BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Landasan Teori
2.1.1. Earnings Response Coefficient (ERC) Kualitas laba yang baik dapat diukur dengan menggunakan Earnings Response Coefficient yang merupakan bentuk pengukuran kandungan informasi laba. “Earnings Response Coefficient (ERC) adalah ukuran besaran abnormal return suatu saham sebagai respon terhadap komponen laba abnormal (unexpected earnings) yang dilaporkan oleh perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut” (Scott, 2003). Earnings Response Coefficient berguna dalam analisis investor dalam model penilaian untuk menentukan reaksi pasar atas informasi laba perusahaan. Earnings Response Coefficient merupakan koefisien yang diperoleh dari regresi antara proksi harga saham dan laba akuntansi. Proksi harga saham yang digunakan adalah cummulative abnormal return (CAR), sedangkan proksi laba akuntansi adalah unexpected earning (UE) (Chaney dan Jeter, 1991). Regresi model tersebut akan menghasilkan ERC untuk masingmasing sampel yang akan digunakan untuk analisis berikutnya.
Earnings Response Coefficient merupakan pengaruh laba abnormal (unexpected earnings) terhadap CAR, yang ditunjukkan melalui slope coefficient dalam regresi abnormal return saham dengan unexpected earnings (Scott, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa ERC adalah reaksi CAR terhadap laba yang diumumkan oleh perusahaan. Ada beberapa hal yang menyebabkan respon pasar yang berbeda-beda terhadap laba yaitu persistensi laba, beta, struktur permodalan
perusahaan, kualitas laba, growth opportunities, dan ukuran perusahaan (Scott, 2003). Nilai Earnings Response Coefficient diprediksi lebih tinggi jika laba perusahaan lebih persistensi di masa depan. Demikian juga jika kualitas laba semakin baik, maka diprediksi nilai ERC akan semakin tinggi. Beta mencerminkan risiko sistematis. Investor akan menilai laba sekarang untuk memprediksi laba dan return dimasa yang akan datang. Jika future return tersebut semakin berisiko, maka reaksi investor terhadap unexpected earnings perusahaan juga semakin rendah (Scott, 2003). Informasi laba ini digunakan oleh investor sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan dan untuk mengetahui kinerja perusahaan. Akan tetapi, informasi laba saja tidak cukup sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan karena masih ada beberapa informasi lain yang dibutuhkan investor. Beaver (1968) dalam Murwaningsari (2008) mendefinisikan, Earnings Response Coefficient atau koefisien respon laba merupakan koefisien slope atas laba. Koefisien respon laba mengukur besarnya kekuatan harga saham dalam merespon laba akuntansi. Koefisien laba akuntansi dapat menunjukkan kualitas laba perusahaan. Reaksi atas laba yang diumumkan perusahaan mencerminkan kualitas laba yang dilaporkan perusahaan. Tinggi rendahnya ERC sangat ditentukan oleh kekuatan responsif yang tercermin dari informasi baik buruknya yang terkandung dalam laba. Cho dan Jung ( 1991) mengklasifikasi pendekatan teoritis ERC menjadi dua kelompok yaitu: 1. model penilaian yang didasarkan pada informasi ekonomi (information economics based valuation model) yang menunjukkan bahwa kekuatan
respon investor terhadap sinyal informasi laba merupakan fungsi dari ketidakpastian di masa mendatang. Semakin besar noise dalam sistem pelaporan perusahaan (semakin rendah kualitas laba), semakin kecil ERC dan, 2. model penilaian yang didasarkan pada time series laba (time series based valuation model). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi Earnings Response Coefficients adalah leverage, firms size, profitabilitas, peluang pertumbuhan dan risiko sistematik (Mahboobe Hasanzade et al, 2013). Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap tingkat stock returns perusahaan tersebut. Semakin besar perusahaan maka tingkat stock returns akan semakin besar, demikian sebaliknya. Tidak ada hubungan yang signifikan antara leverage dengan Earnings Response Coefficient. Investor akan bereaksi terhadap leverage ketika perusahaan sangat sulit memperoleh pinjaman dari dan tingkat suku bunga yang terlalu tinggi (Mahboobe Hasanzade et al, 2013). Asumsi yang mendasari penelitian Earnings Reponse Coefficient adalah bahwa investor merespon secara berbeda terhadap informasi laba akuntansi sesuai dengan kredibilitas atau kualitas informasi laba akuntansi tersebut. Menurut Suwardjono (2005), reaksi pasar ditunjukkan dengan (returns saham) perusahaan tertentu yang cukup mencolok pada saat pengumuman laba adanya perubahan harga pasar. Maksud dari mencolok adalah perbedaan yang cukup besar antara return realisasi dengan returns ekspektasi yang disebut sebagai returns abnormal.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa respon pasar terhadap laba di masing-masing perusahaan dapat bervariasi dan tidak konstan. Beberapa peneliti yang memiliki pendapat tersebut adalah Easton dan Zmijewski (1989); Collins dan Khotari (1989). Pihak lain mengatakan bahwa Earnings Response Coefficient relatif tidak berubah dan tetap, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Kormendi dan Lipe (1987).
2.1.2. Teori Struktur Modal Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan, jika keputusan investasi dan kebijakan dividen dipegang konstan. Struktur modal menunjukkan proporsi atas penggunaan hutang untuk membiayai investasinya, sehingga dengan mengetahui struktur modal investor dapat mengetahui risiko dan tingkat pengembalian atas investasinya. Menurut trade-off theory yang diungkapkan oleh Myers (2001:81), Perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana penghematan pajak (tax shields) dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress). Biaya kesulitan keuangan (Financial distress) adalah biaya kebangkrutan (bankruptcy costs) atau reorganization, dan biaya keagenan yang meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu perusahaan. Trade-off theory dalam menentukan struktur modal yang optimal memasukkan beberapa faktor antara lain pajak, biaya keagenan (agency costs) dan biaya kesulitan keuangan tetapi tetap mempertahankan asumsi efisiensi pasar dan
symmetric information sebagai imbangan dan manfaat penggunaan hutang. Beberapa teori terkait struktur modal adalah sebagai berikut: 1. Teori Signaling Signal atau isyarat adalah suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan (Brigham dan Houston, 2001). Menurut Brigham dan Houston (2001), perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan dengan cara-cara lain, termasuk penggunaan hutang yang melebihi target struktur modal yang normal. Perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya. Pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan umumnya merupakan suatu isyarat (signal) bahwa manajemen memandang prospek perusahaan tersebut suram. Apabila suatu perusahaan menawarkan penjualan saham baru lebih sering dari biasanya, maka harga sahamnya akan menurun, karena menerbitkan saham baru berarti memberikan isyarat negatif yang kemudian dapat menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan cerah. Teori
signaling
menekankan
kepada
pentingnya
informasi
yang
dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak diluar perusahaan. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya. Informasi yang lengkap, relevan, akurat dan tepat waktu sangat diperlukan oleh
investor di pasar modal sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan investasi. Menurut Bandi dan Jogiyanto (2000: 392), informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan signal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar. Pada waktu informasi diumumkan dan semua pelaku pasar sudah menerima informasi tersebut, pelaku pasar terlebih dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai signal baik (good news) atau signal buruk (bad news). Jika pengumuman informasi tersebut sebagai signal baik bagi investor, maka terjadi perubahan dalam volume perdagangan saham. 2. Teori Keagenan Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham (shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manajemen harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai “Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal”. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang sama
untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal. Masalah keagenan potensial terjadi apabila bagian kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari seratus persen. Dengan proporsi kepemilikan yang hanya sebagian dari perusahaan membuat manajer cenderung bertindak untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk memaksimumkan perusahaan. Inilah yang nantinya akan menyebabkan biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency cost sebagai jumlah dari biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap agen. Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero agency cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil keputusan yang optimal dari pandangan shareholders karena adanya perbedaan kepentingan yang besar diantara mereka. Menurut teori keagenan, konflik antara prinsipal dan agen dapat dikurangi dengan mensejajarkan kepentingan antara prinsipal dan agen. Kehadiran kepemilikan saham oleh manajerial (insider ownership) dapat digunakan untuk mengurangi agency cost yang berpotensi timbul, karena dengan memiliki saham perusahaan diharapkan manajer merasakan langsung manfaat dari setiap keputusan yang diambilnya. Proses ini dinamakan dengan bonding mechanism, yaitu proses untuk menyamakan kepentingan manajemen melalui program mengikat manajemen dalam modal perusahaan. Dalam suatu perusahaan, konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen salah satunya dapat timbul karena adanya kelebihan aliran kas (excess cash flow). Kelebihan arus kas cenderung diinvestasikan dalam hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan utama perusahaan. Ini menyebabkan perbedaan
kepentingan karena pemegang saham lebih menyukai investasi yang berisiko tinggi yang juga menghasilkan returns tinggi, sementara manajemen lebih memilih investasi dengan risiko yang lebih rendah. Menurut Bathala et al, (1994) terdapat beberapa cara yang digunakan untuk mengurangi konflik kepentingan, yaitu : a) meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen (insider ownership), b) meningkatkan rasio dividen terhadap laba bersih (earnings after tax), c) meningkatkan sumber pendanaan melalui utang, d) kepemilikan saham oleh institusi (institutional holdings).
2.1.3. Voluntary Disclosure Menurut Kamus Besar Akuntansi, pengungkapan (disclosure) adalah informasi yang diberikan sebagai lampiran/pelengkap bagi laporan keuangan, dalam bentuk catatan kaki atau tambahan. Informasi ini memberikan suatu penjelasan tentang posisi keuangan dan hasil operasi suatu perusahaan. Segala sesuatu yang bersifat material akan diungkapkan dalam laporan sehingga bermanfaat bagi pengguna laporan keuangan dan akan berpengaruh terhadap keputusan investasi. Adapun pengelompokan jenis pengungkapan informasi antara lain adalah pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) (Devina et al., 2004). Kewajiban penyampaian laporan tahunan bagi emiten atau perusahaan publik tertera dalam peraturan nomor X.K.6 lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep431/BL/2012.
Dari segi luasnya, terdapat tiga tingkatan pengungkapan (Suwardjono, 2005: 581) yaitu: a. Adequate disclosure (pengungkapan memadai), b. Fair disclosure (pengungkapan wajar), c. Full disclosure (pengungkapan penuh). Praktik pelaporan keuangan di Indonesia mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berbasis International Accounting Standards (IAS) dan International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dibuat oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Pedoman penyajian dan pengungkapan laporan keuangan emiten atau perusahaan publik tertera dalam Peraturan BAPEPAM Nomor VIII.G.7 lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-347/BL/2012. Agar dapat diandalkan, informasi dalam laporan keuangan harus lengkap dalam batasan materialitas dan biaya. Kesengajaan untuk tidak mengungkapkan mengakibatkan informasi menjadi tidak benar atau menyesatkan dan karena itu tidak dapat diandalkan dan tidak sempurna ditinjau dari segi relevansi. Semakin lengkap pengungkapan yang dilakukan, maka laporan keuangan perusahaan akan semakin handal (reliable). Oleh karena itu, suatu perusahaan sangat penting untuk melakukan pengungkapan. Pengertian pengungkapan sukarela menurut Meek dkk. (1995) dalam Gulo (2000) adalah sebagai berikut : ”Pengungkapan sukarela merupakan pilihan bebas manajemen perusahaan untuk memberikan informasi akuntansi dan informasi lain yang relevan untuk pembuatan keputusan para pemakai laporan tahunan. Karena
perusahaan memiliki keleluasan dalam melakukan pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan sehingga menimbulkan adanya keragaman atau variasi luas pengungkapan sukarela antar perusahaan”. Botosan (1997) dalam Adhariani (2005) untuk mengukur kelengkapan pengukuran dapat dinyatakan dalam bentuk indeks kelengkapan pengungkapan (Index Disclosure), dimana perhitungan indeks kelengkapan pengungkapan dilakukan sebagai berikut: a) Memberikan skor untuk setiap pengungkapan, yaitu skor 1 bagi pengungkapan informasi sekilas, skor 2 untuk pemberian informasi yang lebih terinci dan maksimum 3 bagi perusahaan yang memberikan informasi dengan penjelaan data kuantitatif yang mendukung, untuk memperoleh skor pengungkapan maksimum. b) Skor yang diperoleh setiap perusahaan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total pengungkapan. c) Menghitung indeks pengungkapan dengan cara membagi skor total pengungkapan dengan skor pengungkapan maksimum. Semakin banyak butir yang diungkapkan oleh perusahaan, semakin banyak pula angka indeks yang diperoleh perusahaan tersebut. Perusahaan dengan angka indeks yang lebih tinggi menunjukkan bahwa perusahaan tersebut melakukan praktek pengungkapan secara lebih komprehensif dibandingkan dengan perusahaan yang angka indeks lebih kecil. Lang
dan
Lundholm
(1993)
melakukan
penelitian
mengenai
pengungkapan sukarela yang menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan yang
lebih tinggi berasosiasi dengan kinerja pasar yang lebih baik (yang diukur dengan returns saham). Penelitian tersebut menggunakan asimetri informasi yang merupakan proksi sebagai korelasi laba dan returns saham. Korelasi laba dan returns saham yang rendah mengindikasikan bahwa informasi laba hanya memberikan sedikit informasi tentang nilai perusahaan yang menunjukkan bahwa masih terdapat asimetri informasi yang tinggi. Pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan bertujuan untuk mengurangi asimetri informasi terutama pada perusahaan yang memiliki korelasi earnings/returns yang rendah. Hasil dari penelitian tesebut menyatakan bahwa adanya hubungan negatif antara korelasi earnings/return (ERC) dengan tingkat pengungkapan.
2.1.4. Firm Size Pada saat pengumuman laba, informasi laba akan direspon positif oleh pemodal, pada umumnya perusahaan besar cenderung mempunyai reporting responsibility yang lebih tinggi dan mengindikasikan bahwa pada perusahaan besar Earnings Response Coefficients akan meningkat pula (Scoot, 2003). Ukuran perusahaan menunjukkan jumlah pengalaman dan kemampuan tumbuhnya suatu perusahaan yang mengindikasikan kemampuan dan tingkat risiko dalam mengelola investasi yang diberikan para Stockholder untuk meningkatkan kemakmuran mereka. Firm size ikut menentukan tingkat kepercayaan investor. Semakin besar perusahaan, semakin dikenal masyarakat yang berarti semakin mudah untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan, karena perusahaan yang berukuran
lebih besar cenderung mendapat pengawasan dari masyarakat dan memiliki public demand akan informasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan kecil sehingga akan mengungkapkan lebih banyak informasi. Kemudahan dalam mendapatkan informasi akan meningkatkan kepercayaan investor dan mengurangi faktor ketidakpastian. Size perusahaan dinyatakan dalam total aktiva yang dimiliki perusahaan dapat mempengaruhi luas pengungkapan tanggung jawab sosial karena umumnya perusahaan memiliki competitive disadvantage lebih rendah dari perusahaan kecil, skill karyawan yang lebih baik sehingga memungkinkan melakukan pengungkapan terhadap laporan keuangan yang lebih luas. Menurut Kartini dan Arianto (2008), “Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan berapa besar kebijakan keputusan pendanaan (struktur modal) dalam memenuhi ukuran atau besarnya asset perusahaan”. Perusahaan pada pertumbuhan yang tinggi akan selalu membutuhkan modal yang semakin besar demikian juga sebaliknya perusahan pada pertumbuhan penjualan yang rendah, kebutuhan terhadap modal juga semakin kecil maka, konsep tingkat pertumbuhan penjualan tersebut memiliki hubungan yang positif tetapi implikasi tersebut akan memberikan efek yang berbeda terhadap struktur modal yaitu dalam penentuan jenis modal yang digunakan. Pada perusahan yang besar dimana saham akan tersebar luas, setiap perluasan modal saham akan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap hilangnya atau tergesernya pengendalian dari pihak yang dominan terhadap pihak yang bersangkutan (Riyanto, 2001: 299-300). Sebaliknya perusahaan yang kecil dimana saham tersebut berada di lingkungan perusahan yang kecil, penambahan jumlah saham akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemungkinan kontrol
pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Perusahaan dengan ukuran yang lebih besar memiliki akses untuk mendapatkan sumber pendanaan dari berbagai sumber, sehingga untuk mendapat pinjaman dari kreditur akan lebih mudah karena perusahaan dengan ukuran besar memiliki probabilitas lebih besar untuk memenangkan persaingan dalam industri, sebaliknya perusahaan dengan skala kecil akan lebih menghadapi ketidakpastian, karena perusahaan kecil lebih cepat bereaksi terhadap perubahan yang mendadak. Oleh karena itu, memungkinkan perusahaan besar tingkat leverage akan lebih besar dari pada perusahaan kecil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya ukuran perusahaan akan berpengaruh terhadap struktur modal dengan didasarkan pada kenyataan bahwa semakin besar suatu perusahaan akan mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan para ahli yang menyatakan bahwa ukuran perusahan mempunyai pengaruh yang positif, yang berarti kenaikan ukuran perusahaan akan diikuti dengan kenaikan struktur modal adalah yang dilakukan penelitian. Logaritma dari total assets dijadikan indikator dari ukuran perusahaan karena jika semakin besar ukuran perusahaan maka asset tetap yang dibutuhkan juga akan semakin besar. Penelitian Fitriani (2001) ukuran perusahaan diukur dengan total aktiva, karena menurutnya total aktiva lebih menunjukan ukuran perusahaan dibandingkan dengan kapitalisasi pasar.
2.1.5. Leverage “Rasio leverage adalah rasio yang mengukur seberapa jauh atau besar perusahaan telah didanai atau dibiayai oleh hutang” (Raharjaputra, 2009:199). Kebijakan leverage merupakan keputusan penting dalam perusahaan. Dimana kebijakan leverage merupakan salah satu kebijakan pendanaan perusahaan. Konsep leverage sangat penting terutama untuk menunjukkan kepada analisis keuangan dalam melihat trade off antara risiko dan keuntungan. Sartono (2008) memaparkan konsep leverage sebagai berikut : 1. Operating leverage Perusahaan yang memiliki biaya operasi tetap atau biaya modal tetap , maka dikatakan
perusahaan
menggunakan
operating
leverage.
Perusahaan
menggunakan operating leverage mengharapkan bahwa penjualan akan meningkatkan perubahan laba sebelum bunga dan pajak yang lebih besar. Multiplier effect hasil penggu naan biaya tetap operasi terhadap laba sebelum bunga dan pajak disebut degree of operating leverage (DOL). Besar kecilnya DOL akan berdampak pada tinggi rendahnya risiko bisnis perusahaan. Semakin besar DOL, maka semakin besar pula risiko bisnis yang ditanggung perusahaan. 2. Financial Leverage Financial Leverage adalah penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap dengan harapan akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar daripada beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham. Multiplier effect yang dihasilkan karena penggunaan dana dengan biaya tetap disebut Degree of Financial Leverage (DFL). Penggunaan
financial leverage yang tinggi mengakibatkan risiko keuangannya juga meningkat. 3. Combined leverage Leverage kombinasi terjadi apabila perusahaan memiliki baik operating leverage maupun financial leverage dalam usahanya untuk meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham biasa. Degree Combined Leverage (DCL) merupakan multiplier effect atas perubahan laba per lembar saham karena perubahan penjualan. DCL mengukur keseluruhan risiko perusahaan , DCL merupakan fungsi dari DOL dan DFL. Seperti diuraikan di atas, bahwa risiko usaha merupakan variabilitas dari laba operasi terhadap total aktiva atau dengan kata lain risiko usaha merupakan kemungkinan penyimpangan antara profitabilitas aktiva sesungguhnya dengan profitabilitas aktiva yang diharapkan. Tingkat profitabilitas dipengaruhi oleh tingkat operating leverage, oleh karenanya variabilitas profitabilitas aktiva dipengaruhi oleh variabilitas dari pengunaan biaya tetap. Dengan uraian di atas dapat dikatakan bahwa, variabilitas profitabilitas aktiva bisa disebut dengan risiko usaha yang besar kecilnya dipengaruhi oleh biaya tetap yang ditanggung oleh perusahaan. Risiko usaha yang tercermin dari operating leverage dan risiko keuangan tercermin dari financial leverage, maka akan menghasilkan risiko perusahaan yang akan tercermin dari variabilitas profitabilitas. Risiko keuangan terjadi sebagai akibat penggunaan hutang perusahaan. Jika perusahaan tidak menggunakan hutang maka risiko perusahaan akan sama dengan risiko usaha. Dalam penelitian ini leverage diukur dengan rasio total hutang terhadap ekuitas (total debt to equity ratio). Semakin rendah rasio ini, semakin tinggi
tingkat pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham dan semakin besar perlindungan bagi kreditor (Van Horne & Wachowicz, 2005: 209) Jika dihubungkan dengan teori agensi (agency theory), perusahaan yang mempunyai proporsi hutang lebih banyak dalam struktur permodalannya akan mengeluarkan agency costs untuk mengawasi tindakan manajer agar manajer bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan pemegang saham sehingga dapat mengurangi masalah keagenan. Dengan demikian perusahaan mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan informasi yang memadai bagi investor atau kreditur melalui pengungkapan dalam laporan keuangan. Nilai ERC yang rendah juga dipengaruhi oleh tingkat leverage perusahaan yang tinggi. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi, apabila terjadi peningkatan laba perusahaan maka akan dipandang semakin baik bagi pemberi pinjaman dibandingkan bagi pemegang saham. Oleh karena itu perusahaan yang high leverage memiliki ERC yang rendah dibandingkan dengan perusahaan low leverage.
2.1.6. Profitability Menurut Anaroraga dan Widianti (1997) dalam Arfan dan Antasari (2008) bahwa
“Profitabilitas
menggambarkan
kemampuan
perusahaan
untuk
menghasilkan keuntungan, baik dihubungkan dengan modal sendiri maupun modal bersama”. Profitabilitas dapat menjelaskan bahwa kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan adalah tergantung kepada besarnya penjualan, penanaman aktiva (investasi) dan penyerapan modal sendiri (equity).
Menurut Riyanto (2001:35) profitabiltas perusahaan menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba. Dengan
kata
lain
profitabilitas
adalah
kemampuan
perusahaan
untuk
menghasilkan laba selama periode tertentu yaitu perbandingan jumlah laba yang diperoleh selama periode tertentu dengan modal atau aktiva yang menghasilkan laba tertentu. Kemampuan menghasilkan laba yang dimaksud dalam penelitian ini tentunya adalah kemampuan menghasilkan laba dengan menggunakan modal sendiri atau profitabilitas ekuitas (return on equity = ROE). Apabila profitabilitas ini dihubungkan dengan ERC maka dapat dikatakan bahwa jika profitabilitas perusahaan tinggi, laba yang dihasilkan perusahaan meningkat selanjutnya akan mempengaruhi para investor untuk menanamkan modalnya.
2.2. Review Peneliti Terdahulu Widiastuti (2002) melakukan pengujian empiris atas pengaruh luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan terhadap Earnings Response Coefficient. Penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang konsisten dengan prediksi tentang pengaruh luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan terhadap ERC. Prediksi penelitian ini adalah luas pengungkapan sukarela berpengaruh negatif terhadap ERC. Penelitian yang dilakukan oleh Adhariani (2005) yaitu menganalisis tingkat keluasan pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan dan hubungannya terhadap current ERC pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2000. Hasil penelitian ini adalah pengungkapan sukarela berpengaruh positif
terhadap current ERC, leverage dan nilai buku per lembar saham berpengaruh positif, namun skala KAP tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC. Naimah dan Utama (2006) melakukan penelitian tentang pengaruh ukuran perusahaan, pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan terhadap koefisien respon laba dan koefisien respon nilai buku ekuitas. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan yang besar memiliki koefisien respon laba yang lebih kuat, sedangkan terhadap koefisien nilai buku ekuitas ukuran perusahaan berpengaruh tidak signifikan. Pertumbuhan berpengaruh positif terhadap ERC dan berpengaruh tidak signifikan terhadap koefisien respon nilai buku. Profitabilitas berpengaruh positif terhadap ERC dan koefisien respon nilai buku. Penelitian Sayekti dan Wondabio (2007) menguji pengaruh CSR Disclosure terhadap Earnings Response Coefficient. Bukti empiris penelitian ini mendukung hipotesa yang menyatakan bahwa tingkat pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan berpengaruh negatif terhadap ERC. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa investor mengapresiasi informasi CSR yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan. Murwaningsari (2008) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ERC pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Hasil penelitian ini adalah size perusahaan dan leverage berpengaruh negatif terhadap ERC, sedangkan voluntary disclosure berpengaruh positif terhadap ERC. Dalam penelitian ini voluntary disclosure dijadikan variabel intervening antara leverage dan ERC, dimana leverage terhadap voluntary disclosure terdapat pengaruh positif.
Arfan dan Antasari (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh ukuran, pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan terhadap koefisien respon laba. Penelitian ini menggunakan sampel 35 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dari tahun 2003-2005. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, dan profitabilitas perusahaan secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap koefisien respon laba. Secara parsial hanya pertumbuhan perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap koefisien respon laba, sedangkan ukuran perusahaan dan profitabilitas perusahaan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap koefisien respon laba. Penelitian oleh Pimentel dan Lima (2009) dilakukan untuk menguji sifat earnings akuntansi dan penentu Earnings Response Coefficient di Brazil. Penelitian ini dilakukan terhadap sampel laporan triwulan 71 perusahaan dari tahun 1995 sampai tahun 2009 dan sampel laporan tahunan 61 perusahaan dari tahun 1995 sampai tahun 2008. Hasil menunjuukan bahwa ada hubungan jangka panjang antara earnigs dan return/price, meskipun hubungan itu tidak dapat dijelaskan lebih detail. Hubungan antara regresi antara earnings dan returns/price dalam laporan perusahaan triwulan dan tahunan hanya beberapa perusahaan yang menunjukkan hasil signifikan. Risiko sistematis, interest rate, size menunjukkan pengaruh signifikan terhadap ERC. Expected economics growth dan leverage memiliki pengaruh tidak signifikan terhadap ERC. Hal ini dipengaruhi karena tingkat suku bunga di Brazil lebih tinggi dari negara maju. Pradipta dan Purwaningsih (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan
(CSR) terhadap ERC. Sampel penelitian ini adalah 30 peruahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Penelitian ini menemukan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan berpengaruh negatif terhadap ERC, artinya semakin besar CSR maka ERC perusahaan akan semakin kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa investor mempertimbangkan informasi CSR dalam membuat keputusan investasi. Penelitian ini juga menghasilkan bahwa variabel size dan leverage sebgai variabel kontrol berpengaruh negatif terhadap ERC. Paramita (2012) melakukan penelitian tentang pengaruh leverage, firm size dan voluntary disclosure terhadap earnings response coefficient pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2005-2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh leverage terhadap ERC memiliki pengaruh yang tidak signifikan, sedangkan untuk voluntary disclosure dan firm size memiliki pengaruh positif signifikan terhadap ERC. Dalam penelitian ini Earnings Response Coefficient diukur melalui variabel kontrol yaitu persistensi laba. Leverage berpengaruh tidak signifikan terhadap coluntary disclosure. Variabel voluntary disclosure merupakan variabel intervening antara size terhadap ERC. Hasanzade et al (2013) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi Earnings Response Coefficient: studi empiris di Iran. Penelitiaan ini dilakukan pada 202 perusahaan yang terdaftar di Bursa Tehran Exchange. Variabel dependen dalam penelitian ini ERC, sedangkan untuk variabel independen adalah leverage, growth opportunities, profitabilitas dan risiko sistematik. Hasil penelitian ini bahwa leverage leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC, sedangkan untuk variabel growth opportunities, firms size, profitabilitas, dan risiko sistematik berpengaruh signifikan terhadap ERC.
Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan, disajikan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu No
1
2
3
Peneliti / Tahun
Judul Penelitian
Harjanti Pengaruh Widiastuti Luas (2002) Pengungka pan Sukarela dalam Laporan Tahunan Terhadap ERC Desi Tingkat Adhariani keluasan (2004) pengungka pan sukarela dalam laporan tahunan dan hubungann ya dengan current ERC
Zahroh Naimah dan Siddharta Utama (2006)
Pengaruh Ukuran Perusahaan, Pertumbuh an dan Profitabilita s terhadap Koefisien Respon Laba dan Koefisien Respon Nilai Buku Ekuitas
Variabel Yang Digunakan Variabel dependen: ERC Variabel independen: Pengungkapan sukarela
Variabel dependen :ERC Variabel independen: voluntary disclosure dan UE Variabel kontrol:levera ge, skala KAP, nilai buku per saham
Variabel dependen : ERC dan Koefisien Respon Nilai Buku Variabel independen : ukuran perusahaan, pertumbuhan, profitabilitas
Indikator
Hasil Penelitian
ERC: regresi CAR dan UE Pengungkapan sukarela : dummy variable dengan melihat info yang diungkapkan diluar pengungkapan wajib. ERC: regresi CAR dan UE Voluntary disclosure: index disclosure oleh Botosonn (1997) dan Suripto (1999) Leverage: financial leverage Skala KAP: big 4 Nilai buku per saham:rasio nilai buku ekuitas per saham ERC : regresi CAR dan UE
Penelitian ini menemukan adanya pengaruh positif signifikan antara luas pengungkapan sukarela terhadap ERC
Size: ln total asset Pertumbuhan : (Salesit/Salesit-n)-1 Profitabilitas : rasio laba terhadap nilai buku ekuitas (ROE)
Pengungkapan sukarela berpengaruh positif terhadap current ERC -Leverage dan nilai buku per lembar saham berpengaruh positif, namun skala KAP tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC
Pertumbuhan dan size berpengaruh positif terhadap ERC dan berpengaruh tidak signifikan terhadap koefisien respon nilai buku. Profitabilitas berpengaruh positif terhadap ERC dan koefisien respon nilai buku.
Lanjutan Tabel Review Penelitian Terdahulu 4
5
6
Yosefa Sayekti dan Ludovicu s Sensi Wondabio (2007) Etty Murwanin gsari (2008)
Pengaruh CSR Disclosure terhadap Earnings Response Coefficient Faktorfaktor yang mempengar uhi earning response coefficient (ERC)
Variabel dependen : ERC Variabel Independen : CSR Disclosure Variabael dependen: : ERC Variabel independen: leverage,size variabel kontrol:timelin ess, voluntary disclosure variabel kontrol:opini audit, reputasi auditor, persistensi laba
Muhamm ad Arfan dan Ira Antasari (2008)
Pengaruh Ukuran Perusahaan, Pertumbuh an dan Profitabilita s terhadap ERC
Variabel dependen : ERC Variabel independen: ukuran perusahaan, pertumbuhan dan profitabilitas
ERC: regresi CAR dan UE (Unexpected Earnings) CSR Disclosure :
Tingkat pengungkapan informasi CSR berpengaruh negatif terhadap Earnings Response Coefficient ERC: regresi Leverage dan size CAR dan UE perusahaan (unexpected berpengaruh negatif Earning) terhadap ERC, sedangkan Disclosure:index disclosure sebagai disclosure proksi diadopsi dari pengungkapan Botoson(1997) sukarela dan dan Suripto ketepatan waktu (1999) pelaporan keuangan Leverage:DER Ketepatan waktu: berpengaruh positif signifikan terhadap sesuai peraturan Bapepam dan BEJ ERC. Size: ln total asset Opini audit: opini yang diberikan audit Reputasi audit:KAP big 4 Persistensi laba: regresi laba dan persistensi ERC: regresi Ukuran perusahaan, CAR dan UE pertumbuhan dan profitabilitas secara simultan Ukuran berpengaruh perusahaan: ln terhadap ERC. total aset Pertumbuhan memiliki pengaruh Pertumbuhan: signifikan terhadap pertumbuhan ERC, sedangkan penjualan ukuran perusahaan dan profitabilitas Profitabilitas : tidak berpengarh ROE terhadap ERC.
Lanjutan Tabel Review Penelitian Terdahulu 7
Rene Coppe Pimentel dan Iran Siqueira Lima (2009)
Accounting Earnins Properties and Determinan ts of Earnings Response Coefficient s in Brazil
Variabel dependen: ERC Variabel independen: size, leverage, returns/price, risiko sistematik, Expected economic growth opportunity
ERC: skala variasi earnings per share oleh harga dan proksi dari unexpected earnings per share Risiko sistematik : BETA Returns/price: price earnings ratio Leverage:total liabilities dibagi total assets Size: ln total asset Expected economic growth opportunity: total market capitalization divided by the total equity
8
Dyah Ayu Pradipta dan Anna Purwanin gsih (2012)
Pengaruh CSR terhadap ERC dengan leverage dan firm size sebagai variabel kontrol
Variabel dependen: ERC Variabel Independen: CSR, leverage, firm size
ERC: regresi CAR (cummulative abnormal return) dan UE (unexpected return), CSR: list dalam Global Reporting Initiative (GRI) Leverage : Debt to equity ratio (DER).
Hubungan jangka panjang antara earnigs dan return/price, meskipun hubungan itu tidak dapat dijelaskan lebih detail. Hubungan antara regresi antara earnings dan returns/price dalam laporan perusahaan triwulan dan tahunan hanya beberapa perusahaan yang menunjukkan hasil signifikan. Risiko sistematis, interest rate, size menunjukkan pengaruh signifikan terhadap ERC. Expected economics growth dan leverage memiliki pengaruh tidak signifikan terhadap ERC CSR berpengaruh negatif terhadap ERC Size dan leverage sebagai variabel kontrol berpengaruh negatif terhadap ERC.
Lanjutan Tabel Review Penelitian Terdahulu 9
10
Ratna Wijayanti Daniar Paramita (2012)
Mohboob e Hasanzad e; Roya Darabi dan Gholamre za Mahfoozi (2013)
Pengaruh Leverage, Firm Size, Voluntary Disclosure terhadap Earning Response Coefficient (ERC), dan size terhadap ERC melalui voluntary disclosure Factors Affecting the Earnings Response Coefficient: An Empirical study for Iran
Leverage, Firm Size, Voluntary Disclosure, Earning Response Coefficient (ERC).
ERC:variabel kontrol yaitu persistensi laba Voluntari Disclosure:skor indeks pengungkapan Firm size:ln total aset Leverage:DER
Variabel dependen: ERC Variabel independen: firm size, leverage, growth opportunities, profitabilitas, risiko sistematik
Sumber : Hasil Olahan Peneliti (2015)
ERC: cummulative abnormal return (CAR) Size: penjualan bersih Leverage: total debt to total asset Growth opportunities: rasio nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku ekuitas Profitabilitas: persentase kepemilikan saham Risiko sistematik: rasio aset operasional dibagi ekuitas
Leverage berpengaruh tidak signifikan terhadap ERC, voluntary disclosure dan size berpengaruh positif signifikan terhadap ERC, sedangkan firm size tidak berpengaruh sigifikan terhadap ERC, voluntary disclosure merupakan variabel intervening antara size terhadap ERC. Leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap ERC growth opportunities, firms size, profitabilitas, dan risiko sistematik berpengaruh signifikan terhadap ERC