perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Lingkar Leher Lingkar leher didefinisikan sebagai diameter leher yang diukur sejajar dengan tulang rawan tiroid. Leher dibagi menjadi empat segitiga untuk pencatatan dan interpretasi penemuan. Garis tengah dari empat pertemuan tersebut dibatasi dengan incisura kartilago tiroidea dan incisura suprasternal. Diameter sejajar dengan incisura kartilago tiroidea disebut sebagai lingkar leher (Martinho dkk, 2008). Lingkar leher menggambarkan distribusi lemak regional tubuh bagian atas yang secara alamiah berbeda antar individu dan populasi (Walton dkk, 1995). Secara umum, penimbunan lemak yang berasosiasi dengan diameter lingkar leher mulai dapat diamati pada usia 6 tahun sampai masa pubertas, penimbunan sel lemak akan meningkat yang berarti deposit sel lemak akan terdistribusi pada regio-regio tertentu (Martinho dkk, 2008). Usia mulai terjadinya rebound ini sangat menentukan untuk terjadinya obesitas yang menetap (Dietz, 1998). Beberapa studi yang dilakukan pada orang dewasa dan anak-anak, lingkar leher telah teruji berkorelasi baik dengan parameter lainnya seperti tebal lipatan kulit, dan IMT. Dengan adanya korelasi yang baik antara lingkar leher dengan IMT maka lingkar leher dianggap berperan sebagai prediktor pada obesitas (Ben-Noun dkk, 2001). Obesitas
commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
Definisi World Health Organization (WHO) mendefinisikan obesitas atau kegemukan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan (WHO, 2000). Obesitas adalah hasil akhir dari ketidakseimbangan antara ambilan energi dengan keluaran energi karena ambilan yang melebihi keluaran dan menghasilkan penimbunan dalam jaringan lemak dan disimpan sebagai cadangan energi tubuh (Sjarif, 2002; Subardja dkk, 2010). Angka Kejadian Data WHO pada tahun 2000 menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemi global. Prevalensinya dari tahun ke tahun, baik di negara maju maupun negara yang sedang berkembang makin meningkat. Prevalensi obesitas pada anak usia prasekolah di Amerika Serikat tahun 2008 adalah 14,6% dan menurut data dari Centres for Disease Control and Prevention (CDC) didapatkan peningkatan prevalensi obesitas pada anak usia 12-18 tahun di Amerika Serikat yaitu dari 6% pada tahun 1970an menjadi 17% pada tahun 2003-2004 (Yanovski dkk, 2007). Menurut De Onis tahun 2000, prevalensi anak sekolah dengan overweight di negara sedang berkembang juga menunjukkan peningkatan, paling banyak didapatkan di Amerika Latin dan Karibia (4,4%), kemudian Afrika (3,9%), dan Asia (2,9%). Di Indonesia sendiri prevalensi obesitas pada balita mengalami peningkatan baik di perkotaan maupun pedesaan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010, prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak sekolah (6-12 tahun) sebesar 9,2%. Sebelas propinsi, seperti DI Aceh (11,6%), Sumatera Utara (10,5%), Sumatera Selatan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
8 digilib.uns.ac.id
(11,4%), Riau (10,9%), Lampung (11,6%), Kepulauan Riau (9,7%), DKI Jakarta (12,8%), Jawa Tengah (10,9%), Jawa Timur (12,4%), Sulawesi Tenggara (14,7%), dan Papua Barat (14,4%) berada di atas prevalensi nasional (Kartika dan Siti, 2013). Faktor Risiko Berdasarkan hukum termodinamik, obesitas disebabkan akibat ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak (Taitz, 1991). Gangguan keseimbangan energi ini, disebabkan oleh faktor eksogen/nutrisional (obesitas primer) sedangkan hanya sebagian kecil saja yang disebabkan oleh faktor endogen (obesitas sekunder) seperti kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (Subardja dkk, 2010). Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti atau bersifat multifaktorial, diduga akibat interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan (Taitz, 1991). Faktor genetik Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila kedua orang tua obesitas, maka 80% anaknya akan menjadi obesitas. Apabila salah satu orang tua obese, maka kejadian obesitas pada anak menjadi 40%, dan apabila kedua orang tua tidak obesitas prevalensi anak menjadi obesitas sekitar 14% (Sjarif, 2002). Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas melalui efek pada resting metabolic rate thermogenesis non exercise, kecepatan oksidasi lipid, dan kontrol nafsu makan yang jelek atau gangguan pada gen-gen penyebab obesitas seperti leptin, dan sindrom tertentu (Kopelman, 2000; Subardja dkk, 2010). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa kerentanan terhadap obesitas dapat ditentukan secara genetik (Kopelman, 2000). Faktor lingkungan Faktor lingkungan menentukan ekspresi fenotip obesitas meliputi antara lain nutrisi, aktivitas fisik, sosial ekonomi dan gaya hidup: Nutrisi Peranan faktor nutrisi pada obesitas dimulai sejak dalam kandungan, jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi oleh berat badan ibu. Selanjutnya kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh beberapa hal seperti waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak atau kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi (Sjarif, 2002). Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok dengan asupan rendah lemak (OR 1,7). Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai energy density lebih besar, cenderung tidak mengenyangkan serta mempunyai efek termogenesis yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat. Kelebihan asupan lemak yang tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak mengakibatkan sekitar 96% lemak disimpan dalam jaringan lemak (WHO, 2000). Aktivitas Fisik Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Beberapa penelitian yang dilakukan di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
negara maju mendapatkan hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa anak yang menonton televisi 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang menonton televisi 2 jam per harinya (Kopelman, 2000). Sosial Ekonomi Faktor sosial ekonomi dan gaya hidup juga dapat mempengaruhi terjadinya obesitas. Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku, gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Perubahan gaya hidup akhir-akhir ini justru menjurus pada penurunan aktivitas fisik pada anak, seperti ke sekolah dengan naik kendaraan dan anak yang lebih senang bermain komputer/games, menonton televisi atau video dibanding bermain dengan teman. Selain itu, semakin mudahnya memperoleh bermacam-macam makanan cepat saji dengan harga yang terjangkau, semakin berisiko menimbulkan obesitas pada anak (Sjarif, 2002). Patogenesis Obesitas merupakan penyakit kronis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: genetik, budaya, sosio-ekonomi, kebiasaan dan faktor situasi yang semuanya berperan dalam menumbuhkan kebiasaan makan dan pengontrolan berat badan (Kartika dan Siti, 2013). Menurut patogenesisnya, obesitas dapat digolongkan atas regulatory obesity atau obesitas reguler, metabolic obesity atau obesitas metabolik. Pada obesitas reguler terjadi gangguan primer pada pusat pengaturan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
masukan makanan, misalnya kerusakan hipotalamus. Sedangkan, pada obesitas metabolik terjadi kelainan pada metabolisme lemak dan karbohidrat, misalnya pada obesitas karena kelainan genetik (Soetjiningsih, 2001). Obesitas juga dapat dibagi menurut teori sel lemak (Fat Cell theory), yang pertama : jumlah sel lemak normal, tetapi terjadi hipertrofi; dan yang kedua : jumlah sel lemak meningkat/hiperplasi dan juga terjadi hipertrofi sel. Penambahan dan pembesaran jumlah sel lemak paling cepat pada tahun pertama kehidupan dan remaja. Obesitas pada anak-anak dan remaja terjadi hipertrofi juga hiperplasi sel, sedangkan obesitas pada dewasa pada umumnya hanya terjadi hipertrofi sel (Nammi dkk, 2004; Bergman dkk, 2001). Obesitas pada anak dan remaja terjadi jika asupan kalori berlebihan, terutama pada tahun pertama kehidupan.Rangsangan untuk meningkatkan jumlah sel terus berlanjut hingga dewasa. Kebiasaan pemberiaan susu botol ketika anak menangis, menumbuhkan kebiasaan anak untuk mengharapkan makanan kalau sedang stres. Penderita obesitas menjadi resisten terhadap insulin, sehingga kadar insulin di dalam peredaran darah meningkat. Jadi, insulin akan menurunkan lipolisis dan meningkatkan pembentukan lemak (Kopelman, 2000). Perjalanan dan Perkembangan Terdapat 3 periode kritis dalam masa tumbuh kembang anak dalam kaitannya dengan terjadinya obesitas, yaitu periode prenatal pada trimester ketiga kehamilan, periode adiposity rebound pada usia 6-7 tahun dan periode adolescence (Dietz, 1998). Puncak penimbunan lemak awal terjadi pada umur 6-8 bulan. Setelah periode tersebut pembentukan lemak mulai menurun dan berhenti commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada umur 28 bulan. Pada usia 1 tahun terjadi demobilisasi lemak sehingga pada usia 6 tahun seorang anak mempunyai kandungan lemak tubuh paling sedikit (Soetjiningsih, 2001). Mulai usia 6 tahun sampai masa sebelum pubertas, penimbunan sel lemak akan meningkat kembali (rebound) yang berarti deposit sel lemak dimulai kembali. Usia mulai terjadinya rebound ini sangat menentukan untuk terjadinya obesitas yang menetap. Apabila proses rebound terjadi dini, maka kemungkinan untuk menetapnya obesitas makin besar (Dietz, 1998). Pi-Sunyer (1994) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa sekitar 26,5% anak obesitas akan tetap obesitas untuk dua dekade berikutnya dan 80% remaja obesitas akan menjadi dewasa yang obesitas pula. Obesitas pada Remaja Definisi Remaja pada umumnya didefinisikan sebagai seorang anak yang telah mencapai usia 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki. Menurut Diknas, anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus Sekolah Menengah Atas. Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun (Soetjiningsih, 2001). Obesitas pada remaja didefinisikan sebagai keadaan patologis sebagai akibat dari konsumsi makanan yang melebihi kebutuhan (pshycobiological cause for eating) sehingga terdapat penimbunan jaringan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh dan terjadi pada masa remaja (Kartika dan Siti, 2013).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
Angka Kejadian Data demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut WHO (1995) sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berusia 10-19 tahun. Sekitar 900 juta berada di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Di Asia Pasifik dimana penduduknya merupakan 60% dari penduduk dunia, seperlimanya adalah remaja umur 10-19 tahun (Huriyati dkk, 2004). Di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik (2000) kelompok umur 10-19 tahun adalah sekitar 22%, yang terdiri dari 50,9% remaja laki-laki dan 49,1% remaja perempuan (Soetjiningsih, 2001). Obesitas pada anak dan remaja sampai saat ini masih merupakan masalah kompleks. Penyebabnya multifaktorial sehingga menyulitkan penatalaksanaannya. Angka kejadian obesitas pada anak dan remaja yang semula sekitar 10-30% dari obesitas dewasa di negara maju ditengarai terus bertambah. Data tahun 1996, anak di Amerika yang mengalami obesitas sekitar 27% dan pada masa remajanya 21% (usia 12-17 tahun) (Satoto dkk, 2008). Bila dihitung dua dekade terakhir angka kejadian obesitas pada anak meningkat 54% dan remaja obesitas ditemukan meningkat 39%. Dalam tahun 2002, remaja dan dewasa Amerika 25% obesitas dan 50% overweight, dan prevalensi pada anak belasan tahun berkisar antara 1622% (CDC, 2009; Yanovski dkk, 2007). Di Indonesia, data Riskesdas tahun 2010 menunjukkan prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak sekolah (6-12 tahun) sebesar 9,2% (Kartika dan Siti, 2013). Prevalensi obesitas pada anak SD di Yogyakarta sebesar 7,9% perempuan dan 12,6% pada laki-laki (Himmah, 2005). Sedangkan prevalensi obesitas untuk anak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
SLTP di Yogyakarta sebesar 4,9% (Hidayati dkk, 2006). Prevalensi obesitas di Semarang sebesar 12,1% (Mexitalia, 2004). Di SD Bromantakan Surakarta, prevalensi obesitas sebesar 9,7% (Hidayah dkk, 2007). Pertumbuhan Somatik pada Remaja Terdapat ciri yang pasti dari pertumbuhan somatik pada remaja, yaitu peningkatan masa tulang, otot, masa lemak, kenaikan berat badan, perubahan biokimia, yang terjadi pada remaja laki-laki maupun perempuan walaupun polanya berbeda. Karena berat badan (BB) mudah diukur maka berat badan sering dipakai untuk menyatakan pertumbuhan, tetapi berat badan menggambarkan jumlah dari berbagai massa jaringan tubuh sehingga secara klinik sulit untuk diinterpretasikan (Kartika dan Siti, 2012; Soetjiningsih, 2001). Memasuki masa pubertas, remaja perempuan telah mencapai kira-kira 60% berat dewasa. Sekitar 95% remaja perempuan normal kecepatan kenaikan berat badanya berkisar antara 5,5-10,5 kg/tahun. Pada remaja laki-laki, pacu tumbuh berat badan terjadi bersamaan dengan pacu tumbuh tinggi badanya dan ototnya. Sekitar 95% rata-rata remaja laki-laki mengalami kenaikan berat badan 6-12,5 kg/tahun (Satoto dkk, 2008). Selain massa otot, jaringan lemak juga menentukan ukuran dan bentuk tubuh seseorang. Banyak dan besarnya sel lemak menentukan gemuk atau kurusnya seseorang. Selama masa pubertas terjadi perubahan jumlah jaringan lemak tubuh baik pada remaja laki-laki maupun perempuan (Nammi dkk, 2004). Remaja laki-laki sebenarnya terjadi kehilangan lemak, terutama pada anggota gerak. Lemak yang hilang pada anggota gerak, lambat atau sedikit sekali mengalami akumulasi kembali ke tingkat prapubertas. Berbeda dengan remaja commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
laki-laki, pada remaja perempuan terjadi penambahan yang kontinu dari lemak selama proses pubertas, kecuali terjadi perlambatan akumulasi lemak sebentar sebelum percepatan tingginya. Setelah masa percepatan tinggi badan, terjadi akumulasi lemak lebih cepat dan ekstensif yaitu sel lemak lebih besar dan lebih banyak daripada remaja laki-laki, sehingga lemak keseluruhan 25% dari berat badannya (Soetjiningsih, 2001). Indeks masa tubuh meningkat pada pubertas. Terdapat korelasi yang kuat antara saat pubertas dengan indeks masa tubuh, yaitu anak yang mempunyai nilai ratarata indeks masa tubuh yang lebih tinggi akan mengalami maturitas lebih awal. Indeks masa tubuh menurun dari lahir sampai mencapai angka terendah pada umur 4-6 tahun sebelum meningkat secara bertahap sampai dewasa. Kenaikan setelah titik terendah ini menggambarkan adanya adiposity rebound (Boivin dkk, 2001). Gambaran Klinis Dalam
tumbuh
kembangnya
menuju
dewasa,
berdasarkan
kematangan
psikoseksual, semua remaja akan melewati tahapan berikut: Masa remaja awal/dini (Early adolescence): umur 11-13 tahun Masa remaja pertengahan (Middle adolescence) : umur 14-16 tahun Masa remaja lanjut (Late adolescence): umur 17-20 tahun Gambaran klinis obesitas pada remaja cenderung mudah dikenali. Karena remaja merupakan masa transisi dari masa anak ke dewasa. Pada masa ini terjadi pacu tumbuh berat badan dan tinggi badan yang disebut sebagai pacu tumbuh adolescence (Soetjiningsih, 2001; Kopelman, 2000). Remaja yang obesitas dapat commit to user dikenali melalui wajah bulat disertai dengan pipi tembem dan dagu rangkap, leher
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
relatif pendek, dada membusung dengan payudara membesar, perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat, dan striae abdomen. Pada anak laki-laki bisa ditemukan penis yang tenggelam sehingga tampak kecil (burried penis), dan ginekomastia. Pada kulit bisa didapatkan intertrigo, dermatitis moniliasis, dan acanthosis nigrican, serta jerawat (Sjarif, 2011; Subardja dkk, 2010). Bentuk fisik obesitas dibedakan menurut distribusi lemak yaitu obesitas tubuh bagian atas (upper body obeseity) dan obesitas tubuh bagian bawah (lower body obeseity). Obesitas tubuh bagian atas disebut juga apple shape body bila lebih banyak lemak di tubuh bagian atas (dada dan pinggang). Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak didapatkan pada pria, oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal juga sebagai android obesity. Obesitas tubuh bagian bawah (pear shape body) adalah penimbunan lemak yang berlebihan di tubuh bagian bawah (pinggul dan paha). Tipe obesitas ini lebih banyak terjadi pada wanita sehingga sering disebut gynoid obesity (Bergman dkk, 2001; Boivin dkk, 2001).
Diagnosis Diagnosis obesitas dapat diawali dengan anamnesis, ditanyakan kapan saat mulai timbulnya obesitas, riwayat tumbuh kembang yang mendukung obesitas endogen, keluhan mengorok (snoring) saat tidur, dan nyeri pinggul. Riwayat gaya hidup perlu digali mengenai pola makan/kebiasaan makan serta aktifitas fisik (misalnya sering
menonton
televisi).
Riwayat
keluarga
dengan
obesitas
menjadi
pertimbangan kemungkinan adanya faktor genetik, disertai dengan adanya risiko commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seperti penyakit kardiovaskuler di usia muda, hiperkolesterolemia, hipertensi dan diabetes melitus tipe 2 (Barlow, 2007). Kriteria diagnosis obesitas harus terpenuhi baik secara klinis maupun antropometri. Secara antropometris penentuan obesitas dapat dilakukan dengan beberapa metode pengukuran, antara lain sebagai berikut (Sjarif, 2011): Pengukuran berat badan (BB) dibandingkan tinggi badan (BB/TB), dikatakan obesitas bila BB/TB > persentil ke-95 atau >120% atau z-score> + 2 standar deviasi. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur tebal lipatan kulit (TLK) bisep, trisep, subskapular dan suprailiaka, disebut obesitas bila TLK > persentil ke-85. Menghitung indeks massa tubuh (IMT) yaitu baku pengukuran obesitas pada anak dan remaja. IMT menjadi petunjuk untuk menentukan kelebihan berat badan berdasarkan indeks quatelet (kg/m2). Interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin anak. Tabel 2.1 Interpretasi kurva IMT tergantung pada umur Umur
Obese
Parameter
0-5 th
z-score ≥ +3
Kurva WHO 2006
5-19 th
z-score ≥ +2
Kurva WHO reference 2007
≥ P90
Kurva CDC 2000
Pada remaja obesitas, diagnosis antropometri ditegakan terutama dengan menghitung IMT dan lipatan kulit trisep (LKT). IMT adalah suatu indeks dari BB seseorang dalam hubungan dengan TB, perhitungannya dengan cara membagi BB (kg) dengan kuadrat TB (m2). commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berikut adalah kriteria yang dipublikasikan pada tahun 1998 oleh The National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) dari National Institute of Health (NIH) untuk mengidentifikasi, evaluasi, dan terapi penderita berat badan lebih dan obesitas (Soetjiningsih, 2001): Tabel 2.2 Klasifikasi NHBLI (terminologi WHO 1995) Klasifikasi NHLBI (terminologi WHO)
Rentang IMT (kg/m2)
BB kurang
<18,5
Normal
18,5-24,9
BB lebih overweight
25-29,9
Obesitas kelas 1
30-34,9
Obesitas kelas 2
35-39,9
Obesitas kelas 3
≥40
Klasifikasi Obesitas pada remaja dapat diklasifikasikan menurut tingkat keparahan dan tipenya. Menurut Soetjiningsih (2001), keparahan obesitas dibedakan menjadi : Moderate obesity bila berat badan antara 120-170% dari berat badan ideal Severe obesity bila berat badan lebih dari 170% dari berat badan ideal. Menurut Kopelman (2000), obesitas pada remaja dapat dibedakan menjadi beberapa tipe : Inappropiate eating habits, faktor utama terjadinya obesitas adalah karena adanya kelebihan masukan makanan, biasanya terjadi pada masa bayi dan masa remaja. commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
High set point for fat stores, cenderung terjadi peningkatan deposit lemak, biasanya dimulai pada masa kanak-kanak dan selalu ada faktor keturunan. Dampak dan Permasalahan yang muncul Remaja
dengan
obesitas
berpotensi
mengalami
berbagai
permasalahan
psikososial. Bermacam permasalahan psikososial ini tentu saja akan berpengaruh terhadap tingkat kematangan remaja. Tingkat kematangan dan kedewasaan remaja dengan obesitas terbilang lebih rendah bila dibandingkan dengan remaja yang tidak obesitas (Hidayah dkk, 2006). Hal ini juga senada dengan penelitian Riza dkk (2008), yang mendefinisikan lebih rinci tentang faktor yang mempengaruhi gangguan psikososial pada anak obese di Kotamadya Surakarta. Lebih lanjut, Riza dkk (2008) menyatakan bahwa stigma obesitas ini membawa konsekuensi psikologis dan sosial pada remaja, termasuk peningkatan risiko depresi karena lebih sering ditolak dan dikucilkan karena berat badan mereka. Remaja obesitas sepanjang hidupnya juga berisiko lebih tinggi untuk menderita sejumlah masalah kesehatan yang serius, seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, asma, dan beberapa jenis kanker (CDC, 2012). Selain itu, anak dengan obesitas cenderung lebih sering mengalami alergi dibanding anak yang tidak obese. Penelitian yang dilakukan oleh Permatasari (2013) didapatkan kadar IgE total (sebagai petanda atopi) pada anak obese dan overweight
lebih tinggi
dibandingkan dengan anak dengan berat badan normal. Disamping itu, obesitas berisiko tinggi mengalami dislipidemia, hipertensi, hiperinsulinemia yang memicu terjadinya penyakit metabolik. Agustina (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dengan commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
angka kejadian dislipidemia pada anak sekolah dasar. Lebih lanjut peneliti menggunakan lingkar leher sebagai prediktor dislipidemia. Obesitas pada anak juga terbukti berhubungan dengan angka kejadian penyakit kardiovaskular pada usia dewasa. Data klinis dan epidemiologis menunjukkan bahwa insiden obesitas pada anak meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular pada masa dewasa (Martuti dkk 2007; Taitz dkk, 1991). Guo dan Chumlea (1999) menyatakan hampir 30% remaja obesitas menderita sakit seperti kondisi orang dewasa diantaranya adalah diabetes tipe 2, angina pektoris dan hipertensi. Lingkar Leher sebagai Kriteria Diagnosis Obesitas pada Remaja Distribusi lemak telah teruji berkorelasi baik dengan IMT, dan menjadi perangkat yang sederhana dan efektif untuk mengidentifikasi obesitas secara individual pada orang dewasa (Ben-Noun dkk, 2001). Sehingga obesitas juga dapat ditentukan dengan caramengukur distribusi lemak tubuh bagian tertentu seperti lingkar pinggang, lingkar leher, skinfold, ratio lingkar pinggang dan pinggul, atau dengan pemeriksaan penunjang seperti USG (ultrasonography), DEXA (Dual Energy XRay Absorbsimetry), CT Scan (Computed Tomography Scan), dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) (Nafiu dkk, 2010). Pada penelitian yang dilakukan terhadap orang dewasa, lingkar leher sudah menjadi alat skrining yang mudah dan hemat yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi obesitas secara individual (Ben-noun dkk, 2001). Hubungan lingkar leher dengan obesitas sentral dan faktor resiko PJK dengan mengevaluasi komponen metabolik juga telah diteliti (Ben-noun dan Laor, 2006), akan tetapi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
penelitian tentang hubungan lingkar leher dengan IMT yang tinggi pada anakanak dan remaja masih jarang dilakukan. Penelitian Naifu dkk (2010) pada anak-anak usia 6-18 tahun didapatkan bahwa lingkar leher berkorelasi secara signifikan dengan IMT, dan didapatkan nilai optimal (cut of point) yang mengindikasikan IMT yang tinggi pada anak laki-laki antara 28,5 cm – 39,8 cm, sedangkan untuk anak perempuan antara 27,0 cm – 34,6 cm. Sedangkan pada penelitian yang lain pada anak usia 6-18 tahun juga didapatkan korelasi yang signifikan antara IMT dan lingkar leher, dan didapatkan nilai optimal (cut of point) yang mengindikasikan IMT yang tinggi antara 28 cm – 38 cm untuk anak laki-laki dan antara 27 cm – 34,5 cm untuk anak perempuan (Nafiu dkk, 2010). Lou dkk (2012) pada studi cross sectional-nya melaporkan bahwa lingkar leher memiliki korelasi signifikan dengan umur, IMT, dan lingkar lengan atas anakanak obese. Anak-anak yang mengalami obesitas setidaknya memiliki lingkar leher 29,2 ± 3,1 cm lebih besar bila dibandingkan dengan anak normal. Sensitifitas metode ini sebesar 75,5-86,7% untuk anak laki-laki dan 80,0-92,5% untuk anak perempuan. Sementara spesifitas metode ini sebesar 73,9-91,7% untuk anak laki-laki dan 74,7-93,3% untuk anak perempuan. Penelitian Ismail (2013) pada anak-anak usia 6-12 tahun didapatkan bahwa lingkar leher berkorelasi secara signifikan dengan IMT, dan didapatkan nilai optimal (cut of point) yang mengindikasikan IMT yang tinggi untuk anak usia 612 tahun antara 29,3 – 33,5 cm. Sedangkan titik pada anak perempuan usia 6-12 tahun berkisar antara 28,5 - 34 cm (Ismail, 2013). commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kerangka Konsep
Remaja
Faktor eksogen 1. Lingkungan 2. Nutrisi 3. Aktifitas fisik 4. Sosioekonomi
Faktor endogen 1. Genetik 2. Hormonal
Berat badan
TLK
IMT
Lingkar leher
Obesitas
Risiko penyakit metabolik
Gangguan tingkat kematangan & kedewasaan Gangguan psikososial
Keterangan IMT = indeks masa tubuh commit to user TLK = tebal lipatan kulit (bisep, trisep, subskapuler, suprailiaka)
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 1. Kerangka Konsep
Keterangan Kerangka Konsep Seorang remaja dapat menderita obesitas oleh karena beberapa faktor, seperti faktor endogen (berasal dari dalam) dan faktor eksogen (berasal dari luar). Faktor endogen contohnya adalah genetik dan hormonal sementara faktor eksogen antara lain adalah faktor lingkungan dimana lingkungan memiliki peran khusus terhadap lifestyle (gaya hidup) remaja. Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku, gaya hidup, pola makan, peningkatan pendapatan akan meningkatkan risiko obesitas pada remaja. Obesitas sendiri memiliki dampak yang merugikan bagi kesehatan dan tumbuh kembang, remaja yang obese cenderung mudah mengidap penyakit metabolik di usia dewasanya, selain itu obesitas pada remaja dapat menyebabkan gangguan tingkat kematangan dan kedewasaan remaja. Mengingat dampak di atas, perlu dikembangkan suatu perangkat skrining untuk dapat mendiagnosis obesitas secara lebih efisien. Selama ini telah dikenal beberapa metode yang digunakan sebagai perangkat diagnosis obesitas pada remaja, contohnya adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) dan tebal lipatan kulit. Sementara diketahui satu metode lain yang akhir-akhir ini digunakan yaitu lingkar leher yang telah terbukti berkorelasi dengan baik terhadap IMT. Ruang lingkup commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada penelitian ini meliputi area pengukuran antopometri: berat badan, tinggi badan, dan lingkar leher. Hipotesis Hipotesis kerja dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara lingkar leher dengan obesitas pada remaja.
commit to user