BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Uraian hewan
2.1.1 Habitat dan morfologi Rajungan termasuk hewan dasar laut yang dapat berenang ke permukaan pada malam hari untuk mencari makan. Rajungan hidup di daerah pantai berpasir lumpur dan di perairan depan hutan mangrove. Rajungan biasanya hidup dengan membenamkan tubuhnya ke dalam pasir (Indriyani, 2006). Rajungan jantan berwarna dasar biru dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan rajungan betina berwarna dasar hijau kotor dengan bercak-bercak putih kotor (Indriyani, 2006). Cangkang memiliki duri sebanyak sembilan buah terdapat pada sebelah mata kanan-kiri. Pada duri yang terakhir berukuran lebih panjang dari duri-duri lainnya dan merupakan titik ukuran lebar cangkang. Perut atau biasa disebut abdomen terlipat ke depan di bawah cangkang. Abdomen jantan sempit dan meruncing ke depan. Abdomen betina melebar dan membulat, gunanya untuk menyimpan telur (Juwana dan Kasijan, 2000). Rajungan yang ditangkap di perairan pantai pada umumnya mempunyai mempunyai kisaran lebar cangkang 8-13 cm dengan berat rata-rata 100 gram, sedangkan rajungan yang berasal dari perairan lebih dalam mempunyai kisaran lebar cangkang 12-15 cm dengan berat rata-rata 200 gram. Selain itu pernah juga ditemukan rajungan dengan lebar cangkang 20 cm dan beratnya mencapai 400 gram (Juwana dan Kasijan, 2000).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Taksonomi Klasifikasi rajungan menurut Indriyani (2006) adalah sebagai berikut : Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Sub kelas
: Malacostraca
Ordo
: Eucaridae
Sub ordo
: Decapoda
Famili
: Portunidae
Genus
: Portunus
Spesies
: Portunus pelagis ♂ dan Portunus trituberculatus ♀
2.1.3 Kandungan senyawa dari cangkang kepiting Cangkang kepiting secara umum mengandung protein 15,60-23,90%, kalsium karbonat 53,70-78,40%, dan kitin 18,70-32,20% yang juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Puspawati dan Simpen, 2010). 2.2
Kitin Kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin
yang saling berikatan dengan ikatan β(1→4) dengan rumus molekul C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N dan 40% O. Struktur kitin menyerupai selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C2. Gugus C2 pada selulosa adalah gugus hidroksil, sedangkan pada C2 kitin adalah gugus Nasetil (-NHCOCH3, asetamida) (Sugita, dkk, 2009). Kitin adalah amorf berwarna putih, tidak berasa, tidak berbau, dan tidak larut dalam air, pelarut organik umumnya, asam-asam anorganik dan basa encer. Sumber kitin yang sangat potensial adalah kerangka luar Crustacea (seperti
Universitas Sumatera Utara
udang, rajungan, dan lobster), serangga, dinding yeast dan jamur, serta mollusca (Rinaudo, 2006). Adapun struktur kitin adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Struktur kitin Gambar 1. Struktur kitin Kitin tidak larut dalam air sehingga penggunaannya terbatas. Namun dengan modifikasi struktur kimianya maka akan diperoleh senyawa turunan kitin yang mempunyai sifat kimia yang lebih baik. Salah satu turunan kitin adalah kitosan, suatu senyawa yang dapat dihasilkan dari proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat (proses deasetilasi) (Puspawati dan Simpen, 2010). Tahapan isolasi kitin dan pembuatan kitosan adalah sebagai berikut : 1.
Deproteinasi Cangkang luar Crustaceae mengandung kitin yang berikatan dengan
kalsium karbonat (CaCO3) dan protein. Kadar protein pada cangkang sekitar 3040% dari komponen organik totalnya. Protein terikat secara fisik dan sebagian lainnya terikat secara kovalen, yang kadarnya beragam untuk setiap jenis crustaceae. Deproteinasi kitin merupakan reaksi hidrolisis dalam suasana asam dan basa. Lazimnya hidrolisis dilakukan dalam suasana basa menggunakan larutan NaOH. Pada tahap deproteinasi ini, protein diubah menjadi natrium proteinat yang larut dalam air (Sugita, dkk, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.
Demineralisasi Cangkang
Crustaceae
umumnya
mengandung
30-50%
mineral
berdasarkan bobot kering, dengan mineral terbanyak berupa CaCO3. Selain itu terdapat pula Ca3(PO4)2 dengan kadar 8-10% dari total bahan anorganik. Senyawa CaCO3 lebih mudah dipisahkan dibandingkan protein karena garam-garam anorganik hanya terikat secara fisik. Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain seperti H2SO4 (Sugita, dkk, 2009). 3.
Deasetilasi Kandungan gugus asetil pada kitin secara teoritis adalah 21,2 %.
Deasetilasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan basa kuat NaOH atau KOH. Penggunaan KOH dapat memutuskan ikatan hidrogen yang kuat antar rantai kitin, sehingga NaOH sering dipakai pada tahap deasetilasi ini (Sugita, dkk, 2009). 2.3
Kitosan Kitosan adalah turunan kitin, yang diperoleh dari proses deasetilasi kitin.
Kitosan pertama kali ditemukan oleh Rouget pada tahun 1859. Kitosan adalah biopolimer glukosamin linier yang terbentuk dari unit ulang 2-amino-deoksi-β-Dglukosa atau disebut (1-4)-2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa dan ini merupakan nama asli kitosan yang mempunyai berat molekul rata-rata 120.000 (Rinaudo, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Struktur kitosan Metode penyediaan kitosan pertama kali dibuat oleh Hope Seyler pada tahun 1894 yaitu dengan merefluks kitin dalam larutan kalium hidroksida pada temperatur 180oC. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan KOH dapat memutuskan rantai kitin (Agusnar, 2006). Perbedaan kitin dan kitosan terletak pada gugus asetamida pada gugus asetamida pada karbon kedua (C2) dalam struktur molekulnya. Sebagian dari gugus asetil pada kitosan digantikan dengan atom hidrogen melalui reaksi hidrolisis dengan alkali pekat (Puspawati dan Simpen, 2010). Karakteristik fisiko-kimia kitosan yaitu : berwarna putih dan berbentuk serpihan seperti bubuk. Kelarutan kitosan yang baik adalah dalam asam asetat 12%. Selain itu kitosan larut dalam HCL encer, HNO3 encer, H3PO4 0,5% dan tidak larut dalam asam pekat dan basa kuat. Dalam kondisi asam berair, gugus amino (-NH2), kitosan akan menangkap H+ dari lingkungannya, sehingga gugus aminonya terprotonasi menjadi –NH3+. Gugus -NH3+ inilah yang menyebabkan kitosan bertindak sebagai garam, sehingga dapat larut dalam air. Perlu diketahui bahwa kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi dan rotasi spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasinya (Sugita, dkk, 2009). Adanya gugus –NH3+ berhubungan dengan sifat kitosan yang efektif dalam hal kapasitas dan kemampuan adsorpsinya terhadap ion logam (merkuri) dibandingkan dengan kitin. Hal ini dimungkinkan karena jumlah gugus amina bebas (sebanding dengan besar derajat deasetilasi) dalam kitosan yang tersedia
Universitas Sumatera Utara
untuk pengkhelatan, lebih banyak dibandingkan pada kitin, sehingga kemampuan (% pengumpulan) kitosan dalam mengikat ion logam pun diperoleh lebih besar dari pada kitin (Agusnar, 2006). Kitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang dimiliki yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak. Selain itu, melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi minimal antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesis yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet, yaitu kitosan memiliki afinitas yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berkaitan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesa protein (Sari, 2008). 2.4
Derajat deasetilasi Kitin yang diperoleh dari deproteinisasi dan demineralisasi tidak larut
dalam sebagian pereaksi kimia. Untuk memudahkan kelarutannya, maka kitin dideasetilasi dengan pelarut alkali menjadi kitosan. Setelah melalui proses deasetilasi maka daya absorbsinya akan meningkat dengan bertambahnya gugus amino (NH2) yang terdapat di dalamnya. Peningkatan kelarutan berbanding lurus dengan peningkatan derajat deasetilasi. Hal ini disebabkan gugus asetil pada kitin yang dipotong oleh proses deasetilasi akan menyisakan gugus amina. Ion H pada gugus amina menjadikan kitosan mudah berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen (Agusnar, 2006). Derajat deasetilasi kitosan dapat diukur dengan berbagai metode. Yang paling lazim digunakan adalah metode garis dasar Spektroskopi IR Transformasi Fourier (FTIR) yang pertama kali diajukan oleh Moore dan Robert pada tahun
Universitas Sumatera Utara
1977. Teknik ini memberikan beberapa keuntungan, yaitu relatif lebih cepat, sampel tidak perlu murni, dan tingkat ketelitian tinggi (Sugita, dkk. 2009). Derajat deasetilasi ditentukan untuk mengetahui seberapa besar kitin yang sudah berubah menjadi kitosan. Derajat deasetilasi kitosan ditentukan berdasarkan rumus : DD = %DD = 1 –
[
x
] 100%
Semakin banyak gugus asetil yang dihilangkan, maka semakin tinggi nilai derajat deasetilasinya. Kitosan dengan derajat deasetilasi 70-90% dinamakan kitosan pasaran (Puspawati dan Simpen, 2010). 2.5
Uji aktivitas biologi Penelitian terhadap senyawa aktif dari bahan alam sangat digalakkan.
Tetapi banyak bahan-bahan obat alami yang telah diisolasi, dikarakterisasi dan dipublikasikan tanpa dilanjutkan dengan uji aktivitas biologi. Aktivitas biologi tumbuhan dan hewan tersebut tidak diketahui hingga bertahun-tahun. Hal ini disebabkan karena karena pencarian untuk senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi sering menggunakan uji aktivitas dengan biaya yang mahal. Hambatan biaya ini mempengaruhi kegiatan farmakologis. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu uji aktivitas yang secara umum sederhana, mudah dan murah namun dapat dipercaya dan dapat mendeteksi adanya senyawa yang mempunyai aktivitas biologi secara luas yang terdapat pada ekstrak, fraksi dan isolat. Beberapa uji pendahuluan yang memenuhi syarat-syarat di atas antara lain: Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST), Potato Disk, dan Uji terhadap Lemna minor L (Mclaughlin dan Rogers, 1998).
Universitas Sumatera Utara
2.5.1 Brine Shrimp Lethality Test Senyawa bioaktif hampir selalu toksik pada dosis tinggi. Oleh karena itu daya bunuh in vivo dari senyawa terhadap organisme hewan dapat digunakan untuk menapis ekstrak tumbuhan yang mempunyai bioaktivitas dan juga untuk memonitor fraksi bioaktif selama fraksinasi dan pemurnian. Salah satu organisme yang sangat sesuai untuk hewan uji tersebut adalah brine shrimp (udang laut). Brine shrimp test sudah digunakan untuk berbagai sistem bioassay yaitu untuk menganalisa residu pestisida, mikotoksin, polutan pada air sungai. Dalam fraksinasi yang diarahkan dengan bioassay, metode brine shrimp telah digunakan untuk memonitor fraksi aktif mikotoksin dan antibiotik pada ekstrak jamur (Meyer, et al, 1982). Artemia salina Leach adalah sejenis udang air asin. Telurnya merupakan makanan ikan tropis dan telur tersebut dapat dijumpai di toko-toko yang menjual ikan hias tropis dengan nama brine shrimp eggs. Telur ini dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam keadaan kering. Jika dimasukkan dalam larutan air laut, telur-telur akan menetas dalam waktu 48 jam dan menghasilkan sejumlah nauplii. Nauplii Artemia salina Leach ini dapat dipakai sebagai alat yang baik untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas biologi (Mclaughlin dan Rogers, 1998). 2.5.2 Metode Potato Disk (menghambat tumor crown gall) Crown gall adalah penyakit tumor pada tumbuhan yang ditimbulkan oleh strain yang spesifik dari bakteri gram negatif Agrobacterium tumefaciens. Terdapat kesamaan antara mekanisme terjadinya tumor pada tumbuhan dan pada hewan, senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan tumor pada tumbuhan
Universitas Sumatera Utara
juga dapat berfungsi sebagai antitumor pada hewan. Uji ini merupakan uji pendahuluan yang sederhana untuk menemukan senyawa antikanker dari bahan alami. Penghambatan pertumbuhan crown gall tumor pada potato disk oleh ekstrak alami, menunjukkan bahwa ekstrak bahan alami tersebut aktif (Mclaughlin dan Rogers, 1998). 2.5.3 Uji terhadap Lemna minor L. Lemna minor L. adalah tumbuhan monokotil yang hidup di daerah perairan. Pada kondisi normal, kondisi ini secara langsung menghasilkan anak daun. Jika ekstrak bahan alami dapat menghambat pertumbuhan dari anak daun tumbuhan Lemna minor L., maka ekstrak bahan alami tersebut dapat berkhasiat sebagai antitumor (Mclaughlin dan Rogers, 1998). 2.5.4 Uji Terhadap cell line Bahan alami yang telah dinyatakan aktif pada uji pendahuluan, selanjutnya dilakukan uji pada tahap berikutnya yaitu uji cell line. Uji ini menggunakan selsel kanker secara in vitro, zat-zat antikanker diuji langsung terhadap sel kanker. Contoh-contoh cell line yang banyak digunakan dalam pengujian zat-zat antikanker antara lain L-1210 (leukimia pada tikus), S-256 (sarcoma pada manusia) (Mclaughlin dan Rogers, 1998).
Universitas Sumatera Utara
2.6
Uraian Artemia salina Leach.
2.6.1 Habitat dan morfologi Pada kondisi alamiah, artemia hidup di danau–danau dan perairan bersalinitas tinggi. Oleh karena itu, artemia disebut juga udang renik asin (brine shrimp). Secara fisik, artemia tidak mempunyai pertahanan tubuh. Oleh karena itu kemampuan hidup di danau dengan salinitas tinggi merupakan sistem pertahanan alamiah artemia terhadap musuh-musuh pemangsanya. Artemia dapat hidup pada temperatur 25-30oC (Mudjiman, 1989). Telur artemia (udang laut) yang kering direndam dalam air laut, akan menetas dalam waktu 24-36 jam. Dalam cangkang keluar larva yang disebut dengan istilah nauplii. Dalam perkembangan selanjutnya, nauplii akan mengalami 15 kali perubahan bentuk (metamorfosis). Setiap kali mengalami perubahan bentuk merupakan satu tingkatan. Tahapan perkembangan pertama disebut instar I, bentuk lonjong dengan panjang sekitar 0,4 mm dan beratnya 15 µg/ml. Warnanya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung cadangan makanan. Oleh karena itu masih belum perlu makan. Setelah 24 jam, nauplii akan berubah menjadi instar II. Pada tingkat ini nauplii mulai mempunyai mulut, saluran pencernaan, dan dubur. Oleh karena itu mereka mulai mencari makanan, dan bersamaan dengan itu cadangan makanannya pun mulai habis. Artemia mempunyai cara makan dengan jalan menyaring makanannya atau filter feeder. Selama perubahan terjadi, nauplii akan mengalami perubahan mata majemuk, antena dan kaki. Setelah menjadi instar XV, kakinya sudah lengkap 11 pasang maka nauplii telah berubah menjadi nauplii Artemia dewasa. Proses ini berlangsung antara 1-3 minggu. Artemia dewasa mempunyai panjang sekitar 1 cm
Universitas Sumatera Utara
dan beratnya 10 mg. Artemia dapat hidup sampai 6 bulan dan bertelur 4-5 kali. Setiap kali bertelur dapat menghasilkan 50-300 butir telur (Mudjiman, 1989). Siklus hidup artemia adalah sebagai berikut:
Gambar. 3 Siklus hidup Artemia salina Leach
2.6.2 Taksonomi Klasifikasi artemia adalah sebagai berikut: Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustaceae
Subkelas
: Branchiophoda
Ordo
: Anostraca
Famili
: Artemiidae
Genus
: Artemia
Spesies
: Artemia salina Leach.
Universitas Sumatera Utara
2.7 Spektroskopi FTIR Spektroskopi Fourier Transform Infrared pada prinsipnya sama dengan spektroskopi infra merah, hanya saja pada spektroskopi FTIR ditambahkan alat optik (fourier transform) untuk menghasilkan spektra yang lebih baik, sehingga spektroskopi FTIR dapat menghasilkan puncak yang diinginkan, dimana dengan spektroskopi inframerah puncak tersebut tidak muncul (Khan, et al, 2002). Metode yang digunakan untuk menentukan absorbs pada spectra inframerah adalah metode garis dasar (baseline). Dengan metode ini transmitan pada bilangan gelombang yang diinginkan ditentukan dengan membandingkan jarak antara dasar pita dan puncak pita pada bilangan gelombang yang diinginkan tersebut, yang secara matematis diberikan melalui persamaan sebagai berikut : Transmitan (T) = Karena absorbansi merupakan logaritma negative dari transmitan, maka absorbansi dapat dinyatakan sebagai berikut : A= - log
= log
Dimana I adalah intensitas sisa dan
merupakan intensitas awal
Bila suatu senyawa menyerap radiasi pada suatu panjang gelombang tertentu, intensitas radiasi
yang diteruskan oleh contoh akan berkurang. Ini
menyebabkan suatu penurunan %T dan terlihat di dalam spectrum sebagai suatu sumur, yang disebut sebagai puncak absorbsi atau pita absorbsi (peak atau band). Bagian spektrum dimana %T menunjukkan angka 100 (atau mendekati 100) disebut garis dasar (baseline), yang di dalam spektrum inframerah direkam pada bagian atas (Fessenden, 1992).
Universitas Sumatera Utara