BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Limbah pertanian merupakan bahan buangan dari proses perlakuan atau
pengolahan untuk memperoleh hasil utama dan hasil sampingan (Winarno ,1985). Limbah pertanian sangat potensial digunakan sebagai pakan ternak karena tingkat ketersediaannya yang tinggi di berbagai daerah termasuk di Bali, serta mengandung zat-zat makanan yang diperlukan oleh ternak serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak akan dapat mengurangi biaya produksi karena biaya pakan mencapai ±70% dari total biaya produksi (Parakkasi, 1998). Selain itu, pakan merupakan faktor utama di dalam keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan tata laksana. Penggunaan bahan pakan dari limbah juga dapat mengurangi atau mencegah pencemaran lingkungan (Mudita et al., 2009) Kandungan nutrien limbah dan gulma tanaman pangan seperti batang pisang, eceng gondok, daun apu cukup baik diberikan kepada ternak, namun di dalam penyusunan ransum ternak nonruminansia khusunya itik belum dapat memenuhi kebutuhan yang optimal. Hal ini disebabkan oleh kandungan serat kasar yang tinggi dan adanya senyawa seperti lignin, silika, theobromine, tannin, kafein, asam sianida, keratin, serta kandungan mineral (terutama Ca, P, Mg, Cu, Zn, Co, Mn, Fe, dab S) dan vitamin (vitamin A dan E) yang rendah. Rendahnya kualitas bahan pakan asal limbah
dan
gulma
tanaman
pangan
menimbulkan
konsekuensi
bahwa
pemanfaatannya sebagai pakan ternak harus diikuti dengan teknologi pengolahan yang tepat (Subadiyasa, 1997). Serat kasar yang diberikan kepada ternak unggas seperti itik, sulit dicerna mengingat serat kasar mengandung senyawa lignoselulosa yang merupakan polimer yang sangat sulit terdegradasi, dimana hanya 20-30% serat kasar yang dapat dicerna dan diserap melalui saluran pencernaan belakang yaitu sekum dan kolon sehingga pemanfaatnya sangat kecil (Bidura, 2007) Pemanfaatan limbah tanaman pangan khususnya dedak padi, ampas tahu, bungkil kelapa, maupun molases merupakan bahan pendukung produk suplemen yang dapat meningkatkan pasokan nutrien bagi mikroba pendegradasi serat kasar maupun probiotik. Dedak padi adalah limbah dari proses pengolahan gabah yang merupakan selaput antara beras dan sekam padi dengan berat sekitar 8,50% dari berat padi. Dedak padi mengandung serat kasar yang cukup tinggi yaitu sekitar 13,0 % namun kadungan proteinnya yaitu berkisar antara 12-13,5 % sehingga masih diperhitungkan dalam penyusunan ransum unggas. Dedak padi mengandung energi metabolis berkisar antara 1640-1890 kkal/kg, minyak sekitar10-30 %, dan asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi pula yaitu sekitar 75-80 %. Sedangkan kandungan karbohidrat dedak padi dapat mencapai 40-49 % dan sebagain besar dalam bentuk pati bahkan kandungan protein dedak padi memiliki nilai gizi yang tinggi karena banyak mengandung asam amino esensial (Bidura, 2007). Bungkil kelapa merupakan hasil ikutan proses pemisahan minyak kelapa yang mempunyai kadungan energi metabolis sekitar 1640 kkal/kg dan serat kasar yang cukup tinggi pula yaitu berkisar antara 20-26 % (Bidura, 2007). Ampas tahu adalah limbah dari pembuatan tahu yang masih mengandung protein dengan asam amino
lysin dan metionin serta kalsium yang cukup tinggi. Lebih lanjut Mahfudz et al. (1997) menyatakan bahwa ampas tahu memiliki kandungan serat kasar 20,26 %, protein kasar 21,66 %, lemak kasar 2,73 %, abu 3,68 % dan kadar air 11,18 %, Ca 1,09 %, P0,88 % dan energi metabolis 2,830 kkal/kg bahan. Molases merupakan limbah cair produksi gula pasir dari tebu yang kaya akan kandungan energi dan merupakan sumber energi available yang sangat baik untuk mikroba pendegradasi serat maupun probiotik. Molases merupakan sumber gula yang mudah difermentasi dengan kandungan 12,7 MJ ME/kg serta mengandung beberapa mineral. Molases mengandung karbohidrat mudah larut yang terhidrolisis menjadi asam keton dan VFA yang berfungsi sebagai sumber energi bagi mikroba. Penelitian tentang pemanfaatan limbah dan gulma tanaman pangan seperti batang pisang, eceng gondok dan daun apu maupun gulma yang lainnya sudah banyak dilakukan. Wibawa (1997) melaporkan bahwa penggunaan 4 % batang pisang dalam ransum babi dapat direkomendasikan karena belum dapat berpengaruh terhadap penampilan babi, namun pemberian pada level 8 % dan 12 % dalam ransum nyata menurunkan berat potong, karkas dan persentase karkas babi. Sebaliknya secara nyata dapat menurunkan persentase lemak karkas babi, (Mudita, 1996). Hasil penelitian Mudita (1996) menunjukan bahwa pemanfaatan batang pisang sebagai bahan pakan pada fase pertumbuhan mampu meningkatkan produktifitas dan menurunkan kadar lemak subkutan dan mampu menjadikan kualitas kulit babi guling yang baik. Eceng gondok merupakan salah satu gulma tanaman pangan yang potensial dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Rajiman et al. (1999) menyatakan bahwa eceng gondok memiliki kandungan nutrien yang cukup baik yaitu energi
metabolis 2096,92 kkal/kg, protein kasar 13 % dan serat kasar 21,3 %. Penelitian Wijana (2010) mengungkapkan bahwa penggunaan 15% eceng gondok sebagai komponen ransum dengan/tanpa suplementasi starbio mampu menghasilkan produktifitas yang sama dengan ransum tanpa limbah eceng gondok. Selanjutnya Riana dan Bidura (2002) melaporkan bahwa pemberian tepung eceng gondok dalam ransum pada tingkat 20-30 % mengakibatkan terjadinya penurunan konsumsi ransum dan pertambahan berat badan ayam buras umur 0-12 minggu. Suharsono (1991) juga menyatakan bahwa penambahan eceng gondok 10 % dan 16 % KPD eceng gondok di dalam ransum itik petelur, peternak tidak akan mengalami kerugian baik dari produksi maupun kualitas telur. Daun apu juga termasuk didalam gulma tanaman yang dapat merugikan petani tetapi dapat dijadikan sebagai bahan pakan ternak karena memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 37,60 % sehingga sangat baik untuk pakan ternak sebagai sumber protein. Dimana penggunaan tepung daun apu dapat digunakan dalam ransum ayam kampung sampai level 10 % karena tidak berpengaruh di dalam pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan ransum, akan tetapi pada level 20 % dan 30 % penggunaan di dalam ransum dapat menurunkan penampilan ayam kampung tetapi apabila bertujuan untuk menekan perlemakan tubuh ayam sangat baik digunakan (Sumaryono, 2003). Namum Bidura (2006) mengungkapkan melalui aplikasi bioteknologi pakan baik melalui suplementasi, fermentasi maupun penambahan probiotik akan dapat mengurangi efek negatif dari limbah dari gulma tanaman pangan tersebut.
2.2
Fermentasi Inokulan Fermentasi merupakan proses perubahan kimia pada subtrat sebagai hasil
kerja enzim dari mikroorganisme dengan menghasilkan produk tertentu (Bidura, 2007). Proses ini berjalan tergantung pada jenis substrat, mikroorganisme dan lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme. Menurut Winarno (1980) ransum yang mengalami fermentasi memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dari bahan asalnya. Hal ini disebabkan oleh sifat katabolik mikroorganisme yang mampu memecah komponen yang komplek menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna. Dilaporkan juga bahwa proses fermentasi pada kulit biji-bijian akan merombak struktur jaringan kimia dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa dan lignin. Pangestu (1997) menyatakan bahwa kandungan serat kasar dan karbohidrat dalam bahan pakan yang difermentasi menurun secara nyata, dan sebaliknya kandungan protein dan energinya meningkat. Santoso et al. (2001) melaporkan bahwa pemberian produk fermentasi pada ayam broiler secara nyata dapat menurunkan kandungan trigliserida dan kolestrol dalam hati. Penggunaan Lactobacillus acidophilus, L.casei, Bifidobacterium bifidum, Torulopsis, dan Aspergillus oryzae sebagai inokulan dalam fermentasi ransum ternyata dapat meningkatkan kecernaan ransum yang disebabkan oleh adanya proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang lebih mudah dicerna oleh enzim pencernaan (Mohan et al., 1996). Dilaporkan juga oleh Widiyanto et al. (1994) bahwa pada saat difermentasi oleh Trichoderma virideae, dapat mendegradasi kandungnan serat kasar pada ransum sehingga terdegradasi dengan baik dan dapat dimanfaatkan oleh ternak unggas.
Aplikasi fermentasi inokulan
untuk meningkatkan nilai guna dari pakan
berserat kasar tinggi seperti limbah dan gulma tanaman pangan menunjukan hasil yang positif. Mudita dan Wirapartha (2007) mengungkapkan fermentasi dengan berbagai kultur mikroorganisme pada alang alang dapat meningkatkan nilai organoleptik baik warna dan tekstur silase maupun aroma serta meningkatnya kandungan bahan organik (1,15-2,38%), protein kasar (5,59-9,04%) produksi VFA total (34,90-59,10%) kandungan asam asetat dan laktat serta menurunkan kandungan serat kasar sebesar 2,38-6,38%. Hasil penelitian Mudita et al. (2009) menunjukan bahwa inokulan yang diproduksi melalui 5-200 ml cairan rumen/liter inokulan berpotensi dimanfaatkan sebagai suplemen karena kaya nutrien ready fermentable seperti makro dan mikro mineral, Nitrogen (0,43-1,19%), Protein terlarut (3,72-4,49%), dan energy bruto (0,61-1,04 kkal/ml) serta protein sel tunggal. Sedangkan penelitian Mudita et al. (2012) menunjukan bahwa pemanfaatan konsorsium mikroba isi rumen sapi bali dan rayap dapat menghasilkan inokulan dengan kandungan makro dan mikro nutrien, daya degradasi substrat serta aktivitas enzim lignoselulosa yang sangat tinggi. Pemanfaatan cairan rumen sebagai inokulan atau produk inokulan dalam pembuatan silase akan mempercepat dan memperbaiki fermentasi silase (penurunan pH, peningkatan rasio laktat : asetat dan amonia), menurunkan kandungan serat pakan,
menekan/mengurangi
kandungan
senyawa
antinutrisi,
meningkatkan
kecernaan bahan kering (Ginting, 2004; Kaiser, 1984), kecernaan protein, energi dan serat NDF/Neutral Detergen Fiber (Hau et al., 2006; Mudita et al., 2009; Putri et al., 2009).
Pemanfaatan
ransum
terfermentasi
cairan
rumen
terbukti
mampu
meningkatkan produktivitas ternak dan mengurangi produksi emisi methane tiap mmol VFA total, namun efisiensi usaha yang dihasilkan masih rendah walaupun jauh lebih baik daripada hasil pemberian ransum tanpa terfermentasi cairan rumen (Putri et al., 2009; Mudita et al., 2010a). Lebih lanjut Putri et al. (2009) mengindikasikan rendahnya suplai nutrien ready fermentable dan masih tingginya kandungan serat pakan
menjadi
penyebab
rendahnya
efisiensi
usaha
peternakan,
sehingga
menyarankan pentingnya optimalisasi kualitas inokulan tersebut. 2.3
Cacing Tanah Sebagai Sumber Inokulan Cacing Tanah adalah hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai
tulang belakang (invertebrata) dan digolongkan kedalam filum Annelida karena seluruh tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang berbentuk seperti cincin (Khairuman & Khairul, 2009). Cacing tanah mengandung zat-zat nutrisi yang tinggi yaitu lemak, kalsium, fosfor, serat kasar dan kandungan protein yang ada di tubuhnya sangat tinggi, setidaknya terdiri atas 9 macam asam amino esensial yaitu arginin, fenilalanin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, methionin, threonin, , valin dan 4 macam asam amino nonesensial yang terdiri dari sistin, glisin, serin, tirosin. Banyaknya asam amino esensial yang terkandung memberikan indikasi bahwa cacing
tanah
juga mengandung berbagai jenis enzim yang sangat berguna
(Palungkun, 2010). Pathma dan Saktivhel (2012) menyatakan bahwa cacing tanah merupakan sumber konsorsium mikroba sinergis yang potensial dalam mendegradasi senyawa lignoselulosa dan anti nutrisi, memproduksi antibiotika, siderophores, pigmen fluorescent, chitinase dan glucanase serta berbagai growth promotor melalui
pelarutan mineral, memproduksi enzim 1-aminocyclopropane-1carboxylate (ACC) deaminase, dan menekan mikroba patogen sedangkan mukus yang ada di dalam saluran pencernaan cacing tanah mengandung berbagai nutrien seperti bahan organik dan berbagai asam amino. Cacing tanah mempunyai kemampuan mendegradasi berbagai bahan organik karena di dalam saluran pencernaanya mengandung berbagai konsorsium mikroba simbion seperti bakteri, protozoa dan mikro fungi serta berbagai enzim seperti amylase, protease, selulase, lipase, chitinase, dan urease. Fuji et al. (2012) menambahkan bahwa bakteri selulolitik yang dominan pada cacing tanah Amynthun heteropoda dan Eisenia fetida adalah Burkholderia spp, Enterobacter Herbaspiririllum dan Pseidomonas, sedangkan fungi selulolitik yang dominan adalah Penicillium, Fusarium dan Staphylotrichum. Owa et al. (2013) juga melaporkan bahwa saluran pencernaan cacing tanah Libyodrilus violaceus berhasil diisolasi bakteri Acinobacter sp., Alcaligans faecalis, Bacillus sp., B. brevis, B.cereus, B lalerosporus, B. lichenoform, Corynebacterium sp., E. cloacae, Erwinia salicie, Flavobacterium sp., F, aquartile, Kiebsiella sp., Micrococcus inteus, M. varians, Proteus rennvi, P. vulgaris, dan Pseudomonas sp.