BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anjing Anjing merupakan salah satu mamalia karnivora yang memiliki berbagai peran dalam kehidupan manusia. Anjing diperkirakan telah menghuni bumi jutaan tahun yang lalu. Diduga bahwa anjing pertama kali hidup di Asia atau Eurasia, kemudian berpindah dari satu benua ke benua lain terutama ke Benua Amerika ketika daratan Eurasia belum terpisah dengan daratan Amerika. Bukti keberadaan anjing di Indonesia pada jaman dulu dapat dilihat di situs purbakala Gilimanuk, Provinsi Bali. Di tempat ini dapat ditemukan tulang belulang anjing selain penemuan tulang belulang manusia (Puja, 2011). Anjing diperkirakan di daerah Timur Tengah merupakan tempat pertama kali proses domestikasi serigala. Dugaan tersebut didukung dengan penemuan arkeologi yang menunjukkan bahwa manusia bermigrasi ke Eropa pada masa Neolitikum (kurang lebih 8000 tahun yang lalu) (Puja, 2011). Menurut Budiana (2006), anjing telah didomestikasi dari serigala sejak 10.000 hingga 15.000 tahun yang lalu. Melalui proses domestikasi tersebut berkembanglah ratusan ras dengan berbagai variasi. Anjing merupakan hewan yang menyenangkan untuk dijadikan teman karena merupakan hewan yang setia dan jujur. Kemampuan penciuman serta pendengaran yang baik sehingga dapat dimanfaatkan apabila dapat mendidiknya
7
8
dengan baik (Dharmawan, 2009). Beberapa alasan orang memelihara anjing adalah sebagai teman, kesenangan, kebanggaan (prestige), dan tambahan aktivitas (Budiana, 2006). Kebanyakan ahli cenderung memperkirakan Canis lupus merupakan nenek moyang anjing yang ada pada saat ini. Hal ini didasarkan atas berbagai kesamaan yang dimiliki anjing dengan serigala. Ciri mendasar yang menjadi persamaan yaitu, karakteristik ekornya, periode kebuntingan yang sama, memiliki sifat membatasi wilayah, hidup berkelompok, dan penyakit serta parasit yang dijumpai umumnya sama. Perbedaan yang mencolok antara anjing serigala terletak pada sifat yang liar dan galak dari serigala. Sedangkan, anjing yang telah didomestikasi mempunyai sifat yang jinak (Puja, 2011). Klasifikasi ilmiah berdasarkan penjelasan dari Wikipedia Indonesia. (Dharmawan, 2009), yaitu: Kingdom
: Animalia
Subkingdom
: Eumetazoa
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Subclass
: Theria
Ordo
: Carnivora
Subordo
: Caniformia
9
Subfamily
: Caninae
Tribe
: Canini
Genus
: Canis
Species
: Canis lupus
Subspecies
: Canis lupus familiaris
2.2 Anjing Kintamani Bali Anjing Kintamani Bali berasal dari daerah pegunungan dan hutan di daerah Bangli, Provinsi Bali. Anjing Kintamani Bali merupakan anjing lokal pegunungan yang hidup di sekitar Kintamani dan dahulu dikenal dengan sebutan anjing gembrong (Bahasa Bali). Habitat aslinya di daerah sekitar Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Anjing Kintamani Bali dikategorikan sebagai plasma nutfah Indonesia, yang sangat berpotensi dikembangkan untuk tujuan komersial. Anjing Kintamani Bali merupakan satusatunya anjing asli Indonesia yang mempunyai penampilan menarik dan telah ditetapkan sebagai anjing ras pertama Indonesia oleh Perkin (Perkumpulan Kinologi Indonesia) pada tahun 2006 dan disahkan sebagai anjing ras pertama Indonesia oleh Asian Kennel Union (AKU) serta menjadi maskot fauna Kabupaten Bangli, Provinsi Bali yang merupakan suatu penghargaan yang tinggi untuk Anjing Kintamani Bali (Puja, 2007). Anjing Kintamani Bali merupakan satu–satunya anjing kuno (ancient dog) yang berada di Bali khususnya di Kintamani. Ada anggapan Anjing Kintamani
10
Bali merupakan persilangan antara anjing Chow-Chow yang berasal dari China dengan anjing lokal yang berada di Bali yang telah mengalami keragaman genetik (Puja et al., 2005). Catatan pasti tentang hubungan anjing Chow–Chow dengan Anjing Kintamani Bali tidak ada. Kajian ilmiah telah dilakukan mengenai asal-usul Anjing Kintamani Bali dari kajian anatomi sampai kajian molekuler. Kajian penampilan anatomi yang dilakukan menyatakan satu kelompok anjing dikatakan sama dengan kelompok lain bila memiliki kemiripan. Perbandingan morfologi Anjing Kintamani Bali dengan anjing geladak telah dilakukan dan berdasarkan kajian anatomi tersebut Anjing Kintamani Bali tidak memiliki hubungan kerabat dengan anjing geladak. Kajian molekuler dilakukan dengan menekankan kontinuitas genetik Anjing Kintamani Bali. Kajian ini telah dipublikasikan dalam Journal Heredity yang diterbitkan tahun 2005 di Amerika Serikat yang ditulis oleh Puja et al. yang membandingkan konstitusi gen Anjing Kintamani Bali dengan 18 ras anjing lainnya. Hasil kajian tersebut menyatakan Anjing Kintamani Bali berasal dari anjing geladak yang mengalami evolusi yang mengakibatkan hilangnya keragaman genetik (Puja, 2007). Anjing Kintamani Bali berpenampilan menarik dengan ukuran kecil sampai sedang. Tinggi Anjing Kintamani Bali jantan rata–rata 51,25 cm dengan berat badan rata–rata 15,09 kg. Ukuran tinggi anjing betina rata–rata 44,65 cm dengan berat badan rata–rata 13,24 kg (Puja, 2011). Anjing Kintamani Bali memiliki bentuk tubuh yang atletis, rambut indah, tebal, dan panjang utamanya di daerah
11
pundak, ekor, dan kaki belakang bagian belakang. Warna rambut Anjing Kintamani Bali adalah putih, hitam, coklat, dan campuran ketiganya. Terdapat 6 tipe rambut pada anjing. Tipe rambut Anjing Kintamani Bali antara bantle wavy sampai fine wavy. Bantle wavy adalah rambut halus yang lebih pendek serta lebih halus dibandingkan wavy hair dan paling banyak ditemukan di bawah wavy bristle hair. Fine wavy merupakan rambut yang lebih halus bergelombang kecil dan ditemukan di bawah rambut-rambut lain (Puja, 2007). Telinga Anjing Kintamani Bali berdiri tegak dan berbentuk segitiga dengan kekhasan pada ujungnya berwarna kemerahan. Ukuran kepala Anjing Kintamani Bali sangat proposional dengan ukuran tubuh dengan dahi yang lebar tanpa kerutan. Badan lurus dan kuat dengan rambut ekor tebal dan berbentuk bulan sabit (Puja, 2011). Anjing Kintamani Bali termasuk anjing yang pintar sehingga mudah untuk dilatih. Anjing Kintamani Bali memiliki indera penciuman yang tajam, kemampuan berenang yang baik dan dapat berlari dengan cepat. Anjing Kintamani Bali sangat baik dijadikan anjing ketangkasan (agility). Sifat Anjing Kintamani Bali tidak galak serta sangat loyal dengan pemiliknya sehingga juga sangat baik dijadikan anjing sahabat (companion) (Puja, 2011). 2.2.1 Standarisasi Anjing Kintamani Bali Di dunia dikenal ada tiga badan otoritas yang mengatur tentang masalah anjing yaitu, Federation Cynologique Internationale (FCI),
12
American Kennel Club (AKC) dan The Kennel Club. Masing–masing badan tersebut mengelompokkan anjing berdasarkan ketentuan yang dibuatnya sendiri. Menurut FCI, anjing dikelompokkan menjadi 10 grup. Masing–masing grup tersebut dikelompokkan kembali menjadi subgroup (section). Pembagian ini didasarkan pada penampilan secara umum dan kegunaan anjing tersebut (Puja, 2011). Sejak tahun 1980-an Anjing Kintamani Bali mendapat perhatian dan pada tahun 2006, Anjing Kintamani Bali ditetapkan oleh Perkin sebagai anjing ras pertama asli Indonesia. Berdasarkan buku “Anjing Kintamani Maskot Fauna Kabupaten Bangli” penetapan ini disertai dengan penetapan standar ras Anjing Kintamani Bali yang terdiri dari 15 butir, yaitu: 1.
Klasifikasi FCI Anjing Kintamani Bali berdasarkan pengelompokkan FCI berada pada Grup 5 yaitu, Spitz and Primitive Types (Spitz dan tipe primitif) dan pada Subgrup 5 (Asian Spitz dan Related Breeds). Spitz adalah sebutan untuk berbagai jenis anjing yang memiliki ciri khas bulu tebal dan panjang serta daun telinga kecil dan berdiri. Dalam Bahasa Jerman spitz berarti runcing atau tajam. Penampilan anjing pada grup ini juga cantik sehingga orang menangkar dan menjadikannya sebagai anjing peliharaan (Puja, 2011).
13
2.
Asal–Usul Anjing Kintamani Bali berasal dari Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, Indonesia.
3.
Kegunaan atau Manfaat Anjing Kintamani Bali digunakan oleh masyarakat sebagai anjing sahabat (companion dog).
4.
Penampilan Umum Anjing Kintamani Bali merupakan anjing yang berukuran sedang dengan proporsi anatomi yang kompak dan berpenampilan cantik. Rambut panjang, indah dan tebal, memiliki bulu badong dan bulu gumba yang panjang. Bulu Badong adalah kata yang berasal dari Bahasa Bali yang berarti rambut yang lebih panjang pada bagian belakang telinga, dan seputar leher. Bulu Gumba adalah kata yang berasal dari Bahasa Bali yang berarti rambut yang lebih panjang pada bagian pundak dan memanjang terus sampai ke belakang badan.
5.
Karakter atau Temperamen Anjing Kintamani Bali merupakan anjing dengan kepribadian baik, cerdas, mudah dilatih, tangkas, dan pemberani. Memiliki sifat yang waspada, setia pada pemiliknya, dan memiliki insting yang kuat.
14
6.
Kepala Kepala Anjing Kintamani Bali termasuk pada kategori kepala bersih (head clean), kepala bagian atas lebar, dahi, dan pipi datar dengan rahang besar dan kuat yang sesuai dengan ukuran kepala. Bagian tengkorak Anjing Kintamani Bali dilihat dari atas hampir berbentuk segitiga dengan panjang moncong setengah dari panjang kepala dan terdapat sedikit lekukan di bagian tengah. Hidung agak lebar dan berkembang dengan baik berwarna hitam atau coklat tua. Warna hidung dapat berubah lebih pucat sesuai dengan bertambahnya usia. Anjing Kintamani Bali memiliki gigi gunting dengan jumlah gigi di rahang atas 20 dan di rahang bawah 22. Bibir berwarna coklat kehitaman dengan lidah berbintik biru atau kebiruan seluruhnya. Mata berukuran sedang dan berbentuk oval. Warna mata hitam dan coklat dengan bulu mata berwarna putih. Telinga Anjing Kintamani Bali kuat dan tebal, berdiri tegak dengan daun telinga menghadap ke depan, berbentuk huruf V terbalik dengan ujung agak membulat.
15
Gambar 1. Proporsi Penting Anjing Kintamani Bali (Sumber: Perkin, 2014) 7.
Leher Anjing Kintamani Bali memiliki leher kuat dengan panjang sedang, sistem muskulus kuat, dan terbentuk dengan baik serta rambut tersusun dua lapis dan tebal.
8.
Badan Perbandingan tinggi dan panjang badan Anjing Kintamani Bali adalah 9:10. Anjing Kintamani Bali memiliki punggung yang lurus dengan dada lebar dan tulang dada yang mencapai siku pada kaki depan. Rusuk dari Anjing Kintamani Bali berbentuk oval.
16
Gambar 2. Standarisasi Bagian Wajah dan Badan (Sumber: Perkin, 2014) 9.
Ekor Ekor berdiri, berambut tebal, melingkar ke depan ke bagian tengah ke ujung, melingkar sedikit ke luar menyerupai ekor tupai.
10. Kaki Kaki depan lurus dan sejajar, jari–jari kuat, dan dapat mencengkram. Kaki belakang terlihat dari belakang sejajar dan dilihat dari samping agak lurus dengan sedikit adanya angulasi.
17
11. Langkah dan Pergerakan Langkah dan pergerakan Anjing Kintamani Bali lincah dan ringan. 12. Kulit Kulit Anjing Kintamani Bali berpigmen, coklat kehitaman pada daerah hidung, kelopak mata, skrotum, anus, palatum, bibir, dan telapak kaki. 13. Rambut Rambut Anjing Kintamani Bali terdiri dari warna putih spesifik, hitam, coklat, dan anggrek. Ekornya lebat dengan rambut bagian luar yang lebih panjang yang mengelilingi leher disebut “Badong”, membentuk rambut-rambut mewah seperti kerah baju pada leher. Rambut bagian luar yang lebih panjang, yang rambutnya terletak mulai dari pada pundak dan terus memanjang sampai ke bagian belakang badan disebut “Bulu Gumba”. “Badong” dan “Bulu Gumba” lebih terlihat pada anjing jantan daripada anjing betina. 14. Tinggi Badan dan Berat Badan Tinggi badan anjing jantan adalah
45-55 cm pada pundak
dengan berat badan ideal adalah 15 kg-17 kg. Tinggi badan anjing betina adalah 40-50 cm pada pundak dengan berat badan ideal adalah 13 kg-15 kg.
18
15. Kesalahan Fatal Setiap ketidaksesuaian dari butir-butir di atas harus dianggap kesalahan dan tingkat kesalahannya harus disesuaikan dengan tingkat ketidaksesuaiannya. Kesalahan fatal yaitu, ukuran badan kurang dari 40 cm atau melebihi 57 cm.
Gambar 3. Anjing Kintamani Bali (Sumber: Puja, 2007)
2.3 Kulit 2.3.1 Gambaran Umum Kulit Kulit atau dalam bahasa ilmiahnya integumentum communae merupakan organ terbesar dan terpenting dalam tubuh yang menutupi otototot dan organ–organ interna. Kulit beratnya dapat mencapai 24% dari
19
berat tubuh anak anjing dan mencapai 12–15% berat badan anjing dewasa. Kulit mencerminkan status kesehatan individu (Muller et al., 2001). Fungsi kulit (Muller et al., 2001) adalah: a. Memberikan proteksi terhadap lingkungan baik secara mekanis, kimia, penguapan air, radiasi, lingkungan yang hipertonik maupun hipotonik, dan bahan–bahan biologis lainnya. b. Mengatur suhu tubuh (termoregulator) karena pada kulit terdapat rambut, kelenjar keringat, dan pembuluh darah yang dapat membantu mengatur suhu tubuh. c. Indera perasa d. Organ ekskresi dan sekresi e. Tempat pembentukan vitamin D dan deposit lemak (subkutis)
Gambar 4. Struktur Kulit Anjing (Sumber: Wardhani and Franscisca, 2012)
20
Kulit terdiri dari tiga lapis (Muller et al., 2001), yaitu: 1. Epidermis Epidermis merupakan lapisan terluar dari kulit yang selalu tumbuh dan berganti. Regenerasi sel–sel kulit akan terus terjadi akibat pengikisan sel–sel luar dan akan diganti sel–sel lain yang matang dan bergerak ke atas untuk menggantikan sel yang rusak tersebut. Epidermis bervariasi dalam ketebalan. Epidermis mengalami proses keratinisasi (kornifikasi) dan dapat berdiferensiasi menjadi foot pads, teracak, dan lain–lain. Di daerah yang lebih terbuka, seperti kepala dan punggung, epidermis lebih tebal dibandingkan dengan daerah seperti ketiak dan perut. 2. Dermis Dermis terletak di profundal epidermis, mengambil posisi terbesar dari integument, dan menjadi pembentuk struktur kulit serta menjadi kekuatan kulit. Dermis terdiri dari dua lapisan utama, yaitu: a. Lapisan papilaris Lapisan papilaris ini tipis dan berbatasan dengan epidermis serta membentuk dermal papillae. b. Lapisan retikularis Lapisan retikularis ini tebal dibandingkan dengan lapisan papilaris.
21
Selain itu, terdapat juga unsur–unsur lain seperti pembuluh darah, limfe, dan saraf. Terdapat pula folikel rambut yang memproduksi rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebaceous, musculus arrector pilli (fungsinya untuk mengosongkan kelenjar sebaceous dan dalam termoregulasi), dan unsur-unsur pada lapisan ini diinervasi oleh Ramus communicans dari Nervus Simpatis. Folikel rambut dan kelenjar sebaceous lebih umum terdapat di bagian belakang dari perut. 3. Hypodermis (Subcutaneus) Lapisan tebal di profundal dermis dan berisi jaringan lemak, pembuluh darah, dan limfe. Di hypodermis ini terdapat Corpusculus Pacini (tekanan keras) dan Corpusculus Meissner (tekanan ringan). Hypodermis disusun oleh jaringan ikat sehingga tidak terjadi perlekatan dengan jaringan profundalnya sehingga kulit dapat bergerak bebas. Pada kulit terdapat rambut yang juga berfungsi melindungi tubuh dari lingkungan luar. Rambut yang tumbuh di kulit memiliki tiga struktur yaitu, scapus pilli, radix pilli, dan bulbus pilli. Sedangkan bagian–bagian rambut adalah kutikula (bagian terluar dan tipis), korteks (profundal kutikula dan mengandung sedikit pigmen), dan medulla (bagian paling dalam yang mengandung pigmen dan ruang-ruang udara). Kombinasi antara pigmen
22
pada korteks dan medulla mempengaruhi warna rambut (Muller et al., 2001). Tipe rambut anjing dewasa adalah tipe rambut kompleks. Rambut keluar dari scale–like fold surface. Terdapat dua jenis rambut dalam mantelnya yaitu, rambut primer dan sekunder. Rambut primer juga disebut penjaga rambut, rambut luar, guard hair atau mantel luar yang merupakan rambut panjang yang kaku dan berada di bagian luar. Rambut sekunder adalah rambut halus yang lebih pendek, rambut sekunder disebut juga dengan underfur dan berada di lapisan bawah. Rambut primer memiliki diameter yang lebih besar sedangkan, rambut sekunder memiliki diameter yang lebih kecil dan halus seperti wol. Rasio perbandingan antara rambut primer dan sekunder tergantung dari usia anjing tersebut. Untuk anak anjing yang baru lahir rambut primernya sedikit sehingga rambut anak anjing sangat lembut. Seiring dengan perkembangan anak anjing mencapai usia enam bulan biasanya rambut primer akan tumbuh lebih banyak sehingga rambut menjadi agak lebih kasar (Muller et al., 2001). Faktor
yang
mempengarui pertumbuhan rambut yaitu, folikel
rambut. Setiap batang rambut yang mati akan digantikan oleh batang rambut yang baru. Kecepatan dan kesuburan pertumbuhan rambut dipengaruhi oleh usia anjing, jumlah sinar matahari, temperatur lingkungan, jenis kelamin, hormon, nutrisi, alergi, penyakit kulit, dan lain– lain (Muller et al., 2001).
23
Rambut anjing tidak tumbuh terus–menerus, tetapi memiliki siklus pertumbuhan. Anagen adalah fase pertama dimana rambut diproduksi. Rambut baru tumbuh di sepanjang sisi rambut yang sama yang kemudian hilang. Catagen adalah tahap peralihan dalam siklus dan telogen adalah fase istirahat folikel dimana pada dasarnya aktif. Pertumbuhan rambut di folikel rambut tidak semua dalam fase yang sama, melainkan bervariasi (Muller et al., 2001). Selain rambut, pada kulit juga terdapat kelenjar kulit. Kelenjar kulit terdiri dari kelenjar keringat (sweat gland) dan kelenjar minyak (sebaceous gland). Kelenjar keringat terdiri dari eccrine sweat gland dan apocrine sweat gland. Eccrine sweat gland merupakan kelenjar keringat yang bermuara langsung ke permukaan kulit, pada anjing hanya terdapat di foot pads dan tidak ada pada kulit tubuh. Sedangkan, apocrine sweat gland berhubungan dengan folikel rambut (kulit tubuh hanya memiliki kelenjar keringat ini). Sebaceous gland berfungsi meminyaki rambut dan kulit serta sebagai antimikrobial. Bentuk khusus dari sebaceous gland adalah tarsal gland yang sering disebut Meibonian gland (Muller et al., 2001). Sebaceous gland dan apocrine gland bergabung di bagian ekor dan anal. Sekresi tail gland berhubungan dengan hormon selama pubertas dan estrus. Sedangkan perianal gland (anal sac) berhubungan dengan marking territory dan attracting a mate (Muller et al., 2001).
24
2.3.2
Gangguan Kulit Gangguan kulit yang umum dialami oleh hewan khususnya anjing dapat dibedakan menjadi lima berdasarkan penyebabnya, yaitu:
2.3.2.1 Gangguan Kulit Akibat Faktor Infeksi a. Bakteri 1. Pyoderma Pyoderma memiliki arti kata adanya pus (nanah) dalam kulit. Keadaan ini dapat disebabkan karena infeksi, inflamasi atau kanker dan umum terjadi pada anjing. Pyoderma umumnya terjadi akibat infeksi bakteri. Infeksi yang paling banyak terjadi umumnya di lapisan superfisial kulit dan dapat terjadi akibat reaksi sekunder dari penyakit lain seperti alergi dan parasit (Khan and Line, 2007). Kulit yang hangat, daerah yang lembab seperti lipatan bibir, lipatan wajah, dan lipatan kulit di leher biasanya terdapat bakteri yang lebih banyak dibanding daerah lain sehingga menambah faktor risiko terjadinya pyoderma. Titik-titik yang sering mendapat tekanan dari luar seperti siku juga sering mengalami pyoderma. Selain itu, pengaruh lingkungan dan kelembaban udara juga dapat menyebabkan meningkatnya kasus pyoderma akibat pertumbuhan bakteri yang lebih cepat (Khan and Line, 2007). Tanda paling umum pyoderma adalah adanya scale, alopesia, dan kulit kemerahan. Apabila terjadi deep pyoderma, anjing akan mensekresikan
25
nanah
dan
darah,
sekresi
bau,
kulit
kemerahan,
ulserasi,
dan
pembengkakan. Daerah moncong mulut, siku, kaki, dan interdigital lebih rentan mengalami deep pyoderma. Diagnosa didasarkan pada gejala yang terlihat dan dengan mengidentifikasi penyebab pyoderma seperti bakteri, kutu, alergi, hipotiroidisme, dan pemeliharaan yang buruk (Khan and Line, 2007). Medleau and Hnilica (2006) mengklasifikasikan pyoderma menjadi: I. Pyoderma Superfisial II. Chin Pyoderma III. Nasal Pyoderma IV. Deep Pyoderma 2. Impetigo Impetigo adalah infeksi bakteri pada kulit superfisial yang tidak berambut, kemungkinan terkait dengan predisposisi penyakit atau faktor lain, seperti endoparasit, ektoparasit, gizi buruk atau lingkungan yang kotor. Impetigo sering terlihat pada anjing muda sebelum pubertas. Impetigo ditandai dengan pustula nonfolikular, papula, dan erosi yang terbatas pada inguinal dan kulit daerah axilla. Lesi tidak menyakitkan dan adanya pruritus. Diagnosa dengan melihat signalment, anamnesa, temuan klinis, dan pemeriksaan sitologi (Medleau and Hnilica 2006).
26
3. Bacterial Pododermatitis Bacterial pododermatitis adalah infeksi dalam oleh bakteri pada kaki yang merupakan akibat sekunder dari beberapa faktor lain seperti, parasit, jamur, endokrinopati, reaksi hipersentivitas, trauma, dan reaksi autoimun. Bacterial pododermatitis sering terjadi pada anjing. Gejala yang terlihat pada satu atau lebih kaki yaitu, erithema interdigital, pustula, papula, nodul, bulla hemoragik, fistula, ulkus, alopesia, dan pembengkakan. Pruritus, nyeri atau kepincangan dapat terjadi pada kasus ini. Diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan sitologi (Medleau and Hnilica, 2006). 4. Pyotraumatic Dermatitis Pyotraumatic dermatitis bersifat akut dan infeksi bakteri ini berkembang cepat pada permukaan kulit, yang terjadi secara sekunder dikarenakan trauma yang dilakukan sendiri secara sengaja. Lesi terjadi akibat hewan menjilat, mengunyah atau menggosok tubuhnya sendiri sebagai respon terhadap stimulus pruritus atau nyeri. Kasus ini sering terjadi ketika cuaca panas dan lembab. Pyotraumatic dermatitis umum terjadi pada anjing, terutama yang berambut panjang dan tebal (Medleau and Hnilica, 2006). Pyotraumatic dermatitis
memperlihatkan
gejala
pruritus
akut,
erithema, dan alopesia yang luas. Lesi biasanya tunggal, sering terjadi pada dasar ekor, paha lateral, leher, dan wajah. Diagnosa dilakukan dengan
27
melihat anamnesa, temuan klinis, dan pemeriksaan sitologi (Medleau and Hnilica, 2006). b. Jamur 1. Ringworm Ringworm atau dermathophytosis merupakan istilah umum yang digunakan untuk infeksi jamur di lapisan epidermis, rambut, dan kuku. Infeksi jamur pada anjing disebabkan oleh Microsporum canis, Microsporum gypseum dan Trichophyton mentagrophytes. Ringworm merupakan infeksi batang rambut dan stratum korneum oleh jamur keratinofilik (keratophyilic). Ringworm akibat infeksi Microsporum canis terjadi 65% di anjing (Wright, 1989). Kasus ringworm ini tertinggi terjadi pada anak anjing, anak kucing, kucing berambut panjang, dan hewan dengan gangguan sistem imun (immunocomprimised animals) (Medleau and Hnilica, 2006). Kulit yang terinfeksi dapat bersifat lokal, multifokal ataupun general. Lesi berbentuk sirkuler, irregular atau dapat berupa alopesia difusa dengan scale yang bervariasi. Pruritus dapat bersifat minimal sampai sedang tapi sering terjadi secara intens. Rambut akan terlihat jarang dan patah–patah. Simptom lainnya yaitu, erithema, papula, scale, seborrhea, dan paronychia atau onychodystrophy pada satu digit atau lebih. Manifestasi kutan lainnya pada anjing ditemukan follikulitis fasial dan furunkulosis, mirip dengan nasal pyoderma, kerions (dapat berkembang akut, alopesia, dan nodul
28
eksudatif) pada kaki atau wajah serta nodul pada paha (Medleau and Hnilica, 2006). Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dari hewan penderita maupun lingkungan yang mengandung spora. Spora fungi dapat bertahan hingga beberapa bulan di lingkungan luar. Inkubasi dari terpaparnya jamur hingga menimbulkan lesi mulai dari tujuh sampai dengan 13 hari. Ringworm yang bersifat general pada anjing jarang terjadi kecuali pada kondisi imunodefisiensi seperti karena penyakit hormonal maupun terapi yang bersifat imunosupresif. Pada tahap lebih lanjut lesi ini dapat berkolaborasi dengan bakteri dan akhirnya menimbulkan infeksi sekunder (Medleau and Hnilica, 2006). 2. Mallasseziasis Dermatitis Malassezia pachydermatis adalah yeast yang umum ditemukan dalam jumlah sedikit di kanal eksternal telinga, daerah perioral, daerah perianal, dan kulit yang lembab. Penyakit kulit ini terjadi pada anjing ketika terjadi reaksi hipersensitivitas atau ketika kutaneus tumbuh lebih cepat. Pada anjing, Mallasseziasis dermatitis umumnya terjadi bersaman dengan atopi, alergi makanan, endokrinopati, dan gangguan keratinisasi. Pada anjing terlihat gejala berupa pruritus sedang yang intens, alopesia regional sampai umum, erithema, dan seborrhea. Apabila bersifat kronis, kulit mengalami hiperpigmentasi dan hiperkeratosis serta bau badan yang tidak sedap. Lesi umumnya terjadi pada interdigital, leher bagian ventral, axilla, dan daerah
29
perineum sampai di lipatan kaki. Diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan sitologi, dermatohistopatologi, dan kultur jamur (M. pachydermatis) (Gross et al., 2005). 3. Candidiasis Candidiasis adalah infeksi oportunistik kulit yang diakibatkan oleh pertumbuhan dari Candida spp. yang merupakan jamur dimorfik yang merupakan flora normal. Candidiasis jarang dialami anjing dan kucing. Kulit akan mengalami infeksi ini karena banyak faktor seperti trauma kronis pada kulit, penyakit imunosupresif atau penggunaan obat sitotoksik atau antibiotik broad spectrum jangka panjang (Gross et al., 2005). Mukosa akan terkikis, mengalami ulserasi dangkal dengan plak keabuan dengan tepi mengalami erithema. Kulit yang terinfeksi jamur ini akan erithema, lembab, kulit terkikis, adanya eksudat, kulit kering, dan lesi pada
kuku.
Diagnosa
dilakukan
dengan
pemeriksan
sitologi,
dermatohistopatologi, dan kultur jamur (Candida spp.) (Gross et al., 2005). c. Virus 1. Canine Distemper Canine
distemper
disebabkan
oleh
Morbilivirus
dari
famili
Paramyxoviridae yang memiliki hubungan dengan virus campak dan virus rinderpest yang sering disebut dengan Canine Distemper Virus (CDV). Penyakit ini sering terjadi pada anjing, kasus terbanyak pada anjing muda dan anak anjing yang tidak divaksinasi. Anjing yang terinfeksi dari ringan
30
hingga berat akan menunjukkan gejala berupa leleran nasal dan hiperkeratosis digital (hardpad disease). Simptom umum lainnya yaitu, adanya pustular dermatitis, impetigo, depresi, anoreksia, demam, leleran bilateral serous sampai mukopurulen pada okulonasal, konjungtivitis, batuk, dyspnaea, diare, dan tanda–tanda neurologis. Diagnosa dilakukan dengan immunositologi atau Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan sampel yang diambil berupa darah, leleran hidung atau mata, air liur, kerokan konjungtiva, cairan serebrospinal (CSFJ untuk deteksi antigen distemper), dermatohistopatologi (footpads), dan imunohistokimia dengan mendeteksi antigen distemper (Greene, 2012). 2. Canine Papilloma Canine papilloma merupakan tumor jinak yang disebabkan oleh infeksi virus pada sel epitel oleh DNA spesifik papillomavirus DNA. Onkogen virus menginduksi pertumbuhan sel epitel inang dan division sehingga menyebabkan ketidakstabilan kromosom dan mutasi. Virus papilloma menular dengan kontak langsung dan tidak langsung, dengan masa inkubasi satu sampai dua bulan. Papilloma canine dapat bertahan hingga empat sampai enam bulan di mulut dan enam sampai 12 bulan pada kulit sebelum regresi terjadi. Imunitas seluler adalah kunci utama papilloma dapat berkembang. Kondisi yang imunosupresif dan pemakaian obat imunosupresif dapat memperburuk dan memperpanjang infeksi (Medleau and Hnilica, 2006).
31
Terdapat lima jenis virus papilloma pada anjing dan masing-masing memiliki presentasi klinis yang berbeda, yaitu: a) Canine Papillomatosis Oral b) Canine Cutaneous (Eksofitik) c) Multiple Pigmented Plaques d) Papilloma Genital Canine e) Canine Footpad Papilloma Diagnosa dilakukan dengan dermatohistopatologi pada hiperplasia epidermal dan papillomatosis. Antigen papilloma virus dapat dideteksi dengan imunohistokimia atau PCR (Medleau and Hnilica, 2006). d. Parasit 1. Canine Demodicosis Canine demodicosis dibedakan menjadi dua, yaitu: I. Canine Demodicosis Local Suatu infeksi yang terjadi ketika Demodex canis yang merupakan organisme normal pada kulit anjing. Demodikosis terjadi akibat faktor predisposisi seperti endoparasit, gizi buruk, dan terapi obat imunosupresif. Canine demodicosis umum terjadi pada anjing, dengan kejadian yang paling sering terjadi pada anak anjing berusia tiga sampai enam bulan. Canine demodicosis local kadang muncul pada satu sampai lima area dengan gejala berupa, alopesia, erithema, dan hiperpigmentasi. Diagnosa
32
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit dan dermatohistopatologi (Medleau and Hnilica, 2006). II. Canine Demodicosis General Infeksi ini merupakan penyakit kulit yang umum terjadi dan memiliki kecenderungan genetik dan dapat disebabkan oleh tiga spesies tungau Demodex yaitu, Demodex canis, Demodex injai, dan Demodex cornei. Demodex canis, merupakan organisme normal pada pilosebaceous anjing (folikel rambut, saluran sebaceous, dan kelenjar sebaceous), yang ditularkan dari induk secara primer ke anak selama dua sampai tiga hari pasca melahirkan. Penularan dari dewasa ke dewasa jarang terjadi. Diagnosa dengan uji mikroskopik dan dermatohistopatologi (Medleau and Hnilica, 2006). Demodicosis general dibedakan menjadi juvenile-onset dan adultonset. Juvenile onset disebabkan oleh Demodex canis dan Demodex cornei. Biasanya terjadi pada anjing yang berusia 3–18 bulan. Adult onset disebabkan oleh ketiga jenis demodex tersebut dan terjadi pada anjing berusia diatas 18 bulan. Gejala klinis yang terlihat adalah alopesia, hiperpigmentasi, pyoderma profunda, komedo, scale, limfodenopati, dan sellulitis (Medleau and Hnilica, 2006). 2. Canine Scabies Canine scabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei var canis. Tungau mengeluarkan substansi alergi menimbulkan
33
reaksi hipersensivitas yang menyebabkan pruritus intensif pada anjing. Canine scabies umum terjadi pada anjing. Anjing sering terkena penyakit ini saat berada di tempat penampungan hewan, kontak dengan anjing liar atau pada tempat grooming. Lesi yang terlihat papula, alopesia, erithema, dan krusta. Kulit yang terkena awalnya pada kulit yang tidak berambut, seperti pada siku, pinggir telinga, perut, dan dada bagian ventral. Lesi biasanya tersebar di tubuh, tetapi daerah dorsal bagian belakang jarang terlihat. Penurunan berat badan sekunder dapat terjadi. Infeksi berat dapat menyebabkan kulit berkerak dan mengalami pengerasan. Diagnosa dilakukan dengan melihat anamnesa, temuan klinis yang ditemukan dan respon terhadap cara pengobatan scabisidal, pinnal-pedal refleks, pemeriksaan mikroskopik, dan uji serologi (Muller et al., 2001). 3. Flea Dermatitis Flea dermatitis merupakan suatu gangguan kulit yang disebabkan infestasi pinjal. Pinjal berukuran kecil, bersayap dan merupakan serangga penghisap darah. Ctenocephalides felis adalah spesies yang paling umum ditemukan pada anjing dan kucing. Infestasi pinjal merupakan penyakit umum pada kulit anjing. Anjing dengan dermatitis akibat pinjal akan menimbulkan pruritus, iritasi kulit ringan, papula, alopesia, apabila berkembang akan menjadi dermatitis pyotraumatic hingga anemia. Lesi biasanya terlihat di kaudodorsal, daerah lumbosakral, dorsal kepala dan ekor, paha kaudomedial, perut, dan panggul. Diagnosa dilakukan dengan
34
melihat
anamnesa,
temuan
klinis,
pengujian
alergi,
dan
dermatohistopatologi (Medleau and Hnilica, 2006). 4. Tick Dermatitis Tick dermatitis adalah dermatitis atau gangguan kulit yang diakibatkan infestasi caplak. Caplak adalah parasit penghisap darah yang hidup menempel pada hewan dan manusia. Caplak dapat menyebabkan banyak penyakit, termasuk Rock Mountain spotted fever, Q fever, dan Lyme disease. Caplak melepaskan toksin yang dapat membahayakan daerah tubuh yang menjadi sarangnya. Kulit akan luka akibat gigitan caplak dan menyebabkan infeksi bakteri sekunder. Infestasi caplak yang parah dapat menyebabkan anemia dan kematian. Selain itu, caplak dapat menyebabkan depresi saraf akibat toksin yang diproduksi pada kelenjar salivanya yang disebut dengan tick paralisis. Paralisis dapat terjadi selama 1-4 hari dimulai dari otot belakang tubuh dan kemudian menyerang pernapasan (Kahn and Line, 2007). Caplak terdiri dari sekitar 82 spesies dari tujuh famili. Famili Ixodidae (caplak keras) terdiri dari 650 spesies sedangkan famili Argasidae (caplak lunak) terdiri dari sekitar 10 spesies. Beberapa jenis caplak menginfestasi daerah leher, kepala, bahu, dan daerah pubis. Caplak spesies lain menginfestasi telinga, daerah sekitar anus, dan di bawah ekor atau di daerah hidung (Kahn and Line, 2007).
35
2.3.2.2
Gangguan Kulit Akibat Nutrisi Gangguan kulit akibat nutrisi dapat disebabkan karena kekurangan
nutrisi, kelebihan atau ketidakseimbangan nutrisi. Dermatitis dapat menyebabkan kulit menunjukkan respon yang bervariasi seperti reaksi dan luka klinis berupa berkerak, permukaan kulit yang keras, alopesia, komedo, erithema, dan kulit yang kering dengan rambut yang kusam berminyak. Sulit untuk mengetahui defisiensi nutrisi yang spesifik yang menyebabkan gangguan kulit tertentu. Dari tahun 1980, banyak gangguan kulit yang yang dihubungkan dengan faktor nutrisi namun pemberian nama gangguan tersebut lebih kepada istilah respon yang ditimbulkan dibandingkan dengan istilah defisiensi nutrisi (Muller et al., 2001). a. Defisiensi Lemak Defisiensi lemak sering dialami oleh anjing yang mengkonsumsi makanan kering, makanan dari pabrik yang disimpan dengan buruk atau makanan buatan sendiri. Defisiensi ini diakibatkan anjing mengkonsumsi dog food yang disimpan dalam jangka waktu lama karena selama penyimpanan, lemak akan hilang. Defisiensi lemak dapat terjadi walaupun makanan mengandung lemak namun tidak mengandung antioksidan seperti vitamin E yang cukup (Muller et al., 2001). Dog food kaleng memiliki minimal 3% lemak dan dog food kering 7% sampai 8% lemak. Terdapat penurunan pada awal produksi lipid dengan timbulnya scale yang dihasilkan dari kulit dan hilangnya kilau rambut.
36
Fase kering dapat berlangsung selama berbulan-bulan dan dapat terkait dengan rambut rontok dan infeksi bakteri sekunder. Kekurangan asam lemak pada sejumlah spesies menghasilkan keratinisasi abnormal, hiperplasia
epidermal,
hipergranulosis,
dan
orthokeratotis
atau
parakeratosis hiperkeratosis. Kasus ringan setelah terapi akan kembali normal dalam empat sampai delapan minggu, tetapi kasus yang parah bisa memakan waktu hingga enam bulan (Muller et al., 2001). b. Defisiensi Protein Defisiensi protein dapat disebabkan karena kelaparan, makanan anjing yang dibuat sendiri atau dog food dengan kandungan protein khusus atau rendah. Berbagai dog food komersial sesungguhnya sudah sangat tinggi protein sehingga, defisiensi protein jarang terjadi. Hewan yang mengalami defisiensi protein menimbulkan hiperkeratosis, hiperpigmentasi epidermal dan hilangnya pigmen rambut. Alopesia merata dan rambut menjadi lebih tipis, kasar, kering, dan kusam. Rambut mudah patah dan tumbuh perlahanlahan. Luka pada lapisan kulit dapat muncul secara simetris di kepala, punggung, dada, perut, dan di kaki. Luka lebih menonjol pada anjing yang mendapat asupan protein lebih tinggi (Muller et al., 2001). c. Defisiensi Vitamin 1. Vitamin A Vitamin ini berfungsi untuk nutrisi kulit yang sehat dan sel epitel. Hiperkeratinisasi dari permukaan epitel terjadi apabila mengalami
37
defisiensi vitamin A. Hiperkeratosis terjadi pada kelenjar sebaceous, alopesia serta lesi kulit dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri dan penyembuhan luka yang terganggu.Vitamin A dapat disimpan dengan baik oleh tubuh sehingga toksisitas menjadi kasus yang lebih besar dari pada defisiensi vitamin A (Muller et al., 2001). 2. Vitamin D Vitamin D diproduksi di kulit dan memiliki dampak yang besar dalam homeostasis kalsium. Kelebihan atau kekurangan alami belum dilaporkan pada hewan. Seborrhea primer adalah gangguan vitamin D dan hiperproliferatif yang sedang diteliti pada anjing (Muller et al., 2001). 3. Vitamin E Vitamin E, selenium, dan asam lemak memiliki hubungan yang seimbang. Defisiensi ini menyebabkan keratinisasi awal, kulit berminyak dan inflamasi. Selain itu, anjing cenderung mengalami infeksi sekunder berupa pyoderma bakteri. Secara morfologi ditandai dengan hiperplastik dermatitis perivaskular superfisial. Kekurangan vitamin E menyebabkan disfungsi sel limfosit T pada anjing dan telah dikaitkan sebagai faktor kausal dalam demodikosis pada anjing (Muller et al., 2001). 4. Vitamin B Vitamin B kompleks dianggap sebagai suatu kelompok karena kekurangan vitamin B tunggal sangat langka dan sindrom klinis yang serupa. Vitamin disintesis oleh bakteri usus karena mereka larut dan tidak
38
dapat disimpan. Tanda paling umum dari kekurangan B kompleks adalah kulit kering seborrhea, alopesia dan anoreksia. Pengobatan efektif terdiri dari asupan ragi, suntikan vitamin B kompleks atau keduanya (Muller et al., 2001). d. Ketidakseimbangan Mineral Zinc,
tembaga,
dan
kalsium
merupakan
tiga
mineral
yang
mempengaruhi metabolisme yodium. Apabila terjadi defisiensi salah satu mineral tersebut dapat terlihat gangguan pada kulit (Muller et al., 2001). Defisiensi tembaga akan muncul sebagai persoalan keseimbangan ion jika zinc ditambahkan ke dalam makanan. Tembaga dibutuhkan oleh enzim yang mengkonversi L-tirosin ke melanin dan sel folikel dalam konversi prekeratin ke keratin. Defisiensi ditandai dengan hipopigmentasi dan gangguan keratinisasi pada kulit dan folikel rambut sehingga rambut menjadi kusam dan kasar. Dog food komersial memiliki kandungan tembaga yang cukup dan suplemen tidak diperlukan (Muller et al., 2001). Bull terrier dengan acrodermatitis mematikan, disebabkan akibat defisiensi zinc dan tembaga (Uchida et al., 1997). 2.3.2.3
Gangguan Kulit Akibat Lingkungan
a. Fotodermatitis Radiasi elektromagnetik terdiri dari spektrum berlanjut dengan panjang gelombang bervariasi dari fraksi angstrom hingga ribuan meter. Radiasi Ultraviolet (UV) adalah bagian dari spektrum elektromagnetik
39
(cahaya) yang mencapai bumi dari matahari. Radiasi UV dibedakan menjadi tiga yaitu, UVA, UVB, dan UVC. UVA merupakan gelombang terpanjang yaitu, 320-400 nm dapat menembus kulit. UVB merupakan gelombang dengan panjang 290-320 nm yang sering disebut sunburn, sekitar 1000 kali lebih erythemogenik dibandingkan UVA. UVC dengan panjang gelombang kurang dari 290 nm dapat merusak sel tetapi tidak mencapai permukaan bumi karena lapisan ozon. Fototoksisitas dan fotosensifitas adalah fokus utama dokter hewan. Fototoksisitas adalah reaksi sunburn klasik dan merupakan respon yang berhubungan dengan paparan cahaya. Fotosensifitas umum terjadi pada hewan ternak, tetapi paling banyak pada anjing (Muller et al., 2001). b. Solar Dermatitis (Dermatitis Akibat Paparan Sinar Matahari) Solar dermatitis terjadi dari reaksi actinic keratosis (solar keratosis) yang menimbulkan reaksi nyeri pada kulit dengan daerah depigmented. Kondisi ini disebabkan kulit terkena sinar matahari langsung atau dipantulkan. Keparahan reaksi tergantung pada berbagai faktor yang berhubungan dengan hewan, durasi paparan sinar matahari, dan intensitas sinar matahari. Patogenesis fototoksisitas tidak sepenuhnya dipahami, tetapi melibatkan epidermis dan pembuluh darah dari pleksus vaskular superfisial. Dermatitis akibat sinar matahari pada anjing dibagi menjadi canine nasal solar dermatitis dan canine solar dermatitis pada tubuh dan ekstremitas (Muller et al., 2001).
40
c. Luka bakar Luka
bakar
dangkal
dan
dalam
yang
menyakitkan,
sering
menyebabkan jaringan parut dan merupakan penyebab sepsis. Manajemen penyembuhan kasus luka bakar panjang dan sulit. Luka bakar dapat disebabkan oleh bahan kimia, arus listrik yang kuat, matahari, dan radiasi yang panas. Kebanyakan kasus pada hewan kecil disebabkan oleh panas dari kebakaran, air mendidih, bantalan pemanas listrik, pengering rambut hewan, dan logam panas. Luka bakar pada anjing dikategorikan menjadi dua jenis yaitu, partial thicknes burns dan full thickness burns. Luka bakar parsial mempengaruhi epidermis dan dermis superfisial. Pada luka bakar keseluruhan kerusakan total dari semua struktur kulit. Tanpa tindakan penyembuhan dengan bedah akan terbentuk jaringan parut yang luas (Muller et al., 2001). Luka bakar dapat menyebabkan infeksi yang menghasilkan discharge purulen dan kadang-kadang bau yang tidak menyenangkan. Daerah nekrotik yang luas pada kulit dapat mengelupas dan menjadi luka nanah yang dalam. Jika 2% dari tubuh mengalami luka bakar, biasanya terjadi gangguan sistemik, termasuk septisemia, shock, gagal ginjal, dan anemia (Muller et al., 2001). d. Frostbite Frostbite adalah kondisi umum pada hewan sehat setelah beradaptasi dengan dingin. Frostbite karena kontak yang terlalu lama pada suhu dingin
41
atau kontak dengan benda logam beku. Hewan akan mengalami vasculopathy hingga menyebabkan nekrosis. Semakin rendah suhu, semakin besar risikonya (Muller et al., 2001). Frostbite biasanya mempengaruhi ujung telinga, skrotum dan ujung ekor karena daerah ini tidak ditutupi oleh rambut sehingga pembuluh darah tidak dilindungi dengan baik. Kulit tampak pucat dan hypoesthetik, dingin ketika disentuh. Kulit akan terlihat erithema, edema, rasa sakit, dan rambut daerah yang terkena bisa berubah putih dan pinggiran pinna dapat menggulung. Dalam kasus parah, kulit menjadi nekrotik. Penyembuhan berlangsung perlahan-lahan (Muller et al., 2001). 2.3.2.4
Gangguan Kulit Akibat Reaksi Alergi dan Hipersensivitas
a. Atopic Dermatitis Atopic dermatitis adalah kecenderungan alergi terhadap zat yang biasanya tidak berbahaya, seperti serbuk sari (rumput, gulma, dan pohon), tungau, debu, dan alergen lingkungan lainnya. Hewan menjadi peka terhadap alergen lingkungan dengan memproduksi alergen spesifik IgE, yang mengikat reseptor pada sel mast kulit, alergen yang tereksposur (inhalasi dan penyerapan perkutan) menyebabkan basofil beredar dan menjadi degranulasi sel mast pada jaringan, yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 1. Hasilnya berupa pelepasan histamin, heparin,
42
enzim proteolitik, sitokin, kemokin, dan banyak mediator kimia lainnya (Rhodes and Werner, 2011). Gejala klinis yang terlihat adalah pruritus (gatal, menggaruk, menggosok, dan menjilati), dan lesi primer juga dapat terjadi. Daerah yang paling sering terkena yaitu, ruang interdigital, carpal, dan daerah tarsal, moncong, daerah periokular, axilla, dan pinna (Rhodes and Werner, 2011). Diagnosa dilakukan dengan berbagai cara seperti pemeriksaan serologi, Intradermal Skin Test (IDST), biopsi kulit, mencari penyebabnya, dan mencocokkan gejala klinis dengan diagnosa mayor dan minor. Daftar kriteria diagnostik mayor dan minor untuk diagnosis menurut Willemse (1986) yaitu, mayor dan minor yang setidaknya tiga harus hadir. Kriteria mayor yaitu, pruritus, distribusi khas (wajah, pedal, lichenifikasi pada sendi tarsal, dan carpal), dermatitis kronis, dan breed predisposisi seperti, Golden retriever, Labrador retriever, Boxer, Chinese Shar pei, Cocker spaniel, Cihuahua. Kriteria minor yaitu, konjungtivitis bilateral, erithema wajah, pyoderma bakteri, dan hyperhidrosis (Rhodes and Werner, 2011). b. Kontak Dermatitis Kontak dermatitis dibedakan menjadi dua yaitu, Iritan Contact Dermatitis (ICD) dan Allergi Contact Dermatitis (ACD). Kedua kontak dermatitis ini sangat jarang terjadi. Sindrom patofisiologis kedua kontak dermatitis ini berbeda dengan tanda-tanda klinis yang serupa. Iritan Contact Dermatitis merupakan hasil dari kerusakan langsung keratinosit
43
oleh paparan senyawa tertentu, keratinosit rusak menginduksi respon inflamasi kulit. Allergi Contact Dermatitis merupakan dermatitis klasik yang dianggap sebagai tipe IV (hipersensitivitas tertunda) dan merupakan reaksi imunologi, sel Langerhan's berinteraksi dengan antigen yang menembus kulit, menyebabkan aktivasi limfosit T dan pelepasan sitokin (Rhodes and Werner, 2011). Iritan Contact Dermatitis terjadi pada usia berapa pun sebagai akibat langsung dari sifat iritan dari senyawa yang kontak. Kondisi akut dapat terjadi setelah terjadi paparan yang pertama, dalam waktu 24 jam. Allergi Contact Dermatitis sangat jarang terjadi pada hewan muda. Sebagian besar terjadi pada hewan yang terpapar terhadap antigen dalam jangka waktu yang lama (bulan hingga tahun). Prognosisnya baik jika alergen dapat diidentifikasi (Rhodes and Werner, 2011). Gejala klinis yang terlihat terbatas pada kulit gundul dan daerah yang sering kontak dengan tanah (dagu, leher ventral, sternum, ventral
perut,
inguinum,
perineum,
skrotum,
ventral
ekor,
dan
daerah interdigital), erithema awal dan pembengkakan yang menyebabkan papula dan plak, dan paparan kronis menyebabkan hiperpigmentasi. Reaksi terhadap obat topikal biasanya terlokalisasi, pruritus dapat terjadi sedang sampai parah (Rhodes and Werner, 2011). Kontak dermatitis dilaporkan terjadi jika terpapar atau kontak dengan tanaman, mulsa, chip cedar, kain, karpet, plastik, karet, kulit, nikel, kobalt,
44
beton, sabun, deterjen, lilin, sampah, pengharum, herbisida, pupuk, dan lain–lain. Diagnosa dapat dilakukan dengan pengujian biopsi kulit, tes diagnostik terbaik dengan menghilangkan kontak iritan diikuti dengan pengujian paparan provokatif dan intraepidermal Rhodes and Werner, 2011). c. Alergi terhadap Makanan Alergi terhadap konsumsi satu atau lebih zat dalam makanan oleh hewan, intoleransi makanan yang melibatkan reaksi metabolik. Gejala umumyang terlihat adalah pruritus pada beberapa lokasi tubuh, muntah, diare, gejala saraf sangat jarang terjadi namun jika terjadi terlihat gejala berupa kejang. Gejala klinis pada kulit yaitu, Malassezia dermatitis, pyoderma, dan otitis eksterna, plak, pustul, erithema, scale, lichenifikasi, hiperpigmentasi, urtikaria, angioederma, dan dermatitis pyotraumatic. Diagnosa dilakukan dengan tes terhadap alergi makanan tersebut Rhodes and Werner, 2011. 2.3.2.5
Gangguan Kulit Akibat Gangguan Endokrin dan Metabolisme
a. Canine Hyperadrenocorticism Spontaneous Hyperadrenocorticism HAC
adalah gangguan yang
disebabkan oleh produksi kortisol berlebih. Canine Hyperadrenocorticism memiliki dua bentuk yaitu, Adrenal Dependent Hipofisis ADH
dan
Pituitary Dependent Hipofisis PDH . Iatrogenik HAC merupakan hasil dari produksi glukokortikoid eksogen berlebih. Dalam semua bentuk
45
produksi berlebih tersebut, tanda-tanda klinis merupakan efek negatif dari peningkatan peredaran konsentrasi kortisol pada beberapa sistem organ. Terjadi poliuria dan polidipsia pada 85-95% kasus ini yang diakibatkan glukokortikoid mengganggu produksi hormon antidiuretik (ADH) sehingga terjadi poliuria dengan polidipsia. Terjadi poliphagia yang merupakan efek stimulasi langsung pada nafsu makan, hepatomegali akibat akumulasi glikogen
dan
rambut.
Atropi
kulit,
phlebectasia,
demodikosis,
penyembuhan luka yang buruk, komedo, calcinosis cutis, pyoderma, hiperpigmentasi, dan gejala lainnya akan terlihat. Diagnosa dilakukan dengan hemogram, kimia serum, urinalisis, rasio Urine Cortisol Creatinin (UCC), radiografi abdomen, radiografi
rongga thoraks, ultrasonografi,
Computed Tomography (CT), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Rhodes and Werner, 2011). b. Hypothyroidism Alopecia Hypothyroidism alopecia merupakan penurunan produksi hormon tiroid (tetraiodothyronine-T4; triiodothyronine-T3) oleh kelenjar tiroid. Hormon tiroid yang tidak seimbang mempengaruhi banyak proses metabolisme dan hampir semua sistem organ. Gangguan kulit yang paling sering terlihat yaitu, pertumbuhan rambut yang lambat, hiperkeratosis, dan folikulitis bakteri (Rhodes and Werner, 2011).
46
c. Noninflammatory Alopecia Gangguan yang jarang terjadi akibat pertumbuhan rambut yang abnormal. Gangguan ini memperlihatkan gejala yang mirip dengan alopesia, namun hanya terjadi di bagian kepala dan ekstremitas distal. Kasus ini terjadi juga akibat gabungan gangguan endokrin dan nonendokrin. Penyebab nonendokrin yaitu, alopesia dan displasia folikular sedangkan,
penyebab
endokrin
meliputi
hipotiroidisme,
hyperadrenocorticism, kastrasi-alopesia responsif, ketidakseimbangan hormon seks, dan alopesia X (Rhodes and Werner, 2011).