II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN 2.1. Konsep Wilayah dan Kawasan Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional (Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992). Sedangkan menurut Glasson (diacu dalam Kasikoen 2005) wilayah merupakan area kontinue yang terletak antara tingkat lokal dan tingkat nasional. Dinyatakan pula, pendefinisian wilayah itu sendiri
bergantung pada tujuan
analisis atau tujuan perumusan kebijakan pembangunan wilayah yang akan disusun. Rustiadi et al. (2005) mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (subwilayah) satu sama lain berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningful” untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubahubah). Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey 1977 dalam Rustiadi et al. 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu : (1) wilayah homogen (uniform/ homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Konsep
homogenitas,
menetapkan
wilayah
berdasarkan
beberapa
persamaan unsur, baik aspek fisik, sosial maupun ekonomi (Anwar 2005). Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artificial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artificial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu
10
yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artificial adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan yang antara lain dalam bentuk peta kemiskinan (Rustiadi et al. 2005). Konsep nodal menetapkan wilayah berdasarkan perbedaan struktur tata ruang, dimana terdapat sifat ketergantungan secara fungsional, misal antara wilayah pusat (inti) yang biasanya kawasan perkotaan dengan wilayah belakang yang biasanya kawasan perdesaan. Hubungan secara fungsional ini bisa berupa : arus mobilitas penduduk, barang dan jasa, maupun komunikasi dan transportasi. Dalam satu unit wilayah bisa terdapat struktur tata ruang yang bertingkat (hirarki), hirarki tertinggi (orde satu) berupa kota metropolitan, kemudian kota besar, kota kecil sampai perdesaan dengan tingkat orde yang lebih rendah (Anwar 2005). Konsep ketiga adalah batas wilayah administrasi seperti propinsi, kabupaten atau kecamatan. Perencanaan pembangunan wilayah yang banyak dilakukan adalah berdasar batas wilayah administratif, walaupun berdasar batas fungsional seperti konsep nodal, sering kali menemui hambatan karena pertimbangan-pertimbangan politis. Untuk itu bentuk perencanaan pembangunan wilayah yang seimbang baik antar maupun intra wilayah, sangat mendukung keberhasilan pembangunan wilayah yang berdimensi ruang (Anwar 2005). Di Indonesia, berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti “wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”, “area”, “ruang” dan istilah-istilah sejenis, banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbedabeda. Secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah, semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Penggunaan istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, pengertian “kawasan” adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Karena itu definisi konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponenkomponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional.
11
2.2. Disparitas Regional Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusatpusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayahwilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive backwash effect) (Anwar 2001). Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang signifikan misalnya antara wilayah desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non Jawa dan sebagainya. Menurut Murty (2000), secara terperinci terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah baik yang bersifat alamiah atau fisik maupun struktural akibat dari faktor-faktor utama ini antara lain mencakup : (1) geografis; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi; (6) sosial; dan (7) ekonomi. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan. Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah (Rustiadi 2001). Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumber daya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang mampu memperlemah perkembangan kota ini dapat dilihat di kota-kota besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan dan sebagainya. Perkembangan perkotaan pada akhirnya sarat dengan permasalahan-permasalah sosial, lingkungan dan ekonomi yang makin kompleks dan rumit untuk diatasi (Rustiadi 2001).
12
Di Indonesia, wujud disparitas juga dalam bentuk urban bias dan pro Jawa. Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), kebijakan yang urban bias dimaksudkan sebagai kebijakan yang lebih menguntungkan kawasan perkotaan dan memperlemah posisi bargaining wilayah perdesaan. Di dalam alokasi sumber daya, bias ini tercermin dalam kepincangan pembangunan antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan, yang mana secara ekonomi keseluruhan menjadi tidak efisien. Pembuktian adanya pro urban dan pro Java di Indonesia di antaranya dilakukan oleh Garcia (2000) dengan menggambarkan kebijakan pemerintah pada masa orde baru berdasarkan data tahun 1993 dan 1995. Dinyatakan bahwa pada masa orde baru, intervensi pemerintah ditunjukkan dengan memproteksi industri 10 (sepuluh) kali lebih banyak dibanding proteksi pertanian dan kehutanan, dan telah menetapkan pajak terhadap minyak, gas dan sektor pertambangan. Pulau Jawa mempunyai ratio tenaga kerja terhadap luas lahan yang besar dan memproduksi sebagian besar output dari sektor industri di Indonesia, sedang pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur, rasio tenaga kerja terhadap luas lahan relatif kecil, tetapi mempunyai sumber daya alam besar dan memproduksi output terbesar dari sektor sumber daya alam. la menyimpulkan bahwa pemerintah orde baru lebih berpihak pada penduduk perkotaan daripada penduduk perdesaan, dan pada kegiatan industri daripada sektor-sektor primer, dan pada Pulau Jawa daripada Bali, Sumatera dan Indonesia Timur Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), masalah kemiskinan adalah ciri dan pemandangan yang umum sebagian besar penduduk perdesaan. Sedang menurut Lipton (1977) secara umum terjadi misalokasi sumberdaya antara perkotaan dan perdesaan (urban bias). Lipton bahkan menggambarkan adanya kesepakatan umum di antara para pengambil kebijakan bahwa pembangunan berarti pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, investasi dipusatkan untuk industri yang dianggap lebih menguntungkan dan mengabaikan fakta bahwa mayoritas penduduk berada di perdesaan.
13
Terdapat
tiga
karakteristik
penting
dari
kebijakan
yang
bias
perkotaan/urban bias, yaitu : -
menitikberatkan pada pasar dan pertumbuhan ekonomi
-
memprioritaskan industri lebih besar daripada pertanian
-
alokasi sumberdaya lebih besar ke masyarakat kota daripada ke desa Dari hasil penelitian dan pernyataan di atas, terlihat bahwa kebijakan yang
bias perkotaan tersebut lebih menekankan pada kegiatan perekonomian di wilayah perkotaan. Kurangnya kegiatan perekonomian di wilayah perdesaan mengurangi sumber pendapatan penduduk perdesaan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya penduduk desa akan menuju wilayah perkotaan, terjadi keterkaitan perkotaan - perdesaan. Melihat kondisi yang demikian dan dampak negatifnya terhadap perkembangan wilayah perdesaan dan perkotaan serta pertumbuhan perekonomian nasional secara agregat, maka dirasa perlu untuk mengurangi disparitas antar wilayah dengan mulai berupaya untuk meningkatkan pembangunan wilayah perdesaan agar tercapai pembangunan wilayah yang berimbang. Menurut Murty (2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari berbagai wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama atau mempunyai tingkat industri yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat.
2.3.
Pengembangan Wilayah Dalam banyak hal, istilah pembangunan dan pengembangan banyak
digunakan dalam hal yang sama, yang dalam Bahasa Inggrisnya adalah development,
sehingga
untuk
berbagai
hal,
istilah
pembangunan
dan
14
pengembangan wilayah dapat saling dipertukarkan, namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung untuk menggunakan secara khusus istilah pengembangan wilayah/kawasan dibandingkan pembangunan wilayah/kawasan untuk istilah regional development. Secara umum istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan dan lokalitas (Rustiadi et al. 2005). Pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari nol, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki sama sekali) namun perlu ditingkatkan kapasitasnya (Rustiadi et al. 2005). Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Dengan perkataan lain proses pengembangan merupakan proses memanusiakan manusia. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (effeciency), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) dalam memberi panduan kepada alokasi sumber daya (semua kapital yang berkaitan dengan natural, human, man-made maupun social) baik pada tingkatan nasional, regional maupun lokal, yang sering memerlukan sumber daya dari luar, seperti barang-barang modal untuk diinvestasikan guna mengembangkan infrastruktur ekonomi, sosial dan lingkungan (Anwar 2005).
2.4.
Titik
Pertumbuhan
(Growth
Point)
dan
Kutub
Pertumbuhan
(Growth Pole) Konsep titik pertumbuhan (growth point concept) berawal dari adanya pemikiran keuntungan-keuntungan aglomerasi, yaitu konsentrasi produksi yang lebih efisien daripada terpencar-pencar.
15
Pemikiran terjadinya titik pertumbuhan adalah karena kegiatan ekonomi cenderung beraglomerasi di sekitar sejumlah titik fokus. Dalam suatu wilayah, arus polarisasi akan bergravitasi ke arah titik-titik fokus tersebut, yang dapat merupakan pusat kontrol atau pusat dominan dalam wilayah tersebut. Dari arus pergerakan akan dapat ditentukan garis perbatasan penurunan arus sampai pada titik minimum. Pusat tersebut dinamakan titik pertumbuhan, sedangkan di dalam garis perbatasan adalah wilayah pengaruhnya atau wilayah pertumbuhan. (Adisasmita 2005) Berdasarkan penjelasan di atas, titik pertumbuhan tersebut dapat merupakan suatu kota (kota kecil atau menengah), sedang wilayah pengaruhnya adalah perdesaan di sekitarnya. Kepadatan arus menunjukkan adanya keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan di sekitarnya. Perkembangan modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal dari karya ahli-ahli teori ekonomi wilayah, dan yang paling menonjol adalah Francois Perroux. la telah mengembangkan konsep kutub pertumbuhan (growth pole) pada tahun 1955 (dikenal sebagai pole de croissance) dan menunjukkan bahwa pembangunan ditimbulkan oleh suatu konsentrasi (aglomerasi) tertentu bagi kegiatan ekonomi dalam suatu ruang yang abstrak (Miyoshi 1997). Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri, adalah bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak,
pertumbuhan
itu
terjadi
pada
titik-titik
atau
kutub-kutub
perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah, perkembangan itu menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka-ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Glasson 1976, diacu dalam Kasikoen, 2005). Sementara berbagai perhatian diberikan oleh akademisi terhadap konsep growth pole tersebut, praktisi menerapkan konsep ini menjadi suatu strategi growth pole dan secara bersemangat dipertimbangkan dan diterapkan pada negara-negara maju dan negara sedang berkembang di tahun 1960an (Miyoshi, 1997), seperti dinyatakan oleh Friedmann (1966) : “pola pembangunan wilayah di USA seyogyanya diterapkan di semua negara sedang
16
berkembang". Kesimpulan ini diperoleh dari suatu sintesa beberapa studi empiris mengenai pembangunan wilayah di USA, seperti juga dikatakan oleh Schultz (1951), North (1955) dan Perloff (1960) dan Miyoshi (1997). Schultz (1951) menetapkan "hipotesa tentang kelambatan" dimana pembangunan ekonomi akan terjadi pada pusat pertumbuhan industri-kota (industrial-urban growth centers) dengan kegiatan manufacturing dan ini membutuhkan penyerapan kegiatan pertanian di periphery-nya. Dari pernyataan tersebut jelaslah konsep growth pole telah diikuti oleh berbagai negara, utamanya negara sedang berkembang sebagai strategi pembangunannya. Sebagai suatu negara yang sedang berkembang, dan perencanaan pembangunan negaranya berkiblat pada Negara Amerika Serikat, maka Indonesia juga menganut strategi growth pole dalam melaksanakan kebijakan tata ruangnya. Meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit, tetapi bukti yang menunjukkan Indonesia menganut konsep kutub pertumbuhan (growth pole) dapat dilihat dari banyaknya kota-kota primat di Indonesia yang mendasari terwujudnya konsep kutub pertumbuhan dalam ruang. Kota-kota primat tersebut antara lain Jakarta, Surabaya, Medan, dan lain lain. (Desmond 1971, Yeung & Lo 1976, Mills 1994, Gilbert & Gugler 1996, Henderson dan Kuncoro 1996, diacu dalam Kasikoen 2005). Strategi growth pole pada akhirnya membawa dampak terjadinya disparitas wilayah dan kemiskinan di perdesaan. Hal ini sejalan pernyataan Anwar (2001) bahwa pembangunan ekonomi dalam kurun waktu 20 tahun ke belakang, telah mendahulukan pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan spatial (keruangan) yang dilakukan dalam konsep kutub pertumbuhan (growth pole). Konsep ini semula diramalkan akan terjadi penetesan (trickle down effect) dari kutub-kutub pertumbuhan tersebut ke daerah belakangnya (hinterland), tetapi kerangka berfikir tersebut ternyata menimbulkan net-effect yang mengarah kepada pengurasan besar-besaran (massive backwash effect) dari wilayah belakang perdesaan ke pusat pertumbuhan di kota-kota besar.
17
2.5. Interaksi dan Keterkaitan Wilayah Setiap bagian wilayah mempunyai faktor endowment yang khas dalam bentuk sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk dalam wilayah tersebut sering harus memenuhinya dari wilayah lain, oleh karena itu penduduk harus melakukan perjalanan ke wilayah lain sehingga membentuk hubungan antar wilayah. Hubungan atau kontak ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan (demand) dan penawaran (supply). Hubungan antar wilayah dapat disebut sebagai keterkaitan (linkages) antar wilayah. Kontak atau hubungan antar wilayah tersebut dapat juga diartikan sebagai interaksi. Secara harfiah interaksi dapat diartikan sebagai hal yang saling mempengaruhi. Proses-proses interaksi dibentuk oleh keterkaitanketerkaitan (linkages) di antara permukiman. Itu berarti penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan dan kampung-kampung kecil memperoleh akses ke pelayanan, fasilitas, infrastruktur dan kegiatan ekonomi yang berlokasi di kota-kota kecil dan kota-kota besar. Melalui keterkaitan-keterkaitan ini penduduk desa menerima banyak input yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan pasar barang yang mereka produksi (Rondinelli 1985). Berpijak adanya pemenuhan kebutuhan hidup dan disparitas wilayah seperti yang tergambar di atas, maka akan terjadi hubungan timbal balik antar wilayah yang dapat disebut keterkaitan antar wilayah. Wilayah itu sendiri dapat merupakan wilayah perkotaan maupun wilayah perdesaan. Keterkaitan
antar
wilayah
sebagai
akibat
ketimpangan
dan
kemiskinan. la juga menjelaskan terdapat tiga hubungan dualistik dalam keterkaitan antar wilayah, yaitu (Fu 1981, diacu dalam Kasikoen 2005): (1)
Utara-selatan, menggambarkan keterkaitan antar wilayah dalam suatu negara yang menggambarkan dua kutub
(2)
Perkotaan-perdesaan, menggambarkan keterkaitan intra wilayah
(3) Formal-informal, menggambarkan keterkaitan antar wilayah yang menekankan pada kegiatannya
18
Ketiga hubungan dualistik tersebut dihubungkan dan diintegrasikan dalam suatu tingkah laku yang kompleks, yang berbeda antara satu negara dengan negara lain yang bergantung pada empat faktor dominan dan sejarah masing-masing negara. Keempat faktor dominan tersebut adalah : (1) resource endowment : pertanian, mineral dan sumber daya alam lainnya; (2)
karakteristik demografi : kepadatan penduduk, tingkat pertumbuhan dan tingkat urbanisasi
(3)
teknologi : tipe-tipe teknologi yang diadopsi dan pembangunan modal sumberdaya manusia; dan
(4)
development ideology: ideologi dalam pembangunan negaranya. Keterkaitan antar wilayah tidak dapat terjalin bila tidak didukung
prasarana dan sarana penghubung antar kedua wilayah yang saling berinteraksi. Dukungan tersebut dapat merupakan prasarana dan sarana transportasi, dapat pula dalam bentuk lain. Oleh karena itu keterkaitan (linkages) antar wilayah adalah bentukan dari proses interaksi antar wilayah yang diakibatkan adanya hubungan supply-demand, yang didukung oleh kemudahan perhubungan antara keduanya, serta dapat menguntungkan, merugikan maupun saling mendukung salah satu maupun kedua wilayah yang berinteraksi tersebut. Menurut Pradhan (2003) keterkaitan perkotaan-perdesaan meliputi tiga elemen penting, yaitu wilayah perkotaan, wilayah perdesaan dan hubungan keterkaitan tersebut. Wilayah perdesaan merupakan tempat dihasilkannya bahan mentah, produksi pertanian, kerajinan tangan, tenaga kerja dan modal, sedang wilayah perkotaan merupakan tempat produksi barang, pelayanan, teknologi, ide-ide dan tersedianya pekerjaan. Untuk menghubungkan wilayah perkotaan dan perdesaan tersedia jaringan jalan dan transportasi serta sistem kelembagaan. Dari gambaran keterkaitan antar wilayah dalam pembangunan spasial yang diberikan oleh Rondinelli maupun Pradhan yang terdiri atas berbagai jenis, pada dasarnya keterkaitan antar wilayah dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) jenis keterkaitan, yaitu keterkaitan fisik, ekonomi, sosial dan kelembagaan serta
19
teknologi. Keterkaitan fisik, merupakan gambaran hubungan fisik antar wilayah perkotaan-perdesaan. Keterkaitan ekonomi memberi gambaran hubungan ekonomi, sedang keterkaitan sosial dan kelembagaan memberikan gambaran hubungan
sosial dan
kelembagan
antar
wilayah
perkotaan-perdesaan.
Keterkaitan teknologi memberi gambaran hubungan teknologi antar wilayah perkotaan-perdesaan.
2.6. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sebagai upaya pengembangan Kawasan Indonesia Timur dalam rangka mengejar ketertinggalannya terhadap Kawasan Indonesia Barat, pemerintah telah memberikan perhatian terhadap Kawasan Indonesia Timur yang secara formalpolitis dimulai saat frase ”pembangunan Kawasan Indonesia Timur” dicantumkan pada GBHN Tahun 1993. Kemudian hal ini segera diikuti dengan pembentukan Dewan Pengembangan KTI. Pada Tahun 1996, Kapet (kawasan pengembangan ekonomi terpadu) diperkenalkan menjadi model perencanaan pembangunan di Kawasan Indonesia Timur oleh dewan tersebut . Model ini mengadopsi konsep growth centers (growth pole), yaitu menciptakan dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan, berupa satu kawasan andalan prioritas mewakili masing-masing propinsi. Kawasan ini didukung oleh kegiatan sektor/komoditi unggulan, yang berupa potensi sumber daya lokal, yang diharapkan menjadi prime mover pengembangan propinsi yang bersangkutan (Prasetya dan Hadi 2000). Praktek pengembangan wilayah melalui konsep growth centers dibanyak negara banyak mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalan tersebut adalah melupakan kekuatan industrial-linkages yang mestinya dibangun jauh-jauh hari, baik dalam proses penambahan nilai, keterkaitan produk (industrial tree), maupun keterkaitan lokasi (spesialisasi aktivitas ekonomi). Termasuk dalam kelemahan linkages
ini adalah ketiadaan konsep operasional yang kongkrit bagaimana
masyarakat bawah dilibatkan dan diangkat kehidupannya dalam pengembangan Kapet yang sebagian besar berbasis agroindustri dan agribisnis tersebut. Dengan dipertanyakan keterkaitan ini, maka trickle down effect yang dijadikan harapan
20
saat diberlakukannya konsep growth centers ini menjadi menipis (Kasikoen 2005). Menurut Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996, kemudian disempurnakan oleh Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah
dengan
Keputusan
Presiden
Republik
Indonesia
Nomor
150
Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14 lokasi Kapet. Pengertian Kapet adalah suatu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : a.
Memiliki potensi untuk cepat tumbuh, dan atau
b.
Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya
c.
Memerlukan dana investasi yang besar bagi pengembangannya. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten
Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima. Secara geografis Kapet Bima memiliki pospek yang cukup besar baik nasional, regional maupun internasional. Secara nasional ujung timur Kapet Bima yaitu Pelabuhan Laut Sape merupakan daerah paling timur yang dapat dilalui transportasi darat dari dan keseluruhan Kawasan Indonesia Barat, sehingga Pelabuhan Laut Sape dapat dijadikan sebagai pelabuhan bongkar muat barang dari kawasan Sulawesi, NTT, Maluku dan Irian Jaya serta wilayah perairan Indonesia bagian barat atau sebaliknya. Posisi Kapet Bima lebih membuka peluang memperpendek jalur arus barang/jasa lewat laut ke Australia dan kawasan Pasifik. Hubungan udara melalui Bandara M. Salahuddin Bima sudah dapat membuka hubungan dengan wilayah lain di Indonesia dan untuk hubungan Internasional yang terdekat adalah Bandar Udara Ngurah Rai Bali yang dapat ditempuh dalam satu jam penerbangan dari Bandar Udara Salahuddin Bima, sedangkan lewat darat ditempuh dalam 24 jam (BP Kapet Bima dan BPPT 2000). Di sisi lain Kapet Bima termasuk dalam posisi jalan wisata segi tiga emas yaitu di sebelah utara Tanah Toraja, sebelah Timur Pulau Komodo dan sebelah barat Pulau Bali. Dalam hal ini Kapet Bima telah menunjukkan peranannya sebagai jalan masuk wisatawan mancanagera ke Pulau Komodo, sehingga
21
memungkinkan pembangunan fasilitas akomodasi di wilayah Kapet Bima yang memudahkan wisatawan mengunjungi Pulau Komodo, karena di Pulau Komodo sendiri tidak boleh dibangun fasilitas akomodasi (BP Kapet Bima dan BPPT 2000). Potensi sumber daya alam pada ketiga Kabupaten tersebut dikembangkan
secara
optimal.
Oleh
Pengembangan dengan menciptakan
karena
itu
diperlukan
belum Kawasan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang
mengacu pada pemberdayaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan, sehingga tercipta pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup dan bermuara pada kesejahteraan dan kenyamanan hidup rakyat yang berada di kawasan tersebut (BP Kapet Bima dan BPPT 2000). Atas
dasar
pertimbangan
tersebut
di
atas
agar
operasional
pengembangannya tepat arah dan tindakan maka telah disusun Rencana Induk Pengembangan KAPET Bima yang intinya memuat struktur dan arahan pola pengembangan kawasan, sehingga tercipta kondisi-kondisi sebagai berikut (BP Kapet dan BPPT 2000) : a. Meningkatnya pertumbuhan dan memperluas pengembangan sektor-sektor unggulan sebagai motor penggerak ekonomi (prime mover) kawasan. b. Meningkatnya keterpaduan operasional pembangunan oleh instansi, sektor dan daerah serta dunia usaha (swasta) dalam rangka mencapai laju perkembangan ekonomi setinggi-tingginya yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya setempat. c. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi, berkurangnya kesenjangan sosial ekonomi antar kawasan dan antar masyarakat yang ada dalam kawasan. d. Meningkatnya efisiensi dan efektifitas investasi pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan kawasan. e. Terumuskannya keterpaduan program investasi antar Public Services dan Private Investment sekaligus merumuskan kemungkinan terlaksananya program kegiatan tersebut. f.
Terumuskannya pola-pola insentif di kawasan dengan memperhatikan berbagai kebijaksanaan yang berlaku terutama yang berkaitan dengan regulasi
22
dibidang pertanian, industri, pertambangan, perikanan dan kelembagaan sehingga dapat menunjang dan mendukung efektifitas dan efisiensi investasi g. Terumuskannya pola promosi untuk berbagai peluang investasi yang akan dikembangkan. Berbagai sektor ekonomi yang ada di Kapet Bima merupakan potensi untuk dikembangkan, seperti pada sektor pertanian, perikanan dan peternakan, kehutanan, pertambangan dan sektor pariwisata. Sementara pada sektor industri, yakni kegiatan industri rumah tangga, tambak garam dan bahan makanan sebagai sumber mata pencaharian penduduk lokal yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Pengembangan berbagai sektor ekonomi di atas masih diusahakan secara lokal, tradisional dan belum optimal, belum berkembangnya industri pengolahan sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku).serta tidak didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata (BP Kapet Bima 2004).
2.7. Penelitian Terdahulu Kawasan Indonesia Timur memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar seperti sumber daya hutan, sumber daya perikanan laut dan sumber daya mineral. Dengan kebijaksanaan yang sentralistik, Kawasan Indonesia Timur telah mengalami banyak kebocoran regional dari pemanfaatan sumber daya alamnya. Investasi di Indonesia dalam bentuk eksploitasi SDA tersebut banyak bersifat rural enclave yang sebagian besar manfaat (nilai tambah) dibawa keluar wilayah Indonesia Timur (Hadi 2001). Dalam perjalanan waktu, titik berat pembangunan Indonesia diarahkan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Karena pendekatan pembangunan yang terlalu berorientasi kepada pertumbuhan, ternyata memberikan penekanan pada pembangunan sektoral yang relatif parsial dalam perencanaan maupun pelaksanaannya, sehingga berimplikasi pada pembangunan yang relatif tidak terpadu dan komprehensip serta menimbulkan disparitas dan keterbelakangan di Kawasan Indonesia Timur. Untuk memudahkan dalam memacu pengembangan kawasan-kawasan di Indonesia Timur ini diperlukan sektor-sektor unggulan yang dimiliki kawasan tersebut. Untuk itu berbagai komoditas unggulan yang dimaksud
23
adalah komoditas yang mampu mendorong kegiatan ekonomi, baik di kawasan andalan itu sendiri (Kapet) berupa diversifikasi kegiatan ekonomi maupun kegiatan-kegiatan di daerah belakangnya (Bakry 1999). Pemerintah Daerah Propinsi Maluku menetapkan Pulau Seram sebagai salah
satu
Kawasan
Pengembangan
Ekonomi
Terpadu
(Kapet)
yang
dikembangkan secara nasional. Hal ini terutama disebabkan oleh kawasan tersebut mengandung potensi perikanan, perkebunan, pariwisata, pertambangan dan energi yang berpeluang untuk menarik investor (Bakry 1999). Bakry (1999) menyatakan bahwa karakteristik usaha perikanan rakyat di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Pulau Seram masih didominasi oleh usaha nelayan yang berskala kecil dengan sarana penangkapan berupa perahu tanpa motor yakni sebanyak 14.593 unit atau 94,27 % dari seluruh armada perikanan. Sedangkan Perahu Motor Tempel sebanyak 729 unit atau 4,75 % dan Kapal Motor hanya 124 unit atau 0,8 %. Dari sisi permodalan umumnya nelayan enggan berhubungan dengan lembaga keuangan perbankan karena prinsip kehati-hatian bank dimana dipersyaratkan adanya agunan yang dapat dijadikan sebagai jaminan, sementara nelayan/petani kecil tidak memiliki aset yang dapat diagunkan. Terbatasnya modal kerja bagi nelayan kecil dimana jumlahnya mencapai 94,86 % dari total nelayan Maluku Tengah berdampak pada tingkat kemampuan nelayan untuk meningkatkan hasil produksi, karena terbatasnya wilayah tangkapan (fishing ground). Dari sisi kelembagaan khusunya kelembagaan tradisional (hukum adat sasi) yang merupakan salah satu nilai-nilai yang mengandung keraifan-kearifan tertentu terhadap lingkungan dan sumberdaya alam ternyata semakin menurun nilainya. Lembaga ini mulai berkurang peranannya dalam upaya distribusi yang adil terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh pemerintahan desa (sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979) bila dibandingkan dengan hukum adat (Bakry 1999). Selanjutnya secara makro-regional, yang dianalisis melalui kontribusi relatif sektor perikanan terhadap perekonomian wilayah dari sisi pendapatan (PDRB) dan serapan tenaga kerja, sektor perikanan menunjukan nilai yang positif,
24
artinya sektor perikanan telah memberikan kontribusi terhadap perubahan struktur perekonomian wilayah, walaupun kontribusinya relatif kecil. Analisis dampak pengembangan sektor perikanan terhadap perekonomian kawasan dari sisi output wilayah menunjukan bahwa sektor perikanan memberi kontribusi kepada output wilayah pada urutan ke 3 dari 5 sektor penyumbang terbesar kepada output wilayah. Di bidang ekspor dan impor wilayah, sektor perikanan menduduki peringkat ke 3 yakni menyumbang sebesar 14,40 %, sedangkan dari sisi impor sektor perikanan menduduki peringkat ke 12. Ini menunjukan bahwa sektor perikanan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya (Bakry 1999). Bakry (1999) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kontribusi sektor perikanan terhadap Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Pulau Seram maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1) pembangunan sektor perikanan tidak hanya difokuskan pada upaya-upaya penigkatan produksi melalui modernisasi alat tangkap akan tetapi lebih diarahkan kepada sistem budidaya, sehingga ketergantungan petani/nelayan terhadap sumberdaya yang sifatnya open access lambat laun akan berkurang; (2) lembaga keuangan formal (perbankan) perlu menyederhanakan prosedur pengajuan kredit agar tidak berbelit-berbelit sehingga mengurangi biaya-biaya transaksi yang sangat merugikan masyarakat; (3) kebijakan pengembangan sektor perikanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Pulau Seram harus tetap menghargai hak-hak komunal terhadap sumberdaya perikanan sehingga masyarakat komunal dapat ikut memelihara kelestarian sumberdaya alat; (4) perlu dikembangkan sistem pengolahan dengan teknologi tepat guna yang mudah dijangkau oleh masyarakat yang dapat membuka peluang bagi berkembangnya kewirausahaan bagi masyarakat. Dewi (2003) dalam melakukan penelitian tentang pengembangan perekonomian daerah melalui kerjasama perbankan nasional dengan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Studi Kasus : Kapet Pare-Pare Sulawesi Selatan) menemukan bahwa kredit perbankan yang disalurkan di wilayah Kapet Pare-Pare belum optimal dalam mendukung kegiatan usaha yang berpotensi. Kredit yang disalurkan umumnya pada sektor tersier, sedangkan untuk sektor primer dan sekunder, kredit yang disalurkan relatif sedikit, walaupun sektor
25
unggulan pada wilayah Kapet Pare-Pare ini adalah udang, padi, kopi, kakao dan jambu mete. Kerja sama antara pemerintah daerah, pelaku usaha dan perbankan di wilayah Kapet Pare-Pare masih kurang, belum terlihat sikap saling mempercayai yang menghasilkan sinergi yang kuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, padahal kerja sama yang baik diantara ketiga pihak tersebut di atas akan bermanfaat bagi daerah-daerah di wilayah Kapet Pare-Pare dan Sulawesi Selatan serta untuk memacu perekonomian Kawasan Indonesia Timur pada umumnya (Dewi 2003). Dewi (2003) menyarankan agar Kota Pare-Pare dijadikan pusat pertumbuhan yang mempunyai keterkaitan dengan hinterland untuk wilayah Kapet
Pare-Pare
lainnya.
Sehingga
perlu
peranan
perbankan
dalam
membiayai/kredit investasi untuk mendirikan gudang-gudang penampungan dan cold storage hasil pertanian dan udang sebelum dieksport. Pelabuhan di sini juga dapat dikembangkan menjadi pelabuhan eksport dengan bantuan berupa kredit investasi untuk menyempurnakan infrastruktur pelabuhan. Hadi
(2001)
telah
menyusun
beberapa
skenario
kebijaksanaan
pembangunan berimbang antara Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia Timur antara lain sebagai berikut : Jika investasi infrastruktur yang disertai dengan adanya alokasi dana dan pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah/regional Kawasan Indonesia Timur dalam pengelolaan dana pembangunan, maka dapat meningkatkan pendapatan dan produksi yang lebih cepat untuk Kawasan Indonesia Timur. Apabila pengalokasian dana tersebut didasarkan atas kebutuhan, dengan kata lain terdapat pengalokasian dana pembangunan yang lebih besar ke Kawasan Indonesia Timur dalam arti investasi infrastruktur di Indonesia Barat secara bertahap diserahkan kepada swasta, maka dampak percepatannya menjadi lebih tinggi. Adanya investasi pembangunan oleh pemerintah dalam melengkapi infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur yang disusul dengan investasi usaha oleh pihak swasta, serta kesempatan ekspor yang meningkat dapat meningkatkan pendapatan golongan masyarakat di Indonesia Timur rata-rata 31.92 % dan peningkatan produksi sebesar rata-rata 45.4 %. Di sisi lain dengan skenario ini,
26
pendapatan golongan masyarakat di Kawasan Indonesia Barat juga meningkat sebesar rata-rata 6.37 % dan produksi meningkat rata-rata 3.69 % (Hadi 2001). Pencapaian perimbangan pembangunan antara Kawasan Indonesia Barat dengan Kawasan Indonesia Timur diperlukan perubahan mendasar dari pembangunan sentralistik ke arah pembagian kewenangan (power sharing) dan pembagian kesejahteraan (wealth sharing) antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pembagian kewenangan tersebut adalah dengan program otonomi daerah yang tetap memperhatikan keragaman potensi dan permasalahan antar daerah (Hadi 2001).
2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) di setiap propinsi di Kawasan Indonesia Timur merupakan salah satu strategi yang diambil oleh DP KTI dalam rangka percepatan pembangunan Kawasan Indonesia Timur. Berdasarkan Keppres Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet), kemudian disempurnakan oleh Keppres Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14 lokasi Kapet, salah satunya adalah Kapet Bima yang ditetapkan dengan Keppres Nomor 166 Tahun 1998. Pengembangan Kawasan Indonesia Timur dengan memprioritaskan upaya pembangunan pada Kapet-Kapet adalah merupakan pendekatan pembangunan yang didasarkan pada teori pembangunan growth center. Berdasarkan teori ini maka pembangunan dipusatkan pada penciptaan dan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan. Pendekatan pembangunan ini diterapkan karena beberapa alasan, antara lain sebagai berikut (Prasetya 2000) : 1). Tidak mungkin dilaksanakan upaya-upaya pembangunan dengan intensitas yang sama pada waktu yang sama dan pada semua daerah. Hal ini karena keterbatasan pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu harus dilakukan prioritas pembangunan, baik dari segi daerah maupun sektor. 2). Tidak semua daerah mempunyai kemampuan yang sama dalam menyerap investasi. Dengan keterbatasan dana pembangunan yang ada maka harus
27
diprioritaskan daerah-daerah dengan kemampuan menyerap investasi yang besar. Pengembangan Kapet yang didasarkan pada teori growth center dikhawatirkan akan menimbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Untuk mengantisipasi hal itu perlu diciptakan keterkaitan yang kuat pertumbuhan
antara pusat
dengan daerah belakangnya di Kawasan Indonesia Timur, dan
mengembangkan keterkaitan secara regional dan nasional (Prasetya 2000). Salah satu kritik dari teori growth center ini, adalah penerapan strategi pembangunan dengan menggunakan asumsi bahwa pembangunan pusat-pusat pertumbuhan akan mampu merangsang pertumbuhan daerah belakang dengan harapan adanya efek menetes ke bawah (trickle down effect), namun pada kenyataannya efek tersebut sulit terjadi malah memungkinkan terjadinya ketimpangan antara pusat pertumbuhan dengan daerah-daerah belakangnya (hinterland area). Salah satu penyebab hal tersebut adalah lemahnya keterkaitan antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakang. Oleh karena itu perlu diciptakan keterkaitan yang kuat antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya untuk
mengurangi
kemungkinan
terjadinya
ketimpangan
antara
pusat
pertumbuhan dengan daerah belakangnya. Keterkaitan tersebut meliputi keterkaitan produksi, keterkaitan pemasaran dan keterkaitan transportasi. Keterkaitan produksi terjadi karena setiap proses produksi membutuhkan bahan masukan (input). Idealnya, daerah hinterland akan mampu memasok bahan-bahan masukan untuk proses produksi di Kapet. Keterkaitan pemasaran merupakan konsekuensi dari adanya proses produksi di Kapet. Hasil-hasil produksi dari Kapet perlu dipasarkan baik ke daerah hinterland maupun ke daerah lainnya. Kedua keterkaitan tersebut memerlukan dukungan keterkaitan transportasi. Keterkaitan transportasi berarti bahwa antar Kapet dengan daerah hinterland dan antar Kapet dengan Kapet lainnya terdapat prasarana transportasi, sarana transportasi dan jalur transportasi yang cukup memadai untuk mendukung hubungan antar daerah. Salah satu perwujudan hubungan antar daerah ialah dengan adanya pertukaran antar daerah baik yang berwujud barang, uang maupun jasa. Analisis
28
aliran barang, orang dan kendaraan dapat digunakan untuk mengetahui intensitas hubungan antar daerah dan tingkat ketergantungan atau peranan suatu daerah dengan daerah yang lain. Dalam konteks sektoral, perkembangan ekonomi regional terjadi melalui pertumbuhan sektor ekonomi unggulan serta adanya diversifikasi dan keterkaitan antar sektor ekonomi. Hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward linkages), ialah hubungan dengan penjualan barang hasil produksi yaitu tingkat keterkaitan ke depan atau disebut juga derajat kepekaaan atau daya dorong, dan hubungan kebelakang (backward linkages), merupakan hubungan dengan bahan mentah/bahan baku atau disebut juga daya penyebaran atau daya tarik. Pengembangan ekonomi kawasan secara berkesinambungan tidak terlepas dari adanya ketersediaan dan dukungan sumber daya baik secara kualitas maupun secara kuantitas, terutama sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya sosial (SDS) serta sumber daya buatan (SDB), namun di sisi lain pengembangan berbagai sektor ekonomi di Kapet Bima masih diusahakan secara lokal dan tradisional, sementara industri pengolahan belum berkembang sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku) serta belum
didukung
oleh
sarana-prasarana
yang
memadai
dan
merata
(BP Kapet Bima dan BPPT 2000). Untuk itu, perlu dilakukan analisis tentang identifikasi potensi dan permasalah pengembangan Kapet Bima, yang meliputi ketersediaan fasilitas, sebaran penduduk, sebaran komoditas dan pertumbuhan ekonomi serta berbagai dukungan dan hambatan lainnya. Otonomi
daerah
merupakan
tantangan
sekaligus
peluang
dalam
menggerakkan berbagai sumber daya wilayah secara optimal. Dalam era otonomi daerah, implementasi Kapet harus bersinergi dengan instansi Pemerintah Daerah yang terkait, pihak swasta dan masyarakat
mulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pengendalian. Dengan demikian, perencanaan pembangunan di Kapet Bima akan bersifat bottom up atau partisipatif serta selaras dengan perencanaan pemerintah daerah. Sinergi peran Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat serta stakeholders lainnya sangat dibutuhkan melalui strategi dan pendekatan yang holistik dalam pembangunan wilayah Kapet Bima secara berimbang dan berkelanjutan.
29
Dari uraian di atas maka dapat dibuat alur kerangka pemikiran penelitian yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.
Otonomi Daerah
Identifikasi Potensi Pengembangan Wilayah
- Sebaran faslitas & penduduk - Sebaran komoditas - Pertumb ekon. - Sospolbud - Potensi dan permsl lainnya
Peran dan Interaksi Institusi
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima
Keterkaitan Antar sektor
Interaksi Spasial
Keterkaitan kedepan dan kebelakang
Inter Regional
Sektor Unggulan Intra Regional
Strategi Pengembangan Wilayah
Gambar 1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
Menurut Murty (2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama atau mempunyai tingkat industri yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang
30
lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat.