BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pola Pengasuhan Pengasuhan berasal dari kata asuh(to rear) yang mempunyai makna menjaga, merawat, dan mendidik anak yang masih kecil. Menurut Wagnel dan Funk yang dikutip oleh Sunarti (1989) menyebutkan bahwa mengasuh itu meliputi menjaga serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster yang intinya bahwa mengasuh itu
Universitas Sumatera Utara
membimbing menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan memberikan pendidikan, makanan, dan sebagainya terhadap mereka yang diasuh. Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial dari anak yang sedang tumbuh dan anggota keluarga lainnya (Enggle, et al, 1997). Sesuai hasil penelitian yang dilakukan oleh Ritayani Lubis (2008) di wilayah kerja Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh ibu yang meliputi praktek pemberian makan dan praktek kesehatan dengan status gizi. Sedangkan rangsangan psikososial dengan status gizi tidak berhubungan. Hasil penelitian Masdiarti (2000) di Hamparan Perak juga memperlihatkan hasil anak yang berstatus gizi baik banyak ditemukan pada ibu bukan pekerja (43,24%) dibandingkan dengan anak pada kelompok ibu pekerja (40,54%) dan ibu bukan pekerja mempunyai kuantitas waktu yang lebih banyak dalam hal mengasuh anaknya seperti memandikan, bermain, menidurkan, memberi makan, dan 7
menyusui. Engle et al (1997) mengemukakan bahwa pola asuh dimanifestasikan dalam 6 hal, yaitu (1) perhatian/dukungan untuk wanita seperti pemberian waktu istirahat
Universitas Sumatera Utara
yang tepat atau peningkatan asupan makanan selama hamil, (2) pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak dan dukungan untuk perkembangan mereka, (4) persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek kebersihan/higiene dan sanitasi lingkungan, dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit meliputi praktek kesehatan di rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan. Pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak serta persiapan dan penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian makanan. Penelitian yang dilakukan oleh Hafrida (2004) di Kelurahan Belawan Bahari Kecamatan Medan Belawan, menunjukkan bahwa ada kecenderungan dengan semakin baiknya pola asuh anak, maka proporsi gizi baik pada anak semakin besar. Tetapi sebaliknya di negara Timur seperti di Indonesia, keluarga besar masih lazim dianut dan peran ibu seringkali dipengang oleh beberapa orang lainnya seperti nenek, keluarga dekat lain dan bukan pembantu. Tetapi ternyata anak yang dididik dalam keluarga besar tersebut dapat tumbuh dengan kepribadian yang baik. Jadi yang lebih penting nilainya adalah suasana damai dan kasih sayang dalam keluarga (Nadesul,1995) 2.1.1. Praktek Pemberian Makan Ada 2 tujuan pengaturan makanan untuk bayi dan anak balita :
Universitas Sumatera Utara
1. Memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu untuk pemeliharaan dan atau pemulihan serta peningkatan kesehatan, pertumbuhan, perkembangan fisik dan psikomotor, serta melakukan aktivitas fisik. 2. Untuk mendidik kebiasaan makan yang baik. Makanan untuk bayi dan anak balita yang baik harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : 1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi yang sesuai dengan umur. 2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang tersedia setempat, kebiasaan makanan, dan selera terhadap makan. 3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan keadaan faal bayi/anak. 4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan. Pertumbuhan anak usia 1-3 tahun sangat rentan terhadap penyakit gizi dan penyakit infeksi. Syarat makanan yang harus diberikan adalah makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang (tidak pedas) dengan jadwal pemberian makan yang sama yaitu 3 kali makanan utama (pagi, siang, malam) dan 2 kali makanan selingan (diantaranya 2 kali makanan utama). Pola hidangan yang dianjurkan adalah makanan seimbang yang terdiri atas sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur.
Universitas Sumatera Utara
Bedasarkan hasil penelitian Sarasani (2005) menyatakan bahwa anak yang mempunyai praktek pemberian makan yang baik lebih banyak ditemukan anak dengan status gizi baik. Berdasarkan penelitian Perangin-angin (2006), bahwa terdapat hubungan antara praktek pemberian makan dengan status gizi anak. Dimana dari 36 orang yang mempunyai status gizi baik terdapat 26 orang (83,87%) dengan praktek pemberian makan yang baik dan 10 orang (58,82%) dengan praktek pemberian makan yang tidak baik. Sedangkan dari 8 orang responden yang mempunyai status gizi kurang terdapat 2 orang (6,45%) dengan praktek pemberian makan yang baik dan 6 orang (35,29%) dengan praktek pemberian makan yang tidak baik. Pada anak usia 1-3 tahun anak bersifat konsumen pasif. Makanannya tergantung pada apa yang disediakan ibu. Gigi geligi susu telah tumbuh, tetapi belum dapat digunakan untuk mengunyah makanan yang terlalu keras. Namun anak hendaknya sudah diarahkan untuk mengikuti pola makanan orang dewasa (As’ad, 2002) Pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan perlu mendapat perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat menyebabkan diare atau cacingan pada anak. Begitu juga dengan si pembuat
Universitas Sumatera Utara
makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan sebagainya sangat menetukan bersih tidaknya makanan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : a. Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari pencemaran dari debu dan binatang. b. Alat makan dan memasak harus bersih. c. Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan harus mencuci tangan dengan sabun sebelum memberikan makan. d. Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri.
2.1.2. Rangsangan Psikososial Umi fahmida (2003) yang mengutip pendapat Myers mengemukakan konsep bahwa kesehatan dan status gizi tidak saja menentukan tapi juga ditentukan oleh kondisi psikososial. Konsep ini selaras dengan penelitian sebelumnya oleh Zeitlin dkk (1990) yang meneliti anak-anak yang tetap tumbuh dan berkembang dengan baik dalam keterbatasan lingkungan dimana sebagian besar anak lainnya mengalami kekurangan gizi dan penyakit kronik (Positive Devience).
Dalam
penelitian tersebut terungkap bahwa kondisi dan asuhan psikososial seperti keterikatan antara ibu dan anak merupakan salah satu faktor penting yang
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan mengapa anak-anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Diperkirakan kondisi psikososial yang buruk dapat berpengaruh negatif terhadap penggunaan zat gizi di dalam tubuh, sebaliknya kondisi psikososial yang baik akan merangsang hormon pertumbuhan sekaligus merangsang anak untuk melatih organ-organ perkembangannya. Selain itu, asuhan psikososial yang baik berkaitan erat dengan asuhan gizi dan kesehatan yang baik pula, sehingga secara tidak langsung berpengaruh positif terhadap status gizi, pertumbuhan dan perkembangan. Ada beberapa faktor sosial, antara lain stimulasi, motivasi belajar, ganjaran ataupun hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stress, cinta dan kasih sayang dan kualitas interaksi anak dan orang tua (Soetjiningsih, 1995).
2.1.3. Praktek Kebersihan/Higiene dan Sanitasi Lingkungan Kondisi lingkungan anak harus benar-benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang (bermain anak), pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampah/air kotor (limbah), kamar mandi dan kakus (jamban/WC) dan halaman rumah. Kebersihan, baik kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan
Universitas Sumatera Utara
penting bagi tumbuh kembang anak. Keadaan perumahan yang layak dengan konstruksi bangunan yang tidak membahayakan penghuninya akan menjamin keselamatan dan kesehatan penghuninya, yaitu ventilasi dan pencahayaan yang cukup, tidak penuh sesak, cukup leluasa bagi anak untuk bermain, dan bebas polusi (Soetjiningsih, 1995). Sulistijani (2001) mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan, tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus perlahan-lahan dan terus menerus. Lingkungan yang sehat terkait dengan keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh karena itu, anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut : 1. Mandi 2 kali sehari 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan 3. Makan teratur, 3 kali sehari 4. Menyikat gigi sebelum tidur 5. Membuang sampah pada tempatnya 6. Buang air kecil pada tempatnya
2.1.4. Praktek Kesehatan
Universitas Sumatera Utara
Praktek kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan untuk menunjang peningkatan dan menjaga status gizi anak. Dalam hal ini praktik kesehatan dilakukan untuk menjauhkan dan menghindari penyakit dan yang dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak (Zeitlin, 1990). Praktik kesehatan ini meliputi hal pengobatan penyakit pada anak apabila si anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit. Praktik kesehatan anak yang baik dapat ditempuh dengan cara memperhatikan keadaaan gizi anak, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam hal mencarikan pengobatan terhadap anak apabila anak sakit. Adalah hal yang baik apabila ketika anak sakit, ibu membawanya ke tempattempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas, dan lain-lain (Zeitlin dkk, 1990)
2.2. Status Gizi Status gizi bisa diartikan suatu keadaan tubuh manusia akibat dari konsumsi suatu makanan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan tersebut yang dibedakan antara status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik dan gizi lebih (Almatsier, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Kehandalan anak dari dimensi pertumbuhan dapat ditunjukkan diantaranya adalah status gizi dan kesehatannya. Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (sunarti, 2004). Menurut penelitian Hafrida (2004), terdapat kecendrungan pola asuh dengan status gizi. Semakin baik pola asuh anak maka proporsi gizi baik pada anak juga akan semakin besar. Dengan kata lain, jika pola asuh anak di dalam keluarga semakin baik tentunya tingkat konsumsi pangan anak juga akan semakin baik dan akhirnya akan mempengaruhi keadaan gizi anak. Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa 40 responden terdapat 30 orang (75%) dengan pola asuh baik mempunyai status gizi yang baik pula. Dan 10 orang (25%) dengan pola asuh buruk mempunyai status gizi yang kurang. 2.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi Berikut dari gambar diterangkan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1.Kerangka Konsep Faktor Masalah Gizi menurut UNICEF 1998.
Universitas Sumatera Utara
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa akar permasalahan gizi adalah krisis ekonomi, politik dan sosial dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan tingginya angka inflasi dan pengangguran. Sedangkan pokok masalahnya di masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita sumber daya manusia, rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Adapun faktor tidak langsung menyebabkan kurang gizi adalah tidak cukup persediaan pangan akibat krisis ekonomi dan rendahnya daya beli masyarakat, pola asuh anak yang tidak memadai akibat dari rendahnya pengetahuan, pendidikan orang tua dan buruknya sanitasi lingkungan dan akses kepelayanan kesehatan dasar masih sulit sehingga berdampak terhadap pola konsumsi dan terjadi penyakit infeksi yang secara langsung menyebabkan gizi kurang.
2.2.2. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan : 1) Antropometri a. BB/U (Berat Badan menurut Umur)
Universitas Sumatera Utara
Indeks antropometri dengan BB/U mempunyai kelebihan diantaranya lebih mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis, berat badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif terhadap perubahan kecil dan dapat mendeteksi kegemukan (Supariasa, 2001). Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan BB/U dapat dilihat di bawah ini. 1. Gizi Normal
: jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z < 2,0
2. Gizi Kurang
: jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0
3. Gizi Sangat Kurang : jika nilai Z-Skor < -3,0 b. TB/U (Tinggi Badan menurut Umur) Tinggi badan merupakan antropometri yang mengambarkan keadaan pertumbuhan skletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks TB/U diantaranya adalah baik untuk menilai status gizi masa lampau, pengukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa (Supariasa, 2001). Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan TB/U dapat dilihat di bawah ini. 1. Tinggi
: jika skor simpangan baku > 3,0 SD
2. Normal
: jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z ≤ 3,0
3. Pendek
: jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0
4. Sangat Pendek : jika nilai Z-Skor < -3,0 SD
Universitas Sumatera Utara
c. BB/TB (Berat Badan menurut Tinggi Badan) Dalam keadaan normal berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu, keuntungan dari indeks BB/TB adalah tidak memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus) Supariasa, 2001). Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan BB/TB dapat dilihat di bawah ini. 1. Sangat Gemuk : jika skor simpangan baku > 3,0 SD 2. Gemuk
: jika skor simpangan baku 2,0 < Z ≤ 3,0
3. Risiko Gemuk : jika skor simpangan baku 1,0 ≤ Z < 2,0 4. Normal
: jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z < 1,0
5. Kurus
: jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0
6. Sangat Kurus
: jika nilai Z-Skor < -3,0 SD
2) Klinis Pemeriksaan klinis adalah metode yang didasarkan atas perubahanperubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringna epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Supariasa, 2001) 3) Biokimia
Universitas Sumatera Utara
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan anatara lain: darah, urin, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi (Supariasa, 2001). 4) Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa, 2001).
2.3. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Pola Asuh Ibu Meliputi:
1. Praktek pemberian makan 2. Rangsangan psikososial 3. Praktek kebersihan/higiene & sanitasi lingkungan 4. Praktek kesehatan
Status Gizi Anak Balita:
- BB/U
Gambar 2. Kerangka konsep pola asuh ibu dan status gizi anak balita Keterangan: Kerangka konsep penelitian menggambarkan bahwasanya yang akan diteliti mencakup variabel pola asuh ibu yang meliputi: praktek pemberian makan ,rangsangan psikososial, praktek kebersihan/higiene &
sanitasi lingkungan,
praktek kesehatan yang menentukan baik tidaknya status gizi anak balita. Masingmasing variabel penelitian dianalisa dan akan dilihat apakah saling berhubungan
2.8 Hipotesa Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut : •
Ada hubungan praktek pemberian makan dengan status gizi
•
Ada hubungan rangsangan psikososial dengan status gizi
•
Ada hubungan praktek kebersihan/higiene & sanitasi lingkungan dengan status gizi
•
Ada hubungan praktek kesehatan dengan status gizi.
Universitas Sumatera Utara