BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A.
Tinjauan Pustaka 1. Konsep Perlindungan Hukum Pengertian perlindungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal dan sebagainya) melindungi; pertolongan (penjagaan dan sebagainya).1 Sedangkan pengertian hukum menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak.2 Menurut E. Utrecht, pengertian hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.3 Memahami hukum sebagai norma berarti juga memahami hukum sebagai sesuatu yang seharusnya (das Sollen). Memahami hukum sebagai das Sollen berarti juga menginsyafi bahwa hukum merupakan bagian dari kehidupan kita yang berfungsi sebagai pedoman yang harus diikuti dengan maksud supaya kehidupan kita diatur sedemikian rupa sehingga hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang dibagi sebagaimana mestinya.4 Kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertentangan
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, hal. 600. Ibid, hal 363. 3 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2001, hal. 35. 4 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2009, hal. 45. 2
16
satu
sama
lain.
Berkaitan
dengan
itu,
hukum
harus
mampu
mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan sekecil-kecilnya. Dimana perlindungan terhadap kepentingankepentingan tertentu, dalam suatu lalu lintas kepentingan, hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan pihak lain. Untuk mengurangi ketegangan dan konflik, maka tampil hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum. Hal tersebut secara implisit juga diungkapkan oleh Sudikno Mertokusumo sebagai berikut: “Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan hukum.5 Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.6 Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang 5
Sudikno Mertokusumo, dalam M. Syukri Akub & Baharuddin Baharu, Wawasan Due Proses Of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta: Rangkang Education, 2012, hal 36-37. 6 Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, Op.cit, hal. 64.
17
diberikan
oleh
hukum,
kepentingan-kepentingan
ditujukan tertentu,
kepada yaitu
perlindungan
dengan
cara
terhadap
menjadikan
kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum.7 Sebagaimana diketahui bahwa motivasi utama dari pembentukan KUHAP No. 8 Tahun 1981 adalah untuk menampung cita-cita ataupun ide perlindungan hak-hak asasi dan harkat martabat manusia.8 Philipus M. Hadjon mengemukakan: Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.9 Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban menyatakan bahwa: “Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”.10 Dalam Pasal Menimbang huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31
7
Harjono, Op.cit. hal.373. M. Syukri Akub & Baharuddin Baharu, Wawasan Due Proses Of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta: Rangkang Education, 2012, hal 78. 9 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya : Bina Ilmu, 1987, hal 205. 10 Lihat Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. 8
18
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban menyatakan: a. bahwa jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana; b. bahwa untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan ahli.11 Dalam penelitian ini, perlindungan hukum diberi batasan sebagai suatu upaya yang dilakukan di bidang hukum dengan maksud dan tujuan memberikan jaminan perlindungan terhadap pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) demi mewujudkan kepastian hukum. 2. Konsep Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) Dalam bahasa Inggris disebut whistle blower (peniup peluit), disebut demikian karena seperti wasit dalam pertandingan sepak bola atau olah raga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran, atau polisi lalu lintas yang hendak―menilang seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan atau seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul—dialah
yang
bersiul,
berceloteh,
membocorkan
atau
mengungkapkan fakta kejahatan, kekerasan atau pelanggaran.12 Whistle
11
Lihat Pasal Menimbang huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. 12 Quentin Dempster, Whistleblowers Para Pengungkap Fakta, Jakarta : Elsam- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2006, hal 1.
19
blower adalah orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi.13 Whistle
blower
menurut
United
Nation
Convention
Againts Corruption (UNCAC), merupakan any person, who reports in good faith and on reasonable grounds to the competent authorities any facts concerning offences established in accordance with this Convention” (setiap orang yang melaporkan dengan itikad baik dan dengan dasar yang cukup kepada pihak yang berwenang setiap fakta tentang kejahatan yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini).14 Whistle blower dalam butir 8 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA ) No 4 tahun 2011 tentang Pelaporan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu didefinisikan: “Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan pelaku”. Menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, untuk disebut sebagai whistle blower, saksi tersebut setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar: Kriteria pertama, whistle blower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar. Kriteria kedua, seorang whistle blower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan 13 14
Ibid. Lihat Article 33 United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) 2004.
20
yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistle blower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.15 3. Konsep Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.16 Istilah Saksi Pelaku yang Bekerjasama dikenal dengan beragam istilah, misalnya justice collaborator, cooperative whistle blowers, participant whistle blower, collaborator with justice atau pentiti (italia).17 Secara terminologi, dalam sistem hukum Indonesia pengertian justice collaborator adalah : Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.18 Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) dalam Butir 9 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku 15
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Memahami Whistleblower, Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 2011. hal 1-2. 16 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. 17 Abdul Haris Semendawai, Op.cit, hal 7. 18 Pasal 1 angka 3 Peraturan Bersama Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.
21
yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu didefinisikan: “Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam SEMA ini (Tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir), mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan”. Sedangkan pengertian menurut Council of Europe Committee of Minister, bahwa yang dimaksud dengan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah: “any person who faces criminal charges, or has been convicted of taking part in criminal association or other criminal organisation of any kind, or in offences of organised crime, but who agrees to coorporate with criminal justice authorities, particularly by giving testimony about a criminal association or organisation, or about any offence connected with organised crime or other serious crimes. (setiap orang yang menghadapi tuntutan pidana, atau telah dihukum karena mengambil bagian dalam tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau kejahatan terorganisir dalam segala bentuknya, atau merupakan bagian dari kejahatan terorganisir, namun bersedia untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum, khususnya untuk memberikan kesaksian mengenai tindak pidana yang dilakukan bersama-sama atau terorganisir, atau mengenai tindak pidana yang terkait dengan kejahatan terorganisir maupun kejahatan serius lainnya.).19 4. Konsep Tindak Pidana Istilah pidana tidak terlepas dari masalah pemidanaan. Secara umum pemidanaan merupakan bidang dari pembentukan undang undang, karena
19
Abdul Haris Semendawai, Op.cit, hal 8.
22
adanya asas legalitas. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 Kitab Undangundang Hukum Pidana yang berbunyi “nullum delictum nulla poena sine praevia poenali” yang artinya tiada ada suatu perbuatan tindak pidana, tiada pula dipidana, tanpa adanya undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. Oleh karena ”pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.20 Pidana mengandung unsur-unsur atau ciriciri sebagai berikut:21 a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Berdasarkan kajian etimologis tindak pidana berasal dari kata “strafbaar feit” di mana arti kata ini menurut Simons adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.22 Strafbaarfeit, terdiri dari tiga suku kata yakni, straf yang diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, kata baar
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hal
2. 21 22
Ibid, hal 4. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hal 56.
23
diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.23 Hamel mengatakan bahwa ”Strafbaarfeit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”. Sedangkan pendapat Pompe mengenai Strafbaarfeit adalah sebagai berikut: ”Strafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku”.24 Moeljatno menganggap lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana, yakni sebuah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.25 Wirjono Prodjodikoro lebih condong memakai istilah tindak pidana untuk menyebut istilah ”strafbaar feit”, hal mana juga ditunjukkan olehnya bahwa “sifat melanggar hukum” merupakan bagian dari “tindak pidana”.26 Menurut Leden Marpaung, istilah “delik “lebih cocok, di mana “delik” berasal dari kata delict (Jerman dan Belanda), delit (Prancis) yang berarti perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang pidana.27 E. Utrecht menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena peristiwa 23
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 69. 24 25
Moeljatno, Op.cit, hal 54. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, Bandung, 2008, hal 1. 27 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal 7. 26
24
itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen positif) atau melalaikan (verzuim atau nalaten atau niet-doen, negatif maupun akibatnya).28 Mengenai istilah tindak pidana menurut Moeljatno, istilah ini timbul dan berkembang dari pihak Kementerian Kehakiman yang sering dipakai dalam perundang-undangan—meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan”, “tindak” tidak menunjuk pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tindak pidana hanya menyatakan keadaan konkret, sebagaimana halnya dengan peristiwa.29 Para pembentuk undang-undang lebih memilih istilah tindak pidana, seperti misalnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang memberikan istilah “tindak pidana tertentu”. Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.30 Acuan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 adalah Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) Tahun 2003 dan Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisir (United Nation Convention Against Transnational Organized 28
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT. ERESCO, 2002, hal 207. 29 Moeljatno, Op.cit, hal 79. 30 Hukum Online, Perbedaan Whistle Blower dan Justice Collaborator: Berbeda definisi dan berbeda pula perlakuannya. 19 Mei 2012. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fb7bff86349a/perbedaan-iwhistle-blower-i-danijustice-collaborator-i, diakses pada tanggal 2 Februari 2016.
25
Crimes 2000). Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi menjadi UU No. 7 Tahun 2006 dan meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional menjadi UU No. 5 Tahun 2009. Sedangkan mengenai tindak pidana tertentu dalam Alinea 3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban menyatakan bahwa: “Tindak pidana tertentu tersebut di atas yakni tindak pidana pelanggaraan hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.”31
B.
Hasil Penelitian 1. Perkembangan Whistle Blower Dan Justice Collaborator Menurut sejarahnya whistle blower dan justice collaborator sangat erat kaitannya dengan organisasi kejahatan ala mafia yang merupakan organisasi kejahatan tertua dan terbesar di Italia yang berasal dari Palermo dan Sicilia, sehingga sering disebut Sicilian Mafia atau Cosa Nostra. Kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh para mafioso (sebutan terhadap anggota mafia) bergerak di bidang perdagangan heroin dan berkembang di berbagai belahan dunia, sehingga kita mengenal organisasi sejenis di berbagai negara seperti Mafia di Rusia, Cartel di Colombia, Triad di Cina
31
Lihat Alinea 3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
26
dan Yakuza di Jepang. Begitu kuatnya organisasi kejahatan tersebut, sehingga orang-orang mereka bisa menguasai berbagai sektor kekuasaan, apakah itu eksekutif, legislatif, maupun yudikatif termasuk aparat penegak hukum.32 Joseph Valachi adalah orang pertama dari Mafia Italia-Amerika yang melanggar omertà atau sumpah diam yang diyakini para mafia baik karena rasa takut ataupun kesetiaan terhadap kelompok mafianya. Pada tahun 1963 dia bersaksi di hadapan Komisi Kongres Amerika Serikat tentang struktur internal Mafia dan kejahatan terorganisir. Kerjasamanya terdorong oleh rasa takut bahwa dia akan dibunuh oleh Vito Genovese, seorang pimpinan keluarga Mafia yang sangat kuat. Valachi adalah orang pertama di Amerika Serikat yang ditawarkan perlindungan untuk kesaksiannya sebelum program perlindungan saksi dibentuk secara formal.33 Perkembangan selanjutnya, The Attorney General USA melalui Organized Crime Control Act of 1970, memberikan kewenangan untuk memberikan keamanan terhadap saksi yang bersedia bekerjasama dan bersedia untuk memberikan kesaksian atas kasus yang melibatkan tindak kejahatan yang terorganisir atau tindaka pidana serius lainnya, dengan memindahkan mereka ke tempat yang aman dan menyediakan segala kebutuhan pendukungnya. Peraturan ini kemudian diamandemen dan diperbaharui pada tahun 1984, melalui Witness Security Reform Act of 1984 32
Eddy O.S. Hiariej, Legal Opini: Permohonan Pengujian Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Newsletter Komisi Hukum Nasional ,Vol.10 No.6 tahun 2010, hal.23. 33 The Editors of Encyclopædia Britannica, Joseph Valachi: American gangster, http://www.britannica.com/biography/Joseph-Valachi, diakses pada tanggal 2 Februari 2016.
27
(Title 18, United States Code, Section 3521 et seq.), ketentuan ini berada di bawah Federal Witness Security Program (Program) dan telah dilakukan dalam beberapa waktu terakhir. Perlindungan diberikan kepada saksi baik itu berupa merelokasikannya dari komunitasnya maupun dengan pemisahan penahanan (incarcerated witnesses/prisoner-witnesses).34 Kemudian, Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) Tahun 2003 dan Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisir (United Nation Convention Against Transnational Organized Crimes 2000) juga memberikan jaminan perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator. Di Indonesia sendiri, lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban setidaknya memberikan paradigma baru dalam perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Dalam Alinea 3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban menyatakan bahwa: “Selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku (justice collaborator), Pelapor (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana, sehingga terhadap mereka perlu diberikan Perlindungan. Tindak pidana tertentu tersebut di atas yakni tindak pidana pelanggaraan hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana 34
Abdul Haris Semendawai, Op.cit, hal 2.
28
pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.”35 Selanjutnya beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban diubah oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Dalam Alinea 2 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban menyatakan bahwa: Dari pengembangan substansi di atas, tampak beberapa kelemahan yang cukup signifikan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya mengenai:...b) keterbatasan kewenangan yang menyangkut substansi penjabaran dari tugas dan fungsi LPSK yang berimplikasi pada kualitas pemberian layanan Perlindungan Saksi, Korban, Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli;.36 Istilah whistle blower dan justice collaborator juga termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Perkembangan selanjutnya, untuk menyamakan visi dan misi mengenai whistle blower dan justice collaborator, dibuatlah Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung,
35
Lihat Alinea 3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. 36 Lihat Alinea 4 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
29
Kapolri, KPK dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Peraturan Bersama tersebut isinya mengatur tentang perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. 2. Pengertian Whistle Blower Dan Justice Collaborator Dalam Materi Muatan KUHP, KUHAP dan UU No 13 Tahun 2006 jo UU No 31 Tahun 2014 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penulis tidak menemukan istilah pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). KUHP hanya menyebut istilah saksi—itu pun tidak ada kejelasan mengenai pengertiannya. Pengaturan saksi dalam KUHP tidak diatur secara jelas, bahkan yang diatur dalam KUHP hanya kewajiban dari saksi untuk memberikan kesaksian, maka ia dapat diancam dengan pidana (vide Pasal 224 dan 522 KUHP). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penulis juga tidak menemukan istilah pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). KUHAP hanya menyebut istilah saksi. Secara umum pengertian saksi tercantum dalam KUHAP yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang No 8 Tahun 1981 dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP yang menyatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Pengertian tersebut kemudian berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010
30
Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana diperluas menjadi termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.37 Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP menempatkan pentingnya kedudukan saksi sebagai alat bukti yang utama dalam perkara pidana. Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan bahwa: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu”. KUHAP memang tidak memberikan pengertian mengenai pelapor tindak pidana (whistle blower), namun memberikan pengertian laporan pada Pasal 1 angka 24 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana”. Dalam hal ini peristiwa yang dilaporkan oleh masyarakat belum tentu merupakan sebuah peristiwa pidana sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang untuk menentukan apakah peristiwa tersebut merupakan sebuah peristiwa pidana atau bukan.38 Tindakan penyelidikan
37
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. 38 Rovan Kaligis, Fungsi Penyelidikan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana, Lex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus/2013, hal 17.
31
untuk menentukan apakah sebuah peristiwa merupakan peristiwa pidana atau bukan merupakan sebuah kewajiban bagi pejabat yang berwenang ketika menerima sebuah laporan dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) KUHAP, yaitu : “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”. Pasal 108 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP menyatakan secara limitatif bahwa: (1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis. (2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik. (3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik. Rumusan Pasal 108 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP menurut penulis sangat abstrak pengertiannya apabila dikaitkan dengan konsep pelapor tindak pidana (whistle blower), karena rumusan tersebut dapat saja mengacu pada pengertian saksi, korban dan saksi pelaku yang bekerjasama—selain pelapor tindak pidana (whistle blower). Di Indonesia, KUHP merupakan hukum
pidana materiil,
sedangkan KUHAP merupakan hukum pidana formil, keduanya menjadi dasar
atas
penyelenggaraan
sistem
peradilan
pidana
Indonesia.
Ketidaklengkapan dan kekurangan KUHAP selama ini memang telah
32
diminimalisir dengan menambahkan berbagai ketentuan khusus tentang prosedur beracara dalam bentuk undang-undang untuk tindak pidana tertentu.39 Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban setidaknya memberikan paradigma baru dalam pengertian konsep pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 memisahkan konsep antara saksi, saksi pelaku, pelapor dan korban. Dalam Alinea 3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban menyatakan bahwa: “Selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku (justice collaborator), Pelapor (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana, sehingga terhadap mereka perlu diberikan Perlindungan. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban memberikan pengertian bahwa Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Sedangkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 31 39
Supriyadi Widodo Eddyono, Op.cit, hal 1.
33
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban memberikan pengertian bahwa Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi. Tabel 1. Perbandingan Konsep Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Peraturan Definisi Bentuk Perlindungan KUHP Tidak ada. KUHP hanya Tidak ada. menyebut istilah saksi. KUHAP Tidak ada. KUHAP hanya Tidak ada. menyebut istilah saksi. UU Tidak ada. UU 13/2006 Pada Pasal 5 ayat (1) UU 13/2006. hanya menyebut istilah saksi 13/2006, hanya mengatur bentuk dan korban (belum perlindungan untuk saksi dan diperluas). korban dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. UU Pasal 1 angka 2: Saksi Pasal 5 ayat (3): Selain kepada 31/2014. Pelaku adalah tersangka, Saksi dan/atau Korban, hak yang terdakwa, atau terpidana diberikan dalam kasus tertentu, yang bekerja sama dengan dapat diberikan kepada Saksi penegak hukum untuk Pelaku, Pelapor, dan ahli, mengungkap suatu tindak termasuk pula orang yang dapat pidana dalam kasus yang memberikan keterangan yang sama. berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat Pasal 1 angka 4: Pelapor sendiri, dan tidak ia alami sendiri, adalah orang yang sepanjang keterangan orang itu memberikan laporan, berhubungan dengan tindak informasi, atau keterangan pidana. kepada penegak hukum Pasal 5 ayat (1): mengenai tindak pidana a. memperoleh perlindungan atas yang akan, sedang, atau keamanan pribadi, Keluarga, telah terjadi. dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses
34
Peraturan
Definisi
Bentuk Perlindungan memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. dirahasiakan identitasnya; j. mendapat identitas baru; k. mendapat tempat kediaman sementara; l. mendapat tempat kediaman baru; m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. mendapat nasihat hukum; o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau p. mendapat pendampingan.
Sumber: KUHP, KUHAP, UU No 13 Tahun 2006 jo UU No 31 Tahun 2014, diolah penulis.
C.
Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Whistle Blower dan Justice Collaborator 1.
KUHP
35
KUHP tidak mengatur secara jelas mengenai perlindungan terhadap saksi, bahkan yang diatur dalam KUHP hanya kewajiban dari saksi untuk memberikan kesaksian, dan dapat diancam dengan pidana yaitu pada Pasal 224 ayat (1) KUHP yaitu : Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selalu demikian harus dipenuhinya, diancam : 1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan; 2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.40 R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa supaya dapat dihukum berdasarkan Pasal 224 KUHP, orang tersebut harus:41 a) Dipanggil menurut undang-undang (oleh hakim) untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa baik dalam perkara pidana, maupun dalam perkara perdata; b) Dengan sengaja tidak mau memenuhi (menolak) suatu kewajiban yang menurut undang-undang harus ia penuhi, misalnya kewajiban untuk datang pada sidang dan memberikan kesaksian, keterangan keahlian, menterjemahkan. Perlu diingat, R. Soesilo juga menjelaskan bahwa orang itu harus benar-benar dengan sengaja menolak memenuhi kewajibannya tersebut, 40
Lihat Pasal 224 ayat (1) KUHP. Letezia Tobing, Hak dan Kewajiban Saksi dalam Perkara Pidana, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5394538dd600b/hak-dan-kewajiban-saksi-dalamperkara-pidana, diakses pada tanggal 3 Februari 2016. 41
36
jika ia hanya lupa atau segan untuk datang saja, maka ia dikenakan Pasal 522 KUHP yaitu :42 Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Mengenai kewajiban saksi, sebagaimana diuraikan di atas, maka jelas bahwa seseorang yang dipanggil sebagai saksi dalam suatu perkara pidana berkewajiban untuk hadir. 2.
KUHAP Perlindungan terhadap pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) juga tidak diatur secara jelas dalam KUHAP. Seharusnya perlindungan terhadap saksi diatur dalam KUHAP sebagai suatu hukum acara pidana yang sifatnya umum. Yang mendapat pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam kaitannya dengan saksi hanya pengaturan mengenai kewajiban dari seorang saksi, sedangkan soal perlindungan yang harus diberikan terhadap seorang saksi tidak mendapatkan tempat. Mengenai kewajiban saksi dapat dilihat dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP
yang
menyebutkan
bahwa
Penyidik
yang
melakukan
pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan
42
Ibid.
37
tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Meskipun dalam KUHAP tidak secara jelas mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi, namun demikian terdapat beberapa ketentuan dalam KUHAP yang mengatur hak-hak dan kewajiban seorang saksi dalam suatu proses peradilan pidana yaitu : a) Pasal 117 ayat (1): Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun. b) Pasal 118 : Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditanda tangani oleh penyidik, dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujuinya. c) Pasal 173 : Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai suatu hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa keluar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu ia tidak hadir. Penjelasan Pasal 173 di atas yaitu apabila menurut pendapat hakim seorang saksi itu akan merasa tertekan atau tidak bebas dalam memberikan keterangan apabila terdakwa hadir di sidang, maka untuk menjaga hal yang tidak diinginkan hakim dapat menyuruh terdakwa ke luar untuk sementara dari persidangan selama hakim mengajukan pertanyaan kepada saksi.
38
d) Pasal 177 ayat (1) : Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. e) Pasal 178 ayat (1) : Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. f) Pasal 277 ayat (1): Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir. g) Pasal 299 ayat (1) : Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain hak-hak di atas, seorang saksi korban juga berhak meminta ganti kerugian. Kapasitas saksi dalam hal ini adalah sebagai saksi korban, yaitu seorang korban dari suatu tindak pidana yang juga melakukan kesaksian. Mengenai hak ini diatur dalam Pasal 98 ayat 1 KUHAP yaitu : Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
39
Penjelasan pasal di atas bahwa kerugian bagi orang lain termasuk kerugian bagi korban, maka jika seorang saksi yang juga sekaligus menjadi korban, dia dapat meminta ganti kerugian dengan cara menggabungkan gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan. Selain itu, dapat juga dilihat dari Pasal 81 KUHAP mengenai pra peradilan yaitu : Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibatnya sah penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya. Kapasitas saksi pada Pasal 81 KUHAP juga sebagai saksi korban, dimana seorang korban dapat merupakan pihak ketiga yang mempunyai kepentingan jika sebuah perkara dihentikan. Seorang saksi tidak dapat memiliki hak-hak saja, namun juga terdapat beberapa kewajiban seperti yang diatur dalam Pasal 159 ayat 2, 161 dan 174 KUHAP sebagai berikut : a) Pasal 159 ayat (2): Dalam hal saksi tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan. b) Pasal 161 : Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat 3 dan 4, maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia
40
dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari. c) Pasal 174 ayat (2): Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. 3.
UU No 13 Tahun 2006 Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah ada di Indonesia sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dasar pertimbangan perlunya undang-undang yang mengatur perlindungan perlindungan saksi dan korban pada bagian menimbang dari Undang-undang ini antara lain menyebutkan : penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.43 Selain itu pada Penjelasan Umum Pasal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa: Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi
43
Lihat Pasal Menimbang huruf (b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
41
dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.44 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, secara umum mengatur beberapa bentuk perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban, yaitu meliputi: a.
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b.
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.
memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.
mendapat penerjemah;
e.
bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.
mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g.
mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h.
mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i.
mendapat identitas baru;
j.
mendapatkan tempat kediaman baru;
44
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
42
k.
memperoleh
penggantian
biaya
transportasi
sesuai
dengan
kebutuhan; l.
mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Namun perlindungan yang diberikan dalam undang-undang tersebut belum dapat melindungi whistle blower dan justice collaborator secara maksimal. Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut hanya memberikan perlindungan sebatas terhadap saksi dan korban saja. Sedangkan Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) tidak memiliki kejelasan dalam Undang-Undang ini. Akibatnya, banyak saksi dalam kategori ini yang masih ragu atas perlindungan yang akan diberikan, misalnya terkait dengan kepastian hukum bagi mereka, prosedur perlindungan, dan juga penghargaan atas peran mereka dalam membongkar kejahatan.45 Kelemahan substansial Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 terkait pelaksanaan Pasal 10. Menurut Eddy O.S. Hiarij, dalam Pasal 10 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 adalah bertentangan dengan semangat whistle blower dan justice collaborator, karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang whistle blower dan justice collaborator, dimana yang bersangkutan akan tetap dijatuhi hukuman
45
Supriyadi Widodo Eddyono, dkk. Masukan Terhadap Perubahan UU No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Jakarta: Koalisi Perlindungan Saksi Dan Korban. 2014. hal 3.
43
pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut.46 Pasal 10 UndangUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menimbulkan permasalahan penafsiran ketika ada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus yang sama. Kedua ayat pada pasal tersebut menimbulkan pertentangan satu sama lain ketika dipertemukan pada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus yang sama. Pada ayat (1) dikatakan bahwa saksi yang melaporkan dan bersaksi tidak dapat dipidana, namun pada ayat (2) dikatakan bahwa jika saksi adalah tersangka pada kasus yang sama maka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana. Sementara, mandat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban hanya melindungi saksi dan korban bukan tersangka, sehingga masalah pada Pasal 10 ini kemudian menimbulkan ambiguitas mengenai status perlindungan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pada yang bersangkutan. Sebagai upaya untuk mengatasi kekosongan hukum dalam melindungi whistle blower dan justice collaborator, Mahkamah Agung kemudian menerbitkan SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Sebelum adanya SEMA No. 4 Tahun 2011, tampak bahwa Pasal 10 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tidak dapat membedakan whistle blower dengan justice collaborator, sehingga pengadilan juga tidak dapat memberikan perlakuan yang tepat.
46
Eddy O.S. Hiariej, Op.cit, hal 25.
44
4.
UU No 31 Tahun 2014 UU No 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban memberikan pengaturan yang lebih luas tentang perlindungan hukum saksi khususnya juga terhadap pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dalam tindak pidana tertentu dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. UU No 31 Tahun 2014 menambahkan subyek penerima hak perlindungan yaitu Saksi Pelaku, Pelapor, dan Ahli (vide Pasal 5 ayat (3)): Hak Saksi dan/atau Korban dalam kasus tertentu dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyatakan bahwa: “Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”.47 Dalam Pasal Menimbang huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyatakan: a. bahwa jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana; b. bahwa untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana
47
Lihat Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
45
transnasional yang terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan ahli.48 Adapun ketentuan tentang perlindungan diatur dalam Pasal 5 UU No 31 Tahun 2014 sebagai berikut: (1) Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. dirahasiakan identitasnya; j. mendapat identitas baru; k. mendapat tempat kediaman sementara; l. mendapat tempat kediaman baru; m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. mendapat nasihat hukum; o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau p. mendapat pendampingan. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK. (3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
48
Lihat Pasal Menimbang huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
46
Kemudian Pasal 10 UU No 31 Tahun 2014 juga memberikan perlindungan terhadap pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dalam tindak pidana tertentu terkait upaya tuntutan hukum dari pihak lain. Risiko dari pelapor tindak pidana (whistle blower) adalah ancaman balik dilaporkan dugaan pencemaran nama baik oleh pihak terlapor. Oleh sebab itu pemberian jaminan perlindungan tersebut mestinya sudah harus diberikan pada saat adanya pelaporan, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.49 Pasal 10 UU No 13 Tahun 2006 jo UU No 31 Tahun 2014 menyatakan bahwa: (1) Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik; (2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Protection, treatment dan reward kepada whistle blower dan justice collaborator merupakan suatu cara yang penting untuk membongkar Tindak Pidana Serius.50 Dalam upaya perlindungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator), Pasal 10A UU No 31 Tahun 2014 menyatakan bahwa:
49 50
Dominggus Silaban, Op.cit. Abdul Haris Semendawai, Op.cit, hal 23.
47
(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan. (2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. (3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. keringanan penjatuhan pidana; atau b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana. (4) Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim. (5) Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pasal 28 ayat (2) UU No 31 Tahun 2014 memberikan persyaratan perlindungan LPSK terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) sebagai berikut: a.
b. c. d. e.
tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku dalam mengungkap suatu tindak pidana; bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya; kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan adanya Ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya Ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku
48
atau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya. Pasal 28 ayat (3) UU No 31 Tahun 2014 memberikan persyaratan perlindungan LPSK terhadap pelapor tindak pidana (whistle blower) sebagai berikut: a. b.
sifat pentingnya keterangan Pelapor; tingkat Ancaman yang membahayakan Pelapor. Hak yang diberikan terhadap pelapor tindak pidana (whistle
blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 31 Tahun 2014 dihentikan jika diketahui bahwa kesaksian, laporan, atau informasi lain diberikan tidak dengan iktikad baik (vide Pasal 32A ayat (1) UU No 31 Tahun 2014).51 Dalam hal tindak pidana yang dilaporkan atau diungkap oleh saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak terbukti, tidak menyebabkan batalnya Perlindungan bagi Saksi Pelaku tersebut (vide Pasal 32A ayat (2) UU No 31 Tahun 2014). Selain itu, UU No 31 Tahun 2014 juga memberikan perlindungan terhadap pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) melalui sanksi ancaman pidana sebagai berikut:
51
Yang dimaksud “tidak dengan iktikad baik” antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat. Vide Penjelasan Pasal 32A ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
49
1.
Setiap Orang yang memaksakan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan atau cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf j, huruf k, atau huruf l sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (vide Pasal 37 ayat 1).
2.
Setiap Orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (vide Pasal 37 ayat 2).
3.
Setiap Orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (vide Pasal 37 ayat 3).
4.
Setiap Orang yang menghalang-halangi Saksi dan/atau Korban secara melawan hukum sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh Perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, huruf p, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), atau Pasal 7A ayat (1) , dipidana dengan pidana
50
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (vide Pasal 38). 5.
Setiap Orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau Keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (vide Pasal 39).
6.
Setiap Orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), atau Pasal 7A ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (vide Pasal 40).
7.
Setiap Orang yang secara melawan hukum memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang sedang dilindungi dalam suatu tempat kediaman sementara atau tempat kediaman baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf k dan huruf l dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (vide Pasal 41).
51
8.
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 41. Selain pidana denda, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: pencabutan izin usaha; pencabutan status badan hukum; dan/atau pemecatan pengurus. (Vide Pasal 42A).
9.
Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 42, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda dicantumkan dalam amar putusan hakim. (Vide Pasal 43). Seiring perjalanan waktu telah ditemui beberapa kelemahan yang
berpengaruh bagi pelaksanaan perlindungan terhadap saksi dan korban pada UU No 13 Tahun 2006. Kelemahan tersebut terlihat dari minimnya pengaturan mengenai perlindungan dan penghargaan terhadap pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dalam tindak pidana tertentu. Tahun 2014 merupakan tahun terpenting bagi LPSK karena pada tahun tersebut UU No 13 Tahun 2006 akhirnya telah mengalami perubahan menjadi UU No 31 tahun 2014, yang
52
memuat beberapa perubahan ketentuan dari undang-undang sebelumnya disesuaikan dengan perkembangan hukum di indonesia. Secara singkat, UU No 31 tahun 2014 memiliki delapan poin penting
perubahan
undang-undang
tersebut.
Pertama,
penguatan
kelembagaan LPSK; kedua, penguatan kewenangan LPSK; ketiga, perluasan
subyek
perlindungan;
keempat,
perluasan
pelayanan
perlindungan terhadap korban; kelima, peningkatan kerjasama dan koordinasi
antar
lembaga;
keenam,
pemberian
penghargaan
dan
penanganan khusus yang diberikan terhadap saksi pelaku; ketujuh, mekanisme penggantian Anggota LPSK antarwaktu; dan kedelapan, perubahan ketentuan pidana termasuk tindak pidana yang dilakukan korporasi.52 Ketentuan mengenai subjek hukum yang dilindungi dalam UU No 31 tahun 2014 ini diperluas selaras dengan perkembangan hukum di masyarakat—hal tersebut merupakan poin mendasar yang membedakan UU No 31 tahun 2014 dengan KUHP dan KUHAP, dimana KUHP dan KUHAP lebih limitatif dalam konsep mengenai saksi. Selain itu, KUHP dan KUHAP juga tidak memiliki kejelasan dalam perlindungan hukum terhadap saksi dan/atau korban—juga pengaturan perlindungan hukum bagi pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Dalam KUHP hanya mengatur kewajiban dari saksi untuk memberikan kesaksian, jika tidak memenuhi 52
Lihat Alinea 4 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
53
kewajiban maka ia dapat diancam dengan pidana yaitu pada Pasal 224 KUHP dan dihukum denda pada Pasal 522 KUHP. Sedangkan KUHAP yang mengatur segala ketentuan praktek beracara pidana di Indonesia masih berorientasi pada perlindungan terhadap pelaku tindak pidana (offender orientied). Namun menurut penulis, kelemahan dalam UU No 31 tahun 2014 yang merupakan produk perundang-undangan revisi UU Nomor 13 tahun 2006 yaitu tidak menyebutkan mengenai perlindungan terhadap pelapor tindak pidana (whistle blower) dari ancaman sanksi rotasi, mutasi, dan penyesuaian struktur organisasi lembaga, kementerian hingga sektor privat. Pasal 39 UU No 31 tahun 2014 hanya menyebutkan perihal perlindungan terkait atas kehilangan pekerjaan karena memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan. Selain itu, rumusan pada Pasal 1 angka 2 UU No 31 tahun 2014 memberikan pengertian bahwa Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Poin pada perlindungan ini yang terpenting justru pemberian “informasi dan keterangannya” bukan di ranah “terkait dalam kasus yang sama” karena dalam praktiknya banyak calon saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) akan yang akan memberikan kontribusi, namun posisinya sebagai pelaku bukan “dalam kasus yang sama”—seperti misalnya, dalam
54
kasus korupsi, banyak saksi pelaku korupsi yang bukan dalam kasus korupsi yang sama. Peran Jaksa Penuntut Umum menentukan status saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) cukup penting, karena dalam prakteknya Jaksa Penuntut Umum yang sebetulnya yang paling berkepentingan dalam menggunakan Pelaku yang bekerjasama. Pada UU No 31 tahun 2014 justru sebaliknya, fungsi dan peran jaksa lebih cenderung sebagai pendukung LPSK dalam pemberian reward bagi Pelaku yang bekerjasama. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 10A ayat (4) UU No 31 tahun 2014: “Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim”. Hal tersebut menurut penulis kurang tepat, karena seolah-olah yang paling berkepentingan dalam saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) adalah LPSK bukannya Jaksa Penuntut Umum. Padahal saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) merupakan kepentingan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk membantunya dalam penuntutan sehingga atas bantuan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) tersebut memudahkan peran Jaksa Penuntut Umum dalam menunut sebuah perkara pidana tertentu. Dalam posisi demikian maka sebetulnya, tidak proses negosiasi antara saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dan Jaksa Penuntut Umum. Rekomendasi dari LPSK mengenai keringanan penjatuhan pidana kepada Jaksa Penuntut Umum
55
dapat merupakan ketidakpastian atas reward yang akan diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Karena jika menurut Jaksa Penuntut Umum saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) yang bersangkutan tidak sesuai perannya dengan indikator dari Jaksa Penuntut Umum, maka bisa jadi rekomendasi dari LPSK ditolak oleh Jaksa Penuntut Umum. Selain itu menurut penulis, pembatasan pemberian perlindungan terhadap saksi justru merupakan suatu kemunduran. Pembatasan dilakukan dalam Pasal 5 ayat (2) UU No 31 Tahun 2014, yang hanya memberikan perlindungan terhadap saksi dalam kasus-kasus tertentu saja, dan kasus tersebut ditentukan oleh LPSK. Pemikiran seperti ini justru akan memperlemah kinerja LPSK. Seharusnya kategori saksi yang berhak untuk mendapatkan perlindungan tidak hanya digunakan pada jenis-jenis kejahatannya. Rumusan ini akan menutup perlindungan saksi diluar tindak pidana tersebut, hal ini akan mendiskriminasi para saksi karena telah menutup perlindungan saksi dalam tindak pidana lain, walaupun ancaman dan intimidasinya masuk dalam kategori berat. Pembatasan perlindungan juga terlihat dalam Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU No 31 Tahun 2014 memberikan persyaratan perlindungan LPSK terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dan pelapor tindak pidana (whistle blower). Menurut Edi Yuhermansyah, latar belakang munculnya pembatasan pemberian perlindungan, yaitu untuk mengurangi beban pembiayaan pemerintah, agar biaya yang akan diberikan untuk perlindungan saksi tidak terlalu besar yang akan
56
memberatkan negara. Alasan kedua ialah merupakan sebuah mekanisme untuk menyaring atas kasus-kasus yang akan masuk pada LPSK. 53 Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum.54 Oleh sebab itu perlindungan, perlakuan khusus dan penghargaan kepada saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dan pelapor tindak pidana (whistle blower) dalam tindak pidana tertentu sebagaimana yang termaktub dalam UU No 31 tahun 2014 menjadikan kepentingan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dan pelapor tindak pidana (whistle blower) terlindungi ke dalam sebuah hak hukum—selain untuk mengungkap peristiwa tindak pidana. Menurut penulis, bentuk-bentuk perlindungan hukum yang ideal terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dan pelapor tindak pidana (whistle blower) meliputi: 1. Perlindungan Fisik, Psikis dan Hukum Secara umum sudah diatur dalam Pasal 5, Pasal 10 dan Pasal 10A UU No 13 Tahun 2006 jo UU No 31 Tahun 2014. 2. Perlindungan Prosedural
53
Edi Yuhermansyah, Urgensi Perlindungan Saksi Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006: Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Jurnal LEGITIMASI, Vol.1 No. 2, Januari-Juni 2012, hal 221. 54 Harjono, Op.cit. hal 373.
57
Pada sejumlah Negara, pengadilan dapat menerapkan upaya-upaya khusus sepanjang pemberian kesaksian untuk memastikan bahwa saksi memberikan keterangannya bebas dari intimidasi dan rasa takut terhadap nyawanya, di antaranya:55 (a) Penggunaan pernyataan pra-persidangan yang diberikan oleh saksi pada kesaksian di persidangan; (b) Kehadiran seorang pendamping untuk dukungan psikologis; (c) Kesaksian melalui closed-circuit television (CCTV) atau video conferencing; (d) Penyamaran suara dan muka; (e) Pemindahan terdakwa atau publik dari ruang sidang; (f) Kesaksian tanpa nama. 3. Penghargaan Hal ini selaras dengan strategi yang dianjurkan oleh UNCAC dan UNTOC dimana untuk mendorong pelaku tindak pidana agar mau menjadi saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dan pelapor tindak pidana (whistle blower) adalah dengan memberikan penghargaan atas kerjasama yang mereka berikan.56 Untuk pemberian insentif berupa penghargaan, syarat utama yang harus diperhatikan adalah seberapa berharganya informasi yang dimiliki pelapor tindak
55
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Praktek Terbaik Perlindungan Saksi Dalam Proses Pidana Yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir, http://www.unodc.org/documents/southeastasiaandpacific/Publications/Projects/indonesia/Praktek _terbaik_perlindungan_saksi_dalam_proses_pidana_yang_melibatkan_kejahatan_terorganisir.pdf, diakses pada tanggal 26 Februari 2016. 56 Abdul Haris Semendawai, Op.cit, hal 13.
58
pidana (whistle blower) untuk membantu mengungkap tindak pidana besar dimana ia mengetahuinya. Bagi saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dapat berupa:57 a) Imunitas atau penghapusan penuntutan; b) Peringanan tuntutan dan hukuman (mitigation punishment/leniency) berupa:
tuntutan
dan
penjatuhan
hukuman
percobaan,
perubahan/pengalihan bentuk hukuman, pengurangan tuntutan dan hukuman, remisi/grasi. Terkait
perlindungan
hukum
terhadap
saksi
pelaku
yang
bekerjasama (justice collaborator) dan pelapor tindak pidana (whistle blower), LPSK dalam menjalankan tugas dan fungsinya tetap tidak akan terlepas dari berbagai macam tantangan, kendala dan hambatan, karena itu keberadaan LPSK perlu mendapat dukungan yang positif dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, kepada Pemerintah diharapkan agar melakukan sosialisasi mengenai perlindungan, perlakuan khusus dan penghargaan kepada saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dan pelapor tindak pidana (whistle blower) dalam tindak pidana tertentu sebagaimana yang termaktub dalam UU No 31 tahun 2014 kepada seluruh pihak terkait, khususnya kepada aparat penegak hukum, terkait dengan perubahan konsep perlindungan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator)
dan
pelapor
tindak
pidana
(whistle
blower)
yang
membedakannya dengan KUHP dan KUHAP.
57
Ibid. hal 13-16.
59