BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Akuntansi Sektor Publik Dalam waktu yang relatif singkat Akuntansi Sektor Publik di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat.Saat ini terdapat perhatian yang lebih besar terhadap praktik akuntansi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah di bandingkan pada masa sebelumnya. Pada bagian ini akan dibahas lebih jauh lagi mengenai pengertian dan tujuan dari akuntansi sektor publik Istilah sektor publik memiliki pengertian yang bermacam-macam. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari luasnya wilayah publik, sehingga setiap disiplin ilmu memiliki cara pandang dan definisi yang berbeda-beda. Berikut ini akan dijelaskan definisi akuntansi sektor publik dari sudut pandang ilmu ekonomi, menurut Mardiasmo (2002:2) menyatakan bahwa akuntansi sektor publikadalah : “Suatu entitas yang aktivitasnya berhubungan dengan usaha untuk menghasilkan barang dan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik.” Sedangkan menurut Bastian (2007:15) menyatakan bahwa akuntansi sektor publikadalah : “Mekanisme teknis dan analisis akuntansi yang diterapkan pengelolaan dana masyarakat di lembaga-lembaga tinggi negara dan departemendepartemen di bawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM dan yayasan sosial, maupun pada proyek-proyek kerjasama sektor publik dan swasta.”
11
12
Dari definisi di atas akuntansi sektor publik dapat diartikan sebagai suatu kegiatan jasa yang aktifitasnya berhubungan dengan usaha, terutama yang bersifat keuangan guna pengambilan keputusan untuk menyediakan kebutuhan dan hak publik melalui pelayanan publik yang diselenggarakan oleh entitas pemerintah. Akuntansi sektor publik merupakan alat informasi yang baik bagi pemerintah sebagai manajemen maupun alat informasi bagi publik.Untuk itu akuntansi sektor publik harus memiliki tujuan yang jelas. Menurut American accountingAssosiation (1970) dalam Glynn (1993) yang dikutip oleh Ulum (2004:5)
dalam
bukunya
akuntansi
sektor
publik,
sebuah
pengantar
menyatakanbahwa tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik adalah untuk :
1. Memberikan informasi yang diperlukan untuk mengelola secara tepat, efesien, dan ekonomis atas suatu operasi dan alokasi sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi. Tujuan ini terkait dengan pengendalian manajemen (management control);
2. Memberikan informasi yang memungkinkan bagi manajer untuk melaporkan pelaksanaan tanggungjawab mengelola secara tepat dan efektif program dan penggunaan sumber daya yang menjadi wewenangnya; dan memungkinkan bagi
pegawai pemerintahan untuk melaporkan kepada publik atas hasil
operasi pemerintah dan penggunaan dana publik. Tujuan ini terkait dengan akuntabilitas (accountability).
Dari tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akuntansi sektor publik adalah memberikan informasi yang diperlukan untuk melakukan suatu tindakan atau keputusan secara efisien yang dikelola oleh organisasi yang
13
dipercayakan serta pelaporan pertanggungjawaban kepada publik atas hasil operasi atau dana publik yang telah digunakan. 2.1.2 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa : “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.” Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 6 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa : “Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari pemerintah pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (enginee of growth).Daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang besar.
14
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu: a. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah b. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan. Tujuan otonomi daerah menurut Smith (1985)dalamAnalisa CSIS Yuliati (2001:23) dibedakan dari dua sisi kepentingan yaitu kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Dari kepentingan pemerintah pusat tujuan utamanya adalah pendidkan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik dan mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah. Sementara bila dilihat dari sisi kepentingan pemerintah daerah ada tiga yaitu : a. Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal atau daerah. b. Untuk menciptakan local accountability artinya dengan otonomi daerah akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat.
15
c. Untuk mewujudkan local responsiveness artinya dengan otonomi daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi berbagai masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi daerah. 2.1.3 Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Perubahan dalam bentuk hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan implikasinya terhadap pengelolaan keuangan daerah telah melahirkan berbagai persepsi. Sementara pihak meragukan kemampuan daerah, baik dari segi kesiapan sumberdaya manusia maupun perangkat pendukungnya, sementara yang lainberpandangan bahwa saat pemerintah daerah bisa menunjukan kemampuannya sebagai pelayan masyarakat dengan lebih baik dibanding sebelumnya. Ekses lain adalah keterbukaan atas informasi yang semakin luas sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh pernerintah daerah dapat diamati oleh masyarakat, terutama melalui peran media masa dan LSM.Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tugas pemerintah adalah menyediakan barang publik yang pembiayaannya melalui berbagai sumber, khususnya pajak.Dengan kondisi kemampuan keuangan antar daerah berbeda, maka adanya sistem keuangan negara yang dapat menjamin kelancaran pemerintahan dan pembangunan secara menyeluruh.Alokasi tugas tersebut membawa konsekuensi pada perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, terkait dengan kenyataan pada derajat otonomi yang tinggi (Suparmoko, 2002:37).
16
Salah satu ketentuan yang termasuk dalam perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah yaitu mengenai pendanaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.Pendanaan
penyelenggaraan
pemerintahan
diarahkan agar terlaksana secara efisien dan efektif serta tidak tumpang tindih. Adapun mengenai defenisi perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah ini, sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yaitu dalam Pasal 1 ayat (1): “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya.” Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentangPerimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka mengenai defenisi perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengalami perubahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yaitu : “Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.”
17
Dengan adanya perubahan pengaturan mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang sebelumnya diatur dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 yang diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka secara tidak langsung ketentuan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah juga mengalami perubahan. Dengan adanya perubahan tersebut maka terdapat hal yang menjadi perhatian, yaitu mengenai kelebihan dan kekurangan kedua undang-undang tersebut dalam hal pengaturan perimbangan keuangan yang proporsional. Dalam hal penyediaan sumber-sumber pendanaan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah maka pengaturan dalam Undang-Undang Nomor22 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga menjadi perhatian, karena menyangkut pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar pemerintah pusat dan daerah dalam hal penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas pembantuan, dimana terdapat perbedaan pengaturan antara kedua undang-undang tersebut dalam rangka perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Menurut Undang-Undang Nomor25 tahun 1999 pasal 6 dinyatakan bahwa dana perimbangan terdiri dari : (1) bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), penerimaan dari Sumber Daya Alam; (2) Dana Alokasi Umum (DAU), dan (3) Dana Alokasi Khusus (DAK).
18
2.1.4 Desentralisasi Selama puluhan tahun Indonesia mengalami masa-masa pemerintahan yang sifatnya sentralistik dimana segala bentuk kewenangan pemerintah mulai dari pusat sampai daerah betul-betul ditentukan oleh pemerintah pusat.Hal tersebut menjadi faktor penyebab terjadinya ketidakmerataan pembangunan di negeri ini.Reformasi menjadi puncak klimaks keinginan masyarakat yang selama puluhan tahun terbelenggu dalam kebijakan sentralistik yang cenderung otokratik, tertutup dan diragukan akuntabilitasnya. Namun setelah terjadinya reformasi mulailah muncul sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan
sosial,
sehingga
mempermudah
proses
pembangunan
dan
modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaharuan paradigma di berbagai bidang kehidupan. Akibat dari reformasi tersebut pemerintah mengeluarkan dua undang-undang yang sangat penting artinya dalam sistem pemerintahan pusat dan daerah, serta sistem hubungan keuangan antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah pusat dan Daerah secara langsung akan segera memberikan angin segar bagi pengembangan otonomi daerah. Kedua Undang-Undang ini telah melahirkan perubahan yang fundamental terhadap pola hubungan antara pemerintahan dan keuangan pusat kepada daerah.Misi utama kedua undang-undang tersebut menjadi sebuah proyek reformasi sistem pemerintahan yang kita kenal dengan desentralisasi.Desentralisasi tidak hanya
19
berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurusurusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kompleksnya suatu negara dapat dilihat dari jumlah penduduk dan luasnya wilayah.Semakin besar suatu negara (dilihat dari penduduk dan luas wilayah) maka biasanya semakin heterogen bentuk pemerintahannya, hal tersebut tercermin dari adanya tingkatan pemerintah daerah. Desentralisasi adalah cara untuk melakukan penyesuaian tata kelola pemerintahan dimana dilakukan distribusi fungsi pengambilan keputusan dan kontrol. Secara garis besar, dalam rangka melihat dampak atau kaitannya dengan layanan publik, desentralisasi bisa dibedakan atas 3 jenis yaitu : a. Desentralisasi politik, merupakan pelimpahan kewenangan yang lebih besar menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan politik, termasuk penetapan berbagai peraturan, pemilihan kepala daerah, dan kewenangan perpolitikan lainnya yang sesuai dengan kultur serta budaya politik yang ada. b. Desentralisasi
administrasi,
merupakan
redistribusi
kewenangan,
tanggungjawab dan sumber daya di antara berbagai tingkat pemerintahan. Kapasitas yang memadai disertai kelembagaan yang cukup baik di setiap tingkat merupakan syarat agar hal ini bisa efektif.
20
c. Desentralisasi fiskal, menyangkut kewenangan menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi. Ketiga jenis desentralisasi yang disebutkan sebelumnya satu sama lain sangatlah berkaitan. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika melakukan evaluasi terhadap salah satu komponen desentralisasi. Dalam mengevaluasi desentralisai administrasi tentu akan sangat berkaitan erat dengan komponen desentralisasi politik, dimana peraturan administrasi suatu daerah akan sangat berhubungan dengan peraturan daerah yang tercipta akibat adanya desentralisasi politik suatu daerah. Kemudian,desentralisasi fiskal menjadi bagian yang melengkapi desentralisasi administrasi dalam hal implementasi kebijakan keuangan terutama pendapatan suatu daerah. 2.1.5 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, dimana penekanannya pada tiga hal yaitu proses, output perkapita dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses bukan gambaran ekonomi pada suatu saat. Disini kita melihat aspek dinamis dari suatu perekonomian,yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Tekananya pada perubahan atau perkembangan itu sendiri sementara itu pertumbuhan ekonomi menurut Prof. Simon Kuznets dalam (Jhingan, 2000:57), adalah : “Kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan idiologis yang diperlukannya.”
21
Definisi ini mempunyai 3 (tiga) komponen: pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang; kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.Berikut ini adalah Indikator yang digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi :
Tingkat Pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto)
Tingkat Pertumbuhan PNB (Produk Nasional Bruto) Dalam praktek angka, PNB kurang lazim dipakai, yang lebih populer
dipakai adalah PDB, karena angka PDB hanya melihat batas wilayah,terbatas pada negara yang bersangkutan. Sumber Kenaikan Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi umumnya didefinisikan sebagai kenaikan GDP riil per kapita. Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) adalah nilai pasar keluaran total sebuah negara, yang merupakan nilai pasar semua barang jadi dan jasa akhir yang diproduksi selama periode waktu tertentu oleh faktor-faktor produksi yang berlokasi di dalam sebuah negara. Kenaikan GDP dapat munculmelalui: 1. Kenaikanpenawarantenagakerja Penawaran tenaga kerja yang meningkat dapat menghasilkan keluaran yang lebih banyak. Jika stok modal tetap sementara
22
tenaga kerja naik, tenaga kerja baru cenderung akan kurang produktif dibandingkan tenaga kerja lama. 2. Kenaikan modal fisik atau sumber daya manusia Kenaikan stok modal dapat juga menaikkan keluaran, bahkan jika tidak disertai oleh kenaikan angkatan kerja. Modal fisik menaikkan baik produktivitas tenaga kerja maupun menyediakan secara langsung jasa yang bernilai. Investasi dalam modal sumber daya manusia merupakan sumber lain dari pertumbuhan ekonomi. 3. Kenaikan produktivitas Kenaikan produktivitas masukan menunjukkan setiap unit masukan tertentu memproduksi lebih banyak keluaran. Produktivitas masukan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor termasuk perubahan teknologi, kemajuan pengetahuan lain, dan ekonomisnya skala produksi. Untuk dapat mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi, maka harus dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh kegiatan perekonomian di suatu daerah. Penghitungan PDRB menggunakan dua macam harga yaitu harga berlaku dan harga konstan. PDRB atas harga berlaku merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada tahun bersangkutan, sementara PDRB atas dasar harga konstan dihitung dengan menggunakan harga
23
pada tahun tertentu sebagai tahun dasar dan saat ini menggunakan tahun 2000 (BPS, 2003). Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan dua metode pendekatan yakni: a. Pendekatan Produksi Pendekatan ini disebut juga pendekatan nilai tambah dimana Nilai Tambah Bruto (NTB) diperoleh dengan cara mengurangkan nilai output yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi dengan biaya antara dari masing-masing nilai produksi bruto tiap sektor ekonomi. Nilai tambah merupakan nilai yang ditambahkan pada barang dan jasa yang dipak ai oleh unit produksi dalam proses produksi sebagai input antara. Nilai yang ditambahkan ini sama dengan balas jasa faktor produksi atas ikut sertanya dalam proses produksi. b. Pendekatan pendapatan Pada pendekatan ini, nilai tambah dari kegiatan-kegiatan ekonomi dihitung dengan cara menjumlahkan semua balas jasa faktor produksi yaitu upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung neto. Untuk sektor pemerintahan dan usaha-usaha yang sifatnya tidak mencari untung, surplus usaha (bunga neto, sewa tanah dan keuntungan) tidak diperhitungkan. berlaku dengan jumlah penduduk pada tahun bersangkutan dapat digunakan untuk membanding tingkat kemakmuran suatu daerah dengan daerah lainnya. Perbandingan PDRB atas dasar harga berlaku terhadap PDRB atas dasar harga konstan dapat
24
juga digunakan untuk melihat tingkat inflasi atau deflasi yang terjadi (BPS, 2003). Rumus menghitung pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut : g = {(PDBs-PDBk)/PDBk} x 100% g
= Tingkat pertumbuhan ekonomi nasional
PDBs = PDB riil tahun sekarang PDBk = PDB riil tahun kemarin Rumus menghitung pertumbuhan ekonomi daerah adalah sebagai berikut : g = {(PDRBs-PDRBk)/PDRBk} x 100% g
= Tingkat pertumbuhan ekonomi daerah
PDRBs = PDRB riil tahun sekarang PDRBk = PDRB riil tahun kemarin
2.1.6 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Pembiayaan daerah adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah daerah, baik penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima kembali, yang dalam penganggaran pemerintah daerah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman dan hasil divestasi. Sementara, pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain dan penyertaan modal oleh pemerintah daerah.
25
Penerimaan pembiayaan adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Daerah antara lain berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan obligasi pemerintah, hasil privatisasi perusahaan daerah, penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada pihak ketiga, penjualan investasi permanen lainnya dan pencairan dana cadangan.Penerimaan pembiayaan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum Daerah. Akuntansi penerimaan pembiayaan dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan membukukan penerimaan bruto dan tidak mencatat jumlah nettonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran). Pencairan Dana Cadangan mengurangi Dana Cadangan yang bersangkutan. Penerimaan pembiayaan mencakup : a. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) b. Pencairan dana cadangan c. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan d. Penerimaan pinjaman daerah e. Penerimaan kembali pemberian pinjaman f. Penerimaan piutang daerah. Pengeluaran pembiayaan adalah semua pengeluaran Rekening Kas Umum Daerah antara lain pemberian pinjaman kepada pihak ketiga, penyertaan modal pemerintah, pembayaran kembali pokok pinjaman dalam periode tahun anggaran tertentu dan pembentukan dana cadangan. Pengeluaran pembiayaan diakui pada saat dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Daerah.
26
Pembentukan
Dana
Cadangan
menambah
Dana
Cadangan
yang
bersangkutan. Hasil-hasil yang diperoleh dari pengelolaan Dana Cadangan di pemerintah daerah merupakan penambah Dana Cadangan. Hasil tersebut dicatat sebagai pendapatan dalam pos pendapatan asli daerah lainnya. Pengeluaran pembiayaan mencakup: a. Pembentukan dana cadangan b. Penerimaan modal (investasi) pemerintah daerah c. Pembayaran pokok utang d. Pemberian pinjaman daerah. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) menurut Permendagri Nomor 13 tahun 2006 adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan. SiLPA adalah suatu indikator yang menggambarkan efiseinsi pengeluaran pemerintah. SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi Surplus pada APBD dan sekaligus terjadi Pembiayaan Neto yang positif, dimana komponen Penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan (Balai Litbang NTT, 2008).
27
2.1.7 Belanja Modal Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan jaminan sosial dengan mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolak ukur kinerja dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU 32 Tahun 2004). Kewajiban daerah tersebut tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa satu tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalamrangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dimana set tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari- hari sautu satuan kerja dan bukan untuk dijual (PMK No. 91/PMK.06/2007).Sedangkan menurut Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-33/PB/2008 yang dimaksud dengan belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap atau aset lainnya yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.
28
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi 1 tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja modal digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Cara mendapatkan belanja modal dengan membeli melalui proses lelang atau tender. Belanja modal dapat dikategorikan menjadi 5 (lima) kategori utama (Syaiful, 2007:2) yaitu Belanja Modal Tanah, Belanja Modal Peralatan dan Mesin, Belanja Modal Gedung dan Bangunan, Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan, dan Belanja Modal Fisik Lainnya. Jumlah nilai belanja yang di kapitalisasi menjadi aset tetap adalah semua belanja yang dikeluarkan sampai dengan aset tersebut siap digunakan atau biaya perolehan.Aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasayarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah, sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial.
29
Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lain dan membeli. Namun biasanya cara yang dilakukan dalam pemerintahan adalah dengan cara membeli. Proses pembelian yang dilakukan umumnya melalui sebuah proses lelang atau tender yang cukup rumit.Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajemen kualitas jasa (service quality management), yakni upaya meminimasi kesenjangan (gap) antara tingkat layanan dengan harapan konsumen (Bastian, 2006:274).Dengan demikian, Pemerintah Daerah harus mampu mengalokasikan anggaran belanja modal dengan baik karena belanja modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik. 2.2
Kerangka Pemikiran Menurut UU No. 32 tahun 2004, otonomi daerah diartikan sebagai hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan pengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan per Undang-Undangan.Otonomi daerah berlaku efektif mulai 1 Januari 2001 mempunyai tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Pelaksanaan otonomi daerah yang menitikberatkan pada daerah kabupaten dan kota ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal tersebut menegaskan bahwa Pemda memiliki kewenangan untuk menentukan
30
alokasi sumber daya yang dimiliki untuk belanja-belanja daerah dengan menganut asas kepatuhan, kebutuhan, dan kemampuan daerah yang tercantum dalam anggaran daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 proses penyusunan anggaran melibatkan pihak eksekutif (pemerintah daerah) dan pihak legislatif (DPRD), dimana kedua pihak tersebut melalui panitia anggaran. Eksekutif berperan sebagai pelaksana operasionalisasi daerah yang berkewajiban membuat rancangan APBD. Sedangkan legislatif bertugas mensahkan rancangan APBD dalam proses ratifikasi anggaran. anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), merupakan rencana keuangan tahunan Pemda yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemda dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah yang merupakan pedoman bagi Pemda dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam masa satu tahun anggaran.APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Dalam era desentralisasi fiskal diharapkan terjadinya peningkatan pelayanan diberbagai sektor terutama sektor publik.Peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah.Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila ada upaya pemerintah dengan memberikan berbagai fasilitas untuk investasi.Konsekuensinya, pemerintah perlu memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini.Dalam hal ini, belanja modal berperan penting dalam menunjang pembangunan infrastruktur sebagai bentuk pelayanan publik.
31
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi 1 tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja modal digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Faktor utama bagi daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan meningkatkan investasi yang dapat dilakukan diantaranya dengan meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang memadai, baik kualitas maupun kuantitas, dan menciptakan kepastian hukum.Dalam upaya peningkatan kemandirian daerah, Pemda dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang dimiliki dan salah satunya adalah memberikan proporsi belanja modal yang lebih besar untuk pembangunan pada sektor-sektor yang produktif di daerah (Harianto dan Adi, 2007). Potensi keuangan daerah yang tidak sama menimbulkan adanya kesenjangan keuangan yang dapat mengakibatkan kesenjangan pembangunan antar daerah. Untuk mengurangi kesenjangan dan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan, lahirlah UU Nomor 25 Tahun 1999 yang terakhir diubah dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dana perimbangan menurut UU nomor 33 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2005 terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
Dalam membiayai kegiatannya, Pemda juga dapat memanfaatkan sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya. Sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) menurut Permendagri Nomor 13 tahun 2006 adalah selisih
32
lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) digunakan juga sebagai sumber pendanaan untuk belanja modal dalam membiayai pembangunan infrastruktur suatu daerah. Pembangunan infrastruktur harusnya bisa tercapai dengan baik di Provinsi Jawa Barat dengan adanya penerimaan daerah relatif besar yang bersumber dari pendapatan asli daerah, transfer pemerintah pusat, dan sisa lebih pembayaran anggaran. Seiring dengan pembangunan infrastruktur, anggaran belanja modal juga perlu diperhatikan, karena belanja modal merupakan anggaran yang ditujukan dalam membangun infrastruktur untuk menunjang pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Kebutuhan akan infrastruktur yang memadai yang didukung dengan penerimaan daerah, harusnya dapat diikuti pula dengan meningkatnya belanja modal dan keefektifan penggunaan belanja modal. 2.2.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Belanja Modal Kebijakan otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus tiap-tiap daerah.Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.Tetapi, kemampuan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya dalam mengelola potensi lokalnya dan ketersediaan sarana prasarana serta sumber daya sangat berbeda.Perbedaan ini dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya (Nugroho, 2010).
33
Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output perkapita yang diukurdengan Produk Domestik Regional Bruto. Pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk peningkatan ekonomi yang berkelanjutan.Menurut penelitian Lin dan Liu (2000) bahwa upaya desentralisasi memberikan pengaruh yang sangat berarti terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.Hasil penelitian Lin dan Liu (2000) membuktikan bahwa antara desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dan signifikan. Darwanto (2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembanguan. Faktor-faktor tersebut antara lain sumber daya alam, tenaga kerja, investasi modal, kewirausahaan, transportasi, komunikasi, komposisi sektor industri, teknologi, pasar ekspor, situasi perekonomian internasional, kapasitas pemerintah daerah, pengeluaran pemerintah dan dukungan pembangunan. Kebijakan otonomi daerah mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Dimana pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah berbeda-beda sesuai dengan potensi tiap-tiap daerah. Sehingga semakin tinggi tingkat pertumbuhan perekonomian tentu akan mengakibatkan bertumbuhnya investasi modal swasta maupun pemerintah. Hal inilah yang mengakibatkan pemerintah lebih leluasa dalam menyusun anggaran belanja modal. Hasil ini mendukung sintesa yang menyatakan bahwa, pemberian otonomi yang lebih besar akan memberikan dampak yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi, hal inilah yang mendorong daerah untuk mengalokasikan secara lebih efisien berbagai potensi lokal untuk kepentingan pelayanan publik (Adiwiyana, 2011).
34
2.2.2 Pengaruh SiLPA atau Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Terhadap Belanja Modal SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikanKusnandar dan Siswantoro (2011). SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi Surplus pada APBD dan sekaligus ternjadi Pembiayaan Neto yang positif, dimana komponen Penerimaan lebih besar dari komponen Pengeluaran Pembiayaan (Balai Litbang NTT, 2008). Namun menurut Kumorotomo (2010), besarnya SiLPA menunjukkan masih lambatnya perbaikan kemampuan aparat daerah dalam penganggaran. SiLPA yang tinggi dapat menunjukan kurangnya kinerja aparatur pemerintah dalam mengelola penyusunan anggran apabila program-program pemerintah banyak yang belum terealisasikan. Namun SiLPA juga dapat menunjukan kinerja aparatur pemerintah yang baik jika program-program pemerintah sudah terealisaikan dengan baik. SiLPA atau sisa lebih pembiayaan anggaran digunakan juga sebagai salah satu sumber pendanaan untuk belanja modal dalam membiayai pembangunan infrastruktur suatu daerah. Selain penerimaan daerah dan transfer pemerintah pusat, SiLPA menjadi salah sumber pendaanan yang penting dalam memenuhi
35
kebutuhan belanja modal untuk menunjang pembangunan infratruktur suatu daerah sebagai bentuk pelanayanan publik. Berikut ini adalah kerangka teoritis yang merupakan alur pemikiran dari peneliti yang disusun sebagai berikut :
Transparansi X1 Kinerja Instansi Pemerintah Y
Akuntabilitas
X2
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian
2.2.3 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang meneliti mengenai realisasi belanja modal menunjukan hasil yang berbeda-beda pula. Seperti penelitian yang diulakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2011) yang meneliti mengenai pengeruh dana alokasi umum, pendapatan asli daerah, sisa lebih perhitungan anggaran dan luas wilayah terhadap belanja modal. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pendapatan asli daerah, sisa lebih perhitungan anggaran, dan luas wilayah berpengaruh positif terhadap belanja modal, sedangkan dana alokasi umum tidak berpengaruh terhadap belanja modal.
36
Ardhani (2011) yang meneiliti mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal, sedangkan pertumbuhan ekonomi dan dana alokasi khusus tidak berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal. Darwanto dan Yustikasari (2007) yang meneliti mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dan dana alokasi umum terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pendapatan asli daerah dan dan alokasi umum berpengaruh terhadap pengalokasian
belanja
modal,
sedangkan
pertumbuhan
ekonomi
tidak
berpengaruh terhadap belanja modal. Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh para peneliti – peneliti terdahulu mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi dan SiLPA terhadap belanja modal di ringkas ke dalam tabel penelitian terdahulu pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Review Peneltian terdahulu No 1.
Penulis Kusnandar dan Siswantoro (2011)
Judul Pengaruh dana alokasi umum, pendapatan asli daerah, sisa lebih pembiayaan anggaran dan luas wilayah terhadap belanja modal.
Kesimpulan/ Hasil Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pendapatan alsi daerah, sisa lebih pembiayaan anggaran, dan luas wilayah berpengaruh positif terhadap belanja modal, sedangkan dana alokasi umum tidak berpengaruh terhadap belanja modal.
Persamaan Variabel independen salah satunya sama yaitu SiLPA atau sisa lebih pembiayaan anggaran dan variabel dependen yaitu belanja modal
Perbedaan Beberapa variabel independen tidak sama yaitu dana alokasi umum dan, pendapatan asli daerah, dan luas wilayah. Sedangkan dalam penelitian ini selain SiLPA, menggunakan
37
2.
Ardhani (2011)
Pengaruh pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus terhadap pengalokasian anggaran belanja modal
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal, sedangkan pertumbuhan ekonomi dan dana alokasi khusus tidak berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal.
Variabel independen salah satunya sama yaitu pertumbuhan ekonomi dan variabel dependen yaitu belanja modal
3.
Darwanto
Pengaruh pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dan dana alokasi umum terhadap pengalokasian anggaran belanja modal
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pendapatan asli daeran dan dan alokasi umum berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal, sedangkan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap belanja modal.
Variabel independen salah satunya sama yaitu pertumbuhan ekonomi dan variabel dependen yaitu belanja modal
Yustikasari (2007)
dan
pertumbuhan ekonomi sebagai variabel independen. Beberapa variabel independen tidak sama yaitu dana alokasi umum dan, pendapatan asli daerah, dan dana alokasi khusus. Sedangkan dalam penelitian ini selain peetumbuhan ekonomi, menggunakan SiLPA atau sisa lebih pembiayaan anggaran sebagai variabel independen. Beberapa variabel independen tidak sama yaitu dana alokasi umum dan dan pendapatan asli daerah. Sedangkan dalam penelitian ini selain peetumbuhan ekonomi, menggunakan SiLPA atau sisa lebih pembiayaan anggaran sebagai variabel independen.
38
2.3
Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Menurut Sugiyono (2009:93) pengertian hipotesis adalah “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan.” Berikut ini adalah hipotesis yang terbentuk berdasarkan penjelesan di atas, yaitu : H1 : Pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap belanja modal H2: SiLPA berpengaruh terhadap belanja modal H3: Pertumbuhan ekonomi dan SiLPA berpengaruh terhadap belanja modal