BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Benzene: Pengertian, Jenis dan Karakteristik Benzene merupakan senyawa hidrokarbon aromatik yang pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan Inggris bernama Michael Faraday pada tahun 1825. Ia mengisolasikannya dari gas minyak dan diberi nama bikarburet dari hidrogen (Pudyoko, 2010). Setelah itu pada tahun 1833, Eilhard Mitscherlich seorang kimiawan dari Jerman menemukan benzene yang dihasilkan melalui distilasi asam benzoate (dari benzoin karet/ gum benzoin) dan kapur, kemudian Mitscherlich memberi nama benzin. Pada tahun 1845, Charles Mansfield dari Inggris mengisolasi benzene dari coal tar. Pada tahun 1849 Mansfield mulai memproduksi benzene dalam jumlah besar dengan menggunakan metode coal tar (Rendy, 2012). Dalam World Health Organization (WHO) (1996) dan ATSDR (2007) disebutkan bahwa benzene merupakan senyawa hidrokarbon aromatik rantai tertutup tidak jenuh yang mempunyai nama lain benzol, cyclohexatrene, phenyl hydrid, atau coal naphta, dan senyawa ini adalah jenis pelarut yang paling sering dijadikan sebagai objek penelitian (Betty , 2011; Zuliyawan, 2010). Dari berbagai senyawa aromatik, benzene merupakan senyawa paling stabil dengan ukuran yang paling kecil (Terrence et al, 2010; ATSDR, 2007). Dalam suhu ruangan benzene mudah menguap dengan bau aromatik yang khas (Terrence et al, 2010). Benzene bersifat sedikit larut dalam air tetapi sangat mudah larut dengan pelarut organik (ATSDR, 2007). Benzene tidak berwarna dan mengapung di
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
permukaan air (Terrence et al, 2010; ATSDR, 2007; Zuliyawan, 2010). Selain itu benzene sangat mudah terbakar, memiliki titik didih 80,10C, dan titik leleh 5,50C (ATSDR, 2007). Benzene sebagai senyawa kimia sangat banyak digunakan dalam berbagai industri di dunia. Di Amerika Serikat, dari 20 zat kimia terbanyak yang diproduksi benzene merupakan peringkat teratas. Hal ini disebabkan oleh karena secara luas benzene digunakan sebagai pelarut , selain itu benzene juga digunakan sebagai bahan intermediet dalam pembuatan senyawa kimia lain serta sebagai zat adiktif pada bensin (Pudyoko, 2010).
2.1.1 Sifat Fisika dan Kimia Benzene The Chemical Abstract Service (CAS) menyebutkan bahwa benzene memiliki nomor 71-43-42, dimana benzene sebagai senyawa hidrokarbon aromatik rantai tertutup tidak jenuh, mempunyai nama lain benzol, cyclohexatrene, phenylhydride, atau coal naphta (Ramon, 2007). Sama halnya seperti hidrokarbon alifatik dan alisiklik, benzene dan senyawa hidrokarbon aromatik lainnya bersifat non polar. Benzene menguap ke udara dengan sangat cepat dan juga dapat sedikit larut dalam air. Hal ini disebabkan sifat benzene yang membentuk azetrotop dengan air (yakni campuran yang tersuling pada susunan konstan yang terdiri dari 91% benzene dan 9% air). Senyawa yang larut dalam benzene mudah dikeringkan dengan menyuling azetrotop tersebut (Pudyoko 2011).
Table.1 Sifat Fisik dan Kimia Benzene (Pudyoko, 2001). Sifat Fisik dan No
Keterangan
Kimia
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
1.
Rumus kimia
C6H6
2.
Berat Molekul
78.11 gr/mol
3.
Titik nyala
-11,10C
4.
Titik leleh
5,50C
5.
Titik didih
80,10C
Berat jenis pada suhu 6.
0,8787 gl/L
0
15 C Kelarutan dalam air 7.
0,188% (w/w) atau 1,8 gr/L
pada suhu 250C
Kelarutan dalam
Alcohol, kloroform, eter, karbon sulfide, aseton,
pelarut
minyak, karbon tetrachloride, asam asetat glasial.
8.
Kesehatan = 2 9.
Klasifikasi NFPA
penyalaan = 3 reaktivitas = 0 Kesehatan = 2
Klasifikasi HMIS 10. (USA)
penyalaan = 3 reaktivitas = 0 Batas atas 7,8%
11. Batas penyalaan
batas bawah 1,2% - ACGIH (TWA:0,5 ; STEL:2,5 ppm)
12. Batas paparan - NIOSH (TWA:1,6 ; STEL:1 ppm) Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
- OSHA (TWA:1 ; STEL:5 ppm)
2.1.2 Sumber Benzene Benzene dapat ditemukan di lingkungan sekitar dalam konsentrasi rendah, biasanya benzene muncul dari minyak mentah dalam industri minyak, benzene juga dapat terbentuk akibat proses pembakaran bensin, batubara dan kayu (Ramon, 2007). Sumber paparan lain dapat berasal dari uap atau gas produk-produk yang mengandung benzene, seperti lem, cat, lilin pelapis peralatan rumah tangga dan sabun detergen (Rendy, 2012). Di Amerika serikat sumber paparan benzene setengahnya berasal dari asap rokok. Jumlah asupan rata-rata benzene yang terserap oleh perokok (± 32 batang per hari) adalah sekitar 1,8 mg perhari. Jumlah tersebut 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan asupan rata-rata benzene perhari dari orang yang tidak merokok (Rendy, 2012).
2.1.2.1 Sumber Alami Secara alami benzene juga dapat terbentuk dari peristiwa alam seperti letusan gunung merapi dan kebakaran hutan (Zuliyawan, 2010).
2.1.2.2 Sumber Antropogenik Sumber benzene terutama berasal dari penguapan bensin sebesar 1-5% benzene, selain itu dapat juga berasal dari pembuatan mesin otomobil, rokok, dan asap dari pembakaran. Kadar benzene di udara luar ruangan ada pada kisaran 0,02 - 34 ppb (1 ppb = 1000 kali lebih kecil dari 1 ppm). Orang yang tinggal di perkotaan kemungkinan terpapar benzene dengan kadar yang lebih tinggi karena umumnya di wilayah perkotaan lebih banyak terdapat tempat pembuangan limbah hasil proses industri, pabrik petrokimia,
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
asap kendaraan yang lebih banyak, dan juga stasiun pengisian bahan bakar umum (Ramon, 2007).
2.1.3 Manfaat Benzene Benzene pertama sekali diproduksi secara komersial dari coal tar pada tahun 1849, kemudian pada tahun 1941 benzene mulai diproduksi dari minyak. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan benzene yang sangat tinggi dalam dunia industri, terutama untuk kebutuhan industri plastik, sehingga benzene diproduksi secara besar-besaran dari minyak bumi (Rendy, 2012). Proses produksi benzene ada empat, yakni cataliyc reforming, toluene hydrodealkylation, toluene disproportionation, dan steam cracing (ATSDR, 2000; ATSDR, 2007). Penggunaan utama benzene adalah untuk produksi etilbenzene, cumene, dan sikloheksan. Pada pembuatan plastik, digunakan senyawa intermediet berupa etil benzene (55% benzene) untuk pembentukan stirena. Selain itu dalam industri obat fenolbenzene digunakan untuk membuat resin dan nylon sebagai serat sintetik. Benzene juga merupakan salah satu komponen dalam bensin tanpa timbal untuk meningkatkan nilai oktan dari bensin, oleh karena itu polusi udara yang disebabkan senyawa aromatik seperti benzene dalam bensin tanpa timbal semakin meningkat (ATSDR, 2005; ATSDR, 2007).
2.1.4 Jalur Paparan Benzene Jalur masuk paparan benzene ke dalam tubuh dapat melalui kontak langsung dengan kulit, saluran pencernaan dan saluran pernafasan. Walaupun demikian, jalur pernafasan (inhalasi) dan kontak dengan kulit merupakan jalur paparan yang menjadi perhatian utama (ATSDR, 2000; ATSDR, 2005; ATSDR, 2007; WHO, 2010). Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
2.1.4.1 Inhalasi Inhalasi adalah jalur paparan benzene yang paling dominan (Cliona et al, 2012; Jeffrey et al, 2013; Nadir, 1996). Jalur paparan inhalasi menyebabkan terjadinya asupan harian sebesar 40–50% dari seluruh jalur paparan (Jeffrey et al, 2013; Nadir, 1996). Konsentrasi ambang bau untuk benzene (1,5-5 ppm) sudah dapat menjadi peringatan yang cukup untuk bahaya paparan benzene secara akut (Nadir, 1996; WHO, 2010). Dibandingkan dengan udara berat jenis uap benzene lebih besar, sehingga apabila terhirup dapat menyebabkan sesak nafas di dalam ruangan, ventilasi yang buruk, atau di dataran rendah (Zuliyawan, 2010). Paparan benzene dengan konsentrasi tinggi melalui inhalasi dapat mengakibatkan depresi pada susunan saraf (Abdul et al, 2010), dan dapat menyebabkan kematian (Muzaffer, 1999; Robert et al, 1993; Takuro et al, 2011). Pada tingkat permulaan, benzene terutama berpengaruh terhadap susunan saraf pusat ditandai dengan adanya rasa mengantuk, pusing, sakit kepala, vertigo dan kehilangan kesadaran (Tanasorn et al, 2012). Benzene mudah diabsorbsi melalui saluran pernafasan, ketahanan paru-paru mengabsorbsi benzene lebih kurang 50% untuk beberapa jam paparan antara 2–100 cm3/m3 (Pudyoko, 2011). Sejak awal tahun 1900-an laporan kasus mengenai paparan akut benzene secara inhalasi telah ada, yaitu kematian tiba-tiba yang terjadi setelah beberapa jam paparan. Akan tetapi tidak diketahui dengan pasti berapa konsentrasi benzene yang ditemukan pada korban. Namun diperkirakan bahwa paparan benzene sebesar 20.000 ppm selama 510 menit akan mengakibatkan dampak yang fatal (Paul et al, 2012; ATSDR, 2007).
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
2.1.4.2 Ingesti Kontaminasi benzene dapat masuk melalui minuman dan makanan (WHO, 2010). Benzene dapat terabsorbsi dengan efektif melalui saluran pencernaan dan dapat mengakibatkan intoksikasi akut, walaupun data kuantitatif pada manusia masih kurang (Sungkyoon et al, 2006). Laporan kasus kematian pada paparan benzene secara ingesti juga telah ada sejak awal tahun 1900-an, namun konsentrasi benzene yang ditemukan pada korban tidak diketahui (Sungkyoon et al, 2006). Diperkirakan bahwa paparan benzene sebesar 10 ml adalah dosis yang dapat mematikan bagi manusia (Zuliyawan, 2010). Dalam Pudyoko (2011) juga disebutkan bahwa absorbsi benzene melalui saluran pencernaan dapat mengakibatkan efek akut yang membahayakan. Efek akut yang terjadi antara lain: a) Muntah-muntah yang disebabkan oleh iritasi pada saluran pencernaan. b) Kejang, tremor, iritasi, depresi, kehilangan keseimbangan dan koordinasi, pening, sakit kepala, pucat karena benzene bersifat mempengaruhi sistem saraf pusat. c) Gangguan pada sistem kardiovaskuler ditandai dengan denyut nadi yang melemah atau sebaliknya denyut nadi yang semakin kencang. d) Gangguan pada sistem hematopoietik.
2.1.4.3 Kulit dan Mata Apabila benzene memercik pada mata dapat mengakibatkan rasa sakit dan cedera pada kornea. Hunting et al (2005) menemukan 3 kasus kematian dari 338 pekerja lakilaki. Kematian ini disebebkan oleh leukemia, dimana sebelumnya pekerja tersebut biasanya menggunakan cairan BBM untuk membersihkan peralatan-peralatan dengan tangan terbuka dan bahkan juga untuk mencuci tangan mereka. Berdasarkan penelitian in
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
vitro yang dilakukan pada kulit manusia, diperkirakan bahwa absorbsi benzene melalui kulit, lebih kecil jika dibandingkan dengan total absorbsi (Ramon, 2007; Pudyoko, 2011).
2.1.5 Toksikokinetika Benzene: Absorbsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi Benzene dalam Tubuh Manusia. Benzene dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan dan juga dapat melalui kontak dengan kulit (Cliona et al, 2012; Jeffrey et al, 2013; WHO, 2010). Apabila seseorang menghirup benzene dalam konsentrasi yang tinggi, maka kira-kira setengah dari konsentrasi tersebut akan masuk ke dalam saluran pernafasan yang kemudian masuk ke dalam aliran darah (Pudyoko, 2011). Benzene larut dalam cairan tubuh dalam konsentrasi yang sangat rendah dan secara cepat dapat berakumulasi dalam jaringan lemak karena kelarutannya yang tinggi dalam lemak (Luoping et al, 2010), selain itu uap benzene juga sangat mudah diabsorbsi oleh darah (Ramon, 2007). Benzene akan terdistribusi pada tempat yang berbeda, tergantung kandungan lemak dari suatu organ (Mark et al, 2001; WHO, 2010). Organ hati merupakan tempat utama dalam metabolisme benzene (Robert et al, 1996; Sungkyoon, 2006; Sungkyoon et al, 2006; Stephan et al, 2010), dimana akan dihasilkan beberapa metabolit (Scoot et al, 2012; Suramya et al, 2001; Suramya et al, 2004). Pada paparan dengan konsentrasi rendah, benzene dapat dengan cepat dimetabolisme dan diekskresikan terutama sebagai metabolit kemih terkonjugasi (Qing et al, 2004; Terrence et al, 2010; Robert et al, 1996). Akan tetapi pada paparan dengan konsentrasi lebih tinggi, sebagian besar dari dosis benzene yang diabsorbsi diekskresikan sebagai senyawa induk yang dibuang kembali ke udara melalui ekspirasi (Sungkyoon et al, 2006; Jorunnet al, 2008; ATSDR, 2007).
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
2.1.5.1 Absorbsi Benzene yang masuk melalui inhalasi apabila tidak segera dikeluarkan melalui ekspirasi, maka akan diabsorbsi ke dalam darah (Marthyn, 1996; Marthyn et al, 2011; Nadir, 1996). Hal ini disebabkan karena benzene bersifat sangat mudah larut dalam cairan tubuh bahkan dalam konsentrasi yang kecil dan secara cepat dapat berakumulasi dalam jaringan lemak (Ramon, 2007). Benzene dapat dengan cepat diabsorbsi melalui saluran pernafasan dan pencernaan (Luoping et al, 2010; Mark et al, 2001). Absorbsi melalui kontak pada kulit cepat tapi tidak luas, hal ini disebabkan karena sifat benzene yang dapat menguap dengan cepat pula (Karen et al, 1994; Zuliyawan, 2010). Sekitar 50 ppm konsentrasi benzene di udara yang terhirup akan diabsorbsi sebanyak kurang lebih 50% nya setelah 4 jam paparan (Mariella et al, 2006; Marisa et al, 2010). Sebuah penelitian in vivo pada manusia menunjukkan bahwa terjadi absorbsi sekitar 0,05% dari dosis benzene yang diaplikasikan pada kulit, sedangkan pada penelitian in vitro kulit manusia, penyerapan benzene secara konsisten sebanyak 0,2% setelah paparan dengan dosis antara 0,01-520 ɥL/cm2 (Zhiwei et al, 2009). Belum ada penelitian absorbsi melalui oral pada manusia, tetapi pada hewan sedikitnya 90% dari benzene diserap setelah konsumsi pada dosis 340-500 mg/kg/hari (Jorunn et al, 2008; ATSDR, 2007). Setengah dari benzene yang terhirup dalam konsentrasi tinggi akan masuk ke dalam saluran pernafasan yang kemudian masuk ke dalam aliran darah (Jorrun et al, 2008; Karen et al, 1994). Hal yang sama akan terjadi jika terpapar benzene melalui makanan dan minuman, sebagian besar akan masuk ke dalam jaringan gastrointestinal, kemudian akan diserap oleh pembuluh darah yang terdapat pada jaringan gastrointestinal (Karen et al, 1994; Zuliyawan, 2010; Rendy, 2012). Setelah masuk ke dalam aliran darah, benzene akan beredar ke seluruh tubuh dan disimpan sementara di dalam jaringan lemak dan sumsum tulang (Karen et al, 1994), Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
kemudian akan dikonversi menjadi metabolit di dalam hati dan sumsum tulang (Martinez et al, 2006; Richard et al, 1996). Setelah kurang lebih 48 jam paparan, sebagian besar hasil metabolisme akan keluar melalui urin (Jorunn et al, 2008; Zuliyawan, 2010).
2.1.5.2 Distribusi Setelah melalui proses absorbsi ke dalam aliran darah, maka selanjutnya benzene akan didistribusikan ke seluruh tubuh (Luoping et al, 2010; Ana et al, 1997). Sebagian besar benzene akan terdistribusi ke dalam jaringan lemak, hal ini disebabkan karena benzene bersifat lipofilik (Mark et al, 2001; Ana et al, 1997). Dibandingkan dengan konsentrasi benzene yang terdapat di dalam aliran darah, jumlah benzene dalam jaringan lemak, sumsum tulang dan urin 20 kali lebih banyak (Marthyn, 2010; Jorunn et al, 2008). Kemudian dalam jaringan otot dan organ 1-3 kali lebih banyak dibandingkan dalam darah. Sel darah merah sendiri (eritrosit) mengandung benzene dua kali lebih banyak daripada plasma (Ramon, 2007; Zuliyawan, 2010; Pudyoko, 2011; Rendy, 2012; ATSDR, 2007).
2.1.5.3 Metabolisme Di dalam tubuh benzene pertama sekali dimetabolisme di hati (Jorunn et al, 2008; Robert et al, 1996; Sungkyoon, 2006; Sungkyoon et al, 2006; Stephan et al, 2010). Metabolic pathway dan interaksi biokimia di dalam tubuh melalui serangkaian reaksi biokimia (Takuro et al, 2011). Di dalam hati benzene pertama-tama dioksidasi oleh katalis enzyme cytochrome P-450-monooksigenase menjadi benzene oksida (Patrik et al, 2008; Giovanna et al, 2012). Benzene oksida kemudian mencapai keseimbangan dengan oxepin (Patrik et al, 2008; Giovanna et al, 2012; Pudyoko, 2011). Setelah reaksi ini, maka terbentuklah beberapa metabolit sekunder baik secara enzymatic dan non enzymatic Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
(Patrik et al, 2008; Ramon, 2007). Metabolit merupakan bahan yang dihasilkan secara langsung oleh reaksi biotransformasi (Scoot et al, 2012; Luoping et al, 2010; Robert et al, 1996). Biotransformasi benzene dalam tubuh berupa metabolit akhir yang utama adalah fenol yang dieksresikan melalui urin dalam bentuk konjugasi dengan asam sulfat dan glukuronat (Suramya et al, 2001; Eni et al, 2006; Prema et al, 1993; Pudyoko, 2010). Sejumlah kecil dimetabolisme menjadi kathekol, karbon dioksida dan asam mukonat. Metabolit lain yang juga dihasilkan adalah cathecol dan quinol, merkapturic acid ,transtrans muconic acid dan produk reaksi benzene dengan guananine, N-7-phenylguananine (Suramya et al, 2004; Pudyoko, 2010). Zuliyawan (2010) menyebutkan bahwa meskipun metabolisme benzene telah dipelajari secara ekstensif, proses terjadinya toksisitas benzene belum sepenuhnya dipahami, akan tetapi yang dapat dipahami adalah bahwa efek kanker dan non-kanker akibat paparan benzene adalah disebabkan oleh satu atau lebih metabolit reaktif dari benzene. Setelah benzene dimetabolisme di hati dan menghasilkan metabolit-metabolit sekunder, maka metabolit-metabolit tersebut kemudian dibawa ke sumsum tulang dimana toksisitas benzene terlihat melalui metabolit reaktif benzene tersebut (Jeffrey et al, 2013; David et al, 2011; Karen et al, 1994; Nadir, 1996; Robert et al, 1996). Enzim cytochrome P-450 2E1 (CYP2E1) mengkatalisis reaksi oksidasi benzene menjadi benzene oksida yang berkeseimbangan dengan benzeneoxepin, yang kemudian termetabolisme menjadi fenol (Patrik et al, 2008). Fenol kemudian dioksidasi dengan katalisis CYP2E1 menjadi katekol atau hidroquinon, yang kemudian dengan enzim myeloperoxidase (MPO) dioksidasi menjadi metabolit reaktif 1,2-benzokuinon dan 1,4benzokuinon dengan katalisis CYP2E1. Reaksi metabolisme benzene yang lain adalah reaksi dengan glutathione transferase (GST) yang menghasilkan S-Phenylmercapturic Acid. Kemudian reaksi dengan katalis besi (Fe) yang menghasilkan produk dengan cincin Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
terbuka, yaitu trans-trans muconic acid (ttMA) dengan senyawa intermediet trans,transmukonaldehida yang merupakan metabolit benzene yang toksis terhadap sistem hematopoietik (hematotoxic) (ATSDR, 2007; Rendy, 2012).
Gambar.1 Metabolisme Benzene (ATSDR, 2007; Robert et al, 1996).
2.1.5.4 Ekskresi Kemungkinan terjadinya paparan benzene yang paling besar adalah melalui saluran pernafasan (Cliona et al, 2012; Jeffrey et al, 2013; Nadir, 1996). Beberapa data menemukan bahwa apabila terjadi paparan benzene melalui saluran pernafasan, maka rute utama untuk mengurangi benzene yang tidak termetabolisme adalah melalui ekshalasi (Ramon, 2007; Pudyoko, 2011). Ekskresi benzene terutama di dalam urin sebagai
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
metabolit, khususnya sebagai asam sulfat dan glucuronid terkonjugasi fenol (Rendy, 2012). Diperkirakan setelah terpapar benzene di lingkungan kerja pada tingkat 100 cm3/m3, sejumlah phenol 13,2%, quinol 10,2%, ttMA 1,9%, cathecol 1,6%, dan 1,2,4-benzenatriol 0,5% dari jumlah yang diabsorbsi kemudian yang akan diekskresikan melalui ekshalasi adalah sebanyak 8-17% (Zuliyawan, 2010; Ramon, 2007). Sedangkan menurut Parkes & William (2002) menyebutkan bahwa ekskresi urin sebesar 33% terdiri dalam bentuk phenol terkonjugasi sebesar 23,5%, hydroquinone 4,8%, cathecol 2,2% dan hydroxyquinol 0,3%. Sejumlah kecil benzene juga akan terdeteksi di dalam urin, dimana waktu paruhnya (half life) tergantung pada disposisi benzene yang terdapat pada beberapa bagian tubuh. Dilaporkan bahwa waktu paruh yang lebih pendek kira-kira 10-15 menit, sedang 40-60 menit, dan lama 16-20 jam (Zuliyawan, 2010; Ramon, 2007). Bagian dari benzene yang diabsorpsi tanpa diubah adalah 12-50% lewat udara ekspirasi dan kurang dari 1% lewat urin (Scoot et al, 2012). Jumlah rata-rata fenol yang dieliminasi adalah sekitar 30% dari dosis yang diabsorpsi (Prema et al, 1993). Untuk benzene yang tidak mengalami reaksi metabolisme, proses berlangsung reversibel, dan benzene diekskresikan melalui paru-paru (Junchieh et al, 2013; Ramon, 2007). Belum ada penelitian terkait ekskresi paparan benzene secara oral (ingesti) pada manusia. Namun sebuah penelitian pada kelinci dengan benzeneradiolabel kurang lebih 340 mg/kg berat badan, menemukan bahwa 43% dari label tersebut hilang sebagai metabolit bukan benzene (Robert et al, 1996; Rendy, 2012).
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
2.1.6 Efek Toksik Benzene Benzene memiliki sifat toksik baik terhadap manusia maupun pada binatang (ATSDR, 2005; ATSDR, 2007; WHO, 2010). Efek toksik paparan benzene secara akut pada konsentrasi yang sangat besar melalui inhalasi atau dosis oral yang tinggi dapat mengakibatkan depresi sistem susunan saraf dan dapat mengakibatkan kematian (Udonwa et al, 2009; Tanasorn et al, 2012). Gejala keracunan pada sistem saraf pusat dapat segera terlihat setelah paparan inhalasi dengan konsentrasi tinggi yaitu 3.000 ppm selama 5 menit, dan 30 sampai 60 menit setelah paparan secara ingesti (Udonwa et al, 2009; Tanasorn et al, 2012). Efek ringan dapat berupa sakit kepala, pusing, kebingungan, mual, gangguan aktifitas, dan penglihatan kabur (Udonwa et al, 2009; Tanasorn et al, 2012). Efek yang lebih parah termasuk tremor, depresi pada saluran pernafasan, kebingungan, kehilangan kesadaran, koma dan kematian (Udonwa et al, 2009; Tanasorn et al, 2012). Ketidaksadaran mungkin dapat terjadi meskipun sebagian besar korban cepat sadar setelah mereka dijauhkan dari sumber paparan (Udonwa et al, 2009; Tanasorn et al, 2012; Zuliyawan, 2010). Paparan akut uap benzene dapat menimbulkan iritasi pada membran mukosa saluran pernapasan (Jeffrey et al, 2013; Nadir, 19960). Dengan paparan sebesar 20.000 ppm selama 5 menit, dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi cairan di paru-paru dan saluran pernapasan. Paru-paru yang terendam cairan yang mengandung benzene dapat menyebabkan terjadinya perdarahan parah karena radang paru-paru (Junchieh et al, 2013). Paparan benzene dengan konsentrasi sangat tinggi (lebih dari 1.000 ppm) dapat menurunkan ambang dari otot jantung ke efek epinefrin. Efek ini biasanya reversibel jika paparan dihentikan (Marco et al, 2010; Christopher, 2003; Zuliyawan, 2010). Efek toksik yang paling berarti pada paparan benzene adalah kerusakan sumsum tulang yang terjadi secara laten dan sering ireversible, hal ini mungkin disebabkan oleh Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
reaksi metabolit benzene epoksida (Christopher, 2003; David et al, 2011; Jeffrey et al, 2013). Hal ini mengakibatkan timbulnya kerusakan genetik dari DNA pada perkembangan tunas-tunas sel dalam tulang rawan (Michele et al, 2012; Prema et al, 1993), meningkatkan pertumbuhan myeloblast (precursor sel-sel darah putih) dan penurunan jumlah hitung sel darah merah dan platelet (Liping et al, 2012; Young et al, 1999; Yoko et al, 2008). Jumlah hitung platelet normal mendekati 250.000 dengan rentang dari 140.000 sampai 400.000, dimana jumlah hitung yang ditemukan diluar rentang tersebut merupakan bukti akibat toksisitas benzene (Ramon, 2007).
Gambar.2 Jalur kerusakan DNA oleh benzene pada sumsum tulang (Robert et al, 1996).
Paparan benzene dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan kanker pada organ pembuat darah (Jorunn et al, 2008; Liping et al, 2012; Luoping et al, 2010). Kondisi ini disebut leukemia (Murray, 2000; Cliona et al, 2012). Paparan terhadap benzene juga Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
berhubungan dengan berkembangnya leukemia jenis AML. International Agency for Cancer Research (IARC) dan Environmental Protection Agency (EPA) menyebutkan bahwa benzene merupakan karsinogenik pada manusia. Gambaran klinis pra-leukemia meliputi: anemia, leukopenia, pansitopenia, hiperplasia sumsum tulang, Pseudo-PelgerHuet anomaly dan splenomegaly (Ramon, 2007). Dampak negatif terhadap kesehatan manusia yang paling signifikan akibat terpapar benzene baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang adalah hematotoksik, immunotoksik, neurotoksik, dan karsonigenik (Sungkyoon, 2006; Sungkyoon et al, 2006; Ramon, 2007). Selain dari pada itu secara spesifik efek yang ditimbulkan terhadap sumsum tulang akibat paparan benzene adalah depresi sumsum tulang yang mengarah terjadinya anemia aplastik (Young et al, 1999; Shan et al, 2004; Robert et al, 2012), perubahan kromsosom (Luoping et al, 2010) dan karsinogenisitas (Muzaffer et al, 1999; Marthyn et al, 2011; Shan et al, 2004; Rendy, 2012). Sebuah hasil studi yang dilakukan terhadap 32 orang yang terpapar benzene secara inhalasi pada tingkat 480-2100 mg/m3 (150-650 ppm) selama 4-15 bulan menunjukkan adanya pansitopenia dengan hypoplasia, hiperplastik atau sumsum tulang normoblastik. Delapan dari 32 orang tersebut menunjukkan adanya trombositopenia yang mengakibatkan pendarahan dan infeksi (Rendy, 2012). Paparan kronis benzene di lingkungan kerja telah dikaitkan dengan gangguan hematologi yaitu: trombositopenia, anemia aplastik, pansitopenia, dan akut myelgenous leukemia (Young et al, 1999; Ana et al, 1997; Byung-iL et al, 2002; Zuliyawan, 2010). Paparan kronis mungkin lebih serius untuk anak-anak karena periode paparan potensial berlangsung untuk waktu yang lebih lama (Marco et al, 2010). Terjadinya abnormalitas pada sistem hematopoietik akibat paparan benzene telah menjadi perhatian utama. Pemeriksaan dan pengujian secara laboratorium yang dilakukan Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
terhadap pekerja yang beresiko terpapar benzene dapat mencakup: CBC (Complete Blood Count) dengan hitung jenis leukosit, hematokrit, haemoglobin (Hb), jumlah eritrosit, indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), dan jumlah trombosit (Tunsaringkarn et al, 2012; Eni et al, 2006; Jorunn et al, 2007; Ramon, 2007). Environmental Protection Agency (EPA) mengklasifikasikan benzene sebagai karsinogenik golongan A dan memperkirakan bahwa paparan terhadap benzene di udara sebesar 0,004 ppm dalam jangka waktu lama berisiko menimbulkan satu kasus leukemia per 10.000 penduduk (Ramon, 2007). Environmental Protection Agency (EPA) juga mengasumsikan bahwa tidak ada nilai ambang batas untuk efek karsinogenik dari benzene (ATSDR 2006; Zuliyawan, 2010; Ramon, 2007). Benzene telah terbukti menimbulkan efek negatif terhadap imunologi pada manusia setelah paparan inhalasi untuk jangka waktu menengah dan kronis. Efek tersebut termasuk kerusakan tanggapan humoral (antibodi) dan selular (leukosit) (Bernard, 2010). Benzene menyebabkan penurunan tingkat peredaran leukosit pada pekerja dengan paparan konsentrasi rendah (30 ppm), dan penurunan tingkat sirkulasi antibodi pada pekerja yang terpapar benzene dengan konsentrasi 3-7 ppm (Roel et al, 2005). Penelitian lain telah menunjukkan penurunan limfosit manusia dan unsur darah lainnya setelah terpapar, efek ini terlihat pada tingkat paparan 1 ppm atau kurang (Zuliyawan, 2010). Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa paparan benzene menyebabkan terjadinya penurunan jumlah aglutinin, IgG dan IgA dan meningkatnya jumlah IgM. Jumlah immunoglobulin yang menurun ini mengindikasikan bahwa benzene dan pelarut organik lainnya mempunyai efek terhadap sistem immunologi. Sementara itu pada studi lainnya ditemukan bahwa paparan benzene dengan kadar tinggi juga menyebabkan penurunan jumlah limfosit T dalam darah (Edgar et al, 2005; Edgar et al, 2010; ATSDR, 2007; Rendy, 2012). Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Environmental Protection Agency (EPA), International Agency for Research on Cancer (IARC), dan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat telah menyimpulkan bahwa benzene adalah karsinogen terhadap manusia (WHO, 2010; ATSDR, 2007). Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat menetapkan benzene adalah karsinogen berdasarkan bukti yang menunjukkan hubungan kausal antara paparan benzene dan kanker (WHO, 2010). International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan benzene di grup 1 (karsinogenik pada manusia), sedangkan Environmental Protection Agency (EPA) mengklasifikasikan benzene dalam kategori A (terbukti karsinogen pada manusia) berdasarkan bukti yang meyakinkan pada manusia didukung oleh bukti dari studi hewan. Benzene ditetapkan karsinogen pada manusia untuk semua rute paparan. Kejadian seperti Acuted Myeloid Leukemia (AML) telah didokumentasikan terjadi pada paparan kronis dengan konsentrasi rendah (10 ppm) (Sungkyoon et al, 2006; Zuliyawan, 2010).
2.1.7 Mekanisme Hematotoksisitas Benzene Sistem hematopoietik dan sel-sel dari sumsum tulang merupakan target organ yang paling sensitif untuk paparan benzene (Joanna et al, 2013; Jorunn et al, 2007; Jorunn et al, 2008; Ramon, 2007; Pudyoko, 2010). Paparan benzene yang berulang untuk waktu yang lama (kronis) dapat mempengaruhi beberapa parameter yang terkait dengan sistem hematopoietik (Yoko et al, 2010). Beberapa diantaranya adalah dapat menyebabkan depresi
sumsum
tulang
yang
dinyatakan
sebagai
anemia,
leukopenia
atau
trombositopenia, dapat juga menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh (Joanna et al, 2013; Jorunn et al, 2007; Jorunn et al, 2008; Ramon, 2007; Pudyoko, 2010). Pada penelitian terdahulu telah ditemukan penurunan leukosit (sel darah putih) dan trombosit yang signifikan pada pekerja yang terpapar dengan benzene di lingkungan kerja dengan Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
konsentrasi benzene dibawah 1 ppm. Hingga saat ini belum ada ketentuan yang menyebutkan mengenai nilai ambang batas yang aman terhadap konsentrasi benzene di udara yang tidak menyebabkan hematotoksik pada manusia (Jorunn et al, 2007). Mekanisme hematotoksisitas benzene di dalam tubuh mengikuti model Physiology Base Pharmacochinetic (PBPK) (Jeffrey et al, 2013, Ramon, 2007). Model PBPK untuk benzene yang paling popular adalah model seperti yang dikemukakan oleh Travis seperti gambar berikut ini :
Gambar.3 Model fisiologis yang digunakan untuk mensimulasikan penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi benzene dan metabolitnya (Jeffrey et al, 2013). Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Model Travis menunjukkan simulasi berupa absorbsi dan disposisi benzene di dalam tubuh manusia, dimana jaringan yang tercakup adalah darah, sum-sum tulang, lemak, hati, paru, otot skeletal dan viscera. Model ini mensimulasikan kapasitas eliminasi metabolik benzene sebagai fungsi konsentrasi benzene di dalam sumsum tulang dan hati. Model ini juga mensimulasikan laju eliminasi metabolik benzene, tetapi bukan laju pembentukan metabolit benzene itu sendiri (Jeffrey et al, 2013; Ramon, 2007). McDonald (2001) juga mengemukakan mekanisme hematotoksisitas benzene. McDonald mengatakan pada tahap awal benzene dimetabolisme dengan bantuan enzyme cytochrome P4502E1 (CYP2E1) yang terjadi di hati, mula-mula menjadi benzene oksida dan menghasilkan beberapa metabolit fenolik seperti fenol dan hidroquinon. Kemudian metabolit fenolik didetoksifikasi oleh reaksi konjugasi dengan sulfat, gluthation atau glukoronida. Reaksi konjugasi dengan sulfat ini (sulfatasi) bukan merupakan mekanisme detoksifikasi yang kuat, hal ini disebabkan karena sumsum tulang mengandung sulfatase dengan konsentrasi yang tinggi yang dapat memecah senyawa konjugat menjadi metabolit fenol yang bebas. Di dalam sumsum tulang metabolit fenolik mengalami reaksi peroksidase dengan bantuan myeloperoksidase (auto-oksidasi). Fenol, hidroquinon dan metabolit fenolik lainnya akan ditransportasikan ke seluruh tubuh melalui aliran darah, dan masuk ke jaringan sumsum tulang. Metabolisme primer diasumsikan terjadi dalam hati, dan metabolisme sekunder terjadi dalam sumsum tulang yang merupakan target utama toksisitas benzene. Proses yang melibatkan transport metabolit dari hati ke sumsum tulang tidak diketahui, walaupun ikatan kovalen antara metabolit dengan protein darah telah diketahui. Pada paparan kadar rendah, ekskresi urin dari konjugat turunan benzene menunjukkan jalur ekskresi mayor. Ekskresi melalui saluran empedu merupakan jalur ekskresi minor (Ramon, 2007).
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Gambar.4 Jalur karsinogenitas benzene (McDonald, 2001).
Penelitian yang dilakukan terhadap manusia maupun binatang menunjukkan bahwa benzene menimbulkan efek toksik yang kuat terhadap bermacam-macam bagian dalam sistem hematopoietik. Toksisitas dari benzene dapat mempengaruhi hampir semua jenis sel darah (umumnya eritrosit, leukosit, dan platelet). Hypoplasia yang terjadi pada sumsum tulang (sumsum hyperselular) menyebabkan sistem hematopoietik tidak efektif sehingga semua tipe sel darah dapat berkurang jumlahnya. Kondisi ini disebut sebagai pancytopenia. Paparan benzene dalam waktu yang cukup lama (kronis) juga dapat menyebabkan anemia aplasia yaitu kerusakan yang parah pada sumsum tulang termasuk jaringan sel aplasia, sehingga kondisi ini dapat menimbulkan terjadinya leukemia (Pudyoko, 2011). Paparan kronis terhadap benzene dengan konsentrasi 10 ppm atau lebih di udara akan menghasilkan terjadinya efek buruk terhadap sistem hematopoietik (Pudyoko, 2011). Pada penelitian terdahulu telah dilakukan observasi pada hewan yang mendukung Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
adanya temuan yang signifikan pada manusia, yaitu observasi pada hewan yang dipapari benzene dengan konsentrasi berkisar antara 10-300 ppm dan di atasnya. Hasilnya menunjukkan terjadinya penurunan jumlah dari tiga komponen besar darah yaitu sel darah putih, sel darah merah dan platelet dan juga bukti yang lain menunjukkan adanya efek buruk terhadap komposisi unit darah yaitu penurunan jaringan sel sumsum tulang, hyperplasia dan hypoplasia pada sumsum tulang, hyperplasia granulosistik, juga penurunan jumlah koloni bentuk sel erithroblastik (Pudyoko, 2011). Pudyoko (2011) menuliskan gejala efek hematologis yang dibagi atas tiga golongan yakni sebagai berikut : a.
Fase pertama (tingkatan awal) Pada fase ini terjadi gangguan pembekuan darah yang disebabkan oleh terjadinya perubahan fungsi, morfologi dan jumlah trombosit, juga dapat menurunkan pembentukan semua komponen darah. Kondisi ini dapat sembuh sempurna (reversibel) jika terdiagnosis lebih awal dan segera diobati.
b.
Fase kedua (tingkatan lebih lanjut) Pada fase ini terjadi hiperplastik yang kemudian diikuti dengan hipoplastik pada sumsum tulang, metabolisme besi terganggu, terjadi perdarahan sistemik. Untuk kondisi ini paparan lebih lanjut harus dihindari, dan diagnosis serta pengobatan harus cepat dan tepat. Dalam pemeriksaan jumlah eritrosit biasanya kurang dari 3,5 juta, leukosit kurang dari 4.500, dan jumlah trombosit menurun, besi meningkat. Bila tidak segera ditangani dapat berlanjut ke fase ketiga.
c.
Fase ketiga Pada fase ini terjadi aplasi sumsum tulang yang progresif. Hal ini diakibatkan oleh adanya penekanan regenerasi (depresi) sumsum tulang dengan adanya kerusakan sel darah tepi, yang akhirnya akan mengakibatkan kelambatan daya regenerasi. Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
2.1.8 Batas-batas paparan Benzene di Lingkungan Benzene merupakan karsinogenik kategori A (Suspected Human Carcinogen) sehingga diperlukan Indikator Pemajanan Biologi (IPB) dan Biological Exposures Indices (BEI) (Ramon, 2007). Ada beberapa standar yang telah ditetapkan untuk penetapan Nilai Ambang Batas (NAB) terhadap faktor-faktor fisika dan kimia di lingkungan kerja. Nilai Ambang Batas (NAB) untuk benzene di Indonesia diatur oleh Surat Edaran menteri Tenaga Kerja Nomor: SE 01/MENAKER/1997 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja, yaitu sebesar 10 ppm atau 32 mg/m3. Standar Nasional Indonesia (2005) juga mengacu pada Surat Edaran menteri Tenaga Kerja Nomor: SE 01/MENAKER/1997 yang memuat tentang Nilai Ambang Batas (NAB) Time Weighted Average (TWA) zat kimia di lingkungan kerja dengan jumlah jam kerja 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Lingkungan Kerja menyatakan bahwa benzene di klasifikasikan dalam kelompok A1 (zat kimia yang terbukti karsinogen untuk manusia) memiliki NAB sebesar 0,5 ppm dan memiliki Paparan Singkat yang Diperkenankan (PSD) sebesar 2,5 ppm (Rendy, 2012; Ramon, 2007). Occupational Safety and Health Administration (OSHA) menentukan batas ambang paparan benzene dalam Permissible exposure Limit (PEL) yang diperbolehkan adalah 1 ppm untuk paparan selama 8 jam kerja dan 5 ppm untuk paparan singkat yaitu kurang dari 15 menit. The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) menetapkan batas ambang paparan benzene untuk Time Weighted Average (TWA) adalah 0,1 ppm dan untuk paparan singkat atau Short Term Exposure Limit (STEL) adalah sebesar 1 ppm (Rendy, 2012;). American Conference of Governmental Industrial Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Hygienist (ACGIH), memiliki Threshold Limit Values (TLV) yang dikenal dengan TLVACGIH menetapkan batas papaan benzene untuk TWA adalah sebesar 0,5 ppm atau 1,6 mg/m3 dan untuk nilai ambang batas paparan singkat (STEL) sebesar 2,5 ppm atau 8 mg/ m3
(Rendy,
2012).
International
Agency
for
Research
on
Cancer
(IARC)
mengindikasikan tidak ada tingkat paparan yang aman untuk semua jalur paparan benzene (Zuliyawan, 2010).
Tabel.2 Batas-batas paparan benzene di udara lingkungan kerja. Batas paparan/ No. Sumber
Threshold Limit Values
Konsentrasi (ppm)
(TLV) 1. Time Weighted
1
American Conference of
Average (TWA) = 8
Governental Industrial
jam.
Hygienist (ACGIH)
2. Short Term Exposure
0,5
2,5
Limit (STEL) American Petroleum
0
2 Institute (API) 1. Minimal Risk Level
0,009 (MRL) Paparan akut Agency for Toxic 3
Substance and Disease
(<14 hari) 2. Minimal Risk Level 0,006
Registry (ATSDR)
(MRL) Paparan sedang (15-364 hari) 3. Minimal Risk Level
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
(MRL) Paparan kronik
0,003
(>365 hari) 1. Recommended Exposure Limit (REL) Time Weighted
0,1
Average (TWA = 8 National Institute for jam). 4
Occupational Safety and 2. Short Term Exposure
1,0
Health (NIOSH) Limit (STEL) 3. Immediately
500
Dangerous to Life or Health (IDLH) 1. Permissibel Exposure Limit (PEL) Time
5
Occupational Safety and
Weighted Average
Health Administration
(TWA = 8 jam).
(OSHA)
1
5
2. Short Term Exposure Limit (STEL) 3. Action Level (AL)
0,5
International Agency for 6
0
Research on Cancer (IARC) Standar Nasional
Time Weighted Average
Indonesia (SNI);
(TWA) = 8 jam. (40 jam/
7
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
mengacu pada Surat
minggu)
10
Edaran menteri Tenaga Kerja Nomor: SE 01/MENAKER/1997
2.2 Pemantauan Biologis pada Paparan Benzene 2.2.1 Biomonitoring dan Penanda Biologi Tujuan dari kegiatan pemantauan biologi adalah sama dengan pemantauan ambien, yaitu bertujuan untuk mengetahui dan mencegah terjadinya pencemaran bahan kimia yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik secara akut maupun kronis. Untuk mengevaluasi suatu paparan bahan kimia terhadap manusia, biomonitoring yang dilakukan tergantung dari sifat fisiokimia dari suatu bahan, higiene pada manusia itu sendiri, serta beberapa faktor biologi seperti umur dan jenis kelamin. Untuk mempelajari kandungan bahan kimia dalam tubuh manusia dan efek biologi yang mungkin muncul dari bahan kimia tersebut dipakai metode pemantauan biologis (biological monitoring). Pemakaian metode ini memungkinkan untuk mengetahui dan memperkirakan resiko yang terjadi akibat paparan bahan kimia secara sistemik (Pudyoko, 2011). Pendekatan pemantauan biologi dan pemantauan ambien terhadap resiko kesehatan dapat dinilai dengan membandingkan hasil perhitungan parameter dengan nilai maksimum yang diperkenankan, yaitu Threshold Limit Value (TLV) atau Biological Limit Value (BLV) (Ramon, 2007). Pemantauan ambien dilakukan untuk memperkirakan paparan eksternal dari suatu bahan kimia, sedangkan pemantaun biologi secara langsung dapat menilai jumlah bahan
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
kimia yang terserap (dosis internal). Pemantauan biologi dipakai guna mengidentifikasi suatu paparan bahan kimia yang bekerja secara sistemik pada organisme. Dalam hal paparan benzene, benzene yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan, kulit dan saluran pencernaan yang bersumber dari tempat kerja dan lingkungan lainnya dapat dilakukan dengan pemantauan biologi. Hasil pemantauan biologi paparan benzene ditentukan oleh faktor individu dan dipengaruhi oleh cara masuknya serta absorbsi bahan tersebut di dalam tubuh. Faktor individu yang mempengaruhi antara lain: lama paparan, masa kerja, aktifitas fisik, status gizi dan kesehatan (Pudyoko, 2011).
2.2.2 Tes Biologi (Indikator) dari Paparan Benzene Tabel.3 Indikator Monitoring Biologis Paparan Benzene (Pudyoko, 2011; Suramya et al, 2004). No. Indikator
Keterangan
1
Benzene dalam darah
Spesifik, sensitif, eksperimen terbatas
trans,trans-muconic acid (ttMA)
Spesifik, sensitif (terdeteksi untuk
dalam urin
paparan kronis)
Phenylmrcapturic acid dalam
Spesifik, sensitif (terdeteksi hanya
urin
untuk paparan akut)
2
3
Spesifik, sensitif, metode eksperimen 4
Benzene dalam urin
5
Benzene dalam udara
terbatas Spesifik, sensitif, kepraktisan terbatas
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
terekshalasi
6
Chatecol dalam urin
Eksperimen terbatas
7
Quinol dalam urin
Eksperimen terbatas
8
Benzentriol dalam urin
Ekperimen terbatas
9
Fenol dalam urin
Tidak spesifik, tidak sensitif
10
Protein adducts
Tidak spesifik
Penyimpangan kromosom dalam 11
Eksperimen terbatas
limfosit
2.2.3 Biomonitoring Kegiatan monitoring dapat dipakai untuk mengevaluasi risiko kesehatan yang berhubungan dengan bahan polutan, mencakup tiga bagian yaitu : a.
Monitoring ambien untuk menilai risiko kesehatan Digunakan untuk memonitor paparan eksternal dari bahan kimia serta mengetahui berapa kadar bahan kimia di air, udara, tanah, atau makanan. Risiko kesehatan dapat diperkirakan berdasarkan batas paparan lingkungan misalnya Threshold Limit Value (TLV) dan Time Weighted Average (TWA) dari suatu paparan.
b.
Monitoring biologi dari paparan Merupakan pemantauan dari suatu bahan yang mengadakan penetrasi ke dalam tubuh dengan efek sistemik yang membahayakan monitoring biologi dari suatu paparan dapat dipakai untuk mengevaluasi risiko kesehatan. Monitoring biologi tersebut dilaksanakan dengan memonitor dosis internal dari bahan kimia, sebagai contoh adalah dosis efektif yang diserap oleh organisme. Resiko terhadap kesehatan Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
diprediksi dengan membandingkan nilai observasi dari parameter biologi dengan Biological Limit Value (BLV) atau Biological Exposure Index (BEI). c.
Monitoring biologi dari efek toksik Tujuan monitoring biologi dari efek toksik adalah memprediksi dosis internal untuk menilai hubungan dengan risiko kesehatan, mengevaluasi status kesehatan dari individu yang terpapar, dan mengindentifikasi efek negatif suatu paparan, misalnya kelainan sistem hematopoietik.
2.2.4 Penanda Biologi Penanda biologi suatu paparan merupakan tanda biologi yang timbul sebagai akibat terpapar oleh suatu agen lingkungan. Penanda biologi dapat diartikan sebagai suatu perubahan sel, biokimia, atau molekul yang dapat diukur dalam media biologi seperti jaringan sel, maupun cairan tubuh. Dalam menentukan perkiraan paparan, pengukuran penanda biologi suatu paparan dalam tubuh lebih menguntungkan daripada pengukuran yang dilakukan di luar tubuh. Dalam Pudyoko (2011) dituliskan bahwa yang menjadi dasar pegangan untuk mengetahui penanda biologi adalah : a.
Apakah individu telah terpapar oleh polutan yang dimaksud?
b.
Berapa lama telah terpapar polutan yang dimaksud?
c.
Melakukan pengukuran polutan yang dimaksud di udara bebas atau lingkungan kerja untuk mengetahui tingkat paparan di lingkungan sekitar individu.
2.2.5 Target dan Media Biologi Biotransfromasi bahan toksik atau xenobiotik meliputi masuknya bahan tersebut, distribusi, efek dan ekskresi dari dalam tubuh. Di bawah ini merupakan gambaran proses
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
biotransformasi yang menyangkut jaringan target dan media biologi yang dimonitor. Hal ini juga berlaku untuk biotransformasi benzene.
Gambar.5 Biotransformasi Xenobiotik (Pudyoko, 2011).
2.2.6 Biomarker Paparan Benzene Biomarker yang paling penting untuk paparan benzene adalah benzene dalam darah dan benzene dalam urin. Biomarker penting lainnya adalah metabolit dari benzene itu sendiri yang dapat ditemukan di dalam urin. WHO (1996) dan Taylor et al (1996) menyebutkan bahwa, biomarker yang dapat dijadikan indikator pajanan benzene antara lain adalah benzene dalam darah, benzene dalam urin, benzene dalam udara pernapasan, phenol dalam urin, cathecol dalam urin, hydroquinon dalam urin, 1,2,4 trihydroxi benzene dalam urin, phenylmercapturic acid dalam urin dan trans, trans-Muconic Acid dalam urin (Zuliyawan, 2010). Dari semua metabolit benzene yang dapat ditemukan di dalam urin, trans, transmuconic acid (ttMA) dan S-phenylmercapturic acid (SPMA) merupakan metabolit yang paling sensitif dan spesifik untuk paparan benzene karena dapat terdeteksi di dalam urin Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
untuk paparan benzene dengan konsentrasi di bawah 1 ppm (Ming et al, 2000), akan tetapi SPMA merupakan metabolit yang spesifik hanya untuk paparan benzene secara akut (Suramya et al, 2004; Jorun, 2007; ATSDR, 2007; Rendy, 2012). trans, trans-Muconic Acid (ttMA) merupakan metabolit minor dari benzene yang dapat digunakan sebagai indikator biologi untuk paparan benzene (Zuliyawan, 2010). Meskipun ttMA telah diidentifikasi sebagai metabolit urin diawal abad ini, aplikasinya sebagai biomarker untuk paparan benzene pada lingkungan kerja baru dikenal akhir-akhir ini saja (Zuliyawan, 2010). Kadar ttMA dalam urin dapat dipertimbangkan sebagai biomarker yang dapat dipercaya pada paparan benzene di lingkungan kerja (Gisela et al, 1996; Zuliyawan, 2010). trans, trans-Muconic Acid (ttMA) dapat digunakan sebagai indikator yang lebih sensitif dan spesifik untuk biomonitoring biologi, terutama untuk paparan benzene dengan konsentrasi rendah (Zuliyawan, 2010). American Conference of Governental Industrial Hygienist (ACGIH) (2003) menyebutkan ttMA dalam urin dapat mendeteksi paparan benzene dengan konsentrasi sampai 0,1 ppm. Suwansaksri dan Wiwanitkit (2000) merekomendasikan penggunaan ttMA dalam urin sebagai biomarker untuk memonitor paparan benzene terhadap pekerja dengan risiko tinggi paparan. Beberapa penelitian mengindikasikan hubungan kuantitas antara paparan inhalasi benzene dengan konsentrasi ttMA dalam urin (WHO, 2010). Junchieh et al (2013) mengestimasikan bahwa paru-paru akan menyerap konsentrasi senyawa benzene sebanyak 50% dari konsentrasi paparan, dan sebanyak 1,9% dari yang terserap tersebut akan diekskresikan ke dalam urin sebagai ttMA. Sedangkan Ghittori et al (2010) mendapatkan
hasil
dari
penelitian
yang
dilakukan,
sebuah
persamaan
yang
menghubungkan konsentrasi ttMA dalam urin dengan konsentrasi benzena dalam udara pernapasan. Adapun bentuk persamaan tersebut adalah :log (ttMA, mg/g creatinine) = Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
0,429 log (A-benzen ppm) – 0,304, dengan besar hubungan (korelasi) yang kuat (r = 0,58).
a. Benzene dalam darah Konsentrasi benzene dalam darah diperkirakan memiliki konsentrasi yang sama dengan konsentrasi benzene pada pernafasan ekshalasi. Benzene memiliki waktu paruh yang singkat di dalam darah, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan sampel juga sangat singkat, sehingga penting untuk diperhatikan (Jorun, 2007). b. Benzene dalam urin Benzene dalam urin serta metabolitnya direkomendasikan sebagai pilihan biomarker yang baik untuk paparan benzene dengan konsentrasi dibawah 1 ppm karena lebih sensitif dan spesifik. Berbeda dengan benzene dalam darah, waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan sampel dari urine dapat lebih lama dibandingkan dengan pengambilan sampel dari darah (Jorun, 2007). c. Merokok sebagai faktor penggangu Asap rokok juga dikenal sebagai salah satu sumber paparan benzene di udara. Merokok merupakan faktor penggangu yang potensial dalam monitoring biologis terhadap paparan benzene (Jorun, 2007; Viroj et al, 2005). Orang yang merokok satu pak per hari, diperkirakan mendapat paparan benzene sekitar 1 mg (3-4%) benzene (Viroj et al, 2005; ATSDR, 2000).
2.2.7 Pengukuran trans, trans-Muconic Acid (ttMA) dalam urin. trans,trans-Muconic Acid (ttMA) merupakan hasil oksidasi dari senyawa muconaldehyde (MUC). Muconaldehyde merupakan senyawa dialdehid dengan enam rantai karbon yang diperkirakan merupakan penyebab daya racun benzene terhadap Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
sumsum tulang. Metabolisme benzene menjadi MUC merupakan langkah pertama terbentuknya senyawa ttMA dalam urin. Pada dosis rendah, konsentrasi ttMA ditemukan berhubungan secara linear antara konsentrasi paparan benzene dengan waktu (Yuni, 2010). Eskresi ttMA dalam urin berada pada puncaknya setelah paparan, dengan waktu paruh beberapa jam sehingga sampel urin harus segera dikumpulkan setelah paparan terjadi (Assieh et al, 1999; Ming et al, 2000; Viroj et al, 2005; WHO, 1996). trans, trans-muconic acid (ttMA) dalam urin sebagai biomarker dapat ditentukan dengan metode Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) dan Liquid Chromatography-Mass Spectrometry (LC-MS) (Sungkyoon et al, 2006; Zuliyawan, 2010).
2.3 Darah dan bagian-bagiannya Darah merupakan media untuk transportasi masal jarak jauh berbagai bahan antara sel dan lingkungan eksternal atau antara sel-sel itu sendiri. Transportasi (aliran darah) ini sangat penting untuk menjaga homeostasis tubuh (Pudyoko, 2011). Darah membentuk sekitar 8% dari berat tubuh total dan memiliki volume rata-rata 5 liter pada wanita dan 5,5 liter pada pria (Ramon, 2007). Darah terdiri atas tiga jenis unsur sel yaitu eritrosit, leukosit dan trombosit yang terdapat dalam cairan plasma.
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Tabel.4 Konstituen Darah dan Fungsinya (Ramon, 2007; Pudyoko, 2011; Lauralee Sherwood, 2001). Fungsi
Konstituen Plasma a. Air
Medium transportasi, mengangkat panas.
b. Elektrolit
Eksitabilitas membran, distribusi osmotik cairan intrasel dan ekstrasel menyangga perubahan pH.
c. Nutrien, Zat sisa, Gas,
Diangkut dalam darah, gas CO2 darah berperan penting dalam keseimbangan asam basa.
d. Hormon
Menimbulkan efek osmotik yang penting dalam distribusi cairan ekstrasel antara kompartemen vaskuler dan intersium, menyangga perubahan pH. Mengangkut banyak zat dan memberi kontribusi terbesar dalam tekanan osmotik.
e. Albumin Mengangkut banyak zat; faktor pembekuan; dan prekursor inaktif. Antobodi. Globulin Prekursor inaktif untuk jaringan fibrin a. alfa dan Beta pada pembekuan darah. Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Mengangkut O2 dan CO2 (terutama O2). b. Gamma c. Fibrinogen
Fagosit yang menyerang bakteri dan debris.
d. Eritrosit
Menyerang cacing, parasit, penting dalam
e. Leukosit
reaksi alergi.
-
Neutrofil
Mengeluarkan histamin, yang penting dalam reaksi alergi, dan hepatrin yang
-
Eosinofil
membantu membersihkan lemak dari darah dan mungkin berfungsi sebagai
-
Basofil
antikoagulan. Dalam transit menjadi makrofag jaringan.
Pembentukan antibodi. Respon imun seluler. Hemostasis.
-
Monosit
f. Limfosit -
Limfosit B
-
Limfosit T
g. Trombosit
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
2.3.1 Plasma Plasma merupakan cairan yang 90% bagiannya terdiri dari air. Plasma berfungsi sebagai media untuk mengangkut berbagai bahan dalam darah. Plasma mampu menahan panas dengan kapasitas tinggi karena terdiri dari sejumlah besar air. Plasma juga mampu menyerap dan mendistribusikan banyak panas yang dihasilkan oleh metabolisme di dalam jaringan, sementara suhu darah itu sendiri hanya mengalami sedikit saja perubahan. Selanjutnya energi panas yang tidak diperlukan tubuh akan dikeluarkan ke lingkungan melalui aliran darah di bawah permukaan kulit (Pudyoko, 2011). Di dalam plasma sejumlah besar zat organik dan anorganik dapat larut. Zat organik yang paling banyak berdasarkan beratnya adalah protein plasma, yang membentuk 6-8% dari berat total plasma. Zat anorganik membentuk sekitar 1% dari berat plasma. Protein plasma adalah sekelompok konstituen plasma yang merupakan konstituen plasma berukuran besar, dimana protein-protein plasma biasanya tidak keluar dari pori-pori di dinding kapiler (Pudyoko, 2011). Protein plasma dibagi atas tiga bagian, yakni albumin, globulin dan fibrinogen yang dihasilkan berdasarkan berbagai sifat fisik dan kimianya. Tiap-tiap protein plasma melakukan tugas-tugas khusus yaitu: a.
Albumin, merupakan protein plasma yang paling banyak mengikat zat untuk transportasi melalui plasma dan sangat berperan dalam menentukan tekanan osmotik koloid karena jumlahnya.
b.
Globulin, terdapat tiga sub kelas globulin : alfa, beta dan gama. 1.
Globulin alfa dan beta secara spesifik mengikat dan mengangkut sejumlah zat dalam plasma (hormon tiroid, kelosterol dan zat besi).
2.
Globulin alfa dan beta juga berperan dalam faktor pembekuan darah. Molekulmolekul protein prekursor inaktif, akan diaktifkan sesuai keperluan oleh Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
masukan regulatorik tertentu, ini termasuk dalam golongan globulin alfa (misalnya angiotensinogen diaktifkan menjadi angiotensin, yang berperan penting dalam pengaturan keseimbangan garam di dalam tubuh). 3.
Globulin gama adalah imunoglobulin (antibodi) yang befungsi penting untuk mekanisme pertahanan tubuh.
c.
Fibrinogen, merupakan faktor kunci dalam proses pembekuan darah.
Gambar.6 Plasma darah (Pudyoko, 2011).
2.3.2 Sumsum tulang Pada orang dewasa secara umum
proses hematopoiesis (pembentukan sel-sel
darah: eritrosit, leukosit dan trombosit) terjadi pada sumsum tulang. Sedangkan pada janin, sel-sel darah juga dibentuk di dalam hati dan limfa atau disebut dengan hematopoiesis ekstramedular. Pada orang dewasa, hematopoiesis ekstramedular yang demikian dapat juga terjadi apabila menderita penyakit kerusakan tulang atau fibrosis sumsum tulang (Ramon, 2007).
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Pada usia anak-anak, sel darah secara aktif dihasilkan di dalam rongga sumsum tulang dari seluruh tulang. Kemudian menjelang usia 20 tahun, sumsum tulang pada rongga sumsum tulang panjang menjadi tidak aktif, terkecuali pada tulang humerus atas dan femur. Sumsum tulang seluler yang aktif disebut sebagai sumsum merah, sumsum tulang inaktif yang diinfiltrasi dengan lemak disebut sumsum kuning (Ramon, 2007).
Gambar.7 Bone Marrow (Jorrun, 2007)
Sumsum tulang merupakan salah satu organ terbesar di dalam
tubuh, dengan
ukuran dan berat mendekati ukuran dan berat organ hati. Sumsum tulang merupakan salah satu organ yang paling aktif, dimana dalam keadaan normal 75% dari sel di dalam sumsum tulang termasuk dalam golongan mieloid penghasil sel darah putih dan hanya sekitar 25% yang merupakan sel darah merah yang sedang mengalami pematangan, walaupun pada kenyataannya jumlah sel darah merah yang terdapat di dalam sirkulasi Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
jumlahnya 500 kali lebih banyak dibandingkan dengan sel darah putih. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam sumsum tulang masa hidup rata-rata sel darah putih adalah singkat, sedangkan usia sel darah merah lebih panjang (Pudyoko, 2001). Sumsum tulang mengandung sel induk multipoten umum yang akan berdiferensiasi menjadi sel induk khusus, yang selanjutnya berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel yang ditemukan di dalam sumsum tulang dan darah. Jumlah sel induk multipoten umum tidak banyak, namun mampu mengambil alih fungsi sumsum tulang apabila disuntikan pada seseorang penderita yang seluruh sumsum tulangnya mengalami kerusakan. Nampaknya sel‐sel tersebut berkembang menjadi kelompok‐kelompok sel induk khusus yang membentuk megakariosit, limfosit, eritrosit, eosinofil dan basofil, sedangkan netrofil dan monosit dibentuk oleh prekursor umum. Sel induk pada sumsum tulang juga merupakan sumber dari osteoklas, sel mast, sel dendritik dan sel langerhans.
2.3.3 Eritrosit (sel darah merah) Pada manusia terdapat rata-rata sekitar 5 miliar eritrosit dalam setiap mililiter darah. Secara klinis biasanya dilaporkan jumlah hitung sel darah merah sebanyak 5 juta per milimeter kubik (mm3). Setiap manusia memiliki total 25 sampai 30 triliun sel darah merah yang mengalir di dalam pembuluh darah setiap saat. Usia dari eritrosit dalam pembuluh darah adalah pendek, eritrosit hanya mampu bertahan rata-rata selama 120 hari, oleh karena itu harus diganti. Dalam keadaan normal pada sumsum tulang terjadi proses eritropoiesis yaitu proses untuk menghasilkan sel darah merah, dengan kecepatan yang luar biasa yaitu 2 sampai 3 juta sel per detik untuk mengimbangi sel-sel tua yang sudah mati (Ramon, 2007). Selama perkembangan masa janin, eritrosit awalnya diproduksi oleh yolk sac (kantong kuning telur) dan kemudian oleh hati dan limfa, hal ini terus berlanjut sampai Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih fungsi pembentukan eritrosit. Seiring semakin dewasanya seseorang sumsum kuning yang tidak mampu melakukan eritropoiesis secara bertahap digantikan oleh sumsum merah yang hanya tersisa di sternum (tulang dada), vertebra (tulang punggung), iga, dasar tengkorak dan ujung-ujung atas tulang ekstremitas. Sumsum merah tidak hanya menghasilkan eritrosit tetapi juga menghasilkan leukosit dan trombosit. Di sumsum merah terdapat pluripotensial stem cell yang belum berdiferensiasi yang secara terus menerus membelah diri dan berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel darah (Ramon, 2007). Eritrosit merupakan sel gepeng berbentuk piringan yang dibagian tengah di kedua sisinya mencekung, hampir menyerupai bentuk donat tetapi tidak berlubang. Eritrosit merupakan lempeng bikonkaf dengan diameter 8 µm, tepi luar tebalnya 2 µm dan ukuran tebal bagian tengahnya 1µm. Dalam fungsinya untuk mengangkut O2 di dalam darah, bentuk eritrosit yang khas ini memiliki fungsi secara efisien. Pertama, bentuknya yang bikonkaf akan memberikan luas permukaaan yang lebih besar untuk terjadinya proses difusi O2 untuk menembus membran. Kedua, bentuk sel eritrosit yang tipis memungkinkan O2 untuk berdifusi lebih cepat antara bagian dalam sel dengan luar sel (Sherwood, 2001). Eritrosit juga bersifat lentur (fleksibel) terhadap membran, sehingga ciri ini akan mempermudah fungsi transportasi dari eritrosit, yakni memungkinkan eritrosit berjalan melalui kapiler yang sempit dan berkelok-kelok untuk menyampaikan O2 ke jaringan tanpa mengalami ruptur. Eritrosit yang diameternya 8 µm, mampu mengalami deformasi pada saat akan melewati kapiler yang hanya memiliki diameter sebesar 3 µm.
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Gambar.8 Eritrosit (Jorrun, 2007)
Untuk menjalankan fungsinya dalam mengangkut O2, pada eritrosit terdapat hemoglobin (Hb). Molekul hemoglobin (Hb) terdiri atas dua bagian : a.
Gugus nitrogenosa non protein mengandung besi yang dikenal sebagai gugus hem (heme) dimana masing-masing terikat dengan satu polipeptida. Setiap atom besi secara reversibel dapat berikatan dengan satu molekul O2, sehingga setiap satu molekul hemoglobin dapat mengangkut empat O2. O2 bersifat kurang larut dalam plasma, 98,5% O2 yang diangkut dalam darah terikat pada hemoglobin. Hemoglobin sendiri merupakan suatu pigmen (secara alami berwarna), hal ini disebabkan karena kandungan besi yang terapat pada hemoglobin, sehingga hemoglobin tampak berwarna kemerahan apabila berikatan dengan O2 dan berwarna kebiruan apabila mengalami deoksigenasi. Hal inilah yang menyebabkan darah arteri yang teroksigenasi dengan sempurna tampak merah, dan darah vena yang telah kehilangan sebagian O2 di jaringan terlihat berwarna kebiruan.
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
b.
Bagian globin, yaitu suatu protein yang terbentuk dari empat rantai polipeptida yang sangat kompleks (berlipat-lipat). Selain berikatan dengan O2 hemoglobin juga dapat berikatan dengan zat-zat lain,
seperti: a.
Hemoglobin berikatan dengan CO2, hemoglobin juga berfungsi untuk mengangkut CO2 dari jaringan kembali ke paru untuk selanjutnya dibuang melalui ekshalasi.
b.
Hemoglobin berfungsi untuk menyangga asam (pH). Ion hidrogen asam (H+) dari asam karbonat yang terionisasi, dihasilkan dari CO2 pada tingkat jaringan.
c.
Karbon monoksida (CO). Dalam keadaan normal gas ini tidak terdapat dalam darah, tetapi bila terhirup gas CO maka akan menempati tempat pengikatan O2 pada hemoglobin sehingga dapat menyebabkan terjadinya keracunan karbon monoksida.
Gambar.9 Bagian-bagian darah (Jorrun, 2007) Eritrosit dipenuhi oleh ratusan juta molekul hemoglobin. Sel eritrosit yang paling awal dapat dikenal dalam sumsum tulang adalah pronormoblas yang ada pada pewarnaan Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
biasa Romanowsky yang merupakan sel besar dengan sitoplasma biru tua, nukleus di tengah dengan nukleoli dan kromatin yang sedikit mengelompok (Ramon, 2007). Eritrosit seolah-olah tidak memiliki inti sel (nucleus), organel atau ribosome. Struktur-struktur ini dikeluarkan ketika masa perkembangan sel untuk menyediakan ruang untuk hemoglobin yang lebih banyak (Pudyoko, 2011). Hal ini disebabkan karena setelah terjadi proses pembelahan sel, pronormoblas ini menjadi sederet normoblas yang makin bertambah kecil. Pronormoblas juga berisi haemoglobin lebih banyak dalam sitoplasma. Sitoplasma berwarna biru pucat karena kehilangan alat sintesis RNA dan proteinnya, sementara kromatin inti menjadi lebih padat. Nukleus akhirnya dikeluarkan dari normoblas tua di dalam sumsum tulang dan terjadilah stadium retikulosit yang masih mengandung sebagian ribosomal RNA dan masih sanggup mensintesis haemoglobin (Ramon, 2007). Sehingga sel darah merah pada dasarnya adalah suatu kantong terbungkus membran plasma yang dipenuhi dengan hemogolin (Sherwood, 2001). Di dalam eritrosit terdapat enzim yang tidak dapat diperbaharui. Enzim-enzim tersebut adalah enzim glikolitik dan karbonat anhidrase (Pudyoko, 2011). Enzim glikolitik penting untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan mekanisme transportasi ion-ion di dalam sel. Walaupun eritrosit merupakan kendaraan untuk mengangkut O2 ke semua jaringan tubuh, namun eritrosit itu sendiri tidak dapat menggunakan O2 yang diangkut untuk menghasilkan energi. Hal ini disebabkan karena eritrosit tidak memiliki mitokondria yang berfungsi sebagai tempat keberadaan enzimenzim fosforilasi oksidatif, dan hanya mengandalkan glikolisis untuk menghasilkan ATP (Pudyoko, 2011). Karbonat anhidrase juga merupakan enzim yang penting di dalam eritrosit. Enzim tersebut penting untuk pengangkutan CO2, enzim ini mengkatalis sebuh reaksi kunci yang Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
pada akhirnya akan menyebabkan perubahan CO2 hasil metabolisme menjadi ion bikarbonat (HCO3-), yaitu bentuk utama transportasi CO2 di dalam darah. Dengan demikian eritrosit berperan serta dalam pengangkutan CO2 melalui dua cara yaitu pengangkutan dengan hemoglobin dan melalui konversi HCO3- oleh karbonat anhidrase (Pudyoko, 2011).
Tabel.5 Jumlah Sel Darah Manusia Normal (Ramon, 2007; Lauralee Sherwood 2001; Pudyoko, 2011).
Sel Darah
Jumlah Normal
Eritrosit total
5.000.000.000 sel/ ml darah
Hitung sel darah merah
5.000.000/ mm3
Leukosit total
7.000.000 sel/ ml darah
Hitung sel darah putih
7.000/mm3
Granulosit polimorfunukleus Neutrofil 60-70% Eosinofil 1-4%
Agranulosit mononukleus Limfosit 25-33% Monosit 2-6%
Basofil 0,25-0,5% trombosit total
250.000.000/ ml darah
Hitung sel trombosit
250.000/mm3
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
2.3.4 Leukosit (sel darah putih) Leukosit merupakan sel darah yang diproduksi oleh jaringan hematopoietik yang berfungsi membantu tubuh untuk melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Imunitas mengacu pada kemampuan tubuh untuk menahan atau mengeliminasi sel abnormal atau benda asing yang berpotensi menimbulkan gangguan bagi tubuh. Fungsi dari leukosit dan turunannya adalah sebagai berikut : a.
Menahan invasi pathogen, yaitu mikroorganisme penyebab penyakit; misalnya bakteri dan virus melalui proses fagositosis.
b.
Mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel kanker yang muncul di dalam tubuh.
c.
Membersihkan sampah tubuh dengan cara memfagositosis debris dari sel yang mati; misalnya dalam proses penyembuhan luka dan perbaikan jaringan. Berbeda dengan eritrosit pada leukosit tidak terdapat hemoglobin, sehingga
leukosit tidak berwarna (putih) kecuali apabila diwarnai secara khusus agar dapat terlihat di bawah mikroskop. Eritrosit umumnya memiliki struktur yang uniform, berfungsi secara identik dan jumlahnya konstan. Hal ini berbeda dengan leukosit yang bervariasi dalam struktur, serta fungsi dan jumlahnya (Pudyoko, 2011). Leukosit bentuknya lebih besar dibanding denga eritrosit tetapi jumlah lebih sedikit. Dalam setiap milimeter kubik terdapat 6000 sampai 10000 (rata-rata 8000) leukosit (Ramon, 2007). Dalam Sherwood (2001) disebutkan ada lima jenis leukosit yang bersirkulasi, yakni: neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, dan limfosit, dimana masing-masing memiliki struktur dan fungsi yang khas dengan ukuran yang sedikit lebih besar dari pada eritrosit. Neutrofil, eosinofil dan basofil dikategorikan sebagai granulosit (sel yang mengandung granula) polimorfonukleus (banyak bentuk nukleus). Nukleus dari sel-sel ini terbentuk menjadi beberapa lobus dengan bentuk yang bervariasi serta memiliki sitoplasma yang mengandung banyak granula yang terbungkus dalam membran. Granulosit merupakan sel Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
yang sitoplasmanya mengandung granula dengan komposisi kimia dan enzim yang bervariasi serta memiliki ukuran berkisar dari 10 sampai 14 µm (Ramon, 2007). Eosinofil merupakan granulosit dengan inti yang terbagi menjadi 2 lobus dan sitoplasmanya bergranula kasar, berwarna merah tua oleh zat warna yang bereaksi asam. Dalam keadaan normal jumlah eosinofil adalah 2-3% dari seluruh jumlah sel darah putih yang terdapat di dalam darah. Basofil merupakan jenis leukosit darah yang jumlahnya paling sedikit. Neutrofil disebut juga sebagai leukosit polimorfonuklear (PMN), sel ini berdiameter antara 12-15 µm, memiliki inti yang khas padat yang terdiri atas sitoplasma diantara 2 dan 5 lobus dengan struktur tidak teratur dan banyak mengandung granula (Ramon, 2007). Granulosit sendiri terbagi menjadi tiga bagian berdasarkan sifat afinitasnya terhdap zat warna; eosinofil memiliki afinitas terhadap zat warna merah eosin, basofil cenderung menyerap zat warna biru (basa) dan neutrofil bersifat netral, tidak ada kecenderungan berikatan dengan zat warna. Monosit dan limfosit dikenal sebagai agranulosit (sel yang tidak memiliki granula) monounkleus (satu nukleus). Monosit dan limfosit memiliki sebuah nukleus besar yang tidak bersegmen (Pudyoko, 2011). Monosit merupakan 5-8% jumlah leukosit di dalam darah, monosit berukuran besar yaitu 16-20 µm, kromatin inti jelas, inti memanjang berlekuk atau terlipat dan sitoplasmanya banyak, monosit juga berwarna keabu-abuan dan tembus pandang. Limfosit merupakan leukosit mononuklear dalam darah perifer. Limfosit memiliki inti bulat atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran sitoplasma sempit berwarna biru dan mengandung sedikit granula (Ramon, 2007).
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Gambar.10 Leukosit (Jorrun, 2007)
Fungsi leukosit yaitu (1) fungsi defensif: berfungsi untuk mempertahankan tubuh terhadap benda-benda asing termasuk kuman-kuman penyebab penyakit infeksi. Leukosit yang berperan dalam fungsi ini adalah Monosit, yang memakan benda-benda asing berukuran besar (makrofag). Neutrofil yang memakan benda-benda asing berukuran kecil (mikrofag) dan limfosit yang membentuk antibodi dan sel plasma. (2) fungsi reparatif: berfungsi untuk memperbaiki atau mencegah terjadinya kerusakan terutama kerusakan vaskuler. Jenis leukosit yang berperan dalam fungsi ini adalah basofil sebagai heparin, dimana heparin dapat mencegah terbentuknya trombus-trombus pada pembuluh darah (Ramon, 2007). 1.
Neutrofil, merupakan unit dari leukosit yang khusus sebagai fagositik. Sel-sel ini merupakan sel pertahanan pertama apabila terjadi invasi bakteri dan sangat penting dalam respon peradangan. Peningkatan jumlah neutrofil di dalam darah biasanya terjadi pada invasi bakteri akut. Hitung jenis sel dalam penentuan proporsi setiap jenis leukosit yang ada sangat bermanfaat untuk membuat perkiraan yang cukup akurat untuk mengetahui terjadinya infeksi atau tidak. Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
2.
Eosinofil, peningkatan eosinofil dalam sirkulasi darah (eosinofilia) biasanya dikaitkan dengan keadaan-keadaan alergi dan adanya parasit internal. Untuk membunuh parasit dalam tubuh; misalnya cacing, eosinofil tidak dapat memakan langsung cacing parasit yang berukuran lebih besar, melainkan dengan cara melekatnya sel-sel tersebut ke tubuh parasit dan mengeluarkan bahan-bahan yang dapat mematikan parasit tersebut.
3.
Basofil, merupakan jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya dan kurang diketahui sifat-sifatnya. Secara struktural dan fungsional sel-sel ini mirip dengan sel mast, dimana sel-sel tersebut tidak pernah beredar dalam darah melainkan lebih banyak tersebar dalam jaringan ikat di seluruh tubuh. Sel basofil dan sel mast sendiri dapat membentuk dan menyimpan histamin serta heparin, yaitu merupakan zat-zat kimia kuat yang dapat dikelurkan apabila mendapat stimulus yang sesuai. Biasanya pengeluaran histamin penting dalam reaksi alergi, sedangkan heparin untuk mempercepat pembersihan partikel-partikel lemah dari darah.
4.
Monosit, sama seperti neutrofil, monosit juga diarahkan sebagai fagositik. Sel monosit keluar dari sumsum tulang dan beredar dalam aliran darah selama satu atau dua hari sebelum akhirnya menetap di berbagai jaringan di seluruh tubuh. Ketika sudah berada ditempat yang baru, sel monosit akan terus berkembang
dan
membesar, dan menjadi fagosit jaringan besar yang dikenal sebagai makrofag. 5.
Limfosit, terdapat dua jenis limfosit yaitu: limfosit B dan limfosit T. Limfosit B menghasilkan antibodi yang beredar di dalam darah. Antibodi yang dihasilkan oleh limfosit B akan berikatan dengan antigen (benda asing) dan memberi tanda untuk destruksi (melalui fagosit atau cara lain), misalnya bakteri akan menginduksi pembentukan antibodi. Limfosit T tidak menghasilkan antibodi, melainkan sel-sel ini secara langsung akan menghancurkan sel sasaran secara spesifik yang dikenal Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
sebagai respon imun seluler. Limfosit T akan menyerang sel-sel tubuh yang telah dimasuki oleh virus dan sel kanker. Rentang usia dari sel limfosit berkisar antara 100 sampai 300 hari. Selama periode ini sebagian besar dari sel ini beredar diantara jaringan limfoid, limfe dan darah, dengan menghabiskan waktu hanya beberapa jam saja di dalam darah.
2.3.5 Trombosit dan Hemostasis Selain eritrosit dan leukosit, trombosit adalah jenis unsur ketiga yang terdapat dalam komponen darah. Trombosit merupakan fragmen sel yang berasal dari megakariosit. Trombosit bukan merupakan sel utuh melainkan merupakan fragmen atau potongan kecil dari sel yang berdiameter sekitar 2-4 µm yang terlepas dari tepi sebuah sel besar yang berdiameter sampai 60 µm di sumsum tulang yang dikenal sebagai megakariosit. Megakariosit sendiri berasal dari sel bakal yang belum berdiferensiasi, yaitu sel yang sama yang akan menghasilkan turunan eritrosit dan leukosit. Trombosit berasal dari sel induk pluripotensial yang tidak terikat, bila dibutuhkan dan dengan adanya faktor perangsang trombosit yaitu megakariocyte colony stimulating factor yang akan berdiferensiasi menjadi sel induk yang terikat untuk membentuk megakarioblas. Melalui serangkaian proses, sel ini akan matang dan berubah menjadi megakariosit raksasa, yang selanjutnya akan mengalami endomitosis, dimana terjadi pembelahan inti di dalam sel, tetapi sel itu sendiri tidak mengalami pembelahan (Ramon, 2007). Pada dasarnya trombosit adalah suatu vesikel yang mengandung sebagian dari sitoplasma megakariosit yang terbungkus oleh membran plasma (Sherwood, 2001). Trombosit adalah bagian terkecil dari unsur selular sumsum tulang yang sangat berperan penting dalam hemostasis dan pembekuan. Apabila pembuluh darah luka maka sel endotel akan rusak sehingga jaringan ikat di bawah endotel akan terbuka, hal ini akan Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
mencetuskan adhesi trombosit yaitu merupakan suatu proses dimana trombosit melekat pada permukaan asing terutama serat kolagen (Ramon, 2007).
Gambar.11 Trombosit (Jorrun, 2007)
Dalam setiap mililiter darah pada keadaan normal terdapat sekitar 250.000 trombosit (kisarannya 150.000 – 350.000/mm3) trombosit tetap berfungsi selama sekitar sepuluh hari untuk kemudian disingkirkan dari sirkulasi oleh makrofag yang terdapat di limfa dan hati, dan diganti oleh trombosit baru yang dikeluarkan dari sumsum tulang (Pudyoko, 2011). Trombosit memiliki ukuran antara 1- 4 µm. Trombosit tidak keluar dari pembuluh darah seperti yang dilakukan oleh leukosit, tetapi sekitar sepertiga dari trombosit total selalu tersimpan di dalam rongga‐rongga berisi darah di limpa. Simpanan trombosit ini dapat dikeluarkan dari limfa ke dalam sirkulasi sesuai dengan kebutuhan (misalnya pada saat terjadi perdarahan) oleh kontraksi limfa yang diinduksi oleh stimulasi simpatis. Karena merupakan fragmen sel trombosit yang tidak memiliki nukleus, sel ini diperlengkapi oleh organel dan sistem enzim sitosol untuk menghasilkan energi dan mensintesis produk sekretorik yang disimpan di granula‐granula yang tersebar di seluruh Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
sitosolnya. Trombosit juga mengandung aktin dan miosin dalam konsentrasi tinggi yang menyebabkan trombosit dapat berkontraksi. Kemampuan trombosit untuk sekretorik dan kontraksi ini penting dalam hemostasis (Pudyoko, 2001). Hemostasis adalah penghentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang rusak, bertujuan untuk mencegah hilangnya darah dari pembuluh darah yang rusak. Mekanisme hemostatik dalam keadaan normal menjaga agar kehilangan darah melalui trauma tersebut tetap minimum (Pudyoko, 2007). Trombosit memiliki sifat trombositasi yaitu trombosit dapat saling melekat dengan trombosit lainnya. Selama proses agregasi, terjadi perubahan bentuk cakram menjadi bulat disertai pembentukan pseudopodi, akibat perubahan bentuk ini maka granula trombosit akan terkumpul di tengah dan akhirnya akan melepaskan isinya. Masa agregasi trombosit akan melekat pada endotel, sehingga akan membentuk sumbat trombosit yang dapat menutup luka pada pembuluh darah. Tahap terakhir untuk menghentikan perdarahan adalah pembentukan sumbat trombosit yang stabil melalui pembentukan fibrin (Ramon, 2007).
2.3.6 Sel Mast Sel mast merupakan sel yang memiliki banyak granula. Sel mast biasanya ditemukan pada daerah yang banyak terdapat jaringan ikat, serta biasanya terdapat dalam jumlah yang banyak di bawah permukaan epitel. Granula dari sel mast mengandung histamin, heparin dan berbagai protease. pada sel mast terdapat reseptor IgE pada membran selnya, dimana sama seperti basofil, sel-sel tersebut akan mengalami degranulasi apabila berikatan dengan antigen yang terselubung IgE pada permukaannya. Sel mast akan memberikan respon alergi, disamping itu sel mast juga berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi parasit (Pudyoko, 2011).
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Gambar.12 Sel Mast (Jorrun, 2007)
2.3.7 Faktor Perangsang Koloni Granulosit dan Makrofag Pada orang dengan keadaan normal (sehat), pembentukan eritrosit dan leukosit diatur secara akurat dan produksi granulosit akan meningkat dengan cepat apabila terjadi infeksi. Faktor pertumbuhan glikoprotein akan mengatur proliferasi dan pematangan sel dari sumsum tulang yang akan masuk ke dalam darah. Faktor yang menstimulasi produksi sel induk mencakup granulosit macrofag-colony stimulating factor (GM-CSF), dan granulosit-colony stimulating factor (G-CSF). Selain dari pada itu interleukin-1 (IL-1), interleukin (IL-5) dan interleukin-3 (IL-3) bekerja secara berurutan untuk mengubah sel induk multipoten umum menjadi sel induk khusus. IL-3 juga dikenal sebagai faktor perangsang koloni multipel (multi-CSF). setiap CSF mempunya kerja khusus, akan tetapi semua CSF dan interleukin juga memiliki kerja lain yang saling tumpang tindih. Masingmasing dari zat ini akan mengaktifkan dan mempertahankan sel darah yang matang (Pudyoko, 2011).
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Pada ginjal di hasilkan eritropoetin yang merupakan hormon yang beredar dalam sirkulasi. Eritropoetin adalah suatu hormon yang secara langsung mempengaruhi aktifitas sumsum tulang untuk memproduksi sel-sel darah, eritropoetin juga sangat peka terhadap perubahan kadar oksigen dalam jaringan. Eritropoetin akan mempercepat produksi eritrosit terutama saat dimana sel induk membelah diri dan berdiferensiasi untuk membentuk eritrosit. Selain mempercepat pembelahan sel, eritropoetin juga akan memudahkan inkorporasi zat besi, mempercepat pematangan sel untuk masuk ke sirkulasi darah (Ganong, 1999).
Tabel.6 Faktor-faktor yang Mengatur Sistem Hematopoietik (Ganong 1999; Pudyoko, 2011). Jenis Sel yang dibentuk dalam Faktor Sel Asal
Peningkatan Jumlah
Pengatur Sel Ginjal, Sel Eritropoetin
Eritrosit (sel darah merah)
Kupffer Monosit, fibroblast, G-CSF
Neutrofil
sel endotel Monosit, fibroblast, M-CSF
Monosit
sel endotel Sel T, Monosit,
Neutrofil, monosit, eosinofil,
fibroblast, sel endotel
megakariosit, eritrosit (sel darah merah)
Makrofag, sel
Neutrofil, monosit, eosinofil,
endotel, fibroblast
megakariosit, eritrosit (sel darah merah)
GM-CSF
IL-1
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Neutrofil, monosit, eosinofil, IL-3
Sel T
megakariosit, basofil, eritrosit (sel darah merah)
IL-4
Sel T
Basofil
IL-5
Sel T
Eosinofil Neutrofil, monosit, eosinofil,
Makrofag, sel IL-6 endotel, fibroblast
megakariosit, basofil, eritrosit (sel darah merah)
2.3.8 Proses Pembentukan darah (Hematopoiesis) Sel induk pluripotensial merupakan asal dari semua sel darah yang kemudian akan berdiferensiasi menjadi : (1) sel induk limfoid yang membentuk sel limfosit dan sel plasma, (2) sel induk multi potensial mieloid (nonlimfoid) yang selanjutnya akan berkembang menjadi berbagai jenis sel hematopoietik yang lain (Ramon, 2007).
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Gambar.13 Pembentukan Sel Darah (Hematopoiesis) (Ramon, 2007).
2.4 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep Kerangka teori merupakan rangkuman dari pendahuluan dan tinjauan pustaka. Kerangka konsep merupakan hubungan atau kaitan antara satu variabel dengan variabel lainnya dari masalah yang ingin diteliti.
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
Benzene dlm Produk
Depo BBM (SPBU)
-Pertamax Plus
Absorbsi oral dr
Sistem
makanan/minuman
Pencernaan
Absorbsi
Tenaga Kerja
-Pertamax -Premium
Kulit Sistem Respirasi
dermal Absorbsi utama : inhalasi
Pengukuran Konsentrasi -Minyak Tanah
Distribusi melalui
Benzene di Lingk.Kerja -Minyak Paparan Hitam Benzene di udara Standar
Pembuluh Darah
REL NIOSH (2005) = 0.1 ppm Metabolisme Primer
Efek Jangka
Di Hati
Panjang
PEL OSHA (2003) = 1 ppm Faktor-faktor yg Mempengaruhi :
SNI (2003) = 10 ppm Pengukuran kadar
Organ target : trans, trans-muconic acid (ttMA)
Sumsum Jangka panjang
-Lama Paparan - Asap Rokok Tidak
Normal
Normal Normal AML ANLL
Metabolisme sekunder Di sumsum tulang
Metabolit Utama:
trans, transmuconic acid (ttMA) dalam Urine
-Masa Kerja - APD
Skema.1 Kerangka Teori
Inspirasi
Ekspirasi
BBM Produk Lain
tulang
Jangka pendek
Pembentukan Kanker Darah
Sel Darah Faktor yg Mempengaruhi : - Eritropoietin, Thrombopoietin, hormonal - Umur, Status gizi, Kekebalan, Jenis kelamin
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.
-Gangguan Sistem Hematopoietic -CBC, Leukosit, Eritrosit, Kanker Darah Trombosit, Hb, MCH, MCV, MCHC
Complete Blood Count:
Paparan Benzene (trans ,trans-Muconic Acid) (ttMA)
Hitung Leukosit Hitung Eritrosit Hitung Trombosit Hitung Hematokrit Haemoglobin (Hb) Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
Faktor yang mempengaruhi: Masa kerja Merokok
Keterangan:
Skema.2 Kerangka Konsep
: Variabel yang diteliti Variabel independen: Paparan Benzene (ttMA) Variabel dependen: Complete Blood Count
Leo Pardon Sipayung, Korelasi Paparan Benzene... Program Studi Magister Ilmu Biomedik FK – USU 2015.