BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Salmonella typhi Salmonella typhi merupakan bakteri penyebab salmonellosis yang merupakan salah satu penyakit edemis dan menimbulkan kerugian yang serius terutama di Negara berkembang termasuk Indonesia. Bakteri salmonella ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kotoran atau tinja dari seorang penderita tifoid. Bakteri masuk melalui mulut bersama makanan dan minuman, kemudian berlanjut kesaluran pencernaan. Jika bakteri yang masuk dengan jumlah yang banyak maka bakteri akan masuk ke dalam usus halus selanjutnya masuk ke dalam sistem peredaran darah sehingga menyebabkan bakterimia, demam tifoid, dan komplikasi organ lain (Wagner, 2014). 2.1.1 Taksonomi Taksonomi Salmonella typhi : Kingdom
: Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Ordo
: Gamma Proteobacteria
Class
: Enterobacteriales
Family
: Enterobacteriaceae
Genus
: Salmonella
Spesies
: Salmonella typhi (Jawetz et al, 2006).
4
5
2.1.2 Morfologi dan sifat biakan Salmonella merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang bergerak yang khas memfermentasikan glukosa dan manosa tanpa membentuk gas tetapi tidak memfermentasikan laktosa dan sukrosa. Salmonella menghasilkan H2S (Jawetz et al., 2006). Isolat salmonella pada media SSA pada suhu 37oC maka koloni akan tampak cembung, transparan, bercak hitam dibagian pusat (Nugraha, 2012). Bakteri salmonella akan mati pada suhu 60o C selama 15 – 20 menit melalui pasteurisasi, pendidihan dan khlorinasi (Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2006). 2.1.3 Epidemiologi Salmonella typhi merupakan flora normal dalam usus dimana infeksi terjadi akibat kontaminasi makanan dan minuman yang mengakibatkan bakteri masuk ke dalam tubuh. Sebagian besar penderita tifoid merupakan sebagai agen pembawa (carier) yang terletak pada kandung empedu, saluran empedu, dan sebagian pada usus atau saluran kemih (Jawetz et al., 2006). Di Indonesia, tifoid tidak dijumpai secara endemis namun sering dijumpai pada kota-kota besar. Kejadian kasus penyakit pada pria dan wanita tidak terdapat perbedaan namun angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia remaja. Data yang ditemukan pada rumah sakit menunjukkan peningkatan jumlah penderita tiap tahunnya sekitar 500/100000 penduduk dimana angka kematian yaitu 0,6 - 5 %. Terjadinya kematian tersebut akibat terlambatnya penanganan, pengobatan dan tingginya biaya pengobatan (Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2006).
6
2.1.4
Patogenesis dan gejala klinik S. typhi dan S. paratyphi menyebabkan infeksi pada manusia. Sebagian
besar bakteri ini bersifat reservoir pada manusia dan patogen pada hewan.Salmonella masuk melalui mulut bersama makanan dan minuman yang terkontaminasi. Dosis infeksi penyebab penyakit pada manusia dalam menimbulkan infeksi klinik sekitar 103
- 108 sel/mL. Faktor inang juga
mempengaruhi jumlah bakteri di dalam tubuh diantaranya keasaman lambung, flora normal usus, dan daya tahan usus setempat. Infeksi yang terjadi pada manusia akibat bakteri Salmonella adalah deman enterik (Demam Tifoid), bakterimia, enterokolitis (Jawetz et al., 2006). Salmonella
menghasilkan
endotoksin
yang
merupakan
kompleks
lipopolisakarida. Kompleks ini dianggap berperan penting pada patogenesis demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik serta meningkatkan reaksi peradangan di tempat bakteri salmonella berkembang biak. Infeksi terjadi ketika salmonella melalui lambung dan mencapai usus dan invasi ke jaringan limfosit yang merupakan tempat predileksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe mesentrik bakteri masuk aliran darah sistemik (bakterimia) pada fase ini disebut sebagai fase inkubasi terjadi pada 7 – 14 hari. Setelah itu terjadi hiperpelasia kemudian nekrosis dan selanjutnya ulserasi hingga membentuk ulkus.Infeksi terjadi pada organ yang lain diantaranya tulang, usus, paru, ginjal, jantung, empedu dan organ lain. Bakteri dapat tinggal dalam empedu sehingga bersifat sebagai penderita karier akibat penyembuhan tidak sempurna (Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2006).
7
2.1.5
Penularan dan faktor yang berperan Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI, (2006) penularan demam
tifoid melalui mulut bersama makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses pengidap tifoid. Dimana beberapa hal yang berperan adalah : a. Hiegene perorangan yang rendah seperti budaya cuci tangan tidak terbiasa b. Hiegene makanan dan minuman yang rendah diantaranya pencucian makanan dengan air yang terkontaminasi c. Sanitasi lingkungan yang kumuh dimana pengelolahan air limbah kotoran dan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan. d. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadahi e. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat f. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati sempurna g. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid 2.1.6
Diagnosa laboratorium Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dapat berupa pemeriksaan darah tepi, uji serologis, dan kultur atau biakan. Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen Salmonella typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi uji Widal, gall culture, tes TUBEX®, metode Enzyme Immuno Assay (EIA), metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), dan pemeriksaan dipstick (Septiawan, 2013).
8
2.1.7
Perawatan Perawatan pasien yang dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan RI, (2006) yaitu : a. Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan b. Penderita istirahat total untuk mencegah komplikasi terutama perdarahan dan perforasi. c. Observasi terhadap perjalanan penyakit d. Minimalisasi komplikasi e. Isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran dan kontaminasi 2.1.8
Pencegahan Secara umum penanganan penyakit infeksi ditekankan pada pencegahan.
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan, dalam pencegahan demam tifoid lebih efisien dan tanpa resiko. Pengobatan yang sempurna berpengaruh mengurangi kasus karier tifoid pada di masyarakat. Tiga pilar strategis yang menjadi program pencegahan menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI, (2006) yaitu : a. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid b. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan c. Perlindungan dini agar tidak tertular 2.2 Sinar Ultra Violet Sinar ultra violet merupakan salah satu sinar dengan daya radiasi yang bersifat letal pada mikroorganisme. Sinar ultra violet memiliki panjang gelombang mulai 4 – 400 nm dengan efisiensi tertinggi untuk pengendalian
9
mikroorganisme pada 365 nm. Sifat letal pada mikroorganisme tersebut mengakibatkan sinar ultra violet sering digunakan sebagai media aseptik ruang seperti laboratorium, ruang operasi, ruang produksi makan dan minuman. Sinar ultra violet digunakan karena memiliki daya spektrum yang cukup luas dan penggunaannya mudah. Penyinaran sinar ultra violet mengakibatkan kerusakan pada ribosom sehingga mengakibatkan mutasi atau kematian sel (Ariyadi, 2009). Penyinaran ultra violet pada bakteri dapat menimbulkan mutasi. Mekanisme terjadinya mutasi adalah sinar ultra violet menimbulkan ikatan kovalen antara pirimidin yang berdekatan dengan DNA. Dimer perimidin bila tidak dibuang oleh sistem enzim pemulihan dapat menimbulkan celah dalam untaian pelengkap dalam pembentukan replikasi DNA.Untaian yang baru direplikasi dapat mengandung dimer yang berpasangan pada salah satu celah pada tiap tempat yang dirusak oleh sinar ultra violet dan harus dipulihkan agar dapat berfungsi baik. Pemulihan dicapai dengan proses yang dinamakan sistem pemulihan yang mudah salah. Pada proses ini mutasi diperkirakan ditimbulkan oleh sinar ultra violet dapat terjadi (Jawetz et al., 2006). 2.3 Vaksinasi Vaksinasi merupakan pemberian vaksin berupa suspensi mikroorganisme hidup dilemahkan, atau mati. Suspensi mikroorganisme ini bersifat antigenik sehingga mampu menginduksi kekebalan tubuh. Vaksinasi menggambarkan proses yang menginduksi imunitas secara artifisial dengan pemberian bahan antigenik seperti agen imunobiologis (Proverahwati, 2010).
10
2.3.1 Jenis – jenis vaksin Beberapa jenis vaksin dibuat berdasarkan produksinya menurut Proverawati, (2010) antara lain: 1. Vaksin hidup (Live attebuated vamline) Vaksin terdiri atas bakteri hidup yang telah dilemahkan namun bersifat antigenik bukan patogenik. Pemberian vaksin secara (oral) sesuai infeksi alamiah. Bakteri hidup dalam vaksin akan berkembangbiak pada epitel kemudian akan menimbulkan kekebalan lokal. 2. Vaksin mati (Killed vamline/ Inactive Vamline) Vaksin terdiri dari bakteri mati dan tidak bersifat potogenik.Tidak berkembangbiak sehingga diperlukan pemberian secara berulang untuk menimbulkan kekebalan. 3. Rekombinan Susunan vaksin memerlukan epitop organisme yang patogen, sintesis dari antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi sel penerima vaksin. 4. Toksoid Suatu bahan yang bersifat imunogenik yang berasal dari toksin bakteri. Pemanasan dan penambahan formalin biasanya digunakan dalam proses pembuatannya. Hasil dari pembuatan bahan toksoid disebut sebagai natural fluid plain toxoid. Bahan ini akan mampu meransang terbentuknya antibodi antitoksin. Vaksinasi dengan toksoid bakteri akan mampu menimbulkan kekebalan setahun. Kadang-kadang toksoid dicampur dengan bahan adjuvant
11
yang bertujuan untuk memperlama penyerapan di dalam tubuh sehingga ransangan antigenik akan lebih lama dan imunogenesitasnya meningkat. 5. Vaksin plasma DNA (Plasmid DNA Vamlines) Vaksin berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandung kode antigen yang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian. Hasil akhir penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri) meransang respon humoral dan seluler yang cukup kuat, sedangkan penelitian klinis pada manusia saat ini sedang dilakukan. 2.3.2 Sifat Vaksin Menurut Suharjo et al., (2010) berdasarkan pada kepekaan atau sensitivitas terhadap suhu, sifat vaksin digolongkan menjadi dua yaitu: 1. Vaksin yang sensitif terhadap beku (Freeze Sensitive) Merupakan vaksin yang akan rusak bila terpapar dengan suhu dingin atau suhu pembekuan. Vaksin yang tergolong dalam sifat ini antara lain vaksin hepatitis B-PID, vaksin DPT-HB, DT dan TT 2. Vaksin yang sensitif terhadap panas (Heat Sensitive) Merupakan golongan vaksin yang akan rusak jika terpapar dengan suhu panas yang berlebihan. Vaksin yang mempunyai sifat seperti ini, antara lain vaksin Pollio, vaksin BCG dan vaksin campak. 2.3.3
Vaksin Tifoid Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2006 imunisasi penting dilakukan pada
treveler, tenaga laboratorium, tenaga penyaji dan orang resiko tinggi (lingkungan, pekerjaan). Tiga jenis vaksin yang digunakan di Indonesia diantaranya :
12
a. Vaksin Oral Ty21a Vivotiv Berna Vaksin yang mengandunng S. typhi galur Ty21a.Daya proteksi dilaporkan ada yang mencapai 100, namun di Indonesia berkisar 36 – 66%. Pemberian vaksin ini tidak dianjurkan pada wanita hamil, menyusui, dalam kondisi demam, minum atibiotik dan anak kecil. Lama proteksi sekitar 5 tahun. b. Vaksin Parental sel utuh : Typa Bio Farma Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan dan mengandung sekitar 106 sel/mL. terdapat dua macam vaksin yaitu K vamLine (Acetone in actived) dan L vamLine (Head in actived – Phenol preserved). Daya proteksi K vamLine sekitar 79 – 89% dan L vamLine sekitar 51 – 66%. Efek samping dilaporkan demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak.Tidak dianjurkan untuk keadaan demam, hamil dan demam pada pemberian pertama. c. Vaksin Polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari basil salmonella. Daya proteksi 60 – 70% pada orang dewasa dan anak diatas 5 tahun. Vaksin tersedia dalam alat suntik 0,5mL yang bersisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Tidak dianjurkan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. 2.3.4
Kegagalan vaksinasi Beberapa faktor penting penyebab kegagalan vaksinasi antara lain adalah
menurunnya efektifitas vaksin akibat distribusi yang tidak baik, cara penyimpanan vaksin yang tidak tepat, tidak adanya kontak pendingin dalam pendistribusiannya, dan sebagian vaksin harus diberikan dengan cara penyuntikan dll. Keadaan ini
13
mempengaruhi ketersediaan vaksin terutama di negara-negara miskin, dimana di daerah miskin ini kejadian penyakit infeksi tersebut sangat tinggi begitu juga angka kesakitan dan kematiannya. Keterbatasan tersebut telah memacu para peneliti untuk menemukan suatu trobosan baru dalam teknologi pembuatan dan cara pemberian vaksin. Bentuk vaksin yang diminati adalah vaksin yang dapat dikonsumsi tanpa harus menyuntikkannya atau tanpa harus disimpan di ruang pendingin sehingga memudahkan pendistribusiannya (Proverahwati, 2010).. 2.4
Respon Imun Respon imun merupakan respon yang terjadi oleh sel yang menyusun sistem
imunitas dengan substansi asing. Respon imun membantu tubuh dalam mempertahankan kesehatan tubuh terhadap benda – benda asing. 2.4.1 Antigen Antigen adalah bahan yang berinteraksi dengan produk respon imun yang diransang oleh imunogen spesifik seperti antibodi dan atau TCR. Antigen lengkap adalah antigen yang menginduksi baik respons imun maupun bereaksi dengan produknya yang disebut antigen inkomplit atau hapten, tidak dapat dengan sendiri menginduksi respons imun, tetapi dapat beraksi dengan produknya seperti antibodi. Hapten dapat dijadikan imunogen melalui ikatan dengan molekul besar yang disebut protein pembawa (Reid et al, 2012). a. Imunogenitas dan antigenitas Imunogenitas dan antigenitas mempunyai hubungan satu sama lain tetapi berbeda dalam sifat imunologinya yang sering kali membingungkan. Imunogenitas adalah kemampuan untuk menginduksi respon imun humoral atau selular.Meskipun
14
suatu bahan yang dapat menginduksi respon imun spesifik disebut antigen, namun lebih tepat disebut imunogen. b. Anti antibodi Disamping fungsinya sebagai antibodi, antibodi dapat juga berfungsi sebagai protein imunogen yang baik, dapat memacu produksi antibodi pada spesies lain atau autoantibodi pada inang sendiri. Autoantibodi terutama diproduksi terhadap IgM misalnya ditemukan pada AR dan disebut FR (Faktor Rheumatoid). c. Pembagian antigen Antigen dapat dibagi menurut epitop, spesifisitas, ketergantungan terhadap sel T dan sifat kimiawi. 1. Pembagian antigen berdasarkan epitop a. Unideterminan, univalent (terdapat satu jenis epitop pada satu molekul) b. Unideterminan, multivalent (terdapat satu atau lebih jenis epitop pada satu molekul) c. Multideterminan, univalent (terdapat banyak epitop tetapi satu molekul) d. Multideterminan, multivalent (terdapat banyak epitop dan dan terdapat banyak macam pada satu molekul) 2. Pembagian antigen menurut spesifitas a. Heteroantigen b. Xenoantigen c. Aloantigen d. Antigen organ spesifik e. Autoantigen
15
3. Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T a. T dependen b. T independen 4. Pembagian antigen menurut sifat kimiawi a. Hidrat arang (polisakarida) b. Lipid c. Asam Nukleat d. Protein 2.4.2 Antibodi Bila darah dibiarkan membeku akan meninggalkan serum yang mengandung berbagai bahan larut tanpa sel. Bahan tersebut mengandung molekul antibodi yang digolongkan dalam protein yag disebut globulin dan sekarang dikenal sebagai immunoglobulin. Dua ciri yang penting ialah spesifisitas dan aktivitas biologik. Fungsi utamanya adalah mengikat antigen dan menghantarkan ke sistem efektor pemusnahan (Konterman, 2011). Imunoglobulin (Ig) dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B yang terjadi setelah kontak dengan antigen baru lainnya yang sejenis. Bila serum protein tersebut dipisahkan dengan cara elektroforesis, maka imunoglobin yang juga ditemukan dalam fraksi globin alfa dan beta. Enzim papain memecah molekul antibodi (dengan berat molekul 150.000 dalton) dalam fragmen masingmasing sari 45.000 dalton. Dua fragmen tetap memiliki sifat antibodi yang dapat mengikat antigen secara spesifik, beraksi dengan determinan antigen serta hapten disebut Fab (fragmen Antigen binding) dan dianggap univalent. Fragmen ke 3
16
dapat dikristalkan dari larutan dan disebut Fc dan tidak dapat mengikat antigen.Fc menunjukkan fungsi biologis sesudah antigen diikat oleh Fab. Semua molekul immunoglobulin mempunyai 4 rantai polipeptida dasar yang terdiri atas 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik (Konterman, 2011). Ada 2 jenis rantai ringan (kappa dan lambda) yang terdiri atas 230 asam amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada kelima jenis immunoglobulin yaitu IgM, IgG, IgE, IgA, dan IgD. Rantai berat terdiri atas 450 – 600 asam amin, sehingga berat dan panjang rantai berat tersebut adalah dua kali rantai ringan. Molekul immunoglobulin mempunyai rumus bangun yang heterogen, meskipun hanya terdiri atas 4 unit polipeptida dasar. Berbagai kelas antibodi, sifat-sifat fisika dan biologiknya (Baratawidjaja, 2010). 2.4.3 Reaksi antigen antibodi Salah satu sifat dari antibodi ialah kemampuan bereakasi secara khas dengan antigen yang menimbulkannya, beberapa jenis reaksi antibodi menurut Burmester (2003) diantaranya: 1. Reaksi presipitasi Bila antigen dalam bentuk larutan dicampur dengan antiserum maka akan terjadi presipitasi. Bila disediakan sederetan tabung dengan antiserum yang volumenya sama dan pada tabung ditambahkan antigen dalam jumlah yang makin banyak makan akan ditemukan presipitasi pada tabung yang sudah ditambahkan antigen
17
2. Reaksi silang Permukaan sel bakteri mengandung beberapa macam antigen dan ada kemungkinan bahwa satu antigen dan ada kemungkinan bahwa satu antigen yang serupa atau hampir serupa ditemukan pada dua jenis bakteri. Serum yang mengandung antibodi terhadap satu bakteri mengkin memberikan reaksi aglutinasi silang. 3. Reaksi Komplemen Komplemen dapat melekat pada kompleks antigen-antibodi dan bila antigen tidak berupa sel maka pengikatan komplemen tidak dapat dilihat begitu saja, untuk membuktikan adanya pengikatan komplemen diperlukan suatu indikator yang terdiri dari campuran sunpensi sel darah merah kambing dan larutan amboseptor atau mengandung antibodi terhadap sel darah merah kambing, jadi suatu indikator berupa sensitized cells.