BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Formwork
Menurut Asiyanto (2015), formwork atau cetakan beton sering juga disebut "begisting/bekisting”, merupakan suatu sarana pembantu dari struktur beton untuk mencetak beton dengan ukuran, bentuk, rupa ataupun posisi serta alignment yang dikehendaki. Persyaratan umum dalam mendisain suatu struktur, baik struktur permanen maupun sementara seperti formwork setidaknya ada persyaratan yang harus dipenuhi agar konstruksi dapat berfungsi dengan baik, yaitu: 1.
Kualitas Formwork dikatakan berkualitas apabila :
2.
a.
Ukuran dan dimensi harus sesuai dengan yang diinginkan.
b.
Posisi acuan dan perancah harus sesuai rencana.
c.
Hasil akhir permukaan beton harus baik, tidak ada beton yang keropos.
Kekuatan Material formwork seperti plywood tidak patah ketika menerima beban yang bekerja.
3.
Kekakuan Material formwork tidak mengalami perubahan bentuk atau deformasi yang berarti, sehingga tetap kokoh.
4.
Keamanan Formwork harus stabil dan kaku posisinya agar tidak membahayakan pekerja. Formwork
dikatakan
tiang/perancah
tidak
memenuhi
syarat
keamanan
runtuh
tiba-tiba
akibat
II-1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
apabila gaya
plywood yang
dan
bekerja.
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Material Formwork Berikut adalah material yang digunakan untuk pekerjaan formwork :
Gambar 2.1 Wedges (Sumber : Foto Lapangan, 2016)
Gambar 2.2 L-Bolt (Sumber : Foto Lapangan, 2016)
Gambar 2.3 Tierod
Gambar 2.4 Tie Nut
(Sumber : Foto Lapangan, 2016)
(Sumber : Foto Lapangan, 2016)
Gambar 2.5 Waler Washer
Gambar 2.6 Splice Beam
(Sumber : Foto Lapangan, 2016)
(Sumber : Foto Lapangan, 2016)
Gambar 2.7 Besi Hollow (Sumber : Foto Lapangan, 2016)
Gambar 2.8 Forkhead (Sumber : Foto Lapangan, 2016)
II-2 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.9 Inner/Outter (Sumber : Foto Lapangan, 2016)
Gambar 2.10 Ledger (Sumber : Foto Lapangan, 2016)
Gambar 2.11 Jack Base (Sumber : Foto Lapangan, 2016) Berikut adalah kegunaan dari material yang digunakan untuk pekerjaan formwork di atas: 1.
Wedges, berfungsi sebagai alat pengait atau pengunci sambungan antar splice beam.
2.
L-Bolt, berfungsi sebagai alat penghubung antara besi hollow dengan splice beam.
3.
Tierod, berfungsi untuk mengecangkan formwork dengan cara dimasukkan diantara celah splice beam.
4.
Tie Nut, berfungsi untuk mengecangkan formwork dengan cara diputar pada tierod.
5.
Waler Washer, berfungsi sebagai ring pada struktur formwork.
6.
Splice Beam, berfungsi sebagai komponen utama pengaku formwork.
7.
Besi Hollow, berfungsi sebagai landasan plywood.
8.
Forkhead, berfungsi sebagai landasan teratas struktur formwork dan dapat mengatur level atau elevasi formwork.
9.
Inner/Outter, berfungsi sebagai struktur vertical formwork. II-3 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
10. Ledger, berfungsi sebagai pengaku horizontal yang menghubungkan antar inner/outter. 11. Jack Base, berfungsi sebagai landasan terbawah struktur formwork dan dapat mengatur level atau elevasi formwork. 2.1.2 Metode Formwork 1.
Metode Formwork Konvensional
Formwork konvesional adalah formwork yang proses pengerjaannya saling berkaitan dengan pekerjaan struktur lainnya, karena pekerjaan struktur tidak akan berlanjut jika pekerjaan struktur yang lain belum terselesaikan. Perakitan formwork dilakukan di lokasi pekerjaan komponen struktur. (Asroni, Ali. 2010) Berikut adalah gambar formwork shear wall konvensional :
Gambar 2.12 Formwork Shear Wall Konvensional (Sumber : Foto Lapangan, 2016)
II-4 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
Berikut adalah gambar formwork balok dan pelat konvensional :
Gambar 2.13 Formwork Balok dan Pelat Konvensional (Sumber : Foto Lapangan, 2016) 2.
Metode Formwork Prefabrikasi
Metode formwork prefabrikasi adalah sebuah metode kerja pada pekerjaan formwork, dimana formwork dirakit di luar area konstruksi sehingga di area konstruksi hanya proses instalasi saja. A. Climbing Form Formwork jenis ini biasanya digunakan untuk pengecoran shear wall. Untuk pengecoran core wall, walaupun dapat menggunakan climbing form, tetapi tidak disarankan, karena akan menghambat kemajuan pelaksanaan, di samping tingkat akurasinya juga kurang. Pelaksanaan dengan menggunakan climbing form memerlukan bantuan tower crane untuk memindah form work dari satu tingkat ke tingkat berikutnya yang lebih tinggi. Ditinjau dari segi safety, sistem ini kurang aman, memiliki risiko yang lebih besar. (G nawy, 1990)
II-5 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
Berikut adalah gambar climbing form :
Gambar 2.14 Climbing form (Sumber : Foto Lapangan, 2016) B. Table form Bentuk dan ukuran balok dan pelat lantai pada proyek ini adalah tipikal (sama) dari lantai ke lantai, sehingga digunakan bekisting dengan sistem table form (bekisting berbentuk meja yang dapat dengan mudah dipindah-pindah seperti melayang menggunakan tower crane). Dengan penggunaan sistem ini akan lebih cepat sehingga menghemat waktu dan biaya dalam pengerjaannya. Karena formwork pelat dan balok dipabrikasi di pabrikasi kayu, sehingga di lokasi hanya proses pemasangan saja. (Asiyanto, 2005). Berikut adalah gambar table form :
Gambar 2.15 Table form (Sumber : Foto Lapangan, 2016) II-6 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Waktu Pelaksanaan Proyek Menurut Jay Heizer& Barry Render (2006), penjadwalan proyek meliputi pengurutan dan pembagian waktu untuk seluruh kegiatan proyek. Pada tahap ini manajer memutuskan berapa lama tiap kegiatan memerlukan waktu penyelesaian dan menghitung berapa banyak orang yang diperlukan pada tiap tahap produksi. Analisa produktivitas dan durasi pada penelitian ini dilakukan melalui pengamatan lapangan. Pertimbangan lain yang mendasari pengamatan lapangan adalah karena data yang didapatkan lebih akurat sesuai dengan kondisi lapangan. Menurut Abrar (2009) Standar kinerja waktu ditentukan dengan merujuk seluruh tahapan kegiatan proyek beserta durasi dan penggunaan sumber daya, dari semua informasi dan data yang diperoleh dilakukan proses penjadwalan sehingga akan ada output berupa format-format laporan lengkap mengenai progress waktu. Seperti Barchart, Kurva S dan lain-lain. Alokasi penempatan sumber daya tidak efektif karena penyebarannya fluktuatif dan ketersediaan sumber daya yang tidak mencukupi. Terjadinya keterlambatan proyek disebabkan oleh : a.
Jumlah tenaga kerja yang terbatas
b.
Peralatan yang tidak mencukupi.
c.
Metode kerja yang salah,
d.
Kondisi cuaca yang buruk
Disamping itu waktu proyek dapat juga dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi, menurut Yasin (2006) aspek social ekonomi merupakan aspek yang sulit diprediksi karena tergantung dari karakteristik, kondisi masyarakat setempat, dan permasalahan pada bidang ekonomi yang mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kelancaran proyek.
II-7 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Analisis Produktivitas Analisis produktivitas dapat menggunakan metode CYCLONE (CYCLic Operation NEtwork), yaitu sebuah program simulasi berbasis komputer mikro yang dirancang khusus untuk proses pemodelan operasi konstruksi. yang melibatkan interaksi tugas dengan durasi yang terkait. Berikut adalah alur proses tahapan analisis metode pekerjaan dengan menggunakan CYCLONE: 1.
Identifikasi proses pekerjaan
2.
Penentuan komponen CYCLONE yaitu diantaranya adalah penentuan work task, durasi, resources.
3.
Modeling diagram CYCLONE berdasarkan komponen dan proses pekerjaan
4.
Penerjemahan diagram kedalam kode input (coding input)
5.
Run Program Tabel 2.1 Simbol dalam Permodelan CYCLONE. Name
Symbol
Function Elemen ini selalu didahului oleh Queue Nodes. Sebelum dapat dimulai, unit harus tersedia di masingmasing Queue Nodes sebelumnya. Jika unit telah tersedia, mereka digabungkan dan diproses melalui aktivitas. Jika unit yang tersedia di beberapa tapi tidak semua Queue Nodes sebelumnya, unit-unit ini ditunda sampai kondisi untuk kombinasi terpenuhi.
Combination (COMBI) Activity
Elemen ini adalah kegiatan yang serupa dengan COMBI. Namun, unit tiba di elemen ini mulai diproses segera dan tidak tertunda.
Normal Activity
Elemen ini mendahului semua kegiatan COMBI dan menyediakan lokasi di mana unit tertunda kombinasi tertunda. Statistik delay diukur pada elemen ini
Queue Node
Elemen ini dimasukkan ke dalam model untuk melakukan fungsi khusus seperti menghitung, konsolidasi, menandai, dan koleksi statistik
Function Node
Accumulator
Elemen ini digunakan untuk menentukan jumlah kali siklus sistem
Arc
Menunjukkan struktur logis dari model dan arah aliran entitas
Sumber : WebCyclone User Manual (2016) II-8 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
2.3.1 Data Input Sebuah file input WebCYCLONE adalah sarana yang pengguna menerjemahkan model grafis CYCLONE menjadi masukan Problem-Oriented Language (POL) yang dapat dimengerti
oleh
program
WebCYCLONE.
Berikut adalah bagian coding
WebCYCLONE 1.
General System Information General system informasi adalah bagian pertama dari file input WebCYCLONE. Ini adalah baris pertama dari informasi mengenai jaringan, dan itu harus selalu mengandung header standar untuk sistem informasi umum, yang didefinisikan sebagai berikut: NAME (name of process) LENGTH (length of run) CYCLES (# of cycles)
2.
Network Input Bagian ini input digunakan untuk memasukkan unsur-unsur jaringan proses yang sebenarnya. Setiap pernyataan bagian ini menentukan elemen satu jaringan, atribut, dan hubungan logis untuk unsur-unsur lain dalam jaringan. Header untuk bagian ini adalah NETWORK INPUT header harus diketik LINE # 2. Empat jenis elemen yang digunakan dalam jaringan WebCYCLONE. a. Combi b. Normal c. Queue d. Function
II-9 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
3.
Duration Input Setiap elemen tugas harus disertai dengan mengatur nomor durasi yang mendefinisikan jenis durasi tugas dan parameter dari distribusi yang durasi tugas akan sampel. Ada dua kategori tugas berdasarkan tugas durasi-stasioner dan tugas nonstationary. Tabel 2.2 Elemen dalam Permodelan CYCLONE. Constant Uniform
Triangular
Beta
Normal
Exponential
μ: σ2:
DETERMINISTIC C The Constant Duration UNIFORM A B The low value of the duration The high value of the duration TRIANGULAR A M B The low value of the duration The mode value of the duration The high value of the duration BETA A B α β The lowest value of the duration The highest value of the duration The first shape parameter of the beta distribution The second shape parameter of the beta distribution NORMAL μ σ2 The mean of the duration The variance of the duration
μ:
EXPONENTIAL μ The mean of the duration
C: A: B: A: M: B: A: B: α: β:
Sumber : WebCyclone User Manual (2016)
4. Resource Input Pada bagian ini, jumlah unit masing-masing jenis sumber daya yang akan digunakan dalam proses jaringan diinisialisasi. Jenis sumber daya termasuk peralatan (crane, truk), tenaga kerja (beton awak menempatkan), atau bahan (palet batu bata). Untuk menginisialisasi sumber daya, dua item informasi yang diperlukan: (1) jumlah unit dalam jaringan dan (2) QUEUE node yang akan menjadi titik awal untuk unit ini dalam jaringan. Header untuk bagian ini adalah resource input, yang harus diketik pada baris pertama dari bagian. 5.
End Data Kata prosedural ENDDATA (END) digunakan untuk menandakan akhir dari input II-10 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
data Web CYCLONE. Ini akan menjadi baris terakhir data yang dimasukkan untuk jaringan. 2.4 Biaya Pelaksanaan Proyek Menurut Harnanto dan Zulkifli (2003), pengertian biaya adalah sesuatu yang berkonotasi sebagai pengurang yang harus dikorbankan untuk memperoleh tujuan akhir yaitu mendatangkan laba. Rencana Anggaran Pelaksanaan (RAP) adalah rencana anggaran biaya yang dibuat oleh pihak kontraktor yang terdiri dari material, upah, koefisien, harga satuan yang telah dikalikan dengan volume pekerjaan. Fungsi umum RAP ialah : a. Sebagai pedoman dasar harga untuk perhitungan biaya material dan upah tenaga kerja b. Sebagai acuan untuk harga yang diberikan kepada sub kontraktor maupun mandor bangunan Tabel 2.3 Contoh Rencana Anggaran Pelaksanaan (RAP) Description
Qty
Unit
Rate
Rupiah
- 2nd Floor
352.20
m2
Rp
155,454.32
Rp
54,751,011.50
- 3rd Floor
352.20
m2
Rp
155,454.32
Rp
54,751,011.50
- 4th Floor
352.20
m2
Rp
155,454.32
Rp
54,751,011.50
Formwork Shear Wall
Sumber : PT Tatamulia Nusantara Indah (2016)
II-11 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
2.5 Penelitian Terdahulu 1.
Analisis Percepatan Waktu Proyek dengan Tambahan Biaya yang Optimum Oleh : Syahrizal, 2013 Hasil Penelitian : Berdasarkan analisa percepatan proyek yang dilakukan pada proyek pembangunan Gedung Sekolah Yayasan Pelita Bangsa di Jl. Iskandar Muda Medan, Sumatera Utara, maka dapat disimpulkan bahwa hasil perhitungan menunjukkan waktu pelaksanaan normal proyek adalah 244 hari dan biaya normal sebesar Rp. 5,927,497.357.50, dengan menambah 2 jam penambahan jam kerja maka dapat mempercepat waktu sebanyak 33 hari dengan biaya tambahan sebesar Rp. 121,081,991.46 dan nilai cost slope sebesar Rp. 3,363,388.64 per hari, dengan menambah 4 jam penambahan jam kerja maka dapat mempercepat waktu sebanyak 56 hari dengan biaya tambahan sebesar Rp. 297,349,168.27 dan nilai cost slope sebesar Rp. 5,946,983.36 per hari.
2.
Analisis Pertukaran Waktu dan Biaya dengan Metode Time Cost Trade Off (TCTO) pada Proyek Pembangunan Gedung di Jakarta Oleh : Aripurnomo Kartohardjono, 2012 Hasil Penelitian : Keterlambatan pekerjaan proyek dapat diantisipasi dengan melakukan percepatan pelaksanaan dengan mempertimbangkan faktor biaya. Salah satu metode yang dapat digunakan disebut juga dengan istilah time cost trade off atau pertukaran waktu dan biaya. Metode ini dapat dilakukan dengan metode pelaksanaan kerja dengan menambah grup kerja, menambah peralatan, dan menambah jam kerja atau lembur.
II-12 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan hasil analisa diatas disimpulkan semua alternatif mengalami penambahan biaya, Kontraktor mempunyai pilihan 3 alternatif yang sesuai dengan pertimbangan antara biaya, waktu dan kondisi yang lain. 3.
Keterlambatan Proyek Konstruksi Gedung Faktor Penyebab dan Tindakan Pencegahannya Oleh : Idzurnida Ismael, 2013 Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa permasalahannya akibat metode pengoperasian alat tidak tepat, melakukan perubahan terhadap disain, keahlian yang tidak cukup untuk perobahan desain spesifikasi, menggunakan tenaga kerja yang tidak terampil, dan material yang digunakan kurang dari yang dibutuhkan. Pada masa pelaksanaan proyek konstruksi dapat mempengaruhi waktu atau ketelambatan proyek konstruksi, dengan mengetahui faktor resiko yang dominan dapat membantu untuk mengambil keputusan dalam menentukan tindakan koreksi yang paling sesuai, untuk mengurangi resiko seminimal mungkin sampai pada batas yang dapat diterima.
4. Optimalisasi Waktu dan Biaya Proyek dengan Analisa Crash Program Oleh : Arif Hidayat, 2014 Hasil Penelitian : Hasil pelaksanaan proyek yang optimal dapat diperoleh dengan perencanaan yang baik. Pada proses mempercepat durasi proyek tidak dapat dilakukan untuk kegiatan yang tidak berada pada jalur kritis. Untuk mempercepat durasi proyek dengan menggunakan penambahan jam kerja terjadi peningkatan biaya yang tajam khususnya pada jam ke-3 (lembur 3 jam) kegiatan proyek, dikarenakan pada pelaksanaan lembur pada jam ke-3 disyaratkan pemberian konsumsi sehingga biaya tersebut haruslah sangat diperhitungkan. II-13 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
5.
Analisa Perbandingan Metode Pelaksanaan Cast in Situ dengan Pracetak terhadap Biaya dan Waktu pada Proyek Dian Regency Apartement Oleh : M Arif Rohman, 2012 Hasil Penelitian : Dari hasil analisa dua metode yaitu cast in situ dengan pracetak didapatkan hasil kesimpulan yaitu metode pelaksanaan pracetak lebih praktis dan membutuhkan jumlah tenaga lebih sedikit dibandingkan dengan metode cast in situ. Untuk cast in situ membutuhkan waktu yang lebih lama tetapi biaya lebih murah sedangkan untuk pracetak waktu lebih cepat tetapi biaya lebih mahal, dan metode cast in situ membutuhkan waktu pelaksanaan selama 396 hari dengan biaya sebesar Rp. 22.990.693.700,00 dan metode pracetak membutuhkan waktu pelaksanaan selama 245 hari dengan biaya sebesar Rp.26.715.324.900.
6. Studi Pemilihan Pengerjaan Beton antara Pracetak dan Konvensional pada Pelaksanaan Konstruksi Gedung dengan Metode AHP Oleh : M Hamzah Hasyim, 2011 Hasil Penelitian : Hasil analisis menunjukkan bahwa kriteria keselamatan kerja merupakan kriteria dengan nilai bobot/prioritas tertinggi yaitu 16,40%, kemudian kekuatan struktur (13,60%), mutu hasil pekerjaan (12,70%), biaya pelaksanaan (11,80%), waktu pelaksanaan (9,7%), perencanaan (8,6%), kemampuan kontraktor (7,40%), bentuk bangunan (7,30%), keindahan bangunan (6,90%), dan kriteria perubahan cuaca (5,70%). Untuk metode pengerjaan beton yang paling banyak dipilih pada pelaksanaan konstruksi gedung di kota Surabaya ditetapkan menggunakan metode beton pracetak dengan nilai persentase sebesar 64,90%, sedangkan untuk beton konvensional memiliki nilai persentase sebesar 35,10%. II-14 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
7. Studi Perbandingan Bekisting Konvensional dengan PCH (Perth Construction Hire) Oleh : Trijeti, 2015 Hasil Penelitian : Dari segi metode pelaksanaan, keuntungannya adalah metode pelaksanaan relatif lebih praktis serta cepat karena menggunakan material dengan ukuran standar dan adjustable, material speedshore PCH lebih variasi sehingga pelaksanaan di lapangan lebih fleksible dibandingkan scaffolding perancah. Kerugiannya adalah untuk struktur yang berbentuk lingkaran tidak dapat digunakan dan diperlukan alat bantu angkut seperti tower crane dalam mobilisasi material PCH karena modul bekisting relatif berat. Dari hasil analisa biaya pekerjaan bekisting dapat diketahui perbandingan pemakaian antara metod PCH dan metode konvensional disimpulkan bahwa PCH lebih murah, dengan metode pelaksanaan speedshore yang telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa perbandingan scaffolding dengan speedshore sangatlah berbeda dari segi pelaksanaan maupun biaya. 8. Optimasi Biaya dan Waktu Pelaksanaan terhadap Perubahan Metode Bekisting Pelat Lantai Oleh : Suherman, 2015 Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan merubah pelat konvensional menjadi pelat bondek biaya yang dapat diefisiensi sebesar 56,54%, dan dari hasil optimasi solver nilai optimal pelat bondek lebih kecil 34,71% dibanding pelat konvensional. Waktu pelaksanaan pelat beton bondek lebih cepat 45 hari dibandingkan pelat beton konvensional. Pelat beton bondek menghasilkan sampah lebih sedikit II-15 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
dibandingan pelat beton konvensional. Pelat beton bondek lebih ramah lingkungan dan material bondek sudah banyak di pasaran sehingga mudah didapatkan. Pelat beton bondek lebih mudah dalam pelaksanaannya dan hasilnya lebih baik dibandingkan pelat beton konvensional. 9. Analisa Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pembengkakan Biaya (Cost Overrun) pada Proyek Konstruksi Gedung di Kota Ambon Oleh : Mohammad Bisri, 2011 Hasil Penelitian : Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji faktor-faktor apa saja yang paling dominan menyebabkan terjadinya pembengkakan biaya (cost overrun) pada proyek konstruksi gedung di kota Ambon. Berdasarkan hasil analisis faktor, faktor-faktor dominan penyebab terjadinya cost overrun pada pelaksanaan proyek konstruksi gedung di kota Ambon adalah bagian perencanaan yaitu factor pelaksanaan hubungan kerja; dengan nilai loading faktor sebesar 81.9 %. Yang terdiri dari tingginya frekwensi perubahan pelaksanaan, terlalu banyak pengulangan pekerjaan karena mutu jelek, terlalu banyak proyek yang ditangani dalam waktu yang sama, kurangnya koordinasi antara kontraktor utama dan sub kontraktor, kurangnya koordinasi antara construction manager – perencana – kontraktor, terjadi perbedaan/perselisihan pada proyek, dan manager proyek tidak kompeten. 10. Komparasi Biaya Pelaksanaan Penggunaan Bekisting Konvensional
dan
Bekisting Sistem Peri Oleh : Esti Legstyana, 2012 Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan bahwa proyek DOT Hotel dikerjakan menggunakan bekisting sistem PERI biaya pelat permeter persegi sebesar Rp 90.000 dengan II-16 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
selisih biaya Rp 20.471 atau sekitar 18,5% lebih murah dari perhitungan menggunakan perancah kayu yaitu sebesar Rp 110.471. Selain dari segi biaya adapun alasan lain, yaitu hasil pekerjaan lebih rapi, mengurangi limbah konstruksi, dan lebih kuat dan aman. Adapun pilihan menggunakan bekisting konvensional antara lain: kontraktor mempunyai ide memanfaatkan limbah bekisting, proyek berada di lokasi yang memiliki kayu/kayu mudah di dapat dan murah. 2.6 Research Gap Berikut adalah research gap untuk tugas akhir ini
METODE KERJA + BIAYA PROYEK 1. Legstyana, 2012 2. Rohman, 2012
BIAYA PROYEK 1. Bisri, 2011 2. Wijaya, 2014
METODE KERJA 1. Hasyim, 2011 2. Trijeti, 2015
TUGAS AKHIR INI Fradika, 2017
METODE KERJA + WAKTU PROYEK 1. Walangitan, 2012 2. Suherman, 2015
WAKTU PROYEK 1. Junaidi, 2014 2. Ismael, 2013 3. Ardani, 2010
BIAYA PROYEK + WAKTU PROYEK 1. Syahrizal, 2013 2. Kartohardjono, 2012 3. Hidayat, 2014 4. Mangibung, 2013 5. Hardianto, 2015
Gambar 2.17 Research Gap (Sumber : Olahan Penulis, 2016)
II-17 http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
2.7 Hipotesa Berdasarkan masalah diatas dapat dibuat hipotesa tugas besar ini, yaitu: “Perubahan metode formwork konvensional menjadi formwork prefabrikasi akan membuat waktu pelaksanaan menjadi lebih cepat, namun membuat biaya pelaksanaan menjadi lebih mahal.”
II-18 http://digilib.mercubuana.ac.id/