BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai 2.1.1. Defenisi Sungai Sebagian besar air hujan yang turun ke permukaan tanah, mengalir ketempat yang lebih rendah dan setelah mengalami bermacam perlawanan akibat gaya berat, akhirnya melimpah ke danau atau ke laut. Suatualur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasaldari hujan disebut alur sungai, dan perpaduan antara alur sungai dan aliran airdidalamnya disebut sungai. Jadi sungai adalah salah satu dari sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga pemanfaatan air di hulu akan menghilangkan peluang di hilir (opportunity value), pencemaran di hulu akan menimbulkan biaya sosial di hilir (externality effect) dan pelestarian di hulu akan memberikan manfaat di hilir. Suatu daerah yang tertimpa hujan dan kemudian air hujan ini menuju sebuah sungai, sehingga berperan sebagai sumber air sungai tersebut dinamakan daerah pengaliran sungai dan batas antara dua daerah pengaliran sungai yang berdampingan disebut batas daerah pengaliran. Wilayah sungai merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan sungai. Mulai dari mata airnya di bagian paling hulu di daerah pegunungan dalam perjalanannya ke hilir di daerah dataran, aliran sungai secara berangsur-angsur berpadu dengan banyak sungai lainnya, sehingga lambat laun tubuh sungai menjadi semakin besar.
26
Menurut penampang melintangnya, sungai terdiri dari bagianbagian sebagai berikut seperti pada Gambar 2.2. Gambar 2.2. Penampang Melintang Sungai
Daerah Aliran Sungai disingkat DAS adalah air yang mengalir pada suatu kawasan yang dibatasi oleh titik-titik tinggi dimana air tersebut berasal dari air hujan yang jatuh dan terkumpul dalam sistem tersebut. Kegunaan dari DAS adalah menerima, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh diatasnya melalui sungai. 2.1.2. Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai adalah suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan disebut alur sungai dan perpaduan antar alur sungai dan aliran air didalamnya disebut sungai (Sosrodarsono, 1984). Daerah – daerah DAS yakni : a.
Hulu sungai, berbukit-bukit dan lerengnya curam sehingga banyak jeram.
b.
Tengah sungai, relatif landai, terdapat meander, dan banyak aktifitas penduduk.
c.
Hilir sungai, landai dan subur, dan banyak areal pertanian.
27
2.2. Banjir Banjir merupakan fenomena alam yang biasa terjadi di suatu kawasan yang banyak dialiri oleh aliran sungai. Secara sederhana banjir dapat didefinisikan sebagainya hadirnya air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi kawasan tersebut. Dalam cakupan pembicaraan yang luas, kita bisa melihat banjir sebagai suatu bagian dari siklus hidrologi, yaitu pada bagian air di permukaan Bumi yang bergerak ke laut. Dalam siklus hidrologi kita dapat melihat bahwa volume air yang mengalir di permukaan Bumi dominan ditentukan oleh tingkat curah hujan, dan tingkat peresapan air ke dalam tanah. Debit banjir dapat diukur secara langsung atau tidak langsung. 1. Pengukuran secara langsung Pengukuran debit sungai secara langsung dilakukan dengan mengukur luas potongan melintang palung sungai dan kecepatan rata-rata airnya. Untuk mengukur kecepatan air digunakan alat pengukur kecepatan air (current meter) atau dengan listrik atau menggunakan bahan-bahan kimia, diantaranya: •
Salt velocity method
•
Salt dilution method
•
Radioactive tracers
•
Oxigen polarography
•
Electromagnetic flow meter
•
Ultrasonic flow meter Debit sungai juga dapat kita ketahui dari tinggi permukaan air diatas dasar kalau sebelumnya sudah kita tentukan lebih dahulu hubungan antara tinggi air dan debit. Untuk ini, pada berbagai ketinggian air kita ukur debitnya dan hasilnya kita
28
gambarkan dengan suatu grafik. Ordinat menunjukan tinggi muka air diatas dasar sungai, absisnya menunjukan debit. Lengkung yang diperoleh pada grafiknya disebut rating curve. Rating curve dapat kita tentukan dengan metode kuadrat terkecil atau dengan cara logaritma atau dengan cara regresi dan korelasi. Kalau rating curve sudah kita dapatkan, maka pada setiap tinggi muka air dapat kita bacakan langsung besarnya debit. Tinggi muka air dapat kita bacakan pada papan duga atau dapat juga diukur dengan alat pengukur otomatis (water level recorders atau water stage recorders) 2. Pengukuran secara Tidak Langsung Menentukan debit sungai secara tidak langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara: a) Luas penampang palung sungai diukur sedang kecepatan air dihitung secara analitis, b) Debit sungai dihitung dari bangunan-bangunan air yang terdapat didalam sungai, misalanya gorong-gorong, jembatan, talang, sypon, bangunan terjun, bendung, atau lainnya. Besarnya debit aliran yang melalui bangunan itu dihitung dengan rumus hidrolika yang berlaku untuk bangunan yang bersangkutan. Banyak juga dipakai bangunan ukur khusus seperti type Cipoletti, Thomson, Crump de Gruiter dan lain-lain. c) Debit sungai dihitung dari hujan, d) Debit sungai dihitung dengan menggunakan rumus-rumus empiris. Cara tidak langsung umumnya dipakai kalau pengukuran secara langsung tidak dapat dilakukan.
29
Umumnya dapat dikatakan bahwa cara tidak langsung tidak seteliti pengukuran dengan instrumen. Menurut Chezy persamaan debit pada saluran terbuka dihitung sebagai berikut: Rumus Antoine de Chezy : Q = A C √𝑅𝑅. 𝑆𝑆
(2.1)
V = C √𝑅𝑅. 𝑆𝑆 dalam meter/detik
(2.2)
𝐹𝐹
R = Radius Hirolik = 𝑂𝑂 meter
F = Luas keliling basah dalam meter² O = keliling basah dalam meter C = koefisien kekasaran dinding saluran Besarnya angka kekasaran c adalah : Bazin : C
=
87
(2.3)
𝑚𝑚 √𝑅𝑅
1+
E. Ganguillet – W.R Kutter :
C
C
=
0,00281 1,811 + 𝑛𝑛 𝑆𝑆 0,00281 𝑛𝑛 1+(41,65+ 𝑠𝑠 ) √𝑅𝑅
41,65+
0,00155 1 +𝑛𝑛 𝑠𝑠 = 𝑛𝑛 0,00155 1+ (23+ 𝑠𝑠 ) √𝑅𝑅
23+
(2.4)
(2.5)
Rumus Manning : V
=
1
𝑛𝑛
2 3
𝑅𝑅 𝑆𝑆
1 2
(2.6)
Substitusi persamaan (2.2) dan (2.6) didapat rumus Chezy – Manning :
30
C
=
Dimana
1
𝑅𝑅 6 𝑛𝑛
: n = Koefisien kekasaran Manning S = Kemiringan saluran
2.3. Curah Hujan Rata-rata Suatu Daerah Curah hujan
yang diperlukan untuk penyusunan suatu rencana
pemanfaatan air dan rencana pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata yang terkait buka curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah daerah dan dinyatakan data satuan mm. Cara perhitungan curah hujan daerah dan pengaruh curah hujan di beberapa titik dapat dihitung dengan cara, diantaranya: (1) Metode rata-rata aljabar (mean arithmetic method) Metode perhitungan dengan rata-rata aljabar (mean arithmetic method) ini merupakan cara yang paling sederhana dan memberikan hasil yang tidak teliti. Hal tersebut diantaranya karena setiap stasiun dianggap mempunyai bobot yang sama. Hal ini hanya dapat digunakan kalau hujan yang terjadi dalam DAS homogen dan veriasi tahunannya tidak terlalu besar. Keadaan hujan di Indonesia (daerah tropik pada umumnya) sangat bersifat ‘setempat’, dengan variasi ruang (spatial variation) yang sangat besar. R = 1/n . (R1 + R2 + …. + Rn)
(2.7)
Dimana : R
= curah hujan daerah
R1, R2, Rn
= curah hujan di setiap titik pemangatan
n
= jumlah titik pengamatan
31
(2) Metode Poligon Thiessen Hitungan dengan Poligon Thiessen dilakukan seperti sketsa pada gambar. Metode ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan pengertian bahwa setiap stasiun dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu, dan luas tersebut merupakan faktor koreksi bagi hujan distasiun yang bersangkutan. Luas masing-masing daerah tersebut diperoleh dengan cara berikut: a. Semua stasiun yang terdapat didalam (atau diluar) DAS dihubungkan dengan garis, sehingga terbentuk jaringan segitiga-segitiga. (hendaknya dihindari segitiga dengan sudut yang sangat tumpul), b. Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya, dan semua garis sumbu tersebut membentuk poligon, c. Luas daerah yang hujannya dianggap mewakili oleh salahsatu stasiun yang bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis poligon tersebut (atau dengan batas DAS) d. Luas relatif daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor koreksinya.untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada persamaan dibawah ini: R = W1. R1 + W2 . R2 + …… + Wn . Rn
(2.8)
W1, W2, ….. , Wn = A1/A, A2/A, An/A Dengan : R
= hujan rata-rata DAS, dalam mm
A1, A2, ….. , An
= Luas masing-masing poligon, (km)
R1, R2, ……,Rn
= curah hujan disetiap stasiun
pengamatan, dalam
(km2)
32
n
= jumalah stasiun pengamatan
W1, W2,....Wn
= faktor pembobot Thiessen untuk masing-masing stasiun
Gambar 2.3. Hitungan Hujan dengan Metode Thiessen
Sumber : Ir. Iman Subarkah, tahun 1980 Metode Thiessen memberikan hasil yang lebih baik dan teliti daripada cara aljabar rata-rata. Kelemahan metode ini adalah penentuan titik pengamatan dan pemilihan ketinggian akan mempengaruhi ketelitian hasil yang didapat. Demikian pula apabila ada salahsatu stasiun yang tidak berfungsi, misalnya rusak atau data tidak benar, maka poligon harus diubah. (3) Metode Isohyet Metode ini dilakukan dengan membuat garis isohyet yaitu garis yang menghubungkan tempt-tempat yang mempunyai kedalaman hujan sama pada saat yang bersamaan. Cara membut garis isohyet adalah dengan cara interpolasi data antar stasiun. Pada prinsipnya, cara ini mengikuti sedekat mugkin kenyataan dialam, dengan mencari bobot yang sesuai untuk suatu nilai hujan. Tidak jarang pula, luas untuk hitungan bobot adalah luas antara dua garis kontur dan nilai hujan yang mewakili luas antara dua kontur adalah nilai rata-rata aljabar anatara dua kontur tersebut.
33
R = W1 . R1 + W2 . R2 + ….. + Wn . Rn
(3.9)
Dengan: R
= hujan rata-rata DAS, dalam mm
R1, R2, …., Rn
= Hujan rata-rata antara dua buah isohyet, dalam mm
W1, W2,….,Wn = perbandingan luas DAS antara dua isohyet dan luas total DAS. Kelemahan utama cara isohyet ini adalah pembuatan garis kontur yang sangat dipegaruhi oleh si pembuat kontur, sehingga bersifat subjektif. Dengan data yang sama, tiga orang yang berbeda dapat melukis garis kontur yang berbeda dan menghasilkan nilai rata-rata hujan yang berbeda pula. Dari ketiga metode ini dipilih metode poligon unutk analisis selanjutnya. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa titik pengamatan didalam daerah itu tersebar merata dan kondisinya
jarang-jarang.
Selain
itu,
karena
dalam
metode
Thiessen
diperhitungkan pula daerah pengaruh tiap titik pengamatan atau disebut faktor pembobot bagi masing-masing stasiun pengmatan sehingga memberikan hasil perhitungan yang lebih teliti dan akurat daripada metode yang lain. Disamping itu faktor subjektivitas dapat dihindari dengan penggunaan metode ini. 2.4. Analisis Frekuensi Dalam penentuan distribusi frekuensi ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi, yaitu mengenai nilai parameter-parameter statistiknya. Parameter tersebut antara lain: koefisien variasi, koefisien asimetri (skewnees) dan koefisien kurtosis. Analisis frekuensi harus dilakukan secara bertahap dan sesuai dengan urutan kerja yang telah ada karena hasil dari masing-masing perhitungan
34
tergantung dan saling mempengaruhi terhadap hasil perhitungan sebelumnya. Berikut adalah penerapan dari langkah-langkah analisis frekuensi setelah persiapan data dilakukan. Standar Deviasi (S): S
=
√𝛴𝛴 𝑛𝑛 (𝑋𝑋𝑋𝑋 −𝑋𝑋)2 )
(3.10)
𝑛𝑛−1
Dengan: S
= Standar deviasi
X
= Curah hujan rencana pada priode tertentu
Xi
= Curah hujan harian maksimum rata-rata
N
= Jumlah data
Koefisien variasi (Cv): Cv
=
Dengan: Cv
𝑆𝑆
(3.11)
𝑥𝑥
= koefisien variasi
Koefisien Asimetri / Skewnees (Cs) Cs
=
Dengan: Cs
𝑛𝑛 (𝑛𝑛−1)(𝑛𝑛−2)𝑠𝑠 3
𝛴𝛴(𝑋𝑋 − 𝑋𝑋𝑋𝑋)3
(3.12)
= Koefisien Asimetri / Skewnees
Koefisien Kurtosis (Ck) Ck
=
Dengan: Ck
𝑛𝑛 (𝑛𝑛−1)(𝑛𝑛−2)(𝑛𝑛−3)𝑠𝑠 4
𝛴𝛴(𝑋𝑋 − 𝑋𝑋𝑋𝑋)4
(3.13)
= Koefisien Kurtosis 35
2.5. Analisis Hujan Rencana Perhitungan hujan rencana dapat dikerjakan dengan berbagai metode distribusi, yaitu metode normal, log normal, Gumbel, maupun log Pearson Type III. Hal ini tergantung dari hasil perhitungan analisa frekuensi. 1)
Distribusi Normal
Fungsi kerapatan kemungkinan (probability density fungtion) distribusi ini adalah sebagai berikut:
P’ (x) = Dengan:
1
𝑆𝑆√2𝜋𝜋
𝑒𝑒
−(𝑋𝑋 −𝑥𝑥 )2 2𝑆𝑆 2
P’
= fungsi kerapatan kemungkinan
S
=Deviasi standar
X
= nilai rata-rata
x
= variable alat
(3.14)
Sifat khas lain dari jenis distribusi ini adalalh nilai koefisien skewnees hampir sama dengan nol (Cs ~ 0) dan nilai koefisien kurtosis mendekati tiga (Ck ~ 3). 2)
Distribusi Log Normal
Fungsi kerapatan kemungkinan (probability density function) distribusi ini adalah sebagai berikut: P’(X) = Dengan :
𝑋𝑋
1
𝑒𝑒 (−0,5(ln 𝑋𝑋−𝑋𝑋𝑋𝑋 /𝑆𝑆𝑆𝑆 ) 𝑆𝑆𝑛𝑛 √2𝑥𝑥
2
(3.15)
36
0,5 ln(
Xn
=
Sn
= ln(
𝑆𝑆 2 +𝑋𝑋 2 𝑋𝑋 2
𝑋𝑋 4
𝑋𝑋 2 +𝑆𝑆 2
)
)
Besarnya Skewness (Cs) = 𝐶𝐶𝐶𝐶 3 + 3𝐶𝐶𝐶𝐶
Besarnya Kurtosis (Ck) = 𝐶𝐶𝐶𝐶 8 + 6𝐶𝐶𝐶𝐶 6 + 15. 𝐶𝐶𝐶𝐶 4 + 16𝐶𝐶𝐶𝐶 2 + 3
(3.16)
(3.17)
Dengan:
P’ = fungsi kerapatan kemungkinan S = deviasi standar X = nilai rata-rata 3)
Distribusi Log Pearson Type III
Untuk menghitung banjir perencanaan dalam praktek, The Hydrology Committee of The Water Resources Council USA, menganjurkan pertama kali mentransformasikan data ke nilai-nilai logaritmanya, kemudian menghitung parameter-parameter statistiknya, karena informasi tersebut, maka cara ini disebut Log Pearson Type III. Garis besar analisis ini sebagai berikut: a.
Mengubah data debit banjir tahunan sebanyak n buah. X1, X2, …. , Xn menjadi log X1 , log X2 , log Xn.
b.
Menghitung harga rata-rata, dengan rumus:
c.
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 𝑋𝑋 = ∑𝑛𝑛𝑖𝑖=1 log 𝑋𝑋𝑋𝑋
(3.18)
(3.19)
Menghitung harga standar deviasi dengan rumus: 𝑆𝑆 =
√∑𝑛𝑛𝑖𝑖=1 (Log X1 – Log X)2 𝑛𝑛 −1
(3.20)
Dengan S = Standar Deviasi d.
Menghitung Koefisien Kemencengan dengan persamaan berikut :
37
e.
𝐺𝐺 =
𝑛𝑛.∑𝑛𝑛𝑖𝑖=1 (log 𝑥𝑥1−log 𝑥𝑥)2 (𝑛𝑛 −1)(𝑛𝑛−2)
(3.21)
Menghitung logaritma hujan atau banjir periode ulang T tahun, sebagai berikut : Log Xt = Log X + K.s
(3.22)
Dimana K adalah variabel standar untuk x yang besarnya tergantung pada koefisien “G” yang dicantumkan pada tabel 2.1: Tabel 2.1. Menentukan Variable Standart yang besarnya tergantung pada G
Sumber : Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan 4)
Metode Gumbel Untuk perhitungan dipakai rumusan : 1
(2.23)
𝜎𝜎𝑦𝑦
(2.24)
𝑋𝑋𝑇𝑇 = 𝑎𝑎 𝑌𝑌𝑇𝑇 + 𝑏𝑏 1
𝑎𝑎
=
𝜎𝜎𝑥𝑥
38
𝜎𝜎𝑥𝑥 = �𝑥𝑥̅ 2 − 𝑌𝑌� 2
(2.35)
Dimana : 𝑋𝑋𝑇𝑇 =
angka hujan selama 1 hari (24 jam) yang mungkin terjadi
𝑥𝑥̅ =
angka rata-rata dari x
dalam waktu T tahun
𝜎𝜎𝑦𝑦 =
diambil dari tabel 2.2. (nilai standard deviation untuk
𝑌𝑌𝑇𝑇 =
diambil dari tabel 2.2. (nilai rata-rata untuk reduce variate)
𝑌𝑌𝑇𝑇 𝑌𝑌
=
reduce variate)
diambil dari tabel 2.3. (reduce variate sebagai fungsi balik waktu)
Tabel 2.2. Nilai Reduce Variate berdasarkan banyak tahun pengamatan
Sumber : Ir. C.D. Soemarto, Dipl. H.E., buku Hidrologi Teknik
39
Tabel 2.3. Nilai Reduce Variate sebagai fungsi balik waktu
Sumber : Ir. C.D. Soemarto, Dipl. H.E., buku Hidrologi Teknik Reduce variate (Y) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : 𝑌𝑌𝑡𝑡 = −ln (−ln ((𝑇𝑇 − 1)/𝑇𝑇))
(2.36)
2.6. Uji Kecocokan
Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian parameter yang sering dipakai adalah Chi-Kuadrat dan Smirnov-Kolmogorov. 2.6.1. Uji Chi-Kuadrat Uji
Chi-Kuadrat
dimaksudkan
untuk
menentukan
apakah
persamaan distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter χ2, yang dapat dihitung dengan rumus berikut: (Oi − Ei )2
χ h²
χh2 = ∑Gi=1
G
= Jumlah Sub Kelompok,
Oi
= Jumlah Nilai Pengamatan pada Sub Kelompok I,
Ei
= Jumlah Nilai Teoritis pada Sub Kelompok i.
Ei
(2.37)
= Parameter Chi-Kuadrat terhitung,
40
Parameter χh2 merupakan variabel acak. Peluang untuk mencapai nilai χh2 sama atau lebih besar dari nilai chi-kuadrat sebenarnya (χ2) dapat dilihat pada tabel 2.4: Tabel 2.4. Nilai Kritis Untuk Distribusi Chi-Kuadrat
Dimana: χh2
= Parameter Chi-Kuadrat terhitung
G
= Jumlah sub Kelompok
Oi
= Jumlah Nilai Pengamatan pada Sub Kelompok i
Ei
= Jumlah Nilai Teoritis pada Sub Kelompok i Prosedur Uji Probabilitas metode Chi-Kuadrat adalah sebagai
berikut: 1. Urutkan data pengamatan dengan cara mengurutkan data terbesar hingga data terkecil atau sebaliknya,
41
2. Kelompokkan
data
menjadi
G
sub
Grup
yang
masing-masing
beranggotakan minimal 4 data pengamatan, 3. Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap sub grup, 4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ei, 5. Pada tiap-tiap sub grup hitung nilai: (Oi - Ei)² atau
(Oi − Ei )²
Dimana:
Ei
Oi
= Jumlah data Pengamatanpada Grup I,
Ei
= Jumlah data dari Persamaan Distribusi pada grup i.
6. Jumlahkan seluruh G sub grup nilai (Oi - Ei)2 untuk menetukan nilai ChiKuadrat hitung. 7. Tentukan kuadrat kebebasan, dk = G – R -1 (nilai R=2 untuk distribusi normal dan binormal). Interpretasi hasil uji adalah sebagai berikut: 1. Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi yang digunakan dapat diterima, 2. Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yang digunakan tidak dapat diterima, 3. Apabila peluang lebih dari 1% - 5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan (dibutuhkan data tambahan). 2.6.2. Uji Smirnov-Kolmogorov Uji kecocokan Smirnov – Kolgomorov sering disebut juga uji kecocokan non parametrik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi disribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
42
1) Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut 𝑚𝑚
𝑃𝑃 = 𝑛𝑛+1 𝑥𝑥100%
(2.38)
Dimana : P
= Peluang (%)
m
= Nomor urut data
n
= Jumlah data
X1
= P(X1)
(2.39)
X2
= P(X2)
(2.40)
X3
= P(X3), dan seterusnya
(2.41)
2. Urutkan nilai masing-masing peliuang teoritis dari hasil penggambaran data (persamaan distribusinya) X1 = P’(X1)
(2.42)
X2 = P’(X2
(2.43)
X3 = P’(X3), dan seterusnya
(2.44)
3. Dari kedua nilai peluang tersebut ditentukan selisih terbesar antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis. D = maksimum [𝑃𝑃(𝑋𝑋𝑚𝑚 ) − 𝑃𝑃′ (𝑋𝑋𝑚𝑚 )]
(2.45)
4. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov – Kolgomorov test) tentukan harga Do. 5. Apabila nilai D lebih kecil dari nilai Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima, tetapi apabila nilai D lebih besar dari nilai Do, maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan distribusi tidak dapat diterima.
43
Nilai kritis, Do dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut ini : Tabel 2.5. Nilai Kritis Do Untuk Uji Smirnov – Kolmogorov A N 0,20
0,10
0,05
0,01
5
0,45
0,51
0,56
0,67
10
0,32
0,37
0,41
0,49
15
0,27
0,30
0,34
0,40
20
0,23
0,26
0,29
0,36
25
0,21
0,24
0,27
0,32
30
0,19
0,22
0,24
0,29
35
0,18
0,20
0,23
0,27
40
0,17
0,19
0,21
0,25
45
0,16
0,18
0,20
0,24
50
0,15
0,17
0,19
0,23
n > 50
1,07/n0,5
1,22/n0,5
1,36/n0,5
1,63/n0,5
2.7. Banjir Rencana
Debit banjir rancangan diprediksikan berdasarkan data curah hujan dari stasiun pencatat hujan disekitar daerah tangkapan sungai. Periode/kala ulang yang diperhitungkan dalam analisis debit banjir rancangan ini adalah 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 25 tahun, 100 tahun, dan 1000 tahun.
44
Untuk menentukan analisis debit banjir dengan menggunakan Metode Melchior dan metode Hasper 2.7.1. Metode Melchior Untuk memakai metode Melchior jika luas daerah aliran yang dikeahui lebih besar dari 100 km2. Bentuk persamaan dasar analisis banjir rancangan dengan menggunakan metode Melchior adalah sebagai berikut: XT
QT = α x β x A x 200
(2.46)
Tc = 0.186 x L x Q0 – 0.2 x I – 0.4
(2.47)
Langkah-langkah
untuk
menghitung debit
rencana
dengan
menggunakan metode Melchior ini adalah sebagai berikut: a.
Menentukan: a = Sumbu panjang/panjang sungai (km) b = Sumbu pendek, dimana 2/3 dari sumbu panjang (km). F = Luas Ellips (km2)
b.
Dengan diketahui F maka dapa kia tentukan besarnya hujan maksimum harian β dengan berbagai kemungkinan.
c.
Mencari harga Q0
d.
Q0 = α x β x A
2.7.2. Metode Hasper Ketertarikan parameter alam yang diperhitungkan dalam metode ini dinyatakan dalam bentuk persamaaan dasar seperti berikut: QT = α * β * R * A
(2.48)
45
α= 1 β
1+0.012 ∗ A 0.7
(2.49)
1+0.075∗ A 0.7
=1+
Dimana:
t+3.7∗ 10 −0.4t t 2 + 15
x
A 0.75 12
QT
= Debit banjir rencana dengan kala ulang T tahun (m3/det)
Β
= Koefisien reduksi
α
= Koefisien limpasan
R
= Intensitas curah hujan (m3/km2/det)
α
= Luas daerah aliran sungai (km2)
I
= Rata-rata kemiringan dasar sungai utama
(2.50)
2.8. Bendung Pelimpah Menurut Standar Tata Cara Perencanaan Umum Bendung, yang diartikan dengan bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun melintang sungai yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dapat dialirkan secara gravitasi ketempat yang membutuhkan. Dalam perencanaan bendung akan meliputi komponen-komponen seperti elevasi crest, lebar efektif bendung, tipe mercu, tipe bangunan peredam energi serta panjang lantai depan (apron). Dimana dalam perencanaannya senantiasa didasarkan pada pertimbangan kondisi hidrolis dan kestabilan bangunan. Hal ini dimaksudkan agar bangunan yang direncanakan dapat berfungsi secara optimal dan aman terhadap pengaruh gaya-gaya yang bekerja. 2.8.1. Pemilihan Lokasi Bendung
46
Penentuan serta pemilihan lokasi bendung didasarkan pada hal-hal sebagai berikut: •Diusahakan sedapat mungkin lebih ke hulu, agar bendung tidak terlalu tinggi, namun harus mengingat juga panjang saluran primer yang akan diperlukan supaya tidak terlalu panjang. •Dipilih lokasi bendung pada ruas sungai relatif lurus, sempit dan dengan penampang yang relatif konstan serta kedua tanggulnya stabil. Hal ini mencerminkan bahwa sungai itu sudah stabil dengan kondisi dasarnya yang sekarang. •Kondisi geologi teknik, sangat berpengaruh terhadap kemantapan atau kestabilan dari bangunan utama, terutama daya dukung tanah pondasi serta nilai kelulusan air tanah bawah (koefisien permeability tanah bawah). •Kondisi topografi, sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan konstruksi dan biaya pelaksanaannya. Selain harus cukup tempat yang tersedia di tepi sungai untuk memuat kompleks bangunan utama termasuk kantong lumpur dan bangunan-bangunan penguras serta bangunan pengambilan saluran primer. Juga harus diupayakan sedemikian hingga beda antara volume galian dan timbunan tidak terlalu besar, sehingga pelaksanaannya relatif mudah dan biayanya relatif murah. •Metode pelaksanaan, harus dipertimbangkan juga dalam pemilihan lokasi bendung
karena
akan
sangat
berpengaruh
terhadap
kelancaran
pelaksanaan konstruksi dan biaya pelaksanaan. Namun demikian, yang utama dalam penentuan lokasi bendung adalah kondisi-kondisi yang
47
mendukung
tercapainya
kestabilan
bendung
secara
keseluruhan,
kemudian baru diikuti dengan pertimbangan metode pelaksanaannya, dan bukan sebaliknya. 2.8.2. Elevasi crest Untuk elevasi muka air yang diperlukan, kehilangan tinggi energi berikut harus dipertimbangkan : • Elevasi sawah yang akan diairi • Kedalaman air di sawah • Kehilangan tinggi energi di saluran dan boks • Kehilangan tinggi energi di bangunan sadap • Panjang dan kemiringan saluran primer • Kehilangan tinggi energi di bangunan-banguan saluran primer 2.8.3. Lebar Bendung Lebar bendung yaitu jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment), sebaiknya sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Lebar maksimum bendung sebaiknya tidak lebih dari 1.2 kali lebar ratarata sungai. Agar bangunan peredam energi tidak terlalu mahal, maka aliran per satuan lebar hendaknya dibatasi sekitar 12 – 14 m3/dt/m1 yang memberikan tinggi energi maksimum sebesar 3.5 – 4.5 m. Lebar efektif mercu bendung sehubungan dengan lebar bendung dirumuskan persamaan berikut :
48
Tabel 2.6. Nilai Ka dan Kp No
1.
URAIAN
Kp
Untuk pilar berujung segi empat dengan sudutsudut yang dibulatkan pada jari-jari yang hampir sama dengan 0.1 dari tebal pilar
2. 3.
Untuk pilar berujung bulat Untuk pilar berujung runcing
0.02 0.01
Ka
Untuk pangkal tembok segi empat dengan 1. tembok hulu pada 900 kearah aliran 0.20 Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok 2.
hulu pada 900 kearah aliran dengan 0.5 H1 >r> 0.15 H1
3.
0.10
Untuk pangkal tembok bulat dimana r > 0.5 H1 dan tembok hulu tidak lebih dari 450 kearah 0.00 aliran
49
2.8.4. Mercu Bendung Mercu bendung yang umum di pakai di Indonesia adalah tipe Ogee dan tipe Bulat. Kedua mercu tersebut dapat di pakai untuk konstruksi beton dan pasangan batu. Tekanan yang bekerja pada mercu bendung merupakan fungsi perbandingan antara tinggi energi diatas mercu dengan jari-jari mercu bendung. Hubungan antara tinggi energi dan debit yang melimpah diatas mercu bendung tipe Ogee dan Bulat dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan seperti berikut : Q = C d 2/3 2/3 g b H 1
(2.51)
Cd = C 0 x C1 x C 2
(2.52)
1.5
dimana, Q = Debit aliran diatas mercu (m3/det) Cd= Koefisien debit C0 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari H1/r C1 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari P/H1 C2 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari P/H1 dan kemiringan hulu bendung. g = Percepatan gravitasi (m/det2) b = Lebar efektif mercu bendung (m) H1 = Tinggi energi diatas mercu bendung (m)
50
2.8.5. Peredam Energi Aliran di atas bendung akan dapat menunjukan berbagai perilaku aliran di sebelah hilirnya. Apabila yang terjadi adalah aliran tenggelam yaitu jika muka air hilir lebih tinggi dari 2/3 H1 di atas mercu, maka hal ini tidak akan menimbulkan masalah karena hanya dapat menimbulkan sedikit riak gelombang di permukaan. Bila terjadi aliran tidak tenggelam dan keadaan air di hilir kurang dari kedalaman konjugasinya, maka akan timbul loncatan air ke arah hilir yang akan menghempas bagian sungai yang tak terlindungi hal ini akan menyebabkan terjadi penggerusan. Kondisi seperti ini diperlukan adanya bangunan peredam energi. Gambar 2.4. Peredam energi tipe tenggelam
Persamaan hidrolika yang digunakan : q2 hc = g
(2.53)
3
Dimana : hc
=
kedalaman air kritis, m
q
=
debit per lebar satuan, m3/dt/m
g
=
percepatan gravitasi, m/dt 51
2.8.6. Bangunan Pengambilan Bangunan pengambilan direncanakan dengan maksud untuk menyadap sebagian debit air sungai guna memenuhi kebutuhan air irigasi pada areal rencana. Namun demikian, dalam perencanaan kapasitas pengambilan diperhitungkan juga terhadap fleksibilitas pada kebutuhan yang lebih tinggi selama umur proyek (120 % x debit kebutuhan). Perencanaan lebar pintu pengambilan dipertimbangkan terhadap kapasitas maksimum kebutuhan air, tinggi pengambilan dan kecepatan, dan selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan berikut : Kapasitas rencana lubang pintu pengambilan ditetapkan sebear 120 % x debit kebutuhan rencana, dimana perhitungan digunakan seperti berikut : h v 2 ≥ 32 d
1/ 3
d
(2.54)
Dimana : v
=
kecepatan rata-rata, m/dt
h
=
kedalaman air, m
d
=
diameter butir, m
Dengan kecepatan masuk sebesar 1 – 2 m/dt diharapkan butir berdiameter diatas 0.04 tidak ikut masuk ke dalam saluran. Sedangkan rumus debit untuk pintu sorong adalah sebagai berikut : Q = υ .b.a. 2.g .z
(2.55)
Dimana, Q = Debit penyadapan rencana (m3/dt)
52
µ = Koefisien debit b
= Lebar bukaan pintu (m)
g
= Percepatan gravitasi (m/dt2)
z
= Kehilangan tinggi energi (m)
a
= Tinggi bukaan (m) Batas tinggi minimum ambang bangunan (P) berdasarkan
karakteristik sedimen transportnya ditentukan seperi berikut : - Untuk sungai dengan material sedimen terangkut berupa lanau, Pmin = 0,50m - Untuk sungai dengan material sedimen terangkut berupa pasir dan kerikil,
Pmin = 1,00 m.
- Untuk sungai dengan
material sedimen terangkut berupa batu-
batu bongkah, Pmin = 1,50 m. Untuk keperluan pemeliharaan, pada kedua sisi perletakan pintu dilengkapi
dengan
sponeng
dan
balok
sekat
agar
pelaksanaan
perbaikan/pemeliharaan dapat dilakukan dalam kondisi kering. Selain itu untuk mencegah benda-benda hanyutan (pada saat banjir) masuk ke jaringan irigasi pada bagian depan pintu pengambilan dilengkapi dengan kisi-kisi penyaring. Kehilangan tinggi energi akibat adanya kisi-kisi dihitung dengan menggunakan persamaan :
hf = c
v2 2g
c
=
β * (s/b)4/3 * sin δ
(2.56)
Dimana, hf = Kehilngan tinggi energi (m)
53
v = Kecepatan datang ( approach velocity) . m/dt g = Percepatan gravitasi ( 9,81 m/dt2) c = Koeficien kehilangan tinggi energi β = Koefisien faktor bentuk s = Tebal jeruji (m) b = Jarak bersih antar jeruji (m) δ = Sudut kemiringan terhadap bidang horizontal ( derajat) 2.8.7. Bangunan Penguras Untuk
mencegah
menumpuknya sedimen
di
depan
pintu
pengambilan (intake) dan kemungkinan masuknya sedimen (bed load) ke saluran irigasi, maka pada bangunan bendung dilengkapi dengan bangunan penguras. Fungsi utama bangunan penguras adalah menggelontor sedimen yang ada disekitar bangunan pengambilan agar proses penyadapan air oleh bangunan pengambilan tidak terganggu. Pada bangunan penguras ini, tinggi pintu penguras direncanakan setinggi mercu bendung sehingga bagian atas dari pintu masih tetap bisa dilimpasi air. Perencanaan tebal pintu penguras disesuaikan dengan besarnya gaya-gaya yang bekerja pada pintu, antara lain tekanan air pada kondisi banjir dan tekanan sedimen di depan pintu. Lebar pintu umumnya diambil 1/6 – 1/10 dari lebar bendung atau disesuaikan dengan lebar bendung. Untuk lebar maksimum satu lubang adalah 2.5 meter untuk memudahkan operasi pintu sedangkan jumlah lubang tidak boleh lebih dari 3 buah. 2.8.8. Kantong Lumpur
54
Untuk mencegah terjadinya pengendapan sedimen pada seluruh saluran irigasi, maka setelah bangunan pengambilan direncanakan kantong lumpur yang berfungsi sebagai tempat pengendapan sedimen layang (suspended load). Keakurasian dalam perencanaan, sangat bergantung pada ketersediaan data sedimen transport. Data tentang transpotrasi sedimen yang diperlukan antara lain adalah : •
Ukuran butiran
•
Pola penyebaran sedimen arah vertikal
•
Konsentrasi sedimen dasar ( bed load)
•
Volume sedimen
Perancanaan kantong lumpur akan meliputi : bentuk penampang dan panjang kantong lumpur 1.
Rerata kedalaman muka air selama pembilasan
Analisis rerata kedalaman muka air selama pembilasan dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut : As
≤
Qs / vs
As
=
(Bs + m * hs) * hs
(2.57)
Dimana, As
=
Rerata luas penampang basah ( m2)
Qs
=
Debit untuk pembilasan (m3/dt)
vs
=
Kecepatan Pembilasan (m/dt)
Bs
=
Rerata lebar saluran (m)
hs
=
Rerata kedalaman muka air (m)
m
=
Kemiringan talud
55
Batasan kecepatan pembilasan untuk masing-masing jenis butiran sedimen diambil ketentuan seperti berikut : •
Pasir halus, kecepatan pembilasan diambil sebesar 1,00 m/dt
•
Pasir kasar, kecepatan pembilasan diambil sebesar 1,50 m/dt
•
Pasir dan kerikil, kecepatan pembilasan diambil sebesar 2,00 m/dt
2.
Rerata Kemiringan hidrolis
Persamaan untuk merencanakan rerata kemiringan hidrolis adalah :
[
I s = (Vs x n) / (R s2/3 )
]
2
(2.58)
Dimana : Is
=
Kemiringan rata-rata
Vs
=
Kecepatan pembilasan (m/det)
Rs
=
Jari-jari hidrolis rata-rata
n
=
Koefisien kekasaran
3.
Kecepatan jatuh partikel sedimen
W =
G - Gw 1 x D2 x ( s ) / (u x g) 8 u
(2.59)
Dimana : W
=
Kecepatan jatuh butiran (m/det)
D
=
Diameter butiran minimum (m)
Gs
=
Spesifik grafity butiran
Gw
=
Spesifik grafity air
g
=
Percepatan grafitasi
u
=
Viskositas air pada suhu 20o C
4.
Panjang kantong lumpur
56
Panjang kantong lumpur dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
L = V×t t=
(2.60)
H
ω
(2.61)
Dimana : L
=
Panjang saluran (m)
V
=
Kecepatan pada kantong lumpur (m/det)
ω
=
Kecepatan endap (m/det)
t
=
Waktu yang diperlukan (dtk)
5.
Tinggi air untuk pengendapan
Tinggi air untuk pengendapan dihitung dengan rumus : Ao =
Qs Vst
A o = (B s + m h o ) h o
(2.62)
Dimana : Ao
=
Luas penampang yang dibutuhkan untuk pengendapan (m2)
Bs
=
Lebar rata-rata saluran (m)
Ho
=
Tinggi air yang dibutuhkan untuk pengendapan (m)
Qs
=
Debit pembilasan (m3/det)
Vst
=
Kecepatan pengendapan (m/det)
M
=
Kemiringan Talud
2.8.9. Bangunan Pembilas Untuk membilas endapan sedimen yang tertangkap di kantong lumpur, maka perlu dibuat Bangunan Pembilas yang dilengkapi pintu dan saluran pembilas
(pembuang
sedimen
ke
arah
sungai).
Pintu
pembilas
57
dioperasikan (dibuka) dalam waktu-waktu tertentu yang dikaitkan dengan volume endapan yang tertampung di Kantong Lumpur. Kecepatan Pembilas, dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Vc = 1.5 C’ (d)1/2
(2.63)
Dimana : Vc =
Kecepatan rencana (m/det)
C’ = Koefisien butiran Untuk pasir & kerkil = 3.2~3.9 Untuk campuran kerikil = 4.5~5.5 d
= diameter maksimum butiran (m)
Hubungan antara diameter butiran (d) dengan kecepatan pembilasan (Vc) sebagaimana ditunjukkan pada grafik pada KP-02, sedang untuk menghitung
kecepatan
minimum
dihitung
dengan
menggunakan
persamaan : Vc = C √ 2g .H
(2.64)
H = H-a/2 = (Vc)2/ (C2 2g)
(2.65)
Dimana : Vc
=
kecepatan pembilas (m/det)
C
=
koefisien ≈ 0.62
a
=
bukaan pintu (m)
Kapasitas Pintu Pembilas, dihitung minimal dua kali kapasitas debit yang mengalir pada pintu pengambilan. Sedang untuk menghitung lebar pintu pembilas digunakan rumus berikut : b = (gQ) / (Vc)3
(2.66)
58
dimana, b
=
lebar pintu pembilas (m)
Q
=
debit pembilasan (m3/det)
Vc
=
kecepatan pembilas (M/det)
g
=
percepatan gravitasi ≈ 9.80 m/det2
Lebar Lubang Pintu Pembilas, dihitung berdasarkan kapasitas aliran air dan sedimen yang akan dibuang dengan menggunakan rumus : b
=
N x W1
(2.67)
W1
=
B - (N - 1) W2
(2.68)
Dimana : b
=
lebar bersih pintu pembilas (m)
N
=
jumlah pintu
W1
=
lebar saluran pembilas (m)
B
=
lebar total saluran pembilas (m)
W2
=
lebar pilar (m)
59