BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluhan Penyuluhan merupakan upaya perubahan perilaku manusia yang dilakukan melalui pendekatan edukatif. Pendekatan edukatif diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematik, terencana, dan terarah dengan peran serta aktif individu, kelompok, atau masyarakat untuk memecahkan masalah dengan memperhitungkan faktor sosial, ekonomi, dan budaya setempat. Selanjutnya, penyuluhan gizi dapat diartikan sebagai suatu pendekatan edukatif untuk menghasilkan perilaku individu atau masyarakat yang diperlukan dalam peningkatan derajat kesehatan dan mempertahankan gizi baik (Suhardjo, 2003). Berbicara tentang penyuluhan tidak terlepas dari bagaimana agar sasaran penyuluhan dapat mengerti, memahami, tertarik, dan mengikuti apa yang kita suluhkan dengan baik, benar, dan atas kesadarannya sendiri berusaha untuk menerapkan ide-ide baru dalam kehidupannya. Oleh karena itu penyuluhan membutuhkan suatu perencanaan yang matang, terarah, dan berkesinambungan. Penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku tidak mudah. Titik berat penyuluhan
sebagai
proses
perubahan
perilaku
adalah
penyuluhan
yang
berkelanjutan. Dalam proses perubahan perilaku dituntut agar sasaran berubah tidak semata-mata karena penambahan pengetahuan saja namun, diharapkan juga adanya perubahan pada keterampilan sekaligus sikap mantap yang menjurus kepada tindakan atau kerja yang lebih baik, produktif, dan menguntungkan (Lucie, 2005).
2.1.1. Metode Penyuluhan Menurut Van Deb Ban dan Hawkins yang dikutip oleh Lucie (2005), metode yang dipilih oleh seorang agen penyuluhan sangat tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan pendekatan sasaran yang ingin dicapai, penggolongan metode penyuluhan ada 3 (tiga) yaitu: 1. Metode berdasarkan pendekatan perorangan Pada metode ini, penyuluh berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan sasaran secara perorangan. Metode ini sangat efektif karena sasaran dapat langsung memecahkan masalahnya dengan bimbingan khusus dari penyuluh. Kelemahan metode ini adalah dari segi sasaran yang ingin dicapai kurang efektif, karena terbatasnya jangkauan penyuluh untuk mengunjungi dan membimbing sasaran secara individu, selain itu juga membutuhkan banyak tenaga penyuluh dan membutuhkan waktu yang lama. 2. Metode berdasarkan pendekatan kelompok Penyuluh berhubungan dengan sasaran secara kelompok. Metode ini cukup efektif karena sasaran dibimbing dan diarahkan untuk melakukan kegiatan yang lebih produktif atas dasar kerja sama. Salah satu cara efektif dalam metode pendekatan kelompok adalah dengan metode ceramah. Dalam pendekatan kelompok banyak manfaat yang dapat diambil seperti transfer informasi, tukar pendapat, umpan balik, dan interaksi kelompok yang memberi kesempatan bertukar pengalaman. Namun pada metode ini terdapat kesulitan dalam mengkoordinir sasaran karena faktor geografis dan aktifitas.
3. Metode berdasarkan pendekatan massa Metode ini dapat menjangkau sasaran dengan jumlah yang banyak. Ditinjau dari segi penyampaian informasi, metode ini cukup baik, tapi terbatas hanya dapat menimbulkan kesadaran dan keingintahuan saja. Metode pendekatan massa dapat mempercepat proses perubahan tapi, jarang bisa mewujudkan perubahan perilaku. Penelitian yang dilakukan oleh Pulungan (2007) mengenai pengaruh metode penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap dokter kecil dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) di Kecamatan Helvetia menyimpulkan bahwa metode ceramah dengan leaflet maupun ceramah dengan film berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap dokter kecil. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Dhamayanti, dkk (2005) tentang promosi kesehatan jiwa melalui metode ceramah dengan role-play pada keluarga penderita skizofrenia dan tokoh masyarakat di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta terbukti bahwa promosi kesehatan dengan metode ceramah berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan. Berdasarkan uraian diatas, untuk melakukan penyuluhan keamanan makanan jajanan peneliti memilih metode pendekatan kelompok dengan cara ceramah. Melalui peran aktif sasaran penyuluhan dengan memberikan umpan balik terhadap penyuluh serta adanya saling tukar informasi dan pengalaman antar sesama peserta penyuluhan diharapkan terjadi proses perubahan perilaku kearah yang sesuai dengan pesan-pesan kesehatan yang disampaikan.
2.1.2. Media Penyuluhan Menurut Notoatmodjo (2005), penyuluhan tidak dapat lepas dari media karena melalui media pesan disampaikan dengan mudah untuk dipahami. Media dapat menghindari kesalahan persepsi, memperjelas informasi, dan mempermudah pengertian. Media promosi kesehatan pada hakikatnya adalah alat bantu promosi kesehatan. Dengan demikian, sasaran dapat mempelajari pesan-pesan kesehatan dan mampu memutuskan mengadopsi perilaku sesuai dengan pesan yang disampaikan. Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan, media dibagi menjadi 3 (tiga) (Notoatmodjo, 2003) yakni: 1. Media cetak sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan yaitu: a. Flip chart (lembar balik) ialah media penyampaian pesan kesehatan dalam bentuk lembar balik, dimana tiap lembar berisi gambar peragaan dan dibaliknya berisi informasi yang berkaitan dengan gambar tersebut. b. Booklet ialah pesan-pesan kesehatan dalam bentuk buku, baik tulisan maupun gambar. c. Poster ialah lembaran kertas dengan kata-kata dan gambar atau simbol untuk menyampaikan pesan/ informasi kesehatan. d. Leaflet ialah penyampaian informasi kesehatan dalam bentuk kalimat, gambar ataupun kombinasi melalui lembaran yang dilipat. e. Flyer (selebaran) seperti leaflet tapi tidak dalam bentuk lipatan. f. Rubrik atau tulisan pada surat kabar atau majalah mengenai bahasan suatu masalah kesehatan. g. Foto yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan.
2. Media elektronik sebagai saluran untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan memiliki jenis yang berbeda, antara lain: a. Televisi: penyampaian informasi kesehatan dapat dalam bentuk sandiwara, diskusi, kuis, cerdas cermat seputar masalah kesehatan. b. Radio: penyampaian pesan-pesan kesehatan dalam bentuk tanya jawab, sandiwara radio, ceramah tentang kesehatan. c. Video: penyampaian informasi kesehatan dengan pemutaran video yang berhubungan dengan kesehatan. d. Slide dan Film strip 3. Media papan (Bill Board) yang dipasang di tempat umum dapat diisi dengan pesan kesehatan. Media papan disini juga mencakup pesan kesehatan yang ditulis pada lembaran seng yang ditempel pada kendaraan-kendaraan umum. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan menggunakan media untuk mengubah perilaku, hasilnya media mampu mempengaruhi sasarannya. Penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008) tentang pengaruh poster terhadap perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI pada Baduta menyimpulkan bahwa pemasangan poster di posyandu mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Rapiasih, dkk (2009) tentang pelatihan hygiene sanitasi dan poster berpengaruh terhadap pengetahuan, perilaku penjamah makanan, dan kelayakan hygiene sanitasi di instalasi gizi RSUP Sanglah Denpasar. Hasil penelitian membuktikan bahwa terjadi peningkatan pengetahuan, perilaku penjamah makanan dan kelayakan hygiene sanitasi setelah dilakukan pelatihan (diskusi dan demonstrasi) dengan media poster.
Menurut Notoatmodjo (2003), kelebihan poster dari media yang lainnya adalah tahan lama, mencakup banyak orang, biaya tidak tinggi, tidak perlu listrik, dapat dibawa kemana-mana, dapat mengungkit rasa keindahan, dan mempermudah pemahaman. Selain itu poster juga mampu menyampaikan kesan-kesan tertentu serta mempengaruhi dan memotivasi tingkah laku orang yang melihatnya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti memilih poster untuk digunakan sebagai media dalam melakukan penyuluhan dengan tujuan sasaran mau dan mampu mengubah perilaku sesuai dengan pesan-pesan kesehatan yang disampaikan. 2.1.3. Proses Adopsi dalam Penyuluhan Menurut Wiriaatmaja yang dikutip oleh Lucie (2005), indikasi yang dapat dilihat pada diri seseorang pada setiap tahapan adopsi dalam penyuluhan adalah: 1. Tahap sadar (awareness), pada tahap ini seseorang sudah mengetahui sesuatu yang baru karena hasil dari berkomunikasi dengan pihak lain. 2. Tahap minat (interest), pada tahap ini seseorang mulai ingin mengetahui halhal baru yang sudah diketahuinya dengan jalan mencari keterangan atau informasi yang lebih terperinci. 3. Tahap menilai (evaluation), pada tahap ini seseorang mulai menilai atau mempertimbangkan serta menghubungkan dengan keadaan atau kemampuan diri, misalnya kesanggupan baik dari segi sosial maupun ekonomi. 4. Tahap mencoba (trial), pada tahap ini seseorang mulai menerapkan dalam skala kecil sebagai upaya mencoba apakah dapat dilanjutkan. 5. Tahap penerapan atau adopsi (adoption), pada tahap ini seseorang sudah yakin akan hal baru dan mulai melaksanakan dalam skala besar.
2.1.4. Faktor yang Mempengaruhi Penyuluhan Penyuluhan merupakan proses perubahan perilaku melalui suatu kegiatan pendidikan nonformal. Oleh karena itu selalu saja ada berbagai kendala dalam pelaksanaannya di lapangan. Secara umum ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan keadaan yang disebabkan oleh penyuluhan, diantaranya sebagai berikut: 1. Keadaan pribadi sasaran Beberapa hal yang perlu diamati pada diri sasaran adalah ada tidaknya motivasi pribadi sasaran dalam melakukan suatu perubahan, adanya ketakutan atau trauma dimasa lampau yang berupa ketidakpercayaan pada pihak lain karena pengalaman ketidakberhasilan atau kegagalan, kekurangsiapan dalam melakukan perubahan karena keterbatasan pengetahuan, keterampilan, dana, sarana dan pengalaman serta adanya perasaan puas dengan kondisi yang dirasakan sekarang. 2. Keadaan lingkungan fisik Lingkungan fisik yang dimaksud adalah lingkungan yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung dalam keberhasilan penyuluhan. 3. Keadaan sosial dan budaya masyarakat Kondisi sosial budaya dimasyarakat akan mempengaruhi efektifitas penyuluhan karena kondisi sosial budaya merupakan suatu pola perilaku yang dipelajari, dipegang teguh oleh setiap warga masyarakat dan diteruskan secara turun menurun, dan akan sangat sulit merubah perilaku masyarakat jika sudah berbenturan dengan keadaan sosial budaya masyarakat.
4. Akifitas kelembagaan yang tersedia dan menunjang penyuluhan Peran serta lembaga terkait dalam proses penyuluhan akan menentukan efektifitas penyuluhan. Dalam hal ini lembaga berfungsi sebagai pembuat keputusan yang akan ditetapkan sehingga harus dilaksanakan oleh masyarakat (Notoatmodjo, 2003). 2.2. Promosi Kesehatan di Sekolah Promosi kesehatan di sekolah adalah upaya meningkatkan kemampuan peserta didik, guru, dan masyarakat lingkungan sekolah agar mandiri dalam mencegah penyakit, memelihara kesehatan, menciptakan dan memelihara lingkungan sehat, terciptanya kebijakan sekolah sehat serta berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan masyarakat sekitarnya (Depkes RI, 2007). Promosi kesehatan merupakan kegiatan yang penting dalam proses pemberdayaan masyarakat sekolah. Oleh karena itu, promosi kesehatan diarahkan untuk mempercepat pencapaian sekolah sehat. Dalam upaya mengimplementasikan hal tersebut maka dikembangkanlah Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). UKS merupakan kegiatan promosi kesehatan yang dilaksanakan di sekolah yang melibatkan semua pihak di sekolah berkaitan dengan masalah kesehatan, menciptakan lingkungan yang sehat, memberikan pendidikan kesehatan bagi peserta didik, dan memberikan akses pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif pada peserta didik.
2.2.1. Komponen Promosi Kesehatan di Sekolah Komponen-komponen promosi kesehatan di sekolah menurut WHO dalam Notoatmodjo (2005), dijelaskan sebagai berikut: 1. Penerapan kebijakan kesehatan. Kepala sekolah dan guru berunding dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah kesehatan. 2. Tersedianya sarana dan prasarana pencegahan dan pengobatan sederhana di sekolah. Misalnya dengan membangun klinik atau penyediaan peralatan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan). 3. Tersedianya lingkungan yang sehat. Misalnya ventilasi yang cukup di setiap ruang kelas, tersedianya air bersih dan tempat sampah, dan sebagainya. 4. Adanya program penyuluhan kesehatan. 5. Partisipasi orang tua murid dan masyarakat. 2.3. Keamanan Pangan Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya perhatian terhadap hal ini, telah sering mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyimpanan dan penyajian sampai risiko munculnya penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan (food additive) yang berbahaya. Keamanan pangan merupakan masalah kompleks sebagai hasil interaksi antara toksisitas mikrobiologik, toksisitas kimia, dan status gizi. Hal ini saling berkaitan, dimana pangan yang tidak aman akan mempengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya menimbulkan masalah terhadap status gizi (Khomsan, 2003).
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain tanpa membedakan apakah zat itu secara alami terdapat dalam bahan makanan atau tercampur secara sengaja atau tidak sengaja kedalam bahan makanan atau makanan jadi yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat (Khomsan, 2003). 2.4. Bahan Tambahan Pangan (BTP) Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 menyatakan bahwa bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan, untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas pangan tersebut. 2.4.1. Jenis Bahan Tambahan Pangan (BTP) Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, BTP digolongkan ke dalam 11 (sebelas) jenis antara lain sebagai berikut:
1. Antioksidan dan antioksidan sinergis Digunakan untuk mencegah terjadinya proses oksidasi. Contoh: asam askorbat dan garamnya untuk produk daging, ikan, dan buah-buahan kaleng. 2. Antikempal Untuk
mencegah
atau
mengurangi
kecepatan
pengempalan
atau
menggumpalnya makanan yang mempunyai sifat higroskopis, yang biasa ditambah antikempal misalnya susu, krim, dan kaldu bubuk. 3. Pengatur keasaman Dapat
mengasamkan,
menetralkan,
dan
mempertahankan
derajat
keasaman makanan. Contoh: Asam laktat dan malat yang digunakan pada jeli. 4. Pemanis buatan Menyebabkan rasa manis pada makanan yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi. Contoh: Aspartam, Siklamat, dan Sakarin. 5. Pemutih dan pematang tepung Mempercepat proses pemutihan dan atau pematangan tepung hingga dapat memperbaiki mutu penanganan. 6. Pengemulsi, pemantap dan pengental Membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan yang biasanya mengandung air atau minyak. Contoh: gelatin pemantap dan pengental untuk sediaan keju. 7. Pengawet Mencegah fermentasi dan pengasaman/ penguraian oleh mikroorganisme. Contoh: asam benzoat dan garamnya untuk produk buah, kecap, dan keju.
8. Pengeras Memperkeras atau mencegah lunaknya makanan. Contoh: Al sulfat, Al Na sulfat untuk pengeras acar ketimun dalam botol. 9. Pewarna Memperbaiki atau memberi warna. Contoh: green S warna hijau, kurkumin warna kuning, dan karamel warna coklat. 10. Penyedap rasa dan aroma serta penguat rasa Dapat memberikan, mempertegas rasa dan aroma. Contoh: Asam guanilat, Asam inosinat, dan monosodium glutamate (MSG) pada produk daging. 11. Sekuestran Mencegah terjadinya oksidasi penyebab perubahan warna dan aroma, biasa ditambahkan pada daging dan ikan. Contoh: asam folat dan garamnya. Produsen makanan dianggap melanggar peraturan jika menggunakan BTP yang dilarang atau melebihi takaran maksimum yang diizinkan. BTP yang dilarang tetapi sering digunakan oleh produsen makanan, antara lain (Permata, 2010): 1. Boraks: sebagai pengenyal pada bakso dan lontong. 2. Formalin: sebagai pengawet pada tahu dan mi basah. 3. Rhodamin B: sebagai pewarna merah. 4. Methanil Yellow: sebagai pewarna kuning. 5. Pemanis buatan (Siklamat dan Sakarin): sering digunakan pada minuman ringan dan makanan jajanan yang ditujukan bukan untuk pangan khusus bagi penderita diabetes melainkan dengan maksud dijual murah tapi rasanya manis.
2.4.2. Tujuan Penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Menurut Khomsan (2003), tujuan penambahan bahan tambahan pangan yaitu: 1. Meningkatkan nilai gizi makanan. 2. Memperbaiki nilai estetika dan sensori makanan. 3. Memperpanjang umur simpan makanan. Pada umumnya BTP yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila: 1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan. 2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan. 3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan. 4. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan makanan. 2.5. Makanan Jajanan Menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
942/Menkes/SK/VII/2003, makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/ restoran, dan hotel. Sedangkan menurut Kus dan Kusno (2007) makanan jajanan adalah makanan yang banyak ditemukan di pinggir jalan yang dijajakan dalam berbagai bentuk, warna, rasa serta ukuran sehingga menarik minat dan perhatian orang untuk membelinya.
Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima (street food) menurut FAO didefinisikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut. 2.5.1. Jenis Makanan Jajanan Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2004 yang dikutip oleh Tampubolon (2009), jenis makanan jajanan digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu: 1. Makanan jajanan yang berbentuk panganan, misalnya kue-kue kecil, pisang goreng, kue bugis dan sebagainya. 2. Makanan jajanan yang diporsikan (menu utama), seperti mi bakso, nasi goreng, mi goreng, mi rebus, pecal, dan sebagainya. 3. Makanan jajanan yang berbentuk minuman, seperti es krim, es campur, jus buah, dan sebagainya. 2.5.2. Pengaruh Positif dan Negatif Makanan Jajanan Menurut Kus dan Kusno (2007) pada umumnya anak-anak lebih menyukai jajanan di warung maupun kantin sekolah daripada makanan yang telah tersedia di rumah. Kebiasaan jajan di sekolah sangat bermanfaat jika makanan yang dibeli itu sudah memenuhi syarat kesehatan sehingga dapat melengkapi kebutuhan gizi anak. Disamping itu juga untuk mengisi kekosongan lambung, karena setiap 3-4 jam sesudah makan lambung mulai kosong. Akhirnya apabila tidak beli jajan, anak tidak dapat memusatkan kembali pikirannya pada pelajaran yang diberikan guru. Jajan juga dapat dipergunakan untuk mendidik anak dalam memilih makanan jajanan 4 (empat) sehat 5 (lima) sempurna (Yusuf, dkk, 2008).
Melalui makanan jajanan anak bisa mengenal berbagai makanan yang ada sehingga membantu anak untuk membentuk selera makan yang beragam, sehingga saat dewasa anak dapat menikmati aneka ragam makanan. Manfaat atau keuntungan dari kebiasaan jajan anak yakni (Khomsan, 2003): 1. Memenuhi kebutuhan energi. 2. Mengenalkan diversifikasi (keanekaragaman) jenis makanan. 3. Meningkatkan gengsi dengan teman-teman. Selain memberikan dampak positif, kebiasaan jajan juga dapat berdampak negatif. Makanan jajanan berisiko terhadap kesehatan karena penanganganannya sering tidak baik yang memungkinkan makanan jajanan terkontaminasi mikroba beracun dan menggunakan BTP yang tidak diizinkan (Mudjajanto, 2006). Menurut Kus dan Kusno (2007) terlalu sering dan menjadikan konsumsi makanan jajanan menjadi kebiasaan akan berakibat negatif, antara lain: 1. Nafsu makan menurun. 2. Makanan yang tidak higienis akan menimbulkan berbagai penyakit. 3. Salah satu penyebab terjadinya obesitas pada anak. 4. Kurang gizi sebab kandungan gizi pada jajanan tidak terjamin. 5. Pemborosan. Makanan jajanan mengandung banyak risiko. Debu, asap kendaraan bermotor, dan lalat yang hinggap pada makanan yang tidak ditutup serta peralatan makan seperti sendok, garpu, gelas, dan piring yang tidak dapat dicuci dengan bersih karena persediaan air terbatas dapat menyebabkan penyakit pada sistem pencernaan seperti disentri, tifus ataupun penyakit perut lainnya.
2.6. Masalah Gizi pada Anak Sekolah Menurut Haryanto (2002), masalah-masalah gizi yang umum terjadi pada anak sekolah adalah: 1. Anemia gizi Anemia gizi karena kurang zat gizi besi adalah masalah yang sering ditemukan pada anak sekolah dan remaja. Agar zat besi yang diabsorbsi lebih banyak tersedia untuk tubuh, maka diperlukan bahan makanan yang berkualitas tinggi. Daging, hati, ikan, dan ayam merupakan makanan yang mengandung zat besi yang berkualitas tinggi, artinya mudah dicerna. Zat besi juga dapat diperoleh dari pangan nabati seperti kacang kedelai, serelia, sayursayuran, dan buah-buahan tapi tidak mudah diabsorbsi oleh pencernaan. Makan bahan makanan yang mengandung vitamin C mempermudah penyerapan zat besi. Jadi, menu makanan di rumah yang terdiri dari lauk, sayur-sayuran, dan buah-buahan yang mengandung zat besi sangat bermanfaat mencegah anemia gizi besi. 2. Karies gigi Perilaku makan yang tidak sehat disertai kebersihan mulut yang buruk menyebabkan perusakan gigi dan gusi. Mulut yang tidak bersih menyebabkan penyakit gusi dan penanggalan gigi premature diusia dewasa. Kondisi ini tidak hanya menyebabkan gangguan kesehatan, tetapi juga penampilan. Pendidikan tentang kebersihan mulut, penggunaan fluoride dalam air minum dan pasta gigi, penggunaan pemanis alternatif, dan perbaikan kesehatan mulut sangat penting dalam penurunan kasus tersebut.
3. Kurang gizi Kurang gizi pada anak sekolah disebabkan pada usia sekolah biasanya anak sudah mulai dapat memilih makanan yang disukainya. Mempunyai kebiasaan makan makanan jajanan yang tidak bergizi, gemar bermain sehingga melupakan waktu makan, dan mempunyai kebiasaan tidak sarapan jika berlangsung lama dapat menyebabkan kekurangan gizi. 4. Obesitas Cadangan lemak dalam jumlah yang cukup sangat diperlukan dalam tubuh tapi, sebagian anak sekolah ada yang makannya melebihi kebutuhannya sehingga menyebabkan kegemukan. Badan gemuk berpengaruh kurang baik terhadap imajinasi diri, perkembangan psikis, dan sosial sehingga berakibat depresi yang akhirnya memacu makan lebih banyak lagi. Selain itu, badan gemuk juga mempunyai kecenderungan untuk menderita penyakit jantung, ginjal, diabetes, hipertensi serta berakibat timbulnya penyakit-penyakit lain. 2.7. Perilaku Gizi Anak Sekolah Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku adalah tindakan atau aktifitas dari manusia baik yang dapat langsung diamati maupun tidak diamati. Dengan kata lain perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulasi yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Bloom dalam Notoatmodjo (2003) membaginya menjadi ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor (psychomotor domain). Dalam perkembangan selanjutnya, ketiga domain ini diukur dari:
1. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge). 2. Sikap peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (attitude). 3. Praktik atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice). Jadi, yang dimaksud dengan perilaku gizi anak sekolah adalah cara anak sekolah berpikir, berpengetahuan, dan berpandangan tentang makanan yang dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan (Haryanto, 2002). 2.7.1. Pengetahuan Gizi Anak Sekolah Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk tindakan seseorang karena perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lama daripada yang tidak didasari oleh pengetahuan. Jadi, sebelum seseorang berperilaku baru, dia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan gizi sangat diperlukan dalam upaya pemilihan makanan yang akan dikonsumsi, dengan tujuan agar makanan tersebut memberikan gizi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tubuh. Pengetahuan gizi sebaiknya telah ditanamkan sedini mungkin. Anak yang didasari dengan pengetahuan gizi yang baik akan memperhatikan keadaan gizi setiap makanan yang dikonsumsinya. Rendahnya pengetahuan gizi anak sekolah menyebabkan keterbatasan dalam menangani masalah gizi dan kesehatan sekalipun di daerah tempat tinggalnya banyak tersedia bahan makanan dan pelayanan kesehatan yang memadai yang dapat menyampaikan informasi tentang bagaimana mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.
2.7.2. Sikap Gizi Anak Sekolah Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap hanyalah kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek dengan suatu cara. Jadi, sikap adalah pandangan, pendapat, tanggapan ataupun penilaian dan juga perasaan seseorang terhadap stimulus atau objek yang disertai dengan kecenderungan untuk bertindak (Notoatmodjo, 2003). Sikap gizi anak sekolah adalah penilaian atau pendapat anak sekolah terhadap cara-cara memelihara dan berperilaku hidup sehat. Dengan kata lain, pendapat atau penilaian terhadap makanan, minuman, olah raga, relaksasi (istirahat), dan sebagainya bagi kesehatan. Sikap anak sekolah terhadap makanan sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat (Haryanto, 2002). Kesenangan seseorang akan makan didasarkan pada dasar psikologi dan budaya yang berbeda-beda. Unsur-unsur budaya mampu mempengaruhi kebiasaaan makan yang kadang-kadang dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Sikap membuat seseorang setuju (mendekat) atau tidak setuju (menjauhi suatu hal). Tetapi ada kalanya sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan yang tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini menurut Notoatmodjo (2003), disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: 1. Sikap akan terwujud didalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu. 2. Sikap diikuti ataupun tidak diikuti tindakan mengacu pada pengalaman orang lain. 3. Sikap diikuti oleh tindakan nyata.
2.7.3. Tindakan Gizi Anak Sekolah Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan dia akan melaksanakan apa yang diketahui atau disikapinya. Inilah yang disebut tindakan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Tindakan anak sekolah terhadap makanan tercermin dari kebiasaan makannya. Menurut Suhardjo (2003), kebiasaan makan adalah cara individu memilih dan mengonsumsi pangan sebagai reaksi terhadap fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya. Faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia ada 2 (dua) yaitu: 1. Faktor ekstrinsik, yang merupakan faktor yang berasal dari luar diri manusia yang terdiri dari lingkungan alam, lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan agama. 2. Faktor intrinsik, merupakan faktor yang ada dalam diri manusia yang terdiri dari asosiasi emosional, keadaan jasmani, kejiwaan yang sakit, penilaian terhadap mutu makanan, dan pengetahuan gizi. Kebiasaan makan anak sekolah sangat khas dan berbeda sehingga perlu perhatian khusus, terutama bila kebiasaan makan tersebut kurang baik sebab dapat mengakibatkan penurunan status gizi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan makan yang kurang baik adalah adanya tahyul atau mistik, kepercayaan, dan adat istiadat yang berhubungan dengan makanan. Kebiasaan makan yang tidak baik pada anak sekolah antara lain:
1. Tidak makan (missing meals), terutama makan pagi atau sarapan. 2. Gemar makanan cepat saji, baik yang langsung dibeli ataupun yang dibawa dari rumah. Makanan ini mengandung zat gizi yang tinggi energi, lemak, dan protein, tetapi kurang serat. 3. Gemar makan snack. Snack cenderung tinggi lemak dan gula. 4. Gemar mengonsumsi minuman ringan (soft drink). Minuman ringan rendah nilai gizinya, apalagi kalau digunakan sebagai pengganti minuman susu yang merupakan sumber kalsium yang sangat dibutuhkan pada usia sekolah. 5. Preferensi (adanya makanan yang disukai atau tidak disukai). 6. Keinginan untuk langsing. Diet ketat umumnya karena ingin langsing padahal sedang dalam periode tumbuh cepat. Anak yang mempunyai kebiasaan makan yang baik dilingkungan keluarganya akan memilih makanan dengan pertimbangan kualitas dan kuantitas, baik ketika berada di kantin sekolah ataupun di tempat-tempat penyedia makanan lainnya. Perhatian khusus perlu diberikan pada anak sekolah karena umumnya anak sekolah disibukkan dengan kegiatan di luar rumah sehingga cenderung melupakan waktu untuk makan (Judarwanto 2008).
2.8. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian ini menggambarkan bahwa yang akan diteliti adalah pengaruh penyuluhan dengan metode ceramah dan poster terhadap pengetahuan, sikap, dan tindakan murid terhadap makanan jajanan. Tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan murid sebelum penyuluhan diukur dengan pretest. Untuk melihat sejauh mana pengaruh penyuluhan diukur dengan posttest. Pengetahuan tentang makanan jajanan
Penyuluhan dengan
Sikap terhadap
metode ceramah dan poster
makanan jajanan
Tindakan terhadap makanan jajanan Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
2.9. Hipotesis Penelitian 1. Ada perbedaan pengetahuan murid tentang makanan jajanan antara kelompok perlakuan dan kontrol. 2. Ada perbedaan sikap murid terhadap makanan jajanan antara kelompok perlakuan dan kontrol. 3. Ada perbedaan tindakan murid terhadap makanan jajanan antara kelompok perlakuan dan kontrol.