II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Profil Liquefied Natural Gas (LNG) Liquefied Natural Gas (LNG) atau disebut juga gas alam cair merupakan komponen hidrokarbon ringan dari gas alam, dengan kandungan terbanyak berupa metana (CH4), yaitu sekitar 85-95 persen. LNG dapat juga mengandung etana (C2H6), propana (C3H8), dan butana (C4H10) dan sedikit hidrokarbon berat. Nitrogen (N2) terkadang juga ditemukan di dalamnya. Ketika gas alam didinginkan dibawah temperatur -162°C (-260°F) pada tekanan atmosfir, maka gas tersebut akan terkondensasi menjadi gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG). Sebaliknya, titik didih LNG adalah -162°C (-259°F), yang disebut juga temperatur kriogenik. Pada temperatur ini, LNG menguap dari bentuk cairan menjadi gas.
Metana 85-95%
Etana, Propana, Butana, dan Nitrogen 5-15%
Sumber : U.S. Department of Energy, 2005
Gambar 2.1. Komponen Liquefied Natural Gas (LNG) Dalam bentuk cair, volume LNG akan menyusut menjadi hanya 1/600 dari volume dalam bentuk gas, sehingga LNG dapat diperdagangkan secara lebih efektif dan ekonomis karena tidak memakan tempat dan lebih mudah diangkut
untuk jarak jauh. Sebuah kapal tanker, misalnya, dapat mengangkut LNG dalam jumlah besar (cukup untuk menyuplai kebutuhan energi sehari untuk lebih dari 10 juta rumah). Untuk mempertahankan bentuk cairnya, LNG harus disimpan dalam container yang memiliki fungsi seperti botol termos untuk menjaga temperatur tetap dingin, di bawah temperatur kriogenik. LNG bersifat tidak berbau, tidak berwarna, nonkorosif, tidak mudah terbakar, dan tidak beracun. Gas alam yang digunakan oleh konsumen akhir pada awalnya berupa cairan yang kemudian dikonversi menjadi bentuk gas kembali (regasifikasi). Gas alam tersebut berbau karena adanya zat bau yang ditambahkan sebelum didistribusikan kepada konsumen. Bau ini berguna untuk mempermudah deteksi kebocoran gas. Walaupun gas alam mudah terbakar, namun LNG tidak demikian karena tidak adanya kandungan oksigen dalam cairan tersebut. LNG baru akan terbakar jika memenuhi tiga hal, yaitu terjadi proses regasifikasi, adanya oksigen, dan sumber api/panas. Kebutuhan dunia terhadap LNG cukup besar mengingat LNG dapat dipergunakan sebagaimana fungsi gas alam konvensional, seperti memanaskan, memasak, dan penghasil tenaga. Gas alam seperti LNG dianggap sebagai bahan bakar fosil yang paling ramah lingkungan karena menghasilkan emisi CO2 per unit energi terendah, terutama jika dibandingkan dengan alternatif lainnya seperti bahan bakar minyak dan batu bara. Agar LNG dapat diperoleh dan digunakan di berbagai belahan dunia, perusahaan harus berinvestasi pada sejumlah operasi berbeda yang saling terkait kuat dan bergantung satu sama lain. Tahapan utama rantai nilai LNG adalah sebagai berikut :
1.
Eksplorasi untuk menemukan gas alam di dalam kerak bumi dan produksi gas. Pada umumnya, namun tidak pada semua kejadian, gas alam akan ditemukan selama pencarian minyak bumi.
2.
Pencairan (liquefaction) untuk mengkonversi gas alam ke dalam bentuk cair sehingga dapat diangkut di dalam kapal.
3.
Pengiriman LNG melalui kapal tanker khusus ke tempat tujuan.
4.
Penyimpanan
LNG
dalam
tank
khusus,
dan
regasifikasi
untuk
mengkonversi LNG dari bentuk cair ke bentuk gas kembali, sehingga siap untuk dipindahkan ke tujuan akhir melalui sistem jaringan pipa gas alam.
Sumber : U.S. Department of Energy, 2005 Gambar 2.2. Tahapan Utama Rantai Nilai Liquefied Natural Gas (LNG)
2.1.2. Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional diartikan sebagai pertukaran barang dan jasa yang terjadi melampui batas-batas antar negara (Lipsey, 1997) yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau
pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain (Oktaviani dan Novianti, 2009). Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, alasan utama terjadinya perdagangan internasional yaitu karena setiap negara berbeda satu sama lain dan mereka melakukan perdagangan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale). Perdagangan internasional bisa terjadi karena adanya kelebihan penawaran komoditi tertentu di suat negara, sedangkan di negara lain terjadi kelebihan permintaan terhadap komoditi tersebut. Gambar 2.3 memperlihatkan proses terciptanya harga komoditi relatif ekuilibrium dengan adanya perdagangan, ditinjau dari analisis keseimbangan parsial. Pada panel A dapat dilihat bahwa negara A mengadakan produksi dan konsumsi dititik A dengan harga relatif sebesar PA, sedangkan negara B mengadakan produksi dan konsumsi di titik B berdasarkan harga relatif PB. Setelah hubungan perdagangan berlangsung di antara kedua negara tersebut, harga relatif berkisar di antara PA dan PB. Jika harga yang berlaku di atas PA, maka negara A akan meningkatkan produksinya. Hal ini nantinya akan menyebabkan kelebihan produksi dalam negara A. Kelebihan produksi itu nantinya akan diekspor ke negara B. Selain itu, jika harga yang berlaku di bawah PB, maka negara B akan mengalami peningkatan permintaan yang melebihi produksi domestik. Hal ini menyebabkan negara B harus mengimpor komoditi dari negara A.
Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.3. Kurva Perdagangan Internasional
Teori mengenai perdagangan di antara dua negara dikemukakan oleh Heckser-Ohlin. Berdasarkan teori tersebut, suatu negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang relatif intensif menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara tersebut. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang tertentu apabila negara tersebut menggunakan faktor produksi yang relatif langka dan mahal dalam produksi (Salvatore, 1997). Menurut Salvatore (1997), perdagangan internasional dapat memberikan manfaat bagi suatu negara, antara lain : 1.
Suatu negara mampu mendapatkan komoditas yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri sehingga negara tersebut mampu untuk memenuhi kebutuhan terhadap barang atau jasa yang tidak dapat diproduksi secara lokal karena adanya keterbatasan kemampuan produksi.
2.
Negara yang bersangkutan dapat memperoleh keuntungan dari spesialisasi, yaitu dapat mengekspor komoditas yang diproduksi lebih murah untuk dapat
ditukar dengan komoditas yang dihasilkan oleh negara lain dan jika diproduksi sendiri biayanya akan lebih mahal. 3.
Dengan adanya perluasan pasar produk suatu negara, pertambahan dalam pendapatan nasional akan dapat memengaruhi output dan laju pertumbuhan ekonomi, mampu memberikan peluang kesempatan kerja dan peningkatan upah bagi warga dunia, menghasilkan devisa, dan memperoleh kemajuan teknologi yang tidak tersedia di dalam negeri.
2.1.3. Teori Penawaran Ekspor Ekspor adalah aliran perdagangan suatu komoditi dari dalam negeri ke luar negeri. Penghasilan ekspor atau devisa merupakan aliran masuk pendapatan bagi suatu negara. Dilihat dari segi penawaran, kegiatan ekspor diasumsikan sebagai fungsi penawaran suatu negara terhadap suatu komoditi yang dihasilkan. Penawaran ekspor suatu negara adalah selisih antara produksi/penawaran domestik dikurangi dengan konsumsi/permintaan domestik negara yang bersangkutan ditambah dengan stok tahun sebelumnya. Secara sistematis, penawaran ekspor dapat dirumuskan sebagai berikut : SXt = Qt – Ct + St-1 ......................................................................................... (2.1) Di mana : SXt = Jumlah ekspor komoditi periode waktu t Qt = Jumlah produksi domestik periode waktu t Ct
= Jumlah konsumsi domestik periode waktu t
St-1 = Stok periode waktu sebelumnya (t-1) Dari persamaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor di antaranya terdiri dari faktor-faktor yang
memengaruhi produksi, konsumsi dan stok. Selain itu, Salvatore (1997) menyatakan bahwa volume ekspor suatu negara ditentukan oleh harga komoditi tersebut di pasar domestik, harga internasional dan secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar (exchange rate) mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Menurut Lipsey et al. (1995), suatu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga komoditi atau jumlah yang ditawarkan berhubungan positif, ceteris paribus. Dengan kata lain, makin tinggi harga suatu komoditi, makin besar jumlah komoditi yang ditawarkan. Sebaliknya, semakin rendah harga, semakin kecil jumlah komoditi yang akan ditawarkan. Suatu perubahan pada setiap variabel manapun (selain dari harga komoditi itu sendiri) yang memengaruhi jumlah komoditi yang ditawarkan dan dijual perusahaan, akan menggeser keseluruhan kurva penawaran untuk komoditi tersebut. Kurva penawaran, yang merupakan penyajian penawaran dalam bentuk grafik, dan pergeserannya dapat diperagakan pada Gambar 2.4.
S2 Harga
S0 S1
Kuantitas Sumber : Lipsey et al, 1995
Gambar 2.4. Pergeseran Kurva Penawaran
Nilai tukar (exchange rate) dapat memengaruhi penawaran ekspor karena nilai tukar merupakan tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2007). Kurs dibedakan menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan nilai tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang di antara kedua negara. Nilai tukar riil di antara kedua negara dihitung dari kurs nominal dan tingkat harga di kedua negara, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
H
eu
P ................................................................................................................. (2.2) P*
Di mana : H = Nilai Tukar Riil e = Nilai Tukar Nominal P = Harga domestik P* = Harga luar negeri Gambar 2.5 menunjukkan, jika nilai tukar riil menurun dari H 1 ke H 2 (depresiasi), barang-barang luar negeri relatif lebih mahal dan barang-barang domestik relatif lebih murah, sehingga orang-orang asing akan berkeinginan membeli lebih banyak komoditi domestik, dan penduduk domestik akan membeli sedikit barang impor. Karena itu, jumlah ekspor neto negara domestik menjadi tinggi. Sebaliknya, jika nilai tukar riil meningkat dari H 2 ke H 1 (apresiasi), barangbarang luar negeri relatif lebih murah, dan barang-barang domestik relatif lebih mahal, sehingga penduduk domestik berkeinginan membeli banyak barang impor, dan orang-orang asing akan membeli sedikit komoditi domestik. Karena itu,
jumlah ekspor neto negara domestik menjadi rendah. Hubungan di antara kurs riil dan ekspor neto adalah : NX = NX ( H ) ................................................................................................... (2.3) Dimana: NX = Ekspor Neto
H
= Nilai Tukar Riil Kurs Riil (Ԗ)
Ԗ1 Ԗ2 NX (Ԗ) Ekspor Neto ()
NX1 NX2 Sumber : Mankiw, 2007
Gambar 2.5. Hubungan Nilai Tukar Riil dengan Ekspor Neto 2.1.4. Teori Kebijakan Ekspor Kebijakan perdagangan merupakan peraturan perdagangan yang diberlakukan oleh suatu negara dalam mengatur hubungan perdagangannya dengan negara lain (Oktaviani et al, 2010). Kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor diartikan sebagai berbagai tindakan dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang memengaruhi struktur, komposisi, dan arah ekspor dari negara tersebut (Hady, 2004). Tujuan kebijakan perdagangan internasional yang dijalankan oleh suatu negara antara lain:
1.
Melindungi kepentingan ekonomi nasional dari pengaruh buruk atau negatif dari situasi/kondisi ekonomi/perdagangan internasional yang tidak baik atau tidak menguntungkan.
2.
Melindungi kepentingan industri di dalam negeri.
3.
Melindungi lapangan kerja.
4.
Menjaga keseimbangan dan stabilitas balance of payment (BOP) atau neraca pembayaran internasional.
5.
Menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil.
6.
Menjaga stabilitas nilai tukar atau kurs valas. Kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu kebijakan ekspor di dalam negeri dan kebijakan di luar negeri. Kebijakan ekspor di dalam negeri antara lain dapat diuraikan sebagai berikut. 1.
Kebijakan perpajakan dalam bentuk pembebasan, keringanan, pengembalian pajak ataupun pengenaan pajak ekspor untuk barang-barang ekspor tertentu.
2.
Fasilitas kredit perbankan yang murah untuk mendorong peningkatan ekspor barang-barang tertentu.
3.
Penetapan prosedur atau tata laksana ekspor yang relatif mudah.
4.
Pemberian subsidi ekspor.
5.
Pembentukan asosiasi eksportir.
6.
Pembentukan kelembagaan seperti kawasan berikat nusantara (bounded warehouse), export pressing zone, dll.
7.
Larangan atau pembatasan ekspor.
Ekspor suatu negara juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan impor negara lain atau dunia. Kebijakan impor tersebut dibagi menjadi dua macam kebijakan, yaitu kebijakan tariff barrier dan kebijakan nontariff barrier. Kebijakan tarrif barrier merupakan kebijakan impor dalam bentuk bea masuk. Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Apabila ditinjau dari mekanisme perhitungannya, tarif dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, tarif ad valorem, yaitu pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barangbarang yang diimpor atau diekspor. Kedua, tarif spesifik, yaitu pajak yang dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor atau diekspor. Ketiga, tarif campuran, yaitu gabungan dari tariff ad valorem dan tarif spesifik. Kebijakan nontariff barrier adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi manfaat perdagangan internasional. Terdapat pembatasan impor yang bersifat spesifik, yaitu: 1.
Larangan impor secara mutlak.
2.
Pembatasan impor melalui sistem kuota.
3.
Peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu.
4.
Peraturan kesehatan/karantina.
5.
Peraturan pertahanan dan keamanan negara.
6.
Peraturan kebudayaan.
7.
Perizinan impor/import licenses.
8.
Embargo.
9.
Hambatan pemasaran seperti Voluntary Export Restraint (VER), yaitu pembatasan ekspor secara sukarela oleh negara eksportir, dan Orderly Marketing Agreement (OMA), yaitu pembatasan pemasaran produk tertentu atas permintaan negara importir.
2.1.5. Error Correction Model (ECM) ECM merupakan salah satu model dinamis yang diterapkan secara luas dalam analisis ekonomi. Konsep mengenai ECM pertama kali diperkenalkan oleh Sargan, dikembangkan oleh Hendry, dan dipopulerkan oleh Engle dan Granger (Firdaus, 2011). Model ini bertujuan untuk mengatasi masalah permasalahan data time series yang tidak stasioner dan regresi palsu (spurious regression). ECM lahir dan dikembangkan untuk mengatasi masalah perbedaan kekonsistenan hasil peramalan antara jangka pendek dengan jangka panjang dengan cara mengoreksi proporsi disequilibrium satu periode pada periode selanjutnya sehingga tidak ada informasi yang dihilangkan hingga penggunaan untuk peramalan jangka panjang (Thomas, 1996). Munculnya ketidakseimbangan (disequilibrium error) itu sendiri terjadi karena dua hal. Pertama, kesalahan spesifikasi misalnya kesalahan pemilihan variabel, parameter, keseimbangan itu sendiri. Kedua, kesalahan membuat definisi variabel dan cara mengukurnya. Ketiga, kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia dalam menginput data. Thomas (1996) berkesimpulan bahwa penggunaan ECM memiliki kelebihankelebihan sebagai berikut : 1. Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah data time series yang tidak stasioner dan regresi palsu (spurious regression).
2. ECM merupakan solusi alternatif yang mampu mengatasi permasalahan first difference karena model dengan variabel-variabel dalam bentuk first difference mengeliminasi trend dari variabel. 3. ECM dapat diestimasi dengan metode OLS (Ordinary Least Square). 4. ECM dapat menggunakan pendekatan “umum ke spesifik” (yaitu melihat kecenderungan umum dan membaginya menjadi pendekatan jangka pendek dan jangka panjang). Interpretasi parameter ECM yang secara jelas membedakan antara efek jangka panjang dan jangka pendek, sesuai untuk memperkirakan validitas hipotesis. 5. Dengan cara menguji stasioneritas data terlebih dahulu akan membantu kita menghindari masalah pada saat pengolahan data nantinya seperti masalah multikolinearitas antar data yang dapat menyebabkan standar error yang sangar besar. 6. Membedakan dengan jelas antar parameter jangka panjang sehingga sangat ideal untuk digunakan menaksir dari keakuratan sebuah hipotesis. 7. Jika terdapat variabel yang tidak nyata, pengeliminasian variabel tersebut dapat dilakukan sehingga meningkatkan efisiensi estimasi. Kelebihan lain dari ECM adalah seluruh komponen dan informasi pada tingkat variabel telah dimasukkan dalam model, memasukkan semua bentuk kesalahan untuk dikoreksi yaitu dengan cara mendaur ulang error yang terbentuk pada periode sebelumnya, menghindari terjadinya trend dan regresi palsu (spurious regression). Selain itu dalam pendekatan ECM sifat-sifat statistik yang diinginkan dari model dan pemberian makna yang lebih sederhana. Artinya, model ECM mampu memberikan makna lebih luas dari estimasi model ekonomi
sebagai pengaruh perubahan variabel independen terhadap dependen dalam hubungan jangka pendek maupun jangka panjang (Enders, 2004). Terdapat tiga syarat untuk menggunakan ECM. Pertama, variabel yang digunakan minimal ada satu yang tidak stasioner pada tingkat level. Kedua, persamaan yang digunakan mengandung kointegrasi, yaitu kombinasi linear dari variabel-variabel yang tidak stasioner. Ketiga, persamaan yang digunakan univariate (hanya variabel endogen yang memengaruhi variabel eksogen). Jika salah satu dari ketiga persyaratan tidak terpenuhi maka metode ini tidak dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang ada.
2.2. Penelitian Terdahulu 2.2.1. Penelitian Terdahulu Mengenai LNG Penelitian Desyanthie (2006) bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel–variabel yang secara teori diduga menentukan volume ekspor LNG Indonesia khususnya ke Korea Selatan yang ditinjau dari sisi permintaan dengan menggunakan metode persamaan simultan dan parsial. Variabel yang digunakan berbentuk time series tahunan, yaitu GDP Korea Selatan, harga LNG Indonesia di Korea Selatan. dan harga LNG pesaing di Korea Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas tersebut terbukti secara simultan maupun parsial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap volume ekspor LNG Indonesia ke Korea Selatan. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa GDP Korea Selatan merupakan variabel yang dominan dalam memengaruhi volume ekspor LNG Indonesia ke Korea Selatan periode 1988 – 2002.
Penelitian Islam dan Odano (2010) menganalisis kondisi ekspor LNG Brunei saat ini dan prospek ekspornya di masa yang akan datang. Ekspansi ekspor LNG Brunei dilakukan berdasarkan proyeksi permintaan LNG di Jepang hingga tahun 2015. Analisis proyeksi permintaan LNG di Jepang dilakukan dengan Global Trade and Environment Model (GTEM) yang dikembangkan oleh Australian Bureau of Agricultural and Resource Economics (ABARE). Berdasarkan analisis ABARE, Jepang akan mengalami kesenjangan persediaan gas alam sebesar 24 juta ton pada tahun 2015. Indonesia, Malaysia, Brunei, Australia, dan Qatar yang telah memenuhi 80 persen persediaan gas alam Jepang, akan membutuhkan ekspansi fasilitas ekspor LNG mereka untuk menghadapi kebutuhan Jepang ke depannya. Brunei merupakan salah satu produsen yang potensial untuk menghadapi kebutuhan LNG di Jepang tersebut. Untuk itu, Brunei harus melakukan ekspansi terhadap pabrik penyulingan yang ada sehingga bisa meningkatkan kapasitas ekspor sebesar 4 juta ton per tahun hingga 11,2 juta ton. Penelitian Ruster dan Neumann (2006) menganalisis strategi perusahaan dalam industri LNG global. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah memberikan analisis empiris mengenai faktor-faktor yang menentukan strategi perusahaan dalam peningkatan integrasi vertikal. Hipotesis penelitian ini adalah biaya transaksi yang tinggi sepanjang rantai nilai LNG mendorong tingkat integrasi vertikal yang lebih tinggi yang akan diuji dengan menerapkan Ordered Probit Model. Untuk menjelaskan faktor-faktor penentu integrasi vertikal dalam industri LNG digunakan data proyek eksplisit pada 85 proyek LNG, baik impor dan ekspor, di seluruh dunia. Peneliti mengukur biaya transaksi spesifikasi aset atribut, ketidakpastian, frekuensi, termasuk karakteristik industri dan perusahaan
dalam analisisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan cenderung lebih terintegrasi karena adanya transaksi yang tinggi di mana biaya investasi dalam infrastruktur sangat spesifik dan adanya ketidakpastian pasar. Tingkat integrasi vertikal perusahaan swasta dapat melebihi satu entitas negara, di mana perusahaan cenderung lebih terintegrasi dengan perusahaan yang lebih besar. Tingkat integrasi vertikal dalam proyek di Cekungan Atlantik cenderung lebih tinggi daripada di proyek yang terletak di Basin Pasifik. Ball (2005) melakukan penelitian dengan metode deskriptif yang bertujuan untuk meninjau perkembangan dan isu terkini mengenai pasar LNG dan menganalisis implikasinya terhadap perdagangan LNG di wilayah Asia Pasifik. Pasar LNG di Asia Pasifik berada pada tahap perkembangan yang kritis. Permintaan LNG diramalkan akan terus meningkat pesat, namun suplai LNG pada jangka pendek hingga menengah berada dalam kondisi yang sulit. Sebagian besar proyek juga terus tertunda hingga kontrak perdagangan jangka panjang cukup aman, sedangkan pembeli banyak yang meminta jangka waktu kontrak yang fleksibel. Munculnya pasar LNG nontradisional dan bertambahnya jumlah produsen LNG akan meningkatkan ketidakpastian dalam pasar dan membuat peramalan perdagangan LNG semakin sulit dilakukan. Pertumbuhan pesat pada pasar LNG Atlantik akan memengaruhi pasar Asia Pasifik, di mana pasar LNG akan bergeser ke orientasi global. Negara Australia memiliki kesempatan baik untuk melakukan ekspansi ekspor secara signifikan pada dekade mendatang. Pembeli LNG akan semakin memperhitungkan fleksibilitas, keragaman, harga, stabilitas dan reabilitas pasar dalam keputusan pembeliannya.
Penelitian yang akan dianalisis dalam skripsi ini memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian terdahulu mengenai LNG yang telah diuraikan. Pertama, skripsi ini secara regional hanya mencakup negara Indonesia. Kedua, penelitian ini akan mengevaluasi kebijakan domestic market obligation gas terhadap ekspor LNG Indonesia ke dunia serta perilaku penawaran ekspornya selama diberlakukannya kebijakan tersebut. Perbedaan khusus lainnya adalah variabel yang dianalisis dalam penelitian ini, di mana dipilih beberapa variabel yang diduga akan memengaruhi perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia berdasarkan teori penawaran ekspor dan kondisi empiris yang terjadi. Kelebihan dari penelitian ini adalah analisis dilakukan dengan melihat pendekatan jangka pendek maupun jangka panjang dengan menggunakan Error Correction Model (ECM). Adapun keterbatasan dari penelitian ini yaitu analisis tidak diperdalam dari sisi ekonomi politik yang biasanya berkaitan erat dengan suatu kebijakan yang ditetapkan pemerintah. 2.2.2. Penelitian Terdahulu Mengenai ECM Rosandi (2007) melakukan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor kopi Indonesia. Metode kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor kopi Indonesia dalam jangka pendek adalah dengan pendekatan Error Correction Model (ECM) dan analisis jangka panjang dengan menggunakan persamaan kointegrasi melalui software E-Views 4.1. Hasil penelitian menunjukkan penawaran ekspor kopi Indonesia dalam jangka panjang secara signifikan dipengaruhi oleh produksi kopi dan pengaruhnya positif. Sedangkan konsumsi domestik kopi dan harga domestik kopi memengaruhi penawaran ekspor kopi
Indonesia secara signifikan dan pengaruhnya negatif. Harga ekspor kopi dan nilai tukar berpengaruh tidak signifikan terhadap penawaran ekspor kopi Indonesia dalam jangka panjang. Penawaran ekspor kopi Indonesia dalam jangka pendek secara signifikan dipengaruhi oleh produksi kopi dan harga domestik kopi 1 tahun sebelumnya dan pengaruhnya positif. Sedangkan konsumsi domestik kopi, harga ekspor kopi 1 tahun sebelumnya dan dummy krisis ekonomi memengaruhi penawaran ekspor kopi Indonesia secara signifikan dan pengaruhnya negatif. Dummy kebijakan penghapusan kuota ekspor berpengaruh tidak signifikan. Hafizah (2009) dalam skripsinya mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi penawaran CPO Indonesia dan menganalisis pengaruh perubahan faktor-faktor tersebut terhadap tingkat penawaran CPO Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode Error Correction Model (ECM) dengan menggunakan software E-views 6 dan Microsoft Excel 2007. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder berbentuk time series tahunan dari tahun 19802007 yaitu data produksi CPO Indonesia sebagai proxy dari penawaran CPO Indonesia, luas areal perkebunan kelapa sawit, harga CPO dalam negeri, harga solar dan nilai tukar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan persamaan jangka pendek dapat diketahui bahwa variabel produksi CPO 1 tahun sebelumnya, luas areal perkebunan kelapa sawit, luas areal perkebunan kelapa sawit 1 tahun sebelumnya, harga solar, dan harga solar 2 tahun sebelumnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel penawaran CPO Indonesia pada taraf nyata 10 persen. Sedangkan variabel harga domestik dan nilai tukar berpengaruh tidak signifikan. Berdasarkan persamaan jangka panjang dapat diketahui bahwa variabel luas areal kelapa sawit, harga domestik CPO, nilai tukar dan harga solar
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penawaran CPO Indonesia pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan nilai elastisitas penawaran CPO diketahui ternyata respon semua variabel bebasnya terhadap penawaran CPO Indonesia adalah inelastis karena nilai mutlak dugaan parameternya kurang dari satu, sehingga apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel bebasnya tidak akan menimbulkan gejolak yang besar terhadap tingkat penawaran CPO. 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual Liquefied Natural Gas (LNG) merupakan salah satu komoditi ekspor migas yang menjadi salah satu andalan perekonomian nasional karena kontribusinya bagi pendapatan nasional dan penyumbang devisa yang cukup besar bagi Indonesia karena hasil produksi gas alam yang melimpah. Ukuran pasar internasional dan jumlah importir LNG terus mengalami pertumbuhan menyebabkan komoditi LNG Indonesia mempunyai prospek dan potensi yang baik di pasar internasional. Namun, karena struktur pasar gas alam Indonesia didominasi oleh pasar internasional dibandingkan dengan pasar domestik, pemerintah telah menetapkan kebijakan umum mengenai pemanfaatan gas alam nasional dalam rangka mendorong peningkatan pemanfaatan gas alam domestik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sesuai dengan amanat UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Hal tersebut ditegaskan melalui PP No.35 Tahun 2004 Pasal 46 dan Peraturan Menteri ESDM No.3 Tahun 2010, di mana pemerintah mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk menyerahkan 25 persen dari produksi gas bumi bagian kontraktor guna memenuhi keperluan dalam negeri dalam rangka domestic market obligation (DMO).
Setelah diberlakukannya kebijakan DMO gas tersebut, ternyata struktur pasar gas masih menunjukkan dominansi alokasi ekspor. Hal tersebut dapat disebabkan terutama karena masih terdapat beberapa kontrak ekspor jangka panjang yang belum selesai masa berlakunya dan harga gas domestik yang 60 persen lebih murah dari pada harga ekspor sering kali membuat KKKS enggan untuk mengembangkan lapangan gasnya untuk memenuhi pasar domestik. Berdasarkan permasalahan di atas, diduga bahwa kebijakan DMO gas belum cukup efektif, maka perlu dilakukan pembuktian mengenai pengaruh kebijakan DMO gas terhadap ekspor LNG Indonesia yang ingin dialihkan untuk pemenuhan kebutuhan gas dalam negeri. Pembuktian tersebut perlu diperkuat pula dengan menganalisis perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia di pasar internasional selama diberlakukannya kebijakan DMO gas tersebut. Permasalahan tersebut akan dianalisis dengan metode kuantitatif Error Correction Model (ECM) untuk mengetahui pengaruh kebijakan domestic market obligation (DMO) terhadap ekspor LNG Indonesia dan perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Variabel-variabel yang akan diestimasi untuk menjawab permasalahan tersebut yaitu dummy kebijakan domestic market obligation (DMO) dan beberapa faktor memengaruhi penawaran ekspor LNG Indonesia antara lain produksi LNG Indonesia, konsumsi domestik gas alam, harga domestik gas alam, harga ekspor LNG, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Hasil analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dari faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor LNG Indonesia tersebut dapat menjadi salah satu acuan bagi pemerintah maupun kontraktor LNG dalam mengambil kebijakan yang
terkait dengan ekspor LNG Indonesia dan efektivitas kebijakan domestic market obligation (DMO) di masa yang akan datang.
Alokasi ekspor gas lebih besar daripada alokasi domestik
Diberlakukannya kebijakan domestic market obligation (DMO) gas
Evaluasi kebijakan DMO gas
Perilaku penawaran ekspor LNG Indonesia selama diberlakukan kebijakan DMO gas
Pengaruh dummy kebijakan DMO gas terhadap penawaran ekspor LNG Indonesia
Pengaruh produksi LNG, konsumsi gas alam domestik, harga ekspor LNG, harga domestik gas alam, dan nilai tukar terhadap penawaran ekspor LNG Indonesia
Analisis Kointegrasi dan Error Correction Model (ECM)
Implikasi kebijakan kebijakan domestic market obligation (DMO) gas dan ekspor LNG
Gambar 2.6. Diagram Alur Kerangka Pemikiran 2.4. Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran maka hipotesis pada penelitian ini adalah : 1.
Dummy kebijakan domestic market obligation (DMO), yaitu adanya peningkatan pemanfaatan gas alam domestik untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri akan memberikan pengaruh negatif terhadap penawaran ekspor LNG Indonesia. 2.
Produksi LNG Indonesia berpengaruh positif terhadap penawaran ekspor LNG, yang berarti jika terjadi peningkatan produksi maka penawaran ekspor LNG Indonesia akan meningkat dan sebaliknya.
3.
Penawaran ekspor LNG Indonesia dipengaruhi secara negatif oleh konsumsi domestik gas alam, yang berarti jika terjadi kenaikkan konsumsi domestik maka penawaran ekspor LNG Indonesia akan menurun dan sebaliknya.
4.
Harga domestik gas alam berpengaruh negatif terhadap penawaran ekspor LNG Indonesia, yang berarti jika terjadi peningkatan harga LNG domestik maka penawaran ekspor LNG Indonesia akan menurun dan sebaliknya.
5.
Harga ekspor LNG Indonesia berhubungan positif dengan penawaran ekspor, sehingga jika terjadi peningkatan harga ekspor maka penawaran ekspor LNG Indonesia akan meningkat dan sebaliknya.
6.
Ekspor LNG Indonesia dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, sehingga jika terjadi kenaikan nilai tukar (depresiasi) maka penawaran ekspor LNG Indonesia akan meningkat dan sebaliknya.