BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penuaan Penuaan (aging) merupakan fenomena biologis kompleks yang sering diikuti
oleh perubahan sosial ekonomi yang mana mengakibatkan dampak besar pada kondisi nutrisi dan kebutuhan pada orang tua dimana disabilitas meningkat seiring dengan terjadinya penuaan. Lebih dari sepertiga orang terbatas pada kondisi kronis dan tidak mampu untuk melakukan aktivitas utama (Oliveira dkk., 2010). Banyak faktor yang dapat menyebabkan penuaan, salah satu faktor eksternal yang dapat menyebabkan penuaan karena pola hidup yang tidak sehat yaitu merokok. Merokok sudah menjadi kebiasaan masyarakat di seluruh dunia yang susah dihilangkan. Asap rokok mengandung banyak zat yang mengandung radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif yang akan merusak sel-sel tubuh. Apabila faktor-faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat bahkn mungkin dihambat dan kualitas hidup dapat dipertahankan (Pangkahila,2007) Proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakan perubahan fisik dan psikis. Proses penuaan dapat berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut (Pangkahila, 2011): 1. Tahap subklinik (usia 25-35 tahun): Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormon dan
hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar, karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan normal. 2. Tahap transisi (usia 35-45 tahun): Pada tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram tiap tahunnya. Pada tahap ini orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik yang dapat mengakibatkan penyakit seperti kanker, radang sendi, berkurangnya memori, penyakit jantung koroner dan diabetes. 3. Tahap klinik (usia 45 tahun ke atas): Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut yang meliputi DHEA, melatonin, growth hormon, testosteron, estrogen dan juga hormon tiroid. Terjadi penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan.
2.1.1 Teori Penuaan Ada empat teori pokok dari penuaan (Goldman dan Klatz, 2007), yaitu 1.
Teori Wear and Tear Tubuh dan sel mengalami kerusakan karena banyak digunakan (overuse) dan disalahgunakan (abuse).
2.
Teori Neuroendokrin Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ
tubuh yaitu dimana hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus. 3.
Teori Kontrol Genetik Teori ini fokus pada genetik memprogram genetik DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, dimana penuaan dan usia hidup kita telah ditentukan secara genetik.
4.
Teori Radikal Bebas Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktivitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain.
Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak dan protein (Suryohudoyo, 2000). Interaksi antara molekul oksigen maupun nitrogen dengan radikal bebas lainnya dapat membentuk RONS (Reactive Oxygen/ Nitrogen Species). Peningkatan produksi RONS dapat terjadi antara lain akibat terpapar polutan dari lingkungan luar, asupan gizi yang berlebihan, atau aktivitas fisik yang berlebihan, atau secara
ringkasnya dapat disimpulkan bahwa keadaan dimana terjadi peningkatan konsumsi oksigen dapat berakibat terjadinya peningkatan produksi RONS (Wellman dan Bloomer, 2009). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin atau protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, di mana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas. Penuaan dan penyakit yang berhubungan dengan umur dikarenakan adanya kerusakan oksidatif yang berlangsung lama dan dapat dipicu juga karena faktor genetik dan lingkungan. Sejak saat inilah keterlibatan radikal bebas dalam mempengaruhi penuaan meningkat secara progresif dan menjadi salah satu teori pada proses penuaan (Wickens, 2011).
2.2
Radikal Bebas
2.2.1 Definisi Radikal bebas adalah kumpulan atom atau molekul dengan elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluar sehingga berusaha menarik elektron dari molekul lainnya. Sifat radikal bebas yaitu tidak stabil dan sangat reaktif. Radikal bebas yang mengambil elektron dari molekul yang stabil, menyebabkan molekul
tersebut kehilangan satu elektron sehingga menjadi radikal bebas yang baru (Winarsi, 2007; Pham-Huy dkk., 2008). 2.2.2 Sumber Radikal Bebas Pembentukan radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh maupun dari luar tubuh. Sumber radikal bebas (Pham-Huy dkk., 2008): 1. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul akibat berbagai proses enzimatik di dalam tubuh, berupa hasil sampingdari proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung pada proses respirasi, proses pencernaan dan proses metabolisme. Diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma dan inti sel. 2. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul akibat berbagai proses non-enzimatik di dalam tubuh, merupakan reaksi oksigen dengan senyawa organik dengan cara ionisasi dan radiasi. Contohnya adalah proses inflamasi dan iskemia. 3. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh didapat dari polutan, seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar matahari, makanan berlemak, kopi, alkohol, bahan racun pestisida dan masih banyak lagi yang lainnya. Peningkatan radikal bebas pun dapat dipicu oleh stres atau aktivitas berlebihan. 2.2.3 Sifat Radikal bebas Radikal bebas memiliki dua sifat (Halliwel dan Gutteridge, 2007), yaitu:
1. Reaktivitas tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron. 2. Dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal. Sifat
radikal
bebas
yang
mirip
dengan
oksidan
terletak
pada
kecenderungannya untuk menarik elektron. Jadi sama halnya dengan oksidan, radikal bebas adalah penerima elektron. Itulah sebabnya dalam kepustakaan kedokteran, radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun perlu diingat bahwa radikal bebas adalah oksidan tetapi tidak setiap oksidan adalah radikal bebas (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan oksidan yang bukan radikal. Hal ini disebabkan karena kedua sifat radikal bebas diatas memiliki reaktivitas yang tinggi dan kecenderungan membentuk radikal baru yang pada gilirannya nanti apabila bertemu molekul lain akan membentuk radikal baru lagi, sehingga terjadilah reaksi rantai (chain reaction). Diantara senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Radikal bebas lainnya hanya bersifat perantara yang bisa dengan cepat diubah menjadi substansi yang tak lagi membahayakan tubuh. Radikal bebas bereaksi dengan asam lemak unsaturasi membentuk peroksidasi lipid yang membentuk reaksi kaskade termasuk mutagen malondialdehid. Dengan adanya peroksidasi lipid maka terjadi kerusakan elastisitas membran yang irreversibel yang menyebabkan rupturnya sel-sel. Pada manusia terjadinya peroksidasi lipid ditandai dengan adanya ethane dan n-pentane pada pernafasan yaitu saat ekshalasi
yang mana meningkat seiring dengan usia. Aktivitas radikal bebas juga ditunjukkan dengan adanya oksidasi protein termasuk enzim dan jaringan ikat. Residu asam amino dari protein menyebabkan terjadinya stres oksidatif dan akan meningkatkan kerusakan pada sel-sel dan jaringan tubuh secara progresif. Jenis lain dari molekul radikal bebas yaitu dapat menyerang DNA. Reaksi dari radikal oksigen dengan DNA juga menyebabkan kerusakan yang parah (Wickens, 2011). 2.3
Stres Oksidatif Istilah stres oksidatif pertama kali ditemukan tahun 1985 (Powers dan
Jackson, 2008). Stres Oksidatif merupakan suatu kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan. Radikal bebas cenderung diekspresikan lebih banyak dan mengalahkan kemampuan pertahanan antioksidan (Wellman dan Bloomer, 2009). Stres oksidatif adalah tidak adanya keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan yang dipicu oleh dua keadaan yaitu kurangnya antioksidan dan produksi radikal bebas yang berlebihan. Berbagai enzim pada sel dan proses metabolik yang terkontrol, akan menjaga agar kerusakan oksidatif ditingkat sel tetap minimal. Pada saat produksi ROS meningkat, maka kontrol proteksi tidak akan mencukupi sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif. Pada prinsipnya stres oksidatif dapat diakibatkan oleh (Halliwel dan Gutteridge, 2007): 1. Berkurangnya antioksidan, misalnya mutasi yang menurunkan pertahanan antioksidan seperti GSH atau MnSOD; diet yang kurang akan antioksidan dan
unsur-unsur penting lainnya seperti zat besi, Zn, magnesium dan copper; defisiensi protein seperti kwashiorkor dapat menurunkan kadar GSH; dan kelebihan zat besi sehingga tidak mampu membuat transferrin secara cukup. 2. Peningkatan produksi spesies reaktif, misalnya, paparan terhadap oksigen yang meningkat; adanya toksin-toksin yang menghasilkan spesies reaktif; dan aktivasi berlebih dari sistem “natural” penghasil spesies reaktif seperti aktivasi yang tidak tepat dari sel-sel fagosit pada penyakit-penyakit inflamasi kronis. Kondisi stres oksidatif yang dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan proliferasi, adaptasi, kerusakan sel, penuaan (senescence) dan bahkan sampai pada kematian sel dapat menyebabkan terjadinya percepatan proses penuaan. Stres oksidatif mempunyai peranan yang penting dalam etiologi terjadinya berbagai penyakit kardiovascular, neurologis, obesitas, diabetes, kanker dan juga inflamasi dari proses aging ( Halliwell dan Gutteridge, 2007; Garelnabi dkk., 2008). 2.3.1 Peroksidasi Lipid Peroksidasi lipid adalah suatu reaksi berantai yang menghasilkan radikal bebas secara terus menerus dan peroksidasi lebih lanjut. Peroksidasi (autooksidasi) lipid yang terpajan oleh oksigen bertanggung jawab tidak saja terhadap pembusukan makanan, tetapi juga kerusakan jaringan in vivo. Peroksidasi dapat menyebabkan kanker, penyakit peradangan, aterosklerosis dan penuaan. Efek merugikan diperkirakan disebabkan oleh radikal bebas (ROO•, RO•, OH•) yang dihasilkan sewaktu terbentuknya peroksida dari asam lemak yang mengandung ikatan rangkap yang diselingi metilen yaitu radikal bebas asam lemak yang terdapat pada asam
lemak tidak jenuh ganda alami (Murray, 2009). Peroksidasi lipid merupakan proses yang kompleks dimana tampak pada tampilan oksigen dan transisi ion metal atau enzim. Biasanya proses oksidasi ini memiliki tiga tahapan, yaitu (Winarsi, 2007) : 1.
Tahap inisiasi, yaitu reaksi ini terjadi diantara PUFA dengan radikal hidroksil. Terbentuknya atom hydrogen dari grup metilen (-CH 2 -) dalam PUFA dari spesies reaktif seperti radikal hidroksi (OH•) meninggalkan electron bebas dari karbon (-CH- atau radikal lipid). Radikal karbon distabilisasi dengan penyusunan kembali molekul untuk membentuk diena konjugasi yang dapat berkombinasi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksi ROO• atau RO 2 •. RH
2.
R• + H•
Tahap Propagasi, dimana radikal peroksil dapat menarik gugus H lain dari molekul lipid yang lain dan memulai terjadinya reaksi rantai autocatalytic dengan proses oksidasi lipid. Radikal peroksi dapat berkombinasi dengan gugus H dimana gugus ini membentuk lipid peroksid. Sejak pemisahan gugus H yang dapat terjadi pada reaksi berbeda dari ikatan karbon, peroksidasi dari asam arakhidonat sebagai contoh, dilaporkan dapat memberikan hidroperoksid lipid. R• + O 2
RO2·
RO 2 •+ RH
ROOH + R·
Produk sekunder
Hidroksiperoksid merupakan produk molekul primer yang tidak stabil dan dapat melemah dan pecah menjadi beberapa produk sekunder termasuk hydroxyl fatty acid, produk-produk epoxides dan produk scission seperti aldehydes (termasuk malondialdehid), keton dan lakton dimana banyak terdapat produk-produk yang bersifat toksik (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Degradasi dari hidrokperoksidasi lipid dapat dipicu oleh adanya ionion metal transisi termasuk kandungan dari besi dan garam tembaga. Ion-ion metal menyebabkan pemecahan atom dari ikatan O-O dan menyebabkan pembentukan gugus radikal alkoksi RO• dan juga radikal peroksi RO 2 •. Pada tampilan thiols atau agen lain seperti asam ascorbat, O 2 dapat direduksi menjadi superoxide anion (O 2 -•), yang kemudian bermutasi menjadi H 2 O 2 atau merubah Fe3+ menjadi Fe2+. Radikal hidroksi (OH•) diproduksi melalui reaksi Fenton antara Fe2+ dan H 2 O 2 dan dapat memicu reaksi beruntun selanjutnya. Reaksi dari besi yang terkandung didalam myoglobin ikan dan peroksidasi lipid dapat menghasilkan produk-produk yang beraneka ragam, misalnya gas pentane dapat diproduksi dari linoleic acid dan arachidonic acid dan juga gas ethane dan ethylene diproduksi oleh reaksi b-scission yang sama dari asam linoleat dengan hadirnya Fe2+. Radikal hidroksil juga terbentuk dari H 2 O dengan ion superoksida yang dikenal dengan reaksi Heber-Weiss. 3. Taraf Terminasi Radikal bebas yang dihasilkan dapat bergabung satu sama lain atau lebih
besar kemungkinannya bergabung dengan molekul-molekul protein, dan akan menghentikan reaksi beruntun. Reaksi berikutnya, yang dapat menyebabkan cross-linking dan kerusakan berat pada protein, dapat dijabarkan seperti dibawah ini: R· + R•
R - R
nRO2•
(RO 2 )
RO 2 · + R•
RO 2 R
Faktor-faktor dan kondisi yang dapat ikut berperan pada oksidasi lipid (Trilaksani, 2003) adalah: a. Cahaya, terutama ultraviolet yang merupakan inisiator dan katalisator kuat b. Logam berat, logam terlarut seperti Fe dan Cu yang merupakan katalisator kuat meski dalam jumlah kecil. c. Kondisi alkali dan kondisi basah, ion alkali merangsang radikal bebas. d. Tingkat ketidakjenuhan, jumlah dan posisi ikatan rangkap pada molekul lipida berhubungan langsung dengan kerentanan terhadap oksidasi, sebagai contoh asam linoleat lebih rentan dibanding asam oleat ketersediaan oksigen. 2.4
F2 Isoprostan F2 Isoprostan (F2- IsoPs) adalah prostagladin like compounds yang
diproduksi dari esterifikasi asam arakidonat di jaringan oleh reaksi katalis non enzimatik radikal bebas yang dihasilkan oleh sel atau fosfolipid lipoprotein (Kaviarasan dkk., 2008). Sifat dari molekul F2 Isoprostan yaitu stabil, kuat dan dapat
dideteksi melalui berbagai cairan tubuh seperti urin, plasma atau cairan serebrospinal (Milatovic dan Aschener, 2009). Banyak penelitian menggunakan sampel dari urin karena metode pengambilan sampel sederhana dan non invasif (Cracowski dan Baguet, 2003). Akan tetapi Isoprostan mempunyai kelemahan yaitu half life yang pendek. Half life F2 Isoprostan waktunya pendek yaitu kurang dari 20 menit (Roberts dan Milne, 2009). Akan tetapi bila terus dilakukan pemaparan asap rokok secara terus menerus maka kadar F2 Isoprostan akan tetap bertahan dalam urin. Prasain dkk. (2014) meneliti tentang kestabilan quality control sampel urin (F2 Isoprostan) manusia pada kondisi yang berbeda yaitu berdasarkan pada sampel urin itu sendiri, suhu ruangan, proses dari urin yang membeku hingga mencair, kestabilan menyimpan dalam jangka waktu lama. Dimana rata-rata perhitungan konsentrasi menunjukkan bahwa sampel stabil pada penyimpanan dengan waktu sekurang-kurangnya 48 jam pada suhu 4°C. F2 Isoprostan mempunyai aktivitas biologis yang penting terutama di paru dan ginjal, juga merupakan penanda penting bagi stres oksidatif dan dapat diperiksa dengan cara non invasif. F2 Isoprostan terbentuk dari asam eicosapentaenoic dan docosahexaenoic pada hewan dan dari asam α-linolenic pada tumbuhan. Pertama kali, isoprostan ditemukan pada tahun 1967 oleh Nugteren, Vonkeman dan Van Dorp, akan tetapi baru 20 tahun kemudian direalisasikan untuk kepentingan biologis (Morrow dan Robert, 2002). F2 Isoprostan dapat ditemukan di jaringan dan cairan tubuh seperti urin
manusia dan hewan, yang mengandung F2 Isoprostan dan metabolitnya dalam tingkat rendah (~30-40 pg/ml di plasma segar manusia, ~2 ng/ml kreatinin di urin manusia). Tingkat F2 Isoprostan in vivo meningkat dalam kondisi stres oksidatif, misalnya dalam plasma dan urin orang yang terpapar asap emisi kendaraan bermotor, perokok, dalam nafas penderita asma, dalam cairan paru yang terpapar O2 tinggi (Cadenas dan Packer, 2002). F2 Isoprostan dapat diperiksa menggunakan metode ELISA (Enzym linked immuneassay) atau metode GC/NICI-MS (Gas chromatography and negative ion chemical ionization-mass) (Soffler dkk., 2010). Peningkatan kadar F2 Isoprostan pada berbagai cairan tubuh maupun jaringan dapat ditemukan pada berbagai kondisi penyakit seperti aterosklerosis, diabetes, obesitas, pada perokok, penyakit neurodegeneratif dan pada berbagai penyakit lainnya. Pengobatan pada penyakit-penyakit tersebut termasuk penggunaan suplemen antioksidan, pengobatan diabetes, berhenti merokok dan penurunan berat badan ternyata dapat menurunkan produksi F2 Isoprostan (Roberts dan Milne, 2009). Peningkatan F2 Isoprostan pada proses awal patologis penyakit membuktikan terjadinya stres oksidatif pada penyakit-penyakit tersebut (Jausette dkk., 2009). Peranan isoprostan penting bagi pengukuran peroksidasi lipid dan stres oksidatif (Janssen, 2001).
Keuntungan mengukur F2 Isoprostan sebagai biomarker dari
peroksidasi lipid adalah untuk memantau penyakit dan respon terhadap terapi, potensi fungsinya sebagai mediator stres oksidatif. Lipid adalah target utama serangan radikal bebas yang menyebabkan peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid dapat menyebabkan arterosklerosis dimana peningkatan peroksidasi lipid dapat dihentikan oleh pemberian
antioksidan (Jay dkk., 2010). 2.5
Merokok Merokok adalah kegiatan menghisap asap dari pembakaran tembakau pada
rokok. Perokok sesaat adalah seseorang yang merokok pada saat-saat tertentu, biasanya dilakukan pada saat sedang bersosialisasi dengan lingkungannya ataupun untuk mengurangi stres. Perokok berat adalah bila sudah terjadi ketergantungan secara fisik pada rokok (WHO, 2002). Menurut Health Canada, terdapat beberapa status merokok dalam mengumpulkan data penggunakan tembakau, yaitu: •
Current smoker termasuk daily smoker dan non-daily smoker yaitu apakah merokok setiap hari atau tidak
•
Former smoker adalah perokok tidak sedang merokok pada saat dilakukan interview
•
Short term quitter adalah former smoker yang berhenti merokok kurang dari 1 tahun sampai dengan interview dilakukan
•
Long term quitter adalah former smoker yang berhenti merokok setahun atau lebih sampai interview dilakukan
•
Ever-smoker yaitu adalah kombinasi antara current smoker dan former smoker
•
Never-smoker adalah perokok yang tidak merokok pada saat interview dan menjawab “tidak”
•
Non-smoker adalah kombinasi dari former smoker dan never-smoker
•
Light smoker adalah merokok antara 1 – 10 batang rokok setiap hari
•
Moderate smoker adalah merokok antara 11 – 19 batang rokok setiap hari
•
Heavy smoker adalah merokok lebih dari 20 batang rokok setiap hari
2.5.1 Kandungan Asap Rokok Asap rokok mengandung berbagai macam radikal bebas beberapa di antaranya yang telah dibuktikan bersifat karsinogen dan mutagen yang terdiri dari (Fowles dan Bates, 2000): 1. Nikotin merupakan alkaloid beracun yang merupakan senyawa organik yang terdiri dari karbon, hidrogen, nitrogen dan oksigen. Nikotin berbentuk cairan, tidak berwarna dan merupakan basa yang mudah menguap. Nikotin berikatan dengan reseptor asetilkolin pada ganglion otonomik, medulla adrenal, neuromuscular junction dan otak. Rangsangan pada reseptor nikotinik menyebabkan pengeluaran katekolamin, dopamin, serotonin, vasopresin, hormon pertumbuhan dan ACTH. Nikotin dapat merusak saraf tubuh, menimbulkan penyempitan pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan rasa ketagihan dan ketergantungan pada orang yang menggunakannya. Kadar nikotin 4-6 mg per hari yang dihisap oleh setiap orang dapat membuat seseorang adiksi terhadap rokok. 2. Timah hitam (Pb) adalah logam beracun yang berwarna abu-abu. Secara umum Pb bersumber dari sejumlah industri dan pertambangan. Pb paling
banyak ditemukan pada gas buangan kendaraan bermotor dan asap rokok (Rodgaman dan Perfetti, 2009). Pb yang dihasilkan dari sebatang rokok yaitu 0,5μg. Sebungkus rokok yang berisi 20 batang rokok yang habis dihisap dalam satu hari menghasilkan 10 μg Pb. Sementara ambang batas timah hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah 20 μg per hari. Bila seorang perokok berat mengisap rata-rata 2 bungkus rokok per hari, bisa dibayangkan berapa banyak zat berbahaya ini masuk ke dalam tubuh. Pb ini menyebabkan peningkatan ROS pada jaringan tubuh yang menurunkan efek antioksidan tubuh. 3. Gas karbonmonoksida (CO) memiliki kecenderungan kuat untuk berikatan dengan hemoglobin dalam sel-sel darah merah. Seharusnya hemoglobin ini berikatan dengan oksigen yang sangat penting untuk pernapasan sel-sel tubuh, tetapi karena afinitas gas CO terhadap hemoglobin lebih kuat dari O2 sehingga akan terbentuk hemoglobin CO yang lebih banyak yang menyebabkan jaringan pembuluh darah menyempit dan mengeras sehingga terjadi penyumbatan. 4. Tar adalah komponen dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponenkomponen padat asap rokok dan bersifat karsinogen. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap. Setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran pernafasan dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg perbatang rokok, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24-45 mg.
2.5.2 Rokok dan Stres Oksidatif Telah diketahui bahwa asap rokok dan tar mengandung banyak komponen yang telah teroksidasi, ROS dan karsinogen yang dapat merusak DNA, membran dan makromolekul sel-sel. Merokok dapat menyebabkan stres oksidatif bukan hanya melalui produksi ROS dalam tar rokok dan asap tetapi juga melalui penurunan sistem pertahanan antioksidan. Jumlah radikal bebas ini dan radikal lainnya yang terdapat dalam jumlah besar pada asap rokok dapat menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid karena kerusakan dari membran sel dan menurunkan kadar antioksidan sehingga menyebabkan terjadinya stres oksidatif (WHO, 2013). Merokok menyebabkan ketidakseimbangan radikal bebas dan antioksidan sehingga menimbulkan stres oksidatif yang diikuti oleh kenaikan peroksidasi lipid, kerusakan DNA oksidatif dan gangguan pertahanan antioksidan enzimatik. Sudah terbukti bahwa stres oksidatif adalah kejadian yang penting dalam penyakit yang berhubungan dengan penyakit seperti kanker paru, kanker mulut dan penyakit paru obstruktif kronik (Burlakova dkk., 2010). Paru-paru sebagai organ pernafasan pada manusia berfungsi sebagai pertukaran gas antar jaringan tubuh dan lingkungan luar sehingga paru-paru terus menerus terpapar dengan radikal bebas tanpa bisa dihindari. Paru-paru yang selalu terpapar oleh asap rokok, pembuangan asap kendaraan bermotor, asap pabrik, herbisida dan partikel debu akan menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) dalam paru-paru.
2.6
Antioksidan
2.6.1 Definisi Antioksidan dalam pengertian kimia merupakan senyawa pemberi elektron (donor elektron). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat (Winarsi, 2007). Oksidasi adalah reaksi pengikatan oksigen, pelepasan hidrogen, pelepasan elektron (Halliwell dan Gutteridge, 2007). 2.6.2 Klasifikasi Antioksidan Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan enzimatis dan antioksidan non-enzimatis: 1. Antioksidan enzimatis merupakan antioksidan endogenus (terdapat dalam tubuh) misalnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase dimana enzim-enzim ini bekerja dengan cara melindungi jaringan dari kerusakan oksidatif yang disebabkan radikal bebas oksigen seperti anion superoksida (O2 •), radikal hidroksil (•OH) dan hydrogen peroksida (H2O2). 2.
Antioksidan non-enzimatis merupakan antioksidan eksogenus banyak ditemukan dalam sayur-sayuran dan buah-buahan dan masih dibagi menjadi dua kelompok lagi yaitu: Antioksidan larut lemak seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon, bilirubin. Antioksidan larut air seperti asam
askorbat, asam urat, protein pengikat logam, protein pengikat heme. Sedangkan berdasarkan mekanisme kerjanya antioksidan digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu (Winarsi, 2007): 1. Antioksidan primer, disebut juga antioksidan enzimatis meliputi superoksida dismutase, katalase dan glutation peroksidase. Dimana antioksidan ini bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi) sehingga antioksidan dalam kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioxidant. 2. Antioksidan sekunder, disebut juga antioksidan eksogenus atau non enzimatik Antioksidan dalam kelompok ini disebut juga sistem pertahanan preventif. Senyawa antioksidan non-enzimatis bekerja dengan cara menangkap radikal bebas
(free
radical
scavenger),
kemudian
mencegah
reaktivitas
amplifikasinya. Ketika jumlah radikal bebas berlebihan, kadar antioksidan non-enzimatis yang dapat diamati dalam cairan biologi menurun. 3. Antioksidan tersier, meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida
reduktase.
Enzim-enzim
ini
berfungsi
dalam
perbaikan
biomolekuler yang rusak akibat reaktifitas radikal bebas. 2.6.3 Efek Antioksidan Antioksidan dapat memperlambat oksidasi lipid melalui ikatan oksigen yang bersaingan, penghambatan dari langkah permulaan, memblok langkah perkembangan dengan menghancurkan atau mengikat radikal bebas, penghambatan katalis atau
stabilisasi hidroperoksid (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Antioksidan dalam keadaan tertentu juga dapat menjadi prooksidan sehingga mempunyai efek negatif dengan menyebabkan oksidasi di dalam tubuh. Beberapa antioksidan yang dapat menjadi prooksidan (Howes, 2006) adalah vitamin C, vitamin E, carotenoid, β carotene, polyphenolics, gallic acid, asam urat, human serum ultrafiltrates, teh hijau, captopril, pyridoxine, thiamine, vitamin B1, carnitine, a lipoic acid (bentuk oksidasi), dihydro-lipoic acid, coenzyme Q, ubiquinon, NAD(P)H, curcumin (polyphenolic), melatonin, lycopene, zeaxanthin, zinc.
2.6.4 Polifenol Polifenol (polyphenols) adalah mikronutrien yang banyak ditemukan dalam tanaman obat. Ribuan molekul telah teridentifikasi dalam tanaman yang memiliki struktur polifenol (yaitu adanya beberapa gugus hidroksil pada cincin-cincin aromatic). Molekul-molekul tersebut merupakan metabolit sekunder dari tanaman dan pada umumnya terlibat dalam mekanisme pertahanan terhadap radiasi ultraviolet atau agregasi dari patogen-patogen (Manach dkk., 2004). Polifenol dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai fungsi dari jumlah cincin fenolnya dan elemen-elemen struktural yang mengikat cincin-cincin tersebut satu sama lain, yaitu sebagai kelompok asam fenolik (phenolic acid) , flavonoids, stillbenes dan lignans (Manach dkk., 2004). Polifenol telah lama dikenal memiliki beberapa peran dan efek terhadap kesehatan, antara lain sebagai antioksidan, anti alergi, anti inflamasi, anti virus,
antineurodegenerasi dan antikarsinogenik sehingga berperan dalam pencegahan terjadinya penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular maupun penyakit kanker. Disamping itu polifenol juga berperan dalam memodulasi aktivitas berbagai enzim dan reseptor sel (Manach dkk., 2004). 2.6.5 Flavonoid Flavonoid adalah satu kelompok senyawa polifenol yang tersebar luas dalam berbagai tanaman termasuk buah-buahan, sayuran, tanaman herbal, teh, anggur, kacang-kacangan dan biji-bijian dalam berbagai konsentrasi (Prior, 2003 ; Manach dkk., 2004) Flavonoid dapat dibagi menjadi enam subklas yaitu flavonols,flavones, isoflavones, anthocyanidins dan flavanols (catechins dan proanthocyanidins) (Manach dkk., 2004). Flavonoid dapat menghambat penggumpalan keping-keping sel darah, merangsang produksi nitrit oksida yang dapat melebarkan pembuluh darah dan juga menghambat pertumbuhan sel kanker. Disamping berpotensi sebagai antioksidan, flavonoid dapat sebagai pembasmi radikal bebas atau free radical scavenger (Prior, 2003). Dimana flavonoid mampu memutus rantai reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak. Dalam hal ini memberikan atom hidrogen yang berasal dari gugus hidroksi senyawa fenol sehingga terbentuk senyawa yang stabil. Flavonoid juga mempunyai kemampuan untuk mendekomposisi hidroperoksida menjadi produk akhir yang stabil.
2.6.6 Tanin Tanin merupakan fenolik dengan berat molekul tinggi yang kandungannya terdiri dari gallic acid ester atau flavan-3-ol polymer. Tanin merangsang aktifitas antioksidan dimana tanin akan menangkap radikal bebas secara kinetik (Riedl dkk., 2002). Tanin yang ada dalam tanaman mengikat besi heme dan membentuk kompleks besi-tanoat yang tidak larut (Ningsih, 2007) 2.7 Biji gorek (Caesalpinia bonducella) Banyak tanaman digunakan dalam mengobati banyak penyakit, salah satunya adalah Caesalpinia bonducella atau nama lain Caesalpinia Crista Linn, yang merupakan herbal India. Biji gorek ditemukan di India dan di negara-negara tropis di dunia. Bonducella diambil dari kata dalam bahasa Arab ”Bonduce” yang artinya bola kecil dengan bentuk globular pada bijinya. Tanaman ini telah digunakan sebagai pengobatan tradisional dalam mengobati penyakit pada manusia (Moon dkk., 2010). Klasifikasi biji gorek (Singh dan Raghav, 2012): Kingdom : Plantae Phylum
.: Magnoliophyta
Division
: Magnoliopsida
Class
: Angiospermae
Order
: Fabales
Family
: Caesalpiniaceae
Genus
: Caesalpinia
Species
: C. bonduc
Sinonim
: Caesalpinia bonducella (L.), Caesalpinia crista, Guilandina
bonduc
L.,
Guilandina bonducella L.
Biji gorek mempunyai beberapa kandungan kimia seperti furanoditerpenes, phytosterinin, β-sitosterol, flavonoids, bonducellin, asam aspartate, arginine, sitrulin dan β-caroten (Singh dan Raghav, 2012). Biji gorek mempunyai efek terapeutik seperti antifilarial, antioksidan, antidiabetes, antiinflamasi, antipiretik dan analgesik, aktivitas otot kontraktil, immunomodulator, antimikroba (Singh dan Raghav, 2012). Aktivitas antioksidan dari ekstrak kloroform Caesalpinia bonducella yaitu sebagai DPPH free radical scavenging activity (Kumar dkk., 2005 ), selain itu ekstrak ethanolnya dapat sebagai superoxide free radical scavenging activity dengan sistem EDTA/NBT (Shukla dkk., 2009). Dari hasil uji fitokimia di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Bali, biji gorek mengandung flavonoid sebesar 170,24 mg/L QE, fenol sebesar 746,01 mg/L GAE, kapasitas antioksidan sebesar 689,93 mg/L GAEAC dan tanin sebesar 586,35 mg/L (lampiran 5).
Gambar 2.1 Biji Gorek (www.exot-nutz-zier.de) 2.8
Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus) Penggunaan tikus telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah
dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya dan galur Wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek (Kusumawati, 2004). Tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar lebih besar dari famili tikus umumnya, di mana tikus ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor dan berat 140-500 gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih kecil dari tikus jantan dan memiliki kematangan seksual pada umur empat bulan dan dapat hidup
selama empat tahun (Kusumawati, 2004). Siklus hidup tikus (Rattus norvegicus) jarang lebih dari tiga tahun, berat badan pada umur empat minggu dapat mencapai 35-40 gram dan setelah dewasa ratarata 200-250 gram, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat mencapai berat badan 500 gram, tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 gram (Smith dkk., 1988). Pada penelitian ini menggunakan umur tikus remaja yaitu dibawah empat bulan dengan perkiraan berat badan tikus kurang lebih 200 gram. Penulis tidak menggunakan tikus umur tua karena pada tikus tua jumlah radikal bebas akan lebih banyak, dikhawatirkan tikus lebih mudah mati pada proses penelitian. Maka digunakan tikus umur 2,5-3 bulan dengan berat badan 190-200 karena umur tikus tersebut lebih mudah ditemukan. Klasifikasi Tikus Putih (Kusumawati, 2004) : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Rattus
Species
: norvegicus