BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Salmonella sp 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi Salmonella sp. merupakan kingdom Bacteria, phylum Proteobacteria, class Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales, Salmonella sp.
family dari Enterobacteriaceae, genus Salmonella dan
species yaitu e.g. S. enteric (Todar, 2008).
Gambar 2.1. morfologi Sallmonella sp. (Todar, 2008)
Salmonella sp. pertama ditemukan (diamati) pada penderita demam tifoid pada tahun 1880 oleh Eberth dan dibenarkan oleh Robert Koch dalam budidaya bakteri pada tahun 1881 (Todar, 2008). Salmonella sp. adalah bakteri bentuk batang, pada pengecatan gram berwarna merah
4
muda (gram negatif). Salmonella sp. berukuran 2 µ sampai 4 µ × 0;6 µ, mempunyai flagel (kecuali S. gallinarum dan S. pullorum), dan tidak berspora (Julius, 1990). Habitat Salmonella sp. adalah di saluran pencernaan
(usus
halus)
manusia
dan
hewan.
Suhu
optimum
pertumbuhan Salmonella sp. ialah 37oC dan pada pH 6-8 (Julius, 1990). Dalam skema kauffman dan white tatanama Salmonella sp. di kelompokkan berdasarkan antigen atau DNA yaitu kelompok I enteric, II salamae, IIIa arizonae, IIIb houtenae, IV diarizonae, V bongori, dan VI indica. Komposisi dasar DNA Salmonella sp adalah 50-52 mol% G+C, mirip dengan Escherichia, Shigella, dan Citrobacter (Todar, 2008). Namun klasifikasi atau penggunaan tatanama yang sering dipakai pada Salmonella sp. berdasarkan epidemiologi, jenis inang, dan jenis struktur antigen (misalnya S.typhi, S .thipirium). Jenis atau spesies Salmonella sp. yang utama adalah S. typhi (satu serotipe), S. choleraesuis, dan S. enteritidis (lebih dari 1500 serotipe). Sedangkang spesies S. paratyphi A, S. paratyphi B, S. paratyphi C termasuk dalam S. enteritidis (Jawezt et al, 2008).
2.1.2 Struktur Antigen Salmonella sp. mempunyai tiga macam antigen utama untuk diagnostik atau mengidentifikasi yaitu : somatik antigen (O), antigen flagel (H) dan antigen Vi (kasul) (Todar, 2008). Antigen O (Cell Wall Antigens ) merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang tahan panas
5
(termostabil), dan alkohol asam (Julius, 1990). Antibodi yang dibentuk adalah IgM (Karsinah et al, 1994). Namun antigen O kurang imunogenik dan aglutinasi berlangsung lambat (Julius, 1990). Maka kurang bagus untuk pemeriksaan serologi karena terdapat 67 faktor antigen, tiap-tiap spesies memiliki beberapa faktor (Todar, 2008). Oleh karena itu titer antibodi O sesudah infeksi lebih rendah dari pada antibodi H (Julius, 1990). Antigen H pada Salmonella sp. dibagi dalam 2 fase yaitu fase I : spesifik dan fase II : non spesifik. Antigen H adalah protein yang tidak tahan panas (termolabil), dapat dirusak dengan pemanasan di atas 60ºC dan alkohol asam (Karsinah et al, 1994). Antigen H sangat imunogenik dan antibodi yang dibentuk adalah IgG (Julius, 1990). Sedangkan Antigen Vi adalah polimer dari polisakarida yang bersifat asam. Terdapat dibagian paling luar dari badan kuman bersifai termolabil. Dapat dirusak dengan pemanasan 60oC selama 1 jam. Kuman yang mempunyai antigen Vi bersifat virulens pada hewan dan mausia. Antigen Vi juga menentukan kepekaan terhadap bakteriofaga dan dalam laboratorium sangat berguna untuk diagnosis cepat kuman S. typhi (Karsinah et al, 1994). Adanya antigen Vi menunjukkan individu yang bersangkutan merupakan pembawa kuman (carrier) (Julius, 1990).
6
2.1.3 Sifat Biokimia Salmonella
sp.
bersifat
aerob
dan
anaerob
falkultatif,
pertumbuhan Salmonella sp. pada suhu 37oC dan pada pH 6-8. Salmonella sp. memiliki flagel jadi pada uji motilitas hasilnya positif , pada media BAP (Blood Agar Plate) menyebabkan hemolisis. Pada media MC (Mac Conkay) tidak memfermentasi laktosa atau disebut Non Laktosa Fermenter (NLF) tapi Salmonella sp. memfermentasi glukosa , manitol dan maltosa disertai pembentukan asam dan gas kecuali S. typhi yang tidak menghasikkan gas. Kemudian pada media indol negatif, MR positif, Vp negatif dan sitrat kemungkinan positif. Tidak menghidrolisiskan urea dan menghasilkan H2S (Julius,1990).
2.1.4 Patogenitas Salmonellosis adalah istilah yang menunjukkan adanya infeksi Salmonella sp. Manifestasi klinik Salmonellosis pada manusia ada 4 sindrom yaitu : 1. Gastroenteritis atau keracunan makanan merupakan infeksi usus dan tidak ditemukan toksin sebelumnya (Karsinah et al, 1994). Terjadi karena menelan makanan yang tercemar Salmonella sp. misalnya daging dan telur (Julius,1990). Masa inkubasinya 8-48 jam, gejalanya mual, sakit kepala, muntah, diare hebat, dan terdapat darah dalam tinja. Terjadi demam ringan yang akan sembuh dalam 2-3 hari. Bakterimia jarang terjadi pada penderita
7
(2-4%) kecuali pada penderita yang kekebalan tubuhnya kurang (Jawezt et al, 2008). 2. Demam tifoid yang disebabkan oleh S. typhi, dan demam paratifoid disebabkan S paratyphi A, B, dan C. Kuman yang masuk melalui mulut masuk kedalam lambung untuk mencapai usus halus, lalu ke kelenjar getah bening. Kemudian memasuki ductus thoracicus. Kemudian kuman masuk dalam saluran darah (bacterimia) timbul gejala dan sampai ke hati, limpa, sumsum tulang, ginjal dan lainlain.
Selanjutnya
di
organ
tubuh
tersebut
Samonella
sp.
berkembang biak (Julius,1990). 3. Bakterimia (septikimia) dapat ditemukan pada demam tifoid dan infeksi Salmonella non-typhi. Adanya Salmonella dalam darah beresiko tinggi terjadinya infeksi. Gejala yang menonjol adalah panas dan bakterimia intermiten (Karsinah et al, 1994) . Dan timbul kelainan-kelainan local pada bagian tubuh misalnya osteomielitis, pneumonia, abses paru-paru, meningitis dan lain-lain. Penyakit ini tidak menyerang usus dan biakan tinjanya negatif (Julius,1990). 4. Carier yang asomatik adalah semua individu yang terinfeksi Salmonella sp. akan mengekskresi kuman dalam tinja untuk jangka waktu yang bervariasi disebut carrier convalesent, jika dalam 2-3 bulan penderita tidak lagi mengekskresi Salmonella. Dan jika dalam 1 tahun penderita masih mengekskresi Salmonella disebut carrier kronik (Karsinah et al, 1994).
8
2.2 Demam Tipoid Demam tipoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan disebabkan oleh S. typhi. Demam pararifoid adalah penyakit sejenis yang disebabkan oleh S. paratyphi A, B dan C keduanya termasuk demam enterik. Gejala keduanya sama namun demam paratifoid lebih ringan (Widoyono,2008). Sejarah demam tifoid pada tahun 1813 Breteneu pertama kali melaporkan tetang klinis dan anatomis demam tifoid. Kemudian Cornwalls Hewett (1826) melaporkan perubahan patologisnya. Selanjutnya seorang ilmuan dari prancis bernama Piere Louis (1829) memberikan nama typhos berasal dari bahasa yunani yang artinya asap (kabut) karena penderita sering disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai berat (Rampengan,1993). Demam tifoid penularannya melalui air dan makanan dinyatakan oleh Gaffky dan berhasil membiakan S. typhi pada media kultur pada tahun 1884 (Widoyono,2008). Selanjutnya seorang ilmuan bernama A.pfeifer berhasil menemukan Salmonella sp. di feses penderita, kemudian pada urin oleh Hueppe dan dalam darah oleh R.Neuhausss. Pada waktu bersamaan Widal (1896) berhasil memperkenalkan diagnosis demam tifoid (Rampengan,1993).
9
2.2.1 Patogenesis dan Gejala Klinik Demam tifoid disebabkan oleh S. typhi, dan demam paratifoid disebabkan S paratyphi A, B, dan C. Kuman yang masuk melalui mulut masuk kedalam lambung kemudian ke usus halus di bagian proksimal. Melakukan penetrasi kedalam sel epitel mukosa, selanjutnya masuk ke kelenjar getah bening regional mesentrium dan terjadi bakterimia. S. typhi sampai ke hati, limpa, sum-sum tulang dan gijal. Di organ-organ tersebut S. typhi difagosit dan disini S. typhi memperbanyak diri tidak terpengaruh oleh antibodi pada penderita. Setelah periode multiplikasi intraseluler, organisme akan dilepaskan lagi ke aliran darah (bakterimia kedua) menyebabkan panas tinggi. S. typhi bila masuk ke kantung empedu dan plaque Peyer akan terjadi radang. Maka terjadi nekrosis jaringan secara klinik ditandai kholesistis nekrotikans dan pendarahan. Diagnosis kultur tinja akan positif dan menyababkan carrier kronik. Masa inkubasi demam tifoid umumnya 1-2 minggu paling singkat 3 hari dan paling lama 2 bulan. Gejalanya demam tinggi pada minggu ke-2 dan ke-3. Gejala lain yang sering ditemukan nyeri otot, sakit kepela, batuk dan lain-lain. Selain itu dapat dijumpai adanya bradikardia relatif, pembesaran hati dan limpa, bintik Rose sekitar umbilikus. Kemudian terjadi komplikasi antar lain hepatitis dan pendarahan pada usus. Terjadi setelah 1-3 minggu setelah pengobatan dihentikan (Karsinah et al, 1994).
10
2.2.2 Diagnosis Demam Tifoid Diagnosis demam tifoid ada beberapa metode yaitu diagnosis klinik, diagnosis mikrobiolgik (kultur) dan diagnosis serologik. Yang merupakan pemeriksaan atau diagnosis gold standart demam tifoid dengan diagnosis mikrobiologik yaitu kultur darah, faeses, urin dan sum-sum tulang penderita demam tifoid (Karsinah et al, 1994). Berikut beberapa pemeriksaan laboratorium :
a. Pemeriksaan Mikrobiologi (kultur) Metode diagnosis mikrobiologik atau kultur merupakan gold standart untuk diagnosis demam tifoid. Spesifikasinya lebih dari 90% pada penderita yang belum diobati, kultur darahnya positif pada minngu pertama. Jika sudah diobati hasil positif menjadi 40% namun pada kultur sum-sum tulang hasil positif tinggi 90%. Pada minggu selanjutnya kultur tinja dan urin meningkat yaitu 85% dan 25%, berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Selama 3 bulan kultur tinja dapat positif kira-kira 3% karena penderita tersebut termasuk carrier kronik. Carrier kronik sering terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak dan lebih sering pada wanita daripada laki-laki (Karsinah et al., 1994).
11
b. Pemeriksaan Klinik (darah) a. Hitung lekosit total pada demam tifoid menunjukkan lekopenia, kemungkinan 3.000 sampai 8.000 per mm kubik. b. Hitung jenis lekosit : Kemungkinan limfositosis dan monositosis (Julius,1990) . c. Pemeriksaan Serologi 1. Widal test Merupakan uji yang medeteksi anti bodi penderita yang timbul pada minggu pertama. Uji ini mengukur adanya antibodi yang ditimbulkan oleh antigen O dan H pada Salmonella sp. (Julius, 1990). Hasil bermakna jika hasil titer O dan H yaitu 1:160 atau lebih (Jawezt et al, 2008). Sebagian besar
rumah
sakit
di
Indonesia
menggunakan
uji
widal
untuk
mendiagnosis demam tifoid (Muliawan et al, 1999) 2. IDL Tubex® test Tubex® test pemeriksaan yang
sederhana dan cepat. Prinsip
pemeriksaannya adalah mendeteksi antibodi pada penderita. Serum yang dicampur 1 menit dengan larutan A. Kemudian 2 tetes larutan B dicampur selama 12 menit. Tabung ditempelkan pada magnet khusus. Kemudian pembacaan hasil didasarkan pada warna akibat ikatan antigen dan antibodi. Yang akan menimbulkan warna dan disamakan dengan warna pada magnet khusus (WHO, 2003).
12
3. Typhidot® test Uji serologi ini untuk mendeteksi adanya IgG dan IgM yang spesifik untuk S. typhi. Uji ini lebih baik dari pada uji Widal dan merupakan uji Enzyme Immuno Assay (EIA) ketegasan (75%), kepekaan (95%). Studi evaluasi juga menunjukkan Typhidot-M® lebih baik dari pada metoda kultur.
Walaupun
kultur
merupakan
pemeriksaan
gold
standar.
Perbandingan kepekaan Typhidot-M® dan metode kultur adalah >93%. Typhidot-M® sangat bermanfaat untuk diagnosis cepat di daerah endemis demam tifoid (WHO, 2003). 4. IgM dipstick test Pengujian IgM dipstick test demam tifoid dengan mendeteksi adanya antibodi yang dibentuk karena infeksi S. typhi dalam serum penderita. Pemeriksaan IgM dipstick dapat menggunakan serum dengan perbandingan 1:50 dan darah 1 : 25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada suhu kamar. Kemudian dibilas dengan air biarkan kering.. Hasil dibaca jika ada warna berarti positif dan Hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil 1+, 2+, 3+ atau 4+ jika positif lemah (WHO, 2003).
13
2.2.3
Epidemiologi Demam Tifoid Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik, bersifat
endemis dan merupakan masalah kesehatan di Negara berkembang seperti di Indonesia. Terutama dari golongan masyarakat dengan standar hidup dan kebersihannya rendah (Muliawan et al, 1999). Angka kejadian demam tifoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 0,7% sampai1% menurut data Depkes tahun 1985 (Karsinah et al, 1994). Makanan dan minuman yang terkontaminasi merupakan transmisi Salmonella sp khususnya S. typhi, carrier pada manusia adalah sumber infeksi. S. typhi bias berada di air, es, debu, sampah kering, dan bila masuk kedalam vehicle yang cocok misalnya daging, kerang dan sebagainya. S. typhi akan berkembangbiak mencapai dosis infektif. Maka perlu diperhatikan faktor kebersihan lingkungan, pembuangan sampah, cara memasak air dan bahan makanan secara benar untuk pencegahan Salmonellosis terutama demam tifoid (Karsinah et al, 1994).
14