BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Tifus abdominalis Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disebabkan oleh Salmonella typhi.14 Tifus abdominalis adalah salah satu penyakit menular yang biasanya ditemukan di daerah beriklim tropis. Penyakit ini merupakan penyakit umum yang terjadi di seluruh dunia tetapi saat ini sudah jarang terjadi di banyak negara maju. Tifus abdominalis atau Demam Tifoid atau Demam enterik awalnya diambil dari nama seorang koki asal Irlandia, Mary Mallon disebut sebagai Typhoid Mary. Penyakit tersebut menjadi terkenal karena kasus carrier yang dibawanya menyebabkan terjadinya banyak kematian dan KLB tifoid di Amerika Serikat pada awal tahun 1900-an.2
2.2. Etiologi15 Tifus abdominalis disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. S. typhi merupakan bakteri berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella. Bakteri ini dapat bertahan hidup pada pembekuan selama beberapa minggu namun mati pada pemanasan dengan suhu 54,4oC selama 1 jam dan 60oC selama 15 menit.
Universitas Sumatera Utara
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:14,16 a. Antigen O (Antigen dinding sel/ somatik) yang terletak pada lapisan luar tubuh bakteri. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan tehadap formaldehid. b. Antigen H (Antigen flagella) yang merupakan komponen protein dan berada dalam flagella. Antigen ini tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan tehadap panas dan alkohol. c. Antigen Vi (Virulen) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel. Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga macam antibodi yang biasa disebut aglutinin.
2.3. Patogenesis17,18,19 Masa inkubasi Tifus abdominalis umumnya 10-20 hari. Inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari. Masa inkubasi ini bergantung pada jumlah bakteri yang tertelan dan faktor host. Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Setelah bakteri masuk ke saluran pencernaan manusia dan sampai di lambung maka timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu dengan adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Keadaan asam lambung tersebut menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar bakteri akan mati dengan cepat sedangkan sebagian bakteri yang tidak mati akan mencapai usus
Universitas Sumatera Utara
halus. Selain itu, adanya bakteri anaerob di usus juga menghalangi pertumbuhan bakteri dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan asam. Apabila bakteri mampu mengatasi mekanisme pertahanan tubuh maka bakteri akan melekat pada permukaan usus. Kemudian bakteri akan menembus ke epitel usus, selanjutnya berkembang biak dan akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian, Salmonella typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul bakteri. Bakteri masuk ke dalam peredaran darah melalui pembuluh limfe usus halus hingga mencapai organ hati dan limpa. Bakteri yang tidak dihancurkan akan berkembang biak di dalam hati dan limpa sehingga terjadi pembesaran pada organ-organ tersebut disertai rasa nyeri pada perabaan. Kemudian bakteri Salmonella typhi masuk kembali ke dalam peredaran darah (bakteriemia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus menimbulkan tukak. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Jika demikian keadaannya maka kotoran dan air seni penderita akan mengandung S. typhi yang siap menginfeksi orang lain melalui makanan ataupun minuman yang dicemari. Pada penderita yang tergolong carrier, bakteri dapat terus menerus berada di kotoran dan air seni sampai bertahun-tahun. Oleh karena itu, apabila bakteri S. thypi masuk ke dalam saluran cerna maka bakteri tersebut akan masuk ke dalam saluran darah dan tubuh akan merespon dengan menunjukkan beberapa gejala seperti demam.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Epidemiologi Tifus abdominalis 2.4.1. Distribusi dan Frekuensi a. Orang Tifus abdominalis menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata insidensi antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan umur, proporsi penderita Tifus abdominalis lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada sebagian besar orang dewasa mengalami infeksi ringan dan akan sembuh dengan sendirinya serta akan kebal pada serangan berikutnya.17,18 Menurut penelitian Simanjuntak, C.H (1989) di Paseh, Jawa Barat sebesar 77% penderita Tifus abdominalis terdapat pada usia 3-19 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 10-15 tahun dengan insidens rate 687,9 per 100.000 penduduk, insidens rate pada umur 0-3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.20 Menurut Noer, Syaifoellah (1996), kasus Tifus abdominalis tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-30 tahun sebesar 70-80%, pada umur 31-40 tahun sebesar 10-20%, dan lebih dari 40 tahun sebesar 5-10%.21 Menurut penelitian Rohman (2000) di Rumah Sakit Ibu Roemani Semarang, penderita Tifus abdominalis terdapat kelompok umur 15-24 tahun (28%), kelompok umur 5-14 tahun (27%), kelompok umur 24-34 tahun (13%) sedangkan kasus yang terendah terjadi pada kelompok umur 55-64 tahun (1%).22 b. Tempat dan Waktu Tifus abdominalis tersebar di seluruh dunia. Penyebarannya tidak dipengaruhi keadaan iklim, tetapi banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis.3 Pada tahun 2000, insidens rate Tifus abdominalis di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia,
Universitas Sumatera Utara
Tifus abdominalis ditemukan sepanjang tahun. Insidensi rate Tifus abdominalis di Jakarta Utara tahun 2001 sebesar 610 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.23 2.4.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi (Determinan) a. Faktor Host Manusia merupakan sumber penularan Salmonella typhi. Terjadinya penularan karena kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita Tifus abdominalis atau carrier kronis. Transmisi bakteri Salmonella terutama masuk bersama makanan atau minuman yang tercemar kotoran manusia. Selain itu, transmisi secara kongenital dapat terjadi secara transplasental dari seorang ibu yang mengalami bakterimia (beredarnya bakteri dalam darah) kepada bayi dalam kandungan atau tertular saat dilahirkan dari seorang ibu yang merupakan carrier Tifus abdominalis dengan rute fekal oral. Seseorang yang telah terinfeksi Salmonella typhi dapat menjadi carrier kronis dan mengekspresikan mikroorganisme selama beberapa tahun.24 Kasus Mary Mallon merupakan salah satu kasus yang membuktikan bahwa bukan hanya formite yang dapat menjadi media penyebaran penyakit. Hasil penyelidikan George Soper (1900) mengatakan bahwa perhatian khusus perlu diberikan pada carrier tifus kronik yang menyebabkan dan menyebarkan penyakit.2 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lubis, R (2000) di RSUD DR. Soetomo Surabaya dengan desain case control, menemukan bahwa kejadian Tifus abdominalis beresiko 20,8 kali lebih besar (OR) pada orang dengan higiene perorangan yang kurang.25 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control mengatakan bahwa kebiasaan jajan diluar
Universitas Sumatera Utara
mempunyai resiko 3,65 lebih besar terkena penyakit Tifus abdominalis pada anak dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko lebih besar terkena penyakit Tifus abdominalis dengan Ods Ratio sebesar 2,7.26 b. Faktor Agent Tifus abdominalis disebabkan oleh Salmonella typhi. Bakteri ini hanya dapat menginfeksi tubuh manusia. Jumlah Salmonella typhi yang tertelan akan mempengaruhi masa inkubasi, semakin banyak bakteri yang tertelan maka akan semakin singkat masa inkubasi Tifus abdominalis.27 c. Faktor Environment Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis terutama daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higiene dan sanitasi yang rendah. Penyebaran penyakit akan semakin meningkat apabila disertai dengan kondisi tepat tinggal yang tidak sehat, kepadatan penduduk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.28 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lubis, R (2000) di RSUD DR. Soetomo Surabaya dengan desain case control, menemukan bahwa kejadian Tifus abdominalis beresiko 6,4 kali lebih besar (OR) pada kualitas air minum yang tercemar coliform25. 2.5. Sumber Penularan Ada dua sumber penularan dari Salmonella typhi, yaitu:17 2.5.1. Penderita Tifus abdominalis Yang menjadi sumber utama infeksi Tifus abdominalis adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam masa penyembuhan. Pada masa
Universitas Sumatera Utara
penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya. 2.5.2. Karier Tifus abdominalis Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca Tifus abdominalis, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita Tifus abdominalis yang telah sembuh setelah 2-3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feses atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan. Pada Tifus abdominalis sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.29 Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis:2, 30 a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit Poliomyelitis, Hepatitis B dan Meningococcus. b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit Cacar air, Campak dan virus Hepatitis. c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit menular tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok Salmonella, Hepatitis B dan pada Difteri. d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit Tifus abdominalis dan Hepatitis B. 2.6. Gejala Klinis14, 31, 32 Gejala-gejala yang timbul sangat bervariasi. Perbedaan tersebut tidak saja antara berbagai bagian dunia tetapi juga di daerah dari waktu ke waktu. Gambaran penyakit juga bervariasi mulai dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Pada minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala pada saat masuk rumah sakit hampir sama dengan infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, nyeri otot, badan lesu, anoreksia, mual, muntah serta diare. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu tubuh. Suhu tubuh meninggi secara bertingkat dari suhu normal sampai mencapai 38-40oC. Suhu tubuh lebih tinggi pada sore hari dan malam hari dibandingkan pada pagi hari. Demam tinggi biasanya disertai nyeri kepala hebat yang menyerupai gejala meningitis. Pada saluran pencernaan terjadi gangguan seperti bibir kering dan pecah-pecah, lidah terlihat kotor dan ditutupi selaput putih (coated tongue). Terjadi juga reaksi mual berat sampai muntah. Hal ini disebabkan bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hati dan limpa. Selanjutnya terjadi pembengkakan yang menekan lambung hingga menimbulkan rasa mual. Mual yang berlebihan menyebabkan makanan tidak dapat masuk secara sempurna dan biasanya keluar melalui mulut. Pada beberapa kasus Tifus abdominalis, penderita disertai dengan gejala diare. Namun dalam beberapa kasus lainnya penderita
Universitas Sumatera Utara
mengalami konstipasi (sulit buang air besar). Gejala lain yang dapat dilihat dari penderita Tifus abdominalis berupa bintik-bintik di dada dan perut (rose spot) yang akan menghilang 2-5 hari. Setelah minggu kedua maka tanda-tanda klinis semakin jelas berupa demam remiten, hepatomegali (pembesaran hati), splenomegali (pembesaran limpa) meteorismus (perut kembung), dan dapat disertai gangguan kesadaran ringan sampai berat. Dalam minggu ketiga apabila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai menurun. Meskipun demikian, pada stadium ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung terjadi akibat lepasnya kerak dari ulkus. Jika keadaan penderita memburuk maka akan terjadi tanda-tanda yang khas berupa delirium atau stupor, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin diikuti peningkatan tekanan abdomen serta nyeri perut. Apabila denyut nadi penderita semakin meningkat disertai peritonitis lokal maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus, penderita akan mengalami kolaps. Sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita Tifus abdominalis pada minggu ketiga. Pada minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Diagnosis Ada dua cara untuk mendiagnosis penyakit Tifus abdomianalis yaitu secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis klinis sering tidak tepat karena gejala klinis khas Tifus abdominalis tidak ditemukan atau gejala yang sama terdapat pada penyakit lain.30 Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan laboratrium untuk membantu menegakkan diagnosis Tifus abdominalis. 2.7.1. Pemeriksaan Darah Tepi Diagnosis Tifus abdominalis dengan pemeriksaan darah tepi akan mendapatkan gambaran lekopenia dan limfositosis relatif pada permulaan sakit. Disamping itu, pada pemeriksaan ini kemungkinan terdapat anemia dan trombositopenia ringan.18 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita Tifus abdominalis atau bukan. Akan tetapi, adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis Tifus abdominalis.33 2.7.2. Pemeriksaan Bakteriologis Diagnosis pasti Tifus abdominalis dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.34 Berkaitan dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.15 Hasil biakan yang positif dapat memastikan Tifus abdominalis akan tetapi hasil negatif belum tentu tidak menderita Tifus abdominalis karena tergantung pada
Universitas Sumatera Utara
beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan antara lain; penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.34 2.7.3. Pemeriksaan Serologis13,34, 35 Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis Tifus abdominalis dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada Tifus abdominalis ini meliputi : (a) uji Widal; (b) tes TUBEX®; dan (c) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). a. Uji Widal Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita Tifus abdominalis. Teknik aglutinasi uji Widal dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Pada umumnya uji hapusan lebih sering dipakai
Universitas Sumatera Utara
karena hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit dibandingkan uji tabung yang membutuhkan waktu inkubasi satu malam. Namun demikian uji Widal memiliki kelemahan seperti rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil sehingga membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita Tifus abdominalis. Pemberian antibiotika sebelum pengambilan serum dapat memberikan hasil negatif palsu sedangkan kesamaan antigen O dan H yang dimiliki S. typhi dengan salmonella lain, bahkan kesamaan epitop dengan Enterobactericeae lain dapat menyebabkan hasil positif palsu. Hingga saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaat test Widal masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal harus ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi. Meskipun pemeriksaan Widal memiliki banyak keterbatasan namun pemeriksaan ini masih dianjurkan untuk dilakukan karena proses pengerjaannya cepat, tidak membutuhkan instrumental dan relatif murah. Di lndonesia, besar titer antibodi yang bermakna untuk diagnosis Tifus abdominalis belum terdapat kesesuaian. Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa standar nilai uji Widal untuk diagnosis Tifus abdominalis didasarkan pada prosedur yang digunakan di masing-masing rumah sakit atau laboratorium. Widodo.D, dkk melakukan studi cross sectional pada 300 responden sehat di 5 kecamatan di wilayah DKI Jakarta tahun 2006 dimana sebagian besar responden memberikan hasil seropositif pada pemeriksaan serologi Widal S. typhi O (55,7%), H (78%). Terdapat 1,3% responden sehat dengan titer S. typhi O > 1/160, 7,7%
Universitas Sumatera Utara
responden dengan titer H > 1/320. Tidak ada responden yang memiliki titer S. parathypi A O dan C O > 1/ 160. Hanya sebagian kecil responden sehat yang memiliki titer S. parathypi B O > 1/160 (1,34%), A H > 1/320 (5,33%), B H > 1/320 (2,67%), S. paratyphi C H > 1/320 (0,66%). Karena itu, berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa cut off terbaik uji Widal satu kali untuk diagnosis demam tifoid dan uji Widal S.paratyphi di Jakarta adalah > 1/160 untuk titer O dan > 1/320 untuk titer H. Penetapan nilai uji Widal positif yang digunakan di RSU Dr. F.L . Tobing Sibolga yaitu apabila ditemukan gejala Tifus abdominalis dengan didukung titer ≥ 1/80 untuk anti-O atau ≥ 1/160 untuk anti-H sedangkan apabila titer O dan H menujukkan nilai 1/320 atau lebih pada satu kali pemeriksaan maka dinyatakan adanya infeksi aktif pada penderita atau penderita pernah divaksinasi.13 b.
Tes TUBEX® Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitain oleh Olsen,Sonja et al, 2004 menyebutkan perbedaan antara tes TUBEX dan uji Widal yaitu sensitivitas (78/64), spesifisitas (94/76). Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal karena memiliki keunggulan yang lebih baik daripada tes Widal dan dapat menutupi kelemahan tes Widal.
Universitas Sumatera Utara
c. Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9. Antigen ini mampu membedakan organisme ini >99% dari serotype bakteri salmonella yang lain, sehingga tes ini sangatlah spesifik terhadap salmonella serotype thypi. Tes diagnostik ELISA memiliki keunggulan dari tes lainnya karena uji ini dapat digunakan p a d a f a s e a k u t d a n memiliki nilai yang akurat dengan hanya satu kali pemeriksaan serta memiliki sensitifitas dan spesififitas yang jauh lebih baik daripada uji Widal. Adapun kelemahan uji ELISA antara lain dilakukan dengan sistem multis t e p , m e n g g u n a k a n enzim konjugat dan proses pembacaan sampel menggunakan media elektronik sehingga harga uji ini menjadi mahal. Penelitan yang dilakukan oleh Lim et al, 1998 yangmembandingkan antara tes TUBEX dengan ELISA didapatkan bahwa TUBEX memiliki hubungan yang sangat baik dengan ELISA yang mendeteksi anti-LPS s.typhi (p = 0,003). Hal ini dikarenakan kedua tes tersebut menggunakan antigen dan mendeteksi antibody Ig M yang sama. Oleh karenaitu, kedua tes ini memiliki sensitivitas (100% / 100%) dan spesifisitas (100% / 96.9%) yang sama-sama tinggi..
Universitas Sumatera Utara
2.8.Komplikasi Komplikasi Tifus abdominalis dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:14, 17 2.8.1. Komplikasi Intestinal a. Perdarahan usus Terjadi pada 10-15%, sekitar 25% penderita Tifus abdominalis dapat mengalami perdrahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok tetapi bisa sembuh dengan sendirinya. b. Perforasi usus Terjadi pada sekitar 1-5% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga, tetapi dapat terjadi pada minggu pertama. Penderita Tifus abdominalis dengan perforasi usus mengeluh nyeri perut yang hebat dapat disertai dengan tekanan darah turun nadi bertambah cepat bahkan sampai syok. 2.8.2. Komplikasi Ekstraintestinal a. Komplikasi kardiovaskuler: miokarditis, trombosis, tromboflebitis, syok b. Komplikasi hematologi: anemia hemolitik, koagulasi intravaskuler diseminata (KID), trombositopenia, c. Komplikasi respirasi: bronkitis, pneumonia, empiema, dan pleuritis. d. Komplikasi neuropsikiatri: delirium, ensefalopati, psikotik, meningitis, gangguan koordinasi. e. Komplikasi tulang: osteomielitis, periositis dan arthritis f. Komplikas hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistitis
Universitas Sumatera Utara
g. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis 2.9. Pencegahan Adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit Tifus abdominalis. Pencegahan terdiri dari beberapa tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.30 2.9.1. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tidak sakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor risikonya.2 Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan, mengonsumsi makanan sehat untuk meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).35, 36 2.9.2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan untuk menemukan kasus secara dini, pengobatan bagi penderita dengan tepat serta mengurangi akibat-akibat yang lebih serius. Pencegahan sekunder dapat berupa: a. Pencarian penderita maupun carrier secara dini melalui peningkatan usaha surveilans Tifus abdominalis.
b. Perawatan
Universitas Sumatera Utara
Penderita Tifus abdominalis perlu dirawat yang bertujuan untuk isolasi dan pengobatan. Penderita harus tetap berbaring sampai minimal 17 hari demam atau kurang lebih 14 hari. Keadaan ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu- waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil pada penderita Tifus abdominalis perlu diperhatikan karena dapat terjadi konstipasi dan retensi air kemih.21 c. Diet Penderita Tifus abdominalis sebaiknya mengonsumsi makanan yang cukup cairan, berkalori, tinggi protein, lembut dan mudah dicerna seperti bubur nasi. Pemberian makanan tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus dan perforasi usus karena usus perlu diistirahatkan. Tidak dianjurkan mengonsumsi bahan makanan yang mengandung banyak serat dan mengahasilkan banyak gas. Pemberian susu dilakukan 2 kali sehari. Jenis makanan untuk penderita dengan kesadaran menurun adalah makanan cair yang dapat diberikan melalui pipa lambung. Untuk penderita dengan komplikasi perforasi usus, tidak dianjurkan makanan yang dapat mengiritasi lambung seperti makanan pedas dan asam.2 2.9.3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah upaya untuk mengurangi keparahan atau komplikasi penyakit yang sudah terjadi. Apabila penderita Tifus abdominalis telah dinyatakaan sembuh, sebaiknya tetap menjaga kesehatan dan kebersihan sehingga
Universitas Sumatera Utara
daya tahan tubuh dapat pulih kembali dan terhindar dari
infeksi ulang Tifus
abdominalis. Disamping itu, penderita tersebut harus melakukan pemeriksaan serologis sebulan sekali untuk mengetahui keberadaan Salmonella typhi di dalam tubuh.35 2.10.
Kerangkan Konsep
Karakteristik Penderita Tifus abdominalis
1. Sosiodemografi : Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Status Perkawinan Tempat Tinggal
2. Gejala klinis sewaktu masuk 3. Status komplikasi 4. Jenis komplikasi 5. Lama rawatan rata-rata 6. Keadaan sewaktu pulang 7. Sumber pembiayaan 8. Hasil diagnostik uji titer antibodi O 9. Hasil diagnostik uji titer antibodi H
Universitas Sumatera Utara
2.11.
Definisi Operasional
2.11.1. Penderita Tifus abdominalis adalah pasien yang datang dengan keluhan demam tinggi, sakit kepala, muntah, mual, bintik-bintik merah di dada serta adanya gangguan pencernaan dan berdasarkan diagnosa dokter serta hasil pemeriksaan laboratorium dinyatakan menderita Tifus abdominalis dan telah dirawat inap sesuai dengan yang tertulis di kartu status. 2.11.2. Sosiodemografi penderita Tifus abdominalis dibedakan atas: a. Umur adalah usia penderita Tifus abdominalis rawat inap sesuai dengan yang tertulis di kartu status, menggunakan rumus Sturgest dikategorikan atas:2 1. <1 tahun 2. 1-10 tahun 3. 11-20 tahun 4. 21-30 tahun 5. 31-40 tahun 6. 41-50 tahun 7. 51-60 tahun 8. 61-70 tahun 9. 71-80 tahun Untuk analisa statistik, umur dikategorikan atas:21 1. ≤ 12 tahun 2. 12-30 tahun 3. > 30 tahun b. Jenis kelamin adalah ciri khas tertentu yang dimiliki penderita Tifus abdominalis sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas: 1. Laki-laki 2. Perempuan
Universitas Sumatera Utara
c. Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh atau yang sedang dijalani oleh penderita Tifus abdominalis sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas: 1. 2. 3. 4. 5.
Belum sekolah SD SLTP SLTA Akademi/ Perguruan Tinggi
d. Pekerjaan adalah kegiatan rutin dan utama yang dilakukan penderita Tifus abdominalis sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Belum bekerja Pelajar/ mahasiswa Nelayan PNS/TNI-POLRI Pegawai swasta Wiraswasta Ibu Rumah Tangga Pensiunan
e. Status Perkawinan adalah keterangan yang menunjukkan riwayat pernikahan penderita Tifus abdominalis sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas: 1. Kawin 2. Belum kawin f. Tempat Tinggal adalah daerah dimana penderita Tifus abdominalis tinggal menetap sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas: 1. Kota Sibolga 2. Luar Kota Sibolga
Universitas Sumatera Utara
2.11.3. Gejala klinis adalah keadaan penderita Tifus abdominalis saat masuk ke rumah sakit yang merupakan manifestasi dari infeksi Salmonella typhi sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas: 1. Demam 2. Sakit kepala 3. Sakit perut 4. Mual 5. Muntah 6. Anoreksia 7. Lidah kotor 8. Konstipasi 9. Diare 10. Batuk 11. Perut kembung 12. Badan lemah 13. Sesak nafas 14. Mimisan 15. Gangguan kesadaran 2.11.4. Status komplikasi adalah keterangan mengenai ada tidaknya komplikasi pada penderita Tifus abdominalis sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas:14,17 1. Tanpa komplikasi 2. Dengan komplikasi 2.11.5. Komplikasi Tifus abdominalis adalah manifestasi klinis yang timbul sebagai penyulit bagi penderita Tifus abdominalis sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas: 1. 2. 3. 4. 5.
Perforasi usus Komplikasi hematologi Komplikasi respirasi Komplikasi neuropsikiatri Komplikas hepar dan kandung empedu
Universitas Sumatera Utara
2.11.6. Lama rawatan rata-rata adalah lama hari rawatan penderita Tifus abdominalis dihitung dari tanggal masuk sampai dengan keluar sesuai dengan yang tertulis di kartu status. 2.11.7. Keadaan sewaktu pulang adalah kondisi penderita Tifus abdominalis sewaktu keluar dari rumah sakit sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas: 1. Pulang berobat jalan 2. Pulang atas permintaan sendiri 3. Meninggal 2.11.8. Sumber biaya adalah asal biaya rawatan penderita Tifus abdominalis dihitung dari mulai masuk rumah sakit sampai dengan keluar sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas: 1. Biaya sendiri 2. Bukan biaya sendiri 2.11.9. Hasil diagnostik laboratorium uji titer antibodi O adalah hasil pemeriksaan laboratorium penderita Tifus abdominalis berdasarkan uji titer antibodi O sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas:34 1. 1/80 2. 1/160 3. 1/320 2.11.10 Hasil diagnostik laboratorium uji titer antibodi H adalah hasil pemeriksaan laboratorium penderita Tifus abdominalis berdasarkan uji titer antibodi H sesuai dengan yang tertulis di kartu status, dikategorikan atas:34 1. 2. 3.
1/80 1/160 1/320
Universitas Sumatera Utara