BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Proses Interaksi Sosial dalam Keluarga Menurut Kimbal Young dan Reymond W.Mack dalam Soekanto (1990:6061), menyatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Sedangkan menurut Gillin dan Gillin menyebutkan interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-orang perorangan dengan kelompok-kelompok manusia. Adapun ciri-ciri interaksi sosial menurut Charles P. Loomis adalah : 1. Jumlah pelakunya lebih dari seorang, biasanya dua atau lebih. 2. Adanya komunikasi antar para pelaku dengan menggunakan simbol-simbol. 3. Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini dan akan datang yang menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung. 4. Adanya suatu tujuan yang hendak dicapai sebagai hasil dari interaksi tersebut Interaksi yang dilakukan oleh manusia mempunyai syarat-syarat agar interaksi terjadi dengan baik, yaitu kontak dan komunikasi. Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok agar mempunyai makna bagi pelakunya dan kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain. Penangkapan makna tersebut yang menjadi pangkal tolak untuk memberikan reaksi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Alvin dan Helen Gouldner dalam Taneko (1990:110), interaksi itu adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
aksi diantara orang-orang, jadi tidak memperdulikan secara berhadapan muka secara langsung ataukah melalui simbol-simbol seperti bahasa, tulisan yang disampaikan dari jarak ribuan kilometer jauhnya. Semua itu tercakup didalam konsep interaksi selama hubungan itu mengharapkan adanya satu atau lebih bentuk respons. Komunikasi muncul setelah kontak berlangsung. Terjadinya kontak belum berarti telah ada komunikasi, oleh karena komunikasi itu timbul apabila seseorang individu memberi tafsiran pada prilaku orang lain. Dengan tafsiran tadi, lalu seseorang itu mewujudkan dengan prilaku, dimana prilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingin di sampaikan Menurut pendekatan interaksionis faktor yang menentukan dalam upaya untuk memahami prilaku keluarga adalah kajian terhadap interaksi antara para anggota keluarga dan interpretasi apa yang para individu bersangkutan berikan pada interaksi tersebut. Karena para anggota keluarga secara terus-menerus saling mempengaruhi maka keluarga adalah suatu unit sosial yang senantiasa tumbuh, berkembang dan bersifat dinamis (Ihromi, 1999:276-277). Dengan kata lain pendekatan interaksi melihat keluarga sebagai unit interaksi personal, dimana ayah, ibu, dan anak-anak akan saling menjalin hubungan dalam interaksi dan komunikasi. Pendekatan ini juga melihat bagaimana individu memainkan perannya masing-masing dalam keluarga dan bagaimana mereka memikirkan dan merasakan apa yang mereka lakukan dalam keluarga mereka dan terhadap anggota keluarga lainnya. Secara ideal keluarga terdiri dari suami, istri dan beberapa orang anak. Keluarga merupakan kelompok orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, hubungan darah, yang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain
Universitas Sumatera Utara
melalui perannya masing-masing sebagai anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan karena itu perlu adanya peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga. Keluarga terdiri dari dari beberapa orang, maka akan terjadi interaksi antara anggotanya dan ini berpengaruh terhadap keadaan bahagia (harmonis) atau tidak bahagia (disharmonis) pada salah seorang anggota keluarga yang selanjutnya berpengaruh pula terhadap pribadi-pribadi lain dalam keluarga (Gunarsa, 1993:210-211). Keluarga sebagai satuan emosional yang memenuhi peran dan tanggung jawab semakin dianggap penting oleh umumnya masyarakat. Keluarga ideal juga tidak lepas dari sejauh mana ia mampu menjalankan fungsi keluarga dengan baik di dalam keluarga, karena fungsi keluarga tidak dapat dipisahkan dari keluarga ideal. Adapun fungsi keluarga tersebut adalah fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan dan fungsi ekonomi. Berjalannya fungsi-fungsi ini membawa keluarga pada pola penyesuaian sebagai dasar hubungan sosial dengan penuh cinta kasih sehingga tercipta pola interaksi sosial yang lebih luas baik dengan sesama anggota keluarga maupun masyarakat sekitar.
2.2. Konflik Sosial dan Ekonomi dalam Keluarga Simmel dalam Ihromi (1999:177) mengatakan bahwa hubungan suami istri dalam perkawinan dapat dikatakan sebagai hubungan dua orang atau dyadic, yang secara kualitatif memiliki perbedaan dengan kelompok yang beranggotakan lebih dari dua orang. Sebab, hidup matinya kelompok dyadic hanya tergantung pada kedua
Universitas Sumatera Utara
orang tersebut. Di dalam hubungan dyadic ini terdapat tingkat keamanan maksimum yang disebabkan oleh adanya suatu kekhususan yang berbeda dengan hubungan yang terdiri atas banyak orang yaitu struktur sosial hanya terdapat di antara mereka berdua. Pengunduran salah satu akan menghancurkan keseluruhan. Bila kedua belah pihak berkeinginan untuk mempertahankan keutuhan kelompok, dengan sendirinya kesewenang-wenangan dari salah satu pihak tidak akan terjadi. Tetapi juga sebaliknya, bila salah satu pihak melakukan kesewenangan akan mudah membubarkan kelompok ini. Hal ini disebabkan karena adanya pemicu konflik yang mempengaruhi keharmonisan keluarga tersebut diantaranya: a) Tidak adanya tanggung jawab suami dalam hal kebutuhan ekonomi. b) Suami ingin menikah lagi dengan orang lain (berpoligami). c) Adanya perselingkuhan baik yang dilakukan oleh pihak suami maupun istri. d) Biologis adalah keadaan suami dan istri yang tidak mempunyai kemampuann jasmani untuk membina perkawinan yang bahagia, seperti sakit, impoten, dan mandul. e) Berbeda prinsip dalam mengarungi bahtera rumah tangga seperti masalah anak, pekerjaan dan lain-lain. Dengan adanya sebab-sebab di atas, maka dalam keluarga tersebut akan terjadi konflik yang pada akhirnya akan menyebabkan adanya ketidaksepahaman, perselisihan, silang pendapat diantara keduanya dan juga akan berpengaruh kepada anggota keluarga lainnya sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan dan ketidakharmonisan didalam keluarga tersebut. Kondisi ini disebut dengan
Universitas Sumatera Utara
disharmonisasi keluarga karena jika dalam keluarga antara suami dengan istri bermasalah maka seluruh interaksi orang tua dan anak-anaknya juga akan berpengaruh sehingga kebahagiaan dalam keluarga akan mengalami hambatan. Dalam keluarga yang efektif, kepentingan utama terletak pada kesatuan. Apabila terdapat kesatuan maka keluarga tersebut akan terorganisasi. Tetapi apabila tidak adanya kesatuan maka keluarga telah mulai mengalami disorganisasi. Runtuhnya kesatuan dapat disebabkan oleh perselisihan dalam keluarga, yang membuat hubungan sulit untuk serasi (harmonis) walaupun kebutuhan yang jelas dalam kesatuan formal dari kelompok mungkin tidak pernah terjadi. Keteganganketegangan dapat membentuk hal yang lebih jelas lagi yaitu perpisahan atau perceraian. Anggota-anggota harus menyusun kembali untaian kekusutan kehidupan mereka dengan suasana baru dan suasana yang berlainan (Khairuddin, 1997:111). Menurut Dr. Al-Athar, akibat dari tindakan poligami, sebagaimana yang ditulis dalam bukunya Ta’adduduz Zawjat adalah : a. Menimbulkan kecemburuan antara istri. b. Kekhawatiran dari istri kalau suami tidak dapat berlaku bijaksana dan adil. c. Terjadi perselisihan antara anak-anak yang berlainan ibu. d. Kekurangan ekonomi. Kalau hal-hal negatif ini muncul, maka dalam sebuah keluarga tidak lain dari kekacauan dan kedisharmonisan. Akibat-akibat negatif tersebut muncul dari kekurangan suami memenuhi syarat. Terlalu banyak contoh yang terjadi yang menimbulkan ketidakharmonisan didalam suatu keluarga yang berpoligami, yang mana disebabkan oleh kecemburuan diantara para istri, baik yang disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
kekurangmampuan suami berbuat adil dalam memberikan giliran kepada para istri, maupun akibat tidak langsung, seperti perasaan kurang adil dalam memberikan dan memenuhi kebutuhan anak-anak. Demikian juga sangat banyak contoh kasus-kasus yang membuat anak menjadi berani kepada orang tua yang melakukan poligami. Ini dikarenakan ketidakpuasan terhadap prilaku atau sikap ayah yang kurang mampu memberi dan mencukupi kebutuhan anak (Khoiruddin, 1996:100). Problem psikologis yang lainnya dari praktek poligami yang dilakukan oleh seorang suami adalah dalam bentuk konflik internal dalam keluarga, baik diantara sesama istri, antara istri dengan anak tiri atau diantara anak-anak yang berlainan ibu. Ada rasa persaingan yang tidak sehat diantara istri. Hal itu terjadi karena suami biasanya lebih memperhatikan istri muda ketimbang istri lainnya. Bahkan tidak jarang setelah menikah suami menelantarkan segala kebutuhan hidup istri dan anakanaknya. Tentu ini akan menimbulkan problem sosial yang serius dalam masyarakat. Bentuk implikasi lain dari poligami adalah kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan perempuan justru lebih banyak terjadi didalam keluarga, dan pelakunya adalah suaminya sendiri. Kekerasan terhadap istri biasanya sulit dan jarang diungkapkan karena dianggap sebagai masalah pribadi. Selain dalam bentuk penyiksaan fisik, istri juga mengalami kekerasan seksual dalam bentuk suami tidak memperhatikan kebutuhan dan kepuasaan seksual istrinya. Dari hasil penelitian Khairuddin N.M menyimpulkan bahwa poligami merupakan faktor yang paling banyak memicu pelecehan hak-hak istri, termasuk hak-hak yang berkaitan dengan seksualitas. Hal ini terjadi karena dalam poligami suami biasanya hanya tertarik melakukan hubungan seksual dengan istri muda. Sementara istri lain diabaikan dan tidak dipenuhi
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan seksualnya. Pada umumnya sikap suami yang mulai melirik perempuan lain lebih sensitif dan emosional terhadap istrinya. Dia menjadi ringan tangan dan mudah menampar dan memukul istri. Bahkan tidak sedikit suami membawa pulang istri muda ke rumahnya dan tentu saja itu merupakan pelecehan yang luar biasa terhadap perempuan (Mulia, 1999:52-55).
2.3. Sistem Patriarkhi dalam Keluarga Menurut Herdi Hartman, patriarkhi merupakan relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat. Menurutnya patriarkhi adalah merupakan suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antara laki-laki yang mempunyai landasan materil serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Sedangkan menurut Nancy Chodorow, perbedaan fisik secara sistematis antara laki-laki dan perempuan mendukung laki-laki untuk menolak feminitas dan untuk semua emosional berjarak dari perempuan dan memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan dan pada intinya secara natural laki-laki itu superior dan perempuan inferior, yang superior mengatur yang inferior dan inferior harus rela untuk diatur. Keluarga
merupakan
konstruksi
awal
dari
struktur
patriarkhi
dan
menempatkan perempuan pada posisi yang subordinat, telah menjadi penghalang utama untuk memperoleh kesempatan posisi dan peran yang lebih baik. Struktur yang timpang ini selalu menempatkan laki-laki pada posisi dan peran yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini telah memberi basis kekuasaan pada laki-laki yang
Universitas Sumatera Utara
secara langsung menegaskan superioritas laki-laki. Dalam keluarga, perempuan ditetapkan sebagai pihak yang dipimpin sedangkan laki-laki adalah pemimpin. Akibatnya, perempuan tidak memiliki hak untuk memutuskan sesuatu dalam keluarga. Menurut Dair dalam Djanan (2003: 34) mengatakan bahwa dalam pandangan masyarakat Indonesia, suami adalah orang yang memiliki kekuasaan dalam keluarga. Artinya suamilah yang memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kekuasaan suami di dalam perkawinan terjadi karena unsur-unsur kultural dimana terdapat norma-norma dalam kebudayan yang memberi pengaruh menguntungkan suami. Kekuasaan suami yang tinggi terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem keuangan. Suami sebagai pencari nafkah dan mengurusi ekonomi sedangkan istri bertugas melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Sehingga otoritas ekonomi dalam keluarga ada di tangan suami. Dalam poligami walaupun ada keyakinan bahwa poligami merupakan kekerasan terhadap wanita tetapi sangat sulit bagi perempuan untuk menolak poligami. Hal ini terjadi karena kekuasaan patriarkhi terus menurus disokong oleh sistem simbol yang membutakan perempuan dan laki-laki akan suatu tatanan hubungan laki dan perempuan yang lebih demokratis. Jaques Lacan mengatakan bahwa setiap masyarakat diatur lewat suatu rangkain tanda (simbol) yang saling berhubungan, serta peranan-peranan dan ritual-ritual yang ada di masyarakat atau yang disebut “aturan simbolis”. Aturan simbolis ini terus menerus memproduksi aturan main dalam masyarakat, termasuk hubungan laki-laki dan perempuan. Aturan
Universitas Sumatera Utara
simbolis yang mengatur sistem masyarakat lahir dari proses bekerjanya tatanan kemasyarakatan (social order) sebagai norma yang mengatur tata cara warganya berhubungan satu sama lain dalam aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Dalam
masyarakat
Indonesia
terdapat
suatu
norma-norma
yang
sensitifitasnya rendah terhadap kepentingan perempuan dalam kasus poligami yakni norma agama (terutama Islam), hukum dan tradisi atau adat (Farida dalam Jurnal Perempuan, 2002:73-74). Dalam struktur sosial yang patriarkhi, perempuan cenderung selalu mengalah pada
suami.
Ini
merupakan
tindakan
yang
dilakukan
perempuan
untuk
mempertahankan keutuhan dan keharmonisan keluarga. Ideologi patriarkhi tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang menganut sistem patrilineal dimana laki-laki pada sistem ini menjadi tokoh penting dan dominan dalam keluarga termasuk dalam bidang kekuasaan dalam rumah tangga sehingga perempuan menjadi sangat tergantung pada laki-laki. Dalam masyarakat ada stereotipe yang melekat bahwa seorang istri hanya bertugas untuk melayani suami, patuh terhadap suami dan stereotipe terhadap perempuan ini terjadi pada level dan segmen masyarakat, diantaranya Peraturan Pemerintah,
Aturan
keagamaan,
kultur
dan
kebiasaan
masyarakat
yang
dikembangkan. Akar dari stereotipe yang melahirkan ketidakadilan ini berawal dari kebijakan yang dilahirkan dari budaya patriarkhi, dimana laki-laki mendapatkan kekuasaan penuh untuk dapat mengatur peran dan fungsi perempuan dalam keluarga (Mosse, 1996:64).
Universitas Sumatera Utara