BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Definisi pajak yang dikemukakan oleh Prof. DR. P.J.A. Adriani yang mewakili Eropa, memberikan pengertian pajak sebagai berikut : “Pajak ialah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak yang membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah.” (dikutip dari buku Mohamad Zain. 2008. Manajemen Pajak) Definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. yang mewakili Indonesia, menyatakan bahwa : “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Definisi tersebut kemudian dikoreksi sebagai berikut : Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang 10
11
merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. (dikutip dari buku Mohamad Zain. 2008. Manajemen Pajak) Definisi Pajak menurut Sommaerfeld Ray M, Andreson Herschel M dan Brock Horace R. yang mewakili Amerika Serikat adalah sebagai berikut : “Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun Wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proposional, agar pemerintah dapat menjalankan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintah.” (dikutip dari buku Mohamad Zain. 2008. Manajemen Pajak) Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan iuran wajib kepada Warga Negara yang aturan pelaksaanya harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang, bersifat dapat dipaksakan dan diperuntukan bagi pengeluaran – pengeluaran pemerintah dan pembangunan. 2.1.2 Fungsi Pajak Pajak
memiliki fungsi dalam meningkatkan kesejahteraan umum.
Umumnya dikenal dengan dua macam fungsi pajak, yaitu fungsi Budgetair dan fungsi regular (Soemarso, 2007:3): 1. Fungsi penerimaan (budgetair) Fungsi budgetair ini merupakan fungsi utama pajak, atau fungsi fiskal (fiscal function), yaitu suatu fungsi dimana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undangundang perpajakan yang berlaku. 2. Fungsi mengatur (reguler)
12
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi, politik, dan tujuan tertentu. Disamping usaha untuk memasukan uang untuk kegunaan kas negara, pajak dimaksudkan pula sebagai usaha pemerintah untuk ikut andil dalam hal mengatur dan bilamana perlu mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor swasta atau di luar bidang –bidang keuangan lainnya. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur yang dikutip dari buku Siti Resmi Perpajakan, Teori dan Kasus edisi 4 antara lain: 1. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. semakin mewah suatu barang maka tarif pajak akan semakin tinggi sehingga barang tersebut akan semakin mahal harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlombalomba untuk mengonsumsi barang-barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah). 2. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan yang tinggi pula. 3. Tarif pajak ekspor 0% dimaksudkan agar pengusaha terdorong mengekspor hasil produknya dipasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa negara. 4. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti industri semen, industri rokok, industri baja dan lain-lain. ini dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut karena dapat menggangu lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan). 5. Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi, dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia. 6. Pemberlakuan tax holiday, dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia. 2.1.3 Asas dan Sistem Pemungutan 2.1.3.1 Asas Pemungutan Pajak Menurut Adam Smith yang dikutip oleh Waluyo (2007:6), pemungutan pajak hendaknya didasarkan atas empat asas, yaitu:
13
1. Equity atau Equality Keadilan merupakan pertimbangan penting dalam membangun sistem perpajakan. Dalam hal ini, pemungutan pajak hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya. Negara tidak boleh melakukan diskriminasi diantara sesama pembayar pajak. 2. Certainty Di sini, pajak yang harus dibayar haruslah terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Kepastian hukum harus tercermin mengenai subyek, obyek, besarnya pajak dan juga ketentuan mengenai pembayaran. 3. Convenience Pajak harus dipungut pada saat yang paling baik bagi pembayar pajak, yaitu saat diterimanya penghasilan. 4. Economy Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya. Biaya pemungutan hendaknya tidak melebihi pemasukan pajaknya. 2.1.3.2 Sistem pemungutan Pajak Menurut Soemarso (2007: 5), sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi : 1. Official Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri official assessment system adalah : a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada Fiskus. b. Wajib pajak bersifat pasif.
14
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh Fiskus. 2. Self Assessment System Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memeberi wewenang, kepercayaan, tangggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. 3. Witholding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan Presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetor, dan memepertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. 2.1.4 Jenis Pajak Menurut Siti Resmi (2008:7), pengelompokan pajak dapat dilakukan berdasarkan golongan, wewenang pemungut, maupun sifatnya, dijelaskan sebagai berikut: A. Berdasarkan golongan, pajak dapat dikelompokan menjadi dua: a. Pajak langsung Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). b. Pajak tidak langsung Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Tambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). B. Berdasarkan wewenang pemungutannya, pajak dapat dibagi menjadi dua yaitu: a. Pajak Pusat atau Pajak Negara Pajak Pusat atau Pajak Negara adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jendaral Pajak dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara pada umumnya. Pajak Pusat diatur dalam Undang-Undang dan hasilnya akan masuk ke APBN. contoh: PPh, PPN, dan PPnBM, serta BPHTB.
15
b. Pajak daerah Pajak daerah yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah yang pelaksanaanya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing. Pajak Daerah diatur dalam Undang-Undang dan hasilnya akan masuk ke APBD. Contoh: Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan sebagainya. C. Berdasarkan sifatnya, pajak dibedakan menjadi dua yaitu: a. Pajak subjektif Pajak Subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi atau keadaan Wajib Pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya, yaitu Gaya Pikul. Gaya Pikul adalah kemampuan Wajib Pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum. b. Pajak objektif Pajak objektif adalah pajak yang pada awalnya memperhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi maupun badan. Jadi dengan kata lain pajak objektif adalah pengenaan pajak yang hanya memperhatikan kondisi saja.
2.1.5 Kewajiban dan Utang Pajak 2.1.5.1 Kewajiban pajak Menurut Siti Resmi (2008:9), kewajiban pajak dapat dibedakan menjadi dua yaitu: a.
Kewajiban pajak subjektif Kewajiban Subjektif adalah kewajiban yang melekat pada diri seseorang atau badan. Kewajiban subjektif muncuk karena yang bersangkutan tercakup dalam pihak-pihak yang akan dikenai pajak, sesuai dengan asas pemungutan pajak yang dianut. b. Kewajiban pajak objektif Kewajiban pajak objektif adalah kewajiban yang melekat pada objek. Kewajiban pajak objektif timbul pada saat dipenuhinya objek kena pajak. Pajak dikatakan terutang jika dipenuhi syarat kewajiban subjektif dan objektif sekaligus.
16
2.1.5.2 Utang Pajak Utang Pajak timbul karena ada Undang-Undang tentang pemungutan pajak. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar timbul suatu utang pajak (Waluyo, 2007:19) yaitu: 1. Adanya Undang-Undang yang menetapkan pemungutan pajak. 2. Dipenuhinya syarat subjektif dan objektif 3. Dipenuhinya saat terutang pajak menurut ketentuan UndangUndang Sedangkan utang pajak akan berakhir atau terhapus jika terjadi hal-hal berikut: a. Pembayaran atau pelunasan Pembayaran dapat dilakukan dengan pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain, pengkreditan pajak Luar Negeri, maupun pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak ke Kantor Penerima Pajak. b. Kompensasi pajak Kompensasi berupa keputusaan yang ditujukan kepada kompensasi utang pajak dengan tagihan seseorang diluar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu, kompensasi terjadi bila Wajib Pajak mempunyai tagihan beberapa kelebihan pembayaran pajak, jumlah kelebihan Wajib Pajak sebelumnya harus dikompensasi dengan pajak lain yang terutang. c. Pembebasan Pembebasan utang, sesuai dengan sebab-sebabnya, dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu pembebasan karena terhadap utang pajak yang bersangkutan seharunya tidak dikenakan pajak dan pembebasan karena dipenuhinya syarat material bahwa yang bersangkutan seharusnya tidak kena pajak. d. Penghapusan Penghapusan Pajak disebabkan karena keadaan Wajib Pajak. Dalam kaitan ini, keadaan Wajib pajak memang tidak memungkinkan untuk dapat diterimanya utang pajak oleh negara. keadaan yang memungkinkan tindakan penghapusan pajak adalah musibah yang diderita Wajib Pajak. e. Daluwarsa Daluwarsa berarti telah lewat batas waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu tertentu, suatu utang pajak tidak ditagih oleh pemungutnya maka utang pajak tersebut dianggap lunas atau dihapus atau berakhir dan tidak dapat ditagih lagi.
17
2.2 Nomor Pokok Wajib Pajak Dalam pasal 1 Undang-Undang no. 28 tahun 2007 disebutkan bahwa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, yang wajib untuk memiki NPWP adalah: A. Wajib Pajak Orang Pribadi Yang termasuk kedalam Wajib Pajak Orang Pribadi adalah: a. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas b. Wajib Pajak yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, apabila sampai dengan satu bulan memproleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi PTKP setahun. c. Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. B. Wajib Pajak Badan C. Wajib Pajak sebagai pemotong atau pemungut pajak 2.2.1 Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak, sebagai berikut: 1.
2. 3.
4.
5.
Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan, semua yang berhubungan dengan dokumen perpajakan harus mencantumkan NPWP. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan mencantumkan NPWP dalam dokumen-dokumen yang diwajibkan. contoh: pada dokumen impor (pemberitahuan impor barang/ PIB) Untuk keperluan pelaporan Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan.
18
2.2.2 Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Sesuai dengan KEP-161/PJ/2001, penghapusan NPWP dapat dilakukan dalam hal: a. Wajib Pajak meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan; b. Warisan yang belum terbagi (dalam kedudukan subjek pajak) sudah selesai dibagi; c. Wajib Pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan d. Wajib Pajak BUT yang kehilangan statusnya sebagai BUT Penghapusan NPWP dapat dilakukan apabila utang pajak telah dilunasi. kecuali dari hasil pemeriksaan pajak diketahui bahwa utang pajak tersebut tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi karena : a. Wajib Pajak Orang Pribadi meninggal dunia tanpa meninggalkan warisan; b. Wajib Pajak tidak dapat ditemukan lagi; c. Wajib pajak tidak mempunyai kekayaan lagi.
2.3 Surat Pemberitahuan (SPT) Berdasarkan Pasal 1, angka 11 Undang-undang No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: Surat pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau bukan objek pajak, dan/atau hrta kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 menyebutkan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah: a. b.
Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, Paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak,
19
c.
Untuk surat pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah Akhir Tahun Pajak
2.3.1 Fungsi SPT Fungsi SPT dapat dilihat dari wajib pajak, Pengusaha kena Pajak atau pemotong atau pemungut pajak sebagai berikut: 1. Fungsi SPT bagi Wajib Pajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan memepertanggungjawabkan perhitungan jumlah Wajib Pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu ) tahu pajak atau bagian tahun pajak; b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak c. Harta dan kewajiban d. Pembayaran dari pemotongan atau pemungut tentang pemotongan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2. Fungsi SPT bagi pengusaha Kena Pajak adalah sebagai sarana untuk melaprokan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam 1(satu) Masa
20
Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan perpajakan. 3. Fungsi SPT bagi pemotong atau pemungut pajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan memepertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan. 2.3.2 Ketentuan penyampaian SPT 1. SPT harus diisi dengan benar, lengkap, jelas, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, kemudian ditandatangani dan disampaikan ke KPP atau tempat lain yang ditentukan oleh DJP sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan; 2. SPT dapat diambil pada tempat Wajib Pajak terdaftar atau dicetak sendiri oleh Wajib pajak, namun harus sesuai dengan format yang baku; 3. Apabila yang mengisi dan menandatangani SPT orang lain, harus melampirkan surat kuasa khusus; 4. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan (PPh Pasal 29) harus dibayar lunas paling lambat sebelum SPT Tahunan ini disampaikan dengan munggunakan SSP (Pasal 9 UU KUP); 5. SPT wajib dilengkapi dengan lampiran. 2.4 Sanksi Administrasi Menurut Devano dan Rahayu (2006:198), pengertian sanksi administrasi dapat berupa: a. Denda adalah sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan;
21
b. Bunga adalah sanksi administrasi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran pajak; c. Kenaikan adalah sanksi administrasi yang berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar, terhadap pelanggaran berkaitan dengan kewajiban yang diatur dalam ketentuan material. Kelompok sanksi administrasi berupa denda: a. Pasal 7 Besarnya denda sebesar Rp 500.000 untuk SPT Masa PPN, Rp 100.000 untuk SPT Masa lainnya, untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan Rp 1.000.000 dan Rp 100.000 untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atas keterlambatan penyampaian SPT Masa dan SPT Tahunan yang tidak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. b. Pasal 8 ayat 2 Sanksi bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Undang – Undang KUP, Jika Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh sehingga mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar. c. Pasal 8 ayat (2a) Jika wajib pajak melakukan pembayaran atau penyetoran pajak setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Masa, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan. d. Pasal 9 ayat (2a) Pembayaran pajak untuk Masa Pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenakan sanksi administrasi
22
berupa bunga 2% sebulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran. e.
Pasal 9 ayat (2b) Jika Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran pajak setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan PPh, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan.
2.5 Ekstensifikasi dan Instesifikasi pajak 2.5.1 Pengertian Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Berdasarkan SE-06/PJ.09/2001, Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jendral Pajak (DJP). Intensifikasi Pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak. Ekstensifikasi pajak ditujukan bagi wajib pajak baik orang pribadi maupun badan yang telah memenuhi syarat untuk memiliki NPWP. sedangkan intensiifikasi pajak dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan, pencairan, tunggakan, penagihan,dan penerapan sanksi yang tegas 2.5.2 Ruang Lingkup Ekstensifikasi dan intensifikasi Pajak Berdasarkan SE-06/PJ.09/2001, ruang lingkup pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi wajib pajak dan intensifikasi wajib pajak, meliputi:
23
a. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP, termasuk pemberian NPWP secara jabatan terhadap Wajib Pajak PPh orang Pribadi yang berstatus sebagai karyawan perusahaan, orang pribadi yang bertempat tinggal diwilayah atau lokasi pemukiman atau perumahan, dan orang pribadi lainnya (termasuk orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia atau Orang Pribadi berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan), yang menerima atau memeperoleh penghasilan melebihi batas penghasilan tidak kena paajak (PTKP); b. Pemberian NPWP dilokasi usaha, termasuk pengukuhan sebagai PKP, terhadap orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai lokasi usaha di sentra berdagang atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza atau kawasan indutri atau sentra ekonomi lainnya; c. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP terhadap Wajib Pajak badan yang berdasarkan data yang dimiliki atau diperoleh ternyata belum terdaftar sebagai Wajib Pajak dan atau PKP baik di domisili atau lokasi; d. Penetuan jumlah angsuran PPh Pasal 25 dan atau jumlah PPN yang harus disetor dalam tahun berjalan, dimulai sejak bulan januari tahun yang bersangkutan; dan e. Penetuan jumlah PPN yang terutang atas transaksi penjualan dalam tahun berjalan khususnya untuk PKP pedagang eceran, yang mempunyai usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza atau sentra ekonomi lainnya.
24
2.6 Tax Amnesty Definisi Tax Amnesty menurut James, Tax Amnesty adalah the opportunity to disclose to the authorities previously unpaid tax liability without attracting penalties. sementara fisher memberikan pemahaman bahwa Tax Amnesty adalah program offering reduced financial and/or legal penalties to taxpayers who voluntarily agree to pay outstanding past tax liabilities. (dikutip dari Inside Tax. 2015. Manfaatkan Pengampunan Pajak) Menurut Devano dan Rahayu (2006), pengampunan pajak (tax amnesty) merupakan kebijakan Pemerintah dibidang perpajakan yang memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak dan kesempatan bagi Wajib pajak yang tidak patuhmenjadi Wajib Pajak yang patuh. Tax amnesty di Indonesia pernah berlaku pada pertengahan tahun 1984, pada awal tax reform di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No.26 Tahun 1984 yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 1984 yang berisikan kebijakan pemberian pengampunan pajak. Penggertian tax amnesty didefinisikan oleh Zainal Muttaqin, S.H.,MH. sebagai berikut : “Suatu kebijakan Pemerintah yang esensinya menghapus hutang-hutang pajak yang sebelumnya tidak atau kurang dibayar, termasuk sanksi administrasi dan sanksi pidana dengan kewajiban membayar % (persen) tertentu dari jumlah yang dijadikan dasar perhitungan pajak.” Dari definisi tersebut dapat disimpulakan bahwa tax amnesty (pengampunan pajak) adalah program kebijakan Pemerintah yang memberikan kesempatan kepada
25
wajib pajak untuk melunasi tunggakan pajaknya tanpa adanya sanksi administrasi guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan penerimaan negara. 2.6.1 Tujuan Tax Amnesty Tujuan tax amnesty pada umunya tujuan tax amnesty adalah untuk (Darusalam, “Manfaatkan Pengampunan Sanksi,” Inside Tax Edisi 31): 1.
Meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek;
2.
Meningkatkan kepatuhan pajak dimasa mendatang;
3.
Mendorong repatriasi modal dan aset;
4.
Transisi ke sistem perpajakan yang baru. Dijabarkan sebagai berikut :
1.
Meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek Permasalahan penerimaan pajak yang stagnan atau cenderung menurun seringkali menjadi alasan pembenar diberikannya tax amnesty. Hal ini akan berdampak pada keinginan pemerintah untuk memberikan tax amnesty dengan harapan pajak yang dibayar oleh wajib pajak selama program tax amnesty akan meningkatkan penerimaan pajak. Meski demikian, peningkatan pajak dari program tax amnesty ini mungkin saja hanya terjadi selama program tax amnesty dilaksanakan mengingat wajib pajak bisa saja kembali pada prilaku ketidakpatuhannya setelah program tax amnesty berakhir. Dalam jangka panjang, pemberian tax amnesty tidak akan memberikan banyak pengaruh jika tidak dilengkapi dengan program peningkatan kepatuhan dan pengawasan kewajiban perpajakan.
26
2.
Meningkatkan kepatuhan pajak dimasa yang akan datang Kepatuhan pajak merupakan salah satu penyebab pemberian tax amnesty. Para pendukung tax amnesty umumnya berpendapat bahwa kepatuhan sukarela akan meningkat setelah program tax amnesty dilakukan. Hal ini didasari pada harapan bahwa setelah program tax amnesty dilakukan Wajib Pajak yang sebelumnya menjadi bagian dari sistem administrasi perpajakan, maka Wajib Pajak tersebut tidak akan bisa mengelak dan menghindar dari kewajiban perpajakannya.
3.
Mendorong repatriasi modal atau aset Kejujuran dalam pelaporan sukarela atas data harta kekayaan setelah program tax amnesty merupakan salah satu tujuan pemberian tax amnety. Dalam kontek pelaporan, data harta kekayaan tersebut, pemberian tax amnesty juga bertujuan untuk mengembalikan modal yang parkir diluar negeri tanpa perlu membayar pajak atas modal yang di parkir di luar negeri tersebut. Pemberian tax amnesty atas pengembalian modal yang di parkir di luar negeri ke bank didalam negeri dipandang perlu karena akan memudahkan otoritas pajak dala meminta informasi tentang data kekayaan wajib pajak kepada bank di dalam negeri.
4.
Transisi ke sistem perpajakan yang baru Tax amnesty dapat di justifikasi ketika tax amnesty digunakan sebagai alat transisi menuju sistem perpajakan yang baru.
27
2.6.2 Karakteristik Tax Amnesty Gambaran tentang karakteristik dari tax amnesty sebagai berikut (Darusalam, “Manfaatkan Pengampunan Sanksi,” Inside Tax Edisi 31): 1.
Durasi;
2.
Kelompok Wajib Pajak;
3.
Jenis Pajak dan Jumlah Pajak atau sanksi administarasi yang diberikan ampunan. Gambaran karakteristik tax amnesty diuraikan sebagai berikut :
1.
Durasi Secara umum, program Tax Amnesty berlangsung dalam satu kurun waktu tertentu, dan umumnya berjalan selama 2 (dua) bulan hinga 1 (satu) tahun. Untuk mendukung berhasilnya program Tax Amnesty, hal yang perlu ditekankan adalah luasnya publisitas dan promosi program Tax Amnesty serta tersampaikannya esan bahwa wajib pajak hanya memiliki kesempatan sekali ini saja untuk memperoleh pengampunan atas pajak yang terutang, bunga dan sanksi administrasi. Menurut Benno Torgler dan Christoph A. Schaltegger, pengampunan pajak sebaiknya diberikan hanya sekali saja dalam suatu generasi (once per generation).
Pengampunan
pajak
yang
diberikan
berkali-kali
akan
menyebabkan wajib pajak akan selalu menunggu program pengampunan pajak berikutnya dan ini akan mendorong wajib pajak untuk tidak menjalankan kewajiban pajaknya dengan benar. Oleh karena itu apabila pemerintah akan
28
memberikan tax amnesty maka tidak boleh ada isu tentang program pengampunan pajak jilid berikutnya. 2.
Kelompok Wajib Pajak Secara umum, setiap wajib pajak yang belum menunaikan kewajiban perpajakannya diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam program Tax Amnesty. Artinya, program tax amnesty ini ditujukan kepada wajib pajak yang telah berada dalam sistem administrasi perpajakan dan wajib pajak yang belum masuk dalam sistem administrasi perpajakan. Perlakuan yang berbeda dimungkinkan ketika Wajib Pajak yang hendak berpartisipasi dalam program tax amnesty telah diperiksa atau sedang dalam proses pemeriksaan. Dalam hal ini, Wajib Pajak yang telah diperiksa atau sedang dalam proses pemeriksaan tersebut tidak diperbolehkan berpartisipasi dalam program tax amnesty karena jumlah tunggakan pajaknya telah diketahui otoritas pajak. Wajib Pajak juga dapat disebut diberikan pengampunan jika ketentuan peraturan perundang-undangan menyatakan Wajib Pajak yang mengungkapkan kewajiban perpajakan atau harta kekayaan secara sukarela berhak mendapatkan penurunan atau penghapusan sanksi administrasi.
3.
Jenis Pajak dan Jumlah Pajak atau sanksi administarasi yang diberiksan ampunan Tentang Tax Amnesty harus menspesifikasi pajak apa saja yang diberikan ampunan. Pada umumnya, pajak yang diberikan ampunan hanya bersumber dari satu jenis pajak atau satu kategori subjek pajak saja, misalnya Tax Amnesty
29
hanya diberikan pada pajak penghasilan badan, atau program Tax Amnesty hanya dikhususkan kepada pajak bumi dan bangunan saja. Perkembangan terkini di beberapa negara menunjukan program Tax Amnesty juga diberikan secara spesifik kepada harta kekayaan yang ditempatkan di luar negeri yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak, termasuk harta kekayaan yang direpartriasi ke dalam negeri. Program Tax Amnesty yang diberikan secara khusus ini umumnya disertai dengan pembebasan atau pengurangan pajak atas penghasilan yang belum dilaporkan yang bersumber dari harta kekayaan di luar negeri tersebut. Selain itu, jumlah pajak yang belum dibayar dan sanksi administrasi yang diberikan ampunan harus ditentukan dalam ketentuan Tax Amnesty. Pada Umumnya, jumlah yang diberikan ampunan dapat berupa : a.
Seluruh atau sebagian dari jumlah pajak yang terutang
b.
Seluruh atau sebagian dari jumlah sanksi administrasi
c.
Pembebasan dari sanksi pidana
d.
Pemberian fasilitas angsuran.
Secara umum, Tax Amnesty mensyaratkan Wajib Pajak untuk tetap membayar seluruh pajak yang terutang. Walau demikian, perhitungan pajak yang terutang tersebut dapat saja didasarkan pada ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku pada saat program tax amnesty dilaksanakan. Sementara pemberian ampunan atas sanksi administrasi dan pembebasan dari sanksi pidana merupakan hal yang umum diberikan di banyak program tax amnesty.
30
2.6.3 Jenis Pengampunan Pajak Menurut Erwin Silitonga, dalam literatur sekurang-kurangnya terdapat 4 jenis pengampunan pajak, jenis yang dimaksud adalah sebgai berikut : 1. Pengampunan hanya diberikan terhadap sanksi pidana perpajakan saja sedangkan kewajiban untuk membayar pokok pajak termasuk pengenaan sanksi administrasi seperti bunga dan denda tetap ada. Tujuan pengampunan ini adalah memungut dan menagih utang pajak tahun – tahun sebelumnya yang tidak dibayar atau dibayar tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga penerimaan negara meningkat sekaligus jumlah wajib pajak bertambah. 2. Pengampunan pajak yang diberikan tidak hanya berupa penghapusan sanksi pidana, tetapi juga sanksi administrasi berupa denda. Tujuan dari pengampunan ini adalah dasarnya sama dengan jenis 1 (pertama), yang berbeda adalah jenis sanksi administrasi yang dikenakan oleh fiskus hanya sebatas bunga atas kekurangan pajak. Dengan demikian, model ini tetap harus membayar pokok pajak ditambah dengan bunga atas kekurangan pokok tersebut. 3. Pengampunan pajak diberikan atas seluruh sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Konsekuensi dari pengampunan jenis ini adalah wajib pajak hanya dikenakan kewajiban sebatas melunasi utang pokok untuk tahun-tahun sebelumnya tanpa dikenakan pidana. Dengan demikian pengampunan
31
diberikan terhadap semua perbuatan yang dilakukan sebelum pemberian pengampunan pajak baik terhadap pelanggaran, yang bersifat adminitratif maupun pidana. 4. Pengampunan diberikan terhadap seluruh utang pajak untuk tahun-tahun sebelumnya dan juga atas seluruh sanksi baik yang bersifat administratif maupun pidana. Dalam pengampunan pajak jenis ini, negara melepaskan hak untuk melakukan penagihan atas seluruh hutang pajak yang harus dibayar. Dengan demikian, tidak ada uang pajak yang masuk kedalam negara sehingga tidak ada peningkatan atau penambahan negara pada saat diterapkannya pengampunan. Hal ini disebabkan hak negara untuk memperoleh penerimaan pajak dari tahun-tahun sebelumnya dilepaskan atau dibebaskan.
2.7 Reinventing Policy (PMK 91) 2.7.1 Pengertian Reinventing Policy Berangkat dari konsep pengampunan pajak (tax amnesty), reinventing policy merupakan upaya transisi menuju babak baru hubungan antara Wajib Pajak dengan Otoritas Pajak yang berlandaskan cooperative compliance. Cooperative compliance akan didasarkan
pada rasa saling percaya, saling memahami, dan
terbuka (Darussalam,”Manfaatkan Pengampunan Sanksi”, InsideTax Edisi 31). Peraturan Mentri Keuangan Nomor 91 Tahun 2015 yang selanjutnya disebut sebagai PMK 91 merupakan instrumen legal yang dipakai oleh Ditjen Pajak dalam
32
reinventing policy mengatur tentang pengurangan atau penghapusan sanksi yang dikarenakan kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya. Sedangkan, Landasan yuridis yang mengatur tentang reinventing policy adalah pasal 36 ayat (1) huruf a Undang- Undang KUP, dimana dalam pasal 36 Undang-Undang KUP ayat (1) huruf a disebutkan bahwa Direktur Jendral pajak, karena jabatan atau permohonan wajib pajak, dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan – undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. Penjelasannya “dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani wajib pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga dan denda dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jendral Pajak” (Direktorat Jendral Pajak, dalam slide Sosialisasi Internal). 2.7.2 Perbedaan antara Sunset Policy dan Reinventing Policy Pada dasarnya kebijakan Sunset Policy dan Reinventing Policy hampir sama, hanya yang membedakannya akan dipaparkan pada Tabel 2.1 berikut :
33
Tabel 2.1 Perbedaan Sunset Policy dan Reinventing Policy Sunset Policy Reinventing Policy Pasal 37 A Undang-undang KUP Pasal 36 ayat (1) huruf a KUP Dasar Hukum Pengurangan atau penghapusan 1. Pengurangan atau Fasilitas sanksi bunga karena melakukan penghapusan sanksi denda Perpajakan pembetulan atau pelaporan SPT karena terlambat lapor SPT; yang Diberikan Tahunan PPh (cakupan 2. Pengurangan atau pengurangan atau penghapusan penghapusan sanksi bunga sanksi administrasi lebih sempit karena melakukan dari pada Reinventing Policy) pembetulan SPT Tahunan PPh; 3. Pengurangan atau penghapusan sanksi bunga karena melakukan pembetulan SPT masa. Diberikan oleh pemerintah dengan Sifat pemberian Otomatis diberikan pemerintah tanpa permohonan tertulis didahului adanya permohonan fasilitas tertulis oleh Wajib Pajak. Dijamin tidak dilakukan Dapat dilakukan pemeriksaan pajak Pemeriksaan (tidak ada jaminan seperti Sunset pajak bagi pemeriksaan sepanjang data dan informasi yang disampaikan Policy) Wajib Pajak yang mengikuti adalah benar 14 bulan (1 Januari 2008 – 28 12 bulan (1 Januari 2015 – 31 Jangka waktu Februari 2009) Desember 2015) Berdiri Sendiri Sebagai salah satu pendukung Keberadaan Program Lima Tahunan Perpajakan yang pertama Jokowi-JK yaitu “Tahun Pembinaan Wajib Pajak” Tidak ada Penegakan Hukum Pajak (law Program Enforcement) Lanjutan (sumber: Indonesia Tax Review, 2015)
2.7.3 Tema dan Konsep Pelaksanaan Reinvanting Policy Tahun 2015 adalah tahun pembinaan Wajib Pajak, tema dan konsep Direktorat Jendral Pajak Tahun 2015 adalah: a.
Optimalisasi pemanfaatan data berbasis IT;
34
b.
Wajib pajak diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan pembetulan SPT (5 tahun ke belakang) dengan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;
c.
Penegakan hukum secara selektif untuk memberikan efek jera kepada wajib pajak (blokir rekening, pencegahan ke luar negeri, penyanderaan atau gijzeling, dan penyidikan).
2.7.4 Ruang Lingkup Reinventing Policy Ruang lingkup pengahapusan sanksi administrasi tahun 2015 adalah : 1.
Penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014;
2.
Keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya;
3.
Keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau masa pajak sebagaimana tercantum dalam SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan/atau sebelumnya;
4.
Pembetulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atas SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar.
2.7.5 Sasaran Kebijakan Reinventing Policy Sasaran kebijakan tahun pembinaan pajak 2015 adalah: 1.
Wajib pajak yang belum terdaftar;
35
2.
Wajib pajak terdaftar tetapi belum menyampaikan SPT;
3.
Wajib pajak terdaftar dan telah menyampaikan SPT. Perlakuan yang akan diberikan kepada wajib pajak:
1.
Penghapusan Sanksi Bunga atas pembetulan SPT (2% perbulan) dan denda akibat tidak menerbitkan Faktur Pajak untuk SPT PPN (2%xDPP);
2.
Penghapusan sanksi denda atas keterlambatan penyampaian SPT (Rp 1 (satu) juta PPh Badan, Rp 100 (seratus) ribu PPh OP dan Rp 500 (lima ratus) ribu SPT Masa PPN) dan sanksi bunga ketelambatan pembayaran pajak (2% perbulan).
2.7.6 Persyaratan Kebijakan Reinventing Policy Dalam rangka mendapatkan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi, permohonan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a.
1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Tagihan Pajak;
b.
Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
c.
Ditandatangani oleh wajib pajak dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi atau wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak Badan, dan tidak dapat dikuasakan; dan
d.
Disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Dokumen yang harus dilampirkan oleh Wajib Pajak :
a.
Surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak di atas meterai Rp 6.000, dan tidak dapat dikuasakan;
b.
Fotokopi SPT atau SPT pembetulan atau print out SPT atau SPT embetulan berbentuk dokumen elektronik;
36
c.
Fotokopi bukti penerimaan atau bukti pengiriman surat sebagai bukti penerimaan penyampaian SPT atau SPT pembetulan;
d.
Fotokopi SSP atau sarana administrasi lain sebgai bukti pelunasan kurang bayar dalam SPT atau SPT pembetulan; dan
e.
Fotokopi STP. Syarat lain yang masih harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonan
pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi ini adalah: a.
Sanksi Administrasi dalam STP belum dibayar oleh Wajib Pajak; atau
b.
Sanksi Administrasi dalam STP sudah dibayar sebagaian oleh Wajib Pajak Dalam hal Sanksi Administrasi dalam STP telah diperhitungkan dengan
kelebihan pembayaran pajak, yang diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran pajak, yang dilakukan melalui potongan SPT dan/atau transfer pembayaran, Sanksi Administrasi dalam STP dianggap belum dibayar oleh Wajib Pajak. 2.7.7 Proses Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Proses pengurangan atau penghapusan sanksi yang dilakukan oleh seorang Wajib Pajak sebagai berikut : 1.
Wajib Pajak melaporkan SPT atau pembetulan SPT (Tahunan dan/masa) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dimulai ketika Wajib Pajak melakukan pembetulan, pembayaran, dan/atau pelaporan di tahun 2015 atas SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa Desember 2014 dan sebelumnya.
2.
Diterbitkan STP oleh Direktorat Jendral Pajak
37
Selanjutnya Kantor Pajak akan menerbitkan STP pengenaan sanksi administrasi. Sanksi administrasi yang mungkin akan dikenakan kepada Wajib Pajak adalah: a.
Denda karena keterlambatan penyampaian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang KUP;
b.
Bunga karena pembetulan SPT Tahuanan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) Undang-Undang KUP;
c.
Bunga karena pembetulan SPT masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar sebagaimana dimaksud dalam dalam pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP;
d.
Bunga karena keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang dalam SPT masa sebagaiman dimaksud dalam Pasal 9 ayat 2(a) Undang-Undang KUP;
e.
Bunga karena keterlambatan pembayaran atau penyetoran kekurangan pajak yang tercantum dalam SPT Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2b) Undang-Undang KUP;
3.
Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Setelah menerima STP, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan sanksi yang ke Kantor Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dapat dilakukan maksimal 2 (dua) kali oleh Wajib Pajak.
4.
Tindak lanjut dari permohonan Wajib Pajak
38
a.
Jika permohonan kepada DJP memenuhi persyaratan dan ketentuan DJP akan menerbitkan surat keputusan pengahapusan atau pengurangan sanksi administrasi
b.
Jika permohonan kepada DJP tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan DJP akan mengembalikan permohonan kepada Wajib Pajak dan Wajib Pajak bisa mengajukan kembali permohonan atau pengurangan sanksi, jika tidak memenuhi persyartan Wajib pajak dapat mengajukan kembali, sedangkan jika tidak memenuhi ketentuan Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali.
2.8 Kepatuhan Wajib Pajak 2.8.1 Pengertian Kepatuhan Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah kepatuhan adalah tunduk atau patuh pada ajaran. Menurut Safri Nurmantu (2005:148) kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Menurut Safri Nurmantu (2005:148) dijelaskan terdapat 2 (dua) macam kepatuhan yaitu: 1.
Kepatuhan Formal Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang perpajakan. Dalam hal ini kepatuhan memenuhi: a.
Wajib pajak membayar pajak dengan tepat waktu
39
2.
b.
Wajib pajak membayar dengan tepat jumlah
c.
Wajib pajak tidak memiliki tanggungan Pajak Bumi dan Bangunan.
Kepatuhan Material Kepatuhan material adalah dimana suatu keadaan dimana wajib pajak secara substansi atau hakakat memenuhi semua ketentuan perpajakan, yakni sesuai dengan isi dan jiwa Undang-Undang perpajakan. Dalam hal ini kepatuhan memenuhi : a.
Wajib Pajak bersedia melaporkan informasi tentang pajak apabila petugas membutuhkan informasi.
b.
Wajib pajak bersifat kooperatif (tidak menyusahkan) petugas pajak dalam pelaksanaan proses administrasi perpajakan, wajib pajak berkeyakinan bahwa melaksanakan kewajiban perpajakan merupakan tindakan sebagai warga negara yang baik.
2.8.2 Pengertian Wajib Pajak Dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (2) Undangundang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), disebutkan bahwa Wajib Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Ada beberapa istilah dalam wajib pajak terkait dengan pelaksanan kewajiban perpajakannya yaitu wajib pajak efektif dan wajib pajak non efektif. Wajib pajak efektif adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa
40
memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) masa dan atau Tahunan sebagaimana mestinya. Sedangkan Wajib Pajak non efektif adalah wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Berdasarkan surat edaran SE-01/PJ.9/20 tentang pengawasan penyampaian SPT Tahunan disebutkan bahwa jumlah Wajib Pajak efektif adalah selisih antara jumlah Wajib pajak terdaftar dengan jumlah Wajib Pajak non efektif. Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dikategorikan menjadi orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) serta orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas seperti karyawan atau pegawai yang hanya memperoleh passive income. 2.8.3 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak Menurut Nowak (Zain: 2004), kepatuhan Wajib Pajak memiliki pengertian “suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana: 1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; 2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas; 3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar; dan 4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.”
Menurut Nurmantu dalam Rahayu (2010:138) mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefenisikan sebagai keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Sedangkan menurut Santoso (2008) kepatuhan Wajib Pajak adalah Wajib Pajak yang mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku tanpa perlu diadakannnya pemeriksaan,
41
investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Menurut Nasucha (Devano dan Rahayu,2006 :111), kepatuhan Wajib pajak dapat didefinisikan dari: 1. 2. 3. 4.
Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri; Kepatuhan untuk melaporkan kembali surat pemberitahuan (SPT); Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang; dan Kepatuhan dalam membayar tunggakan. Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa Kepatuhan
Wajib Pajak adalah sikap Wajib Pajak yang taat, tunduk dan patuh untuk memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Kepatuhan Wajib Pajak dalam konsep kemauan membayar pajak (Willingness to Pay Tax) dikembangkan melalui 2 (dua) subkonsep yaitu konsep kemauan membayar pajak dan konsep pajak, yang dijabarkan sebagai berikut : 1.
Konsep kemauan membayar (Willingness to Pay Tax) Kemauan membayar merupakan suatu nilai dimana seseorang rela untuk membayar, mengorbankan atau menukarkan sesuatu untuk memperoleh barang atau jasa (Widaningrum, 2007). Kemauan membayar pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada Wajib Pajak, penegakan hukum perpajakan dan tarif pajak (Devano dan Rahayu,2006). Faktor- faktor pendorong kemauan membayar pajak: a.
Kesadaran membayar pajak
42
Indikator pertama adalah adanya kesadaran membayar pajak oleh Wajib Pajak. Irianto (2005) dikutip dalam Vanesa (2009) menguraikan beberapa bentuk kesadaran membayar pajak yang mendorong Wajib Pajak untuk membayar pajak, terdapat tiga bentuk kesadaran utama terkait pembayaran pajak. Pertama, kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara. Kedua, kesadaran bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara. Ketiga, kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan Undang-Undang. 2.
Konsep Pajak Di dalam konsep ini menurut Mr. Dr. NJ. Taylor dikutip dalam Vanesa (2009) pajak adalah prestasi sepihak oleh negara dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontarsepsi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. ada 2 (dua) indikator, yaitu: 1.
Pengetahuan dan pemahaman terhadap peraturan perpajakan Indikator ini terkait adanya pengetahuan dan pemahaman akan peraturan perpajakan (syarat-syarat) terkait pembayaran pajak. Syarat – syarat untuk melakukan pembayaran pajak adalah: a.
Wajib Pajak harus memiliki NPWP; dan
b.
Wajib Pajak harus melaporkan SPT.
Syarat-syarat tersebut dapat dijadikan indikator kemauan membayar pajak oleh Wajib Pajak dengan dua alasan, pertama Wajib Pajak yang mau membayar pajak akan mendaftarkan diri untuk memperoleh
43
NPWP mau membayar pajak karena kepemilikian tersebut mewajibkan wajib pajak untuk membayar pajak secara berkelanjutan. Kedua, kepemilikan NPWP selanjutnya harus ditindaklanjuti dengan pelaporan SPT oleh Wajib Pajak. 2.
Persepsi yang baik atas efektifitas perpajakan Indikator ini adalah adanya persepsi yang baik oleh Wajib Pajak terhadap efektifitas perpajakan. Anu (2004) dikutip dalam Vanesa (2009) dalam penelitiannya menguraikan bentuk-bentuk persepsi dan alasan persepsi tersebut dapat mengindikasikan kemauan membayar pajak oleh Wajib Pajak. Pertama, Wajib Pajak merasa jumlah pajak yang harus dibayar tidak memberatkan, atau paling tidak sesuai dengan penghasilan yang diperoleh. Wajib Pajak mau membayar pajak apabila beban pajak yang dipikul tidak mempengaruhi kemampuan ekonomis secara signifikan. Kedua, Wajib Pajak menilai sanksi- sanksi perpajakan dilaksanakan dengan adil. Dengan penilaian ini Wajib Pajak akan membayar pajak, didasarkan pada kepercayaan bahwa Wajib Pajak yang tidak memayar pajak akan deikenakan sanksi. Ketiga, Wajib Pajak menilai pemanfaatan pajak sudah tepat, salah satu pemanfaatan pajak adalah pembangunan fasilitas umum.
44
2.9 Kerangka Pemikiran Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang paling potensial. Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan pemerintah mengeluarkan program tax amnesty (pengampunan pajak). Menurut Devano dan Rahayu (2006), pengampunan pajak (tax amnesty) merupakan kebijakan pemerintah dibidang perpajakan yang memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak dan kesempatan bagi Wajib pajak yang tidak patuh menjadi Wajib Pajak yang patuh. Yang menjadi bagian dari Tax Amnesty adalah Sunset Policy dan Reinventing Policy. Sunset Policy adalah program penghapusan sanksi administrasi pajak penghasilan. Kebijakan Sunset Policy di negara Indonesia telah dilaksanakan pada tahun 2008. Sunset Policy merupakan fasilitas perpajakan yang diatur berdasarkan pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Wajib pajak yang dapat menikmati fasilitas kebijakan Sunset Policy adalah wajib pajak yang secara sukarela mendaftarkan dirinya untuk memperoleh NPWP dalam tahun 2008 dan menyampaikan SPT Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar dan Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan sebelum Tahun Pajak 2007 yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih
45
besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak. Pemerintah mengakui bahwa penerapan Sunset Policy untuk pertama kalinya terbilang sukses karena berhasil memperoleh tambahan penerimaan pajak tahun 2008 sebesr Rp 7,46 triliun. Melalui Sunset Policy juga diperoleh penambahan Wajib Pajak sebesar 5,5 juta (Darussalam,”Manfaatkan Pengampunan Sanksi”, InsideTax Edisi 31). Namun setelah fasilitas pengampunan diberikan, kinerja penerimaan malah menunjukan penurunan dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang cendrung stagnan. Maka dari itu Pada Tahun 2015, tepatnya dibulan mei pemerintah mengeluarkan PMK 91 kebijakan yang dinamakan Reinventing Policy atau yang biasa dikenal dengan istilah Sunset Policy Jilid II. Reinventing Policy merupakan program kebijakan pemerintah yang diatur dalam pasal 36 ayat (1) huruf a Undang- Undang KUP, dimana dalam pasal 36 Undang-Undang KUP ayat (1) huruf a disebutkan bahwa Direktur Jendral pajak, karena jabatan atau permohonan Wajib Pajak, dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan – undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. Alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan reinventing policy karena tax ratio pada tahun 2013 yang masih rendah yaitu 11,89% (sumber:website Direktorat Jendral Pajak) dan tingkat kepatuhan wajib pajak yang dinilai masih rendah. Biasanya permasalahan kepatuhan perpajakan timbul karena kurangnya kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak, rendahnya pengetahuan dan pemahaman
46
wajib pajak akan peraturan perpajakan serta kurangnya persepsi yang baik atas efektifitas sistem perpajakan. Menurut Nowak (Zain: 2004), kepatuhan Wajib Pajak memiliki pengertian “suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana: 1.
Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
2.
Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas;
3.
Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar;
4.
Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.”
Kebijakan Reinventing Policy bertujuan untuk mendorong Wajib Pajak agar lebih jujur, konsisten dan sukarela dalam melaksanakan kewajiban pajaknya. Pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak to become the honest tax payer melalui pengampunan perpajakan diharapkan akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dimasa yang akan datang. Penelitian terkait pengampunan pajak yang dilakukan oleh Alm dan Beck (1993) sebagaimana dikutip dalam dikutip dalam Vanesa (2009) yang menunjukan bahwa pengampunan pajak selalu mempengaruhi kepatuhan pajak (tax compliance) oleh wajib pajak dimana konsep kemauan membayar pajak (willingness to pay tax) termasuk didalamnya. Vanessa dan priyo (2009) dalam penelitiannya tentang “Dampak Program Sunset Policy Terhadap Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak” menunjukan bahwa adanya pengaruh positif terhadap ketiga faktor yang mempengaruhi kemauan membayar pajak.
47
Monica Dian Anggraeni dan Endang Kiswara (2011) dalam penelitiannya mengenai “Pengaruh Pemanfaatan Fasilitas Perpajakan Sunset Policy terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak,” menunjukan bahwa program Sunset Policy berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang dilihat dari konsep Willingness to Pay Tax. Bintaro Wardiyanto (2007) melakukan penelitian mengenai “Tax Amnesty Policy (The Framework Prospective of Sunset Policy Implementation Based on the Act no.28 of 2007).” Hasil dari penelitian menunjukan bahwa kontak psikologis yang dibangun oleh aparatur pajak dan Wajb Pajak akan berdampak pada terbentuknya moral pajak yang berpengaruh secara signifikan terhadap kemauan membayar pajak. Sunset Policy berangkat dari konsep pengampunan pajak (Tax Amnesty), Jams Alm (1998) dalam studinya memaparkan beberapa hasil pengampunan pajak di beberapa negara, yakni india, irlandia, colombia, dan bagian colorado amerika serikat. Hasil penerapan program tersebut secara ringkas disajikan dalam tabel dibawah ini.
48
Tabel 2.2 Hasil Praktik Program Pengampunan Pajak Beberapa Negara Negara
Tahun
Bentuk Pengampunan Pajak
Implikasi
India
1997
Pengampunan pajak berupa penghaspusan sanksi administrasi Jenis pajak yang dilibatkan adalah pajak penghasilan
Irlandia
1988
Colombia
1987
Colorando
1985
Pengampunan pajak berupa pengahapusan sanksi administrasi dalam waktu 10 (sepeuluh) bulan. Jenis pajak yang dilibatkan adalah pajak penghasilan Pengampunan pajak berupa penghapusan sanksi administrasi dengan syarat pembayar pajak telah melaporkan penghasilan tahun sebelumnya. Jenis pajak yang dilibatkan adalah pajak yang terkait kepemilikan aset. Pengampunan pajak terhadap sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam waktu dua bulan Jenis pajak yang dilibatkan adalah pajak penjualan, pajak rokok, dan pajak untuk bahan bakar.
Peningkatan penerimaan pajak tiga kali lipat dari jumlah yang diperoleh dalam pemberian pengampunan pajak sebelumnya dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam jangka panjang. Penerimaan pajak aktual (750 juta dolar) 15 kali lipat dari penerimaan pajak yang diestimasi (50 juta dolar).
(Sumber: Alm, James 1998)
Pendapatan pajak yang meningkat menjadi 100 juta dollar dan memberi kesempatan kontribusi sebesar 0,3% dari Gross Dosmetic Product
Pendapatan pajak aktual (6,3 juta dolar) melebihi pendapatan pajak yang diestimasi (5 juta dolar).
50
Didasarkan pada fakta diatas, dapat dilihat bahwa program pengampunan pajak dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang berdampak terhadap peningkatan
penerimaan
negara.
Penghapusan
sanksi
diharapkan
dapat
meningkatkan kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak baik atas kekurangan pembayaran dimasa lalu maupun untuk pembayaran pajak selanjutnya. Penelitian yang akan dilakukan dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peranan program kebijakan pemerintah terkait dengan kebijakan Reinventing Policy terhadap kepatuhan wajib pajak. Dimensinya dapat dilihat dari konsep kemauan membayar pajak (Willingness to Pay tax) yaitu kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman terhadap peraturan perpajakan dan persepsi yang baik atas efektivitas sistem perpajakan.
51
Kepatuhan Wajib Pajak
Reinventing Policy
Indikator: 1.Kesadaran Membayar Pajak; 2.Pengetahuan dan Pemahaman Terhadap PeRaturan Perpajakan; 3. Persepsi yang Baik atas Efektifitas Perpajakan .
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.10 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2008:8). Berdaasarkan seluruh uraian diatas maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: H0 : β = 0
Reinventing Policy tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.
52
Ha : β ≠ 0
Reinventing policy mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.
10
10