belah tersebut diberi batu pengisi yang ukurannya kecil agar jalan tersebut menjadi rata. Konstruksi ini sangat kuat sebagai pondasi jalan dan cukup berhasil. Konstruksi inilah yang dinamakan perkerasan Telford.
Gambar 2.2. Perkerasan Telford. Sedangkan perkerasan makadam ditemukan oleh John London Mc Adam (17561836). Perkerasan makadam ini menggunakan prinsip “tumpang-tindih” dengan memakai batu-batu pecah ukuran terbesar 3”. Pori-pori diatasnya ditutup dengan batu yang lebih kecil/halus.
II - 2
Gambar 2.3. Perkerasan Makadam Kedua konstruksi ini sampai sekarang masih lazim digunakan di daerah-daerah. Sistem telford sangat cocok untuk program padat karya, tetapi sistem ini memakan waktu lama. Jika ingin pekerjaan yang lebih cepat maka sistem makadam bisa menjadi alternatif yang baik. Seiring dengan perkembangan teknologi, inovasi mengenai perkerasan jalan pun terus dilakukan. Di dalam jurnal berjudul Kelebihan Serta Kekurangan Perkerasan Beraspal dan Beton, M. Syahdanulirwan dari Puslitbang Jalan dan Jembatan menyebutkan beberapa alternatif perkerasan, diantaranya :
Cement Treated Asphalt Mixing (CTAM) Konstruksi
ini terbuat dari perkerasan beraspal yang sangat porous,
kemudian disirami dengan pasta (mortar) semen. Keunggulannya adalah kekuatan yang jauh diatas perkerasan beraspal, mendekati perkerasan beton.
Beton Elastis Perkerasan ini ditujukan untuk memperbaiki sifat beton sehingga bisa lebih adaptif terhadap badan jalan yang belum stabil. Modifikasi yang dilakukan adalah dengan menambahkan karet atau fiber kedalam campuran beton. Perkerasan beton ini memiliki kekuatan yang lebih II - 3
rendah dari beton biasa namun dengan kelenturan yang dimiliki diharapkan perkerasan ini tidak mudah patah atau retak.
Beton precast Tujuan dari konstruksi ini salah satunya tentu saja untuk mengurangi waktu tunggu bagi lalu lintas, dari 28 hari menjadi hanya beberapa jam. Konstruksi ini pernah dicoba pada waktu perbaikan jalur busway Jakarta yang dilaksanakan di malam hari dan esok paginya sudah bisa dilewati kendaraan. Hubungan antar segmen pada beton precast biasanya tidak sebaik beton yang dicor di tempat, oleh karena itu, hubungan antar segmen ini perlu mendapat perhatian.
Selain itu, untuk perbaikan jalan rusak dikenalkan pula metode pavement recycling atau daur ulang perkerasan jalan. Metode ini belum banyak diterapkan di Indonesia, namun dengan semakin gencarnya isu pelestarian lingkungan tentu alternatif ini bisa dipilih. Pada metode ini material eksisting pada jalan yang rusak dimanfaatkan kembali menjadi lapis pondasi baru yang kekuatannya bisa dipertanggungjawabkan. 2.2 Lapisan Perkerasan pada Perkerasan Lentur 2.2.1 Lapis Permukaan Lapis permukaan adalah bagian perkerasan yang paling atas. Fungsi lapis permukaan dapat meliputi :
II - 4
a. Struktural Ikut mendukung dan menyebarkan beban kendaraan yang diterima oleh perkerasan, baik beban vertikal maupun beban horizontal. Oleh karena itu persyaratan yang dituntut ialah kuat, kokoh dan stabil. b. Non Struktural Lapis kedap air, mencegah masuknya air kedalam lapisan perkerasan yang ada dibawahnya. Menyediakan permukaan yang tetap rata, agar kendaraan dapat berjalan dan memperoleh kenyamanan yang cukup. Membentuk permukaan yang tidak licin, sehingga tersedia koefisien gerak (skid resistance) yang cukup, untuk menjamin tersedianya keamanan lalu lintas. Sebagai lapisan aus, yaitu lapis yang dapat aus yang selanjutnya dapat diganti lagi dengan yang baru. 2.2.2 Lapis Pondasi Atas (LPA) / Base Course Lapis pondasi atas adalah bagian dari perkerasan yang terletak antara lapis permukaan dan lapis pondasi bawah. Fungsi lapis ini adalah : Lapis pendukung bagi lapis permukaan Pemikul beban horisontal dan vertikal Lapis perkerasan bagi lapis pondasi bawah 2.2.3 Lapis Pondasi Bawah (LPB) / Subbase Course Lapis pondasi bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis pondasi dan tanah dasar. Fungsi lapis ini adalah : II - 5
Penyebar beban roda Lapis peresapan Lapis pencegah masuknya tanah dasar ke lapis pondasi Lapis pertama pada pembuatan perkerasan 2.2.4 Tanah Dasar / Subgrade Tanah dasar adalah permukaan tanah semula, permukaan tanah galian atau permukaan tanah timbunan yang dipadatkan dan merupakan permukaan tanah dasar untuk perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya. Daya dukung tanah dasar (subgrade) pada perencanaan perkerasan lentur dinyatakan dengan nilai CBR (California Bearing Ratio). Nilai CBR diperoleh dari hasil pemeriksaan yang telah disiapkan di laboratorium atau langsung dilapangan. Suatu jalan dapat saja melintasi tanah dengan kekuatan tanah dasar yang bervariasi antara nilai yang baik dan yang jelek. Jika perencanaan tebal perkerasan jalan hanya berdasarkan nilai yang terjelek bisa jadi tersebut tidak akan ekonomis, sedangkan jika hanya berdasarkan nilai yang terbaik/terbesar, jalan tersebut kemungkinan tidak memenuhi syarat. Sebaiknya panjang jalan tersebut dibagi atas segmensegmen jalan, dimana setiap segmen mempunyai daya dukung yang hampir sama. Setiap segmen mempunyai satu nilai CBR yang mewakili daya dukung tanah dasar dan dipergunakan untuk prencanaan tebal lapisan perkerasan dari segmen tersebut. Nilai CBR segmen dapat ditentukan dengan mempergunakan cara analitis atau dengan cara grafis.
II - 6
a. Cara Analitis CBRsegmen
= CBRrata-rata – (CBRmaks – CBRmin)/R
Dimana nilai R tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam satu segmen. Besarnya nilai R dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2.1. Nilai R untuk perhitungan CBR segmen Jumlah titik pengamatan 2 3 4 5 6 7 8 9 >10
Nilai R 1,41 1,91 2,24 2,48 2,67 2,83 2,96 3,08 3,18
b. Cara grafis Prosedurnya sebagai berikut
:
1. Tentukan nilai CBR yang terendah. 2. Tentukan berapa banyak nilai CBR yang sama atau lebih besar dari masing-masing nilai CBR dan kemudian disusun secara tabelaris mulai dari nilai CBR terkecil sampai yang terbesar. 3. Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan persentase dari 100% 4. Dibuat grafik hubungan antara herga CBR dan persentase jumlah tadi. 5. Nilai CBR segmen adalah nilai pada keadaan 90%
II - 7
Contoh Perhitungan : Dari hasil pemeriksaan daya dukung tanah dasar sepanjang jalan, diperoleh nilai-nilai CBR sebagai berikut : 4%, 2%, 3%, 4%, 4%, 6%, 8%, 4%. Cara analitis : CBR rata-rata segmen = (4+2+3+4+4+6+8+4)/8
= 4,375
CBR segmen
= 2,347 %
= 4,375 – (8-2)/2,96
Cara grafis :
CBR 2 3 4 6 8
Jumlah yang sama atau lebih besar 8 7 6 2 1
Persen (%) yang sama atau lebih besar 8/8 x 100% = 100 % 7/8 x 100% = 87,5 % 6/8 x 100% = 75 % 2/8 x 100% = 25 % 1/8 x 100% = 12,5 %
Gambar 2.4. Grafik nilai CBR segmen
II - 8
2.3 Perencanaan Tebal Perkerasan Metode Bina Marga (SNI 03 – 1732 – 1989 / SKBI : 2.3.26.1987) a. Data yang diperlukan
Data tanah dasar : CBR
Lalu Lintas
: Volume/ADT (Average Daily Traffic), komposisi, konfigurasi
as/sumbu
dan
beban,
angka
pertumbuhan.
Material
: Sifat-sifat
Ketentuan lain
: Umur rencana, keadaan umum daerah sekitarnya, alignment (faktor
regional).
b. Prinsip – prinsip Cara Bina Marga
Nomogram yang ada berdasarkan analisa lalu lintas 10 tahun. Untuk keadaan lalu lintas (umur rencana=UR) tidak selama 10 tahun, dapat digunakan "Faktor Penyesuaian" (FP). FP
UR 10
..... (2.1)
Cara Bina Marga hanya berlaku untuk material berbutir kasar (granular material) dan tidak berlaku untuk batu-batu besar (telford).
Besaran-besaran yang digunakan antara lain: Daya Dukung Tanah (DDT) Lintas Harian Rata-rata(LHR) II - 9
Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) Lintas Ekivalen Akhir (LEA) Lintas Ekivalen Tengah (LET) Faktor Regional (FR) Index Permukaan (IP) IP0 (IP pada awal tahun) dan IPt (IP pada akhir masa pelayanan) Faktor Penyesuaian (FP) Angka Ekivalen Beban (AE) Koefisien distribusi kendaraan (C) Index Tebal Perkerasan (ITP) Koefsien Kekuatan Relatif (a) 2.3.1 Tahapan Perhitungan Tebal Perkerasan Metode SNI 03 – 1732 – 1989 1. Menentukan nilai DDT dengan menggunakan rumus hubungan CBR dan DDT DDT = (4,3 log CBR) + 1,7
..... (2.2)
atau dapat pula menggunakan Grafik Korelasi hubungan DDT dan CBR dengan cara menarik garis mendatar dari nilai CBR
II - 10
Gambar 2.5. Korelasi DDT dan CBR 2. Tentukan umur rencana dan jenis material yang digunakan 3. Tentukan faktor pertumbuhan lalu lintas selama masa pelaksanaan dan selama umur rencana ( i % ) 4. Tentukan Faktor Regional (FR)
II - 11
Tabel 2.2. Faktor Regional
Kelandaian I
Kelandaian II
Kelandaian III
(<6%)
( 6 – 10% )
(>10%)
% kendaran berat ≤ 30%
>30%
≤30%
>30%
≤30%
>30%
0.5
1.0-1.5
1.0
1.5-2.0
1.5
2.0-2.5
1.5
2.0-2.5
2.0
2.5-3.0
2.5
3.0-3.5
Iklim I <900mm/th Iklim II >900mm/th
dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 03-1732-1989
5. Tentukan LHR awal dan LHR akhir 6. Tentukan faktor distribusi kendaraan (C) dan angka ekivalen beban sumbu (E) Tabel 2.3. Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Jumlah lajur
Kendaraan ringan *
Kendaraan berat **
1 arah
2 arah
1 arah
2 arah
1
1.00
1.00
1.00
1.00
2
0.60
0.50
0.70
0.50
3
0.40
0.40
0.50
0.475
4
-
0.30
-
0.45
5
-
0.25
-
0.425
6
-
0.20
-
0.40
* berat total < 5 ton , misalnya : mobil penumpang , pick up , mobil hantaran ** berat total ≥ 5 ton , misalnya : bus , truk , traktor , semi trailer , trailer dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 03-1732-1989
Jumlah jalur ditentukan berdasarkan lebar perkerasan seperti yang diperlihatkan di tabel berikut ini :
II - 12
Tabel 2.4. Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan Lebar perkerasan ( L )
Jumlah lajur ( n )
L < 5.50 m
1
5.50 m ≤ L < 8.25 m
2
8.25 m ≤ L < 11.25 m
3
11.25 m ≤ L < 15.00 m
4
15.00 m ≤ L < 18.75 m
5
18.75 m ≤ L < 22.00 m
6
dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 03-1732-1989
Angka ekivalen (E) masing – masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan) ditentukan menurut rumus dibawah ini :
Angka ekivalen sumbu tunggal
=
Angka ekivalen sumbu ganda
=
(
beban satu sumbu tunggal dalam kg 8160
)4
beban satu sumbu ganda dalam kg 8160
)4
0,086
(
..... (2.3)
..... (2.4)
Angka ekivalen dapat juga diperoleh dengan menggunakan tabel dibawah ini. Tabel 2.5. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan Beban satu sumbu
Angka ekivalen
kg
Lbs
Sumbu tunggal
Sumbu ganda
1000
2205
0.0002
-
2000
4409
0.0036
0.0003
3000
6614
0.0183
0.0016
4000
8818
0.0577
0.0050
5000
11023
0.1410
0.0121
6000
13228
0.2923
0.0251
7000
15432
0.5415
0.0466
II - 13
8000
17637
0.9238
0.0794
8160
18000
1.000
0.0860
9000
19841
1.4798
0.1273
10000
22046
2.2555
0.1940
11000
24251
3.3022
0.2840
12000
26455
4.6770
0.4022
13000
28660
6.4419
0.5540
14000
30864
8.6647
0.7452
15000
33069
11.4148
0.9820
16000
35276
14.7815
1.27132
dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 03-1732-1989
7. Tentukan LEP, LEA, LET dan LER LEP =
n
LHR j 1
LEA =
j
C j E j
n
LHR 1 i j 1
UR
j
Catatan :
C j E j
..... (2.5)
..... (2.6)
i = Perkembangan lalu lintas J = Jenis Kendaraan
LET =
LEP LEA 2
LER = LET x FP
..... (2.7) ..... (2.8)
dimana FP = UR/10 8. Tentukan Indeks Permukaan Awal (Ipo) dan Indeks Permukaan Akhir (IPt)
II - 14
Tabel 2.6. Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP)
Jenis lapis perkerasan
Ipo
Roughness (mm/km)
≥4
≤ 1000
3.9-3.5
>1000
3.9-3.5
≤ 2000
3.4-3.0
> 2000
3.9-3.5
≤ 2000
3.4-3.0
> 2000
BURDA
3.9-3.5
< 2000
BURTU
3.4-3.0
< 2000
3.4-3.0
≤ 3000
2.9-2.5
< 3000
LATASBUM
2.9-2.5
-
BURAS
2.9-2.5
-
LATASIR
2.9-2.5
-
JALAN TANAH
≤ 2.4
-
JALAN KERIKIL
≥ 2.4
-
LASTON
LASBUTAG
HRA
LAPEN
dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 03-1732-1989
Tabel 2.7. Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPo)
LER
Klasifikasi jalan lokal
kolektor
Arteri
Tol
<10
1.0-1.5
1.5
1.5-2.0
-
10-100
1.5
1.5-2.0
2.0
-
100-1000
1.5-2.0
2.0
2.0-2.5
-
>1000
-
2.0-2.5
2.5
2.5
dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 03-1732-1989
II - 15
9. Tentukan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) dengan mempergunakan salah satu nomogram 1-9 yang sesuai dengan nilai Ipo dan Ipt
Gambar 2.6. Contoh nomogram 10. Tentukan koefisien kekuatan relatif (a) dari setiap jenis lapisan yang dipilih. Tabel 2.8. Koefisien Kekuatan Relatif Koefisien kekuatan relatif a1
a2
a3
Kekutan bahan
Jenis bahan
MS
Kt
CBR
(kg )
(kg/cm)
(%)
0.40
-
-
744
0.35
-
-
590
0.32
-
-
454
0.30
-
-
340
0.35
-
-
744
0.31
-
-
590
0.28
-
-
454
0.26
-
-
340
0.30
-
-
340
LASTON
LASBUTAG HRA
II - 16
0.26
-
-
340
ASPAL MACAM
0.25
-
-
-
LAPEN(MEKANIS)
0.20
-
-
-
LAPEN(MANUAL)
-
0.28
-
590
-
0.26
-
454
-
0.24
-
340
-
0.23
-
-
LAPEN(MEKANIS)
-
0.19
-
-
LAPEN(MANUAL
-
0.15
-
-
22
Stabilitas tanah
-
0.13
-
-
18
Dengan semen
-
0.15
-
-
22
Stabilitas tanah
-
0.13
-
-
18
Dengan kapur
-
0.14
-
-
100
Batu pecah (kls A)
-
0.13
-
-
80
Batu pecah (kls B)
-
0.12
-
-
60
Batu pecah (klsC)
-
-
0.13
-
70
SIRTU/pitrun (A)
-
-
0.12
-
50
SIRTU/pitrun (B)
-
-
0.11
-
30
SIRTU/pitrun (C)
-
-
0.10
-
20
Tanah/Lempung
LASTON Atas
dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 03-1732-1989
11. Tentukan tebal masing-masing lapisan dengan rumus :
ITP a1 .D1 a 2 .D2 a3 .D3
..... (2.9)
D1
Lapisan permukaan
D2
Lapis pondasi
D3
Lapis pondasi bawah
Gambar 2.7. Susunan lapis perkerasan jalan
II - 17
12. Kontrol apakah tebal masing-masing lapisan memenuhi batas minimum persyaratan dan ITP. Tabel. 2.9. Batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan
ITP
Tebal
Bahan
minimum
1. Lapis permukaan : < 3.00
5
Lapis pelindung : (BURAS /BURTU/BURDA )
3.00 – 6.70
5
LAPEN/Aspal macadam, HIRA, LASBUTAG, LASTON
6.71 – 7.49
7.5
LAPEN/Aspal macadam, HIRA, LASBUTAG, LASTON
7.50 – 9.99
7.5
LASBUTAG , LASTON
≥ 10.00
10
LASTON
15
Batu pecah , stabilitasi tanah dengan semen ,
2. Lapis pondasi atas < 3.00
stabilitasi dengan kapur 3.00 – 7.49
20*)
Batu pecah , stabilitasi tanah dengan semen , stabilitasi dengan kapur
7.50 – 9.99
10
LASTON Atas
20
Batu pecah , stabilitasi tanah dengan semen , stabilitasi dengan kapur , pondasi macadam
10 – 12.14
15
LASTON Atas
20
Batu pecah , stabilitasi tanah dengan semen , stabilitasi dengan kapur , pondasi macadam, LAPEN , LASTON Atas
II - 18
≥ 12.25
25
Batu pecah , stabilitasi tanah dengan semen , stabilitasi dengan kapur , pondasi macadam, LAPEN , LASTON Atas
3. Lapis pondasi bawah Untuk setiap ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah 10 cm. dari : SKBI 2.3.26.1987/SNI 03-1732-1989
Gambar 2.8. Bagan alir perencanaan tebal perkerasan SNI 03 – 1732 – 1989
II - 19
2.4. Perencanaan Tebal Perkerasan Metode AASHTO 1993 Pada metode AASHTO 1993, terdapat beberapa parameter untuk perhitungan yang berbeda dengan metode SNI 03-1732-1989, parameter tersebut antara lain : a. Modulus Resilien (MR) Modulus resilien adalah parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan. Modulus resilien tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan hasil atau nilai tes soil index. Korelasi modulus resilien dengan nilai CBR berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir halus (fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil. MR (psi) = 1.500 x CBR
.....(2.10)
b. Reliabilitas (R) Reliabilitas (R) adalah tingkat kepastian atau probabilitas bahwa struktur perkerasan mampu melayani arus lalu lintas selama umur rencana sesuai dengan proses penurunan kinerja struktur perkerasan yang dinyatakan dengan serviceability yang direncanakan. Faktor utama yang menentukan kinerja struktur perkerasan jalan antara lain :
struktur perkerasan seperti tebal dan mutu setiap lapisan perkerasan;
kondisi lingkungan seperti temperatur, curah hujan, kondisi tanah dasar;
perkiraan repetisi beban lalu lintas dan proyeksi selama umur rencana;
perkiraan daya dukung tanah dasar.
II - 20
Reliabilitas digunakan pada metode AASHTO 1993 untuk mengalikan repetisi beban lalu lintas yang diperkirakan selama umur rencana dengan faktor reliabilitas (FR) ≥ 1, sehingga :
dimana :
..... (2.11)
Wt
= (wt)(FR)
Wt
= ESAL perkiraan berdasarkan kinerja struktur perkerasan mencapai nilai pt yang digunakan untuk menentukan tebal lapisan perkerasan.
wt
= ESAL perkiraan selama umur rencana
FR
= faktor reliabilitas
Efek adanya faktor reliabilitas dalam perencanaan adalah meningkatkan ESAL yang digunakan untuk merencanakan tebal perkerasan jalan. Nilai FR ditentukan sebagai berikut : FR
= 10-ZR(So)
ZR
= penyimpangan normal standar
S0
= deviasi standar keseluruhan dari distribusi normal
..... (2.12)
dengan :
sehubungan
dengan
kesalahan
yang terjadi
pada
perkiraan lalu lintas dan kinerja perkerasan. Rentang nilai S0 antara 0,4 – 0,5 Dalam persamaan desain perkerasan lentur, nilai R diakomodasi dengan parameter penyimpangan normal standar (ZR). II - 21
Tabel. 2.10. Nilai penyimpangan normal standar (ZR) untuk tingkat reliabilitas (R) tertentu
Tabel. 2.11. Rekomendasi tingkat reliabilitas sesuai fungsi jalan Fungsi Jalan Bebas hambatan Arteri Kolektor Lokal
Rekomendasi tingkat reliabilitas Urban Rural 85 - 99,99 80 - 99 80 - 95 50 - 80
80 - 99,99 75 - 95 75 - 95 50 - 80
c. Penentuan angka ekivalen Angka ekivalen (E) menunjukkan jumlah lintasan sumbu standar sumbu tunggal roda ganda dengan beban 18.000 pon yang mengakibatkan kerusakan yang sama pada struktur perkerasan jalan jika dilintasi oleh jenis dan beban sumbu tertentu atau jenis dan beban kendaraan tertentu. Angka ekivalen dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti :
Konfigurasi dan beban sumbu
II - 22
Nilai struktural perkerasan jalan yang dinyatakan dengan Structural Number (SN)
Terminal serviceability index (pt)
Rumus dasar AASHTO untuk menentukan angka ekivalen adalah seperti berikut :
Wx W18
L L 2s = 18 L x L 2x
4 , 79
10 G / x 4 , 33 G / 18 L 2 x 10
..... (2.13)
Dengan : Wx
= sumbu dengan beban 1000x pon
W18
= W18 (sumbu standar dengan beban 18000 pon)
Wx W18
= bilangan terbalik dari angka ekivalen untuk beban dan konfigurasi sumbu 1000x pon
L18
= 18 (beban sumbu standar dalam kilopon)
Lx
= x (beban sumbu dalam kilopon)
L2x
= kode untuk konfigurasi sumbu yang ditinjau = 1, untuk sumbu tunggal = 2, untuk sumbu tandem = 3, untuk sumbu tripel
L2s
= kode untuk sumbu standar, selalu = 1 (sumbu tunggal)
II - 23
G
4,2 p t = log 4,2 1,5
..... (2.14)
βx
0,081(L x L 2 x ) 3.23 = 0,4 (SN 1) 5,19 L32, 23 x
..... (2.15)
pt
= terminal serviceability index
d. Repetisi beban selama umur rencana (W18) Beban lalu lintas sesuai AASHTO 1993 dinyatakan dalam repetisi lintasan sumbu standar selama umur rencana (W18). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : W18
= Σ LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N
..... (2.16)
dengan : W18
= repetisi beban lalu lintas selama umur rencana, lss/lajur/umur rencana
LHR
= Lalu Lintas Harian Rata – rata, kendaraan/hari/2 arah
Ei
= angka ekivalen jenis kendaraan i
DA
= faktor distribusi arah, digunakan untuk menunjukkan distribusi kendaraan ke masing – masing arah. DA berkisar antara 0,3 – 0,7. Untuk perencanaan umumnya DA diambil sama dengan 0,5. Jika data lalu lintas yang di gunakan adalah data untuk satu arah, maka DA = 1.
DL
= faktor distribusi lajur, digunakan untuk menunjukkan distibusi kendaraan ke lajur rencana. Nilai DL dapat dilihat pada tabel dibawah ini : II - 24
Tabel. 2.12 Faktor Distribusi Lajur (DL)
365
= jumlah hari dalam satu tahun
N
= faktor umur rencana, angka yang dipergunakan untuk menghitung repetisi lalu lintas selama umur rencana dari awal umur rencana. Jika tidak ada pertumbuhan lalu lintas maka N sama dengan umur rencana. Jika ada pertumbuhan lalu lintas, maka nilai N dapat di hitung dengan rumus berikut ini :
N
dimana : UR i
1 i UR 1 i
..... (2.17)
= umur rencana (tahun) = pertumbuhan lalu lintas pertahun (%/tahun)
e. Rumus Dasar Metode AASHTO 1993 Rumus dasar metode AASHTO 1993 adalah sebagai berikut : PSI log 4,2 1,5 log(W18 ) Z R So 9,36 log(SN 1) 0,20 2,32 logM R 8,07 .....(2.18) 1094 0,4 (SN 1) 5,19
dengan : W18
= ESAL yang diperkirakan
II - 25
ZR
= simpangan baku normal, sesuai Tabel 2.10
So
= deviasi standar keseluruhan, bernilai antara 0,4 – 0,5
SN
= Structural Number, angka struktural relatif perkerasan (inchi)
ΔPSI = perbedaan serviceability index di awal dan akhir umur rencana MR
= Modulus Resilient tanah dasar (psi)
SN yang diperoleh dengan menggunakan Rumus 2.18 harus sama dengan SN asumsi yang diambil ketika menentukan angka ekivalen (E). Jika SN yang diperoleh tidak sama, maka penentuan angka ekivalen harus diulang kembali dengan menggunakan nilai SN yang baru. Selain menggunakan Rumus 2.18, SN juga dapat diperoleh dengan menggunakan nomogram seperti pada Gambar 2.8 SN adalah angka yang menunjukkan jumlah tebal lapis perkerasan yang telah di setarakan kemampuannya sebagai bagian perwujudan kinerja perkerasan jalan. Koefisien kekuatan relatif (a) adalah angka penyetaraan berbagai jenis lapis perkerasan yang dipengaruhi oleh mutu dari jenis lapisan yang dipilih. SN
= a1D1 + a2m2D2 + a3m3D3
..... (2.19)
dengan : SN
= angka struktural (structural number), inchi
a1
= koefisien kekuatan relatif lapis permukaan
a2
= koefisien kekuatan relatif lapis pondasi
a3
= koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah II - 26
D1
= tebal lapis permukaan, inchi
D2
= tebal lapis pondasi, inchi
D3
= tebal lapis pondasi bawah, inchi
m2,m3 = koefisien drainase untuk lapis pondasi dan pondasi bawah. Nilai koefisen kekuatan relatif untuk tiap lapis pondasi dapat mengacu pada tabel dibawah ini : Tabel 2.13 Nilai koefisien kekuatan relatif (a) untuk tiap lapis perkerasan Lapis Perkerasan
Jenis Perkerasan
Nilai Koefisien
Lapis Permukaan
Aspal Beton
0,44
Lapis Pondasi Atas
Batu Pecah
0,14
Lapis Pondasi Bawah
Sirtu
0,11
Untuk jenis perkerasan yang lain, nilai koefisien bisa di dapat dengan menggunakan nomogram pada lampiran. Untuk penentuan koefisien drainase, maka harus dilihat terlebih dahulu kualitas dari drainase tersebut. Kualitas drainase dikelompokkan seperti pada Tabel 2.14, sedangkan koefisen drainase (m) dapat dilihat pada Tabel 2.15. Tabel 2.14 Kelompok Kualitas Drainase
II - 27
Gambar 2.9. Nomogram penentuan nilai SN dengan Metode AASHTO 1993
II - 28
Tabel 2.15 Koefisien Drainase (m)
f. Tebal Minimum Lapisan Perkerasan. Berdasarkan Metode AASHTO 1993, tebal minimum untuk lapis permukaan dan lapis pondasi adalah sebagai berikut : Tabel 2.16. Tebal minimum lapisan permukaan dan lapis pondasi ESAL < 50.000 50.001 - 150.000 150.001 - 500.000 500.001 - 2.000.000 2.000.001 - 7.000.000 > 7.000.000
Tebal minimum lapisan (inch) Beton aspal Pondasi batu pecah 1,0 4,0 2,0 4,0 2,5 4,0 3,0 6,0 3,5 6,0 4,0 6,0
2.4.1. Tahapan Perhitungan Tebal Perkerasan Berdasarkan Metode AASHTO 1993 1. Tentukan Indeks Permukaan awal (IPo) dan Indeks Permukaan akhir (IPt) yang diharapkan. Penentuan IPo dan IPt ini dapat mengacu pada Tabel 2.6 dan Tabel 2.7 yang di gunakan pada metode SNI 03-1732-1989. 2. Asumsikan nilai SN (Structural Number) untuk digunakan menentukan angka ekivalen.
II - 29
3. Tentukan faktor distribusi arah (DA) jika volume lalu lintas yang tersedia dalam 2 arah. DA berkisar antara 0,3 – 0,7. Untuk perencanaan umumnya DA diambil sama dengan 0,5. 4. Tentukan faktor distribusi lajur (DL) 5. Hitunglah repetisi beban selama umur rencana dengan menggunakan Rumus 2.16. 6. Tentukan nilai reliabilitas (R) berdasarkan Tabel 2.11 sehingga didapat nilai ZR berdasarkan Tabel 2.10 7. Tentukan nilai MR tanah dasar dengan membuat korelasi dari nilai CBR berdasarkan Rumus 2.10 8. Tentukan nilai SN dengan menggunakan Rumus 2.18 atau menggunakan nomogram seperti pada Gambar 2.8. 9. SN yang diperoleh pada Butir 8 harus sama atau mendekati SN yang di asumsikan pada Butir 2. Jika SN yang diperoleh belum mendekati maka langkah di ulang kembali mulai dari Butir 2. 10. Tentukan koefisien drainase lapis pondasi dan lapis pondasi bawah dengan menggunakan Tabel 2.15. 11. Tentukan tebal minimum lapisan perkerasan dengan mengacu pada Tabel 2.16 12. Tentukan tebal setiap lapisan dengan menggunakan Rumus 2.19
II - 30
Gambar 2.10. Bagan alir perencanaan tebal perkerasan Metode AASHTO 1993
II - 31
2.5 Konstruksi Bertahap Metode perencanaan konstruksi bertahap didasarkan atas konsep “sisa umur”. Perkerasan berikutnya direncanakan sebelum perkerasan pertama mencapai keseluruhan “masa fatique”. Untuk itu tahap kedua diterapkan bila jumlah kerusakan (cumulative damage) pada tahap pertama sudah mencapai kurang lebih 60%. Dengan demikian “sisa umur” tahap pertama tinggal kurang lebih 40%. Untuk menetapkan ketentuan diatas, maka perlu dipilih waktu tahap pertama antara 25% - 50% dari waktu keseluruhan. Misalnya : UR = 20 tahun, maka tahap I antara 5 – 10 tahun dan tahap II antara 10 – 15 tahun. 2.5.1. Konstruksi Bertahap Berdasarkan Metode SNI 03 – 1732 - 1989 Berdasarkan metode SNI 03 – 1732 – 1989, perumusan konsep “sisa umur” dapat diuraikan sebagai berikut : a. Jika pada akhir tahap I tidak ada sisa umur (sudah mencapai fatique, misalnya timbul retak), maka tebal perkerasan tahap I didapat dengan memasukkan lalu lintas sebesar LER1 b. Jika pada akhir tahap I di inginkan adanya sisa umur kurang lebih 40% maka perkerasan tahap I perlu di tebalkan dengan memasukkan lalu lintas sebesar x LER1 c. Dengan anggapan sisa umur linear dengan sisa lalu lintas, maka : x LER1 (tahap I plus)
= LER1 + 40% x LER1 (tahap I)
..... (2.20)
(sisa tahap I)
diperoleh x = 1,67
II - 32
d. Jika pada akhir tahap I tidak ada sisa umur maka tebal perkerasan tahap II didapat dengan memasukkan lalu lintas sebesar LER2 e. Tebal perkerasan tahap I+II didapat dengan memasukkan lalu lintas sebesar y LER2. Karena 60% y LER2 sudah dipakai pada tahap I maka :
y LER2 (tahap I+II)
= LER2 + 40% x LER2 (tahap II)
..... (2.21)
(sisa tahap II)
diperoleh y = 2,5 f. Tebal perkerasan tahap II diperoleh dengan mengurangkan tebal perkerasan tahap I + II (lalu lintas y LER2) terhadap tebal perkerasan I (lalu lintas x LER1) g. Dengan demikian pada tahap II diperkirakan ITP2 dengan rumus : ITP2
= ITP - ITP1
..... (2.22)
ITP didapat dari nomogram dengan LER = 2,5 LER2
..... (2.23)
ITP1 didapat dari nomogram dengan LER = 1,67 LER1
..... (2.24)
2.5.2. Konstruksi Bertahap Berdasarkan Metode AASHTO 1993 Pada konstruksi bertahap metode AASHTO 1993, langkah – langkah perencanaan tebal perkerasan bertahap sama dengan tanpa bertahap, hanya saja reliabilitas yang di gunakan untuk konstruksi bertahap dihitung dengan Rumus 2.25. Rbertahap = (Rseluruh)1/n
..... (2.25)
dengan : Rbertahap
= reliabilitas masing – masing tahapan II - 33
Rseluruh
= reliabilitas keseluruhan tahapan
n
= jumlah tahapan selama umur rencana
2.6. Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Di dalam bukunya, Agus Iqbal Manu (2001) menyebutkan bahwa secara umum pola pikir dalam menentukan harga satuan suatu jenis pekerjaan meliputi 3 (tiga) hal penting yaitu berupa masukan (input), proses (process) dan keluaran (output). Harga satuan setiap mata pembayaran yang merupakan keluaran (output) diperoleh melalui proses perhitungan dari masukan-masukan (input). Dalam hal ini, masukan yang dimaksud antara lain berupa harga satuan dasar untuk bahan, alat, upah tenaga kerja serta biaya umum &
laba (overhead & profit).
Berdasarkan masukan tersebut dilakukan perhitungan untuk menentukan koefisien bahan, upah tenaga kerja dan peralatan setelah terlebih dahulu menentukan asumsi-asumsi dan faktor-faktor. Jumlah dari seluruh hasil perkalian koefisien tersebut dengan harga satuan dasar ditambah dengan biaya umum & laba akan menghasilkan harga satuan setiap mata pembayaran. Selanjutnya harga satuan setiap mata pembayaran dikalikan dengan volume pekerjaan menghasilkan harga pekerjaan setiap mata pembayaran. Adapun jumlah harga pekerjaan seluruh mata pembayaran yang dikalikan dengan PPN 10% merupakan perkiraan (estimasi) biaya proyek (EE/OE). Sebagai contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 4 Jika di rangkum dalam bagan alir, metode perhitungan Harga Satuan Pekerjaan adalah seperti di bawah ini.
II - 34
Gambar 2.11. Metode perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Didalam Tugas Akhir ini penulis menggunakan Jurnal Harga Satuan Barang dan Jasa yang dikeluarkan oleh Provinsi Banten (Lampiran 1) dan tidak akan menguraikan analisa perhitungan seperti diatas.
II - 35