BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lesi Prakanker Lesi prakanker leher rahim yang sangat dini dikenal dengan Neoplasi Intraepitelial Serviks atau NIS, yang ditandai dengan adanya perubahan displastik epitel serviks. Keadaan ini merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma leher rahim. Diawali dengan NIS I (CIN I) karsinoma yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi NIS II, dan kemudian menjadi NIS III dan selanjutnya berkembang menjadi karsinoma leher rahim. Konsep regresi yang spontan serta lesi yang persistent menyatakan bahwa tidak semua lesi prakanker akan berkembang menjadi lesi invasif, sehingga diakui bahwa masih cukup banyak faktor yang berpengaruh (Andrijono, 2010). Hal ini mengisyaratkan bahwa perempuan yang memiliki displasia yang rendah dan ringan, tidak selalu berkembang menjadi kanker leher rahim, karena dapat hilang dan lenyap dengan sendirinya tergantung pada sistem kekebalan tubuh. Kondisi lesi prakanker di klasifikasikan menjadi : NIS I adalah displasia ringan, NIS II adalah displasia moderat dan NIS III adalah displasia parah (Suhemi, 2010). Perjalanan lesi prakanker leher rahim sebagai berikut : NIS I, 57 % regresi, 32 % persistent, 11 % progres ke NIS II, dan 1 % progres ke karsinoma. NIS II, 43 % regresi, 35 % persistent, 22 % progres ke NIS III dan 5 % progres ke karsinoma. NIS III, 32 % regresi, 56 % persistent, dan lebih dari 12 % progres ke karsinoma.
2.2 Kanker Leher Rahim Kanker adalah suatu proses perubahan pada sel normal yang berproliferasi tanpa kendali akibat mutasi gen. Kanker leher rahim adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Kanker leher rahim merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina (Notodiharjo, 2002). Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim (Notodiharjo, 2002). Dari berbagai jenis keganasan pada genetalia wanita hanya kanker leher rahim yang dapat di cegah dengan suatu teknik skrining yang cukup efektif, murah dan dapat mendeteksi terhadap keadaan prakanker yang di kenal dengan nama IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat). Tetapi belum semua wanita usia 30 tahun keatas dan sudah menikah bisa memeriksakan dirinya secara rutin. Keterlambatan
diagnosa
menyebabkan
keterlambatan
pasien
mendapat
pengobatan (Saefudin, 1999). Pengobatan kanker leher rahim menurut beberapa penulis belum memberikan hasil yang memuaskan. Terutama di Negara berkembang, pasien pada umumnya datang dalam keadaan stadium klinis yang telah lanjut. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya lesi prakanker cukup panjang. Periode laten dari fase pra invasif
menjadi invasif memerlukan waktu sekitar 10 tahun. Kanker leher rahim sering terjadi pada wanita berusia antara 45-50 tahun dengan puncaknya pada usia 35-39 tahun dan 60-64 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun ( Saefudin, 1999). 2.3 Epidemiologi Kanker Leher Rahim Di antara tumor ganas ginekologik, kanker leher rahim masih menduduki peringkat pertama di Indonesia. Di seluruh dunia, di perkirakan terjadi sekitar 500.000 kanker leher rahim baru dan 250.000 kematian setiap tahunnya yang 80 % terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia insiden kanker leher rahim di perkirakan 40.000 kasus pertahun dan masih merupakan kanker wanita yang paling sering. Dari jumlah itu, 50 % kematian terjadi di negara-negara berkembang. Hal itu terjadi karena pasien datang ketempat pelayanan dalam keadaan stadium lanjut (Suwiyoga, 2006). Insidens kanker leher rahim meningkat sejak usia 25-34 tahun dan menunjukkan puncaknya pada usia 35-44 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Ciptomangunkusumo, dan 45-54 tahun di Indonesia. Laporan FIGO pada tahun 1998 menunjukkan kelompok usia 30-39 tahun dan 60-69 tahun terbagi sama banyaknya. Secara keseluruhan, stadium IA lebih sering ditemukan pada kelompok usia 30-39 tahun sedang untuk stadium IB dan II lebih sering ditemukan pada kelompok usia 40-49 tahun. Kelompok usia 60-69 tahun merupakan proporsi tertinggi pada stadium III dan IV. 2.4 Penyebab Kanker Leher Rahim
Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker (Rasjidi, 2007). Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan oleh tipe 16 dan 18. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker leher rahim. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki kemungkinan terkena kanker leher rahim sebesar 5% (Rasjidi, 2007). HPV merupakan faktor inisiator kanker leher rahim. Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG (Tumor Supressor Gene) p53 akan kehilangan fungsinya. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol (Garcia, 2007). 2.5 Faktor Risiko Lesi Prakanker Leher Rahim Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya lesi prakanker leher rahim yaitu : 2.5.1 Usia
Saat ini telah di ketahui di beberapa negara bahwa puncak insidensi lesi prakanker terjadi pada kelompok usia 30-39 tahun, dan kejadian kanker leher rahim terjadi pada usia di atas 60 tahun (Azis, 2009). Di Indonesia, telah di lakukan penelitian pada tahun 2002 mengenai puncak insidensi kanker leher rahim yaitu pada kelompok usia 45-54 tahun. Penelitian di RSCM tahun 1997 menunjukkan insiden kanker leher rahim meningkat sejak usia 25-34 tahun dan puncaknya pada usia 35-44 tahun, sementara di Indonesia (1988-1994) pada usia 45-54 tahun. Laporan FIGO pada tahun 1998 menyebutkan kelompok usia 30-39 tahun dan 60-69 tahun terbagi sama banyaknya (Azis, 2001). 2.5.2 Hubungan seks pada usia muda atau menikah pada usia muda Wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko terkena kanker servik. Menikah pada usia di bawah 20 tahun di anggap terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Umur yang dianggap optimal untuk reproduksi antara 20-35 tahun (Rasdjidi, 2008). Jadi, seorang wanita yang melakukan hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 20 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada servik belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar. Termasuk zat-zat kimia yang di bawa sperma. Periode rentan ini berhubungan dengan kiatnya proses metaplasia pada usia pubertas, sehingga bila ada yang mengganggu proses metaplasia tersebut
seperti infeksi akan memudahkan beralihnya proses menjadi displasia yang lebih berpotensi untuk terjadinya keganasan (Cullati, 2009). Laporan dari berbagai pusat di Indonesia juga memperlihatkan hasil yang serupa dengan hasil penelitian di luar negeri. Penelitian Marwi di Yogyakarta menemukan 63,1 % penderita karsinoma servik menikah pada usia 15-19 tahun, hasil yang serupa juga di peroleh dari penelitian Sutomo di Semarang (Rasdjidi, 2008). 2.5.3 Paritas Kehamilan yang optimal adalah kehamilan sampai anak ke tiga. Kehamilan setelah anak ketiga mempunyai risiko yang meningkat terhadap lesi prakanker. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mubasir dkk, pada tahun 1993 menemukan lebih tinggi frekuensi kejadian kanker leher rahim pada pasien yang pernah melahirkan dari pada yang belum pernah melahirkan. Multiparitas terutama di hubungkan dengan kemungkinan menikah pada usia muda, di samping itu di hubungkan pula dengan sosial ekonomi yang rendah dan higiene yang buruk (Tambunan, 1995). Penelitian Bukhari L dan Hadi A menyebutkan bahwa golongan wanita yang bersalin 6 kali atau lebih mempunyai risiko menderita kanker leher rahim 1,9 kali lebih besar dari pada golongan wanita yang bersalin antara 1-5 kali, meskipun hal ini merupakan faktor risiko namun hal tersebut harus di jadikan perhatian kita untuk mendeteksi terhadap golongan ini. Kehamilan dan persalinan yang lebih
dari 3 orang dan jarak kehamilan terlalu dekat akan meningkatkan kejadian kanker leher rahim (Mardjikoen, 2007). Sumber lain mengemukakan paritas merupakan salah satu faktor risiko kanker leher rahim adalah penelitian Susanto dan Suardi (1987) di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dalam penelitiannya mendapatkan paritas terbanyak pasien kanker leher rahim yaitu paritas lebih dari lima, Sahil MF (1993) mendapatkan pada paritas 6 atau lebih cendrung terkena kanker leher rahim. Multiparitas di duga menyebabkan penurunan daya tahan tubuh. Pada penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa tingkat rekurensi meningkat pada paritas lebih dari tiga (Mardjikoen, 2007). 2.5.4 Tingkat pendidikan rendah Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan. Pendidikan formal adalah segenap bentuk pendidikan atau pelatihan yang di berikan secara terorganisasi dan berjenjang, baik yang bersifat umum, maupun yang bersifat khusus. Pendidikan in formal adalah pendidikan dan pelatihan yang terdapat di luar lingkungan sekolah, dalam bentuk yang tidak terorganisasi (Cullati, 2009). Tingkat pendidikan seseorang dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang dan taraf pendidikan yang rendah selalu berhubungan dengan informasi dan pengetahuan yang terbatas, semakin tinggi pendidikan
seseorang semakin tinggi pula pemahaman seseorang terhadap informasi yang di dapat dan pengetahuannya pun semakin tinggi (Cullati, 2009). 2.5.5 Penggunaan kontrasepsi oral Pemakaian kontrasepsi oral dalam waktu lama lebih dari 4 sampai 5 tahun dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker leher rahim sebesar 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral menyebabkan wanita sensitif terhadap HPV yang menyebabkan adanya peradangan pada genetalia, sehingga berisiko terkena kanker leher rahim (Hidayat, 2001). Pil kontrasepsi oral di duga akan menyebabkan defisiensi asam folat, yang mengurangi metabolisme mutagen sedangkan estrogen kemungkinan menjadi salah satu ko-faktor yang dapat membuat replikasi DNA HPV. Menurut Andrijono (2007) penggunaan kontrasepsi hormonal meningkatkan risiko menderita kanker leher rahim. Penggunaan kontasepsi hormonal 10 tahun meningkatkan risiko sampai dua kali. 2.5.6 Riwayat kanker servik pada keluarga Adanya hubungan darah atau keluarga (ibu atau saudara perempuan) yang menderita kanker leher rahim. Magnusson, Sparen dan Gyllensten (1999) membandingkan munculnya displasia dan CIS pada keluarga perempuan yang menderita penyakit kanker dan dalam kontrol usia. Mereka menemukan adanya kluster yang signifikan dalam keluarga biologis, bukan adopsi. Pada ibu biologis di bandingkan dengan kasus kontrol, risiko relatifnya adalah 1,8. Pada saudara perempuan biologis, risiko relatifnya lebih tinggi 1,9. Data tersebut memberikan
bukti epidemiologi yang kuat mengenai kaitan antara timbulnya kanker leher rahim dan penyebab awalnya (Depkes, 2009). 2.5.7 Berganti-ganti pasangan seksual Perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan seks akan meningkatkan penularan penyakit kelamin. Salah satu penyakit yang di tularkan seperti infeksi human papilloma virus (HPV) telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya kanker leher rahim, penis dan vulva. Risiko terkena kanker leher rahim menjadi 10 kali lipat pada wanita yang mempunyai partner seksual 6 orang atau lebih. Di samping itu, virus herpes simpleks tipe 2 dapat menjadi faktor pendamping (Azis, 1985). 2.5.8 Merokok Nikotin mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru, maupun serviks. Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai dalam lender dari mulut rahim pada wanita perokok (Imam Rasdjidi,2009). Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak
jumlah nikotin yang dikonsumsinya bisa menyebabkan kanker leher rahim. Risiko wanita perokok terkena 2 kali lebih besar dibandingkan wanita bukan perokok (Garcia, 2009). 2.5.9 Defisiensi zat gizi Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan anti-oksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya advokat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic acid), vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Vitamin E, vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Vitamin E banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan kacang-kacangan). Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan. 2.6 Patogenesis dan Patofisiologi kanker leher rahim Kanker leher rahim timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks yang di sebut sebagai squamo-columnar junction (SCJ), dimana secara histologik terjadi perubahan dari epitel ekstoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis dengan
epitel endoserviks yaitu epitel
kuboid/kolumnar pendek selapis bersilia. Letak SCJ di pengaruhi oleh faktor usia, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita muda SCJ berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita berusia di atas 35 tahun SCJ berada di dalam kanalis servikalis (Sarwono, 1999).
Oleh karena itu pada wanita muda , SCJ yang berada di luar ostium uteri eksternum ini rentan terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan memicu displasia dari SCJ tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SCJ terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin (Mardjikoen, 2007). Perubahan fisiologi pada epitel serviks, epitel kolumnar akan di gantikan oleh epitel skuamosa yang di duga berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa di sebut proses mataplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering di jumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SCJ ini di sebut daerah transformasi (Mardjikoen, 2007). 2.7 Pencegahan Kanker Leher Rahim Kanker leher rahim dapat di cegah dengan cara : 2.7.1 Pencegahan primer Untuk mengurangi risiko penyebab infeksi virus HPV. Dengan cara menghindari faktor-faktor yang menyebabkan infeksi HPV dan melakukan vaksinasi HPV (Suwiyoga, 2010). Cara mencegah infeksi HPV yaitu : menghindari kontak dengan yang menderita infeksi HPV, memakai kondom, setia dengan pasangan, membatasi jumlah pasangan seks,
memilih pasangan yang tidak memiliki atau sedikit pasangan seks sebelumnya (Depkes, 2009). 2.7.2 Pencegahan sekunder Perempuan yang telah terinfeksi HPV sebaiknya di lakukan penapisan untuk menentukan apakah mereka mengalami lesi prakanker awal yang mudah kena kanker. Penapisan awal yang bisa di lakukan adalah dengan melakukan skrining dengan Tes Pap atau dengan cara visual (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) (Depkes, 2009). 2.8 Pemeriksaan Visual Asam Asetat (IVA) Inspeksi Visual Asam Asetat merupakan skrining alternatif dari pap smear karena murah, praktis, sangat mudah untuk dilakukan dengan peralatan sederhana, dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan selain dokter ginekologi. Di negara maju, skrining secara luas dengan metode pemeriksaan sitologi tes Pap telah menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan insidens kanker leher rahim. Namun di negara-negara berkembang yang hanya memiliki sumber daya terbatas, skrining hanya menjangkau sebagian kecil perempuan saja, terutama di daerah perkotaan. Ada beberapa kelemahan tes Pap di antaranya keterbatasan jumlah laboratorium sitologi dan tenaga sitoteknologi terlatih, sehingga menyebabkan hasil tes Pap baru di dapat dalam rentang waktu yang relatif lama (berkisar 1 hari1 bulan) (Nuranna, 2005). Sebagai konsekuensinya, angka insidens kanker leher rahim tetap tinggi dan kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. Masalah yang berkembang akibat
keterbatasan metode tes Pap inilah yang mendorong banyak penelitian untuk mencari metode alternatif skrining kanker leher rahim. Salah satu metode yang dianggap dapat dijadikan alternatif adalah metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) (Jeronimo, 2005). Efektivitas IVA sudah di teliti oleh banyak peneliti. Walaupun demikian perbandingan masing-masing penelitian tentang IVA agak sulit dievaluasi karena perbedaan protokol dan populasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sensitivitas IVA untuk mendeteksi High Grade SIL berkisar 60-90 %., sehingga dapat dikatakan bahwa sensitifitas IVA setara dengan sitologi walaupun spesifisitasnya lebih rendah (Sherris, 1993). Metode IVA memberi peluang di lakukannya skrining secara luas di tempattempat yang memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini memungkinkan diketahuinya hasil dengan segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti (Van Le, 1993). Metode satu kali kunjungan (single visit approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan krioterapi untuk temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk peningkatan cakupan deteksi dini kanker leher rahim, sekaligus mengobati lesi prakanker. Katagori hasil pemeriksaan IVA adalah sebagai berikut : 1. Negatif : licin, merah muda, bentuk porsio normal 2. Positif : plak putih, epitel acetowhite (bercak putih), indikasi lesi prakanker leher rahim (Hartono, 2001).
2.9 Patofisiologi Timbulnya Acetowhite Membran sel terdiri dari lapisan lipid bilayer dengan protein yang tersisip di dalamnya atau terikat pada permukaan sitoplasma. Protein integral membran tertanam kuat dalam lapisan lipid. Sebagian protein ini sepenuhnya menimbulkan rentangan pada lapisan ganda dan di sebut protein trasmembran dan sebagian lain tertanam dalam lapisan luar atau dalam lapisan lipid protein perifer terikat secara longgar pada permukaan internal membran. Pada sel yang mengalami proses onkogenesis, protein yang tadinya normal akan berubah menjadi onkoprotein. Protein normal pada sel lebih tahan terhadap asam, tetapi pada onkoprotein oleh karena terjadi perubahan protein dengan susunan asam amino yang berubah menyebabkan sel-sel mengalami destruksi oleh asam sehingga mudah mengalami koagulasi (Nuranna, 2001). Adanya metaplasia skuamosa atipik pada leher rahim onkogen
dalam
perkembangan
sel
yang
mengalami
akibat stimulus metaplasia
akan
menampakkan daerah peralihan yang atipik. Karena adanya peningkatan nisbah inti sitoplasma. Peningkatan ini berakibat berkurangnya sinar menembus epitel. Epitil akan tampak putih yang segera kelihatan setelah pengusapan asam asetat 35 % (Purwanto, 2002). Akibat pemberian asam asetat akan terjadi dehidrasi sel sebagai akibat dari peningkatan osmolaritas cairan ektraseluler. Cairan ektraseluler ini bersifat hipertonik akan menarik cairan intraseluler sehingga membran sel akan kolaps dan jarak antar sel semakin dekat. Asam asetat juga mempunyai efek koagolasi protein dalam sitoplasma dan inti sehingga tampak opaque dan putih. Epitel
abnormal mempunyai inti dengan kepadatan yang tinggi, sehingga akan menghambat cahaya untuk menembus epitel. Hal ini menyebabkan sel berwarna putih (acetowhite) oleh karena warna kemerahan pada pembuluh darah di bawah sel epitel tidak terlihat (Purwanto, 2002). Derajat putih epitel tersebut menunjukkan daerah dengan peningkatan densitas inti yang mencerminkan bertambahnya jumlah, ukuran dan konsentrasi DNA sel yang abnormal. Semakin tinggi konsentrasi protein, epitel akan semakin putih. Kondisi ini akan berhubungan langsung dengan keparahan displasia. Efek asam asetat mencapai puncak sekitar 1-2 menit sesudah aplikasi dan menghilang setelah 5 menit (Purwanto, 2002). 2.9.1 Konsep Dasar Wanita Usia Subur (WUS) Dikutip dari Statistik Indonesia (2011) dalam pengertian dan istilah Keluarga Berencana (KB) menjelaskan bahwa Wanita Usia Subur (WUS) adalah wanita berusia 15-49 tahun dan wanita pada usia ini masih berpotensi untuk mempunyai keturunan. Sedangkan menurut (BKKBN, 2001), wanita usia subur (wanita usia produktif) adalah wanita yang berumur 18-49 tahun yang berstatus belum kawin, kawin ataupun janda. dan wanita pada usia ini masih berpotensi untuk mempunyai keturunan. Dengan mulainya WUS menggunakan KB, WUS juga harus waspada terhadap kanker serviks. Penggunaan KB seperti kontrasepsi pil dalam jangka waktu yang lama (5 tahun atau lebih) meningkatkan resiko kanker serviks sebanyak 2 kali dan alat kontrasepsi dalam rahim juga meningkatkan kejadian lesi prakanker leher rahim (Sukaca, 2009).
Wanita usia subur adalah wanita yang keadaan organ reproduksinya berfungsi dengan baik antara umur 20-45 tahun. masalah kesuburan alat repeoduksi merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui. dimana dalam masa wanita subur ini harus menjaga dan merawat personal hygiene yaitu pemeliharaan keadaan alat kelaminnya dengan rajin membersihkankannya, oleh karena itu dianjurkan untuk merawat diri (Ekasari, 2009). Wanita Usia Subur yang sudah pernah menikah atau memiliki pasangan yang memungkinkan dirinya untuk terjadi kehamilan. Pada wanita usia subur yang sudah menikah ini, puncak kesuburan ada pada rentang usia 20-29 tahun. Pada usia ini wanita memiliki kesempatan 95% untuk hamil. Pada usia 30-an persentasenya menurun hingga 90%. Sedangkan memasuki usia 40, kesempatan hamil berkurang hingga menjadi 40%. Setelah usia 40 wanita hanya punya maksimal 10% kesempatan untuk hamil (Ekasari, 2009).