8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Pembangunan Disadari bahwa pembangunan pedesaan telah dilakukan secara luas, tetapi hasilnya dianggap belum memuaskan dilihat dari pelibatan peran serta masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Rencana pembangunan desa harus disusun berdasarkan pada potensi yang dimiliki dan kondisi yang ada sekarang. Kondisi yang ada itu meliputi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal, prasarana dan sarana pembangunan, kelembagaan, aspirasi masyarakat setempat, dan lainnya. Karena dana anggaran pembangunan yang tersedia terbatas, sedangkan program pembangunan yang dibutuhkan relatif banyak, maka perlu dilakukan: (1) penentuan prioritas program pembangunan yang diusulkan, penentuan prioritas program pembangunan harus dilakukan berdasarkan kriteria yang terukur, dan (2) didukung oleh partisipasi masyarakat untuk menunjang implementasi program pembangunan tersebut. Penentuan program pembangunan oleh masyarakat yang bersangkutan merupakan bentuk perencanaan dari bawah, dan akar rumput bawah atau sering disebut sebagai bottom-up planning. Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat (social empowering) secara nyata dan terarah. Menurut pandangan Haq, (1985) tujuan pokok pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan manusia. Pengertian ini mempunyai dua sisi. Pertama, pembentukan kemampuan manusia seperti tercermin dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan atau untuk aktif dalam kegiatan kebudayaan, sosial, dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang disebut sebagai sebuah konsep yang holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1) peningkatan produktivitas; (2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan pembangunan; serta (4) pemberdayaan manusia. Pandangan bahwa pembangunan tidak seyogyanya hanya memperhatikan tujuan-tujuan sosial ekonomi, berkembang luas. Masalah-masalah demokrasi dan hak-hak asasi manusia menjadi pembicaraan seperti yang dikemukakan oleh Goulet (1977) yang mengkaji falsafah dan etika pembangunan, misalnya,
9
mengetengahkan bahwa proses pembangunan harus menghasilkan (1) terciptanya "solidaritas baru" yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah (grassroots oriented), (2) memelihara keberagaman budaya dan lingkungan, dan (3) menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat. Nilai-nilai lama atau biasa disebut dengan budaya tradisional itu sendiri menurut Dove (1985) sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial dan politik dari masyarakat pada tempat di mana budaya tradisional tersebut melekat. Dalam penelitian Dove (dikutip oleh Suwarsono, 1994) yang melakukan penelitian tentang budaya lokal dan pembangunan di Indonesia, antara lain suku Punan di pedalaman Kalimantan, suku Samin di pedalaman Jawa Tengah, suku Wana di Sulawesi Tengah, penduduk Bima dan masyarakat Ngada di Flores. Hasil penelitian Dove ini menyatakan bahwa budaya lokal dan agama di beberapa suku tersebut ternyata sangat berperan dalam proses pembangunan dan dinamika sosial perkembangan masyarakat. Karena bagaimanapun juga dalam kehidupan seharihari masyarakat tidak bisa dilepaskan dari agama dan budaya, bahkan nilai-nilai budaya tersebut adalah merupakan faktor mental yang menentukan perbuatan ataupun aktifitas seseorang maupun kelompok masyarakat (Koentjaraningrat, 1971). Dalam era reformasi dilakukan perombakan dari sistem sentralistik menjadi sistem desentralistik Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) diterapkan tiga prinsip yang mendasar, yaitu : transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (bertanggung jawab), dan resfonsivitas (daya tanggap). Dalam perencanaan pembangunan, penerapan pendekatan yang tadinya adalah bersifat top down digantikan oleh pendekatan bottom up. Dalam pendekatan bottom up masih dirasakan pengaruh top down meskipun relatif kecil. Demikian sebaliknya dalam perencanaan top down, harus tetap memperhatikan aspirasi masyarakat bawah. Memperhatikan kekurangan perencanaan pembangunan pedesaan pada masa yang lalu, maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap pendekatan pembangunan pedesaan yang sesuai dengan dinamika perkembangan dan kompleksitas pembangunan serta aspirasi masyarakat. Konsep pendekatan pembangunan yang lalu yang bersifat sentralistik harus direformasi menjadi
10
desentralistik, disesuaikan dengan masalah, potensi, kondisi, dan kebutuhan masyarakat setempat, secara spasial dan terpadu, tetapi harus pula berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Setelah memperhatikan berbagai pendekatan pembangunan pedesaan yang cukup banyak seperti dikemukakan di atas, maka pendekatan
perencanaan
pembangunan
pedesaan
sekurang-kurangnya
menggunakan pendekatan bottom up, partisipatif dan berkelanjutan; dan diantaranya adalah pendekatan partisipasi yang perlu mendapat penekanan. Pembangunan pedesaan yang partisipatif merupakan suatu konsep fundamental yang berlaku dan diterapkan sejak dahulu hingga sekarang dan tetap relevan untuk masa depan. Partisipasi masyarakat itu mengikuti perkembangan zaman dari sistem pemerintahan yang berlangsung dalam suatu kurun waktu. Dalam
sistem
pemerintahan
yang
sentralistik,
mekanisme
perencanaan
pembangunannya adalah top down, dan partisipasi masyarakatnya adalah bersifat mobilisasi atau pengerahan massa. Sedangkan dalam sistem pemerintahan yang desentralistik (otonomi daerah), mekanisme perencanaan pembangunannya adalah bottom up dan partisipasi rnasyarakatnya dilakukan dengan kesadaran dan kebersamaan yang tinggi. Oleh sebab itu partisipasi masyarakat sangat diperlukan sebagai kekuatan dinamis dan merupakan perekat masyarakat akar bawah (pedesaan) untuk menunjang pembangunan pedesaan. Dari sisi masyarakat, menurut (Setiawan, 2008) poin penting yang dirasakan di dalam era otonomi adalah semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa dan semakin pendeknya rantai birokrasi yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa. Ditambah lagi oleh setiawan, dalam proses musrenbang keberadaan delegasi masyarakat desa dalam kegiatan musrenbang di tingkat kabupaten/kota gagasannya adalah membuka kran partisipasi masyarakat desa untuk ikut menentukan dan mengawasi penentuan kebijakan pembangunan daerah. Namun demikian, lagi-lagi muncul persoalan bahwa keberadaan delegasi masyarakat ini hanya menjadi kosmetik untuk sekedar memenuhi qouta
adanya partisipasi masyarakat dalam proses
musrenbang. Menurut Kartasasmita (1997), menyebutkan bahwa kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi
11
masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal: 1). pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi estrem dirasakan merugikan. 2). pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut. 3). pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut. 4). pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan.
2.1.2. Pemerintahan Desa Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya susunan organisasi pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari unsur staf, unsur pelaksana dan unsur wilayah. Unsur staf terdiri dari Sekretaris Desa dan Kepala-kepala Urusan, sedangkan unsur pelaksana terdiri dari Kepala-kepala Seksi dan unsur wilayah terdiri dari Kepala-kepala Dusun. BPD dalam pemerintahan desa berkedudukan sebagai lembaga legislatif, yaitu sebagai badan untuk tempat berdiskusi bagi para wakil masyarakat desa. Dalam proses berdiskusinya itu, para anggota BPD berkedudukan sebagai wakil dari kelompok masyarakat yang memilihnya. Dengan demikian, BPD berada dalam posisi/kedudukan di pihak masyarakat, bukan di pihak lembaga eksekutif desa, yaitu bukan sebagai pelaksana pemerintahan desa sebagaimana kedudukan kepala desa beserta perangkatnya. Pada masa berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang lalu, Kepala Desa dan perangkatnya merupakan satu-satunya aktor penyelenggara pemerintahan desa. Pada saat itu banyak mengandung kelemahan karena programprogram pembangunan seringkali berasal dari atas dan pengawasan terhadap kepemimpinannya sangatlah lemah. Dalam kaitannya dengan desa UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999, ingin menutupi kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU. No.5 tahun 1979.
12
Kehadiran BPD dianggap sebagai penyeimbang dan mitra kerja. Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka BPD diganti dengan Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Badan Permusyawaratan Desa ini diharapkan bisa mengurangi kelemahan penyelenggaraan pemerintahan desa. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan kinerja ekonomi. Legitimasi ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang impersonal. Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten (Wijaya, 2002). Rumusan defenisi Desa secara lengkap terdapat dalam UU No.22/1999 adalah sebagai berikut: “Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asalusul yang bersifat istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.
13
Dengan adanya pengaturan desa diharapkan Pemerintah Desa bersama masyarakat secara bersama-sama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam pasal 206, yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
2.1.3. Kekuasaan dan wewenang Kekuasaan dengan wewenang (authority/legalized power) memiliki pengertian yang berbeda, yaitu bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Suatu masyarakat yang kompleks susunannya dan sudah mengenal pembagian kerja yang terperinci, maka wewenang itu biasanya terbatas mengenai hal-hal yang diliputinya, waktunya dan cara menggunakan kekuasaan itu (Soekanto, 1973). Menurut Max Weber (1947) kekuasaan itu dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang actor didalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan. Walter Nord merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya. Secara sederhana, kepemimpinan adalah setiap usaha untuk mempengaruhi, sedang kekuasaan diartikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seseorang pemimpin tersebut. Adapun otoritas (Authority) dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki oleh pemimpin. Dengan demikian otoritas adalah kekuasaan yang disahkan (legitimatized) oleh suatu peranan formal seseorang dalam suatu organisasi. Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai sesuatu dengan cara yang diinginkan. Karena kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, maka mungkin sekali setiap interaksi dan hubungan sosial dalam suatu organisasi melibatkan penggunaan kekuasaan. Cara
14
pengendalian unit organisasi dan individu di dalamnya berkaitan dengan penggunaan kekuasaan. Kekuasaan selalu melibatkan interaksi sosial antar beberapa pihak, lebih dari satu pihak. Dengan demikian seorang individu atau kelompok yang terisolasi tidak dapat memiliki kekuasaan karena kekuasaan harus dilaksanakan atau mempunyai potensi untuk dilaksanakan oleh orang lain atau kelompok lain. Kekuasaan adalah kemampuan untuk bertindak atau memerintah sehingga dapat menyebabkan orang lain bertindak, pengertian disini harus meliputi kemampuan untuk membuat keputusan mempngaruhi orang lain dan mengatasi pelaksanaan keputusan itu. Biasanya dibedakan antara kekuasaan yang berarti dalam kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga dapat menyebabkan orang lain tersebut bertindak dan wewenang yang berarti hak untuk memerintah orang lain. Wewenang (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Penggunaan wewenang secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas organisasi. Peranan pokok wewenang dalam fungsi pengorganisasian, wewenang dan kekuasaan sebagai metoda formal, dimana pemimpin menggunakannya untuk mencapai tujuan individu maupun organisasi. Wewenang formal tersebut harus di dukung juga dengan dasar-dasar kekuasaan dan pengaruh informal. Pemimpin perlu menggunakan lebih dari wewenang resminya untuk mendapatkan kerjasama dengan bawahan mereka, selain juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan mereka. Pengertian tentang wewenang dapat dipandang secara klasik dan juga secara pengakuan. Secara klasik, wewenang dimiliki oleh atasan dan bawahan berkewajiban mematuhinya. Kondisi ini dapat menimbulkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Pandangan pengakuan berdasarkan adanya pengakuan dari seseorang yang dipengaruhi terhadap orang lain yang mempengaruhi mereka. Dengan demikian, dalam lingkup sempit, wewenang yang sah belum tentu memperoleh pengakuan orang lain. Weber menyebut wewenang sebagai
15
wewenang yang legal dan sah. Weber juga membagi wewenang menjadi wewenang kharismatik, rasional, dan tradisional. Indonesia kini menuju kepada pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, sehingga azas desentralisasi lebih tampak. Pembagian ini menuju kepada pemberian wewenang kepada daerah lebih besar dengan hak mengelola sendiri daerahnya untuk kegiatan-kegiatan tertentu, dan ada keseimbangan penerimaan antara daerah dan pusat. Hal ini dilakukan untuk mencegah usaha pemisahan diri oleh daerah-daerah.
2.1.4. Kepemimpinan (leadership) Sekarang hampir setiap pemimpin dengan daya tarik yang sangat populer disebut pemimpin kharismatik, seperti misalnya tokoh agama. Max Weber (1947), seorang sosiolog besar menganalisis suatu kharisma melalui hubungan darah, keturunan dan institusi. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kharisma adalah kualitas tertentu dari seorang individu yang karenanya ia berbeda jauh dari orangorang biasa dan dianggap memiliki kekuatan atau sifat supranatural. Kualitas ini dianggap tidak bisa dimiliki oleh orang biasa dan atas dasar itu individu yang bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan. Dalam proses selanjutnya pemimpin ini menjadi seorang panutan, sehingga kecil kemungkinan dia akan melakukan kesalahan. Dalam demokrasi, seorang pemimpin yang tidak menyelewengkan kekuasaan karena takut pada pengawasan, adalah pemimpin yang baik dan dia tidak perlu berusaha menjual tampang bahwa dia tidak tertarik untuk menyalahkan
kekuasaannya.
Kalau
demokrasi
sebagai
sistem
politik
mengandaikan bahwa pemerintahan harus berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat untuk kepentingan rakyat, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat, bukan karena faktor darah atau keturunan. Akhirnya kita tidak hanya berharap pemimpin yang kharismatik tetapi lebih daripada itu kita mengharapkan pemimpin yang demokratis. Atau pemimpin yang kharismatik sekaligus demokratis Harapan memperkirakan
masyarakat dan
terhadap
seorang
mempertimbangkan
pemimpin
kesulitannya,
tidak
pernah
namun
hanya
16
permasalahannya tuntas. Pemimpin diharapkan menjadi tokoh yang selalu menyediakan solusi. Dalam keadaan yang terjepit secara financial dan kelembagaan dituntut untuk menjalankan program, kata-kata “tidak ada budget” bisa diungkapkan oleh departemen keuangan, tetapi pemimpin tetap tidak bisa mengelakkan kalau program harus dijalankan. Pemimpinlah yang harus putar otak dan mengarahkan semua sumber daya untuk mencari solusi (Simbolon, 1994). Hill dan Caroll (1997) berpendapat bahwa, kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan mendorong sejumlah orang (dua orang atau lebih) agar bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama. Struktur organisasi adalah kerangka atau susunan unit atau satuan kerja atau fungsi-fungsi yang dijabarkan dari tugas atau kegiatan pokok suatu organisasi, dalam usaha mencapai tujuannya. Setiap unit mempunyai posisi masing-masing, sehingga ada unit yang berbeda jenjang atau tingkatannya dan ada pula yang sama jenjang atau tingkatannya antara yang satu dengan yang lain. Kepemimpinan akan berlangsung efektif bilamana mampu memenuhi fungsinya, meskipun dalam kenyataannya tidak semua tipe kepemimpinan memberikan peluang yang sama untuk mewujudkannya. Dalam hubungan itu sulit untuk dibantah bahwa setiap proses kepemimpinan juga akan menghasilkan situasi sosial yang berlangsung di dalam kelompok atau organisasi masingmasing. Untuk itu setiap pemimpin harus mampu menganalisa situasi sosial kelompok atau organisasinya yang dapat dimanfaatkan dalam mewujudkan fungsi kepemimpinan dengan kerja sama dan bantuan orang-orang yang dipimpinnya. Fungsi kepemimpinan menurut Hill dan Caroll (1997) memiliki dua dimensi sebagai berikut: a). dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang dipimpinnya; b). dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok atau organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijaksanaankebijaksanaan pemimpin. Ada tiga peran utama pemimpin menurut Mitzberg, (dikutip oleh Handoko (2003) yaitu: (1) interpersonal role, yaitu sebagai tokoh, (2) informational role,
17
yaitu sebagai pemicara, dan (3) decisional role, yaitu sebagai pemecah masalah dan pengambil keputusan. Dengan adanya keputusan berarti ada masalah yang dapat dipecahkan sehingga organisasi selalu dinamis dan berkembang. Menurut P. Hersey dan Blancard, (dikutip oleh Tohardi, 2002) Kepemimpinan didefinisikan sebagai proses mempengaruh kegiatan individu dan kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan. Siagian (2002) mengatakan kepemimpinan dari seseorang atau sekelompok orang adalah antara lain untuk memperoleh kepercayaan dari orang–orang yang dipimpin dan keterampilan untuk menggerakkan orang–orang yang dipimpin, sehingga pencapaian tujuan yang telah ditentukan dapat terlaksana dengan efisien, efektif dan ekonomis. Mengacu kepada Weihrich and Koontz (1994:490) “Leadership is definied as influence, that is, the art or process of influencing people so that they will strive willingly and enthusiastically toward the achievement of group goals” Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dengan cara apapun, agar mampu mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan kehendaknya dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kepemimpinan memainkan peran penting dalam perkuatan dan peningkatan disiplin individu serta produktivitas tenaga kerja. Dalam sosiologi, bicara tentang kepemimpinan berarti bicara tentang ”status” dan ”otoritas”
menurut Marx
Weber, (dikutip oleh Syahyuti, 2006), ada 3 jenis kekuasaan atau otoritas kepemimpinan, yaitu kekuasaan tradisional berdasarkan kepercayaan yang telah ada, kekuasaan rasional berdasarkan hukum legal, dan kekuasaan kharismatis berdasarkan individual. Kepemimpinan ada dalam setiap sistem sosial, karena akan selalu ada interrelasi antara pihak yang mempengaruhi dan yang di pengaruhi, pada hakikatnya, seseorang dapat disebut pemimpin jika ia dapat mempengaruhi orang lain dalam mencapai suatu tujuan tertentu, meskipun tidak dalam ikatan formal sebuah kelembagaan. Pencapaian yang tertinggi dari seseorang pemimpin adalah memperoleh respek dan kepercayaan. Dalam kontek respek dan kepercayaan, suatu ungkapan yang populer dari Dwight D. Eisenhower, (dikutip oleh Syahyuti, 2006) ”Kepemimpinan adalah seni mendapatkan orang lain untuk melakukan hal lain yang ia ingingkan karena orang itu menginginkannya.
18
2.1.5. Type Kepemimpinan Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin. Dalam perkembangannya, type yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai type kepemimpinan transformasional. Type ini dianggap sebagai type yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi. (a). Watak Kepemimpinan ( Traits Model of Leadership) Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill, 1974). Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. (b). Kepemimpinan Situasional ( Model of Situasional Leadership) Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi-studi tentang kepemimpinan situasional
19
mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugastugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin. Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu. (c). Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders) Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating
structure)
kelembagaan
dan
konsiderasi
menggambarkan
sampai
(consideration). sejauh
mana
Dimensi para
struktur pemimpin
mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya
20
kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations). Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya. (d). Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model) Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabelvariabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel, 1987). Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power). Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk
21
mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugastugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions). Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House, 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan). Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional. (e). Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership) Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang
secara
eksplisit
mendefinisikan
kepemimpinan
transformasional.
22
Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas
organisasi.
Untuk
memotivasi
agar
bawahan
melakukan
tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya,
Burns
menyatakan
bahwa
model
kepemimpinan
transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya. Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai
kemampuan
untuk
menyamakan
visi
masa
depan
dengan
bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Bass
dan
Avolio
(1994)
mengemukakan
bahwa
kepemimpinan
transformasional mempunyai empat dimensi, idealized influence (pengaruh ideal), inspirational motivation (motivasi inspirasi), intellectual stimulation (stimulasi intelektual), dan individualized consideration (konsiderasi individu).
23
Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan
Butchatsky,
1996).
Konsep
kepemimpinan
transformasional
ini
mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (misalnya Weber, 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns, 1978) Beberapa ahli menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan
transformasional
sebagai
kepemimpinan
yang
karismatik,
inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Bryman (1992) menyebut kepemimpinan
transformasional
sebagai
kepemimpinan
baru
(the
new
leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Dari pendekatan type yang berbeda, yang berdasarkan kebutuhan terdapat tiga type kepemimpinan yaitu : otokratik, demokratik, dan bebas terkendali. Type kepemimpinan otokratik adalah memusatkan kuasa dan pengambilan keputusan bagi dirinya sendiri. Mereka menata situasi kerja yang rumit bagi para bawahan dan melakukan apa saja yang diperintahkannya. Kepemimpinan otokratik umumnya negatif, yang berdasarkan atas ancaman dan hukuman (Kreitner, 1999).
24
Beberapa manfaat kepemimpinan otokratik adalah bahwa type ini sering memuaskan pemimpin, memungkinkan pengambilan keputusan dengan cepat, memungkinkan
pendayagunaan
bawahan
yang
kurang
kompeten,
dan
menyediakan rasa aman dan ketentuan bagi para bawahan. Kelemahan gaya ini yang utama adalah bahwa orang-orang tidak menyukainya, terutama apabila mencapai suatu titik yang menimbulkan rasa takut dan keputusasaan. Kepemimpinan
demokratik
adalah
mendesentralisasikan
wewenang.
Keputusan partisipatif tidak bersifat sepihak, seperti pemimpin otokratik, karena keputusan ini timbul dari upaya konsultasi dengan para pengikut dan keikutsertaan yang dipimpin. Pemimpin dan kelompok bertindak sebagai suatu sosial. Para pengikut memperoleh informasi dan pemimpin tentang kondisi yang mempengaruhi pekerjaan mereka dan didorong untuk mengungkapkan gagasan dan mengajukan saran. Kecenderungan yang umum adalah kearah penerapan praktek partisipasi lebih luas karena konsisten dengan perilaku organisasi. Pemimpin bebas kendali cenderung menghindari kuasa dan tanggung jawab. Mereka sebagian besar bergantung pada kelompok untuk menetapkan tujuan dan menanggulangi masalah sendiri. Pemimpin hanya memainkan peran kecil. Kepemimpinan bebas kendali mengabaikan kontribusi pemimpin dengan cara yang kurang lebih sama seperti kepemimpinan otokratik mengabaikan kelompok. Kepemimpinan ini cenderung memungkinkan berbagai unit organisasi yang berbeda untuk bergerak maju dengan tujuan yang bertentangan satu sama lain, dan ini dapat menimbulkan kekacauan. Karena alasan inilah type bebas kendali tidak digunakan sebagai type yang dominan, tetapi bermanfaat dalam situasi dimana pemimpin dapat memberi peluang sepenuhnya kepada kelompok untuk melakukan pilihan mereka sendiri.
2.1.6. Kepemimpinan formal dalam membangun perekonomian desa Peran kepemimpinan sangat besar bagi kemajuan maupun kemunduran perekonomian suatu masyarakat, terlebih pada masyarakat yang kandungan semangat patronasenya kuat. Keberadaan seorang pemimpin yang kuat dalam masyarakat pedesaan sangat menentukan peluang dan tingkat kemajuan ekonomi masyarakat pedesaan.
25
Aspek kepercayaan (trust) dalam kepemimpinan untuk menggerakkan masyarakat ke arah kemajuan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan akan dihargai serta dihormati jika pemimpin tersebut memiliki keunggulan karena mampu memecahkan dan mengatasi masalah masyarakat termasuk masalah produksi dan ekonomi pertanian mereka. Hal ini penting untuk menghindarkan munculnya sifat ‘manja’ dan ‘ketergantungan’ petani terhadap bantuan pemerintah, yang akan menyebabkan kemerosotan daya kreatif petani dalam mengelola sumberdaya pertanian di daerahnya. Seorang pemimpin juga harus mampu merepresentasikan kepentingan masyarakat dan menghilangkan sifat mementingkan diri dan golongannya semata. Petani juga mengharapkan semangat “altruistik” (mau berkorban lebih dulu) dari seorang pemimpin, agar memperoleh simpati dan kepercayaan masyarakat yang otomatis tentu akan menjadi pendukungnya (misalnya, merintis jalur pemasaran lintas desa/daerah, memperhatikan sarana dan prasarana pertanian, irigasi dan mengembangkan usahatani). Seorang pemimpin diharapkan memiliki visi dan misi yang jelas dan ditranparansikan ke petani, memiliki pemahaman local knowledge yang baik, mampu menggerakkan inspirasi kekolektifitasan antar petani dan terorganisir dengan baik, serta mentransmisi dan mendinamisasi persaingan sehingga menjadi energi kolektif kemajuan masyarakat setempat. Pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan tradisional merupakan salah satu usaha dalam program pembangunan pedesaan (yang salah satunya dengan partisipasi masyarakat lokal) untuk memperkuat jaringan perekonomian masyarakat petani (agar tidak hanya sekedar subsisten dan agar mampu berkelanjutan),
agar
dapat
mendorong
usaha
pertanian
petani
untuk
berproduktivitas tinggi, meninggalkan konsep pertanian primitif subsistensi dan menuju pertanian yang modern serta mampu memenuhi pasar komersial.
2.1.7. Kepemimpinan Informal Dalam Pembangunan Desa (Sosial Budaya) Pemimpin informal tidak menjadi pemimpin karena faktor legalitas, tapi terutama karena faktor ”legitimasi”. Artinya, walaupun tak ada kongres atau muktamar yang menetapkan demikian, tapi rakyat dan umat dengan spontan menerima dan memperlakukan yang bersangkutan sebagai pemimpin mereka.
26
Seorang menjadi, misalnya ”Temenggung”, bukan karena ketetapan sidang atau melalui pemilu. Tapi masyarakat mencium tangannya dengan hormat yang tulus. Padahal seorang temenggung ini tidak mengendarai kendaraan dinas dengan bunyi sirene yang melengking-lengking. Tidak pula diiringi ajudan, yang siap membawakan semua benda, dari tas sampai kaca mata atau korek api. Orang dapat berencana dan kemudian berusaha untuk menjadi seorang ”pemimpin formal”. Tapi tidak untuk menjadi seorang ”pemimpin informal”. Sebab seorang ”pemimpin informal” itu ditetapkan oleh masyarakat bukan dengan surat suara, tapi dengan kata hati. Ikatan antar mereka tidak diatur secara resmi, tapi lahir secara spontan karena ada rasa hormat dan cinta yang tidak dipaksapaksa. Sebagian besar rakyat dan umat adalah orang-orang yang sangat sederhana. Rendah tingkat pendidikan mereka. Polos penampilan mereka. Lurus ucapan bibir dan cara berfikir mereka. Tapi mereka punya kepekaan tersendiri, untuk mengenali siapa yang layak menjadi pemimpin mereka, dan siapa yang tidak. Sebagaimana dikemukakan Thoha (2001) bahwa seorang pemimpin apapun wujudnya,
dimanapun
letaknya
akan
selalu
mempunyai
beban
untuk
mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Pemimpin lebih banyak bekerja dibandingkan berbicara, lebih banyak memberikan contoh-contoh yang baik dalam kehidupannya, dibandingkan berbicara besar tanpa bukti dan lebih banyak berorientasi pada bawahan dan kepentingan umum dibandingkan kepentingan pribadi. Namun demikian dalam Kartono (2001) bahwa pemimpin informal atau tradisional dapat berpengaruh positif atau negatif dalam peranan sosialnya di tengah masyarakat. Status sosial itu pada umumnya dicapai karena faktor keturunan, kekayaan, taraf pendidikan, pengalaman hidup, kharismatik, maupun jasa-jasanya kepada masyarakat. Sehingga pemimpin informal atau tradisional cirinya adalah tidak memiliki penunjukan formal legitimitas sebagai pemimpin, masyarakat menunjuk dan mengakuinya sebagai pemimpinya, tidak mendapat dukungan dari organisasi formal, tidak dapat di mutasikan atau promosi atau tidak mempunyai atasan dan apabila melakukan kesalahan tidak dapat dihukum (hanya saja akan ditinggalkan kelompoknya).
27
Keberadaan kepemimpinan informal di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa tidak saja memberikan manfaat di bidang keagamaan dan tradisi belaka. Lebih dari itu, kehadiran kepemimpinan informal sebagai institusi yang bersifat terbuka sangat efektif pula sebagai pelaksana pembangunan desa. Lewat lembaga inipula berbagai komunikasi seputar pembangunan diterima masyarakat. Selama ini, Lembaga tradisional adalah merupakan pusat komunikasi dan informasi bagi masyarakat desa setempat dalam segala hal. Lewat Lembaga tradisional ini mereka dapat memperoleh berbagai informasi dan pula dapat menyampaikan informasi. Dalam forum seperti inilah masyarakat mendapatkan berbagai informasi yang mengalir deras, baik yang disampaikan oleh para tokoh mereka ataupun dari individu-individu yang saat itu berkumpul yang merupakan informasi yang didapat diluar komunitas, dan merekapun bisa mengutarakan segala uneg-uneg kepada pemimpinnya untuk disampaikan kepada pemerintah.
2.1.8. Beberapa Studi tentang Kepemimpinan Penelitian mengenai kepemimpinan pemerintahan desa bukanlah hal yang baru. Sebelumnya telah ada beberapa kajian/penelitian mengenai kepemimpinan pemerintahan desa. Pencantuman penelitian terdahulu ini bertujuan untuk memperlihatkan pada posisi penelitian yang akan dilakukan. Penelitian kepemimpinan disebut bidang retak tangan yang menentukan di masyarakat Jawa yakni negara-desa yang terpisah secara tradisional (Fagg dalam Nordholt, 1987). Ditambahkan oleh Fagg, dalam hubungan ini negara, keraton, merupakan pusat kekuasaan yang memancarkan pengaruhnya dalam ukuran yang semakin berkurang ke lingkaran paling jauh dari kerajaan sampai ke mancanegara. Menurut garis hirarki, dari “raja” sampai petani, pengaruh melalui banyak pejabat dalam rangkaian pemerintahan tersebut semakin menipis. Tetapi semua yang menganggap dirinya termasuk lingkungan negara, semua pejabat menganggap dirinya pemimpin. Dan setiap orang yang termasuk lingkungan desa dipandang sebagai pengikut. Beberapa penelitian lain yang bertitik tolak dari pemikiran Fagg adalah Nordholt (1987) yang mengaitkan antara pemimpin dan pengikut yang dapat memberi pandangan lebih luas tentang perkembangan yang terjadi di pedesaan
28
Jawa. Dalam kajiannya antara pemimpin dan pengikut apabila yang berkedudukan sosial lebih tinggi dalam sikap dan perkataannya dengan lebih jelas memperlihatkan bahwa dia adalah atasan, maka yang berkedudukan sosial lebih rendah itu akan merasa begitu tertekan dan terdesak, sehingga tak ada cara apapun yang dapat digunakan untuk menyatakan pendapatnya yang mungkin bersifat bertentangan. Karena atasan yang demikian itu sesungguhnya memang tidak mau tahu pendapat yang lebih baik. Tindakan semacam itu membuat setiap informasi dari bawah tertutup sama sekali. Dapat dibayangkan, apabila pemimpin itu sendiri berada dibawah tekanan untuk melaksanakan program-program dan proyek-proyek tertentu, maka ia akan memaksakan secara kasar pelaksanaan tersebut dengan menggunakan kata-kata yang bersifat intimidasi. Dengan cara demikian, ia yakin tidak akan di bantah. Sikap pemimpin semacam itu lebih mirip dengan menipu dirinya sendiri dan tidak ada hubungannya dengan each.....recognizes the other as valid, and legitimate within its own spere (Nordholt, 1987).
2.1.9. Partisipasi Dalam proses pembangunan, partisipasi masyarakat berfungsi sebagai masukan dan keluaran, artinya mulai dari penerimaan informasi, pemberian tanggapan terhadap informasi, perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan akhirmya penerimaan kembali hasil pembangunan. Sebagai masukan (input) pembangunan, partisipasi berfungsi untuk menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Sedangkan sebagai keluaran (output), partisipasi merupakan keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai upaya, seperti lomba desa, subsidi desa, dan sebagainya. Apabila partisipasi yang dilakukan itu meliputi semua tahap dalam proses pembangunan, maka disebut partisipasi prosesional. Sebaliknya bila dilakukan hanya pada tahap-tahap tertentu saja maka disebut sebagai partisipasi parsial (Ndraha, 1987). Partisipasi memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa. Partisipasi harus
29
diartikan bahwa setiap masyarakat harus ikutserta dalam setiap tahap pembangunan desa seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pembangunan. Dengan demikian masyarakat akan lebih terpanggil untuk ikut serta dan merasa bertanggung jawab dalam pembangunan desa untuk kepentingan bersama. Merujuk kepada tulisan Cohen dan Uphoff (dalam Nordholt, 1987) bahwa dalam pengertian partisipasi itu haruslah dibedakan antara dimensi ikutserta dalam pengambilan keputusan, dan dimensi ikutserta dalam tahap pelaksanaan. Untuk keadaan di Jawa dapat ditentukan bahwa dalam kedua dimensi tersebut terkandung pengertian tradisional. Dengan demikian pengertian musyawarah dapat dilihat sebagai suatu bentuk dimensi, pengambilan keputusan dan gotong royong, sebagai suatu bentuk dimensi tahap pelaksanaan. Dengan adanya partisipasi masyarakat maka keberhasilan pembangunan akan tercapai. Jika dicermati maka manfaat partisipasi bagi pemerintah diantaranya: (a) meningkatkan efesiensi pengadaan fasilitas, (b) mengurangi beban kelembagaan dan pembiayaan pemerintah; (c) masyarakat dapat berperan sebagai pelaksana pembangunan, (d) meningkatkan kepercayaan diri masyarakat. Sedangkan bagi masyarakat adalah: (a) dapat menikmati pembangunan yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya, (b) secara moral masyarakat merasa memiliki dan merupakan bagian dari pembangunan yang selanjutnya akan memelihara dengan suka rela. Menurut Cohen dan Uphoff (dalam Nordholt, 1987), partisipasi dalam pembangunan masyarakat pedesaan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana caranya, keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program dan keputusan dengan menyumbangkan beberapa sumber daya atau bekerjasama dalam organisasi kegiatan tertentu, bagian manfaat dari program pembangunan, dan/atau keterlibatan masyarakat dalam upaya evaluasi program. Oleh karena itu, partisipasi dilakukan dengan melihat keterlibatan para pihak dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pemeliharaan serta pemanfaatan hasil kegiatan.
30
Namun demikian dalam implementasinya, kegiatan yang partisipatif terkadang harus melalui proses yang panjang karena beberapa persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Conyers dalam Slamet (1993) menyatakan bahwa seringkali kegiatan partisipatif terkendala oleh tidak adanya keinginan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan tersebut. Menurut Ndraha (1982) partisipasi meliputi tiga hal, yaitu: 1) adanya keterlibatan mental dan emosional, 2) adanya kesediaan untuk memberikan sumbangan dalam pembangunan, 3) adanya kesediaan untuk bertanggung jawab. Partisipasi masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan dan mutlak diperlukan untuk keberhasilan pembangunan. Dalam hal ini Mubyarto (1988) menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dimulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pemanfaatan hasil-hasil pembangunan mutlak diperlukan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa tanpa partisipasi masyarakat setiap proyek pembangunan harus dinilai tidak berhasil. Partisipasi
masyarakat
dalam
proses
pembangunan
dimulai
dari
perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan monitoring dan evaluasi mencerminkan upaya mewujudkan kemandirian daerah yang transparan dan akuntabel antara komponen pemerintah, masyarakat, yang dilandasi aturan kebijakan untuk berpartisipasi sesuai proporsi dan kompetensi yang dimiliki secara terukur dan berkelanjutan. Kondisi ini dapat berlangsung dengan mengedepankan prinsipprinsip dasar pemerintahan yang baik (good governance), yaitu: 1) partisipatif; 2) tranparansi; 3) akuntabilitas. Partisipatif dalam proses pembangunan diantaranya melalui berbagai program kebijakan pembangunan dimaksudkan agar dapat menjembatani antara aspirasi dan kebutuhan masyarakat di pedesaan. Selain itu, makna partisipatif juga diharapkan dapat menggugah kesadaran publik bahwa terjadinya keberhasilan maupun kegagalan proses pembangunan di pedesaan bukan tanggung jawab pemerintah semata, melainkan sangat bergantung pada keberhasilan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan tersebut, dari awal hingga akhir, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa unsur penting dalam partisipasi yaitu:
31
1. Dalam partisipasi terdapat unsur keterlibatan mental dan emosional dari individu yang berpartisipasi. 2. Dalam partisipasi terdapat unsur kesediaan secara sukarela untuk memberikan kontribusi atau sumbangan untuk mencapai tujuan bersama. 3. Partisipasi diikuti adanya rasa tanggung jawab terhadap kegiatan yang dilakukan dalam usaha mencapai tujuan bersama. 4. Partisipasi ditentukan oleh keterlibatan masyarakat untuk menentukan segala sesuatunya sendiri, bukan ditentukan oleh pihak lain.
2.2. Kerangka Pemikiran Prinsip penyelenggaraan pemerintah adalah efisiensi, transparasi dan demokrasi. Sebuah mekanisme kontrol diperlukan agar mandat yang diberikan kepada pejabat pemerintah, yang berasal dari rakyat, dapat diselenggarakan dengan sesungguhnya. Sejalan dengan RPJM Nasional 2005 – 2009, sasaran pokok pembangunan daerah perbatasan dan daerah tertinggal sebagai fokus dan prioritas pembangunan adalah untuk menciptakan kondisi ekonomi rakyat di pedesaan yang kukuh, tercapainya keterkaitan perekonomian di pedesaan dan terwujudnya masyarakat perdesaan
yang
sejahtera.
Sedangkan
dalam
perspektif
kelembagaan,
pembangunan desa ditujukan untuk semakin berfungsinya lembaga pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan desa untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan pembangunan pedesaan, terjaminnya kepastian hukum bagi masyarakat pedesaan yang sesuai dengan tradisi dan adat istiadat setempat. Kebijakan program pembangunan desa, menitikberatkan pada aspek partisipasi masyarakat, respon terhadap program pembangunan dan aspek keberlanjutan program bagi masyarakat desa ditengah keberagaman kemampuan dan kepentingan masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sangat terbatas akan mewujudkan pengembangan program pembangunan yang tidak melahirkan kelompok terpinggirkan baru, maka dalam upaya menyukseskan pelaksanaan pembangunan diperlukan adanya partisipasi aktif dari masyarakat. Selain itu dalam pelaksanaan pembangunan desa diharapkan partisipasi aktif masyarakat
32
untuk mengidentifikasi berbagai masalah pembangunan desa yang dihadapi dengan alternatif pemecahannya yang secara utuh dilaksanakan oleh masyarakat. Pemerintahan desa dalam menjalankan fungsi pembangunan tidak terlepas dari ikatan-ikatan norma atau aturan yang berlaku, tata kelakuan atau pola hubungan antara pemerintahan desa dengan masyarakat dalam membangun kerjasama merupakan bagian dari kelembagaan dengan ciri diketahui, dipahami, ditaati dan dihargai. Norma atau aturan tersebut ditaati sejalan dengan perilaku yang memenuhi kebutuhan masyarakat serta telah mendarah daging. Sehingga kepemimpinan memiliki peranan sebagai pedoman dalam berinteraksi. Dalam situasi dan kondisi bagaimana pun, jika seseorang berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka aktivitas seperti itu telah melibatkannya ke dalam aktivitas kepemimpinan. Jika kepemimpinan tersebut terjadi dalam suatu kelembagaan tertentu dan seseorang berupaya agar tujuan kelembagaan tercapai, maka
orang
tersebut
perlu
memikirkan
type
kepemimpinannya.
Type
kepemimpinan dapat dianggap sebagai “modalitas” dalam kepemimpinan, dalam arti sebagai cara-cara yang disenangi dan digunakan oleh seseorang sebagai wahana untuk menjalankan kepemimpinannya. Berdasarkan dari beberapa type kepemimpinan yang ada, penelitian ini akan mengevaluasi type kepemimpinan demokratis. Kepemimpinan demokratis dimana aspek
pengambilan
dilakukan
secara
bersama-sama
dengan
konstituen
(masyarakat). Tipe kepimpinan demokratis memiliki kelebihan dalam hal pengambilan keputusan yang lebih cermat/teliti namun lamban dalam mengambil keputusan karena harus melibatkan dan mempertimbangkan pendapat orang banyak. Seorang pemimpin berfungsi untuk memastikan seluruh tugas dan kewajiban dilaksanakan di dalam suatu organisasi. Fungsi kepemimpinan adalah : 1) pemimpin sebagai penentu arah, 2) pemimpin sebagai wakil dan juru bicara organisasi, 3) pemimpin sebagai komunikator yang aktif, 4) pemimpin sebagai mediator, 5) pemimpin sebagai integrator (Sondang dalam Nawawi, 2003). Seseorang yang secara resmi diangkat menjadi pemimpin dalam suatu kelembagaan/organisasi bisa saja ia berfungsi atau mungkin tidak berfungsi sebagai
pemimpin.
Tidak
semua
pemimpin
dapat
mencapai
tujuan
33
kelembagaan/organisasi. Sebagai pemimpin malah membawa kemunduran untuk sebuah kelembagaan/organisasi yang dipimpinnya. Artinya seorang pemimpin itu seseorang yang unik dan tidak diwariskan secara
otomatis tetapi seorang
pemimpin haruslah memiliki karekteristik tertentu yang timbul pada situasi-situasi yang
berbeda.
Keberadaan
fungsi-fungsi
kepemimpinan
sebagaimana
dikemukakan di atas merupakan kekuatan dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat, khususnya partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan. Pembangunan merupakan proses yang membutuhkan peran kepemimpinan dan partisipasi masyarakat. Kepemimpinan dan partisipasi merupakan dua elemen yang memiliki keterkaitan yang erat. Kepemimpinan yang tidak mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat tidak akan membawa proses pembangunan mencapai hasil secara maksimal. Demikian juga sebaliknya, partisipasi masyarakat akan minim dalam proses pelaksanaan pembangunan tanpa adanya peran kepemimpinan. Kepemimpinan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota masyarakat yang membuat orang saling mendukung dan bisa menghasilkan sesuatu karena ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya yang didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta kemauan yang kuat untuk mentaati aturan. Tidak ada manusia atau institusi yang bisa hidup tanpa interaksi dengan masyarakat atau institusi lain yang saling mengikat. Menurut Kartasasmita (1997), kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal: 1). pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi estrem dirasakan merugikan. 2). pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut. 3). pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut. 4).
pembangunan
dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan. Hal-hal yang digambarkan di atas diduga ada empat kemungkinan interaksi antara
34
kepemimpinan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa secara skematis dapat dilihat pada (gambar 1) Partisipasi
Y II Kurang baik (lemah) III Kegagalan kepemimpinan
I Ideal (kerjasama) IV Kepemimpinan Sangat dominan
X Kepemimpinan
Gambar 1. Alur Pikir Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat dalam pembangunan desa
Dari gambar diatas dapat diuraikan bahwa pada garis vertikal terdapat sumbu Y yang menjelaskan arah partisipasi yang semakin tinggi, sementara garis vertikal pada sumbu Y yang mengarah ke bawah menjelaskan partisipasi masih lemah. Pada garis horizontal terdapat sumbu X yang menjelaskan tipe kepemimpinan pemerintahan desa yang semakin mengarah pada type demokratis, sedangkan sumbu X arah ke kiri menjelaskan kepemimpinan pemerintahan desa pada type masih otoriter sementara partisipasi baru tumbuh sampai pada pelaksanaan maka interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa belum mampu mendorong pembangunan. Untuk menyamakan persepsi dalam memahami alur pemikiran kiranya perlu dijelaskan beberapa hal : Kemumgkinan
I
menggambarkan
kondisi
“ideal”.
Kepemimpinan
pemerintah desa bekerja dengan baik karena adanya partisipasi masyarakat dalam bekerjasama secara sinergis melaksanakan pembangunan. Baik kepemimpinan maupun masyarakat desa telah melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing sesuai porsi. Dengan demikian kepemimpinan pemerintahan desa secara efektif dapat melaksanakan pembangunan bersama seluruh masyarakat.
35
Kemungkinan II menggambarkan kondisi kepemimpinan dan partisipasi masyarakat yang “kurang baik” dalam melaksanakan pembangunan. Hal ini karena kepemimpinan yang ada kurang dapat mendorong partisipasi atau bekerjasama dengan masyarakat desa dalam pembangunan. Secara umum, baik kepemimpinan desa maupun masyarakat desa sudah mempunyai tugas dan kewajiban masing-masing. Akan tetapi masyarakat desa dalam bekerja seringkali melampaui kewenangan kepemimpinan pemerintahan desa. Masyarakat desa turut melibatkan diri dalam urusan administrasi pemerintahan yang telah menjadi tugas wewenang aparat desa. Pada satu sisi campur tangan masyarakat desa dalam urusan administrasi pemerintahan cukup mengganggu kinerja pemerintah desa. Namun disisi lain kepemimpinan pemerintahan desa berhasil mengelola fungsifungsi pemerintahan sehingga kelembagaan pemerintahan desa dapat efektif dalam melaksanakan pembangunan di desa. Kemungkinan III menggambarkan kondisi “kegagalan kepemimpinan” pemerintahan
desa
dalam
menyelenggarakan
roda
pemerintahan.
Baik
kepemimpinan desa maupun masyarakat desa telah gagal melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajiban masing-masing. Kegagalan kelembagaan pemerintahan desa ini memiliki tiga karakter dalam proses sosialnya: 1) Pemerintahan desa dalam pelaksanaan pembangunan desa sudah keluar dari aturan yang seharusnya, sehingga ketegangan kerap kali muncul dalam tubuh pemerintahan desa karena masing-masing pihak mengedepankan egoisme dan kepentingan pribadi atau kelompoknya; 2) Pemerintahan desa dominan dalam pelaksanaan pembangunan desa, sehingga ketegangan muncul manakala salah satu pihak menyalahkan dan menuntut kepada pihak lain agar melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajibannya secara transfaran, meskipun secara riil pihak yang menuntut juga tidak mampu melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajibannya secara transfaran. Kemungkinan IV menggambarkan meskipun kepemimpinan pemerintahan desa bekerjasama dengan masyarakat hampir dalam banyak urusan pemerintahan namun partisipasi masyarakat lemah sehingga kepemimpinan pemerintahan desa sangat dominan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajiban. Dengan demikian pelaksanaan pemerintahan desa tidak dapat menghasilkan pelayanan yang ekonomis, efektif, dan akuntabel kepada masyarakat.