BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi rasa lapar juga memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis (Khumaidi, 1994). Menurut Suharjo (1996), yang mempengaruhi perilaku konsumsi pangan adalah adanya gaya hidup yang dipengaruhi oleh pandangan, pekerjaan, tempat pemukiman, identitas suku, struktur rumah tangga, agama dan kepercayaan, pengetahuan gizi, pengetahuan kesehatan dan karakteristik fisiologis. Rasa lapar dan dahaga merupakan tanda pertama bahwa gizi yang diperlukan untuk kegiatan tubuh tidak lagi mencukupi. Usaha untuk mengatasi rasa lapar sebenarnya juga diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup, menjalankan alatalat dalam tubuh, pertumbuhan (pada bayi dan anak) dan penggantian badan-badan yang aus (kulit, ari). Gizi harus diterima secara teratur dalam ragam mutu dan jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan kesehatan, kegairahan dan kekuatan dalam bekerja (Khumaidi, 1994). Tersedianya pangan yang cukup dalam keluarga atau masyarakat, belum menjamin bahwa kebutuhan akan gizi setiap anggota keluarga sudah terpenuhi. Kecukupan gizi bagi seseorang sepenuhnya tergantung pada apa yang dimakannya. Sedangkan kekurangan pangan sangat mempengaruhi penampilan dan prestasi kerja serta cara berfikir. Akibat kekurangan pangan secara lahiriah dapat dilihat dari
semakin melemahnya daya produksi dan kegiatan ekonomi masyarakat (Suhardjo, 1996). Kualitas sumber daya manusia dan kehidupan masyarakat pada umumnya dipengaruhi oleh keadaan gizinya. Keadaan gizi pada dasarnya ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan tubuh untuk menggunakan zat gizi. Konsumsi zat gizi pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang tidak kurang pentingnya adalah kebiasan makan masyarakat. Cara atau kebiasaan makan yang salah dapat berpengaruh negatif terhadap tingkat pertumbuhan yang pada akhirnya turut berpengaruh pada produktivitas kerja (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2005). Adapun sasaran pembangunan pangan selama PJP II adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, yang tercermin pada ketersediaan dan konsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu. Ketahanan pangan dikembangkan antara lain dengan bertumpu pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan dan potensi lokal. Yang perlu diperhatikan dari sasaran pembangunan pangan diatas, adalah bahwa orientasi penyediaan pangan tidak lagi semata pada peningkatan kuantitas, tetapi juga pada kualitas (khususnya dinilai dari aspek komposisi/keragaman penyediaan dan konsumsi pangan serta mutu gizi konsumsi, pangan dengan menitik beratkan pada potensi sumber daya setempat, pada masa lalu pertimbangan perencanaan pangan lebih mengacu pada upaya meningkatkan kemampuan produksi dan permintaan pangan. Sedangkan dimasa yang akan datang, pertimbangan yang juga penting adalah bahwa pangan yang disediakan dan dikonsumsi harus memenuhi
kecukupan gizi dan kualitas tertentu, serta sedapat mungkin penyediaannya dilakukan dengan mengoptimalkan potensi sumber daya lokal. Namun pola konsumsi penduduk selalu berubah dari waktu ke waktu maupun antara daerah yang satu dengan daerah lainnya tergantung kepada selera, pendapatan dan kebiasaan setempat/lingkungan. Pola konsumsi pada gilirannya akan menentukan berapa yang harus disediakan dan bagaimana distribusinya, yang menyangkut permintaan dan penawaran pangan yang seimbang agar harga tidak terguncang. Maka seiring dengan semangat otonomi daerah adalah bagi setiap peranan propinsi dan kebudayaan/kota sangat penting untuk menyusun perencanaan pangan yang memenuhi, prinsip-prinsip di atas guna mewujudkan ketahanan pangan yang berbasis sumber daya lokal. Salah satu acuan/pendekatan yang dapat digunakan untuk itu adalah Pola Pangan Harapan (BKP, 2005). 2.1.1. Konsumsi Pangan Keluarga Tersedianya pangan pada tingkat rumah tangga sangat tergantung pada kemampuan daya beli masyarakat dan kestabilan harga pangan. Keterjangkauan rumah tangga terhadap pangan ditentukan oleh daya beli masyarakat. Masih cukup besarnya jumlah penduduk yang tergolong miskin menggambarkan keperluan adanya kebijaksanaan harga dan sistem distribusi pangan yang efektif dan efisien. Struktur wilayah Indonesia yang berupa kepulauan menggambarkan adanya masalah untuk menyalurkan pangan secara efektif ke seluruh pelosok tanah air. Di samping permasalahan jarak spasial, distribusi pangan mencakup juga masalah ketepatan waktu, karena adanya unsur musim dalam produksi pangan. Dengan adanya berbagai masalah seperti diuraikan di atas, tantangan dalam pembangunan
pangan adalah meningkatkan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga sesuai dengan keadaan dan pola pangan setempat. Ketersediaan pangan telah berhasil ditingkatkan, tetapi ketersediaan itu belum berimbang karena ketersediaan energi sebagian besar berasal dari karbohidrat. Pola konsumsi pangan secara nasional menggambarkan bahwa padi-padian dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk. Untuk penduduk yang berpendapatan rendah, padipadian hampir merupakan satu-satunya makanan pokok utama. Keseimbangan pola konsumsi pangan padi-padian dengan pangan hewani, kacang-kacangan dan sayuran serta buah-buahan merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian dalam pembangunan pangan. Dengan mengacu pada patokan pola ketersediaan pangan yang dikonsumsi penduduk Indonesia tergolong rendah (Persatuan Ahli Gizi Indonesia, 1994). Selain itu kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan utuk dikonsumsi, seperti misalnya budaya mengajarkan orang tentang apa yang akan digunakan sebagai makanan, untuk siapa, kapan boleh dimakan atau tidak boleh dimakan (tabu). Banyak sekali penemuan para peneliti yang menyatakan bahwa faktor sosial budaya sangat berperan dalam proses konsumsi pangan dan terjadinya masalah gizi diberbagai masyarakat dan negara (Baliwati, dkk, 2004). Informasi mengenai asal bahan pangan yang dikonsumsi rumah tangga, dapat berasal dari bahan pangan yang dihasilkan sendiri ( dari pekarangan, kebun atau lahan lainnya) dibeli atau diberi (BKP, 2005).
2.1.2 Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Menurut Badan Ketahanan Pangan (BKP) jenis pangan atau kelompok pangan terdiri dari 9 (sembilan) bahan makanan dan diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Padi-padian terdiri dari : beras giling, jagung pipilan, tepung terigu. 2. Umbi-umbian terdiri dari : ketela pohon, ubi jalar, sagu, kentang, talas, ubi kayu. 3. Pangan hewani terdiri dari : daging ruminansia, daging unggas, telur, susu, ikan. 4. Minyak dan lemak terdiri dari : minyak kelapa, minyak sawit, lemak, minyak lain. 5. Buah/biji berminyak terdiri dari : kelapa, kemiri, biji jambu mete, melinjo. 6. Kacang-kacangan terdiri dari : kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah. 7. Gula terdiri dari : gula aren, gula merah, gula kelapa. 8. Sayur dan buah terdiri dari : sayur-sayuran dan buah 9. Lain-lain terdiri dari : minuman, bumbu, dan lainnya. Jumlah pangan keluarga didapat dari frekuensi konsumsi bahan makanan atau makanan jadi yang dikonsumsi keluarga selama periode waktu tertentu seperti : hari, minggu, bulan atau tahun. Bahan makanan yang didata adalah bahan makanan yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh keluarga (Supariasa, 2001).
2.2 Pola pangan harapan (PPH) Untuk mengukur keberhasilan upaya diversifikasi baik dibidang produksi, penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diperlukan suatu parameter. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan. Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya, baik secara absolute maupun relative terhadap total energi baik dalam hal ketersediaan maupoun konsumsi pangan, yang mampu mencukupi kebutuhan konsumsi pangan penduduk baik kuantitas, kualitas maupun keragamannya dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, agama dan cita rasa (Suhardjo, 1996). PPH pertama kali diperkenalkan FAO-RAPA (Food And Agriculture Organization - Regional Conference For Asia And The Pacific) pada tahun 1989, yang kemudian dikembangkan oleh Departemen Pertanian untuk menjabarkan penganekaragaman pangan melalui Workshop yang diselenggarakan secara kerjasama dengan Organisasi Pangan Dunia. PPH disusun berdasarkan DPP (Desirable Dietary Pattern) FAO-RAPA dengan didasarkan pada pertimbangan faktor yang essensial antara lain, kondisi iklim, geografis, genetik, sosial, ekonomi, budaya dan gaya hidup penduduk Indonesia. Dengan metode PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan. Skor pangan diperoleh dari hasil perkalian antara tingkat kontribusi energi kelompok pangan dengan bobotnya. Bahan pangan dikelompokkan menjadi delapan yaitu padi-padian, umbi-umbian/pangan berpati, pangan hewani, minyak dan
lemak, buah dan biji berminyak, kacang-kacangan, gula dan sayur/buah. Bobot untuk setiap kelompok pangan didasarkan kepada konsentrasi kalori, kepadatan kalori, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan dan tingkat kelezatannya ( Suhardjo, 1996) Dengan PPH tidak hanya pemenuhan kecukupan gizi yang diketahui tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas dan kemampuan daya beli. Dengan pendekatan PPH ini dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan. Semakin tinggi skor pangan maka semakin beragam dan semakin baik komposisinya (BKP, 2005) Tiap Negara mempunyai potensi dan sosial budaya yang berbeda-beda. Bagi Indonesia menurut hasil Workshop on Food and Agriculture Planning for Nutritional Adequacy di Jakarta tanggal 11-13 Oktober 1989 direkomendasikan sebagai berikut: Kelompok padi-padian sekitar 50% makanan berpati sekitar 5%, pangan hewani sekitar 15-20%, minyak dan lemak lebih dari 10%, kacang-kacangan sekitar 5% , gula 6-7%, buah dan sayur 5% (FAO-MOA, 1989). Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VII tahun 2004, susunan PPH Nasional yang telah disepakati terdapat pada table 2.1 dengan target pencapaian energi sebesar 2000 Kkal/kapita/hari.
Tabel 2.1. Pola Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi dan Berimbang nasional (PPH Nasional) Tahun 2005 Konsumsi PPH Skor Mutu No Bahan Makanan Energi Nasional Bobot (PPH) (Kkal) 2005 1 Padi-padian 1,000 50,0 0,5 25,0 2 Umbi-umbian 120 6,0 0,5 2,5 3 Pangan hewani 240 12,0 2,0 24,0 4 Minyak dan lemak 200 10,0 0,5 5,0 5 Biji berminyak 60 3,0 0,5 1,0 6 Kacang-kacang 100 5,0 2,0 10,0 7 Gula 100 5,0 2,0 10,0 8 Sayur dan buah 120 6,0 5,0 30,0 9 lain-lain 60 3,0 0,0 0,0 Jumlah 2,000 100,0 Sumber : Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, BKP Tahun 2005 Data Susenas tahun 2005 yang digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebutuhan konsumsi pangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2.2.1.Perhitungan Skor PPH Cara
menghitung
skor
Pola
Pangan
Harapan:
pertama,
dengan
mengelompokkan bahan makanan yang dikonsumsi (energi) ke dalam 9 jenis kelompok bahan makanan; kedua, menghitung persentase masing-masing kelompok terhadap total energi; ketiga, persentase masing-masing kelompok dikalikan dengan rating menurut FAO untuk golongan padi-padian dan umbi-umbian 0.5; untuk golongan pangan hewani 2; untuk golongan minyak dan lemak 0.5 untuk golongan kacang-kacangan 2; untuk golongan buah/biji berminyak 0.5; untuk golongan gula 0.5; dan golongan sayur/buah 5.
2.3
Kerangka Konsep Konsumsi keluarga yaitu jenis pangan, dan jumlah pangan dalam bentuk
tingkat kecukupan energi dan protein akan memberi pengaruh terhadap skor PPH.
Konsumsi Keluarga - Jenis pangan - Tingkat kecukupan energi dan protein
Skor PPH