BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kinerja Waktu Penyelesaian Proyek Kinerja merupakan sesuatu yang dihasilkan dalam periode tertentu dengan
mengacu pada standar yang ditetapkan. Kinerja hendaknya merupakan hasil yang dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik dari berbagai ukuran yang disepakati. Untuk mengetahui kinerja yang dicapai maka dilakukan penilaian kinerja. Tujuan penilaian kinerja adalah untuk memotivasi personel mencapai sasaran organisasi dan mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan oleh organisasi. Standar perilaku dapat berupa kebijakan manajemen atau rencana formal yang dituangkan dalam rencana strategik, program dan anggaran organisasi. Penilaian kinerja juga digunakan untuk menekan perilaku yang tidak semestinya dan untuk merangsang dan menegakkan perilaku yang semestinya diinginkan, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya serta penghargaan, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Kinerja waktu adalah proses dari membandingkan kerja dilapangan (actual work) dengan jadwal yang direncanakan. Manajemen waktu pada proyek konstruksi merupakan suatu pengendalian dan pengaturan waktu atau jadwal dalam kegiatan proyek. Standar kinerja waktu ditentukan dengan merujuk seluruh tahapan kegiatan proyek beserta durasi dan penggunaan sumber daya. Kinerja waktu akan berimplikasi terhadap biaya, sekaligus kinerja proyek secara keseluruhan. Oleh karena itu, variabelvariabel yang mempengaruhinya juga harus selalu dimonitor.
Pada pelaksanaannya, terdapat masalah-masalah yang dapat menghambat kinerja waktu penyelesaian proyek, antara lain alokasi penempatan sumber daya yang tidak efektif, jumlah tenaga yang terbatas, peralatan yang tidak mencukupi, kondisi cuaca yang buruk, metode kerja yang salah, pembebasan lahan, peranan-peranan sumber daya dalam tim dan lain sebagainya, sehingga diperlukan suatu manajemen yang baik dan handal untuk mencegah dan mengurangi masalah-masalah yang dapat terjadi. Proyek adalah suatu kegiatan sementara yang mempunyai dimensi waktu, biaya, dan mutu guna mewujudkan gagasan yang timbul karena naluri manusia untuk berkembang. Soeharto (1997) memberikan definisi proyek sebagai satu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya tertentu dan dimaksudkan untuk melaksanakan tugas yang sasarannya telah digariskan dengan jelas. Setiap proyek konstruksi pada umumnya mempunyai rencana pelaksanaan dan jadwal pelaksanaan yang tertentu, kapan pelaksanaan proyek tersebut harus dimulai, kapan harus diselesaikan, bagaimana proyek tersebut akan dikerjakan, serta bagaimana penyediaan sumber dayanya. Pembuatan rencana suatu proyek konstruksi selalu mengacu pada perkiraan yang ada pada saat rencana pembangunan tersebut dibuat, karena itu masalah dapat timbul apabila ada ketidaksesuaian antara rencana yang telah dibuat dengan pelaksanaannya. Sehingga dampak yang sering terjadi adalah keterlambatan waktu pelaksanaan proyek yang dapat juga disertai dengan meningkatnya biaya pelaksanaan proyek tersebut.
2.2
Keterlambatan Proyek Keterlambatan proyek dapat disebabkan dari pihak kontraktor, owner,
perencana, pihak-pihak lainnya ataupun keadaan kahar (force majeure). Keterlambatan proyek berarti bertambahnya waktu pelaksanaan penyelesaian proyek yang telah direncanakan dan tercantum dalam dokumen kontrak. Penyelesaian pekerjaan tidak tepat waktu merupakan kekurangan dari tingkat produktivitas dan tentunya hal ini akan mengakibatkan pemborosan dalam hal pembiayaan, baik berupa pembiayaan langsung yang dibelanjakan untuk proyek-proyek pemerintah, maupun berwujud pembengkakan investasi dan kerugian-kerugian pada proyek-proyek swasta. Keterlambatan proyek seringkali menjadi sumber perselisihan dan tuntutan antara pemilik dan kontraktor, sehingga akan menjadi sangat mahal nilainya, baik ditinjau dari sisi kontraktor maupun pemilik. Kontraktor akan terkena denda penalti sesuai dengan kontrak. Di samping itu, kontraktor juga akan mengalami tambahan biaya overhead selama proyek masih berlangsung. Dari sisi pemilik, keterlambatan proyek akan membawa dampak pengurangan pemasukan karena penundaan pengoperasian fasilitasnya. Ketika proyek konstruksi terlambat, artinya pelaksanaan pekerjaan proyek tersebut tidak dapat diselesaikan sesuai dengan kontrak. Jika pekerjaan proyek tidak dapat dilaksanakan sesuai kontrak maka akan ada penambahan waktu. Apabila setelah penambahan waktu pelaksanaan proyek ini juga tidak selesai sesuai kontrak yang sudah disepakati, maka akan diberikan waktu tambahan oleh pihak pemilik (owner) kepada pihak pelaksana untuk menyelesaikan pekerjaan proyek tersebut. Dengan kata lain bahwa adanya waktu tambahan yang diberikan oleh pihak pemilik (owner) kepada
pihak pelaksana untuk menyelesaikan pekerjaan proyek, tetapi tidak juga terlaksana, maka kemungkinan akan terjadi pemutusan kontrak kerja (Madjid, 1998). Tambahan waktu untuk menyelesaikan proyek adalah solusi penyelesaian masalah. Tetapi adanya perpanjangan waktu dari jadwal kontrak, dapat disebabkan antara lain; pekerjaan tambah, perubahan desain, keterlambatan oleh pemilik. masalah diluar kendali kontraktor. Dengan adanya perbedaan perjanjian kontrak awal dengan selang waktu penyelesaian proyek maka terjadilah keterlambatan proyek yang tidak diinginkan oleh semua pihak-pihak terkait. Keterlambatan waktu pelaksanaan proyek adalah perbedaan antara pelaksanaan proyek pada saat perjanjian kontrak awal dan selang waktu penyelesaian proyek. Dalam pengertian lain, Madjid (1998) berpendapat bahwa keterlambatan proyek konstruksi dapat diidentifikasi sebagai adanya perbedaan waktu pelaksanaan pekerjaan dengan jadwal yang direncanakan pada dokumen kontrak. Dapat dikategorikan sebagai tidak tepatnya waktu pelaksanaan proyek yang telah ditetapkan. Pembuatan rencana jadwal proyek konstruksi selalu mengacu pada perkiraan yang ada pada saat rencana pembangunan tersebut dibuat. Masalah dapat timbul apabila ada ketidaksesuaian antara jadwal rencana yang telah dibuat dengan pelaksanaannya. Sehingga dampak yang sering terjadi adalah keterlambatan waktu pelaksanaan penyelesaian proyek dan juga disertai dengan meningkatnya biaya pelaksanaan proyek tersebut. Hal yang sama dinyatakan oleh Kaming (2008) bahwa keterlambatan proyek diasumsikan sebagai perpanjangan waktu pelaksanaan proyek dari yang dijadwalkan oleh kontraktor sesuai kontrak. Keterlambatan proyek ini berdampak pada progress
proyek dan tertundanya aktifitas pelaksanaan proyek dan kegiatan pelaksanaan proyek. Keterlambatan pelaksanaan proyek ini termasuk adanya faktor penyebab oleh faktor cuaca, sumber daya, perencanaan. Keterlambatan proyek konstruksi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Penyebab keterlambatan proyek internal berasal dari pemilik, perencana (designer), kontraktor atau konsultan. Penyebab keterlambatan proyek eksternal (external) yaitu berasal dari luar proyek konstruksi seperti; keperluan perusahaan, pemerintah (government), sub kontraktor, pengadaan material (material suppliers), serikat buruh, keadaan alam yang tidak lazim (force majeur). Force majeur adalah kejadian diluar kemampuan kontraktor dan pemilik proyek, yang dapat mempengaruhi biaya, waktu seperti kejadian alam, huru hara, kebijakan pemerintah/ moneter. Hal berbeda dinyatakan tentang penyebab keterlambatan eksternal seperti kurangnya material yang ada di pasaran, kurangnya peralatan dan alat-alat yang ada di pasaran, kondisi cuaca tidak lazim, kondisi lokasi, struktur tanah yang tidak layak, keadaan ekonomi yang tidak stabil (penukaran mata uang, inflasi), adanya perubahan undang-undang dan regulasi pemerintah, adanya keterlambatan pengiriman material, adanya faktor yang berasal dari pelayanan umum (jalan, fasilitas umum, public sevices). Keterlambatan penyelesaian proyek dapat dihindari atau dikurangi apabila pengkajian jadwal proyek dilakukan dengan baik. Peran aktif manajemen merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pengelolaan proyek. Keterlambatan proyek adalah hal yang sering terjadi dalam pelaksanaan suatu proyek. Sebuah kajian yang lebih fokus pada unsur internal (pemilik proyek) yang dilakukan oleh Chan (1998, pg. 577)
menemukan beberapa faktor terkait keterlambatan proyek yakni kemampuan tim manajemen proyek, keakuratan data investigasi lapangan, kontrak dokumen, komunikasi antar unsur proyek, dan variation order. Tim manajemen proyek yang berpengalaman akan semakin memberikan kepastian penyelesaian proyek sesuai jadwal. Data investigasi lapangan yang akurat akan menjadikan pengerjaan detail design menjadi lebih teliti sesuai kondisi lapangan, sehingga tidak banyak lagi perubahan-perubahan yang kemungkinan dilakukan saat pelaksanaan proyek. Perubahan-perubahan seperti ini menjadikan munculnya instruksi-instruksi baru oleh pemilik proyek ataupun konsultan yang sering disebut sebagai variation order yang potensial menyebabkan keterlambatan proyek. Kontrak dokumen juga harus dibuat sesempurna mungkin sehingga informasi, instruksi, tugas, hak dan kewajiban menjadi jelas bagi semua unsur yang terlibat sehingga tidak menimbulkan dispute dikemudian hari. Terakhir, komunikasi dan hubungan antar berbagai unsur yang terlibat dalam proyek juga harus terbina dengan baik dan lancar, karena jika tidak maka lack of communication, miscommunication akan merupakan titik awal terjadinya keterlambatan proyek. Pendidikan dan training pada para manajer proyek sangat penting dan berpengaruh besar dalam proses penyelesaian proyek secara tepat waktu. Untuk itu, perbaikan dan koreksi pada unsur-unsur yang terlibat perlu dilakukan, seperti yang diusulkan oleh Assaf (2006, pg. 356), yakni sebagai berikut : Untuk Owner: 1.
Melakukan pembayaran tepat waktu
2.
Meminimalisasi perubahan design saat konstruksi
3.
Mempercepat persetujuan gambar-gambar desain
4.
Melakukan pengecekan ketersediaan dana dan sumber daya sebelum melakukan kontrak pekerjaan
Untuk kontraktor: 1.
Mengantisipasi kekurangan tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja
2.
Melakukan manajemen cashflow yang baik
3.
Merencanakan dengan baik tiap tahapan proses selama konstruksi
4.
Memobilisasi staf administrasi dan teknik tepat waktu setelah tanda tangan
kontrak Jenis-jenis keterlambatan proyek yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya (Al Najjar, 2008) antara lain sebagai berikut: 1.
Keterlambatan proyek yang dapat dimaafkan (excusable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh kejadian-kejadian diluar kendali baik oleh pemilik maupun kontraktor.
2.
Keterlambatan proyek yang tidak dapat dimaafkan (non excusable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan kontraktor.
3.
Keterlambatan proyek yang layak mendapat ganti rugi (compensable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan pemilik.
4.
Keterlambatan proyek yang tidak layak mendapat ganti rugi (non compensable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh
tindakan, kelalaian atau kesalahan kontraktor. 5.
Critical atau non critical, keterlambatan proyek ini adalah akibat dari waktu progress pelaksanaan proyek. Keterlambatan proyek yang tidak kritis (non critical delays), maka tidak berdampak pada skedul project. Terjadi efeknya pada kegiatan critical path pada skedul.
6.
Pelaksanaan progress atau terjadinya pada waktu bersamaan (concurrent) atau non concurrent. Hal ini terjadi ketika pemilik dan kontraktor yang bertanggung jawab atas penyebab keterlambatan pekerjaan proyek.
2.2.1 Keterlambatan Proyek yang Dapat Dimaafkan (Excusable Delay) Keterlambatan proyek terjadi diluar kontrol dan jika keterlambatan proyek ini terjadi, maka kontraktor mendapat biaya tambahan pelaksanaan proyek. Sedangkan menurut Al-Najjar (2008) bahwa keterlambatan proyek ini adalah suatu kejadian pelaksanaan proyek diluar prediksi dan diluar kontrol siapapun. Excusable delay dikenal dengan keterlambatan force majeure dan umumnya disebut Acts of God. Oleh karena itu yang terjadi ini bukan tanggung jawab dari pihak-pihak terlibat. Umumnya pada kontrak mengizinkan kontraktor mendapat tambahan waktu untuk penyelesaian proyek, akan tetapi tidak untuk tambahan uang. Terjadinya keterlambatan proyek yang dapat dimaafkan (excusable delay) dengan konsuekensi bahwa kontraktor menerima pembayaran tambahan untuk waktu pelaksanaan proyek. Sehingga peristiwa ini terjadi jika pemilik telah menunda perjanjian dalam dokumen kontrak yang telah disepakati pada pelaksanaan proyek (Ahmed et al., 2002).
2.2.2 Keterlambatan Proyek Tidak Dapat Dimaafkan (Non Excusable Delay) Selama proyek berlangsung, kontraktor dapat mengikuti progres proyek yang sudah dijadwalkan atau meleset progresnya, tergantung dari kontraktor tersebut. Wei (2010) berpendapat bahwa keterlambatan ini terjadi, apakah kontraktor dapat mengontrol pelaksanaan proyek atau sebaliknya. Karena keterlambatan pelaksanaan proyek ini mengakibatkan kontraktor tidak memperoleh apapun tambahan waktu pelaksanaan dan juga kompensasi (ganti rugi), sedangkan menurut Ahmed et al. (2002) bahwa kontraktor memperoleh sanksi akibat keterlambatan proyek tersebut.
2.2.3
Keterlambatan Proyek yang Layak Mendapat Ganti Rugi (Compensable Delay) Keterlambatan proyek terjadi yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan
pemilik proyek (owner). Adanya keterlambatan pekerjaan proyek tersebut, maka pihak pelaksana (kontraktor) mendapat tambahan waktu pelaksanaan proyek. Selain itu memperoleh juga kompensasi (ganti rugi). Sedangkan Wei (2010) menyatakan bahwa apakah keterlambatan proyek itu mendapat ganti rugi, tergantung kontrak awal yang terjadi. Umumnya dengan adanya kontrak proyek, maka dapat memberikan spesifikasi jenis keterlambatan pelaksanaan proyek yang terjadi.
2.2.4
Keterlambatan Proyek yang Tidak Layak Mendapat Ganti Rugi (Non Compensable Delay) Keterlambatan proyek yang tidak layak mendapat ganti rugi (non compensable
delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan kontraktor.
Menurut Wei (2010) bahwa kontrak awal memberikan kategori spesifikasi, apakah keterlambatan proyek tersebut layak mendapat ganti rugi atau sebaliknya. Tentu saja hal ini tergantung dari kontrak awal. Jika terjadi keterlambatan proyek kategori non compensable delay, maka pihak yang terlibat adalah kontraktor. Kontraktor tidak menerima apapun tambahan uang. Akan tetapi, kemungkinan diizinkan untuk mendapatkan tambahan waktu penyelesaian pekerjaan proyek.
2.2.5
Keterlambatan Proyek yang Kritis (Critical Delays) Menurut Wei (2010), keterlambatan proyek yang berakibat pada perubahan
waktu pelaksanaan proyek. Hal ini mengakibatkan terjadinya perpanjangan waktu pelaksanaan dalam milestone dan ini umumnya disebut dengan critical delays, sedangkan keterlambatan proyek yang tidak mempunyai pengaruh adanya perubahan pelaksanaan atau milestone dan disebut non critical delay. Sementara itu, jika kegiatan pelaksanaan proyek mengalami keterlambatan, maka kegiatan ini dapat dikontrol dengan
adanya
perpanjangan
waktu
pelaksanaannya
antara
lain
dengan
mengakibatkan: 1.
Permasalahan yang terjadi pada proyek tersebut.
2.
Perencanaan pekerjaan kontraktor dan skedulnya (critical path).
3.
Persyaratan kontrak selanjutnya.
4.
Kendala dalam proyek seperti bagaimana merealisasi pelaksanaan penyebab keterlambatan proyek.
5.
Adanya input untuk pekerjaan penyelesaian pelaksanaan proyek dari pandangan praktisi ahli.
2.2.6
Pelaksanaan Progress atau Terjadinya pada Waktu Bersamaan (Concurrent Delay) Al Najjar (2008) mengatakan bahwa hal ini terjadi jika ada satu faktor
penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek. Umumnya diantara kedua faktor tersebut adalah waktu dan uang, tetapi yang lebih kompleks kemajuan progress skedul critical path method (CPM). Penyebab keterlambatan waktu pelaksanaan proyek khususnya lebih spesifik adalah lebih dari satu faktor penyebab keterlambatan proyek sekaligus terjadi pada waktu bersamaan atau tumpang tindih (overlapping) pada kemajuan progress skedul critical path method (CPM). Ini mengakibatkan pemilik (owner) dan kontraktor yang bertanggung jawab pada keterlambatan proyek ini. Jika keterlambatan pekerjaan proyek tersebut sulit diselesaikan dan tidak juga dapat di perbaiki (recover), maka ini ada kaitannya dengan pihak yang terlibat yaitu pemilik. Sehingga kemajuan progress skedul critical path method (CPM) berbeda antara pemilik dan kontraktor. Tetapi hanya kontraktor mendapat efeknya terhadap perbedaan progress skedul critical path method (CPM). Jika ditinjau penjelasan diatas, keterlambatan pelaksanaan proyek concurrent delay terjadi dengan adanya kedua belah pihak terkait yang bertanggung jawab, kontraktor dan pemilik (owner). Hal kemungkinan terjadi jika keterlambatan proyek tersebut sulit diselesaikan, yang disebabkan adanya kemungkinan terjadi pergantian progress critical path method. Dengan adanya concurrent delay menurut Abdullah et al. (2010) berpendapat bahwa keterlambatan ini kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya perselisihan antara kontraktor dan pemilik, sehingga kontraktor hanya mendapat tambahan waktu
pelaksanaan pekerjaan atau kompensasi pada keterlambatan proyek kategori excusable delay. Akan tetapi penalti atau denda pada kategori non excusable delay. Penjelasan diatas tentang jenis-jenis keterlambatan proyek dapat di gambarkan secara skematik pada Gambar 2.1.
Excusable Delay
Non Excusable Delay
Concurrent
Compensable
Non Compensable
Non Concurrent
Critical
Non Critical
Gambar 2.1 Kategori keterlambatan proyek (Vitalis et al. dalam Al- Najjar, 2008)
2.3
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kinerja Waktu Penyelesaian Proyek Pada pelaksanaan proyek, beberapa hal yang tidak diharapkan dan tidak
diantisipasi dapat terjadi dan mempengaruhi waktu penyelesaian yang dibutuhkan. Jika kontraktor gagal menyelesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam perjanjian kerja, maka keterlambatan dipastikan terjadi dalam proyek tersebut. Suatu proyek terdiri dari kumpulan beberapa kegiatan pekerjaan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Keterlambatan penyelesaian proyek dapat terjadi akibat terlambat mulainya kegiatan tersebut atau perpanjangan durasi kegiatan tersebut. Keterlambatan suatu kegiatan akan dapat menjadikan keterlambatan proyek secara keseluruhan.
Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi waktu atau jadwal pelaksanaan konstruksi pada suatu proyek adalah (Faridi, 2006) : a.
Fasilitas yang ada.
b.
Hubungan tenaga kerja.
c.
Keselamatan kerja.
d.
Keterlibatan pihak ketiga.
e.
Model organisasi proyek.
f.
Kesalahan desain.
g.
Jalan masuk proyek.
h.
Pekerjaan tambahan.
i.
Perubahan desain.
j.
Kompleksitas proyek.
k.
Durasi proyek.
l.
Standar dokumen kontrak.
m. Fasilitas sementara. n.
Persetujuan gambar.
o.
Manajemen keuangan, material, dan dokumentasi.
p.
Sumber daya manajemen pengelolaan proyek.
q.
Kerusakan material.
r.
Komitmen terhadap schedule.
s.
Peningkatan overhead.
t.
Aturan pelaporan.
u.
Rangkaian kegiatan.
Pelaksanaan proyek haruslah dilakukan dengan baik untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sehingga menyebabkan kegagalan proyek. Suatu proyek dikatakan gagal apabila kinerja waktu penyelesaian proyek sebagai salah satu kriteria keberhasilan proyek tidak memenuhi kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dimana penyelesaian proyek melebihi batas waktu yang diinginkan karena penundaanpenundaan dalam pelaksanaan proyek. Beberapa alasan yang dikemukakan sehingga menyebabkan waktu penyelesaian proyek terlambat adalah cuaca yang buruk, kurangnya supply tenaga kerja dan material, lemahnya subkontraktor, dan perubahanperubahan setelah pelaksanaan kontrak dimulai, manajemen lapangan yang buruk dan kebijaksanaan pemerintah yang tidak konsisten. Banyak hal yang dapat terjadi pada proyek konstruksi yang menyebabkan bertambahnya waktu pelaksanaan kegiatan tertentu atau seluruh proyek. Odeh (2002) mengatakan penyebab-penyebab utama yang umum adalah kondisi-kondisi lapangan yang berbeda; perubahan-perubahan dalam desain dan persyaratan-persyaratan; cuaca yang buruk; ketidaktersediaan tenaga kerja, material atau perlengkapan; kegagalan dalam menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang ditentukan, perencanaan yang buruk; kegagalan sub kontraktor; campur tangan dan gangguan owner. Semua hal ini harus dapat diantisipasi oleh pihak pelaksana proyek, sehingga proyek dapat diselesaikan dengan baik. Elinwa dan Joshua (2001) dalam penelitiannya menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya keterlambatan penyelesaian proyek yaitu model pembiayaan dan pembayaran untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan antara lain menolak pembayaran material yang harganya berfluktuasi, tidak mempercayai dokumendokumen pembayaran setelah pekerjaan selesai, kebijakan pemerintah dan
ketidakstabilan dalam sistem, kondisi cuaca yang buruk, kurangnya penyediaan tenaga kerja, transportasi untuk material dan peralatan ke proyek buruk, perencanaan yang tidak layak, penaksiran waktu penyelesaian proyek yang rendah, seringnya perubahan pada desain dan material, tidak dapat memenuhi syarat-syarat kontrak, manajemen lapangan yang buruk, pemilihan material yang tidak tersedia, lemahnya koordinasi antara tim desain dan kontraktor, kesalahan-kesalahan selama pembangunan, hubungan manajemen dan buruh yang tidak baik. Beberapa studi yang lain telah dilakukan, yang berusaha mengevaluasi pengaruh
daripada
penundaan-penundaan
pekerjaan,
mengemukakan
bahwa
kelemahan kinerja proyek dalam bentuk time dan cost overrun sudah umum terjadi dalam industri konstruksi. Urutan daripada faktor-faktor yang menyebabkan non excusable delay yang merupakan tanggung jawab kontraktor meliputi : Mobilisasi dan penyerahan yang lambat, kerusakan material, perencanaan yang lemah, kerusakan perlengkapan, perlengkapan yang tidak tepat, supplier dan subkontraktor yang tidak handal, pengalokasian dana yang tidak mencukupi, kelemahan kualitas, kemangkiran, kekurangan fasilitas, prosedur dan praktek yang tidak tepat, kurang pengalaman, sikap, monitoring dan pengendalian yang lemah, pemogokan, kekurangan personil, penundaan pembayaran kepada supplier dan subkontraktor, komunikasi yang tidak efisien, metode yang salah, ketidaktersediaan sumber-sumber yang dibutuhkan, kontrak yang tidak sempurna, keterkaitan dengan perdagangan lain, terlampau banyak tanggung jawab, kebangkrutan sub kontraktor, serta lemahnya moral dan komunikasi. Shtub et. al. (1994) mengatakan dalam suatu proyek tim proyek memegang peranan penting didalam mempertimbangkan lingkungan budaya, sosial, internasional,
politis, serta lingkungan fisiknya. Adanya ketidakpastian yang dihadapi proyek ditambah dengan pengalaman yang terbatas dan kesulitan mendapatkan data membuat manajemen proyek merupakan suatu kombinasi dari seni, ilmu pengetahuan dan yang paling banyak berpikir yang logis. Lebih lanjut Shtub et. al. (1994) mengatakan seorang manajer proyek yang baik harus akrab dengan sejumlah disiplin dan teknik. Mengelola suatu proyek adalah suatu tugas yang kompleks dan menantang. Seorang manajer proyek harus mengkoordinir banyak usaha dan kegiatan-kegiatan yang berbeda untuk mencapai sasaran proyek, karena orang-orang dari berbagai disiplin dan dari berbagai bagian organisasi yang belum pernah bekerja bersama-sama ditugaskan pada proyek, juga sub kontraktor yang belum akrab dengan organisasi diikutsertakan untuk melakukan tugas-tugas yang besar. Kompleksitasnya suatu proyek ditunjukkan oleh interaksi manajer dengan tim proyek dalam satu kesatuan organisasi pelaksana proyek. Nurfiah (2010) dalam skenario penelitiannya menemukan lahan terkendala mengakibatkan pertambahan biaya sesuai dengan skenario yang telah ditentukan. Lahan terkendala 10% akan mengalami kenaikan sekitar 0,18%, lahan terkendala 25% kenaikan biayanya adalah 0,22%, lahan terkendala 50% akan mengalami kenaikan 0,28%, dan untuk terkendala lahan 75% maka kenaikan biayanya adalah 0,34%. Waktu yang ditimbulkan akibat lahan terkendala 10% adalah 47,3%, lahan terkendala 25% adalah 57,3%, lahan terkendala 50% akan mengalami penambahan waktu 73,8%, dan untuk kendala lahan 75% maka waktu yang dtimbulkan adalah 90,27%.
2.4
Variabel – variabel Tim Proyek Stott et al. (1995) menjelaskan bahwa tim proyek adalah suatu kelompok yang
biasanya bersifat sementara dan dipakai pada suatu periode terbatas untuk memecahkan masalah-masalah yang spesifik atau untuk mengembangkan produk baru. Tim tersebut bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Tim proyek merupakan salah satu struktur inti dari organisasi perusahaan konstruksi. Setidaknya ada 2 alasan mengapa tim proyek ditempatkan sebagai struktur inti yaitu tim proyek merupakan one of the real profit makers perusahaan konstruksi, dan organisasi proyek sebagai induk dari tim proyek, dengan segala keluasaan dan kerumitan permasalahan dan tantangannya merupakan lahan terbaik bagi kaderisasi calon-calon pimpinan perusahaan konstruksi dimasa mendatang. Goestiandi (2000) menjelaskan, individual profesionalism (kemampuan profesional individu) dan team synergi (ketepaduan tim) adalah kata kunci untuk quick organization seperti ini. Ini berarti bahwa sebagai individu, setiap anggota tim proyek selayaknya memiliki kemampuan intelektual, keterampilan teknis, dan semangat profesionalisme yang dapat diandalkan. Sebagai bagian dari suatu kelompok, setiap anggota tim harus dapat memfungsikan dirinya untuk bersama-sama anggota tim lainnya, membantu satu kesatuan kolektif yang solid. Dan diantara kedua success factor tersebut, sinergi tim seringkali lebih kontributif bagi kinerja tim secara keseluruhan. Sinergi tim akan lahir, apabila masing-masing anggota menyadari dan memahami karakter kerja anggota lainnya, dan kemauan masing-masing dapat dilimpahkan tugas dan tanggung jawab yang paling sepadan dengan karakter tugasnya tersebut. Curtis (1993) menjelaskan bahwa, tim merupakan sebuah bagian formal dari
suatu struktur organisasi, sebuah unit yang lebih spesifik. Tim bukan hanya sebuah label untuk menjelaskan atau menandai dan memberikan suatu nomor tertentu kepada para anggotanya yang bekerja pada suatu area, atau yang mempunyai kesamaan tanggung jawab. Anggota tim harus mempunyai satu kemampuan untuk memahami timnya, mengakui dan memahami keberadaan anggota tim lainnya, dan juga memahami akan posisi masing-masing individu dalam tim terhadap personel lainnya dalam masing-masing posisi dalam tim tersebut. Goestandi (2000) menuliskan, ada 4 karakter yang lazim muncul pada anggota tim, yaitu: a.
Move (penggerak), yaitu yang mengawali dan memprakarsai dan mengawali seluruh gerak tim.
b.
Follow (pengikut), yaitu tipe yang mendukung si penggerak.
c.
Oppose (pelawan), yaitu tipe yang menentang si penggerak.
d.
Bystand (penyanggah), yaitu tipe yang menawarkan perspektif alternative terhadap si penggerak.
Masing-masing dari keempat karakter tim tersebut, mempunyai peranan yang penting dalam membentuk sebuah tim yang efektif. Seorang mover berperan untuk memberikan arah dan sasaran kegiatan tim, seorang follower berfungsi untuk membantu merealisasikan sekaligus juga menuntaskan kegiatan tim, seorang opposer akan berpartisipasi untuk memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam anggota tim, seorang bystander akan banyak membantu dalam menyelesaikan persoalanpersoalan yang timbul dari sudut pandang yang berbeda. Karakter tim proyek dapat
terbentuk pada budaya dan filosofi yang berbeda setiap organisasi tersebut dan dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Faktor Lingkungan Gaya Kepemimpinan Dorongan dan Hambatan Karakteristik Tim Proyek
Team Performance
Gambar 2.2 Model sederhana untuk analisis team performance (Thamhain, 1994) Nurick & Thamhain (1994) dalam tulisannya menerangkan, ada 4 variabel yang spesifik yang akan mempengaruhi kinerja sebuah tim proyek dapat berprestasi, yaitu variabel kepemimpinan (leadership variables), variabel yang berhubungan dengan tugas atau pekerjaan (task-related variables), yang berhubungan dengan anggotanya (people-related), dan variabel organisasi atau perusahaan (organizational variables). Bubshait & Farooq (1999) menyebutkan tentang faktor-faktor pengaruh kualitas dan efektivitas suatu tim proyek dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: a.
Variabel yang berhubungan dengan gaya kepemimpinan.
b.
Variabel yang berhubungan dengan tugas.
c.
Variabel yang berhubungan dengan organisasi perusahaan.
Menurut Gilbert et al (1995) ada beberapa faktor yang membantu prestasi tim. Pertama, penugasan kelompok kerja harus ditujukan pada isu spesifik dan nyata bukan generalisasi yang luas. Kedua, pekerjaan harus dipecah-pecah dan ditugaskan kepada subkelompok dan anggota. Ketiga, keanggotaan tim harus didasarkan pada apa yang dapat dicapai oleh setiap anggota dan keterampilan dari masing-masing anggota, bukan didasarkan pada wewenang formal atau posisi organisasi dari seseorang. Keempat, setiap anggota tim harus melakukan pekerjaan yang kira-kira sama banyak, sehingga tidak muncul perasaan iri sesama anggota tim.
2.4.1 Anggota Tim Anggota tim berhubungan dengan peran serta atau kemampuan anggota tim dalam bekerja di sebuah kelompok, bagaimana anggota tim saling melakukan komunikasi dengan anggota lainnya, peranannya dalam tim, keterlibatannya dalam tim, kemampuan mengatasi masalah, saling mempercayai sesama anggota tim lainnya, dan komitmen terhadap sasaran proyek. Menurut Soeharto (1995), salah satu cara untuk meningkatkan kerjasama antara anggota tim adalah mendorong terselenggaranya komunikasi dan interaksi antar anggota tim, serta pembinaan yang intensif sehingga: a.
Masing-masing anggota tim mengetahui peranannya dalam tim
b.
Setiap anggota merasa saling diperlukan
c.
Anggota merasakan bahwa dengan bekerjasama sebagai sebuah tim akan menghasilkan lebih besar daripada bekerja sendiri-sendiri secara terpisah.
Menurut Dinsmore (1993), kerjasama sebuah tim sangat bergantung pada kualitas hubungan antar anggota tim. Tingkat interaksi antar anggota tim, dapat meningkatkan kualitas hubungan antar anggota. Apabila ingin membentuk sebuah tim yang bagus, maka anggota tim harus mempunyai keterlibatan yang tinggi dengan tim, interest dengan pekerjaannya, semangat yang tinggi, kemampuan memecahkan masalah, komunikasi yang baik, keinginan untuk berprestasi besar, saling percaya, kemampuan untuk mengembangkan diri, dan kemampuan berorganisasi yang baik.
2.4.2 Tugas Tim Menurut Nurick & Thamhain (1994) variabel yang berhubungan dengan tugas adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi hasil tugasnya, seperti kemauan untuk menyelesaikan pekerjaan atau tugasnya selesai tepat waktu dan tepat biaya (on budget), mau melakukan inovasi dalam pekerjaannya, kemampuan untuk menghadapi perubahan di lapangan. Karakteristik sebuah tim yang baik adalah apabila semua anggotanya mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya, lebih memperhatikan pada hasil pekerjaannya, inovatif dan kreatif, kemampuan untuk menghadapi perubahan di lapangan, mementingkan kualitas yang diraih pada pekerjaannya, mempunyai kemampuan untuk memprediksi trend yang berkembang. Berdasarkan penjelasan Nurick & Thamhain, tim akan lebih efektif apabila tim dapat menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu, tepat biaya, dan setiap anggotanya mempunyai kemampuan dan kemauan untuk berinovasi dan menghadapi segala perubahan di lapangan. Kadangkala perubahan muncul tiba-tiba atau diluar prediksi
sebelumnya, disinilah dituntut kemampuan tim untuk mengatasi dan menyelesaikan pekerjaannya.
2.4.3 Organisasi Tim Menurut Nurick & Thamhain (1994), variabel yang berhubungan dengan organisasi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan iklim organisasi, struktur organisasi, kebijakan organisasi, prosedur yang diterapkan dalam pekerjaan, budaya yang berkembang dalam organisasi, peraturan organisasi, kondisi ekonomis perusahaan. Keefektifan organisasi dipengaruhi oleh budaya nasional. Jepang misalnya sangat menjunjung tinggi kesatuan yang kuat yang melekat pada organisasi. Mereka juga menjunjung tinggi keyakinan atau keputusan yang diambil secara kelompok. Sebaliknya, di Amerika Serikat menganut budaya individualisme dengan identitas didasarkan pada individu dan ada keyakinan yang kuat pada keputusan individu. Hal seperti ini menurut Gilbert et al. (1995), sangat mempengaruhi iklim organisasi. Iklim organisasi inilah yang mendukung suatu tim untuk mencapai prestasi yang gemilang.
2.4.4
Kompetensi Manajer Tim Menurut keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor : KEP-227/MEN/2003, kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap kerja sesuai dengan standard yang ditetapkan. Kompetensi merupakan karakteristik fundamental pada orang dan mengindikasikan cara-cara berperilaku atau berpikir, melakukan
generalisasi di berbagai situasi, dan menetap selama waktu yang cukup lama. Lebih jauh lagi Prihadi (2003) mengemukakan lima tipe kompetensi sebagai berikut: a.
Motives adalah hal-hal yang seseorang pikir atau inginkan secara konsisten yang menimbulkan tindakan.
b.
Traits adalah karakteristik fisik dan respon-respon konsisten terhadap situasi atau informasi.
c.
Self-concepts, dalam kategori ini tercakup sikap-sikap, values, atau selfimage seseorang.
d.
Keterampilan adalah kemampuan melakukan tugas fisik atau mental.
e.
Pengetahuan, kategori ini merujuk pada informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang-bidang tertentu.
Spencer menggambarkan model Iceberg dari level-level kompetensi sebagai kiasan seperti pada Gambar 2.3.
KNOWLEDGE Informasi yang dimiliki oleh seseorang didalam suatu area tertentu SKILLS Perilaku yang mendemonstrasikan pengetahuan SELF CONCEPTS Attitude (sikap), nilai – nilai dan self image (kesan tentang diri sendiri)
TRAITS Suatu kecenderungan umum untuk berperilaku menurut suatu cara tertentu
MOTIVES Pikiran – pikiran yang muncul yang menggerakan perilaku Gambar 2.3 Model Iceberg dari level-level kompetensi
2.4.4.1 Pengetahuan (knowledge) A Guide to The Project Management Body of Knowledge
mengatakan
manajemen proyek yang efektif menghendaki agar tim manajemen proyek memahami dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan paling sedikit lima bidang keahlian berikut: 1. Pengetahuan pokok manajemen proyek. 2. Aplikasi bidang pengetahuan, standar-standar dan peraturan-peraturan. 3. Memahami lingkungan proyek. 4. Pengetahuan dan keterampilan-keterampilan manajemen umum. 5. Interpersonal skills.
2.4.4.2 Keahlian (skill) Dalam rangka mencapai kinerja proyek yang baik, seorang manajer proyek harus memiliki skill yang berkaitan dengan pengelolaan proyek. Skill didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk menerjemahkan pengetahuan (knowledge) kedalam tindakan (Odusami, 2002). Menurut Time, Webster’s Dictionary (1978), Skill adalah kemampuan atau keterampilan yang didapatkan dari praktek dan pelatihan. Agar para manajer proyek efektif dan sukses, mereka tidak hanya harus menunjukkan skill-skill administrasi dan teknikal yang efisien, tetapi juga harus mempraktekkan suatu gaya kepemimpinan yang tepat. Gaya kepemimpinan yang digunakan dapat mempengaruhi moral karyawan dan produktifitas kerja karyawannya, dengan demikian kesuksesan suatu proyek dapat tergantung secara langsung pada kepemimpinan yang baik (Burke, 2003). Kepemimpinan (leadership) juga merupakan
suatu aspek yang sangat penting dalam manajemen proyek. Tiga jenis kompetensi yang berbeda yang diperlukan dalam kepemimpinan yaitu kompetensi kepemimpinan seperti kemampuan memimpin perubahan, kompetensi fungsional seperti keterampilan teknik, manajemen sumber daya manusia dan kemampuan personil seperti motivasi dan ketekunan yang tinggi. Sifat-sifat yang paling tinggi untuk manajer proyek yang efektif dan untuk proyek yang berhasil adalah membangun tim, komunikasi, menunjukkan kepercayaan dan fokus atas hasil-hasil diantara bawahan (Nguyen et. al., 2004). John (1993) mengemukakan bahwa jabatan manajer proyek merupakan jabatan yang sangat strategis dalam suatu proyek, karena manajer proyek adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikan proyek tersebut dengan baik. Jabatan manajer proyek menuntut agar manajer tersebut mampu mengidentifikasi masalah dan memecahkannya, mengatasi kenyataan bahwa waktu dan perhatiannya akan terserap oleh ribuan masalah dan persoalan yang beragam,
menyelaraskan penanganan
masalah jangka pendek dan jangka panjang dan dapat memotivasi bawahannya untuk berprestasi baik dan mengatasi kebiasaan buruk mereka.
2.4.4.3 Sikap dan perilaku (self concepts) Untuk menjadi pemimpin tidak ada cara ataupun metode pelatihan yang khusus. Namun, mengetahui karakter dan kualitas jiwa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin serta bagaimana menjadi pemimpin yang efektif, merupakan bekal dan modal potensial untuk bersikap dan bertindak sebagai pemimpin yang baik. Adapun kualitas seorang pemimpin adalah (Syah, 2004) :
1. Dinamis dan optimis, serta penuh keyakinan. 2. Aktif dan gigih dalam mengejar sasaran. 3. Berwawasan dan imajinatif. 4. Luwes dan penuh pertimbangan, analistis. 5. Kreatif dan penuh kepastian ide dan tindakan. 6. Sabar dan pantang menyerah, serta simpatik. 7. Tekun dan terus bertindak, serta terorganisasi. 8. Berkharisma dan arif bijaksana, serta tidak gegabah. Sikap dan perilaku yang penting bagi seorang manajer proyek yang dikemukakan oleh penulis lainnya adalah sebagai berikut : 1. Cleeland (1995), kompetensi manajer yang efektif menyangkut sifat pada level dibawah sadar adalah keyakinan pada diri sendiri, perhatian terhadap pengaruh-pengaruh, proaktif, dan orientasi efisiensi. 2. Project Management Body Of Knowledge Guide (2004), skill-skill seperti ketegasan, pengaruh, kreativitas, dan grup pendukung merupakan aset-aset yang berharga ketika mengelola tim proyek. 3. Campbell Martin didalam bukunya “The Successful Engineer : Personal and Professional skills-a Sourcebook”, mengemukakan beberapa sikap atau perilaku yang penting seperti kepercayaan diri, kreatif, tegas, mendengar orang lain, dan memahami orang lain. Seorang manajer proyek harus memiliki motivasi sendiri yaitu mendorong diri sendiri untuk bertindak dan
mendorong para bawahan untuk bekerja dengan baik agar dapat menyelesaikan proyek dengan baik.
2.4.5 Pembebasan Lahan Pembebasan lahan berdasarkan adalah merupakan suatu kegiatan melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. Tanah-tanah yang dibebaskan dengan mendapatkan ganti rugi dapat berupa: a. Tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960. b. Tanah-tanah dari masyarakat hukum adat. Pembebasan hak atas tanah wajib disertai dengan pemberian ganti rugi dan harus berpedoman pada peraturan yang berlaku serta dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi harus diusahakan dengan asas musyawarah antara pihak yang bersangkutan dengan mempertimbangkan/memperhatikan harga dasar setempat yang ditetapkan secara berkala oleh Panitia. Salah satu kendala utama dalam penyelesaian proyek jaringan transmisi di PLN adalah pembebasan lahan. Hal ini sangat menghambat kinerja waktu penyelesaian proyek- proyek PLN di seluruh Indonesia. Ini merupakan tantangan bagi PLN dalam upaya menyediakan listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu, direksi PT PLN (Persero) telah mengeluarkan Keputusan Direksi No. 0289.K/DIR/2013 tanggal 9 April 2013 tentang “Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Penyediaan Tenaga Listrik, Biaya Operasional Pengadaan Tanah dan Biaya Operasional Kompensasi di
Lingkungan PT PLN (Persero)”. Keputusan ini adalah peraturan pelaksanaan dalam pengadaan tanah di lingkungan PT PLN (Persero) sebagai tindak lanjut dari berlakunya Undang-undang No 02 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat (3). Keputusan ini berlaku sebagai aturan pada pengadaan tanah khusus untuk kepentingan penyediaan tenaga listrik di luar penugasan dari Pemerintah. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pembebasan lahan di antaranya adalah sebagai berikut : a.
Alas hak kepemilikan tanah tidak jelas
Permasalahan alas hak kepemilikan tanah yang akan dibebaskan banyak terjadi di lapangan. Tanah yang akan dibebaskan sering tidak jelas siapa pemiliknya. Ketidakjelasan alas hak tersebut tak jarang menimbulkan sengketa para pihak yang merasa berhak atas tanah dimaksud. b.
Sengketa kepemilikan
Seringkali terjadi sengketa kepemilikan atas tanah yang akan dibebaskan oleh PLN. Keadaan ini tentu turut memperlambat PLN dalam membebaskan tanah yang dibutuhkan. c.
Pemilik enggan melepas tanah miliknya
Dalam beberapa kesempatan, pihak pemilik tanah enggan melepaskan kepemilikan tanahnya karena beberapa alasan, diantaranya: 1
Harga terlalu rendah.
2
Ada sumber daya alam yang lebih berharga yang melekat di tanah miliknya, dibanding harga ganti rugi yang ditawarkan.
3
Pihak pemilik tanah memanfaatkan momen untuk mendapatkan harga ganti rugi tinggi yang tidak realistis.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembebasan lahan adalah sebagai berikut: a.
Dukungan Aparat Pemda/Muspika
Sukses dan lancarnya pembebasan tanah tidak terlepas dari bantuan pihak Pemda dan/atau Muspika setempat. Sikap kooperatif aparat Pemda dan/atau Muspika akan sangat membantu lancarnya proses pengadaan tanah. Sikap kooperatif kepemilikan,
tersebut
diantaranya
bantuan
dalam
bantuan
memfasilitasi
dalam
mengeluarkan
sosialisasi,
bukti
musyawarah
-
musyawarah dan pertemuan - pertemuan PLN dengan masyarakat pemilik tanah. b.
Karakter masyarakat
Karakter masyarakat suatu daerah sangat berpengaruh pada kelancaran pengadaan tanah untuk PLN. Keadaan sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya suatu masyarakat di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Faktor faktor tersebut turut mempengaruhi kelancaran pengadaan tanah untuk PLN. c.
Sumber Daya Manusia (Pelaksana/Tim Pengadaan Tanah)
Pelaksana/Tim Pengadaan Tanah PLN belum dibekali dengan pengetahuan yang mumpuni ketika terjun ke lapangan untuk melaksanakan proses pengadaan tanah. Selain itu, personil yang ada masih kurang, namun dapat
disiasati dengan meminta bantuan warga sekitar dan memberdayakan aparat desa setempat.
2.5
Statistik yang Digunakan dalam Analisa
2.5.1 Mean atau Rata-rata ( x ) Nazir (1999) menyatakan bahwa mean (rata-rata), yang sering digunakan adalah rata-rata hitung (arithmetic mean). Rata-rata hitung untuk data kuantitatif yang terdapat dalam sebuah sampel dihitung dengan jalan membagi jumlah nilai data oleh banyak data. Jika X1, X2, …………….Xn adalah n buah pengamatan, maka mean dicari dengan rumus: N _
x= Dimana:
∑
f x i
i
i =1
N
(2.1)
= Nilai rata-rata variabel N = Jumlah observasi Xi = Skor skala pengukuran fi
= Frekuensi
2.5.2 Simpangan Baku (Standar Deviasi) Simpangan baku (standar deviasi) adalah suatu nilai yang menunjukan tingkat (derajat) variasi kelompok atau ukuran standar penyimpangan dari reratanya. Simbol standar deviasi populasi adalah σ . Pada prinsipnya perhitungan standar deviasi sama dengan perhitungan lain pada ukuran pemusatan dimana terdapat perbedaan formula
maupun cara perhitungan untuk data tunggal dan data berkelompok. Adapun rumus untuk menghitung standar deviasi untuk data berkelompok adalah sebagai berikut :
(∑ f .xi ) − ∑f ∑f
2
∑ f .xi
σ =
Dimana:
2
σ
= Standar deviasi
f
= Frekuensi
Xi = Skor skala pengukuran
2.5.3 Pengertian Regresi Linier Pengertian regresi secara umum adalah sebuah alat statistik yang memberikan penjelasan tentang pola hubungan (model) antara dua variabel atau lebih. Dalam analisis regresi dikenal 2 jenis variabel yaitu: 1. Variabel Respon disebut juga variabel dependen yaitu variabel yang keberadaannya dipengaruhi oleh variabel lainnya. 2. Variabel Prediktor disebut juga dengan variabel independen yaitu variabel yang bebas karena tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya. Untuk mempelajari hubungan-hubungan antara variabel bebas maka regresi linier terdiri dari dua bentuk, yaitu: 1. Analisis regresi sederhana (simple analysis regression). 2.
Analisis regresi berganda (multiple analysis regression).
Analisis regresi sederhana merupakan hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel tidak bebas (dependent variabel),
sedangkan analisis regresi berganda merupakan hubungan antara 3 variabel atau lebih, yaitu sekurang-kurangnya dua variabel bebas dengan satu variabel tidak bebas. Tujuan utama regresi adalah untuk membuat perkiraan nilai suatu variabel (dependent variable) jika nilai variabel yang lain yang berhubungan dengannya sudah ditentukan.
2.5.4 Analisis Regresi Linier Sederhana Regresi linier sederhana digunakan untuk mendapatkan hubungan matematis dalam bentuk suatu persamaan antara variabel tak bebas tunggal dengan variabel bebas tunggal. Regresi linier sederhana hanya memiliki satu peubah yang dihubungkan dengan satu peubah tidak bebas.
2.5.5
Analisis Regresi Linier Berganda Regresi linier berganda adalah analisis regresi yang menjelaskan hubungan
antara peubah respon (dependent variabel) dengan faktor-faktor yang mempengaruhi lebih dari satu prediktor (independent variabel). Regresi linier berganda hampir sama dengan regresi linier sederhana, hanya saja pada regresi linier berganda variabel bebasnya lebih dari satu variabel penduga. Tujuan analisis regresi linier berganda adalah untuk mengukur intensitas hubungan antara dua variabel atau lebih.
2.5.6
Populasi dan Sampel Menurut Sugiyono (2003), bahwa populasi merupakan sekelompok entitas
yang lengkap yang dapat berupa orang, kejadian atau benda yang mempunyai
karakteristik tertentu yang berada dalam suatu wilayah dan memenuhi syarat – syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian.
2.5.7
Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan langsung dari responden dengan cara dari daftar pertanyaan atau kuesioner. Dengan menggunakan kuesioner, maka responden yang membaca daftar pertanyaan dan menjawabnya atas pertanyaanpertanyaan yang diajukan. Data ini merupakan data yang utama atau pokok dari obyek yang diteliti. Hasil penelitian yang dicapai merupakan pengolahan dari data yang diterima ini. Sebelum dilakukan pengelolahan data, terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen kuesioner. Data sekunder dalam penelitian ini digunakan untuk mengisi kebutuhan akan tujuan khusus pada beberapa hal, dan sebagai bagian terpadu dari sebuah penelitian yang besar. Prosedur penelitian meminta beberapa eksplorasi awal yang pernah dilakukan untuk mempelajari apakah hasil penelitian sebelumnya dapat memberi sumbangan bagi studi yang sedang dilakukan. Data dari sumber sekunder membantu memutuskan apa kebutuhan penelitian selanjutnya perlu dilakukan sekaligus menjadi sumber hipotesis. Penulis bertindak sebagai pemakai data. Sumber penting untuk mengumpulkan data sekunder adalah perpustakaan, baik berupa buku-buku literatur, jurnal, maupun data yang disimpan di CD-ROM, dimana data tersebut dapat ditampilkan dalam layar komputer lalu dicetak. Database dalam CD-ROM ini tidak hanya mencakup terbitan-terbitan berkala dari jurnal-jurnal penelitian, tetapi ada juga data statistik, indeks, abstrak, daftar bibliografi,
dan bahan-bahan sumber semuanya tersedia melalui beraneka ragam layanan yang dilanggani perusahaan , perpustakaan, dan individu.
2.5.8
Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Uji kualitas data dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan uji validitas
dan reliabilitas instrumen merupakan uji yang digunakan untuk menguji layak atau tidak layaknya suatu instrumen penelitian dijadikan sebagai sumber data dalam suatu penelitian. Uji validitas dan reliabilitas data pada umumnya dilakukan terhadap 30 responden yang diambilan dari sampel penelitian.
2.5.9 Uji Validitas Instrumen Penelitian Uji validitas dimaksudkan untuk menilai sejauh mana suatu alat ukur diyakini dapat dipakai sebagai alat untuk mengukur item-item pertanyaan/pernyataan kuesioner dalam penelitian. Teknik yang digunakan untuk mengikur
validitas butir
pertanyaan/pernyataan kuesioner adalah Korelasi Product Moment dari Karl Pearson (validitas isi/content validity) dengan cara mengkorelasikan masing-masing item pertanyaan/pernyataan kuesioner dan totalnya, selanjutnya membandingkan r tabel dengan r hitung. Penentuan valid tidaknya pertanyaan/pernyataan kuesioner ditentukan melalui besarnya koefisien korelasi, yaitu: jika r hitung positif dan r hitung > r tabel, maka skor butir pertanyaan/pernyataan kuesioner valid dan sebaliknya, jika r hitung negative dan r hitung < r tabel, maka skor butir pertanyaan/pernyataan kuesioner tidak valid. Ghozali (2005) dan Sekaran (2002) menentukan: jika α r < α 5%, maka skor butir
pertanyaan/pernyataan kuesioner valid dan sebaliknya, jika α r > α 5%, maka skor butir pertanyaan/pernyataan kuesioner tidak valid.
2.5.10 Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui instrumen penelitian yang dipakai dapat digunakan berkali-kali pada waktu yang berbeda. Pengujian dilakukan dengan menggunakan teknik cronbach alpha, dimana suatu instrumen dapat dikatakan reliabel bila memiliki koefisien keandalan atau alpha sebesar: (a) <0,6 tidak reliabel, (b) 0,60,7 acceptable, (c) 0,7-0,8 baik, dan (d) >0,8 sangat baik (Sekaran, 2002).
2.5.11 Metode Analisis Data Setelah seluruh data yang diperoleh melalui kuisioner terkumpul, kemudian dilakukan tahapan penelitian selanjutnya yaitu metode analisa data dengan cara kualitatif dan kuantitatif, yaitu hasil survey berupa kuesioner dari responden diolah sesuai dengan metode yang digunakan. Adapun metode analisis dimaksud meliputi analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Urutan kedua metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini, diuraikan berikut.
2.5.12 Analisis Statistik Deskriptif Data statistik yang diperoleh dalam penelitian perlu diringkas dengan baik dan teratur. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang sekumpulan data yang diperoleh baik mengenai sampel atau populasi.
2.5.13 Uji Asumsi Klasik Suatu model regresi dikatakan tidak mengandung masalah apabila data yang digunakan dalam suatu penelitian terbebas dari asumsi klasik. Uji asumsi klasik dalam penelitian ini meliputi uji normalitas, uji heterokedastisitas dan uji multikolinieritas.
2.5.13.1 Uji normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan pendekatan KolmogorovSmirnov Test. Suatu data dikatakan berdistribusi secara normal apabila nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari α 5%.
2.5.13.2 Uji Heteroskedastis Penyimpangan uji asumsi klasik ini adalah adanya gejala heteroskedastisitas, artinya varians variabel dalam model tidak sama. Konsekuensi dari adanya gejala heteroskedastis adalah penaksir yang diperoleh tidak efisien, baik dalam sampel besar maupun kecil walaupun penaksir diperoleh menggambarkan populasinya dalam arti tidak bias. Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Glejser. Suatu data dikatakan terbebas dari penyimpangan heterokedastisitas apabila secara statistik variabel bebas tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat Absolut Ut (AbsUt).
2.5.13.3 Uji multikolinearitas Pengujian asumsi ini untuk menunjukkan adanya hubungan linear antara variabel-variabel bebas dalam model regresi maupun untuk menunjukkan ada tidaknya derajat kolinearitas yang tinggi diantara variabel-variabel bebas. Jika antar variabel bebas berkorelasi dengan sempurna maka disebut multikolinearitasnya sempurna (perfect multicoliniarity), yang berarti model kuadrat terkecil tersebut tidak dapat digunakan. Indikator untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah menguji asumsi tersebut dengan uji korelasi antar variabel independen dengan matriks korelasi. Menurut Ghozali (2003), bahwa ada atau tidaknya multikolinearitas dapat diketahui dengan menganalisis nilai tolerance serta Variance Inflation Factor (VIF). Suatu variabel dikatakan terbebas dari asumsi multikolinearitas apabila nilai VIF >1,0 dan nilai tolerance <1,0. Nugroho (2005) membatasi nilai VIF tidak lebih dari 10 dan nilai tolerance tidak kurang dari 0,1.
2.5.14 Model Analisis Data Model analisis data dalam penelitian ini ditransformasikan dari persamaan regresi linier berganda yang secara matematis diformulasikan sebagai berikut: Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + βnXn
Dimana: Y
= variabel terikat.
β0
= Konstanta.
β1…βn = koefisien regresi.
.............................(2.1)
X1...Xn = variabel bebas.
2.5.15 Analisis Koefisien Korelasi (r) dan Koefisien Determinasi (R2) Analisis koefisien korelasi (r) adalah suatu pengukuran statistik kovariasi atau asosiasi antara dua variabel. Analisis korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam salah satu teknik pengukuran asosiasi / hubungan (measures of association). Pengukuran asosiasi
merupakan istilah umum yang mengacu pada
sekelompok teknik dalam statistik bivariat yang digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel. Diantara sekian banyak teknik-teknik pengukuran asosiasi, terdapat dua teknik korelasi yang sangat populer sampai sekarang, yaitu Korelasi Pearson Product Moment dan Korelasi Rank Spearman. Pengukuran asosiasi mengenakan nilai numerik untuk mengetahui tingkatan asosiasi atau kekuatan hubungan antara variabel. Dua variabel dikatakan berasosiasi jika perilaku variabel yang satu mempengaruhi variabel yang lain. Jika tidak terjadi pengaruh, maka kedua variabel tersebut disebut independen. Korelasi Pearson Product Moment (PPM) dikemukakan oleh Karl Pearson pada tahun 1900. Kegunaannya untuk mengetahui derajat hubungan dan kontribusi variabel bebas dengan variabel terikat. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien korelasi (r) dengan menggunakan metode Pearson Product Moment (PPM) adalah sebagai berikut r=
n∑ XY − (∑ X )(∑ Y )
{n∑ X 2 − (∑ X ) 2 }{n∑ Y 2 − (∑ Y ) 2 }
Dimana: r
= . Nilai koefisien korelasi
X
=
Variabel bebas
Y
=
Variabel terikat
n
=
Jumlah data observasi
Jika koefisien korelasi diketemukan tidak sama dengan nol (0), maka terdapat hubungan antara dua variabel tersebut. Jika koefisien korelasi diketemukan +1, maka hubungan tersebut disebut sebagai korelasi sempurna atau hubungan linear sempurna dengan kemiringan (slope) positif. Pedoman untuk memberikan interpretasi terhadap nilai koefisien korelasi (Sugiyono, 2007) dapat ditunjukkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Interpretasi Nilai Koefisien Korelasi (Sugiyono, 2007) Rentang Nilai Koefisien Korelasi
Tingkat Hubungan
0,80 – 1,000
Sangat Kuat
0,60 – 0,799
Kuat
0,40 – 0.599
Cukup Kuat
0,20 – 0,399
Rendah
0,00 – 0,199
Sangat Rendah
Analisis koefisien determinasi (R2) merupakan suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui kekuatan variabel lain diluar variabel bebas yang diteliti didalam menjelaskan variabel terikat. Analisis koefisien determinasi dapat dilakukan secara simultan maupun secara parsial, yaitu dengan melakukan pengamatan pada indikator Adjusted R2 untuk menyatakan koefisien determinasi secara simultan dan indikator R2
untuk menyatakan koefisien determinasi parsial variabel independen terhadap variabel dependen.
2.5.16. Pengujian Hipótesis 2.5.16.1 Uji simultan (uji F-statistik) Uji F-statistik digunakan untuk menguji besarnya pengaruh dari seluruh variabel independen secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel dependen. Untuk pengujian dalam penelitian ini digunakan program SPSS 17.0. Untuk menentukan nilai F tabel, tingkat signifikansi yang digunakan sebesar 5 % dengan perumusan hipotesis statistik : Ho : β1 = β2 = ............ β5 = 0, artinya variabel bebas secara simultan (bersamasama) tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Ha : β1 = β2 = ............ β5 ≠ 0, artinya variabel bebas secara simultan (bersamasama) berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Dengan kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: a.
Terima Ho, jika koefisien F hitung signifikan pada taraf lebih besar dari 5% (lihat taraf signifikansi pada output ANOVA).
b.
Tolak Ho, jika koefisien F hitung signifikan pada taraf lebih kecil atau sama dengan 5% (lihat taraf signifikansi pada output ANOVA).
2.5.16.2 Uji parsial ( uji t ) Uji t digunakan untuk menguji koefisien regresi secara parsial dari variabel independennya. Untuk pengujian dalam penelitian ini digunakan program SPSS 17.0.
Untuk menentukan nilai t-statistik tabel, ditentukan dengan tingkat signifikansi 5 % dengan derajat kebebasan df = (n-k-1), dimana n adalah jumlah observasi dan k adalah jumlah variabel. Perumusan statistik yang digunakan: Ho : β1 = β2 = ............ β5 = 0, artinya variabel bebas secara parsial (sendirisendiri) tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Ha : β1 = β2 = ............ β5 ≠ 0 , artinya variabel bebas secara parsial (sendirisendiri) berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Dengan kaidah pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut: a.
Terima Ho, jika koefisien t hitung signifikan pada taraf lebih besar dari 5% (lihat taraf signifikansi pada output Coefficient).
b.
Tolak Ho, jika koefisien t hitung signifikan pada taraf lebih kecil atau sama dengan 5% (lihat taraf signifikansi pada output Coefficient).
2.6. Review Penelitian Terdahulu (Theoretical Mapping) Banyak penelitian terdahulu yang mencoba mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi waktu penyelesaian proyek, namun belum memberi keseragaman kesimpulan, seperti Yulianto (2006), Puspitasari (2007), Elinwa dan Joshua (2001), Suyatno (2010), Dannyanti (2010), dan Nurfiah (2010). Yulianto (2006) dalam penelitiannya mencoba mengungkap ”Pengaruh Kompetensi Manajer Proyek terhadap Kinerja Penyelesaian Waktu Penyelesaian Proyek Konstruksi, Studi Kasus PT. X“. Tujuan penelitian Yulianto (2006) adalah untuk meneliti pengaruh kompetensi manajer proyek terhadap kinerja waktu penyelesaian proyek. Variabel bebas yang digunakan adalah kompetensi manajer
proyek yang meliputi 3 unsur yaitu unsur pengetahuan, unsur skill, serta unsur sikap dan perilaku. Sedangkan variabel terikatnya adalah kinerja waktu penyelesaian proyek. Penelitian Yulianto (2006) dilakukan dengan strategi studi kasus pada PT. X yang merupakan perusahaan konstruksi berbentuk joint venture antara perusahaan Indonesia dan Singapura. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara dan pengisian kuisioner oleh responden. Data yang terkumpul diolah dan ditabulasikan kemudian dianalisa dengan analisa penjodohan pola (pattern matching), analisa pembangunan penjelasan (explanation building), analisa komparatif, dan analisa cluster. Hasil analisa menunjukkan kompetensi manajer proyek mempunyai pengaruh terhadap kinerja waktu penyelesaian proyek dimana manajer proyek yang berkualitas kompeten pada semua unsur kompetensi menghasilkan kinerja waktu yang tepat waktu. Disamping itu, menurut para responden terdapat tiga unsur terpenting dari setiap unsur kompetensi, yaitu
unsur pengetahuan (Project Integration Management, Project Time
Management, dan Project Scope Management), untuk unsur skill (Perencanaan, Kepemimpinan, dan Pengambilan Keputusan), unsur sikap dan perilaku (Komitmen, Proaktif, dan Kreatif). Puspitasari (2007) melakukan replikasi penelitian atas penelitian Yulianto (2006) dengan mengangkat topik penelitian “Pengaruh Faktor-Faktor Sukses Tim Proyek terhadap Kinerja Waktu Proyek”. Puspitasari (2007) melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor sukses dalam tim proyek yang mempengaruhi kinerja waktu proyek serta menganalisis hubungan faktor-faktor tersebut dengan kinerja waktu proyek. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan sebagai variabel faktor-faktor pengaruh didapat dari penelusuran literatur, survey, dan
wawancara langsung dengan pakar dan stakeholder. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner untuk pimpinan proyek, manajer lapangan, serta staf proyek dari kontraktor. Hasil penilaian responden tentang faktor-faktor sukses tim proyek terhadap kinerja waktu proyek ini kemudian dianalisis menggunakan analisis regresi berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap kinerja waktu proyek. Dari hasil analisis diperoleh faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi kinerja waktu proyek yaitu: tim mengerjakan tugas dengan alokasi biaya yang direncanakan, tim mengerjakan tugas dengan standar mutu yang ditetapkan. Elinwa dan Joshua (2001) dalam penelitiannya menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya keterlambatan penyelesaian proyek yaitu model pembiayaan dan pembayaran untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan antara lain menolak pembayaran material yang harganya berfluktuasi, tidak mempercayai dokumendokumen pembayaran setelah pekerjaan selesai, kebijakan pemerintah dan ketidakstabilan dalam sistem, kondisi cuaca yang buruk, kurangnya penyediaan tenaga kerja, transportasi untuk material dan peralatan ke proyek buruk, perencanaan yang tidak layak, penaksiran waktu penyelesaian proyek yang rendah, seringnya perubahan pada design dan material, tidak dapat memenuhi syarat-syarat kontrak, manajemen lapangan yang buruk, pemilihan material yang tidak tersedia, lemahnya koordinasi antara tim desain dan kontraktor, kesalahan-kesalahan selama pembangunan, serta hubungan manajemen dan buruh yang tidak baik. Suyatno (2010) mengangkat judul penelitian: ”Analisis Faktor Penyebab Penyelesaian Proyek Gedung Aplikasi Model Regresi”. Penelitian Suyatno (2010)
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab keterlambatan penyelesaian proyek dan mengetahui peringkat (ranking) menurut persepsi penyedia jasa terhadap faktor-faktor penyebab keterlambatan penyelesaian proyek. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penyedia jasa yang ada di Surakarta dan pihak-pihak terkait langsung dengan pengelolaan proyek sehingga keterlambatan penyelesaian proyek-proyek dibawah Dinas Pekerjaan Umum dapat diantisipasi pada waktu yang akan datang dan proyek dapat selesai sesuai dengan waktu yang direncanakan (tepat waktu). Penelitian Suyatno (2010) berhasil menyimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab keterlambatan penyelesaian proyek-proyek dibawah Dinas Pekerjaan Umum di Keresidenan Surakarta yang cukup penting, mempunyai urutan peringkat (ranking) sebagai berikut: (1). Kekurangan tenaga kerja, (2). Kesalahan dalam perencanaan dan spesifikasi, (3). Cuaca buruk/hujan deras/lokasi tergenang, (4). Produktivitas tidak optimal oleh kontraktor, (5). Kesalahan pengelolaan material, (6). Perubahan scope pekerjaan oleh konsultan. Penelitian Suyatno (2010) juga menyimpulkan bahwa dari uji Chi Square dan uji model regresi ditemukan adanya persamaan persepsi pada masing-masing responden terhadap faktor penyebab keterlambatan penyelesaian proyek-proyek Dinas Pekerjaan Umum di Keresidenan Surakarta, ditinjau dari jabatan responden, pengalaman responden, nilai proyek, jenis proyek dan luas lantai bangunan, yaitu dipakai tingkat kepercayaan 95% atau alfa 0.050 = 5% didapat Chi Square hitung < Chi Square tabel atau Asymptotic significance > 0.05, maka H0 diterima, H1 ditolak dan uji regresi diperoleh r hitung lebih besar dari r tabel atau F hitung lebih besar F tabel maka koefisien korelasi ganda yang diuji signifikan dengan taraf kesalahan 5% maupun 1%.
Dannyanti (2010) meneliti ”Optimalisasi pelaksanaan proyek dengan metode PERT dan CPM”.
Dannyanti (2010) melakukan penelitian dengan menggunakan
pendekatan PERT dan CPM dilatarbelakangi oleh proses perencanaan hingga pengendalian proyek selama pelaksanaan pekerjaan konstruksi merupakan kegiatan penting dari suatu proyek. Keberhasilan atau kegagalan dari suatu proyek dapat disebabkan perencanaan yang tidak matang serta pengendalian yang kurang efektif, sehingga kegiatan proyek tidak efisien. Hal tersebut akan mengakibatkan keterlambatan, menurunnya kualitas, dan meningkatnya biaya pelaksanaan. Waktu kerja manajemen proyek dibatasi oleh jadwal yang ditentukan sehingga pimpinan yang terlibat dalam proyek harus dapat mengantisipasi perubahan kondisi yang terjadi. Metode PERT-CPM dapat digunakan untuk mengatur waktu penyelesaian proyek dengan lebih efisien dan efektif. Untuk dapat mengurangi dampak keterlambatan dan pembengkakan biaya proyek dapat diusulkan proses crashing dengan tiga alternatif pengendalian, yaitu penambahan tenaga kerja, kerja lembur, dan subkontrak. Percepatan durasi dilakukan pada pekerjaan-pekerjaan yang ada di lintasan kritis dan jumlah pemendekan durasi tiap pekerjaan pada masing-masing alternatif disamakan. Hasil penelitian Dannyanti (2010) menunjukkan durasi optimal proyek adalah 150 hari dengan biaya total proyek sebesar Rp 21.086.217.636,83 pada alternatif sub kontrak. Nurfiah (2010) melakukan penelitian dengan judul: “Studi Dampak Pembebasan Lahan Terhadap Aspek Biaya dan Aspek Waktu pada Proyek Pembangunan Jalan Tol Surabaya-Mojokerto”. Dalam penelitiannya Nurfiah menemukan bahwa lahan terkendala mengakibatkan penambahan biaya sesuai dengan skenario yang telah ditentukan. Lahan terkendala 10% akan mengalami kenaikan
sekitar 0,18%, lahan terkendala 25% kenaikan biayanya adalah 0,22%, lahan terkendala 50% akan mengalami kenaikan 0,28%, dan untuk terkendala lahan 75% maka kenaikan biayanya adalah 0,34%. Waktu yang ditimbulkan akibat lahan terkendala 10% adalah 47,3%, lahan terkendala 25% adalah 57,3%, lahan terkendala 50% akan mengalami penambahan waktu 73,8%, dan untuk kendala lahan 75% waktu yang dtimbulkan adalah 90,27%.