27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Kompetensi sosial a. Pengertian kompetensi sosial Kompetensi sosial merupakan istilah yang mempunyai beberapa kemungkinan pengertian. Secara konseptual kompetensi sosial
merupakan
interaksi antara kemampuan individu dalam berbagai setting sosial (Bloom, 2009). Dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini kompetensi sosial diartikan sebagai kemampuan individu merencanakan strategi untuk berinteraksi dengan orang lain dalam realitas perubahan sosial yang terjadi di sekelilingnya (Priamikova, 2010). Menurut Semrud-Clikeman (2007) kompetensi sosial adalah kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain pada situasi tertentu yang dipelajari dari pengalaman sebelumnya yang akan diterapkan dalam perubahan sosial yang dihadapi. Fabes, Gaertner, & Popp (2008) menyimpulkan pengertian kompetensi sosial sebagai tingkat efektivitas seseorang dalam berinteraksi sosial dengan orang lain. Hasting et al. (2006) memberikan definisi yang senada dengan definisi yang telah dipaparkan di atas bahwa kompetensi sosial menekankan pada tingkat keberhasilan seseorang dalam berperilaku yang adaptif dan berfungsi secara baik dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian dalam kompetensi sosial diperlukan hubungan timbal balik dalam hubungan sosial. Berperilaku yang kompeten secara sosial mempunyai arti dapat menimbulkan manfaat, kepuasan, dan kesejahteraan bagi diri sendiri maupun orang lain, serta
28
membangun afeksi, kepercayaan, dan stabilitas dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep tentang kompetensi sosial (sosial competence) sering dibedakan dengan istilah keterampilan sosial (social skill). Konsep sosial skill lebih merupakan perilaku yang secara spesifik diperlukan untuk melaksanakan tugas secara penuh, sedangkan pengertian kompetensi social lebih bersifat umum yaitu bagaimana seseorang mampu melaksanakan tugas-tugas sosial secara tepat (Hupp, dkk., 2009). Keterampilan sosial merupakan bagian dari kompetensi sosial (Spitzberg, 2003; Welsh & Bierman, 2006; Findlay & Coplan, 2009), sementara para ahli lain menggunakan konsep keterampilan sosial untuk mengungkap kompetensi sosial (Cotugno, 2009; Lobo & Winsler, 2006; Brotman et al., 2005). Menurut Welsh & Bierman (2006) kompetensi sosial mengacu kepada keterampilan sosial, emosional, kognitif, dan perilaku yang dibutuhkan oleh anak untuk berhasil dalam penyesuaian sosial. Kompetensi sosial pada anak meliputi sejumlah faktor yaitu keterampilan sosial, kesadaran sosial, dan kepercayaan diri.
Selanjutnya
dikatakan
bahwa
keterampilan
sosial
menggambarkan
pengetahuan dan kemampuan seseorang untuk menggunakan berbagai perilaku sosial secara tepat dalam setiap situasi interpersonal. Spitzberg (2003) juga berpendapat
bahwa
konsep
kompetensi
sosial
meliputi
konstrak
yaitu
keterampilan sosial, komunikasi sosial, dan komunikasi interpersonal. Demikian juga menurut Kostelnik et al. (2012) di dalam kompetensi sosial terkandung kemampuan yang berhubungan dengan atribut individual, keterampilan sosial, dan hubungan dengan teman sebaya. Pendapat tersebut mendukung pendapat
29
sebelumnya bahwa keterampilan sosial merupakan bagian dari kompetensi sosial. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian kompetensi sosial secara umum merupakan kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan tuntutan sosial sehingga dapat berhasil dalam melakukan penyesuaian sosial. Istilah kompetensi sosial lebih merupakan kemampuan yang bersifat umum, sedangkan keterampilan sosial merupakan kemampuan yang merupakan bagian dari kompetensi sosial.
b. Aspek-aspek kompetensi sosial Aspek kompetensi sosial yang digunakan dalam penelitian-penelitian tentang kompetensi sosial yang dijumpai seringkali tidak menggunakan konstruk tunggal. Aspek-aspek yang digunakan untuk melakukan pengukuran terhadap kompetensi sosial juga sangat bervariasi. Berdasarkan penelusuran literatur tentang konstruk maupun aspek yang digunakan dalam mengungkap kompetensi sosial ditemukan variasi yang sangat luas. Adapun aspek kompetensi sosial yang dipilih dalam penelitian ini adalah problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. Berdasarkan penelusuran literatur dari 16 jurnal hasil penelitian tentang kompetensi sosial pada anak usia sekolah diketahui
bahwa semua peneliti
menggunakan aspek yang bervariasi dalam mengukur kompetensi sosial. Aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati merupakan aspek yang paling sering digunakan. Dari 16 jurnal terdapat enam penelitian menggunakan aspek problem solving, empat penelitian menggunakan aspek empati, enam penelitian menggunakan aspek kerjasama, dan delapan penelitian
30
menggunakan aspek empati. Sementara aspek lain hanya digunakan oleh satu atau dua penelitian saja. Gambaran tentang pemilihan aspek kompetensi sosial dalam berbagai penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Berikut ini dipaparkan gambaran tentang aspek
problem solving,
pengendalian diri, kerjasama, dan empati yang dipilih sebagai aspek dalam penelitian kompetensi sosial. 1) Aspek problem solving Arnold & Lindner-Muller (2012) telah melakukan review literatur tentang konstruk kompetensi sosial dan aspek-aspeknya berkaitan dengan berbagai intervensi yang dilakukan pada lingkungan rumah dan sekolah. Pada akhir tulisan disimpulkan bahwa pada dasarnya aspek yang paling banyak digunakan dalam intervensi peningkatan kompetensi sosial adalah aspek problem solving terutama problem solving sosial. Aspek problem solving juga menjadi salah satu aspek kompetensi sosial
yang digunakan di berbagai negara yaitu Kanada,
China, Swedia, dan USA (Kostelnik et al., 201). Problem solving juga menjadi salah satu aspek dari 17 aspek yang diajukan oleh Fuller (2001) dalam membangun kompetensi sosial pada anak usia 5 – 12 tahun. Aspek problem solving merupakan salah satu aspek yang digunakan oleh Richardson et al. (2009) untuk mengukur kompetensi sosial anak sekolah dasar setelah
memperoleh
pendidikan
karakter,
Webster-Stratton
(2001)
juga
menggunakan aspek kemampuan problem solving ketika melakukan penelitian tentang peningkatan kompetensi sosial melalui pelatihan kepada guru dan orang tua. Menurut Bandy & Moore (2011) aspek problem solving merupakan salah satu aspek yang digunakan dalam pemberian intervensi dalam rangka meningkatkan kompetensi sosial anak usia 6 – 11 tahun.
31
Tabel 1. Ringkasan Pemilihan Aspek-Aspek Dalam Konstruk Kompetensi Sosial No. Penulis Subjek 1 2 3 4
Aspek Lainnya
1 2
Abdi (2010) Abdul-Majied (2010)
Anak SD Anak 5-7
-
V -
V -
V
3
Bandy & Moore (2011)
Anak usia 6 -11 th
V
V
-
-
4
Corrigan (2002)
Anak SD kelas 2 Anak SD
-
V
-
-
-
V
V
-
Anak usia 5 - 8 th, 10 – 12 th Anak SD & SMP Anak kelas 5 – kelas 8
V
-
-
V
-
-
V
V
keterampilan sosial, asertivitas, tanggung jawab memahami sinyal orang lain, membaca intensi, penalaran moral dll (17 aspek/indikator) Impulsif, disruptif
-
-
V
V
Impulsif, disruptif
Anak SD
-
-
V
-
Anak kelas 5 -8
V
-
-
-
Reid, WebsterStratton, & Hammond (2007) Richardson, Tolson, Huang, & Lee (2009) Rydell, Hagekull, & Bohlin (1997)
Anak TK ke SD
V
-
-
-
perilaku prososial, inisiasi sosial, setting limit menerima kritik, rasa hormat, menerima hak & kewajiban, toleransi terhadap perbedaan kesiapan sekolah, regulasi emosi
Anak SD
V
-
-
V
Anak usia 7-11 th
-
-
V
V
Schonert-Reichl, Smith, ZaidmanZait, & Hertzman (2012) Weare & Gray (2003) Webster-Stratton (2001)
Anak kelas 4–7
-
-
-
V
Anak 1116 th Anak di Head Start
-
-
-
V
V
-
5 6
Findlay & Coplan (2008) Fuller (2001)
7
Junttila (2010)
8
Junttila,Vauras, Niemi, & Laakonen (2012) Klitzing, Stademan & Perren (2007) Rashid (2010)
9 10
11
12
13
14
15 16
asertivitas, tanggung jawab kapasitas humor, komunikasi non verbal, penerimaan oleh teman dan orang dewasa Resolusi konflik, keterampilan interpersonal, membangun hubungan Prososial, komunikasi
konsep tentang diri & orang lain, sosialisasi, komunikasi, berbagi senang menolong, dermawan, pemahaman sosial, mengatasi konflik perspective taking, prososial, agresivitas
komunikasi yang efektif, mengelola hubungan manajemen diri, hubungan positif, manajemen amarah, ketramp. berteman, disiplin diri
Keterangan: 1.Aspek problem solving, 2. Aspek pengendalian diri, 3. Kerjasama, 4. Empati V = aspek kompetensi sosial yang digunakan dalam penelitian
32
Problem solving merupakan salah satu kemampuan penting untuk dikembangkan pada anak usia sekolah, selain kemampuan kerjasama dan komunikasi. Kemampuan tersebut berguna untuk keberhasilan dalam menjalin pertemanan. Anak yang berhasil dalam membangun hubungan pertemanan akan lebih terhindar dari kesulitan emosional maupun mental (Ferrer & Fugate, 2014). Kemampuan problem solving terutama problem
solving
sosial
sangat
dibutuhkan anak untuk mengatasi berbagai persoalan yang akan dihadapinya berkaitan dengan permasalahan sosial dan akademik (Gok & Silay, 2010; Kostelnik, 2012). 2) Aspek pengendalian diri Findlay & Coplan (2008) yang meneliti tentang manfaat partisipasi anak dalam olah raga terhadap kompetensi sosial menggunakan aspek pengendalian diri selain empat aspek lain yaitu keterampilan sosial, asertivitas, kerjasama, dan tanggung jawab. Aspek yang hampir sama juga digunakan oleh Abdi (2010) yang meneliti perbedaan gender dalam kompetensi sosial pada anak-anak di Iran yaitu asertivitas, kerjasama, tanggung jawab, dan pengendalian diri. Pengendalian diri merupakan aspek yang digunakan oleh Corrogan (2002) dalam menyusun alat ukur kompetensi sosial anak usia sekolah dasar tahun kedua. Bandy & Moore (2011) menggunakan pengendalian diri sebagai salah satu aspek untuk meningkatkan keterampilan sosial yang positif pada anak usia 6-11 tahun. Pengendalian diri merupakan aspek kompetensi sosial yang penting untuk ditingkatkan karena pengendalian diri berhubungan erat dengan agresivitas. Agresivitas juga dapat direduksi dengan meningkatkan pengendalian
33
diri (Dewall et al, 2007; Manen, Prins, & Emmelkamp, 2004; Meepien, Lamusupait, & Suttiwan, 2010; Ronen, 2004). 3) Aspek kerjasama Junttila (2010) dan Junttila et al (2012) menggunakan aspek kerjasama dan empati untuk mengukur kompetensi sosial dalam penelitiannya tentang kesepian pada anak usia sekolah, selain aspek impulsif dan desruptif. Demikian juga Rydell, Hagekull, & Bohlin (1997) juga menggunakan aspek kerjasama dan empati dalam pengukuran tentang kompetensi sosial pada anak usia 7-11 tahun. Hubungan interpersonal atau beberapa konstruk yang mempunyai kemiripan dengan hubungan sosial seperti kontak sosial, interaksi sosial, keterampilan berteman, sosialisasi, komunikasi, dan inisiasi sosial merupakan salah satu aspek yang banyak digunakan dalam penelitian masalah kompetensi sosial dan keterampilan sosial (Pang, 2010; Owen et al.,
2008; Legoff &
Sherman, 2006; Lau et al., 2005; Gagnon & Nagle; 2004; Legoff, 2004; WebsterStratton, Reid, & Hammond, 2001). Menurut Kostelnik et al. (2010) beberapa aspek tersebut merupakan kemampuan yang dituntut dalam bekerjasama. Aspek kerjasama juga digunakan oleh Klitzing, Stadelmann, & Perren (2007) dalam mengungkap kompetensi sosial anak normal dan anak yang mengalami gangguan klinis. Kerjasama merupakan dasar bagi anak untuk berinteraksi sosial sehingga menjadi dasar bagi anak untuk dapat diterima oleh teman sebaya dan mengurangi resiko untuk ditolak (Bern, 2010), kerjasama membuat anak belajar berhubungan secara timbal balik dengan orang lain, (Olzon & Spelke, 2008), dan dengan kerjasama akan mempunyai motivasi dan performansi yang lebih daik dalam belajar (Ahmad, Bangash, Bano, dan Khan, 2008).
34
4) Aspek empati Aspek empati juga merupakan aspek yang sering digunakan peneliti untuk mengukur kompetensi sosial. Dalam rangka melakukan penelitian tentang peningkatan kompetensi sosial melalui open circle program, Hennessey (2007) menggunakan aspek empati untuk mengukur kompetensi sosial selain aspek keterampilan sosial, perilaku bermasalah, dan kompetensi akademik. Program pembentukan karakter dan
kompetensi sosial melalui pembahasan tentang
penyakit kanker yang dilakukan oleh Donovan (2009) juga memasukkan aspek empati dalam pengukuran kompetensi sosial selain aspek komunikasi dan kemampuan mengekspresikan ide dan gagasan Empati adalah kemampuan yang dibutuhkan anak karena menjadi bekal bagi anak untuk peduli dengan orang lain. Empati yang rendah berpengaruh terhadap keterlibatan bulliying sementara empati yang tinggi menjadi dasar bagi anak untuk berperilaku prososial (Caravita, Di Blasio, & Salmivalli, 2009; Ozkan & Cifei, 2009; Robert & Strayer, 1996; Schonert-Reichl, et al., 2012). Berdasarkan paparan tentang empat aspek kompetensi sosial tersebut dapat diketahui bahwa aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati merupakan aspek yang sesuai dalam konstruk kompetensi sosial untuk anak usia sekolah. Dukungan lain atas pemilihan empat aspek tersebut juga didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Iswinarti et al. (2007, 2008) yang menemukan tentang kandungan nilai-nilai problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati dalam permainan tradisional. Nilai-nilai kompetensi sosial tersebut diperoleh secara induktif melalui metode kualitatif yaitu dengan melakukan observasi, wawancara, dan diskusi ahli. Wawancara
35
dan observasi dilakukan kepada anak yang bermain permainan tradisional. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara tersebut selanjutnya dilakukan diskusi ahli untuk menetapkan konstruk variabel. Acuan dalam penetapan aspek didasarkan pada beberapa pendapat ahli (Blagojevich, 2001; Frey et al., 2002; Semrud-Ciklemen, 2007; Webster-Stratton & Lindsay, 1999; Welsh & Biermen, 2006) tentang pengertian dan aspek-aspek kompetensi sosial.
c. Perkembangan kompetensi sosial Kompetensi sosial berkembang sepanjang waktu mulai dari masa bayi sampai dengan masa dewasa (Semrud-Clikeman, 2007).
Kompetensi sosial
mengalami perkembangan optimal mulai usia bayi sampai usia duapuluhan, dan periode kritis terjadi pada usia bayi sampai 12 tahun (Kostelnik et al., 2012). Semrud-Clikeman (2007) membagi periode perkembangan kompetensi sosial berdasarkan tahapan perkembangan yaitu masa bayi (0-2 tahun), masa prasekolah (2-6 tahun), masa kanak-kanak akhir atau masa sekolah (6-12 tahun), dan masa remaja (13-18 tahun): 1) Masa bayi Bayi belajar memahami dunia sekelilingnya melalui input sensori (penglihatan, pendengaran, dan perabaan) serta bagaimana bayi memperoleh sesuatu yang dibutuhkan. Pada usia 9-14 bulan bayi mulai mampu mengikuti tatapan mata orang lain, bereaksi secara berbeda terhadap objek dengan mengamati reaksi positif atau negatif dari pengasuh terhadap objek tersebut, dan menjadi kesal ketika tidak dapat memperoleh apa yang diinginkan (Wellman et al., 2004). Bayi mulai memahami objek ketika pengasuh menatap objek tersebut sambil
36
tersenyum dan bayi akan meraihnya secara spontan (Philips et al., 2002). Perkembangan kognisi sosial selanjutnya baru akan terjadi ketika anak berusia 3-4 tahun ketika anak mulai memahami perspektif orang lain. Pada masa tersebut temperamen dan kelekatan mempunyai kontribusi yang besar terhadap kompetensi sosial anak. 2) Masa Prasekolah Menurut Denham et al. (2004) kemampuan yang akan dikuasai oleh anak pada masa ini adalah kemampuan untuk mengelola emosi terhadap teman sebayanya dan lingkungan sosialnya yang lebih luas.. Pengasuh maupun orang tua akan membantu anak untuk mengenali emosi dan mengekspresikannya dan membantunya ketika ada problem dengan emosinya. Pada masa ini regulasi emosi menjadi penting karena akan berpengaruh pada masa berikutnya. Anak yang agresif dan menarik diri akan ditolak oleh teman sebayanya dan akan menyebabkan anak kesepian dan mempunyai konsep diri yang rendah dibandingkan dengan anak yang mempunyai kompetensi sosial yang baik. Pada masa ini hubungan anak dengan guru dan teman sebaya mempunyai kontribusi yang besar terhadap perkembangan kompetensi sosial. 3) Masa kanak-kanak akhir Selama masa usia sekolah terjadi perubahan fokus anak yaitu dari orang tua menuju sekolah dan teman sebaya, sebagai agen sosialisasi penting. Keterampilan sosial dasar menjadi penting pada periode ini karena akan berpengaruh terhadap popularitas dan penerimaan teman sebaya (Zsolani, 2002). Menurut Cillesen & Bellmore (2004) kemampuan untuk
37
memahami siapa dirinya dalam berhubungan dengan orang lain menjadi tugas perkembangan pada usia kanak-kanak akhir ini dan kehidupan selanjutnya karena akan berpengaruih terhadap keterlibatan dengan teman sebaya, regulasi emosi, dan resolusi konflik. Pada masa ini pola asuh orang tua dan teman sebaya mempunyai kontribusi besar terhadap perkembangan kompetensi sosial. 4) Masa remaja Kemampuan sosial pada masa remaja dan dewasa awal mengalami perubahan kearah kemampuan untuk melihat situasi secara objektif. Menurut Fenzel (2000) remaja yang memahami dirinya akan mampu untuk memperoleh teman dan sahabat serta tidak rentan terhadap stress dalam bidang akademik dan tuntutan sekolah. Faktor yang mempunyai kontribusi besar terhadap perkembangan pada masa ini adalah teman sebaya dan pola asuh orang tua.
d. Perkembangan
aspek
problem
solving,
pengendalian
diri,
kerjasama, dan empati Jika ditinjau dari aspek-aspek kompetensi sosial yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu problem solving, pengendalian diri, kerjasama dan empati, maka berikut ini perkembangan masing-masing aspek tersebut. 1) Problem solving Problem solving adalah kemampuan yang ada pada diri anak untuk mendiskusikan pemecahan terhadap konflik yang disetujui oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya (Bern, 2010). Pada masa usia sekolah kemampuan anak dalam mengambil keputusan menjadi penting terutama
38
dalam menghadapi permasalahan akademik dan sosial (Kostelnik et al., 2012). Adapun komponen-komponen yang dilakukan anak dalam pengambilan keputusan adalah: (a) anak mengidentifikasi keputusankeputusan apa yang harus dibuat di sekolah, (b) anak membuat keputusan yang positif ketika berinteraksi dengan teman, (c) anak dalam mengidentifikasi dan menetapkan langkah-langkah yang sistematis mengambil keputusan, (d) anak menerapkan alternatif solusi dan mengevaluasi akibat-akibatnya terhadap situasi akademik dan sosial. Pada periode usia sekolah
keterampilan seperti negosiasi, resolusi
konflik, dan kompromi berkembang dan menjadi penting (SemrudClikeman, 2007). Mengelola perilaku emosional yang tepat dan juga mampu mengekspresikan perasaan dan pikirannya menjadi lebih penting dan sangat erat berhubungan dengan kompetensi sosial. 2) Pengendalian diri Pengendalian diri merupakan kekuatan seseorang untuk mengendalikan perilaku diri sendiri, anak tahu mana yang benar dan salah, serta dapat membuat pilihan perilaku yang tepat (Crockett & Knoff, 2003). Wllingham (2011) menyamakan pengendalian diri dengan regulasi diri yaitu kemampuan anak untuk dapat mengendalikan dan merencanakan emosi, kognisi, dan perilaku. Smart & Sanson (2003) mengartikan pengendalian diri sebagai perilaku yang dapat merespon secara tepat terhadap godaan situasi konflik dan non konflik yang menuntut kompromi. Anak-anak yang mempunyai pengendalian diri yang baik akan berperilaku: (a) membantu mempertahankan aturan-aturan secara rutin, (b) mengikuti aturan secara rutin dalam lingkungan belajar, (c) menggunakan materi belajar sesuai
39
dengan tujuan dan menghormatinya, (d) mengekspresikan perasaan melalui bahasa tubuh, tindakan, dan bahasa yang tepat (Kostelnik et al., 2012). Pada anak usia sekolah faktor pengendalian diri menjadi penting karena dengan menguatkan pengendalian diri anak dapat membangun karakter untuk mencegah perilaku bermasalah dan kenakalan pada masa remaja dan dewasa (Lakes & Hoyt, 2004; Nakhaie, Silverman, LaGrange, 2000). 3) Kerjasama Kerjasama adalah perilaku menolong, berbagi, dan mengikuti aturan serta permintaan orang lain (Smart & Sanson, 2003). Menurut Schneider et al. (2011) kerjasama merupakan aktivitas yang kontinum dengan kompetisi. Kerjasama digambarkan sebagai kemampuan sosial yang berakibat positif sementara kompetisi akan berakibat negatif. Beberapa perilaku kerjasama anak usia sekolah yang diharapkan berdasarkan pendapat Johnson & Johnson (1999) adalah: (a) berinteraksi positif dengan anak lain, (b) berbagi gagasan dan material, (c) memberi dukungan ketika anak lain sedang berada dalam kondisi berbahaya, (d) memberi kontribusi terhadap usaha kelompok, (e) berbagi tugas dengan anggota kelompok, (f) memperkecil perbedaan yang ada dalam kelompok. Menurut Kemple (Bern, 2010) anak yang mau bekerjasama dan berbagi akan diterima oleh teman sebaya dan mengurangi risiko untuk ditolak. Dalam teori bermain sosial oleh Parten (Bern, 2010; Power, 2010) bermain kooperatif yaitu permainan yang membutuhkan kerjasama dan organisasi merupakan prototipe permainan untuk anak usia sekolah.
40
4) Empati Empati adalah perilaku yang menunjukkan kepedulian dan penghargaan terhadap perasaan dan pandangan orang lain (Smart & Sanson, 2003). Dengan empati anak akan bermain peran untuk memperoleh perspektif orang lain (Bern, 2010). Empati merupakan tindakan mengenali dan memahami perspektif orang lain bahkan ketika perspektif tersebut berbeda dengan diri sendiri (Carchuff, 2000). Empati dikategorikan menjadi kemampuan kognitif dan afektif dalam mengambil perspektif orang lain (Garaigordobil, 2009). Kemampuan empati berkembang dan bertambah seiring dengan bertambahnya
usia.
Litfack
et
al.
(1997)
menemukan kenaikan
kemampuan empati anak pada usia 8-11, sedangkan Mestre et al (2004) menemukan perkembangan pesat empati pada usia 13-14 tahun.
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi sosial Fabes, Gaertner, & Popp (2008) menyimpulkan dari berbagai penelitian yang dijumpai bahwa
prediktor kompetensi sosial adalah temperamen,
keterampilan sosio kognitif, interaksi orang tua dengan anak, hubungan dalam keluarga, dan sosialisasi dengan teman sebaya. Kesimpulan senada juga dikemukakan oleh Mulder (2008) bahwa kompetensi sosial anak dipengaruhi oleh faktor kepribadian atau karakteristik pribadi,
lingkungan keluarga, meliputi
ekonomi keluarga, saudara kandung, gaya pengasuhan,
dan
lingkungan
sekolah meliputi hubungan guru dan siswa, interaksi anak dengan teman di dalam kelas, kurikulum sekolah, dan budaya dalam kelas.
41
Penelitian tentang faktor internal yang mempengaruhi kompetensi sosial dilakukan oleh Shiner (2000) dan Mendez, Fantuzzo, & Cicchetti (2002). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shiner (2000) menunjukkan bahwa anak yang digambarkan oleh orang tuanya sebagai anak dengan kepribadian ekstrovert akan mempunyai kompetensi sosial di dalam perkembangan berikutnya. Demikian juga anak-anak yang dilaporkan oleh guru mempunyai sifat-sifat yang tidak banyak membantah di kelas, mempunyai motivasi dan kesadaran akademis yang baik serta optimis di masa remajanya menunjukkan kompetensi sosial yang baik. Penelitian Deptula, Cohen, Phillipsen, & Ey (2006) menunjukkan bahwa persepsi diri mempengaruhi perkembangan kompetensi sosial. Mendez, Fantuzzo, & Cicchetti (2002) melakukan penelitian yang melibatkan 141 anak Amerika-Afrika yang berasal dari kelas urban di Head Start di bagian utara Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak mempunyai keterampilan yang berbeda-beda dalam menyesuaikan diri terhadap situasi sosial yang berbeda-beda. Anak yang mempunyai kepribadian mudah menyesuaikan diri, mampu melakukan pendekatan dengan situasi sosial, dan mempunyai perbendaharaan kata di atas rata-rata mempunyai kompetensi sosial lebih baik. Sebaliknya, anak dengan karakteristik kepribadian tenang, pendiam, dan suka menyendiri maupun anak yang suka menghindar ataupun mengganggu anak lain cenderung mempunyai kompetensi sosial yang rendah. Lingkungan
merupakan
faktor
yang
berpengaruh
terhadap
perkembangan kompetensi sosial. Dari berbagai teori perkembangan, teori ekologi dari Urie Bronfenbrenner merupakan teori yang menjelaskan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan manusia secara komprehensif. Teori ekologi dapat
digunakan
untuk
menjelaskan
faktor-faktor
lingkungan
yang
42
mempengaruhi perkembangan kompetensi sosial anak. Menurut Bronfenbrenner (Bern, 2010; Papalia, Old, & Fieldman,
2000; Santrock, 2000) lingkungan
keluarga, sekolah, dan teman sebaya merupakan mikrosistem yaitu sistem lingkungan yang paling berpengaruh langsung terhadap perkembangan individu. Bronfenbrenner menunjukkan bahwa kebanyakan penelitian tentang dampak sosiokultural terhadap perkembangan berfokus pada mikrosistem. Berikut ini gambaran hasil penelitian tentang pengaruh lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap perkembangan kompetensi sosial anak. 1) Lingkungan keluarga Interaksi antara anak dan orang tua secara konsisten mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kompetensi sosial anak. Penelitian Zhang (2010) pada anak prasekolah di China menunjukkan hasil bahwa hubungan orang tua – anak baik hubungan ayah-anak maupun ibu-anak secara signifikan berkorelasi dengan hubungan guru-anak yang selanjutnya secara signifiikan berpengaruh terhadap kompetensi sosial. Demikian juga penelitian Connell & Prinz (2002) tentang pengaruh kualitas interaksi
orang tua-anak terhadap kesiapan
bersekolah dan perkembangan keterampilan sosial pada anak Afrika Amerika yang berstatus sosial ekonomi rendah menunjukkan adanya korelasi yang positif antara kualitas hubungan orang tua – anak dengan kompetensi sosial anak. Pada anak-anak yang mengalami disabilitas, stress orang tua secara langsung berpengaruh terhadap kompetensi sosial maupun perkembangan anak yang mengalami gangguan autis (Boyd, 2002; Jones & Passey, 2004; Shu & Lung, 2005). Pengaruh stress (termasuk depresi) orang tua terhadap kompetensi sosial anak juga terjadi pada anak dengan disabilitas intelektual (Hasting &
43
Taunt, 2002; Baker, et al., 2003; Guralnick, dkk., 2003; Trute, Hiebert-Murphy, & Levine, 2007). Faktor keluarga yang juga mempunyai sumbangan terhadap kompetensi sosial anak adalah hubungan dengan saudara kandung. Penelitian yang dilakukan oleh Downey & Condron (2004) menyimpulkan bahwa keterampilan sosial dan interpersonal dipengaruhi secara positif oleh interaksi dengan saudara kandung di dalam rumah dan keterampilan ini menjadi berguna ketika mereka berinteraksi dengan teman sebaya di luar rumah. Pendapat senada dikemukakan oleh Cutting & Dunn (1999) bahwa kualitas hubungan dengan saudara kandung lebih merupakan prediktor keterampilan dan kompetensi sosial dengan teman sebaya daripada hubungan dengan saudara kandung di rumah (Cutting & Dunn, 1999), Intervensi dengan mediasi saudara kandung juga menunjukkan pengaruh terhadap interaksi sosial anak autis (Tsao & Odom, 2008). 2) Lingkungan sekolah Faktor lain yang turut berperan terhadap kompetensi sosial anak adalah lingkungan sekolah. Sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan kompetensi sosial selama masa anak-anak. Lingkungan fisik di dalam kelas, struktur sosial kelas, dan budaya di dalam kelas saling berinteraksi dan berpengaruh terhadap kompetensi sosial anak (Znolnai, 2002). Menurut Sheridan, Bush, & Warnes. (2003) penataan bangku di kelas, tersedianya fasilitas permainan dapat mempengaruhi kompetensi sosial anak. Kelas yang mempunyai lebih banyak fasilitas dan kreasi lingkungan untuk mengembangkan interaksi anak maka akan makin dapat melatih anak untuk meningkatkan keterampilan sosialnya.
44
Lingkungan
sekolah
yang
juga
mempunyai
pengaruh
terhadap
perkembangan kompetensi sosial anak adalah hubungan antara guru – anak. Hasil penelitian Znolnai (2002) menunjukkan bahwa makin tinggi kompetensi sosial guru yang ditunjukkan dengan sikap yang empati, terbuka, dan pengertian akan dapat menjadi model bagi anak sehingga member kesempatan pada anak untuk belajar dan berlatih keterampilan sosial. Bond et al (2007) menemukan pentingnya pengaruh hubungan antara guru-anak terhadap perilaku sosial anak. Anak-anak yang kurang mempunyai hubungan yang baik dengan guru akan lebih mempunyai kemungkinan untuk mengalami depresi, dan anak yang buruk hubungannya dengan guru cenderung lebih mudah terlibat dalam perilaku antisosial dan lebih sering membuat kekacauan di dalam kelas. Ketika seorang siswa di dalam kelas mengacau maka seluruh keas akan terpengaruh, sebaliknya jika hubungan anak dengan guru baik maka akan makin sedikit kekacauan yang akan terjadi di dalam kelas. Sekolah merupakan tempat bagi anak untuk mengembangkan berbagai kompetensi melalui hubungan yang ditetapkan oleh anak sendiri maupun kemampuan-kemampuan yang dimiliki. Meskipun demikian budaya dalam kelas dan kurikulum sekolah mempunyai pengaruh terhadap kompetensi sosial anak. McNamara
(2005)
mengidentifikasi kurikulum
sekolah
yang
mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan kompetensi sosial anak. Bagian dari kurikulum yang secara eksplisit diajarkan oleh guru akan membuat anak ingin tahu dan akan bersedia untuk belajar sikap dan keterampilan yang diajarkan. Sebaliknya, bagian kurikulum yang implisit atau yang tidak kentara maka penyampaiannya harus tepat dalam interaksi dan komunikasi interpersonalnya. Selanjutnya McNamara (2005) menekankan pentingnya penggunaan kurikulum
45
yang berbasis kenyataan agar berhasil menyampaikan pesan kepada anak baik secara eksplisit maupun implisit. 3) Teman sebaya Faktor utama lain yang juga mempunyai pengaruh besar terhadap kompetensi sosial anak adalah teman sebaya.
Pada anak usia sekolah
perkembangan kompetensi sosial dipengaruhi oleh teman sebaya (SemrudClikeman, 2007; Fabes, Gaertner, & Popp, 2008). Pada usia ini mereka mulai menghabiskan waktunya dengan teman dan mulai meninggalkan orangtua (McHale, Dariotis, & Kauh, 2003).Fabes, Gaertner, & Popp (2008) menemukan bukti bahwa selama masa anak, interaksi dengan teman sebaya, terutama interaksi dengan sesama jenis kelamin, menjadi penting karena berpengaruh terhadap perilaku kompetensi sosial anak. Lebih lanjut, menurut Fabes, Hanish, & Martin (2003) kelompok teman dengan jenis kelamin yang sama merupakan kekuatan yang potensial untuk sosialisasi pada anak dalam rangka membangun kompetensi sosial karena pada masa ini dinamika kelompok sedang terbentuk. Kegiatan yang paling banyak dilakukan anak dengan teman sebaya adalah bermain. Bermain terutama bermain sosial dengan teman sebaya merupakan pusat dari kehidupan dunia anak (Power, 2012). Permainan yang tergolong dalam kategori bermain sosial adalah permainan lokomotorik, perminan lokomotorik, rough & tumble, sosiodrama, dan bermain sosial dengan objek, dan permainan dengan aturan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bermain sosial berkorelasi positif dengan kompetensi sosial sedangkan bermain sendiri (solitary play) berkorelasi negatif dengan kompetensi sosial (Coplan et al, 2001; McAloney &Stagnitti, 2009; Spinrad et al, 2004; Uren & Stagnitti, 2009).
46
f.
Teori pembelajaran kompetensi sosial Beberapa teori yang akan digunakan sebagai acuan dalam penelitian
diuraikan sebagai berikut : 1) Teori Kognisi Sosial dari Bandura Teori kognisi sosial merupakan pengembangan dari teori belajar sosial dari Albert Bandura.
Albert Bandura adalah seorang psikolog yang lahir di
Mundare, Kanada, 4 Desember 1925. Bandura menerima gelar sarjana muda di bidang psikologi dari University of British of Columbia tahun 1949 dan meraih gelar Ph.D tahun 1952 di Universitas Iowa. Pada tahun 1953, ia mulai mengajar di Universitas Stanford. Menurut teori belajar sosial (Bandura, 1971) seseorang belajar dapat melalui observasi langsung atau melalui model. Dalam observasi langsung seseorang dapat belajar dari pengalaman yang dialami sendiri maupun dengan melakukan observasi terhadap perilaku orang lain. Bentuk belajar yang berakar pada observasi langsung ini dipengaruhi oleh pemberian reward dan punishment sebagai akibat dari perilakunya . Seseorang yang belajar tersebut secara berulang akan dikonfrontasikan dengan berbagai situasi yang harus dihadapi dengan suatu respon tertentu. Respon tersebut kemungkinan bisa berhasil atau tidak berhasil. Melalui proses perolehan keberhasilan dalam memperoleh reinforcement ini maka perilaku tersebut akan dipilih sedangkan perilaku yang lain akan ditinggalkan. Meskipun secara umum dipercaya bahwa respon perilaku secara otomatis akan diperkuat oleh konsekwensi atas perilaku tersebut, namun demikian kemampuan kognitif seseorang akan mempengaruhi lebih ekstensif pengalaman tersebut daripada seseorang yang tidak memikirkannya.
47
Perolehan perilaku seseorang juga dapat diperoleh melalui modeling. Bandura (1971) menulis bahwa meskipun perilaku dapat dibentuk melalui pemberian penguatan namun lingkungan mempunyai bahaya potensial yang besar yang setiap saat akan memberikan penguatan perilaku seseorang. Dengan demikian
peranan
orang
dewasa
menjadi
penting
dalam
memberikan
pembelajaran berbagai kemampuan terhadap anak, termasuk pembelajaran kompetensi sosial. Bandura melakukan banyak studi tentang perilaku modeling, salah satu penelitiannya adalah tentang bobo doll. Dalam proses belajar observasional Bandura (1971) menyebutkan empat proses yang mempengaruhi belajar observasional: a) Proses Atensional Sebelum sesuatu dapat dipelajari dari model, model itu harus diperhatikan.
Bandura
menganggap
belajar
adalah
proses
yang
terus
berlangsung, tetapi dia menunjukkan bahwa hanya yang diamati sajalah yang dapat dipelajari. Perhatian selektif pengamat bisa dipengaruhi oleh penguatan di masa lalu. Berbagai karakteristik model juga akan mempengaruhi sejauh mana mereka akan diperhatikan. Riset telah menunjukkan bahwa model akan lebih sering diperhatikan jika mereka sama dengan pengamat (yakni, jenis kelaminnya sama, usianya sama, dsb). Orang juga akan lebih memilih model yang lebih mampu dalam meraih hasil yang bagus daripada model yang sering gagal. b) Proses Retensional Agar informasi yang sudah diperoleh dari observasi bisa berguna, informasi itu harus diingat atau disimpan. Bandura berpendapat bahwa ada retentional process (proses retensional) dimana informasi disimpan secara simbolis melalui dua cara, secara imajinal (imajinatif) dan secara verbal.
48
Setelah informasi disimpan secara kognitif, ia dapat diambil kembali, diulangi, dan diperkuat beberapa waktu sesudah belajar observasional terjadi. Menurut Bandura peningkatan kapasitas simbolis ini memberi kemampuan kepada manusia untuk mempelajari banyak perilaku melalui observasi. Simbolsimbol yang disimpan ini memungkinkan terjadinya delayed modeling (modeling yang ditunda), yakni kemampuan untuk menggunakan informasi lama setelah informasi itu diamati. c) Proses Pembentukan Perilaku Behavioral
production
process
(proses
pembentukan
perilaku)
menentukan sejauh mana hal-hal yang telah dipelajari akan diterjemahkan ke dalam tindakan atau performa. Seseorang mungkin mempelajari sesuatu secara kognitif namun dia tidak mampu menerjemahkan informasi itu ke dalam perilaku karena ada keterbatasan, misalnya: perangkat gerak otot yang dibutuhkan untuk respon tertentu tidak tersedia atau karena orang belum dewasa, cedera, atau sakit parah. Proses ini akan terus berlangsung sampai ada kesesuaian yang sudah memuaskan antara perilaku pengamat dan model. Jadi, retensi simbolis atas pengalaman modeling akan menciptakan lingkaran “umpan balik” yang dapat dipakai secara gradual untuk menyamakan perilaku seseorang dengan perilaku model, dengan menggunakan observasi diri dan koreksi diri. d) Proses Motivasional Dalam teori Bandura, pengamatan memiliki dua fungsi utama. Pertama, ia menciptakan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak seperti model yang dilihatnya diperkuat untuk aktivitas tertentu, maka mereka akan diperkuat juga. Kedua, ia bertindak sebagai insentif untuk menerjemahkan
49
belajar ke kinerja. Apa yang dipelajari melalui observasi akan tetap tersimpan sampai si pengamat itu punya alasan untuk menggunakan informasi itu. Bandura
(1989)
menulis
tentang
teori
kognisi
sosial
sebagai
perkembangan dari teori belajar sosial. Teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura menjelaskan bahwa faktor sosial dan kognitif serta faktor pelaku memainkan peran penting dalam pembelajaran. Pendekatan ini menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Orang menentukan / mempengaruhi tingkah lakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Determenis resiprokal adalah konsep penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah laku. Gambaran hubungan timbal balik antara determinan kognitif, perilaku, dan lingkungan dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Triadic Reciprocal Determinism (Bandura, 1989)
Selanjutnya beberapa peneliti melakukan berbagai penelitian dengan mengacu pada teori kognisi sosial dari Bandura. Seiring dengan tahapan
50
perkembangan maka perkembangan kognisi sosial merupakan representasi dan proses mental yang relevan dengan perkembangan sosial selama tahapan perkembangan (Olson & Dweek, 2008). Kognisi sosial menekankan pada domain interpersonal mencakup pengetahuan, persepsi, sikap, dan perilaku dalam berhubungan dengan situasi sosial. Penggunaan strategi kognisi sosial yang efektif memberi anak kemampuan untuk mengatur
hubungan interpersonal
secara efektif pula (Combo-Ronto, 2008). 2) Teori Ekologi dari Urie Bronfenbrenner Pencetus teori ekologi adalah Urie Bronfenbrenner yang lahir 29 April 1917 di Moskow, Rusia dan meninggal di New York 25 September 2005 dalam usia 88 th. Menurut Bronfenbrenner (1994) perkembangan anak terjadi melalui proses interaksi yang kompleks antara aktivitas anak dengan orang-orang, objekobjek, maupun simbol-simbol di lingkungan terdekatnya. Agar efektif maka interaksi harus terjadi secara teratur berdasar pada periode waktu yang dilalui. Bentuk interaksi dengan lingkungan yang dijalani mengacu pada proses proximal seperti aktivitas antara orang tua dan anak-anak, bermain kelompok atau sendiri, membaca, belajar keterampilan baru, aktivitas olah raga, dan tugas-tugas kompleks lainnya. Bronfenbrenner menjelaskan bahwa perkembangan manusia terjadi melalui proses interaksi antara individu dengan sistem lingkungan yang terdiri dari lingkungan mikrosistem, mezosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem (Bern, 2010; Konstelnik et al,. 2012; Papalia et al., 2000; Santrock, 2000). Pengaruh masing-masing sistem lingkungan terhadap perkembangan kompetensi sosial dapat dijelaskan berikut ini:
51
a) Mikrosistem Mikrosistem merupakan system lingkungan sosial yang paling dasar mencakup aktivitas, dan hubungan interpersonal yang secara langsung dialami oleh anak. Tiga mikrosistem yang penting dalam perkembangan anak adalah keluarga, sekolah, teman sebaya. Selain ketiga sistem tersebut, media dan komunitas anak seperti perawatan anak, perawatan kesehatan anak, tetangga merupakan
setting
yang
secara
langsung
berhubungan
dengan
anak.
Bagaimana lingkungan dasar ini berpengaruh terhadap perkembangan anak diuraikan berikut (Bern, 2010): (i)
Keluarga Keluarga adalah setting yang menyediakan berbagai kesempatan untuk memperoleh kasih sayang dan kehangatan serta merupakan agen sosialisasi yang utama bagi anak.
(ii)
Sekolah Sekolah merupakan setting yang memberikan anak kesempatan untuk belajar tentang masyarakat secara formal. Guru menyumbang terhadap perkembangan berbagai keterampilan dan perilaku anak dengan cara modeling maupun pemberian motivasi kepada anak untuk berhasil dalam belajar.
(iii) Teman Sebaya Dalam setting teman sebaya anak dapat belajar bagaimana menjadi diri sendiri tanpa banyak pengawasan dari orang tua. Dengan teman sebaya anak memperoleh dukungan dan kebersamaan untuk belajar pengalaman dalam bekerjasama dan pengambilan peran. (iv) Komunitas
52
Masyarakat atau tetangga dalam skala kecil merupakan agen sosialisasi yang dapat menfasilitasi anak untuk belajar sambil melakukan sesuatu. Anak dapat melakukan observasi dan berhubungan langsung dengan apa yang terjadi di sekitarnya seperti bagaimana orang-orang tersebut bekerja dan berinteraksi dengan anak. (v)
Media Media seperti televisi, film, video, DVD, buku, Koran, musik, computer, telepon seluler dipertimbangkan sebagai alat atau agen sosialisasi karena sekarang ini media tersebut menjadi dunia yang dihadapi anak sehari-hari dan menyediakan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi secara sosial. Perkembangan anak dipengaruhi oleh setting mikrosistem di atas, tetapi tidak hanya karena hubungan anak dengan orang lain dalam seting tersebut melainkan juga karena interaksi antara anggota-anggota dalam mikrosistem secara khusus, misalnya interaksi antara ayah dan ibu yang akan mempengaruhi perkembangan anak.
b) Mezosistem Struktur dasar kedua yang merupakan kombinasi hubungan antara dua atau lebih mikrosistem yang berbeda disebut mezosistem. Contoh mezosistem adalah hubungan antara keluarga dengan sekolah atau keluarga dengan teman sebaya. Pengaruh mezosistem tergantung kepada kualitas di dalam hubungan antar mikrosistem. c) Exosistem
53
Exosistem merupakan struktur dasar ketiga yaitu struktur yang mengacu kepada lingkungan yang anak tidak terlibat didalamnya tetapi mempengaruhi perkembangan anak, misalnya pekerjaan orang tua, kebijakan pemerintah kota, kelompok yang diikuti oleh orang tua. Pengaruh exosistem terhadap anak secara tidka langsung terjadi melalui mikrosistem. Gambaran pengaruh exosistem dapat diperoleh dari contoh: Seorang ayah yang bekerja dalam setting organisasi yang menuntut konformitas dari pada orientasi yang berasal dari pekerja sehingga dalam pola asuh ayah terhadap anak di rumah juga lebih menekan pengawasan dari pada demokrasi.
d) Makrosistem Konteks yang paling besar di antara seluruh struktur sistem yang ada adalah makrosistem yang
terdiri dari masyarakat
dan subkultur
yang
mempengaruhi perkembangan anak seperti keyakinan, gaya hidup, pola-pola interaksi sosial, tradisi, dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan sekelompok masyarakat maupun lingkungan yang lebih besar. Tingkah laku, kepercayaan, dan semua produk manusia tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.
e) Kronosistem Kronosistem merupakan interaksi antara sistem lingkungan sepanjang kurun waktu. Kronosistem mencakup perubahan temporal pada sistem lingkungan, atau dalam diri individu, yang menghasilkan kondisi baru yang mempengaruhi perkembangan. Misalnya : kejadian yang terjadi pada anak pada waktu tertentu akan mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya tergantung
54
dari variasi lingkungan yang mempengaruhinya. Anak yang memperoleh lingkungan sekolah yang kondusif yang mensupport kemampuan sosialnya pada saat SD maka kompetensi sosial anak selanjutnya akan baik tergantung dari apakah
lingkungan
yang
berpengaruh
berikutnya
juga
mendukung
perkembangan sosialnya. Berdasarkan uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi sosial di atas nampak bahwa ada banyak setting yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi sosial. Kompetensi sosial sebagai manifestasi dari perkembangan sosial dipengaruhi oleh lingkungan sosial.(Bern, 2010; Kostelnik et al., 2012) dan teori ekologi dari Bronfenbrenner menjadi payung besar teori perkembangan sosial anak. Bronfenbrenner (Kostelnik et al., 2012) juga menekankan bahwa kompetensi sosial harus dipelajari. Sistem sosial yang paling dasar adalah mikrosistem yang mencakup orang-orang, material, aktivitas dan hubungan interpersonal dimana anak dapat berhubungan secara langsung dengan setting tersebut seperti sekolah, teman sebaya dan keluarga. Pembelajaran kompetensi sosial dapat diperoleh dari orang tua, orang dewasa lain, teman sebaya, maupun anak yang lebih tua dan yang lebih muda. Dengan melibatkan anak dalam kegiatan yang dipandu oleh orang dewasa maka anak akan dapat mengembangkan kemampuan sosialnya.
3) Model Piramida Dukungan Sosial Dalam melakukan pembelajaran kompetensi sosial, Fox et al. (2009) merumuskan kerangka kerja berbentuk piramida seperti digambarkan dalam Gambar 2.
55
Some Children Intensive Individualizes Intervention
Teaching & Coaching All Children
Supportive Environment Positive Relationships
Gambar 2. Piramida Dukungan Sosial Dalam Pembelajaran Perkembangan Dan Perilaku Sosial (Diadaptasi dari Fox et al., 2009).
Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran kompetensi sosial dalam Gambar 2 tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1). Positive Relationships (Membangun hubungan yang positif dengan anak) Langkah pertama dan yang paling penting dalam meningkatkan kompetensi sosial anak oleh orang dewasa adalah membangun hubungan yang memberi perhatian kepada anak. Hubungan yang positif ini menjadi dasar dari semua intervensi yang diberikan dalam piramida dukungan sosial karena dengan hubungan yang positif anak akan merasa aman sehingga dapat belajar dengan baik. 2) Supportive Environment (Menciptakan lingkungan yang mendukung) Langkah kedua dalam melakukan intervensi peningkatan kompetensi sosial anak adalah menciptakan lingkungan fisik dan verbal yang mendukung. Elemen lingkungan seperti warna, penerangan, material, ruangan, suara akan mempengaruhi perilaku sosial anak. Demikian juga
56
bagaimana orang dewasa berbicara, mendengarkan apa yang dikatakan anak, memposisikan
komunikasi verbal dan non verbal, serta
penggunaan bahasa yang dapat dipahami anak akan mempengaruhi perilaku sosial anak. 3) Teaching and coaching (mengajar dan melatih) Langkah ketiga dalam piramida dukungan sosial dalam meningkatkan kompetensi sosial anak adalah melatih dan membantu anak untuk berperilaku yang lebih dapat diterima. Beberapa bentuk dalam teaching dan coaching meliputi pembentukan (shaping), modeling, coaching, pembelajaran teman sebaya, meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, memprakarsai aktivitas kerjasama dan bermain. 4)
Intensive
Individualized
Intervention
(Intervensi
intensif
secara
individual) Sebagian besar anak akan mengembangkan kompetensi sosial melalui tiga tahap yang telah diuraikan di atas, namun sebagian kecil anak membutuhkan intervensi intensif secara individual untuk memperoleh kemampuan sosial tersebut. Dalam memberikan intervensi ini dibutuhkan tim yang professional bersama dengan anggota keluarga dan kemudian diterapkan secara sistematis dalam berbagai lingkungan sosial. Intervensi dalam puncak piramida ini hanya diterapkan setelah ketiga langkah sebelumnya telah dicoba diterapkan dan hanya diberikan kepada sejumlah kecil anak. Dengan mendasarkan pada uraian tentang piramida dukungan sosial yang telah diuraikan di atas maka pelatihan kompetensi sosial melalui permainan tradisional merupakan bentuk aktivitas bermain dengan teman sebaya.
57
Pengembangan kompetensi sosial
melalui permainan dan aktivitas bersama
merupakan salah satu bentuk teaching & coaching yang dapat diterapkan pada semua anak. Selanjutnya Copple & Bredecamp (2009) menekankan pentingnya faktor pengalaman dalam anak belajar kemampuan-kemampuan sosial dari dunia sekelilingnya. Pengalaman anak dalam bermain sosial akan memberi kepada anak kesempatan untuk berinteraksi dengan anak lain sehingga membantu anak untuk belajar berbagai kemampuan sosial (Kostelnik et al., Pelligrini& Smith, 2005; Power, 2012).
1. Metode Experiential Learning Metode
experiential
learning
mengacu
pada
teori
yang
dikembangkan oleh David A Kolb pada sekitar awal tahun 1980. Beard & Wilson
(2006)
mengemukakan
bahwa
teori
experiential
learning
merupakan teori yang erat hubungannya dengan praktek. Menurut Kolb (1984) pendekatan yang digunakan dalam teori ini adalah bahwa pendidikan
dan
belajar
merupakan
proses
sepanjang
hidup
dan
mendasarkan pada tradisi intelektual dari Pskologi Sosial, Filsafat, dan Psikologi Kognitif. Model pembelajaran experiential mempunyai kerangka kerja
untuk
mengevaluasi
dan
memperkuat
ikatan
kritis
antara
pendidikan, pekerjaan, dan perkembangan pribadi. Hal ini bisa dilakukan dengan pengembangan pembelajaran di dalam kelas dengan metode belajar melalui pengalaman. Dasar teori pembelajaran experiential disumbang oleh teori-teori lain yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya yaitu John Dewey
58
(experiential learning dalam pendidikan yang lebih tinggi), Kurt Lewin (experiential learning dalam training dan pengembangan organisasi), Jean Piaget (perkembangan kognitif dalam experiential learning). Selain tiga tokoh tersebut beberapa teori yang menyumbang terhadap teori experiential learning adalah Carl Jung dan Erik Erikson dari psikoanalisis, client-centered therapy
dari Carl Rogers, gestalt therapy dari Fritz
Perls’s, dan teori aktualisasi diri dari Abraham Maslow (Kolb, 1984). Gagasan Kolb (1984) bahwa pengalaman merupakan sumber belajar dan
perkembangan
mempunyai
dampak
yang
dramatis
terhadap
rancangan dan pengembangan model pembelajaran sepanjang hidup. Menurut Silberman (2007) hasil karya Kolb ini seperti mempertegas ucapan filosof Cina yaitu Confucius pada 450 sebelum masehi yaitu: ”Tell me, and a will forget. Show me, and i may remember. Involve me, and I understand.” Rekaman jejak ucapan tersebut menekankan pentingnya pengalaman dalam proses belajar. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan mendasarkan pada teori experiential learning.
a. Definisi experiential learning Secara sederhana experiential learning diartikan sebagai belajar melalui
pengalaman.
experiential
learning
dikreasikan
melalui
Menurut adalah
Fiore, proses
transformasi
Metcalf, perolehan
pengalaman.
&
McDaniel
(2007)
pengetahuan Berdasarkan
yang
definisi
tersebut maka diperlukan proses untuk mengantarkan proses belajar melalui alat simulasi maupun training. Hal yang paling penting dalam konteks ini adalah belajar (learning) dan pengalihan (transfer).
59
Experiential learning merupakan proses memperoleh pengertian dari perpaduan secara aktif antara dunia dalam diri (inner world) seseorang dan dunia di luar diri seseorang (outer world) yaitu lingkungan (Beard & Wilson, 2006). Experiential learning pada dasarnya merupakan proses
dukungan
terhadap
semua
bentuk
belajar
dimulai
dari
transformasi pengalaman yang paling baru dan paling berarti ke dalam bentuk kerja yang lebih luas. Ditambahkan bahwa dasar dari belajar adalah interaksi antara diri dan lingkungan eksternal yaitu pengala man. Kohonen (2005) mendefinisikan experiential learning sebagai orientasi pendidikan yang bertujuan untuk mengintegrasikan elemen teoritis dan praktis
dari
belajar
melalui
pendekatan
secara
menyeluruh
pada
seseorang dengan menekan pentingnya pengalaman dalam proses belajar. Experiential learning merupakan pendekatan dalam belajar dimana pertisipan terlibat dalam aktivitas dan merefleksikannya secara aktif guna memperoleh pemahaman dan pembelajaran yang bermanfaat bagi individu yang belajar (Young, Woehl, & Schanbow, 2009). Belajar yang didasarkan pada pengalaman akan dimiliki secara penuh oleh individu yang belajar dan menjadi aspek yang efektif dan integral dalam perubahan perilaku. Istilah experiential learning sering digunakan dalam berbagai training yang bersifat interaktif experiential learning adalah: (1)
(Silberman, 2007a). Hal penting dalam pelibatan peserta ke dalam aktivitas
yang kongkrit sehingga mereka benar-benar “mengalami” apa yang mereka pelajari dan, (2) kesempatan untuk merefleksikan aktivitas yang mereka alami. Pengalaman yang dipelajari bisa berasal dari kehidupan
60
nyata (contoh: pekerjaan yang sedang dijalani) maupun pengalaman terstruktur
yang
disimulasikan
games/permainan). merupakan
Lebih
aktivitas
jauh,
kognitif
(contoh:
dengan
pengalaman
yang
(contoh:
memahami
menggunakan dipelajari
bisa
informasi/konsep),
perilaku (contoh: pengembangan keterampilan), maupun afektif (contoh: menguji keyakinan). Berdasarkan berbagai definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa experiential learning merupakan proses perolehan hasil belajar melalui
pelibatan
individu
dalam
aktivitas
nyata
yang
kemudian
pengalaman tersebut direfleksikan sehingga terjadi pemahaman atas apa yang dipelajari sehingga dapat terjadi transformasi pengalaman tersebut ke dalam kehidupan nyata yang lebih luas. Dengan demikian dapat diperoleh pemahaman bahwa teori experiential learning pada dasarnya mengacu pada proses belajar melalui pengalaman. b. Proses experiential learning Proses experiential learning yang dikemukakan oleh Kolb menurut model Lewinian disusun menjadi empat tahap yang berbentuk siklus (Kolb, 1984; Zigmont, Liana,
Kappus,& Sudikoff, 2011).. Proses ini
mendasarkan pada teknik action research dan training di laboratorium. Proses dimulai dengan pengalaman yang terjadi di sini dan saat ini ( here and now), diikuti dengan pengumpulan data dan observasi tentang pengalaman tersebut. Data kemudian dianalisis dan kesimpulan dari hasil analisis diberikan umpan balik kepada pelaku tentang pengalaman tersebut
untuk
mereka gunakan
dalam
memodifikasi
dan
memilih
61
pengalaman yang baru. Model proses belajar experiential digamb arkan dalam siklus experiential learning seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Siklus Experiential Learning menurut Kolb (Zigmont et al., 2011)
Penjelasan tentang Gambar 3 adalah bahwa dalam model tersebut pengalaman kongkrit yang terjadi menjadi dasar dari observasi dan refleksi. Hasil observasi
ini
menjadi “teori” baru setelah dilakukan
deduksi terhadap perilaku yang diobservasi. Implikasi atau hipotesis baru ini kemudian dijadikan petunjuk untuk berkreasi dalam pengalaman berikutnya. Zigmont et al. (2011) dan Kohonen (2005) menjelaskan secara lebih terperinci proses experiential learning pada setiap tahapnya sebagai berikut: 1) Concrete experience Dengan simulasi seseorang akan memperoleh pengalaman kongkrit. yang menekankan pada pengalaman secara personal, perasaan memiliki pengalaman tersebut dan perasaan yang terlibat di dalamnya.
62
Pengalaman yang paling besar berkontribusi terhadap proses belajar adalah yang menyulut secara emosional, menantang, menekan dan menyebabkan kondisi tubuh berubah. Rancangan simulasi yang dapat menimbulkan perubahan pada tubuh akan secara optimal memperkuat refleksi yang bermakna tetapi tidak menimbulkan tekanan dalam proses belajar. Beberapa aktivitas simulasi yang dapat mendukung proses ini dapat berupa teknik drama, permainan, penggunaan video, film, cerita, diskusi kelompok kecil. 2) Reflective observation Debriefing atau fasilitasi akan memberi kesempatan kepada seseorang yang
belajar untuk merefleksikan simulasi dan kinerja .
Fasilitasi dilakukan oleh fasilitator. Fasilitator dalam proses ini dapat dilakukan oleh guru, pendidik, pelatih, maupun orang tua. Proses refleksi
terjadi melalui persepsi dan mengarahkan pemahaman
gagasan dan situasi melalui observasi. Seseorang
diarahkan untuk
peduli dengan apa dan bagaimana sesuatu terjadi dengan cara mencoba melihat persepsi yang berbeda-beda dan meletakkannya pada pikiran, perasaan, dan penilaian seseorang. Fasilitator dapat menfasilitasi proses refleksi dengan memberikan pandangan yang objektif tentang kinerja partisipan dalam proses belajar. Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam refleksi adalah catatan personal, essay yang reflektif, laporan observasi, hasil wawancara dan diskusi. 3) Abstract conceptualization Pengalaman dan refleksi memberi kesempatan
kepada seseorang
yang belajar untuk membuat arti terhadap apa yang telah terjadi,
63
sedangkan
abstract
conceptualization
menfasilitasi
ke
arah
pengalaman yang akan datang. Setelah refleksi partisipan pelatihan siap untuk menyesuaikan diri dengan model mental. Selama proses abstract conceptualization, fasilitator mempunyai kesempatan untuk membantu partisipan membentuk model mental
yang baru melalui
penalaran
partisipan
analogis.
Dalam
tahap
ini
akan
mempertimbangkan informasi yang berasal dari fasilitator maupun dari sumber yang lain. Teknik yang dipakai dalam proses ini bisa melalui konstruksi teori, pengajaran, membangun model, dan analogi. 4) Active experimentation Setelah partisipan pelatihan mengembangkan model mental yang baru maka
dilakukan
pengetesan.
Dalam
praktek
kehidupan
nyata,
seseorang harus menunggu kesempatan ini muncul. Proses simulasi merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan eksperimentasi aktif dengan cara mempersilakan partisipan untuk menguji coba ide baru segera. Beberapa experimentasi aktif ini akan meningkatkan pengetahuan baru dan perubahan dalam waktu yang lama dalam kehidupan nyata. Teknik yang dapat digunakan dalam proses ini adalah tugas lapangan, berbagai penugasan, kerja laboratorium, games, role play, dan simulasi.
c. Peran fasilitator dalam experiential learning Greenaway (2007) menulis tentang pentingnya debriefing dalam experiential learning yaitu. fasilitasi belajar melalui pengalaman. Fasilitasi dapat digunakan untuk membantu proses belajar dari hampir semua
64
bentuk pengalaman. Peranan fasilitasi sesungguhnya dapat dilakukan dalam
pengasuhan,
coaching,
mentoring,
supervisi,
pengelolaan,
instruksi, konseling, mengajar, dan training. Keterampilan fasilitasi sangat diperlukan dalam berbagai peran tersebut tetapi dalam pembahasan ini akan
lebih
ditekankan
peranan
fasilitasi
dalam
pelatihan
melalui
kelompok. Menurut Greeneway (2007) fasilitasi yang dinamis bertujuan untuk melibatkan seluruh peserta untuk secara sadar berpartisipasi aktif dalam proses belajar melalui pengalaman. Hal ini mencakup bagaimana peserta mengekspresikan, menguji, dan menggali pengalaman mereka sehingga memungkinkan mereka untuk belajar, tumbuh, berkembang, dan membuat perubahan dalam kehidupan. Fasilitasi
yang dinamis yaitu peserta
belajar dapat secara penuh terlibat dalam proses belajar disebabkan oleh apa yang dilakukan oleh fasilitator untuk meningkatkan kualitas proses belajar.
Melalui
fasilitasi
yang
efektif
akan
diperoleh
beberapa
keuntungan sebagai berikut (Greeneway, 2007): 1) Menambah nilai terhadap apa yang telah terjadi 2) Meningkatkan kesadaran tentang perspektif orang lain 3) Mengembangkan keterampilan belajar dan komunikasi 4) Membantu partisipan menjelaskan, mencapai, dan bahkan melebihi apa yang menjadi tujuan mereka 5) Menggunakan kesuksesan dan kegagalan sebagai sumber belajar dan perkembangan 6) Memperoleh manfaat nyata dan menggunakannya untuk evaluasi 7) Menemukan kemungkinan untuk transfer belajar yang efektif
65
8) Menunjukkan adanya kepedulian fasilitator bahwa apa dikatakan
dan
dialami
seseorang
mempunyai
nilai
yang serta
menunjukkan adanya ketertarikan fasilitator terhadap kemajuan masing-masing partisipan dalam pembelajaran dan perkembangan. Teori experiential learning menerangkan dengan jelas bahwa individu yang belajar setelah mereka melakukan aktivitas pengalaman, maka mereka akan melakukan refleksi, interpretasi, dan eksperimen. Namun demikian, menurut Greeneway (2007) teori experiential learning tidak secara jelas menerangkan peranan fasilitator dalam proses ini. Prinsip, strategi, dan taktik fasilitasi tidak bisa diperoleh dari teori experiential learning semata melainkan diperlukan teori fasilitasi. John Heron (1999) menyediakan sebuah model fasilitasi yang dapat digunakan untuk melengkapi
teori
experiential
learning
dan
akan
dapat
membantu
fasilitator memutuskan apakah keputusan yang harus diambil dalam fasilitasi. Ada tiga model pengambilan keputusan yaitu hierarchical, cooperative, dan autonomous. Masing-masing model mempunyai masalah potensial sehingga perlu dilakukan pemindahan di antara ketiganya. Permasalahan tersebut mencakup : 1) Controlhierarchical berlebihan akan membuat partisipan menjadi pasif dan tergantung atau bisa juga menjadi memusuhi dan melawan Mereka akan kehilangan kesempatan untuk menunjukkan dirinya sendiri yang merupakan inti dari semua proses belajar. 2) Kerjasama berlebihan akan mengarahkan partisipan untuk tidak belajar secara mandiri.
66
3) Otonomi yang terlalu banyak diberikan kepada partisipan akan menyebabkan fasilitator kurang berperan sehingga partisipan merasa ditolak, salah konsep, dan proses menjadi kacau. Selanjutnya ditambahkan oleh Heron (1999) bahwa fasilitator tidak disarankan untuk menggunakan satu posisi atau model dalam waktu yang terlalu lama karena secara jelas terdapat kelemahan yang konsisten. Fasilitator yang dengan sengaja dan hati-hati berpindah dari satu model ke model yang lain akan memberi kebebasan kepada partisipan untuk belajar melalui pengalaman ini dan bertanggung jawab dalam belajar dan berbagi kekuatan. Keaktifan partisipan
akan membuat kegiatan belajar
ini menjadi lebih dinamis, berguna, dan efektif. Dalam permainan
kegiatan
kelompok
experiential sebagai
learning
simulasi,
yang
Fletcher
&
menggunakan Kunst
(2006)
memberikan beberapa petunjuk untuk fasilitator dalam memandu kegiatan belajar ini. Beberapa hal penting tersebut adalah sebagai berikut: 1) Menjadi fasilitator Membuat permainan menjadi penting dan mempunyai arti dalam kegiatan experiential learning merupakan tantangan terbesar bagi fasilitator. Tugas fasilitator terdiri dari tiga bagian yaitu memimpin aktivitas,
memandu
refleksi,
dan
memunculkan
antusiasme.
Antusiasme merupakan sesuatu yang menular sehingga perlu dijaga agar fasilitasi dilakukan dengan sederhana dan lurus ke depan. Pengalaman perlu digali secara personal dan perlu diingat bahwa
siapapun
anggota
kelompok
mempunyai
kekayaan
pengetahuan dan pengalaman yang bisa digali. Fasilitator juga
67
harus menjaga agar aktivitas, sesi, dan pemain berada dalam keadaan yang menggembirakan. 2) Menetapkan kisi-kisi pedoman dan tujuan Fasilitator bertugas memberikan kisi-kisi pedoman dan tujuan dari kegiatan
bermain
kepada
partisipan.
Partisipan
memperoleh
petunjuk dan aturan cara bermain, namun perlu dihindari terlalu banyak memberikan aturan. Dalam permainan
setiap kelompok
mempunyai tujuan khusus yang disepakati oleh seluruh pemain. Yang perlu ditekankan adalah bahwa setiap pemain mempunyai kelemahan dan kelebihan yang berbeda-beda sehingga tidak ada seorang pun yang lebih baik dari lainnya. 3) Memikirkan kerangka dan urutan Tujuan dan prosedur permainan seringkali disampaikan pada saat pengenalan. Fasilitator bertugas untuk mengenalkan urutan -urutan permainan dan mempersilakan partisipan untuk melihat lebih dalam tentang makna permainan tersebut. 4) Melakukan refleksi Satu cara untuk meningkatkan peran permainan dalam perubahan perilaku adalah melalui refleksi. Cara yang mudah untuk melihat relevansi refleksi dengan aktivitas permainan dapat dipahami sebagai sebuah siklus, yaitu: dimulai dengan penjelasan tentang aktivitas,
menetapkan
tujuan
kelompok,
ketika
aktivitas
berlangsung fasilitator mengulurkan tangan jika diperlukan, dan akhirnya refleksi terhadap kelompok akan membantu partisipan melihat bagaimana mereka mencapai tujuan dan untuk diterapkan
68
dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Berikutnya fasilitator akan membawa kembali partisipan ke dunia realitas yaitu dunia saat mereka tidak sedang bermain. Pada tahap penting bagi fasilitator memberi alasan mengapa partisipan bermain games. Dalam melakukan refleksi bisa dilakukan melalui beberapa tipe pertanyaan, yaitu: a) Open-ended
question,
yaitu
pertanyaan
yang
mencegah
jawaban ya atau tidak. Misalnya: “Apa tujuan dari permainan ini?” atau “Pelajaran apa yang bisa kamu ambil dari permainan ini?” b) Feeling question, yaitu pertanyaan yang meminta partisipan merefleksikan bagaimana perasaan mereka tentang apa yang mereka mainkan. Misalnya: “Bagaimana perasaan kamu ketika mulai berlari menghindari lawan?” c) Judgment question, yaitu pertanyaan yang menanyakan kepada partisipan
untuk
mengambil
keputusan
tentang
sesuatu.
Misalnya: “Bagian mana yang paling baik?” atau “Mana ide yang paling baik?” d) Guiding question, yaitu pertanyaan yang menggiring partisipan ke arah tujuan aktivitas dan membuat diskusi menjadi terarah. Misalnya: “Apa yang benar-benar telah kamu peroleh dari semua yang telah berlangsung?” e) Closing question, yaitu pertanyaan yang membantu partisipan untuk menggambarkan kesimpulan dari akhir diskusi. Misalnya:
69
“Apa yang telah kamu pelajari?” atau “Apa yang telah kamu lakukan dengan cara yang berbeda dari yang lain?” 5) Memperoleh makna bersama dengan para pemain Kegiatan ini merupakan jembatan antara kegiatan yang telah dilakukan
dengan
memfasilitasi
yang
diskusi
agar
menjadi
tujuan
partisipan
belajar.
atau
Fasilitator
pemain
dapat
memperoleh makna atau pelajaran dari permainan yang telah dilakukan. Fasilitator juga menguatkan kebutuhan partisipan untuk berkomunikasi
dan
melakukan
pengambilan
keputusan
yang
dianggap terbaik.
d. Experiential learning pada anak Teori experiential learning pada awalnya diterapkan pada orang dewasa atau sering disebut sebagai pembelajaran orang dewasa (Kolb, 1984; Yannaci, Roberts, Ganju, 2006; Young, Woehl, & Schanbow, 2009), namun demikian tidak menutup kemungkinan teori experiential learning diterapkan pada anak-anak, terutama anak-anak usia sekolah dasar tingkat akhir karena pada usia tersebut menurut Piaget (Mӧnks, Knoers, & Haditono, 2000) anak mulai memasuki tahapan operasional formal. AVEF (2006) juga
merekomendasikan pentingnya experiential
learning dalam meningkatkan perkembangan anak. AVEF (Atma Vidya Educational Foundation) adalah sebuah lembaga yang mengembangkan pendidikan anak dengan pendekatan KPM singkatan
nama
dari
Sri
K.
Padmanabha
di India. KPM adalah Menon,
seorang
tokoh
pendidikan di India yang disejajarkan dengan Montessori. Pendekatan
70
KPM menekankan pentingnya hubungan antara guru dan anak dalam experiential learning. Yang paling penting menurut pendekatan KPM adalah terbentuknya kepercayaan (trust and confidence) antara guru dengan anak. Ada empat tujuan dasar yang harus dibangun oleh guru, pendidik,
maupun
instruktur
terhadap
anak
dalam
pelaksanaan
experiential learning , yaitu: 1) Relationship (membangun hubungan) Guru
membangun
hubungan
dengan
anak
yang
dilandasi
kepercayaan terhadap anak. 2) Joining in (ikut serta) Guru ikut serta masuk ke dunia anak, terlibat langsung dalam aktivitas dan permainan. 3) Awareness (menyadari) Guru menyadari kebutuhan anak secara personal, sosial, dan akademik. Guru juga memahami bagaimana anak mempersiapkan diri untuk belajar. 4) .Development (mengembangkan) Guru mengenalkan dan mengembangkan kualitas keterampilan dan kemampuan yang dimiliki oleh anak sesuai dengan kebutuhan dan minat anak. AVEF
juga
menambahkan
bahwa
pelaksanaan
experiential
learning pada anak adalah mengarahkan anak merasa gembira sehingga peranan
bermain
menjadi
sangat
penting.
Bermain
dan
be lajar
merupakan sesuatu yang dapat diintegrasikan. Penelitian Teglasi & Rothman (2001)
mempertegas pentingnya peran pemandu (fasilitator
71
atau guru) dalam proses refleksi sehingga anak lebih terarah dalam memberikan arti terhadap pengalaman. Materi belajar maupun permainan yang
terstruktur
juga
akan mempermudah
anak
untuk
memahami
pengalaman yang dipelajari (Henderson & Atencio, 2007; Teglasi & Rothman, 2001). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian dengan menggunakan teori experiential learning dapat dilakukan pada anak-anak terutama anak usia sekolah dasar tingkat atas (kelas 4, 5,dan 6) dengan syarat pemandu atau fasilitator harus membangun kepercayaan anak terhadapnya, refleksi harus lebih terarah, dan materi yang diberikan lebih terstruktur.
2. Bermain dan Permainan Tradisional a. Bermain dan permainan Bermain atau play didefinisikan sebagai kegiatan yang menyenangkan namun memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan anak (Hurlock, 1993; Papalia, 2000). Bermain bagi anak adalah seperti bekerja bagi orang dewasa. Dengan bermain anak akan belajar tentang dunia di sekelilingnya, menggali lingkungannya, dan mengekspresikan emosinya (Debord & Amann, 2005). Menurut J.Brunner & B. Sutton-Smith (dalam Hughes, 2004) bermain menyediakan suasana yang menyenangkan dan rileks sehingga anak dapat belajar memecahkan berbagai problem. Pengalaman memecahkan masalah dalam bermain dapat ditransformasikan ke problem-problem yang lebih kompleks dalam dunia nyata. Pada anak-anak, bermain merupakan kontributor kunci terhadap berbagai aspek perkembangan, meliputi keterampilan sosial dan
72
kemampuan untuk terlibat dalam suatu aktivitas (Skainer, Rodger & Bundy, 2006). Menurut Brown & Vaughan (2009) bermain merupakan aktivitas primer dan menggembirakan dengan ciri-ciri yaitu bersifat sukarela, menarik, bebas dari batasan waktu, dapat berimprovisasi, dan ketika sudah melakukan kegiatan tersebut ingin mengulanginya lagi, Eberle (dikutip Brown & Vaughan, 2009) menggambarkan rangkaian proses bermain seperti lingkaran roda yang meliputi enam tahap, yaitu: 1) anticipation (menunggu dengan penuh harap apa yang akan terjadi, agak cemas, mungkin karena menunggu sesuatu yang agak tidak pasti meskipun resikonya tidak akan besar dan bahkan menyenangkan). Keadaan ini ini akan membawa pada tahap berikutnya yaitu , 2) surprise (sesuatu yang mengejutkan, sebuah penemuan baru, sensasi atau ide baru, ataupun pandangan baru). Hal ini akan menghasilkan, 3) pleasure (perasaan yang menyenangkan). Berikutnya akan diperoleh, 4) understanding (memperoleh pengetahuan baru, menyatukan konsep tentang perbedaan dan pemisahan, mengumpulkan ide-ide baru yang sebelumnya asing). Pemahaman ini akan menghasilkan, 5) strength (menguasai sebuah kemampuan yang datang dari pengalaman dan pemahaman, pemberdayaan melalui keberhasilan terhindar dari pengalaman yang menakutkan, tahu lebih banyak tentang bagaimana dunia kerja mereka). Akhirnya, akan menghasilkan, 6) poise (longgar, puas, tenang, dan perasaan seimbang dalam kehidupan).. Bermain dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis.
73
Santrock (2000) mengemukakan jenis-jenis kegiatan
yang termasuk
dalam bermain meliputi: 1) Permainan sensorimotor, yaitu perilaku yang diperlihatkan oleh bayi untuk memperoleh kenikmatan dari melatih perkembangan (skema) sensorimotor mereka, 2) Permainan pura-pura/simbolis, yaitu permainan yang terjadi ketika anak mentranformasikan lingkungan fisik ke dalam suatu simbol, 3) Permainan sosial, permainan yang melibatkan interaksi sosial dengan teman-teman sebaya, 4) Permainan konstruktif, yaitu permainan yang menegkombinasikan kegiatan sensorimotor/praktis yang berulang dengan representasi gagasan-gagasan simbolis. Permainan konstruktif terjadi ketika anakanak melibatkan diri dalam suatu kreasi atau konstruksi suatu produk atau suatu pemecahan masalah ciptaan sendiri, 5) Games, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh kenikmatan yang melibatkan aturan dan seringkali dilakukan dalam bentuk kompetisi dengan satu atau lebih orang. Menurut Schaefer & Reid (2001) istilah bermain atau play dibedakan dengan istilah permainan atau games. Bermain merupakan aktivitas yang terjadi secara alamiah dan ditemukan baik pada manusia maupun binatang, sedangkan permainan merupakan salah satu bentuk bermain yang lebih berorientasi pada tujuan dan lebih bersifat serius daripada bermain. Sebagian besar permainan mempunyai aturan dan memberi peran yang jelas terhadap pemain, mempunyai harapan dan batasan terhadap perilaku pemain, bagaimana permainan berlangsung.
dan menggambarkan
74
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan kegiatan yang menyenangan, menarik, bersifat sukarela, dapat diimprovisasikan, dan ada keinginan
untuk
mengulangi
kegiatan
tersebut,
dan
kegiatan
tersebut
mempunyai manfaat bagi aspek-aspek perkembangan anak, sedangkan games merupakan salah satu bentuk kegiatan bermain yang berorientasi pada tujuan, dimainkan lebih dari satu orang, dan
mempunyai aturan dalam kegiatan
bermain. b. Tahapan perkembangan bermain Hurlock (1993) membagi tahap perkembangan bermain menjadi empat tahap sebagai berikut: 1) Tahap penjelajahan (Exploratory stage) Hingga bayi berusia sekitar tiga bulan, kegiatan permainan mereka terbatas pada melihat orang dan benda. Pada usia berikutnya mulai berusaha menjangkau atau meraih benda di sekelilingnya. Setelah dapat merangkak atau berjalan, mulail memperhatikan apa saja yang berada dalam jarak jangkauannya. 1) Tahap Mainan (Toy Stage) Bermain menggunakan barang mainan mulai tahun pertama dan mencapai puncaknya pada usia 5-6 tahun. Pada usia 2-3 tahun anak membayangkan bahwa mainannya mempunyai sifat hidup – dapat bergerak, berbicara, dan merasakan. Dengan semakin berkembangnya kecerdasan anak, tidak lagi menganggap benda mati sebagai benda hidup sehingga akan makin berkurang minatnya terhadap barang mainan. 2) Tahap Bermain (Play Stage)
75
Tahap tersebut terjadi bersamaan dengan anak masuk ke sekolah dasar. Semula masih meneruskan bermain dengan barang mainan, terutama bila sendirian, kemudian akan tertarik pada beragam permainan seperti games, olah raga, dan bentuk permainan orang dewasa lainnya. 3) Tahap melamun (Daydream Stage) Semakin mendekati masa pubertas, anak mulai kehilangan minat terhadap permainan yang sebelumnya disenangi dan mulai menghabiskan waktunya dengan melamun. Biasanya lamunan atau khayalannya mengenai perlakuan kurang adil dari orang lain atau karena tidak dipahami oleh orang lain. Tahapan lain dikemukakan oleh Piaget (dalam Hughes, 2004; Mӧnks, Knoers, & Haditono, 2000) yang membagi tahap permainan sesuai dengan teori tahap perkembangan kognitif, yaitu sebagai berikut: 1) Tahap Sensory Motor Play (3-4 bulan – 1-2 tahun) Bermain dimulai pada periode perkembangan kognitif sensori motor. Sebelum usia 3-4 bulan, gerakan atau kegiatan anak belum dapat dikatakan bermain. Sejak usia 3-4 bulan, kegiatan anak lebih terkoordinasi dan dari pengalamannya anak belajar bahwa dengan menarik mainan yang tergantung di atas tempat tidur, berbunyi. Kegiatan tersebut
mainan tersebut akan bergerak dan
diulangi berkali-kali dan menimbulkan rasa
senang. Pada usia 7-11 bulan kegiatan yang dilakukan anak bukan sematamata pengulangan, namun sudah disertai dengan variasi. Pada usia 18 bulan tampak adanya percobaan-percobaan aktif pada kegiatan bermain anak. Anak
sudah
makin
mampu
menggunakan alat permainan.
menunjukkan
berbagai
variasi
dalam
76
2) Tahap Symbolic atau Make Believe Play (2-7 tahun) Tahap tersebut
merupakan ciri periode pra operasional yang ditandai
dengan bermain khayal dan bermain pura-pura. Pada masa tersebut anak juga lebih banyak bertanya dan menjawab pertanyaan, mencoba berbagai hal berkaitan dengan konsep angka, ruang, kuantitas, dan sebagainya. 3) Tahap Sosial Play games with Rules (7-8 s/d 11 tahun) Dalam tahap bermain ini, penggunaan symbol lebih banyak diwarnai oleh nalar, logika yang bersifat objektif. Sejak usia 8-11 tahun anak lebih banyak terlibat dalam kegiatan permainan yang mempunyai aturan. 4) Tahap Play With Rules & Sport (11 tahun ke atas) Kegiatan bermain lain yang memiliki aturan adalah olah raga. Kegiatan bermain
masih menyenangkan dan dinikmati anak-anak, meskipun
aturannya lebih ketat dan diperlakukan secara kaku dibandingkan dengan permainan yang tergolong games seperti kartu atau kasti. Anak senang melakukannya
berulang-ulang
dan terpacu untuk mencapai prestasi
sebanyak-banyaknya. Berdasarkan paparan tentang tahapan permainan di atas maka dapat dijelaskan
bahwa permainan yang berperan dalam perkembangan
anak
usia sekolah adalah permainan yang mempunyai aturan. Menurut Hughes (1994) permainan yaang mempunyai aturan dapat berupa permainan kartu atau permainan meja dan dapat pula berupa permainan outdoor yang dimainkan di luar ruangan. Contoh dari permainan dengan aturan adalah permainan tradisional.
77
c. Permainan tradisional Bishop & Curtis (2005) mendefinisikan permainan tradisional sebagai permainan yang telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan permainan tersebut mengandung nilai “baik”, “positif”, “bernilai”, dan “diinginkan”. Ada konsensus bahwa permainan tradisional merujuk pada aktivitas-aktivitas seperti hopscotch (engklek), permainan kelereng, lompat tali, permainan karet, dan sebagainya. Demikian juga beberapa permainan seperti lelucon praktis, ritus iniasi, pemberian nama julukan, dan sebagainya juga merupakan permainan tradisional selama permainan tersebut memiliki sejarah yang panjang dan terdokumentasi. Eichberg (2005)
mengemukakan tentang persamaan dan perbedaan
antara permainan tradisional dengan olah raga. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa pada permainan tradisional aturan yang lebih fleksibel atau bisa berubah sesuai dengan kebutuhan jaman, sedangkan pada olah raga meskipun aturan bisa berubah tetapi membutuhkan kesepakatan yang luas dalam penerapannya. Persamaan permainan tradisional dan olah raga adalah adanya manfaat untuk pendidikan dan perkembangan anak. Eichberg (2005) dan Chileshe (2004) merekomendasikan permainan tradisional dan olah raga dapat diberikan bersama-sama untuk memberi intervensi terhadap perkembangan anak. Klasiliniko (2006) juga merekomendasikan permainan tradisional berbentuk keterampilan fisik dapat dijadikan alternatif untuk pendidikan dan perkembangan fisik pada anak-anak dan remaja awal. Pengertian permainan tradisional juga dikemukakan oleh Akbari et al. (2009) yaitu permainan yang mempunyai sejarah di daerah atau budaya tertentu yang di dalamnya mempunyai nilai-nilai kemanusiaan dan tidak merupakan hasil
78
dari industrialisasi. Definisi yang senada juga dikemukakan oleh Parlebas (dalam Lavega, 2007) bahwa permainan tradisional merupakan hasil kreatif dari budaya dan sejarah yang mempunyai unsur kesenangan namun merefleksikan nilai-nilai sosial yang mendalam sehingga anak akan belajar berkomunikasi dengan lingkungannya. Permainan anak tradisional merupakan permainan yang mengandung wisdom (Suseno, 1999), memberikan manfaat untuk perkembangan anak (Iswinarti, 2005), merupakan kekayaan budaya bangsa (Sedyawati, 1999), dan refleksi budaya dan tumbuh kembang anak (Krisdyatmiko, 1999). Permainan tradisional juga merupakan permainan yang mengandung nilai-nilai budaya yang dapat menjadi pemberi identitas bagi sebuah budaya lokal sehingga dapat menjadi local wisdom bagi sebuah budaya (Dharmamulya, 2008). Pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tradisional ditekankan oleh Tzeng & Huang (2010) yang meneliti permainan hopscocth dengan digital teknologi. Setelah dilakukan penerapan permainan hopscocth atau engklek tersebut kepada anak-anak maka peneliti mengakui bahwa
nilai-
nilai pendidikan menjadi hilang ketika permainan hopscocth atau engklek ini dimainkan secara digital dengan komputer. Jika ditinjau dari jenis permainan maupun tahapan perkembangan bermain maka permainan tradisional seperti engklek (hopscotch), petak umpet, main kelereng, dan sebagainya termasuk dalam permainan game with rule yang biasanya dimainkan oleh anak-anak usia sekolah dasar (Chileshe, 2004; Hughes,
2004).
Untuk
memainkan
permainan
tradisional
dibutuhkan
kemampuan berpikir logis karena mengandung aturan-aturan dan prosedur dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks. Makin tinggi tingkat kesulitan
79
aturan permainan makin dibutuhkan kemampuan kognitif yang makin tinggi. Permainan tradisional juga dapat dikategorikan sebagai permainan sosial karena dimainkan oleh lebih dari satu orang. Menurut Darmamulya (2008) nilai sosial yang terkandung dalam permainan tradisional adalah adanya interaksi sosial dalam kegiatan bermain. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa permainan tradisional adalah permainan yang diwariskan, mengandung nilai-nilai kebaikan, dan bermanfaat bagi tumbuh kembang anak. Permainan tradisional merupakan permainan dengan aturan dan dimainkan oleh lebih dari satu orang. Tahapan usia yang sesuai untuk memainkan permainan ini adalah anak usia sekolah.
d. Klasifikasi permainan tradisional Dharmamulya
(2004)
membedakan
karakteristik
permainan
tradisional menjadi 3 kelompok, yaitu: 1) Bermain dan bernyanyi Dalam kelompok permainan ini para pemain menyanyikan lagu dan
berdialog
di
tengah-tengah
permainan.
Permainan
ini
kebanyakan dilakukan oleh anak-anak perempuan. Permainan ini mengandung nilai rekreasi interaksi sosial. Yang termasuk dalam kelompok permainan ini adalah wak-wak gong atau krupukan, cublak-cublak suweng, jamuran, dan lain-lain. 2) Bermain dan berpikir Dalam permainan ini anak harus lebih berkonsentrasi dan berpikir untuk mengatur strategi untuk memecahkan masalah. Beberapa
80
permainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah dakon, damdaman, congklak lidi, dan lain-lain. 3) Bermain dan berkompetisi Permainan ini merupakan permainan yang mendasarkan pada kekuatan fisik berupa pertandingan antara satu orang dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Akhir dari permainan ini
adalah
mendapatkan
menang
atau
hadiah
kalah.
sedangkan
Biasanya yang
pemenang
kalah
akan
mendapatkan
hukuman. Termasuk dalam kelompok ini misalnya gobag sodor, engklek, bentengan, dan lain-lain. Selanjutnya Bishop & Curtis (2005) mengklasifikasikan tradisi-tradisi bermain menjadi tiga kelompok, yaitu permainan yang sarat dengan muatan verbal, permainan yang sarat dengan muatan imaginatif, dan permainan yang sarat dengan muatan fisik. Permainan yang termasuk dalam kelompok pertama adalah permainan-permainan yang berisi dialog dan nyanyian, lelucon atau gurauan, termasuk juga tarian yang dibawakan sambil menyanyi. Permainan yang termasuk dalam kelompok kedua adalah permainan yang mengandung unsur berpura-pura yang ditunjukkan dengan peran yang dibawakan maupun dialog-dialog yang diucapkan. Permainan yang termasuk dalam kelompok ketiga atau permainan yang sarat dengan muatan fisik mencakup permainan yang menggunakan alat maupun tidak. Permainan ini juga kebanyakan berupa kompetisi baik individu, kelompok, maupun tim. Selain ketiga kelompok tersebut juga ditambahkan oleh Bishop & Curtis jenis permainan lain yaitu membuat sesuatu dan mengoleksi sesuatu.
81
Klasifikasi permainan tradisional yang lebih lengkap dikemukakan oleh Lavega (2007) yang membagi permainan tradisional menjadi 4 kategori yang dalam kategori tersebut masih bisa dibedakan menjadi beberapa jenis permainan lagi. Klasifikasinya adalah sebagai berikut: 1) Permainan psikomotor, yaitu permainan yang memerlukan gerakan untuk memainkannya namun tidak menunjukkan adanya komunikasi dalam gerakan tersebut di antara para pemain . Misalnya: yoyo, lompatlompatan, engklek, layang-layang. 2) Permainan kerjasama, yaitu permainan yang membutuhkan kerjasama antara pemain satu dengan pemain lainnya. Misalnya: permainan lingkaran, lompat tali, menari bersama, ataupun permainan yang membutuhkan nyanyian bersama saling bersahutan. 3) Permainan yang mempunyai lawan: a) Satu lawan semua, salah seorang pemain harus menangkap pemain yang lain. b) Satu lawan satu, yaitu terjadi perlawanan satu lawan satu. Ini bisa dibedakan menjadi: ( i ) Perlawanan yang simetris, misalnya: bergulat, bertempur dengan tongkat, saling menendang bola, saling melempar dan menangkap shuttlecock dengan raket kecil. ( ii ) Perlawanan yang tidak simetris, misalnya: ponco c) Semua lawan semua, yaitu perlawanan antar semua pemain. Misalnya: berebut bola, balap karung, 4) Permainan kerjasama-perlawanan
82
a) Tim lawan tim, yaitu perlawanan antar dua tim. Ada 2 kemungkinan, yaitu: (i) Perlawanan yang simetris, misalnya: bentengan, kasti, gobag sodor (ii) Perlawanan yang tidak simetris: misalonya menggiring bendera atau menggelindingkan roda antar tim, saling mengejar antara satu tim dengan tim yang lain b) Satu lawan semua – semua lawan satu, yaitu pada permainan lingkaran berantai,
misalnya: satu pemain yang berdiri di tengah
mencoba untuk menangkap teman-teman yang mengelilinginya ketika mereka bergerak. c) Semua lawan semua, permainan ini terdiri dari beberapa tim yang masing-masing tim ada yang berpartner dan ada yang berlawanan. d) Permainan yang ambivalen, semua pemain bisa menjadi teman atau menjadi lawan dengan kriteria yang tidak jelas. Dengan mendasarkan pada beberapa klasifikasi seperti yang dipaparkan di atas maka hasil identifikasi permainan tradisional yang daitemukan oleh Iswinarti et al (2008) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Permainan satu lawan satu, misalnya: dakon, dam-daman 2) Permainan satu lawan satu atau lebih, misalnya: engklek, bekelan, congklak lidi 3) Permainan satu lawan banyak, misalnya: sepak tekong, cublak-cublak suweng 4) Permainan tim lawan tim, misalnya: bentengan, gobag sodor, gembatan, keng-keng, penteng, dan wak-wak gung.
83
B. Temuan yang Relevan 1. Temuan tentang hubungan antara bermain dan kompetensi sosial Berdasarkan studi
metaanalisis yang dilakukan oleh Iswinarti (2011)
menunjukkan bahwa ada hubungan antara bermain dengan kompetensi sosial. Perolehan nilai r sebesar 0,2196 dibandingkan dengan SD yang telah dikoreksi sebesar 1,0717 menunjukkan bahwa korelasi populasi pada semua studi adalah tidak selalu positif karena nilai r lebih kecil dari 2 kali SD meskipun hasil korelasi tersebut masih berada pada interval antara batas bawah sebesar -0.1819 dan batas atas sebesar 0,6211. Berdasarkan postulat dari Hunter & Schimdt (2004) korelasi populasi dikatakan signifikan dan selalu positif jika angka korelasi yang diperoleh lebih dari 2 SD dan di atas 0. Hasil studi metaanalisis di atas bisa dijelaskan dari kategori bermain dan aspek-aspek yang digunakan dalam kompetensi sosial. Bermain secara umum dikategorikan menjadi bermain sosial dan non sosial (Hughes, 2004; Hurlock, 1993 Papalia et al., 2000; Santrock, 2000). Permainan seperti social pretend play menunjukkan adanya korelasi positif dengan kompetensi sosial (McAloney & Stagnitti, 2009; Uren & Stagnitti, 2009), sedangkan pada beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa solitary play atau bermain sendiri berkorelasi negatif dengan kompetensi sosial (Spinrad et al., 2004; Coplan et al., 2001). .
Jika ditinjau dari kategori permainan maka permainan tradisional yang
akan digunakan dalam penelitian ini merupakan permainan yang bersifat sosial. Menurut Hurlock (1993) bermain sosial adalah kegiatan bermain yang melibatkan orang lain. Hasil penelitian Coplan et al (2001) menunjukkan adanya korelasi negatif antara bermain nonsosial dengan kompetensi sosial, demikian juga hasil penelitian Spinrad et al (2004) menunjukkan korelasi negatif antara bermain
84
nonsosial dengan fungsi sosial pada anak prasekolah. Sebaliknya, beberapa jenis permainan yang mengandung unsur sosial menunjukkan korelasi yang positif dengan kompetensi sosial (Gagnon & Nagle, 2004; Quirmbach et al., 2009) maupun dengan penerimaan teman sebaya (Colwell & Lindsey, 2005). Penelitian yang juga mendukung ciri-ciri permainan tradisional yang akan diteliti adalah penelitian tentang pengaruh permainan rough & tumble (R &T play) yang dilakukan oleh Pellegrini (1988; 1993). Permainan R & T mempunyai ciri-ciri yang ciri-ciri tersebut juga ada pada permainan tradisional yaitu dimainkan oleh beberapa anak, mempunyai aturan, dan menggunakan gerakan fisik. Hasil penelitian Pelligrini (1988) menemukan adanya hubungan antara permainan R & T dengan kompetensi sosial pada anak laki-laki yang populer namun tidak pada anak laki-laki yang ditolak. Dalam penelitian yang lain Pelligrini (1993) juga menemukan adanya hubungan antara keaktifan dalam bermain R & T dengan kompetensi sosial pada anak laki-laki tetapi tidak ada hubungan antara frekwensi bermain R & T dengan kompetensi sosial pada anak laki-laki. Penelitian-penelitian tentang peningkatan aspek-aspek dalam kompetensi sosial yaitu problem solving, pengendalian diri, empati, dan kerjasama melalui kegiatan bermain telah dilakukan dan hasilnya sebagian besar menunjukkan adanya pengaruh bermain terhadap kompetensi sosial. Peningkatan kemampuan problem solving melalui bermacam games telah menunjukkan pengaruh yang signifikan (Lowrie, 2005; Pata, Sarapuu, & Lehtinen, 2005; Hong & Liu, 2003; Fiore et al., 2002). Dalam aspek kerjasama, bermain melalui cerita sosial berkorelasi dengan kemampuan kerjasama pada anak normal maupun anak dengan gangguan klinis (Klitzing, Stadelmann, & Perren, 2007). Partisipasi anak dalam permainan olahraga pada anak usia sekolah berkorelasi positif dengan
85
aspek kerjasama dan pengendalian diri (Findlay & Coplan, 2008). Demikian juga penelitian Boot et al (2008) menunjukkan adanya pengaruh bermain video terhadap pengendalian diri. Kemampuan kerjasama dan pertemanan pada anak autis bisa ditingkatkan melalui permainan interaktif (Koegel et al., 2001). Selain penelitian-penelitian tentang pengaruh bermain terhadap problem solving, kerjasama, dan pengendalian diri, beberapa penelitian tentang pengaruh bermain terhadap empati juga telah dilakukan. Penelitian Robinson, Landreth, & Packman (2007) pada 30 anak sekolah dasar yang mengalami kesulitan penyesuaian
menunjukkan adanya peningkatan respon empati setelah
memperoleh filial play therapy training. Hasil yang sebaliknya terjadi pada penelitian Funk et al (2003) yang berdasarkan hasil penelitiannya terhadap 66 anak usia 5-12 tahun memberikan hasil bahwa bermain video games yang bertema kekerasan akan menurunkan empati anak. Berdasarkan gambaran hasil-hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa bermain dengan berbagai variasi bentuk dan jenisnya mempunyai manfaat bagi perkembangan sosial anak. Jenis permainan yang mempunyai pengaruh terhadap kompetensi sosial dan aspek-aspeknya yaitu
problem
solving, pengendalian diri, empati, dan kerjasama adalah permainan yang bersifat sosial dan berbentuk games with rule (permainan dengan aturan). Permainan tradisional merupakan permainan yang berbentuk games yaitu permainan yang mempunyai
aturan dan dimainkan lebih dari satu orang.
Menurut Piaget (dalam Hughes, 2004) permainan yang mengandung aturan mempunyai fungsi belajar untuk pemecahan masalah, mengingat,
berbagi
dengan orang lain, dan mengikuti aturan yang lebih kompleks. Dengan demikian
86
permainan tradisional merupakan permainan yang mempunyai ciri-ciri dapat meningkatkan kompetensi sosial. Beberapa hasil penelitian berdasarkan penelusuran hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa berbagai jenis permainan dapat dijadikan fasilitas maupun media untuk meningkatkan aspek-aspek kompetensi sosial. Namun demikian tidak semua jenis permainan akan dapat dijadikan media untuk meningkatkan kompetensi sosial anak, bahkan hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Anderson et al (2010) terhadap 134 hasil penelitian menemukan bahwa videogames bertema kekerasan berkorelasi positif dengan agresivitas baik agresivitas kognitif, afektif, maupun perilaku dan berkorelasi negatif dengan empati dan perilaku prososial. Menurut Hughes (2004) jenis permainan mempunyai manfaat yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik permainan dan karakteristik anak yang bermain seperti usia, jenis kelamin, dan kapasitas intelektualnya. Di lain pihak, isi permainan yang bertema kekerasan akan berpengaruh terhadap aspek-aspek kompetensi sosial yang negatif seperti agresivitas, tidak empati, dan tidak prososial.
2. Temuan penelitian tentang intervensi untuk meningkatkan kompetensi sosial pada anak Penelitian tentang kompetensi sosial yang dilakukan sebagian besar bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sosial maupun pencegahan timbulnya perilaku bermasalah akibat kompetensi sosial yang rendah. Menurut Bullis, Walker, & Sprague (2001) ada dua tipe intervensi dalam peningkatan kompetensi social yaitu (1) universal dan (2) targeted. Intervensi universal dirancang untuk sejumlah besar subjek penelitian dan bertujuan untuk
87
melakukan pencegahan terhadap perkembangan perilaku yang berisiko. Adapun intervensi targeted digunakan untuk memberi bantuan pada subjek khusus yang mempunyai resiko tinggi. Pengertian tentang istilah universal dan targeted pada prinsipnya sama dengan intilah yang dikemukakan oleh Ammerman & Hersen (1997) yaitu prevensi dan treatment. Dalam prevensi lebih menekankan pada program untuk membangun karakter anak agar dapat meningkatkan kompetensi sosialnya sehingga dapat mencegah terjadinya perilaku-perilaku yang mengarah pada kompetensi sosial yang rendah seperti perilaku agresif, perilaku antisosial, dan perilaku bermasalah lainnya. Menurut Blomm (1996) dimensi utama prevensi primer adalah meningkatkan kekuatan individu. Kategori tujuan intervensi selain prevensi adalah kurasi atau pemberian treatment. Menurut Ammerman & Hersen (1997) pemberian treatmen lebih menekankan pada perubahan perilaku untuk permasalahan psikotatologi dan problem-problem penyesuaian sosial. Berdasarkan review literatur
tentang
intervensi yang banyak digunakan dalam penelitian untuk peningkatan kompetensi sosial anak adalah terapi bermain. Berdasarkan penelusuran literatur hasil-hasil penelitian terdahulu tentang program-program yang diberikan dalam rangka peningkatan kompetensi sosial diperoleh gambaran tentang materi program yang cukup bervariasi. WebsterStratton, Reid, & Hammond (2001) meneliti tentang pencegahan gangguan perilaku dan peningkatan kompetensi sosial melalui training terhadap orang tua dan guru untuk memperkuat protective factors dan mengurangi risk factors pada 272 orang ibu dan guru pada institusi Head Start. Hennessey (2007) menerapkan program OCP (Open Circle Program) yaitu progran intervensi yang membangun siswa, guru, dan administrator untuk belajar berkomunikasi secara praktis, serta
88
keterampilan pengendalian diri dan keterampilan problem solving yang diberikan kepada siswa selama 1 tahun akademik. Program untuk guru berupa fasilitasi selama aktivitas pengajaran computer juga diteliti efektivitasnya oleh Lau et al (2005). Program dalam rangka menyiapkan anak untuk masuk sekolah dasar dan mengembangkan keterampilan sosial melalui interaksi orang tua-anak diteliti oleh Connel & Prinz (2002) dengan subjek penelitian anak Afrika Amerika yang berasal dari ekonomi lemah. Beberapa program tersebut terbukti efektif untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa. Program seperti menari, olah raga, dan bermain fisik juga berhasil untuk meningkatkan kompetensi sosial anak terutama anak yang mengalami gangguan perilaku maupun anak normal yang mengalami kesulitan penyesuaian. Findlay & Coplan (2008) meneliti tentang partisipasi anak dalam kegiatan oleh raga untuk meningkatkan kompetensi sosial anak agresif dan anak pendiam. Lobo & Winsler (2006) melakukan penelitian peningkatan kompetensi sosial anak prasekolah di Head Start melalui program gerakan menari selama 8 minggu dengan jadwal 2 kali seminggu selama 35 menit. Cowell & Lindsey (2005) menggunakan permainan pura-pura dan permainan fisik untuk meningkatkan kompetensi anakanak prasekolah yang mengalami kesulitan belajar dan anak yang mengalami gangguan perilaku untuk berhubungan dengan anak lain. Intervensi melalui pelatihan dalam rangka meningkatkan kompetensi sosial anak juga menjadi alternatif untuk dilakukannya penelitian tentang intervensi kompetensi sosial. Rahill
& Teglasi (2003) menyusun program
peningkatan kompetensi sosial melalui dengan STORIES (Structure/ Themes/ Open Communication/ Reflection/ Individually/ Experiential Learning/ Social Problem solving) untuk anak-anak yang mengalami disabilitas emosional.
89
Program STORIES tersebut juga digunakan oleh Teglasi & Rothman (2001) di dalam kelas untuk mengurangi agresivitas anak sekolah dasar. StantonChapman & Snell (2010) menerapkan program komunikasi sosial dengan teman sebaya untuk meningkatkan keterampilan turn-taking anak yang mengalami disabilitas. Program-program tersebut berhasil meningkatkan kompetensi sosial anak.
3. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan teori experiential learning Kolb & Kolb (2011) telah mendokumentasikan sebanyak 582 referensi
tentang
berbagai
penelitian
maupun
review
yang
menggunakan maupun membahas teori experiential learning yang telah dipublikasikan pada tahun 2006-2011. Berdasarkan referensi tersebut tergambar bahwa teori experiential learning dapat diterapkan dalam berbagai bidang dalam pembelajaran meliputi bidang manajemen, teknik, matematika, sains, kodokteran, keperawatan, dan berbagai bidang lainnya, bahkan juga diterapkan dalam merubah perilaku psikopatologi dan berbagai perilaku dalam industri dan organisasi. Selain menggunakan prinsip
teori experiential learning dalam
berbagai setting penelitian, berbagai penelitian juga menggunakan games atau permainan sebagai simulasi untuk memberi pengalaman kongkrit terhadap subjek penelitian. Beberapa penelitian yang menggunakan permainan sebagai alat simulasi dilakukan oleh Baid & Lambert (2010) yang menggunakan aktivitas humor, permainan dan aktivitas lain yang menyenangkan dalam pendidikan keperawatan dan kelahiran, sementara
90
Bochenneck, Wittekindt, & Thomas (2007) telah melakukan penelitian dalam pendidikan kedokteran dengan menggunakan permainan papan.. Beberapa penelitian dalam manajemen dengan menggunakan permainan juga telah dilakukan pada mahasiswa dan karyawan organisasi (Lewis & Maylor, 2007; Mainemelis & Ronson, 2006; Moore & Ryan, 2006). Penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas
dikenakan
pada subjek orang dewasa. Penggunaan prinsip experiential learning pada anak-anak dalam penelitian masih jarang dilakukan karena dalam proses
experiential
learning
diperlukan
kemampuan
untuk
berpikir
abstrak. Namun demikian, penelusuran literatur oleh peneliti telah menemukan beberapa penelitian yang menggunakan prinsip experiential learning pada anak-anak terutama anak usia sekolah dasar. Alkhateeb & Midji (2009) telah melakukan penelitian tentang gaya dan pendekatan dalam belajar matematika pada anak-anak sekolah dasar selama 3 tahun dengan menggunakan prinsip experiential learning. Penelitian untuk meningkatkan
motivasi
belajar
matematika
dan
sains
dengan
menggunakan program experiential learning juga telah dilakukan oleh Weinberg et al (2011) dengan subjek penelitian siswa-siswa mulai kelas V sampai dengan kelas XII. Penerapan teori experiential learning dalam meningkatkan perkembangan sosial anak usia sekolah dasar telah dilakukan oleh Houck & Stember (2002) yang melakukan penelitian intervensi terhadap anak-anak perempuan yang menarik diri secara sosial. Teglasi & Rothman (2001) juga telah melakukan penelitian intervensi untuk mengurangi perilaku agresif anak kelas IV dan V sekolah dasar dengan menerapkan program STORIES (Structure/Themes/Open
91
Communication/Individuality/
Experiential
Learning
/Social
Problem
solving).
4. Penelitian sebelumnya tentang permainan tradisional yang telah dilakukan Beberapa penelitian pendahuluan tentang permainan tradisional yang telah dilakukan dan dipandang mempunyai sumbangan yang besar terhadap rencana penelitian disertasi ini. Beberapa hasil penelitian
tersebut akan
diuraikan pada sajian berikut. Iswinarti (2005) melakukan studi pendahuluan tentang Permainan Tradisional di Indonesia dan diperoleh sebanyak 43 permainan. Setelah dilakukan identifikasi dan diskusi dengan para informan dari berbagai daerah tersebut akhirnya teridentifikasi sebanyak 23 prosedur permainan karena ternyata beberapa permainan mempunyai kemiripan dalam prosedur namun mempunyai nama yang berbeda ketika dimainkan di daerah yang berbeda. Adapun daerah-daerah asal permainan yang teridentifikasi adalah Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut maka dilakukan analisis terhadap Permainan Tradisional Indonesia yang telah teridentifikasi dengan mendasarkan pada prosedur permainan. Dalam analisis tersebut peneliti melakukan tinjauan permainan
tradisional
dalam
area
perkembangan
kognitif,
sosial,
dan
kepribadian. Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa permainan tradisional yang dilakukan oleh anak-anak di daerah-daerah di Indonesia mempunyai manfaat yang besar dalam perkembangan intelektual, sosial, maupun kepribadian anak.
92
1)
Dalam perkembangan intelektual, permainan tradisional ini dapat
memberi sumbangan bagi kemampuan anak dalam berfikir logis, mengikuti aturan, mengatur strategi,mengikuti aturan permainan yang lebih kompleks, berhitung, ketelitian dan ketepatan, serta kreativitas. 2) Dalam perkembangan sosial, permainan tradisional ini dapat membantu anak untuk bersosialisasi, berkomunikasi, berkompetisi, bekerjasama dengan anak lain, belajar membagi kelompok, dan belajar menjadi pemimpin. 3) Dalam perkembangan kepribadian, permainan tradisional ini dapat meningkatkan harga diri dan rasa percaya diri anak, memberikan kebanggan atas keterampilan yang dimiliki, serta membuat anak bergembira sehingga dapat mengurangi ketegangan emosional yang dialami. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Iswinarti et al. (2007) yang bertujuan melakukan
identifikasi
kebutuhan
anak
akan
permainan
tradisional,
mengidentifikasi kembali permainan tradisional sehingga diperoleh draft nama permainan,
alat
dan
bahan,
prosedur
serta manfaat
psikologis
untuk
perkembangan motorik, kognitif, sosial, emosi, dan kepribadian. Dalam penelitian ini teridentifikasi sebanyak 34 permainan tradisional beserta variasi nama, alat atau bahan, dan prosedur permainan. Nama-nama permainan yang tidentifikasi adalah sebagaimana tersaji dalam Tabel 2. Penelitian dilanjutkan oleh Iswinarti et al (2008) yang menerapkan semua permainan tradisional yang telah teridentifikasi kepada anak-anak rentang usia sekolah dasar untuk memperoleh nilai-nilai kompetensi sosial yang ada pada
93
setiap permainan. Setelah melakukan observasi dan wawancara dengan anakanak pada saat dan setelah bermain ditambah dengan melakukan diskusi ahli Tabel 2 Nama dan variasi nama Permainan Anak Tradisional (Iswinarti et al., 2007)
No
Nama Permainan
Variasi Nama
1.
Batu Taba
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bentengan Bekelan Cician Congklak Lidi Cublak-cublak Suweng Dakon
Maen Taba, Batu Denda, Batu Hantam, Selodokan, Ampar, Bagong, Bek Thor Bateng, Baren, Koko Terek, Asinan, Be’tengan Gatengan, Celekeran -
8. 9. 10.
Dam-daman Dingklik Oglak Aglik Engklek
11..
Enthik
12. 13. 14.
Gembatan Goak-goakan Gobak Sodor
15.. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Haibikase Isutan Jarat Kelereng Keng-keng Ketek karet Kodok-kodokan Landar Lundur Lelade Lompat Tali Maen Kemereh Mpa’a Isi Mangge Pentheng Petak Jongkok
28.
Petak Umpet
29. 30. 31. 32. 33. 34.
Plek-plek Tembako Sepak Tekong Slentik Tepuk Nyamuk Tokyo Wak-wak Gong
Mancala, Khutka Bola, Chuba, Meuseb, Meulieh, congkak, Bajongkoq, kololeh, Mechiwa, Matoe, Sai, Awli, On-nam, Ot-tjin, Dakuan, Galajang, Congkak, Wam, Awari Dengkleng, Engkle, Gejlek, Picis, Gedrik, Inting, Balasam, Bisek, Domprak, Angkreng, Tekenjil, Gobak, Congklak, Ingkling, Aba’an, Sefanggau, Siki Doka, Kesegek, Angklik, Odik, Ebrekan, Asinan/Galaasin, Bendang, Deprok, Gili-gili, Intingan, Sondah, Engkle Bulet, Lempar Batu, Taplak, Tengge-tengge, Cak Lingking, Dengkleng, Teprok, Gedrik, Bak-baan, Bendang, Engkleng, Sonda, Teprok Gunung Benthik, Gatrik, Tokle, Kebon Awi, Maen Kelar, Pathil Lele, Patuk Lele, Gepuk Lele, Penhteng, Jentik, Lontekan Boy, Gebokan, Pal-palan Galah Asin, Blak Sodor, Galasin, Goblak Sodor, Kucing-kucingan, Sodoran, Nakaminak, Kali Kadang, Main Galah, Adang-adangan, Dang-adangan, Selodoran, Selodor, Asin Naga, Basinan, Bahadangan, Baburungan, Galah Asor, Bermain Hadang, Calabur, Hadang Sodor Dongkal, Arul, Pulu-pulu, Majekadari, Tinggo Ulo, Engrang Bathok Wo’wo’an, Nekeran, Potes, Gundu, Pot Gotri, Gogotri Lompat tali karet, Yeye, Main karet, Goro, skipping Kasti Ucing jongkok, Tap jongkok, Tum-tuman, Naga Bonar, Kucingan Pati, Ajakan Tekongan, Inggo, Jelungan, Jemarji, Srigendem, Alip Nukun, Alip Nyuruk, Alip Berondok, Rem-eremdari Kaki Barsatu Tekongan, Sekongan, Petak Umpet, Pak Tekong, Batewah Krempyeng Ular Naga, Sleboran, Sepur-sepuran, Dor Salindor, Wak-wak Gung, Oray-orayan, Jamuran, Krupukan, Teng Bukuk, Tam-tam Duku, Lemon Nipis
94
maka dalam penelitian ini diperoleh gambaran tentang kandungan aspek-aspek kompetensi sosial meliputi problem solving, pengendalian diri, empati, dan kerjasama. Berikut ini tabel ringkasan sumbangan masing-masing permainan terhadap aspek-aspek kompetensi sosial yaitu problem solving, pengendalian diri, empati dan kerjasama. Hasil rangkuman dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan hasil ringkasan analisis pada Tabel 3 disimpulkan bahwa semua permainan tradisional yang telah teridentifikasi mempunyai sumbangan terhadap
kompetensi
sosial
walapun
ada
beberapa
permainan
yang
menyumbang pada beberapa aspek saja. Selanjutnya penelitian Iswinarti et al (2008) tersebut merekomendasikan sebanyak 6 permainan tradisional yaitu bentengan, gembatan, goak-goakan, gobag sodor, penteng, dan wak-wak gong untuk diterapkan dalam rangka meningkatkan kompetensi sosial anak usia kelas IV, V, VI. Ada beberapa alasan mengapa 6 permainan
tersebut yang
direkomendasikan, yaitu: 1) Keenam permainan tersebut mempunyai nilai-nilai dalam seluruh aspek kompetensi sosial yaitu problem solving, pengendalian diri, empati dan kerjasama. 2) Dibandingkan
dengan
permainan
yang
lain
permainan
tersebut
mempunyai durasi waktu dan prosedur yang lebih lama dibandingkan dengan permainan lain sehingga memungkinkan untuk memperoleh gambaran dinamika permainan yang lebih dalam. 3) Permainan tersebut berbentuk kompetisi yaitu tim lawan tim sehingga relevan untuk diberikan pada anak-anak usia sekolah dasar tingkat tinggi.
95
Tabel 3 . Aspek kompetensi sosial dalam Permainan Tradisional (Iswinarti et al., 2008)
NO Nama Permainan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28 29. 30. 31. 32 33. 34.
Batu Taba Bentengan Bekelan Cician Congklak Lidi Cublak2 Suweng Dakon Dam-daman Dingklik Oglak-aglik Engklek Enthik Gembatan Goak-goakan Gobak Sodor Haibikase Isutan Jarat Kelereng Keng-keng Ketek karet Kodok-kodokan Landar-lundur Lelade Lompat Tali Maen Kemwereh Mpa’a isi mangge Penteng Petak jongkok Petak Umpet Plek-plek Tembako Sepak Tekong Slentik Tepuk nyamuk Tokyo Wak-wak Gong
Problem solving
Aspek Kompetensi Sosial Pengendalian Empati Kerjasama Diri
4) Permainan tersebut relatif lebih dikenal oleh anak dibandingkan dengan permainan tradisional lain yang diujicobakan.
96
5. Nilai-nilai pembelajaran kompetensi sosial pada permainan bentengan, gembatan, goak-goakan, gobag sodor, penteng, dan wak-wak gong Penelitian pendahuluan selanjutnya dilakukan oleh peneliti (Iswinarti, 2012) yang mencoba untuk menerapkan keenam permainan tradisional yang direkomendasikan pada penelitian sebelumnya yaitu bentengan, gembatan, goak-goakan, gobag sodor, penteng, dan wak-wak gong kepada sejumlah anak yang sama. Tujuan dilakukannya try out ini untuk mengetahui bagaimana respon anak laki-laki dan perempuan terhadap keenam permainan tersebut serta memperoleh gambaran tentang nilai-nilai pembelajaran kompetensi sosial dalam aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati pada anak usia sekolah kelas empat dan lima SD. Berdasarkan analisis isi terhadap keenam permainan tersebut maka dapat diperoleh gambaran tentang nilai-nilai pembelajaran dalam empat aspek kompetensi sosial seperti diuraikan berikut ini: 1) Aspek problem solving Dalam aspek problem solving ini indikator yang daitemukan dalam analisis adalah pembelajaran kemampuan mengatur strategi, mengambil keputusan, dan resolusi konflik. a) Mengatur stategi Dalam keenam permainan tradisional yang dimainkan anak mengalami pembelajaran untuk mengatur strategi, misalnya: bagaimana anak harus mencari
cara
untuk
membebaskan
”sandera”
dalam
permainan
bentengan, mencari cara untuk mengelabui lawan agar bisa menata kereweng (pecahan genting) pada permainan gembatan, memikirkan cara untuk menembus garis yang dijaga oleh lawan pada permainan gobag
97
sodor, memikirkan cara agar dapat menyentuh lawan sambil mengangkat satu kaki pada permainan keng-keng, memikirkan cara untuk dapat lari melewati pos dan tidak terkena lemparan anak kayu pada permainan penteng, pemain mencari cara agar dapat menangkap anggota kelompok lawan dalam permainan wak-wak gung. b) Mengambil keputusan Pembelajaran untuk mengambil keputusan merupakan salah satu indikator dalam aspek problem solving yang dapat diperoleh dalam 6 permainan tradisional, misalnya: menentukan arah lari agar tidak terkejar musuh pada permainan bentengan, menentukan arah lari agar tidak terkena lemparan bola pada permainan gembatan, menentukan arah lari agar dapat menembus garis pada permainan gobag sodor, menentukan arah kejaran agar dapat menyentuh lawan pada permainan keng-keng, menentukan arah ungkitan kayu agar dapat terlempar jauh dari penjaga dalam permainan penteng, menentukan kelompok mana yang dipilih dalam permainan wak-wak gung. c) Resolusi konflik Dalam keenam permainan kemungkinan akan muncul konflik baik konflik dengan teman sesama satu tim maupun konflik dengan teman di luar tim atau lawan. Misalnya: anak berusaha menyelesaikan perdebatan ketika ada anak yang melanggar aturan, ketika: disalahkan oleh teman satu tim karena menyebabkan timnya kalah anak berusaha untuk menerima kesalahan tersebut,
anak berusaha berdamai (mis: meminta maaf )
ketika menyebabkan temannya celaka (mis:terjatuh, tertubruk, dll), dan anak juga berusaha mendamaikan teman lain yang berseteru.
98
2) Aspek pengendalian diri Aspek pengendalian diri ditunjukkan dalam indikator anak mengikuti aturan, anak dapat membedakan perilaku yang benar dan yang salah, serta anak dapat mengekspresikan emosinya dengan tindakan yang tepat. a) Mengikuti aturan Keenam permainan yaitu bentengan, gembatan, gobag sodor, keng-keng, penteng, dan wak-wak gung mempunyai aturan-aturan tertentu yang ketika anak bermain harus mengikuti aturan-aturan tersebut. Dengan demikian anak akan belajar bagaimana mereka harus menjalankan mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati dan tidak melanggar aturan-aturan tersebut.. b) Membedakan perilaku yang benar dan yang salah Dalam permainan tradisional yang dimainkan anak harus bersedia untuk menerima sangsi ketika melakukan kesalahan. Anak juga harus berbuat sportif saat berbuat kesalahan, misalnya: tersentuh tangan lawan dalam permainan bentengan, gobag sodor, dan wak-wak gung; anak terkena lemparan bola pada permainan gembatan maupun terkena lemparan anak kayu pada permainan penteng. c) Mengekspresikan perasaan dengan tindakan yang tepat Perilaku mengekspresikan perasaan dengan tindakan yang tepat dalam permainan-permainan tradisional yang dimainkan oleh anak ditandai dengan perilaku anak yang tidak terpancing emosinya ketika diledek atau diejek oleh teman dan ketika ada masalah dengan teman satu tim maupun teman dari tim lawan tidak berbuat agresif. 3) Aspek kerjasama
99
Perilaku yang dapat dipelajari anak dalam aspek kerjasama ketika mereka bermain keenam permainan tradisional nampak dalam indikator-indikator sebagai berikut: a) Berinteraksi positif dengan anak lain Pada seluruh permainan yang dimainkan, anak akan berkomunikasi dengan anak lain ketika bermain, misalnya ketika melakukan serangan, mengatur strategi, menyampaikan kecurangan, dan lain-lain. Komunikasi yang disampaikan diharapkan menggunakan kata-kata yang jelas. b) Berbagi gagasan/materi Anak akan belajar menyampaikan ide ketika mereka mengatur strategi. Anak juga dapat memberikan material misalnya berupa bola yang dapat diumpankan kepada temannya dalam permainan gembatan ataupun anak kayu dalam permainan penteng. c) Bekerja dengan anak lain dalam kelompok Memberi dukungan kepada anak lain yang sedang dalam bahaya, misalnya pada permainan bentengan anak akan berusaha untuk menyelamatkan temannya yang disandera musuh, pada permainan gembatan anak berusaha mengecoh lawan agar temannya tidak dilempar bola, pada permainan gobag sodor anak juga berusaha mengecoh lawan agar temannya dapat melewati garis, pada permainan keng-keng anak mengecoh lawan agar temannya tidak jadi tersentuh oleh lawan, pada permainan penteng anak mengecoh lawan agar temannya bisa melewati pos. Dalam semua permainan anak akan belajar untuk berbagi tugas dengan anak lain dalam timnya baik dalam melakukan penyerangan, penyelamatan maupun usaha untuk memenangkan pertandingan.
100
4) Aspek empati Indikator dalam aspek empati adalah sebagai berikut: a) Memahami perasaan, pandangan, dan kondisi anak lain Dalam permainan bentengen anak belajar memahami bagaimana keadaan teman yang disandera lawan sehingga berusaha untuk menyelamatkannya, memahami teman yang akan terkena lemparan musuh dalam permainan gembatan dan penteng, memahami keadaan teman yang akan tersentuh lawan dalam permainan gobag sodor, kengkeng, dan wak-wak gung. b) Turut merasakan apa yang sedang dialami oleh anak lain Indikator ini dapat dipelajari anak ketika anak merasa kasihan terhadap teman
sekelompoknya
yang
disandera
dan
berusaha
untuk
menyelamatkannya dalam permainan bentengan, tidak melempar bola maupun anak kayu kepada lawan dengan keras meskipun ada kesempatan pada permainan gembatan dan penteng,
maupun
menyelamatkan temannya yang akan tersentuh lawan pada permainan gobag sodor, keng-keng, maupun wak-wak gung. Selain hasil penelitian seperti telah dipaparkan di atas, penelitian ini juga memperoleh data tentang bagaimana respon anak terhadap keenam permainan tradisional yang dimainkan. Pada dasarnya semua anak menyukai seluruh permainan yang dimainkan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara kepada anak dapat diketahui bahwa permainan gembatan merupakan permainan yang paling diminati anak, baik anak laki-laki maupun perempuan. Permainan bentengan lebih diminati oleh anak laki-laki sedangkan permainan wak-wak gung lebih banyak diminati oleh anak perempuan. Sementara permainan gobag sodor,
101
keng-keng, dan penteng tidak terlihat adanya perbedaan minat antara anak lakilaki dan anak perempuan terhadap ketiga permainan ini. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara juga diperoleh gambaran bahwa anak-anak lebih merasa nyaman dan senang ketika mereka bermain dengan sesama jenis kelamin dibandingkan jika mereka harus bermain bersama digabung antara anak laki-laki dan perempuan. Penolakan banyak dilakukan oleh anak perempuan. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh anak adalah perempuan adalah: (i) anak laki-laki lebih kuat sehingga tidak seimbang, (ii) anak laki-laki kalau melempar bola terlalu kuat sehingga membuat takut, (iii) anak lakilaki lebih memilih teman laki-laki untuk bekerjasama dibandingkan dengan anak perempuan (iv) anak laki-laki kadang-kadang lebih banyak berguraunya dan lebih sering menggoda sehingga membuat anak perempuan tidak merasa nyaman. Sementara anak laki-laki penolakannya terhadap anak perempuan tidak sebesar penolakan anak perempuan terhadap anak laki-laki. Anak laki-laki hanya mengatakan bahwa mereka lebih nyaman jika bermain dengan sesama jenis kelamin karena kalau bermain digabung dengan anak perempuan akan terjadi ketidakseimbangan. Berdasarkan hasil observasi juga terlihat bahwa permainan menjadi tidak berjalan lancar ketika mereka digabung antara anak laki-laki dan anak perempuan.
6. Peran Jenis Kelamin dalam Hubungan Antara Bermain dan Kompetensi Sosial Faktor jenis kelamin dalam penelitian ini tidak hanya berperan dalam variabel kompetensi sosial melainkan berperan dalam variabel bermain maupun terhadap hubungan antara dua variabel yaitu bermain dan kompetensi sosial.
102
Kebanyakan studi menunjukkan tidak adanya perbedaan jenis kelamin dalam keinginan untuk terlibat dalam perilaku prososial pada anak. Hal ini berarti bahwa baik anak laki-laki maupun anak perempuan mempunyai kapasitas yang sama dalam perilaku prososial (Kostelnik, 2012). Namuin demikian beberapa studi menunjukkan adanya hasil yang berbeda. Anak perempuan lebih sering berpartisipasi dalam perilaku prososial dibandingkan dengan anak laki-laki (Keane & Calkins, 2004; Hastings, Rubin, & DeRose, 2005). Penelitian lain menemukan bahwa ada perbedaan persepsi terhadap kemampuan sosial antara anak laki-laki dan perempuan di sekolah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih banyak mempunyai teman bermain dan berolah raga sementara anak perempuan lebih mempunyai teman dekat (French & Mantzicopoulos, 2007). Hasil penelitian Torres, Cardelle-Elawar, Mena,
& Sanchez (2003) menemukan adanya perbedaan kompetensi sosial
antara anak laki-laki dan perempuan usia 11-12 tahun, yaitu anak laki-laki dinilai oleh guru lebih impulsif sehingga
berhubungan negatif dengan kompetensi
sosial, sementara anak perempuan lebih menunjukkan empati yang lebih tinggi daripada anak laki-laki. Penelitian tentang perbedaan empati antara anak laki-laki dan perempuan juga dilakukan oleh Garaigordobil (2009) dan menemukan hsil yang hampir sama dengan penelitian Torres bahwa anak perempuan lebih tinggi dalam empati dibandingkan anak laki-laki. Hasil ini berlaku untuk berbagai kelompok usia yaitu anak usia sekolah (10-12 tahun) dan remaja awal (12-14 tahun) Beberapa penelitian menemukan bahwa ada perbedaan pengaruh jenis kelamin dalam intervensi peningkatan kompetensi sosial anak. Dalam penelitian Dilworth, Mokrue, & Elias (2002) diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan total
103
seluruh aspek kompetensi sosial yaitu kerjasama, asertivitas, self-control, eksternalisasi, internalisasi, hiperaktivitas, dan akademik antara anak sekolah dasar laki-laki dan perempuan, namun setelah diberi treatment anak perempuan lebih tinggi kemampuan kerjasamanya dibandingkan anak laki-laki. Penelitian Spinrad et al (2004) menunjukkan bahwa ada korelasi negatif antara solitary play dengan regulasi diri pada anak laki-laki tetapi tidak ada korelasi antara keduanya pada anak perempuan. Penelitian tentang kompleksnya peranan jenis kelamin
dalam intervensi kompetensi sosial melalui kegiatan bermain juga
dilakukan oleh Colwell & Lindsey (2005) yang hasil secara keseluruhan adalah sebagai berikut: (1) Bermain secara umum berhubungan dengan kompetensi sosial baik pada laki-laki atau perempuan, tetapi jika ditinjau dari pengaruh berbagai jenis permainan dan dibedakan antara bermain dengan kelompok sesama jenis kelamin dan diberikan secara digabung antara laki-laki perempuan maka hasilnya menunjukkan hasil yang kompleks. (2) Bermain fisik bersama dengan teman sesama jenis kelamin berkorelasi positif dengan kompetensi sosial pada anak perempuan (r = 0,30; p , 0,05) tetapi tidak ada korelasi pada anak laki-laki (r = 0,09; p . 0,05) (3) Bermain rough & tumble bersama dengan teman sesama jenis kelamin tidak berkorelasi dengan kompetensi sosial pada anak perempuan (r = 0,01; p < 0.05) tetapi berkorelasi positif dengan kompetensi sosial pada anak laki-laki (r = 0,28; p < 0,05). (4) Bermain pura-pura dengan sesama teman berjenis kelamin sama berkorelasi positif, baik pada anak perempuan (r = 0,32; p < 0,05) maupun anak laki-laki (r = 0,32; p < 0,05).
104
(5) Bermain fisik bersama dengan teman-teman yang digabung antara anak perempuan dan anak laki-laki hasilnya menunjukkan tidak ada korelasi dengan kompetensi sosial baik pada anak laki-laki maupun anak perempuan, sementara pada permainan rough & tumble yang pemainnya digabung antara anak laki-laki dan perempuan berkorelasi positif hanya pada anak laki-laki saja (r = 30; p < 0,05), sedangkan sebaliknya pada bermain pura-pura yang ketika bermain digabung antara anak laki-laki dan perempuan berkorelasi positif hanya pada anak perempuan saja (r = 0,38; p < 0,05). Berbagai hasil yang beragam tentang peranan jenis kelamin dalam perkembangan sosial anak tidak bisa lepas dari perkembangan bermain pada anak. Berdasarkan berbagai literatur, Kostelnik et al
(2012) menyimpulkan
bahwa makin bertambah usia anak maka bermain makin berbeda secara gender. Minat anak dalam variasi kegiatan bermain dipengaruhi oleh kultur sosial sehingga ada kecenderungan pilihan atas jenis permainan menjadi berbeda antara anak laki-laki dan perempuan seiring dengan bertambahnyan usia. Pada anak usia sekolah menurut Goodwin (2006) baik pada anak laki-laki maupun perempuan terlibat dalam permainan yang kompetitif namun laki-laki cenderung lebih terlibat dalam permainan kompetitif yang terbuka sedangkan anak perempuan lebih lebih memilih permainan yang tidak melukai anak lain karena peran mereka yang berbeda dengan anak laki-laki. Ditinjau dari perkembangan bermain pada anak usia sekolah tingkat akhir maka anak-anak pada usia ini (8-11 tahun) ada kecenderungan untuk bermain bersama teman dengan jenis kelamin yang sama, anak laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain permainan yang kompetitif sedangkan anak
105
perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
bercerita dan
bercakap-cakap dengan teman dekat perempuan (Pastersi, Golombok, & Hines, 2011).Demikian juga Fabes, Hanish, & Martin (2003) menekankan bahwa kelompok teman dengan jenis kelamin yang sama merupakan kekuatan yang potensial untuk sosialisasi pada anak dalam rangka membangun kompetensi sosial karena pada masa ini dinamika kelompok sedang terbentuk. Dengan adanya berbagai variasi tentang peran jenis kelamin terhadap kompetensi sosial, bermain, dan hubungan antara bermain dan kompetensi sosial maka dalam penelitian ini jenis kelamin akan dijadikan variabel moderator. C. Landasan Teori Teori yang menjadi landasan untuk menjelaskan hubungan antara bermain permainan tradisional dan kompetensi sosial adalah teori belajar sosial atau teori kognisi sosial. Bandura (1971) menyatakan bahwa seseorang belajar melalui pengalaman langsung atau melalui observasi. Dalam mengobservasi seseorang dapat mengobservasi dirinya maupun orang lain dalam suatu ruangan yang sama, pada televisi, pada film maupun video. Ketika mengobservasi seseorang akan dipertimbangkan apakah perilaku tersebut memperoleh reward atau punishment.
Seseorang
akan
cenderung
meniru
perilaku
jika
mereka
menyaksikan bahwa perilaku tersebut mendapatkan reward dan akan kurang meniru jika perilaku tersebut memperoleh punishment. Berdasarkan penjelasan tentang teori ini maka isi atau materi permainan yang dialami dan diobservasi oleh anak menjadi penting. Ketika yang dialami dan diobservasi oleh anak adalah video tentang kekerasan maka yang akan ditiru anak adalah perilaku agresif, sedangkan jika yang dialami dan diobservasi oleh anak adalah permainan yang mengandung nilai-nilai sosial maka yang akan ditiru anak adalah perilaku sosial.
106
Bandura determinism.
(1989)
juga
mengemukakan
tentang
konsep
reciprocal
Model ini menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang saling
berinteraksi yang akan mempengaruhi perilaku seseorang yaitu manusia (P = person), perilaku (B = behavior), dan lingkungan (E = Environment). Person merupakan keadaan yang ada pada diri anak meliputi kemampuan kognitif, karakteristik fisik, kepribadian, sikap , dan segala karakter yang melekat pada diri anak. Karakteristik yang ada pada anak akan mempengauhi perilakunya dan sebaliknya perilaku anak dalam menghadapi lingkungan dipengaruhi oleh karakteristik yang ada pada anak. Berkaitan dengan perkembangan kompetensi sosial dalam penelitian ini dapat dijelaskan bahwa kompetensi sosial merupakan kemampuan yang mencakup kognitif, emosi, dan perilaku. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan. Adapun lingkungan yang dapat mempengaruhi anak adalah keluarga, teman sebaya, sekolah, maupun media. Faktor lingkungan ini akan lebih komprehensif jika dijelaskan dengan teori ekologi dari Urie Bronfenbrenner. Teori lain yang juga menjadi landasan dalam melakukan penelitian ini adalah teori perkembangan sosial yang dipayungi oleh teori ekologi dari Urie Bronfenbrenner (1979) yang mengatakan bahwa perkembangan sosial yang membentuk kompetensi sosial pada anak dipengaruhi oleh lingkungan. Implikasi dari teori Bronfenbrenner adalah bahwa kompetensi sosial harus dibentuk melalui proses belajar. Dalam pembelajaran kompetensi sosial anak peran serta orang dewasa, guru, maupun teman menjadi penting. Pengalaman yang dimiliki anak dalam berinteraksi dengan orang lain merupakan pembelajaran untuk membentuk kompetensi sosial. Menurut Kostelnik et al (2012) bermain terutama
107
bermain sosial merupakan konteks dimana anak belajar beberapa kemampuan sosial. Permainan tradisional merupakan permainan sosial. Manfaat permainan tradisional yang termasuk dalam kategori games juga berhubungan dengan karakteristik permainan tradisional yaitu mempunyai aturan, bersifat sosial, dan mempunyai nilai-nilai baik bagi anak. Penjelasan tentang pengaruh bermain terhadap perkembangan anak dapat dijelaskan dengan beberapa teori tentang bermain dan belajar. Piaget (Hastings et al., 2006; Hughes, 2004) menyatakan bahwa
bermain
merupakan
fasilitas
untuk
belajar
pada
setiap
tahap
perkembangan. Pada tahapan sensori motor bayi belajar dari akibat yang ditimbulkan dari gerakannya, pada tahapan permainan simbolis yang terjadi pada masa pra operasional anak belajar berkreasi dengan imaginasinya, pada tahapan games with rules yang terjadi pada masa operasional kongkrit anak belajar problem solving. Vygotsky (dalam Holzman, 2009) mengemukakan bahwa
bermain mempunyai peran yang penting dalam belajar selama
perkembangan sepanjang hidup. Bermain pura-pura dan imaginatif yang terjadi pada masa usia dini serta bermain games with rule pada anak usia sekolah akan diteruskan pada masa dewasa menjadi lebih formal dan profesional. Ahli foklore anak, Sutton Smith (Bishop & Curtis, 2001; Hughes, 2004) juga menekankan peran bermain dalam perkembangan anak dengan penjelasan bahwa bermain merupakan dunia anak dan apa yang terjadi pada saat anak-anak bermain merupakan proses belajar pemecahan masalah yang hasil belajar tersebut akan dapat ditranfer dalam kehidupan nyata. Pemaparan teori-teori tentang bermain dan belajar di atas dapat menggambarkan kesimpulan bahwa di dalam kegiatan bermain anak ada proses belajar yang akan bermanfaat bagi perkembangan
108
anak. Bahkan Singer, Golincoff, & Hirsh-Pasek (2006) menyimpulkan dalam bahwa bermain pada dasarnya sama dengan belajar sehingga dapat menjadi tantangan bagi orang tua dan pendidik untuk menggunakan bermain dalam rangka mengoptimalkan perkembangan kognitif dan sosioemosional anak. Kesepakatan para ahli bahwa manfaat bermain bagi perkembangan anak adalah karena bermain merupakan fasilitas dalam belajar maka dalam penelitian ini mengangkat teori experiential learning untuk menjadi dasar dalam pemberian intervensi kompetensi sosial kepada anak usia sekolah melalui kegiatan bermain permainan tradisional. Teori experiential learning yang dibangun oleh David Kolb merupakan teori belajar yang berhubungan erat dengan praktek (Beard, 2010; Beard & Wilson, 2006). Aplikasi teori ini diterapkan training di berbagai bidang seperti penerapan experiential learning dalam perkembangan keterampilan interpersonal (Silberman, 2007b), perbedaan individu, tim, dan organisasi (O’mara, 2007), perkembangan kepemimpinan (Velsor & Gurvis, 2007), manajemen perubahan (Chisholm & Warman, 2007), pelatihan interkultural (Fowler & Blohm, 2007), dan pelatihan kecerdasan emosional (Hughes, 2007). Meskipun penelitian experiential learning pada anak masih sedikit jika dibandingkan dengan penelitian pada orang dewasa tetapi beberapa peneliti telah menerapkan teori ini pada penelitian untuk anak-anak terutama anak usia sekolah dasar (Alkhateeb & Midji, 2009; Houck & Stember, 2002; Teglasi & Rothman, 2001; Weinberg, et al., 2011). Penggunaan kegiatan bermain sebagai simulasi dalam penerapan teori experiential learning telah dilakukan oleh beberapa peneliti pada subjek orang dewasa (Baid & Lambert, 2010; Bochenneck, Wittekindt, & Thomas, 2007; Lewis & Maylor, 2007; Mainemelis & Ronson, 2006; Moore
109
& Ryan, 2006) dan pada subjek anak-anak (Houck & Stember, 2002; Teglasi & Rothman, 2001). Fungsi bermain dalam experiential learning merupakan simulasi untuk memberikan pengalaman kepada individu yang belajar (Oblinger, 2006; Silberman, 2007a). Permainan ini tidak sekedar untuk memperoleh kegembiraan tetapi merupakan permainan yang serius yang mengandung strategi dan problem solving serta mempunyai tujuan (Kim, Park, & Baek, 2009; Marsh, 2011). Jika dikaitkan
dengan
rencana
penelitian
dengan
menggunakan
permainan
tradisional sebagai simulasi, maka permainan tradisional seperti bentengan, gembatan, goak-goakan, gobag sodor, pentheng, dan wak-wak gong merupakan permainan yang mengandung strategi dan problem solving serta mempunyai nilai-nilai yang dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Mengingat bahwa dalam penelitian ini permainan tradisional yang akan digunakan sebagai treatment adalah permainan gembatan maka berikut ini akan diuraikan nilai-nilai pembelajaran kompetensi sosial yang ada dalam permainan tradisional gembatan. Menurut Iswinarti (Nopember, 2012) kandungan nilai-nilai pembelajaran kompetensi sosial yang terdapat dalam permainan tradisional gembatan mencakup nilai problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. Dalam aspek problem solving anak akan belajar mengatur strategi seperti mengatur agar lemparan bola mengenai tumpukan kereweng, mengambil keputusan seperti memutuskan arah lari supaya tidak dilempar bola, serta resolusi konflik ketika anak berusaha menyelesaikan perdebatan ketika ada anak yang melanggar aturan. Dalam aspek pengendalian diri anak akan belajar mengikuti aturan-aturan permainan gembatan yang disepakati, anak bersedia menerima sangsi ketika berbuat salah, serta dalam mengekspresikan emosi tidak
110
dengan perbuatan agresif. Dalam aspek kerjasama anak akan belajar berinteraksi positif dengan anak lain dengan cara berkomunikasi yang baik, anak akan belajar berbagi dengan anak lain seperti memberi umpan bola kepada teman satu timnya, anak juga akan belajar bekerja dengan anak lain dalam kelompok seperti berbagi tugas dengan anak lain untuk memperoleh kemenangan. Dalam aspek empati anak akan belajar memahami perasaan, pandangan, dan kondisi anak lain seperti memahami temannya yang terkena lemparan bola, dan juga anak akan belajar untjuk turut merasakan apa yang sedang dialami oleh anak lain seperti temannya yang terkena lemparan bola. Gambaran tentang nilai-nilai pembelajaran kompetensi sosial di atas menunjukkan bahwa permainan tradisional merupakan permainan yang mempunyai nilai-nilai pendidikan dan dapat dijadikan simulasi dalam proses belajar melalui pengalaman atau experiential learning. Mengingat bahwa permainan tradisional yang telah teridentifikasi ini berbentuk games yaitu permainan yang membutuhkan aturan maka permainan ini lebih sesuai jika diterapkan kepada anak usia sekolah dasar . Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Hughes, 2004; Monks et al., 2000) bahwa anak usia sekolah sudah mempunyai kemampuan untuk berfikir logis dan mengikuti aturan-aturan dalam bermain. Dalam proses experiential learning anak akan mengikuti proses yang berbentuk siklus yang dimulai dengan pengalaman kongkrit, refleksi dari observasi yang dilakukan, membuat konsep tentang hasil refleksi, melakukan tes terhadap konsep tersebut, dan akhirnya menerapkannya ke dalam pengalaman yang baru (Kolb, 1984; Zigmont, Kappus, & Sudikoff,
2011). Ketika anak
bermain permainan tradisional maka anak akan memperoleh pengalaman
111
kongkrit. Dengan bantuan fasilitator anak akan merefleksi pengalaman tersebut dan memberi makna terhadap apa yang telah dialami, dan selanjutnya anak akan menerapkannya dalam pengalaman yang baru. Dengan demikian, melalui proses experiential learning nilai-nilai kompetensi sosial yang terkandung dalam permainan tradisional akan direfleksikan dan diberi makna oleh anak sehingga berikutnya dapat diterapkan dalam perilaku sosial yang sebenarnya. Kolb (1984) menjelaskan apa yang terjadi dalam proses ini adalah karena terjadi transformasi belajar dari pengalaman ke dalam pengalaman yang baru. Lingkaran proses experiential learning dalam proses belajar kompetensi sosial anak melalui permainan tradisional dapat digambarkan sebagaimana tersaji dalam Gambar 4.
Anak mengalami bermain tradisional
Anak dibantu fasilitator merefleksikan nilainilai kompetensi sosiaL
Anak melakukan uji coba pengalaman baru dalam kompetensi sosialnya
Anak memperoleh makna terhadap pengalamannya
Gambar 4: Siklus Proses Experiential Learning Melalui Permainan Tradisional (Dimodifikasi dari Kolb, 1984; Zigmont et al., 2011). Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa permainan tradisional gembatan mengandung nilai-nilai pembelajaran yang dapat dijadikan
112
simulasi untuk meningkatkan kompetensi sosial anak. Dengan metode experiential learning anak akan memperoleh kesempatan untuk merefleksikan pengalamannya bermain dengan bantuan dari fasilitator sehingga anak dapat memperoleh makna pembelajaran nilai-nilai kompetensi sosial. Dalam proses experiential learning ini anak akan memperoleh pengalaman bermain tradisional yang berfungsi sebagai simulasi pengalaman belajar. Dengan adanya refleksi dan pemaknaan terhadap pengalaman bermain permainan tradisional maka nilainilai kompetensi sosial yang terkandung di dalam permainan tersebut akan ditranformasikan ke dalam pengalaman anak dalam kehidupan yang nyata. Metode experiential learning pada anak ini akan diberikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan karena diduga terjadi perbedaan besar kecilnya pengaruh program bermain ini terhadap kompetensi sosial antara anak laki-laki dan anak perempuan. Meskipun berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (Iswinarti, 2012) gembatan
merupakan permainan yang paling diminati oleh
anak laki-laki maupun perempuan, tetapi jika ditinjau dari karakteristik anak lakilaki dan perempuan kemungkinan pengaruh permainan tersebut dapat berbeda. Menurut Kostelnik et al (2012) semakin bertambah usia anak maka bermain akan makin berbed secara gender. Pada anak usia sekolah menurut Goodwin (2006) anak laki-laki lebih terlibat dengan aktivitas fisik dan kompetitif, sedangkan anak perempuan kurang keterlibatannya dalam aktivitas fisik dan kompetitif. Mengingat permainan
tradisional
gembatan
merupakan
permainan
kompetitif
dan
melibatkan aktivitas fisik maka diduga pengaruh permainan tradisional dengan metode experiential learning ini lebih besar pengaruhnya terhadap peningkatan kompetensi sosial pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan. Bagan yang menggambarkan kerangka penelitian disajikan dalam Gambar 5.
113
Permainan Tradisional tanpa melalui metode Experiential Learning
Permainan Tradisional melalui metode Experiential Learning
Tidak memperoleh perlakuan Permainan Tradisional
Jenis Kelamin
Kompetensi Sosial
Gambar 5. Kerangka Penelitian
D. Hipotesis Berdasarkan kerangka penelitian di atas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Ada pengaruh permainan tradisional dengan metode experiential learning dan tanpa metode experiential learning terhadap kompetensi sosial anak dan aspek-aspek kompetensi sosial yaitu problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. a) anak yang memperoleh perlakuan permainan tradisional dengan metode experiential learning peningkatan kompetensi sosial dan aspek-aspeknya lebih tinggi dibandingkan anak yang memperoleh perlakuan permainan tradisional tanpa metode experiential learning dan anak yang tidak memperoleh perlakuan permainan tradisional..
114
b) anak yang memperoleh perlakuan permainan tradisional tanpa metode experiential learning peningkatan kompetensi sosial dan aspek-aspeknya
lebih
tinggi
dibandingkan
anak
yang
tidak
memperoleh perlakuan permainan tradisional. 2. Jenis kelamin memoderasi pengaruh permainan tradisional dengan metode experiential learning dan tanpa metode experiential learning terhadap kompetensi sosial dan aspek-aspek kompetensi sosial meliputi problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. Anak laki-laki lebih mengalami peningkatan kompetensi sosial dibandingkan anak perempuan.
115
BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian Variabel-variabel yang akan diikutsertakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel Eksperimental
: Permainan Tradisional
a. Diberikan melalui metode experiential learning b. Diberikan tanpa metode experiential learning 2. Variabel Terikat
: Kompetensi sosial
3. Variabel Moderator
: Jenis kelamin
Variabel-variabel penelitian yang diidentifikasi di atas dapat didefinisikan secara operasional sebagai berikut:
1. Permainan Tradisional Dalam penelitian ini permainan tradisional yang dimainkan adalah permainan gembatan (atau gebokan atau pal-palan atau boy-boy an
atau
ganevo atau sepak kereweng) yaitu permainan yang dimainkan oleh 8-12 anak, menggunakan bola kasti atau sejenisnya dan kereweng (pecahan genting) atau sejenisnya. Dalam melakukan permainan gembatan kelompok dibagi menjadi dua tim yang secara bergantian menjadi tim pemain dan tim penjaga yang akan berkompetisi untuk memenangkan pertandingan. Tim yang menjadi pemain bertugas merubuhkan tumpukan kereweng dan menatanya kembali. Tim yang menjadi penjaga bertugas menghalangi tim pemain menata kembali kereweng dan mematikan tim pemain dengan cara melempr bola ke arah tubuh lawan.
116
Anggota tim pemain yang anggota tubuhnya terkena lemparan bola (kecuali kepala) dikatakan “mati” yaitu harus berdiri di pinggir arena permainan sampai terjadi pergantian status tim. Tim pemain dikatakan menang dan akan memperoleh skor satu ketika berhasil menata kereweng. Dalam penelitian ini permainan gembatan dilakukan oleh kelompok yang terdiri dari 10 anak dengan jenis kelamin yang sama. Adapun bola yang digunakan dalam permainan adalah bola tenis berwarna hijau muda serta kereweng yang digunakan adalah cetakan “uang-uangan” dari tanah liat berbentuk bulat pipih dengan diameter 7 cm. a. Permainan tradisional dengan metode experiential learning adalah pemberian perlakuan kepada anak berupa kegiatan bermain permainan tradisional gembatan yang dipandu oleh fasilitator disertai dengan kegiatan refleksi terhadap pengalaman anak
saat melakukan kegiatan bermain. Tujuan
kegiatan adalah untuk memberikan pelatihan kompetensi sosial melalui penanaman nilai-nilai kompetensi sosial melalui refleksi pengalaman anak dalam bermain permainan gembatan. Kegiatan dilakukan dalam enam sesi yang dimulai dengan perkenalan antara anak dengan fasilitator dan observer, penjelasan permainan, simulasi, dan evaluasi permainan (sesi 1); simulasi permainan
dan
refleksi
terhadap
pengalaman
bermain
anak
serta
pembelajaran kompetensi sosial (sesi 2); simulasi permainan dan refleksi untuk pembelajaran aspek-aspek kompetensi sosial untuk diterapkan pada permainan selanjutnya (sesi 3); menonton tayangan video hasil permainan pada sesi sebelumnya dan refleksi terhadap tayangan (sesi 4); simulasi dan pembelajaran empati dan refleksi untuk penerapan pembelajaran kompetensi sosial dalam kehidupan nyata (sesi 5); dan permainan sesi terakhir disertai
117
refleksi terhadap keseluruhan sesi permainan dan saling memberi penilaian terhadap tim lawan (sesi 6). Dalam setiap sesi diawali dengan ice breaking. Sesi 1-3 diberikan pada hari pertama dan sesi 4-6 diberikan pada hari kedua. Setiap sesi memakan waktu sekitar 60 menit mulai dari pengantar, ice breaking, bermain gembatan, istirahat, dan refleksi. Untuk selanjutnya permainan tradisional melalui metode experiential learning disebut dengan BERLIAN (Bermain-ExpeRiential-LearnIng-ANak) b. Permainan tradisional tanpa metode BERLIAN (selanjutnya disebut metode NON BERLIAN) adalah pemberian perlakuan kepada anak berupa kegiatan bermain perminan tradisional gembatan yang dipandu oleh fasilitator tetapi tidak memperoleh fasilitasi untuk merefleksikan pengalamannya. Kegiatan dilakukan dalam enam sesi yang dimulai dengan perkenalan, penjelasan permainan, simulasi, dan evaluasi permainan pada sesi 1 dan dilanjutkan dengan melakukan permainan gembatan pada sesi 2, 3, 5, dan 6. Kegiatan pada sesi 4 adalah menonton tayangan video hasil permainan pada sesi sebelumnya. Dalam setiap sesi diawali dengan ice
breaking. Sesi 1-3
diberikan pada hari pertama dan sesi 4-6 diberikan pada hari kedua. Setiap sesi memakan waktu sekitar 40 menit mulai dari pengantar, ice breaking, bermain gembatan, istirahat. Perbedaan waktu antara BERLIAN dan non BERLIAN terletak pada diberikannya refleksi pada kelompok
BERLIAN
sedangkan pada kelompok NON BERLIAN tidak memperoleh refleksi. 2. Kompetensi Sosial Kompetensi sosial adalah kemampuan anak untuk melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan tuntutan sosial sehingga dapat berhasil dalam melakukan penyesuaian sosial yang mencakup kemampuan kognitif, emosional, dan
118
perilaku dalam berhubungan dengan orang lain. Kompetensi sosial dalam penelitian ini terdiri dari aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama dan empati dalam berhubungan dengan teman sebaya. a. Problem solving adalah kemampuan anak dalam memecahkan masalah mencakup sub aspek mengatur strategi, mengambil keputusan, dan melakukan resolusi konflik dalam tugas sehari-hari anak dalam kegiatan yang berhubungan dengan teman. b. Pengendalian diri adalah kemampuan anak dalam mengendalikan perilaku diri untuk dapat berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial yang mencakup sub aspek mengikuti
aturan, membedakan perillaku yang
benar dan salah, dan mengekspresikan perasaan dengan tindakan yang tepat dalam kehidupan keseharian anak dalam berhubungan dengan teman. c. Kerjasama adalah kemampuan anak dalam bekerja dengan anak lain dalam satu kelompok yang meliputi sub aspek berinteraksi positif dengan anak lain, bersedia untuk berbagi gagasan atau material kepada anak lain, dan mampu bekerja dengan anak lain dalam kelompok. d. Empati adalah kemampuan anak untuk mengambil perspektif orang lain secara kognitif maupun emosional mencakup sub aspek memahami perasaan, pandangan, dan kondisi anak lain dan turut merasakan apa yang sedang dialami oleh anak lain. Dalam penelitian ini kompetensi sosial diukur dengan skala kompetensi sosial yang diberikan kepada anak. Aitem dalam skala berbentuk cerita singkat tentang persoalan yang menggambarkan kehidupan sehari-hari anak. Dalam aitem disediakan tiga pilihan jawaban atas persoalan yang disajikan yang
119
mencerminkan tingkatan kompetensi sosial, yaitu kompetensi sosial tinggi yang memperoleh skor 3, kompetensi sosial dengan derajat yang lebih rendah memperoleh skor , dan tidak mencerminkan kompetensi sosial. Semakin tinggi hasil skor skala kompetensi sosial maka semakin tinggi kompetensi sosial yang dimiliki anak, sebaliknya semakin rendah hasil skor skala kompetensi sosial maka makin rendah kompetensi sosial yang dimiliki anak. 3. Jenis kelamin Jenis kelamin adalah identitas yang dibedakan menjadi laki-laki atau perempuan seperti yang dinyatakan anak dalam angket identitas. B. Subjek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah anak usia sekolah (school age children) atau anak yang berada pada masa anak-anak akhir atau late childhood dan duduk Sekolah Dasar di kabupaten Malang. Jika ditinjau dari usia maka anak kelas 5 sekolah dasar kebanyakan berada pada masa anak-anak akhir
Usia yang termasuk kategori masa anak-anak akhir
adalah 8-11 tahun (Kostelnik, 2010; Pasterski, Golombok, & Hines, 2011; Santrock, 2000). Adapun dipilihnya anak-anak yang berada pada masa anakanak akhir adalah karena masa ini merupakan masa transisi untuk memasuki masa remaja sehingga menjadi penting untuk mempunyai kompetensi sosial yang tinggi agar dapat menghadapi tantangan permasalahan
pada masa
remaja. Adapun kriteria inklusi dari subjek penelitian adalah anak yang tidak mengalami disabilitas perkembangan dan tidak mempunyai penyakit berat atau sedang dalam kondisi sakit.
120
Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menentukan sekolah yang akan dilibatkan penelitian. Ada enam sekolah yang terlibat dalam penelitian ini yaitu SD MUH 8, SD MA 1, SD MA 3, SD LDG 1, SD DR 1, dan SD TG. Sekolah-sekolah tersebut merupakan sekolah dasar yang berada di lokasi sekitar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Alasan melibatkan sekolah tersebut adalah kemudahan dalam hal teknis ketika harus membawa anak-anak tersebut ke tempat penelitian yaitu UMM. 2. Menentukan sekolah dalam kelompok eksperimen I, eksperimen II, dan
kontrol. Penentuan kelompok
berdasar urutan waktu kesediaan sekolah
dalam mengikuti penelitian dengan mempertimbangkan jumlah siswa. 3. Menentukan subjek yang akan dilibatkan dalam eksperimen. Dalam menentukan subjek yang dilibatkan dalam eksperimen didasarkan pada prosedur berikut: a.
Mengidentifikasi subjek yang tidak termasuk dalam kriteria inklusi untuk tidak diikutsertakan dalam kelompok eksperimen dan dimasukkan dalam kelompok outsider. Kelompok outsider adalah kelompok yang terdiri dari anak-anak yang tidak dijadikan subjek penelitian tetapi mengikuti kegiatan bermain.
b. Mengurutkan skor pretes mulai dari yang paling rendah ke yang paling tinggi untuk masing-masing jenis kelamin. c. Mengambil 10 anak untuk masing-masing kelompok jenis kelamin dimulai dari urutan terendah untuk dijadikan kelompok eksperimen. Prosedur ini juga berlaku untuk kelompok kontrol.
121
b. Menggabungkan anak yang tersisa dengan anak yang tidak masuk dalam kriteria inklusi ke dalam kelompok outsider. Kelompok outsider
akan
mendapatkan perlakuan yang hampir sama dengan perlakuan yang diterima oleh kelompok eksperimen dengan mempertimbangkan kondisi anak. Kelompok ini dibuat untuk pertimbangan etika atas kesepakatan dengan pihak sekolah dan tidak diikutkan dalam analisis data.
KLP. EKSPERIMEN I
KLP.EKSPERIMEN II
SD MUH 8 kls A (N=30) SD MUH 8 kls B (N=32) SD MA 1 (N=31)
SD LDG I (N=47) SD MA 3 (N=31)
KLP I (N-L=10; N-P=10) KLP II (N-L=10; N-P=10) KLP III (N-L=10; N-P=10) Outsider: (N=33)
KLP I (N-L=10; N-P=10) KLP II (N-L=10; N-P=10) KLP III (N-L=10; N-P=10) Outsider: (N=18)
N yang dianalisis: Laki-laki = 28 Perempuan = 28
N yang dianalisis: Laki-laki = 28 Perempuan = 28
N keseluruhan yang dianalisis: 168 Laki-laki = 84 Perempuan = 84 Gambar 6. Flowchart Penentuan Subjek Penelitian
KLP. KONTROL SDN TG (N=54) SD DR (N=31)
N yang dianalisis: Laki-laki = 28 Perempuan = 28
122
C. Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan penelitian eksperimen yaitu penelitian yang dilakukan dengan memanipulasi suatu perlakuan sehingga memungkinkan terjadinya perubahan perilaku yang disebabkan oleh manipulasi. Dalam penelitian ini bentuk rancangan eksperimen yang digunakan adalah kuasi eksperimen karena dalam penentuan subjek dalam kelompok eksperimen I, kelompok eksperimen II, dan kelompok kontrol tidak dilakukan secara random. Tabel 4. Rancangan Penelitian Eksperimen Tentang Pengaruh Permainan Tradisional dengan Metode BERLIAN Untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial
Kelompok Eksperimen I Eksperimen II Kelompok control
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Pelaksanaan Penelitian O-1 O-1 O-1 O-1 O-1 O-1
X1 X1 X2 X2 -
O-2 O-2 O-2 O-2 O-2 O-2
Keterangan: O-! = Pengukuran pretes kompetensi sosial O-2 = Pengukuran postes kompetensi sosial X1 = Pemberian permainan tradisional dengan metode BERLIAN X2 = Pemberian permainan tradisional tanpa metode BERLIAN Rancangan penelitian eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah multiple treatments and control with pretest. Rancangan multiple treatments and control with pretest menurut Shadish, Cook, & Campbell (2002) merupakan suatu rancangan eksperimen yang memberikan lebih dari satu treatment dan melibatkan kelompok kontrol. Rancangan ini juga merupakan gabungan dari within subject design dan between subject design. Untuk within subject design subjek penelitian diukur perubahan kompetensi sosial dari pretes ke postes, sedangkan untuk between subject design pengukuran kompetensi
123
sosial subjek penelitian dibandingkan antara kelompok eksperimen I, eksperimen II, dan antara laki-laki dan perempuan. Dalam Tabel 4 diperoleh gambaran bahwa eksperimen akan dilakukan dalam beberapa prinsip sebagai berikut: (1) Melakukan pretes kepada subjek penelitian yaitu pada kelompok eksperimen I, eksperimen II, dan kontrol. (2) Melakukan perlakuan X1 yaitu permainan tradisional melalui metode BERLIAN kepada kelompok eksperimen I, X2 yaitu permainan tradisional tanpa metode BERLIAN kepada kelompok eksperimen II, dan tidak memberikan perlakuan kepada kelompok kontrol. (3) Melakukan postes kepada kelompok eksperimen I, eksperimen II, dan kelompok kontrol. (4) Melakukan perlakuan X1 kepada kelompok kontrol setelah terbukti bahwa perlakuan X1 dapat meningkatkan kompetensi sosial . Dalam penelitian ini juga akan diperoleh data hasil observasi dan wawancara selama kegiatan berlangsung sehingga dapat memperkaya hasil penelitian serta memberi tambahan masukan untuk menjelaskan hasil penelitian.
D. Prosedur Penelitian Penelitian ini akan dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Persiapan penelitian Dalam persiapan penelitian beberapa hal yang dilakukan adalah: a. Menyusun dan melakukan uji coba permainan tradisional dengan metode BERLIAN dan tanpa metode BERLIAN
124
(1) Menentukan permainan yang akan digunakan dalam penelitian (2) Menyusun modul permainan tradisional dengan metode BERLIAN (3) Menyusun modul permainan tradisional tanpa metode BERLIAN (4) Melakukan uji coba awal modul (5) Melakukan evaluasi dan review terhadap modul (6) Melakukan seleksi fasilitator, observer, dan panitia (7) Melakukan training untuk fasilitator (8) Melakukan briefing untuk observer dan panitia b. Menyusun dan melakukan uji coba alat ukur kompetensi sosial c. Menentukan lokasi penelitian d. Menentukan subjek penelitian e. Melakukan ijin dan kontrak penelitian
2. Pelaksanaan penelitian Penelitian dilaksanakan melalui beberapa prosedur berikut ini: a. Menentukan kelompok eksperimen I, kelompok eksperimen II, dan kelompok kontrol. b. Melakukan pretest kompetensi
sosial untuk kelompok eksperimen I.
eksperimen II, dan kontrol. c. Melakukan eksperimen yaitu memberi perlakuan kepada kelompok eksperimen I dan eskperimen II. d. Melakukan postest kompetensi sosial kepada kelompok eksperimen I, kelompok eksperimen II, dan kelompok kontrol. e. Melakukan
analisis
data
untuk
mengetahui pengaruh
permainan
tradisional dengan metode BERLIAN terhadap kompetensi sosial. Analisis
125
data dilakukan dengan membandingkan gain score pretes postes antara kelompok eskperimen I, eksperimen II, dan kontrol. f.
Memberikan perlakuan kepada kelompok kontrol berupa permainan tradisional dengan metode BERLIAN karena
pada eksperimen
sebelumnya terbukti berpengaruh dalam menaikkan kompetensi sosial.
E. Pengukuran 1. Alat ukur kompetensi sosial a. Penyusunan skala kompetensi sosial Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur berupa skala kompetensi sosial. Skala ini akan diberikan kepada subjek penelitian pada saat pretes dan postes. Skala kompetensi sosial terdiri dari 4 aspek yaitu kemampuan problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. Aspek-aspek maupun sub aspek skala kompetensi sosial mengacu pada beberapa teori sebagaimana telah dipaparkan pada BAB II. Adapun ringkasan acuan referensi yang digunakan dalam penyusunan alat ukur ini dapat diringkas pada Tabel 5. Pada Tabel 6 disajikan blue print skala kompetensi sosial disertai dengan aspek-aspek dan indikator-indikatornya. Alat ukur kompetensi sosial berbentuk cerita singkat tentang kegiatan sehari-hari anak dalam berhubungan dengan teman. Di akhir cerita anak diberi pertanyaan tentang apa yang akan dilakukannya.
Disediakan 3 alternatif
jawaban yang mencerminkan derajat kompetensi sosial anak yaitu jawaban yang menunjukkan kompetensi sosial tinggi, jawaban dengan derajat kompetensi sosial yang lebih rendah, dan jawaban yang tidak menunjukkan komptensi sosial.
126
Adapun skoring untuk penilaian jawaban skala kompetensi sosial ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 5. Acuan teori untuk blue print
Aspek
Acuan
Sub Aspek
Acuan referensi
Problem solving
Bandy & Moore (2011); Fuller (2001); Rashid (2010); Reid, Webster- Stratton, & Hammond (2007); Richardson, Tolson, Huang, & Lee (2009); WebsterStratton (2001)
Mengatur stategi,
Bern (2010); Kostelnik et al.(2012); SemrudCiklemen (2007)
Pengenda- Abdi (2010); Bandy & Moore (2011); Corrigan (2002); Findlay lian diri
Mengikuti aturan,
& Coplan (2008)
Mengambil keputusan, Resolusi konflik
Membedakan perilaku yang benar dan salah;
Smart & Sanson (2003); Crockett & Knoff (2003)
Mengkspresikan perasaan dengan tindakan yang tepat
Kerjasama
Empati
Abdi (2010); Findlay & Coplan (2008); Junttila (2010); Junttila,Vauras, Niemi, & Laakkonen (2012); Klitzing, Stadelman, & Perren (2007); Rydell, Hagekull, & Bohlin (1997)
Berinteraksi positif dengan anak lain;
Abdi (2010); Findlay & Coplan (2008); Junttila (2010); Junttila,Vauras, Niemi, & Laakkonen (2012); Richardson, Tolson, Huang, & Lee (2009); Rydell, Hagekull, & Bohlin (1997); Weare & Gray (2003)
Memahami perasaan, pandangan, dan kondisi anak lain;
Berbagi gagasan/material;
Johnson & Johnson (2009); Smart & Sanson (2003);
Bekerja dengan anak lain dalam kelompok Bern (2010); Smart & Sanson (2003); Garaigordobil (2009)
Turut merasakan apa yang dialami oleh anak lain
Dalam menyusun alat ukur kompetensi sosial ini peneliti dibantu oleh tiga teman sejawat untuk memberikan sumbangan ide dalam membuat cerita yang sesuai dengan kehidupan anak sehari-hari. Dalam membuat alernatif jawaban peneliti juga memberikan cerita tersebut kepada beberapa anak untuk
127
memperoleh beberapa alternatif jawaban yang kemungkinan muncul dari pertanyaan pada cerita tersebut. Tabel.6. Blue print alat ukur kompetensi sosial Aspek Sub Aspek Problem solving
Mengatur strategi
Mengambil keputusan Resolusi konflik
Pengendalian diri
Kerjasama
Mengikuti aturan Membedakan perilaku yang benar dan salah Mengkspresikan perasaan dengan tindakan yang tepat Berinteraksi positif dengan anak lain Berbagi gagasan/material Bekerja dengan anak lain dalam kelompok
Empati
Memahami perasaan, pandangan, dan kondisi anak lain Turut merasakan apa yang dialami oleh anak lain
Indikator
Jumlah
Berusaha menemukan cara mengatasi masalah Memikirkan cara yang paling tepat untuk memecahkan masalah Berpikir dulu sebelum bertindak Menentukan pilihan dengan tepat dan cepat Meminimalisir risiko kesalahan Berusaha berdamai ketika bermusuhan dengan orang lain Menerima pertentangan yang ada tanpa permusuhan Turut serta mendamaikan anak lain yang berseteru Menjalankan aturan-aturan yang disepakati Tidak melanggar aturan-aturan yang disepakati Sportif dalam kegiatan bersama orang lain Kesediaan menerima sangsi ketika melakukan kesalahan Menunjukkan emosi dengan mempertimbangkan keadaan sekitar Tidak berbuat agresif ketika sedang mengalami emosi negatif Dapat berkomunikasi dengan orang lain Memberi perhatian kepada orang lain Menyumbang ide untuk kepentingan orang lain Bersedia memberikan sesuatu yang dimiliki kepada orang lain Memberi dukungan ketika anak lain dalam bahaya Memberi kontribusi terhadap anggota kelompok Berbagi tugas dengan anggota kelompok Mencoba mengerti apa yang sedang dipikirkan anak lain
2 aitem 2 aitem
Mencoba mengerti apa yang sedang dirasakan anak lain Mencoba merasakan apa yang sedang dialami oleh anak lain
3 aitem
Mencoba merasakan apa yang sedang dirasakan anak lain
3 aitem
2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 2 aitem 3 aitem
3 aitem
54 aitem
128
Tabel 7. Penilaian skala kompetensi sosial
Skor 3 2 1
Penjelasan pilihan jawaban Jika subjek memilih jawaban yang menunjukkan kompetensi sosial tinggi Jika subjek memilih jawaban yang menunjukkan adanya kompetensi sosial dengan derajat yang lebih rendah Jika subjek memilih jawaban yang tidak mencerminkan adanya kompetensi sosial.
Langkah kedua setelah aitem skala kompetensi sosial tersusun adalah mencobakan skala tersebut kepada beberapa anak usia sekolah kelas empat, lima, dan enam
sekolah dasar untuk mengetahui apakah kata-kata maupun
kalimat yang disusun dalam alat ukur kompetensi sosial tersebut sudah dipahami oleh anak yang karakteristiknya sesuai dengan subjek penelitian. Langkah selanjutnya adalah melakukan expert judgment yaitu pemberian penilaian oleh beberapa penilai yang kompeten tentang kesesuaian isi dalam aitem dengan definisi operasional dan indikator skala kompetensi sosial. Dalam penelitian ini diminta 12 orang yaitu sarjana psikologi minimal berpendidikan S2 yang banyak berkecimpung dalam
psikologi pendidikan dan perkembangan untuk menilai
apakah aaitem yang ada dalam skala kompetensi sosial esensial bagi operasionalisasi konstrak teoritik. Hasil penilaian tersebut selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus Aiken’s (Azwar, 2012). Hasil perhitungan validitas isi dengan menggunakan rumus Aiken’s dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut koefisien Aiken’s untuk 54 aitem berada di antara interval 0,771 – 0,958. Dengan demikian diketahui bahwa 54 aitem dalam skala kompetensi sosial yang dibuat mempunyai koefisien yang memenuhi syarat untuk dikatakan valid. Data dan hasil perhitungan validitas isi dengan rumus Aiken’s dapat dilihat pada Lampiran 2.
129
Selain melakukan perhitungan validitas isi dengan rumus Aiken’s, peneliti juga melakukan beberapa perbaikan terhadap isi, tata tulis, maupun bahasa yang digunakan dalam penyusunan aitem-atem kompetensi sosial. c. Uji coba dan perhitungan reliabilitas alat ukur kompetensi sosial Uji coba dilakukan untuk memperoleh data tentang reliabilitas alat ukur tersebut. Menurut Netemeyer, Bearden, & Sharma (2003) pengertian reliabilitas mengacu pada seberapa besar pengukuran mempunyai efek yang menetap jika diterapkan pada satu sampel ke sampel lainnya Perhitungan reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan metode internal consistency untuk memperoleh koefisien alpha. Untuk skala baru koefisien alpha disarankan paling sedikit 0,80 (Netemeyer, Bearden, & Sharma, 2003). Uji coba pertama dilakukan di empat Sekolah Dasar yaitu SD MUH 9, SD MUH 1, SD INA, dan SD KTG I sebanyak 325 siswa. Hasil perhitungan reliabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach menunjukkan bahwa jumlah aitem yang mempunyai indeks daya beda ≥ 0,3 hanya sebanyak 28 aitem dan ada satu
sub aspek yang tidak terwakili yaitu sub aspek mengatur strategi.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas juga diperoleh nilai koefisien alpha untuk skala kompetensi sosial sebesar 0,794. Mengingat ada sub aspek yang tidak terwakili oleh aitem dan nilai koefisien alpha yang kurang dari 0,800 maka dilakukan perbaikan terhadap aitem dan dilakukan evaluasi terhadap faktor-faktor yang kemungkinan mempengaruhi terjadinya angka daya beda aitem yang rendah dan koefisien alpha yang kurang dari 0,800. Selanjutnya dilakukan uji coba kedua dengan subjek sebanyak 210 anak kelas lima di tiga sekolah yaitu SD MUH 1, SD INA, dan SD KTG 2. Hasil perhitungan reliabilitas menunjukkan perbaikan nilai koefisien alpha Cronbach
130
dan indeks daya beda aitem. Koefisien alpha Cronbach pada uji coba kedua adalah
0,866.
Berdasarkan hasil uji coba kedua diambil 40 aitem yang
mempunyai indeks daya beda antara 0,236 – 0,590. Menurut Azwar (2012b) indeks daya beda aitem yang disarankan adalah ≥ 0,3 namun jika tidak terpenuhi dapat diturunkan, namun tidak disarankan ≤ 0,2. Langkah
selanjutnya dalam menyiapkan alat ukur kompetensi sosial
adalah membagi skala kompetensi sosial yang ada menjadi dua skala yang setara yang akan digunakan untuk pengukuran pada saat pretes dan postes. Tujuan digunakannya dua skala adalah untuk mengurangi terjadinya efek belajar dalam mengisi skala kompetensi sosial pada saat postes. Cara membagi aitemaitem untuk skala 1 skala 2 adalah sebagai berikut: 1) Memilih aitem-aitem yang mempunyai indeks daya beda di atas 0,225. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh aitem sejumlah 40. 2) Mengidentifikasi jumlah aitem yang tersisa pada setiap indikator. Indikator yang masih mempunyai dua aitem maka aitem akan dibagi ke dalam skala 1 dan skala 2. Jika dalam indikator tersebut hanya tersisa satu aitem maka aitem tersebut akan digunakan dalam kedua skala yaitu skala 1 dan skala 2. Jika kedua aitem yang ada dalam satu indikator gugur semua maka indikator tersebut tidak terwakili oleh aitem. Hasil pembagian aitem ke dalam skala 1 dan skala 2 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. 3) Melakukan perhitungan untuk menguji kesetaraan skala 1 dan skala 2. Menurut Widhiarso (2012) untuk menguji kesetaraan dua alat ukur dilakukan dengan uji beda dan uji homogenitas varians terhadap kedua alat ukur. Pada penelitian ini dilakukan uji t dan uji homogenitas varian skala 1 dan skala 2. Berdasarkan hasil uji t diperoleh hasil nilai t = 1,080 dengan signifikansi
131
sebesar 0,282 yang mempunyai arti kedua skala tidak menunjukkan perbedaan.
Hasil perhitungan homogenitas varians menunjukkan nilai
Lavene = 0,617 dengan signifikansi sebesar 0,433 yang mempunyai arti bahwa skor aitem pada kedua skala homogen. Dengan demikian skala 1 dan skala 2 merupakan alat ukur merupakan alat ukur yang setara. 4) Menghitung reliabilitas skala 1 dan skala 2. Hasil perhitungan estimasi reliabilitas skala kompetensi sosial disajikan pada Tabel 8. Adapun hasil selengkapnya tentang perhitungan reliabilitas skala dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 8. Hasil estimasi reliabilitas skala kompetensi sosial
No. 1 2 4 5
Tahapan uji reliabilitas skala Uji coba pertama Uji coba kedua Skala 1 untuk pretes Skala 2 untuk postes
Jumlah subjek 325 210 210 210
Jumlah aitem 54 54 26 26
Koefisien alpha 0,794 0,866 0,857 0,846
2. Permainan tradisional gembatan dan metode BERLIAN Perlakuan yang akan diberikan dalam penelitian eksperimen ini adalah permainan
tradisional
gembatan
dengan
metode
BERLIAN
(Bermain-
ExpeRiential LearnIng-ANak) yang akan diberikan kepada kelompok eksperimen I dan permainan tradisional gembatan tanpa metode BERLIAN yang akan diberikan kepada kelompok eksperimen II. Dengan demikian unsur-unsur utama yang ada dalam pedoman untuk pelaksanaan penelitian adalah permainan tradisional gembatan, metode BERLIAN, dan penyusunan pedoman beserta unsur-unsur lain yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian seperti fasilitator, observer, panitia, maupun peralatan yang dibutuhkan.
132
a. Permainan tradisional gembatan Permainan tradisional yang digunakan dalam penelitian ini adalah permainan gembatan atau sering disebut juga dengan nama lain yaitu gebokan, pal-palan, boy-boyan, dina boy, sepak kereweng atau ganevo. Permainan ini dipilih sebagai perlakuan dengan beberapa alasan, yaitu: a) Permainan ini merupakan salah satu permainan
yang direkomendasikan
oleh hasil penelitian Iswinarti et al. (2008) dari enam permainan yang direkomendasikan sebelumnya yaitu bentengan, gembatan, gobag sodor, keng-keng, penteng, dan wak-wak gung. Berdasarkan analisis isi yang telah dilakukan oleh Iswinarti (2012) keenam permainan tersebut mempunyai nilainilai kompetensi sosial yaitu problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. b) Pemilihan permainan gembatan didasarkan pada hasil penelitian Iswinarti (2012)
yang
menunjukkan
bahwa
permainan
gembatan
merupakan
permainan yang paling diminati oleh anak baik anak laki-laki maupun anak perempuan dibandingkan dengan 5 permainan lain yang diberikan. c) Mengingat penelitian eksperimen merupakan penelitian yang spesifik maka pemilihan
satu
permainan
sebagai
perlakuan
adalah
untuk
lebih
menspesifikkan perlakuan. Adapun secara garis besar aturan permainan tradisional gembatan mempunyai prinsip sebagai berikut: a) Dimainkan oleh 8 – 12 anak yang dibagi menjadi 2 tim. Dalam penelitian ini ditentukan jumlah pemain adalah 10 anak. b) Alat yang dibutuhkan adalah kereweng (pecahan genting) dan bola kasti atau bola tenis. Pada kondisi tertentu kereweng bisa diganti dengan pecahan
133
keramik, tutup botol, batu pipih, maupun benda lain yang dapat disusun ke atas. Bola kasti juga dapat diganti dengan bola yang dibuat sendiri dari kertas yg dipadatkan dan dibuat menyerupai bola. Menggunakan bola yang dibuat sendiri dari kertas akan mengurangi rasa sakit ketika mengenai badan saat dilempar, tetapi kelemahannya tidak bisa dilempar jauh. Alternatif lain adalah bola plastik. Dalam penelitian ini kereweng yang digunakan adalah uanguangan yang dicetak dengan bahan tanah liat yang biasanya dipakai pada saat “jualan dawet” di pesta siraman ketika hajatan pengantin jawa sebanyak 12 biji.. c) Lapangan dengan luas antara 8-10 m x 12-15 m. Pada penelitian ini luas lapangan ditentukan yaitu 8 x 12 meter. d) Beberapa aturan permainan yang harus ditaati adalah: (1) untuk menentukan pelempar pertama, dua tim diwakili satu orang melakukan suit atau diundi dengan koin; (2) setiap anggota kelompok mendapatkan giliran satu kali melempar bola untuk merobohkan tumpukan genting; (3) pemain tidak boleh melemparkan pada bagian kepala; (4) pemain yang mendapatkan bola tidak boleh berlari hanya boleh melangkah dengan satu kaki saja; (5) apabila ada salah satu anggota kena lemparan bola musuh maka harus keluar dari permainan dan menunggu team anggotanya yang tersisa; (6) para pemain tidak boleh keluar melebihi batas lokasi yang telah ditentukan yaitu dalam area permainan. e) Beberapa prinsip tentang prosedur bermain permainan gembatan adalah: (1) menentukan tim yang menjadi pemain dan tim penjaga;
134
(2) tim pemain akan bermain dengan cara melempar bola ke tumpukan kereweng, jika tumpukan kereweng runtuh maka pemain akan berlari untuk menghindari lemparan bola dari tim penjaga sambil menunggu ketika ada kesempatan untuk menata kembali kereweng yang berantakan, jika kereweng sudah tertata maka tim pemain berteriak “boy” dan mereka menjadi pemenang; (3) tim penjaga bertugas untuk menangkap bola yang dilempar oleh tim pemain pada saat merubuhkan tumpukan kereweng, jika tumpukan telah rubuh maka tim penjaga berusaha menangkap bola dan melempar kepada tim pemain, tim pemain yang sudah terkena lemparan bola tidak boleh bermain lagi pada sesi ini. (4) tim pemain dinyatakan kalah ketika seluruh pemainnya sudah “mati”; (5) jika tim pemain sudah kalah maka tim penjaga akan bergantian menjadi tim pemain. (6) Durasi waktu bermain maupun berapa kali bermain didasarkan pada kesepakatan. Pedoman permainan tradisional gembatan selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran 10. b. Metode BERLIAN (Bermain-ExpeRiential LearnIng-Anak) Prinsip dalam metode BERLIAN adalah memberikan pembelajaran kompetensi sosial kepada anak melalui pengalaman bermain tradisional. Experiential learning yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembelajaran melalui pengalaman. Metode ini didasarkan pada beberapa acuan teori tentang experiential learning (Kolb, 1984; Zogmont et al., 2011) dan experiential learning pada anak (AVEF, 2006; Henderson & Atencio, 2007; Teglasi & Rothman, 2011).
135
Hal yang penting dalam proses experiential learning adalah refleksi. Pada anak hal penting yang harus dipersiapkan untuk memberikan metode experiential learning adalah pentingnya peran fasilitator dalam melakukan proses refleksi sehingga anak dapat lebih terarah dalam memberikan arti terhadap pengalaman, adanya materi yang terstruktur, dan syarat fasilitator yang mempunyai kemampuan untuk membangun kepercayaan anak terhadap dirinya. c. Penyusunan buku pedoman Buku pedoman tentang permainan tradisional dengan metode BERLIAN disusun dengan tujuan untuk menjadi pedoman bagi fasilitator, observer, dan pihak lain yang terlibat dalam melaksanakan tugasnya. Buku pedoman disusun mencakup beberapa isi sebagai berikut: 1) BAGIAN I: Berisi tentang latar belakang dan
alasan-alasan mengapa buku
pedoman ini penting disusun. 2) BAGIAN II: Berisi konsep teoritis tentang permainan tradisional dan experiential learning pada anak yang menjadi dasar teori dalam penyusunan pedoman. Di bagian ini juga ditambahkan tentang hasil uji coba awal penerapan permainan tradisional dengan metode BERLIAN yang juga dipertimbangkan dalam perbaikan penyusunan pedoman. 3) BAGIAN III: Berisi tentang pedoman permainan tradisional gembatan dengan metode BERLIAN. Selain dipaparkan tentang gambaran umum dan peralatan yang dibutuhkan dalam eksperimen, dalam pedoman ini juga disajikan sesisesi perlakuan. Secara singkat enam sesi perlakuan dapat digambarkan sebagai berikut: a) Sesi I
136
Sesi ini merupakan sesi pembuka yang berisi tentang perkenalan, penjelasan permainan gembatan, simulasi permainan, dan evaluasi tentang pelaksanaan permainan. b) Sesi II Pada sesi II dilakukan permainan gembatan dan refleksi tentang pengalaman anak setelah bermain. Pada sesi ini mulai diberikan pembelajaran kompetensi sosial mencakup yaitu pembelajaran problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. c) Sesi III Sesi III merupakan sesi yang di dalamnya dilakukan permain gembatan, evaluasi pembelajaran tentang problem solving (mengatur strategi dan mengambil keputusan) serta pengendalian diri (mengikuti aturan, bertindak sportif, dan mengendalikan emosi). Pada sesi ini juga dilakukan pembelajaran tentang kerjasama dan empati yang akan diterapkan pada sesi selanjutnya. d) Sesi IV Pada sesi IV tidak dilakukan permainan gembatan. Pada sesi ini peserta menonton tayangan video saat peserta bermain pada hari I. Setelah menonton tayangan video selanjutnya dilakukan refleksi terhadap pengalaman peserta selama bermain gembatan berdasarkan tayangan video. Sesi ini juga berisi pembelajaran empati. e) Sesi V Pada sesi ini dilakukan permainan gembatan lagi dan dilanjutkan dengan refleksi terhadap pengalaman peserta saat bermain gembatan tentang apakah peserta masih mengalami kesulitan dalam melakukan permainan
137
dan strategi apa yang dibuat agar dapat bermain lebih baik. apakah peserta telah dapat melakukan perilaku mengikuti aturan, sportif, dan tidak berbuat agresif baik verbal maupun non verbal, dan peran kerjasama, berbagi, saling menolong untuk kemenangan tim. Pada sesi ini peserta juga mendapat refleksi untuk mentransfer pengalaman bermain ke dalam kehidupan nyata. f)
Sesi VI Pada sesi VI peserta melakukan permainan gembatan dan dilanjutkan dengan refleksi terhadap pengalaman peserta yang menjadi lawan saat bermain.
Refleksi dilakukan terhadap seluruh pemain yang dipandu
langsung oleh kedua fasilitator. Peserta melakukan refleksi terhadap keseluruhan pengalaman mulai dari sesi awal sampai sesi terakhir. Peserta jugasaling melakukan penilaian terhadap pengalaman kelompok lawan. Gambaran secara lengkap tentang pedoman permainan tradisional gembatan dengan metode BERLIAN selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10.
d. Uji coba pedoman dan expert judgment Langkah selanjutnya setelah menyusun pedoman permainan tradisional dengan metode BERLIAN adalah melakukan uji coba dan expert judgment. Uji coba pedoman dilaksanakan dua kali. Uji coba pertama dilakukan pada bulan Maret dan April 2013. Pelaksana uji coba adalah tim yang dibentuk oleh peneliti yang akan disiapkan untuk membantu proses penelitian. Dalam uji coba pertama ini dihasilkan perbaikan secara menyeluruh terhadap pedoman pelaksanaan eksperimen. Perbaikan mencakup jumlah sesi, peralatan, jumlah fasilitator,
138
waktu, dan beberapa pedoman teknis. Uji coba diberikan kepada satu kelompok anak laki-laki dan satu kelompok anak perempuan yang masing-masing terdiri dari 10 anak. Uji coba pertama ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari fasilitator, calon koordinator penelitian, observer dan dipantau langsung oleh promotor. Setelah dilakukan perbaikan terhadap pedoman kemudian dilakukan expert jugdment yaitu penilaian oleh para ahli tentang kelayakan pedoman tersebut untuk dilaksanakan. Dalam langkah ini peneliti meminta kepada beberapa dosen yang penelitian eksperimen, permainan tradisional, dan perkembangan anak untuk memberikan penilaian, koreksi, dan komentar agar pedoman layak untuk diberikan kepada subjek penelitian. Ada lima ahli yang memberikan penlaian yaitu: (1) Prof. Dr. Tina Afiatin, (2) Dr. Nanik Prihartanti, (3) Dr. Taufik, (4) Dr. Latipun, (5) Dr. Srisiuni Sugoto. Dalam penilaian tersebut para ahli memberikan skor terhadap aspekaspek yang dinilai sekaligus memberikan masukan dan komentar terhadap pedoman yang disusun. Dalam tiap aitem disediakan lima pilihan dari sangat sesuai, sesuai, agak sesuai, tidak sesuai, dan sangat tidak sesuai. Berdasarkan hasil penilaian tesebut selanjutnya dilakukan perhitungan validitas isi dengan rumus Aiken’s. Hasilnya menunjukkan bahwa koefisien Aiken’s berkisar antara 0,80 – 0,95. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan penilaian para ahli maka pedoman permainan traisional gembatan dengan metode BERLIAN dinilai valid secara isi. Hasil perhitungan validitas isi dapat dilihat dalam Lampiran 9. Langkah selanjutnya adalah melakukan uji coba kembali pedoman yang sudah direvisi. Uji coba dilakukan kepada dua kelompok yang terdiri dari satu kelompok anak laki-laki dan satu kelompok anak perempuan yang masing-
139
masing kelompok terdiri dari 10 anak. Pelaksanaan uji coba pada tanggal 20-21 Mei 2013. Uji coba dilakukan selama dua hari sesuai dengan pedoman yang disusun. Dalam uji coba kedua ini sudah tidak banyak dilakukan perubahan dari sisi konten/isi pedoman. Beberapa perubahan dilakukan menyangkut persiapan teknis di lapangan nantinya.
e. Fasilitator Dalam experiential learning fasilitator bertugas untuk memimpin kegiatan, memandu refleksi dan memunculkan antusiasme. Dalam memimpin
setiap
kegiatan fasilitator bertugas memberikan kisi-kisi pedoman dan tujuan kegiatan bermain kepada partisipan namun harus dihindari terlalu banyak memberikan aturan. Dalam kegiatan bermain setiap kelompok harus mempunyai tujuan khusus yang disepakati oleh pemain. Tugas utama fasilitator dalam memandu refleksi adalah mengajak pemain memahami dan merasakan pengalaman yang dialaminya ketika bermain permainan tradisional sehingga anak dapat memperoleh makna pembelajaran kompetensi sosial dari kegiatan tersebut. Panduan fasilitator dalam melakukan refleksi dapat dilihat dalam Lampiran 10. Selain memimpin kegiatan dan memandu refleksi, tugas fasilitator adalah memunculkan antusiasme. Dalam memunculkan antusiasme ini fasilitator harus menjaga agar aktivitas, sesi, dan pemain berada dalam keadaan yang menggembirakan. Agar pemain selalu berada dalam antusiasme fasilitator perlu menggali pengalaman secara personal karena setiap anggota kelompok pasti mempunyai kekayaan pengetahuan dan pengalaman yang bisa digali. Dengan
140
digali pengalamannya maka anggota kelompok merasa diperhatikan dan berharga sehingga berada dalam keadaan antusias. Bagaimana fasilitator memunculkan antusiasme akan diberikan dalam training for trainer untuk fasilitator. f.
Seleksi dan pelatihan fasilitator Untuk menunjang pelaksanaan eksperimen maka terlebih dahulu akan
dilakukan seleksi dan pelatihan kepada fasilitator dan observer dengan tahapan sebagai berikut: 1) Membuat
pengumuman
tentang
dibutuhkannya
fasilitator
dan
observer dengan persyaratan sebagai berikut: a) Mahasiswa Fakultas Psikologi UMM semester VII atau mahasiswa pascasarjana program studi psikologi. b) Mempunyai IPK minimal 3,00 c) Mempunyai minat terhadap anak d) Mata kuliah wawancara dan observasi minimal B. e) Lulus seleksi 2) Melakukan
seleksi
terhadap
peserta
yang
mendaftar
melalui
wawancara 3) Menentukan fasilitator dan observer sesuai dengan yang dibutuhkan. Setelah fasilitator dan observer terpilih maka langkah selanjutnya adalah memberikan pelatihan kepada fasilitator dan observer. Pelatihan diberikan selama dua tahap. Tahap pertama adalah pelatihan untuk menjadi fasilitator pada permainan tradisional tanpa metode BERLIAN. Pedoman yang dilatihkan pada tahap ini pada dasarnya sama dengan pedoman pada permainan
141
tradisional dengan metode BERLIAN tetapi tidak disertai dengan refleksi. Setelah dilakukan pelatihan tahap satu ini kemudian dilakukan penelitian eksperimen pada kelompok eksperimen II yaitu kelompok yang memperoleh perlakuan permainan tradisional tanpa metode BERLIAN. Pelatihan tahap kedua dilakukan kepada fasilitator dan observer untuk mempersiapkan diri dalam penelitian untuk kelompok eksperimen II yaitu permainan tradisional dengan metode BERLIAN. Dalam pelatihan pada tahap pertama maupun kedua ini dilakukan simulasi yang dipandu oleh calon fasilitator dan yang menjadi pemain adalah para calon observer. Setelah dilakukan pelatihan tentang pedoman permainan tradisional dengan metode BERLIAN maka selanjutnya dilakukan penelitian pada kelompok eksperimen I.
F. Pelaksanaan Penelitian
1. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian eksperimen ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Maret 2014. Penelitian ini melibatkan siswa kelas lima dari enam Sekolah Dasar di Kabupaten Malang. Eksperimen dilakukan di lapangan parkir Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Malang. Di lapangan tersebut dibuat dua arena permainan gembatan yang masing-masing berukuran 8 x 12 meter yang masing-masing digunakan untuk kelompok anak laki-laki dan kelompok anak perempuan. Pelaksanaan penelitian dilakukan secara bergantian antara satu sekolah dengan sekolah yang lain. Jadwal keseluruhan kegiatan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
142
Tabel 9. Jadwal pelaksanaan penelitian
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 14
Nama Kegiatan Perijinan TOT Pedoman NON BERLIAN Pretes Kelompok NON BERLIAN Perlakuan Kelompok NON BERLIAN Postes Kelompok NON BERLIAN TOT Pedoman BERLIAN Pretes Kelompok BERLIAN Perlakuan Kelompok BERLIAN Postes Kelompok BERLIAN Pretes Kelompok Kontrol Postes Kelompok Kontrol Perlakuan Kelompok Kontrol
Waktu pelaksanaan 1– 15 Des 2013 13-15 Des 2013; 2-4 Jan 2014 14 Des 2013; 19 Des 2013 17-18 Des 2013; 20-23 Des 2013 19 Des 2013; 24 Des 2013 2-4 Januari 2014 6 Januari 2014; 15 Januari 2015 7-10 Jan 2014; 17-18 Jan 2014 11 Januari 2014; 20 Januari 2015 28 Januari 2014; 31 Januari 2015 3 Februari 2014; 6 Fabruari 2015 22-23 Februari 2014; 2 Maret 2014
2. Personalia yang terlibat dalam pelaksanaan penelitian Penelitian ini melibatkan banyak personalia baik yang terlibat langsung dalam proses penelitian maupun yang terlibat secara tidak langsung, yaitu: a) Fasilitator bertugas memandu jalannya eksperimen dan melakukan refleksi pada kelompok eksperimen I yaitu pemberian perlakuan permainan tradisional disertai dengan metode BERLIAN. Fasilitator juga bertugas melakukan obeservasi terhadap subjek penelitian. Setiap fasilitator bertanggung jawab terhadap lima anak yang menjadi subjek penelitian dalam satu kelompok. Fasilitator juga bertugas menyematkan stiker berbentuk “bintang” kepada pemain yang berhasil “boy”. Dalam satu arena permainan dipandu oleh dua orang fasilitator dan disediakan satu fasilitator cadangan. b) Observer bertugas melakukan pengamatan terhadap jalannya eskperimen dan perilaku anak yang menjadi subjek penelitian. Seorang observer bertugas mengamati lima anak yang berada dalam satu kelompok, sedangkan setiap anak diobservasi oleh tiga observer yang salah satunya adalah fasilitator.
143
Observer bertugas melakukan penilaian pada manipulation checklist. Dengan demikian pada setiap arena permainan terdapat empat observer. c) Dokumenter terdiri dari kameramen dan fofografer. Dalam setiap arena dua
kameramen
yang
bertugas
untuk
mendokumentasikan
ada
kegiatan
eksperimen. Pada saat dilakukan refleksi masing-masing kameramen bertanggungjawab untuk mendokumentasikan kegiatan refleksi untuk setiap kelompok refleksi (lima pemain dan satu fasilitator). Dokumenter juga bertugas untuk mengedit tayangan video untuk tayangan pada eksperimen sesi ke IV yaitu menonton tayangan video permainan hari pertama. Fotografer bertugas melakukan dokumentasi foto kegiatan penelitian. d) Petugas yang melakukan pretes dan postes berjumlah empat orang. Petugas yang membantu pelaksanaan pretes dan postes adalah mahasiswa semester VII Fakultas Psikologi UMM yang sedang menjadi asisten Bimbingan dan Konseling UMM. Petugas ini sejak awal sudah terlibat dalam uji coba alat ukur kompetensi sosial. Petugas ini tidak dilibatkan dalam pelaksanaan eksperimen untuk menjaga keobyektivan penelitian (double blind experiment). d. Personalia lain yang secara tidak langsung memberikan sumbangan terhadap jalannya penelitian adalah petugas lapangan yang terdiri dari sopir, seksi konsumsi, dan seksi kesehatan. Pada setiap kali dilakukan eksperimen disediakan empat sopir yang bertugas menjemput dan mengantar kembali anak-anak dari sekolah ke kampus UMM. Petugas konsumsi bertugas menyediakan
dan
melayani
kebutuhan
makan
dan
minum
peserta
eksperimen. Petugas lain adalah yang mobile ke sana kemari melihat kebutuhan anak seperti membantu anak yang jatuh maupun mengantar anak ke kamar mandi.
144
3. Sarana dan perlengkapan penelitian Eksperimen dalam penelitian tentang permainan tradisional dan metode BERLIAN ini membutuhkan sarana dan prasarana dalam satu permainan yaitu sebagai berikut: 1) Arena permainan dengan luas 8 m x 12 m yang diberi batas tali rafia yang dieratkan padengan perekat lakban. 2) Bola tenis dua buah, satu buah sebagai bola cadangan. 3) 12 buah kereweng berupa uang-uangan dari tanah liat dengan diameter 7 cm dan tinggi 7 mm. 4) 10 buah pita dua macam warna sepanjang 40 cm yang akan diikatkan di lengan peserta sebagai tanda identitas kelompok. 5) Peniti sebagai pengingat pita di lengan. 6) Dua buah spidol untuk menulis nama dan menulis di papan tulis pada saat melakukan refleksi pada kelompok eksperimen I. 7) Lakban kertas untuk menulis nama peserta dan daitempelkan di punggung. 8) Stiker berbentuk “bintang” untuk disematkan kepada pemain ketika pemain berhasil menyusun kereweng (mencapai “boy”). 9) Papan tulis kecil dan penghapus masing-masing dua buah. Properti ini digunakan sebagai alat bantu dalam memberikan pejelasan kepada anak ketika refleksi. Gambar perlengkapan eksperimen disajikan dalam Gambar 7.
145
Gambar 7. Perlengkapan Eksperimen
4. Prosedur eksperimen Pelaksanaan eksperimen dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu perlakuan untuk kelompok eksperimen I yaitu perlakuan permainan tradisional dengan metode BERLIAN dan kelompok eksperimen II yaitu perlakuan permainan tradisional tanpa metode BERLIAN. Pada dasarnya prosedur eksperimen untuk kelompok eksperimen I maupun II adalah sama, yang membedakan adalah ditambahkan refleksi pada sesi II sampai VI pada kelompok eksperimen I. Setiap kelompok memperoleh perlakuan sebanyak enam sesi selama dua hari. Pelaksanaan eksperimen dilakukan secara bergantian megingat keterbatasan arena permainan. Dalam satu kali eksperimen dilaksanakan terhadap satu kelompok laki-laki dan satu kelompok perempuan yang berasal dari satu sekolah. Perlakuan untuk kelompok eksperimrn II dilakukan terlebih dahulu. Prosedur eksperimen secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut: i.
Hari pertama
146
Pada hari pertama dilaksanakan eksperimen untuk sesi I, II, dan III. Sebelum sesi I dimulai terlebih dahulu para peserta diarahkan menuju tempat yang telah ditentukan dan diberi nama di punggung. Sesi I adalah sesi untuk perkenalan, penjelasan prosedur permainan, simulasi permainan, dan evaluasi terhadap jalannya permainan. Pada sesi I ini tidak ada perbedaan perlakuan antara kelomok eksperimen I dan eksperimen II. Sesi II merupakan sesi untuk melakukan permainan lagi. Pada kelompok eksperimen I mulai dilakukan refleksi terhadap pengalaman peserta setelah peserta beristirahat, sedangkan pada kelompok eksperimen II peserta hanya diberi kesempatan istirahat tanpa Saat istirahat peserta diberi minum dan snack. Sesi III adalah sesi terakhir di hari pertama. Pada sesi ini peserta melakukan permainan lagi. Sebelum permainan dimulai peserta diberi kesempatan untuk berdiskusi mengatur strategi bersama timnya. Kegiatan refleksi diberikan kepada kelompok eksperimen I. Kegiatan hari pertama diakhiri dengan makan siang dan peserta diantar kembali ke sekolah. 2) Hari kedua Pada hari kedua peserta datang ke lokasi penelitian yaitu kampus UMM dan langsung dibawa ke ruang kelas yang sudah dipersiapkan. Kegiatan sesi IV pada penelitian ini adalah menonton tayangan video tentang permainan peserta saat hari pertama. Setelah kegiatan menonton tayangan video dilanjutkan dengan refleksi untuk kelompok eksperimen I. Kegiatan sesi V dan VI dilakukan di arena permainan lagi. Dengan berjalan kaki para peserta diajak menuju ke lokasi permainan. Sebelum dilanjutkan sesi V para peserta diberi kesempatan beristirahat. Saat beristirahat
147
peserta dipersilakan untuk minum dan makan snack. Kegiatan sesi V dan VI adalah permainan dan refleksi untuk kelompok
eksperimen I dan kegiatan
permainan tanpa refleksi untuk kelompok eksperimen II. Kegiatan hari kedua diakhiri dengan makan siang dan pemberian uang saku. Selanjutnya peserta diantar kembali ke sekolah. Prosedur perlakuan selengkapnya dapat dilihat pada pedoman permainan tradisional gembatan dengan metode BERLIAN di Lampiran 8.
G. Etika Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan subjek penelitian adalah anak-anak. Ada beberapa etika yang secara khusus harus diperhatikan ketika bekerja dengan anak-anak. Berkaitan dengan penelitian disertasi ini peneliti juga melakukan beberapa etika yang dapat diuraikan berikut ini: 1) Melakukan inform consent dengan pihak sekolah dan orang tua: Mengingat subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak yang menjadi siswa di Sekolah Dasar maka terlebih dahulu peneliti meminta ijin kepada Kepala Sekolah. Selanjutnya peneliti meminta ijin kepada orang tua. Dalam surat yang disampaikan kepada oang tua dituliskan beberapa hal yang akan dilakukan oleh anak dalam penelitian dan hak-hak anak berkaitan dengan keikutsertaan anak. Surat kepada orang tua juga ditandatangani oleh Kepala Sekolah. Bersama surat tersebut disertakan lembar kesediaan orang tua untuk
mengikutsertakan
anak
dalam
penelitian.
Lembar
kesediaan
dikembalikan oleh orang tua ke sekolah setelah ditandatangani oleh orang tua. 2) Memperhatikan kesejahteraan anak:
148
Dalam proses pelaksanaan penelitian anak memperoleh hak untuk diperhatikan kesejahteraannya seperti disediakan makanan dan minuman, disediakan PPPK, dan disediakan waktu untuk beristirahat. 3) Memberikan perlakuan khusus terhadap kelompok anak yang tidak menjadi subjek penelitian tetapi ikut serta dalam kegiatan (kelompok outsider). Berdasarkan kesepakatan dengan pihak sekolah maka semua anak harus memperoleh perlakuan yang sama dengan teman sekelasnya. Dengan demikian kelompok outsider tetap memperoleh hak untuk mendapatkan perlakuan seperti . Beberapa anak yang mempunyai keterbatasan fisik juga memperoleh perhatian khusus. 4) Memberikan perlakuan kepada kelompok kontrol atau kelompok waiting list setelah proses penelitian dan analisis data penelitian selesai.
H. Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis varian multivariat dua jalur. Analisis varian multivariat (Manova= Multivariate analysis of variance) digunakan karena variabel tergantung yaitu kompetensi sosial terdiri dari empat aspek yaitu aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. Menurut Turner & Thayer (2001) dalam analisis multivariat variabel tergantung
tersebut berkorelasi dan secara bersama-sama membentuk satu
pengertian konsep. Dalam penelitian ini empat aspek yaitu aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati membentuk satu konsep yaitu kompetensi sosial. Adapun analisis dua jalur digunakan karena variabel bebas terdiri dari dua faktor yaitu faktor kelompok yang terdiri dari kelompok eksperimen I,
149
kelompok eksperimen II, dan kelompok kontrol, dan faktor jenis kelamin yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Rancangan analisis data digambarkan pada Tabel 10. Tabel 10. Rancangan Analisis Data Subjek
Y Y1
KELOMPOK EKSPERIMEN I
Laki-laki Perempuan
KELOMPOK EKSPERIMEN II
Laki-laki Perempuan
KELOMPOK KONTROL
Laki-laki Perempuan
Y2
Keterangan : Y : Gabungan Y1, Y2, Y3, Y4 Y1 : Skor selisih antara postes – pretes aspek problem solving Y2 : Skor selisih antara postes – pretes aspek pengendalian diri Y3 : Skor selisih antara postes – pretes aspek kerjasama Y4 : Skor selisih antara postes – pretes aspek empati
Y3
Y4
150
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Subjek Subjek dalam penelitian ini adalah adalah siswa kelas lima dari enam Sekolah Dasar yang berlokasi di tiga kecamatan di kabupaten Malang yaitu kecamatan Dau, Karangploso, dan Junrejo. Di kecamatan Dau terdapat empat SD yang siswanya menjadi subjek penelitian yaitu SD MA 1, SD MA 3, SD MUH 8, dan SD LDG 1. Adapun dua SD yang lain masing-masing berada di di kecamatan Junrejo yaitu SD DR 1 dan di kecamatan Karangploso yaitu SD TG. Tabel 11. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Sekolah
Kelompok PT dengan BERLIAN PT tanpa BERLIAN
Kelompok Kontrol TOTAL
Sekolah SD MA 1 SD MUH 08 SD MA 3 SD LDG 1 SD TG SD DR 1
Jumlah Subjek L
P
Jumlah
10 18 10 18 20 8 84
9 19 10 18 20 8 84
19 37 20 36 40 16
JUMLAH TOTAL 56 56 56 168
Keseluruhan subjek yang dianalisis dalam penelitian ini berjumlah 168 yang terdiri dari 84 anak laki-laki dan 84 anak perempuan. Jika ditinjau dari kelompok penelitian maka subjek penelitian dibagi dalam tiga kelompok yang tahun.terdiri dari kelompok eksperimen I yaitu kelompok subjek yang memperoleh perlakuan Permainan Tradisional dengan metode BERLIAN, kelompok eksperimen II yaitu kelompok subjek yang memperoleh perlakuan Permainan Tradisional tanpa Metode BERLIAN, dan kelompok kontrol yaitu kelompok waiting list yang menerima perlakuan setelah penelitian terhadap kelompok eksperimen sudah selesai dilakukan. Masing-masing kelompok terdiri
151
dari 56 anak yang terbagi menjadi 28 anak laki-laki dan 28 anak perempuan. Rincian distribusi subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 11. Deskripsi subjek berdasarkan usia disajikan pada Tabel 12. Adapun rentangan usia keseluruhan subjek berada pada usia 10,11 - 12,1 tahun dengan usia rata-rata 11,02 tahun.
Distribusi rentang usia dan rata-rata usia subjek
penelitian dipaparkan pada Tabel 12. Pada Tabel 12 diperoleh gambaran bahwa sebaran usia antara kelompok eksperimen I, eksperimen II dan kelompok kontrol maupun antara subjek laki-laki dan subjek perempuan berada pada sebaran usia sekitar 11 tahun. Tabel 12 Rentang Dan Rerata Usia Subjek Penelitian Berdasarkan Kelompok
Kelompok
Jenis kelamin
Rentang usia
Rerata usia
PT dengan Metode BERLIAN
Laki-laki Perempuan
10,11 - 11,48 th 10,52 – 11,5 th
10,98 th 10,81 th
PT tanpa Metode BERLIAN
Laki-laki Perempuan
9,83 - 11,94 th 10,13 - 12,1 th
10,76 th 11,04 th
Kelompok Kontrol
Laki-laki Perempuan
10,41 - 11,83 th 10,16 - 11,71 th
11,36 th 11,18 th
10,11 – 12,1 th
11,02 th
Keseluruhan Keterangan : PT : Permainan Tradisional B. Deskripsi Data
Data dalam penelitian ini terdiri dari data skor rata-rata pretes dan postes untuk variabel kompetensi sosial dan aspek-aspek kompetensi sosial yaitu problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. Adapun deskripsi data dapat dikategorikan berdasarkan kelompok dan jenis kelamin. Pada Tabel 13 digambarkan deskripsi data kompetensi sosial, aspek problem solving, aspek pengendalian diri, aspek kerjasama, dan aspek empati pada anak laki-laki dan anak perempuan.
152
Tabel 13. Deskripsi Skor Rata-Rata Pretes-Postes Kompetensi Sosial Dan Masing-Masing Aspek Ditinjau Dari Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Kompetensi Sosial Pre Pos
Aspek prob.solving Pre Pos
Aspek pengend.diri Pre Pos
Aspek Kerjasama Pre Pos
Aspek Empati Pre
Pos
63.89
66.43
15.68
17.7
15.92
15.37
15.26
15.51
17.04
17.88
66.48
68.88
15.63
18.04
16.2
15.96
16.08
15.9
18.56
18.98
Laki-laki Perempuan
Deskripsi data juga dapat digambarkan berdasarkan kelompok yaitu kelompok eksperimen I yang mendapatkan perlakuan Permainan Tradisional dengan Metode BERLIAN, kelompok eksperimen II yaitu Permainan Tradisional tanpa Metode BERLIAN, dan kelompok kontrol atau kelompok waiting list yaitu kelompok yang memperoleh perlakuan setelah penelitian selesai. Deskripsi data berdasarkan kelompok dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Deskripsi Skor Mean Pretes-Postes Kompetensi Sosial Dan Aspek-Aspeknya Ditinjau Dari Kelompok Kompetensi Sosial Pre Pos
Aspek prob.solving Pre Pos
Aspek pengend.diri Pre Pos
Aspek Kerjasama Pre Pos
Aspek Empati Pre Pos
PT dengan BERLIAN
64.82
70.91
15.07
18.46
16,00
16.66
15.82
16.54
17.89
19.50
PT tanpa BERLIAN
66.29
68.54
15.07
17.55
16.63
16.21
16.13
16.61
18.50
18.88
Kontrol
64.52
63.86
16.91
17.23
15.59
15.27
15.18
15.04
16.88
16.98
Kelompok
Deskripsi data skor rata-rata pretes dan postes untuk variabel kompetensi sosial dan aspek-aspeknya juga dapat ditinjau dari jenis kelamin dan kelompok. Gambaran data tentang rata-rata skor pretes dan postes menurut kelompok dan jenis kelamin untuk variabel kompetensi sosial, aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati seperti tersaji pada Tabel 15.
153
Tabel 15. Deskripsi Skor Mean Pretes-Postes Kompetensi Sosial Dan Masing-Masing Aspek Ditinjau Dari Kelompok Dan Jenis Kelamin JK
Kompetensi Sosial Pre Pos
Aspek prob.solving Pre Pos
Aspek pengend.diri Pre Pos
Aspek Kerjasama Pre Pos
Aspek Empati Pre Pos
PT dengan BERLIAN
P L
66.39 63.25
72.67 69.25
14,79 15.36
18.82 18.11
16.25 15.75
17.07 16.25
16.43 15.21
17.25 15,82
18.82 17.11
19.86 19.14
PT tanpa BERLIAN
P L
68.25 64.43
70.36 66.79
15.50 14.64
17.96 17.14
16.75 16.50
16.82 15.61
16.43 15.82
16.75 16.46
19.61 17.39
19.86 17.89
Kontrol
P L
64.86 64.18
63.71 64.00
16.79 17.04
16.61 17.86
15.61 15.57
15.18 15.36
15.32 15.04
15.11 14.98
17.14 16.61
17.29 16.68
Kelompok
Untuk mendapatkan gambaran tentang perbandingan data variabel kompetensi sosial, aspek problem solving, aspek pengendalian diri, aspek kerjasama, dan aspek empati, maka pada sajian berikut dipaparkan histogram perbandingan data mean dari pretes dan postes berdasarkan kelompok dan jenis kelamin. 1. Deskripsi data kompetensi sosial Perbandingan skor rata-rata atau mean pretes dan postes kompetensi sosial disajikan dalam Gambar 8 dan 9. Pada gambar 8 dapat dilihat perbandingan skor rata-rata variabel
kompetensi sosial antara kelompok
eksperimen I, kelompok eksperimen II, dan kelompok kontrol.
Pada gambar
tersebut terlihat bahwa pada kelompok eksperimen I yaitu kelompok yang mendapatkan perlakuan Permainan Tradisional dengan metode BERLIAN skor rata-rata postes lebih tinggi daripada skor rata-rata pretes. Demikian juga kelompok eksperimen II yaitu kelompok yang mendapatkan perlakuan Permainan Tradisional tanpa metode BERLIAN skor rata-rata postes juga lebih tinggi daripada skor rata-rata pretes meskipun selisihnya tidak sebesar pada kelompok
154
eksperimen I. Adapun pada kelompok kontrol selisih antara skor rata-rata pretes dan postes jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok eksperimen I dan kelompok eksperimen II.
Kompetensi sosial 72 70 68
66
Pretes
64
Postes
62 60 BERLIAN
NON BERLIAN
KONTROL
Gambar 8. Perbandingan Pretes- Postes Aspek Kompetensi Sosial Ditinjau Dari Kelompok
Pada Gambar 9 perbandingan pretes dan postes kompetensi sosial dibedakan antara laki-laki dan perempuan pada masing-masing kelompok.
Kompetensi sosial 75 70 65 60
Pretes
55
Postes
Gambar 9. Perbandingan Pretes- Postes Kompetensi Sosial Ditinjau Dari Jenis Kelamin
Dalam histogram pada Gambar 9 tersebut terlihat bahwa kenaikan skor rata-rata postes terjadi pada kelompok eksperimen I baik pada laki-laki maupun
155
perempuan, diikuti oleh kelompok eksperimen II, sedangkan pada kelompok kontrol relatif tidak ada perubahan skor antara pretes dan postes.
2. Deskripsi data aspek problem solving Pada Gambar 10 disajikan gambaran perbandingan skor rata-rata pretes dan postes untuk aspek problem solving yang dibedakan antara kelompok eksperimen I, eksperimen II, dan kontrol. Pada gambar tersebut terlihat bahwa perubahan skor dari pretes ke postes yang mengalami kenaikan paling tinggi adalah kelompok eksperimen I, diikuti kelompok eksperimen II, dan kurang terlihat kenaikan pada kelompok kontrol.
Aspek problem solving 72 70 68 66
Pretes
64
Postes
62 60 BERLIAN
NON BERLIAN
KONTROL
Gambar 10. Perbandingan Pretes- Postes Aspek Problem Solving Ditinjau Dari Kelompok
Jika perbedaan kelompok ditinjau dari perbedaan jenis kelamin maka terjadi yang sama yaitu kenaikan skor dari pretes ke postes pada kelompok eksperimen I lebih besar daripada kelompok eksperimen II meskipun pada kedua kelompok sama-sama mengalami kenaikan skor, sedangkan pada kelompok
156
kontrol hanya mengalami sedikit kenaikan skor dari pretes ke postes. Gambaran tersebut disajikan pada Gambar 11.
Aspek problem solving 20
15 10 5 0
Pretes Postes
Gambar 11. Perbandingan Pretes- Postes Aspek Problem Solving Ditinjau Dari Jenis Kelamin
3. Deskripsi data aspek pengendalian diri Perbandingan skor rata-rata pretes dan postes untuk aspek pengendalian diri juga disajikan berdasarkan perbedaan kelompok dan jenis kelamin. Gambar 12 menyajikan gambaran perbandingan pretes postes aspek pengendalian diri pada kelompok eksperimen I, eksperimen II, dan kelompok kontrol. Gambar 12 menunjukkan bahwa pada kelompok yang memperoleh perlakuan Permainan Tradisional dengan Metode BERLIAN mengalami peningkatan skor rata-rata dari pretes ke postes, sedangkan pada kelompok eksperimen II dan kelompok kontrol terjadi penurunan skor rata-rata dari pretes ke postes.
157
Aspek pengendalian diri 17 16.5 16
Pretes
15.5
Postes
15 14.5 BERLIAN
NON BERLIAN
KONTROL
Gambar 12. Perbandingan Pretes- Postes Aspek Pengendalian Diri Ditinjau Dari Kelompok
Jika deskripsi data tentang skor rata-rata pretes dan postes aspek pengendalian diri disajikan dalam perbedaan kelompok dan jenis kelamin, maka terlihat bahwa hasilnya tidak jauh berbeda dengan penyajian yang hanya dibedakan menurut kategori kelompok. Gambar 9 menunjukkan bahwa baik pada anak laki-laki maupun perempuan terjadi kenaikan skor rata-rata postes dari pretes, sedangkan pada kelompok eksperimen II dan kontrol terjadi penurunan.
Aspek pengendalian diri 17.5 17 16.5 16 15.5 15 14.5 14
Pretes Postes
Gambar 13. Perbandingan Pretes- Postes Aspek Pengendalian Diri Ditinjau Dari Jenis Kelamin
158
4. Deskripsi data aspek kerjasama Seperti gambaran data pada aspek-aspek yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini
aspek kerjasama juga digambarkan
dengan membandingkan skor rata-rata pretes dan postes dalam tinjauan kelompok dan jenis kelamin. Gambar 14 menggambarkan pada kelompok eksperimen I dan eksperimen II terjadi kenaikan skor rata-rata postes dari pretes, sedangkan pada kelompok kontrol mengalami penurunan.
Aspek kerjasama 17 16.5 16
15.5
Pretes
15
Postes
14.5 14 BERLIAN
NON BERLIAN KONTROL
Gambar 14. Perbandingan Pretes- Postes Aspek Kerjasama Ditinjau Dari Kelompok
Jika ditinjau dari kelompok yang menyertakan jenis kelamin ternyata hasilnya tidak banyak perbedaan. Artinya terjadi kenaikan skor rata-rata postes pada kelompok eksperimen I dan kelompok eksperimen II, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan skor. Kenaikan skor pada kelompok eksperimen I lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan skor pada kelompok eksperimen II. Gambaran perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 15.
159
Aspek kerjasama 18 17 16 15 14 13
Pretes Postes
Gambar 15. Perbandingan Pretes-Postes Aspek Kerjasama Ditinjau Dari Jenis Kelamin
5. Deskripsi data aspek empati Gambaran perbandingan skor pretes dan postes dalam aspek empati dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17.
Pada Gambar 16 nampak
bahwa baik pada anak laki-laki maupun pada anak perempuan terjadi kenaikan skor rata-rata postes.
Aspek empati 20 19 18
Pretes
17
Postes
16 15 BERLIAN
NON BERLIAN
KONTROL
Gambar 16. Perbandingan Pretes- Postes Aspek Empati Ditinjau Dari Kelompok
Pada Gambar 16 disajikan perbandingan skor rata-rata pretes dan postes pada tiga kelompok penelitian yaitu kelompok eksperimen I, kelompok
160
eksperimen II, dan kelompok kontrol. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada kelompok eksperimen I yaitu kelompok yang memperoleh perlakuan Permainan Tradisional dengan Metode BERLIAN mengalami kenaikan skor rata-rata postes yang cukup mencolok, sementara pada kelompok eksperimen II juga mengalami kenaikan meskipun hanya sedikit, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terlihat adanya kenaikan skor.
Aspek empati 21 20 19 18 17 16 15 14
Pretes Postes
Gambar 17. Perbandingan Pretes- Postes Aspek Empati Ditinjau Dari Jenis Kelamin
C. Hasil manipulation check Manipulation check
merupakan pengukuran yang digunakan untuk
menentukan apakah manipulasi atau perlakuan dari variabel bebas telah mempunyai efek terhadap partisipan sebagai subjek yang diberi perlakuan. Juga untuk memberikan bukti validitas konstruk dari manipulasi (Cozby, 2009). Data manipulation check dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi pada saat eksperimen. Observasi dilakukan pada saat permainan pada hari pertama dan hari kedua untuk kelompok eskperimen I dan eksperimen II, sedangkan untuk kelompok eksperimen I dilakukan juga observasi pada saat refleksi selama lima sesi yaitu sesi II sampai dengan sesi VI. Observasi dilakukan oleh tiga orang untuk tiap partisipan sehingga masing-masing anak diobservasi oleh tiga
161
observer, sedangkan masing-masing observer mengobervasi lima partisipan yang berada pada satu kelompok yang sama. Sebelum dilakukan perhitungan rata-rata hasil observasi antara observer 1,2, dan 3 terlebih dahulu akan disajikan hasil korelasi interrater yang dianalisis dengan uji kappa yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 16. Menurut Banerjee (1999) hasil uji interrater Kappa dikatakan sangat baik jika ada tiga observer yang saling berkorelasi, tetapi jika korelasi terjadi hanya pada dua orang rater maka ágreement tersebut dikatakan cukup. Berdasarkan hasil korelasi interrater dengan menggunakan uji kappa pada data permainan dapat diketahui bahwa dari sembilan aitem yang dijadikan indikator observasi terdapat satu aitem yaitu aitem lima yang korelasi interrater dari tiga observer tidak ada satupun yang signifikan. Dengan demikian untuk aitem pengendalian agresivitas tidak digunakan sebagai indikator observasi. Hasil korelasi interrater saat permainan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Korelasi Interrater Pada Saat Permainan
NO AITEM 1 2
Keaktifan Pemahaman permainan
3
Pengendalian pelanggaran
4
Koefisien kappa dan signifikansi
aturan
O1-O2 0,285; 0,001** 0,018; 0,844
O1-O3 0,260; 0,003** 0,203; 0,022*
O2-O3 0,279; 0,001** -0,044; 0,630
dalam
0,186; 0,036*
0,111; 0,227
0,188; 0,027*
0,400; 0,000**
0,233; 0,008**
0,205; 0,025*
0,019; 0,808
0,069; 0,083
0,051; 0,579
0,517; 0,000** 0,320; 0,000** 0,192; 0,019** 0,472; 000**
0,486; 0,000** 0,029; 0,753 0,315; 0,000** 0,461; 0,000**
0,373; 0,000** 0,219; 0,010** 0,195; 0,034* 0,581; 0,000**
Perhitungan dalam melempar bola 5 Pengendalian agresivitas # 6 Pengumpanan bola 7 Penataan kereweng 8 Antusiasme 9 Merespon pengalaman anak lain Keterangan: O1 : Observer 1 O2 : Observer 2 O3 : Observer 3
# * **
: aitem gugur : signifikan : sangat signifikan
162
Hasil korelasi interrater berdasarkan uji kappa untuk aitem-aitem observasi pada saat kegiatan refleksi disajikan pada Tabel 17. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ada empat aitem
yang keseluruhan korelasi interater
signifikan yaitu aitem 1, 2, 4 dan 5, sedangkan untuk aitem 5 korelasi interrater tidak signifikan. Dengan demikian empat aitem pada kegiatan refleksi dapat digunakan sebagai indikator manipulation check. Hasil perhitungan uji kappa dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. Tabel 17. Hasil Korelasi Interrater pada Saat Refleksi
NO AITEM 1 2 3 4 5
Keaktifan Keseriusan dalam mendengarkan fasilitator Pemahaman terhadap yang disampaikan orang lain Kualitas dalam berpendapat # Antusiasme dalam berpartisipasi
Koefisien kappa dan signifikansi O1-O2
O1-O3
O2-O3
0,467; 0,000** 0,221; 0,005**
0,319; 0,000** 0,351; 0,000**
0,291; 0,000** -0,160; 0,045*
0,543; 0,000**
0,321; 0,000**
0,291; 0,000**
-0,17; 0,824
-0,80; 0,319
0,093; 0,186
0,695; 0,000**
0,557; 0,000**
0,275; 0,000**
Keterangan: O1 : Observer 1 O2 : Observer 2 O3 : Observer 3 # : aitem gugur
Penyajian data hasil manipulation check pada saat permainan dapat dilihat pada Tabel 18. Data yang disajikan berupa rata-rata skor dari tiga observer untuk masing-masing aitem. Data dibedakan antara permainan hari pertama dan hari kedua, antara laki-laki dan perempuan, serta antara kelompok BERLIAN dan NON BERLIAN.
163
Tabel 18. Hasil Manipulation Check Pada Saat Permainan
BERLIAN NO
AITEM
NON BERLIAN
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
P-1
P-2
P-1
P-2
P-1
P-2
P-1
P-2
3,6
4,0
4,0
4,0
3,6
3,5
3,9
3,8
aturan 3,7
4,0
4,0
3,9
3,7
3,7
3,8
3,8
1
Keaktifan
2
Pemahaman permainan
3
Pengendalian pelanggaran
3,4
3,7
4,0
4,0
3,5
3,5
3,8
3,9
4
3,5
3,8
4,1
4,2
4,2
3,5
3,6
5
Perhitungan dalam 4,3 melempar bola 4,5 Pengumpanan bola
3,4
3,4
3,9
4,1
4,3
3,4
3,3
6
Penataan kereweng
3,7
3,9
3,6
4,1
4,1
3,9
3,4
3,8
8
Antusiasme
4,0
4,3
3,6
4,1
3,8
3,4
3.2
3,4
9
Merespon anak lain
pengalaman 3,9
4,7
3,3
4,2
3,9
3,7
3,6
3,8
melakukan
Keterangan: P - 1 : Rata-rata skor penilaian observer pada permainan hari pertama P - 2 : Rata-rata skor penilaian observer pada permainan hari kedua
Dalam proses permainan subjek juga menunjukkan perilaku yang menunjukkan keterlibatan mereka dalam bermain seperti mengumpan bola, melempar bola, maupun menata kereweng.
Pada aitem tentang respon
partisipan terhadap anak lain hasilnya menunjukkan bahwa subjek dinilai oleh observer cukup dapat
merespon apa yang terjadi pada anak lain. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian memberikan respon yang positif terhadap proses penelitian dan mengikuti prosedur eksperimen dalam bermain gembatan dengan sungguh-sungguh. Hal ini terjadi baik pada subjek laki-laki maupun perempuan, pada permainan hari pertama maupun hari kedua, serta pada kelompok BERLIAN maupun kelompok NON BERLIAN.
164
Tabel 19. Hasil Manipulation Check pada Saat Refleksi
KELOMPOK BERLIAN NO
AITEM Laki-laki R3
R4
Perempuan
R1
R2
R5
R1
R2
R3
R4
R5
3,9 3,9 3,9 3,8 4,3 4,2 4,3 3,9 3,9
1
Keaktifan
3,9
2
Keseriusan dalam mendengarkan fasilitator Pemahaman terhadap yang disampaikan orang lain Antusiasme dalam berpartisipasi
3,5 3,4 3,4 3,4 3,3 3,7 3,4 3,2 3,2 3,2
3 4
3,8 3,7 3,7 3,7 3,7 3,8 3,8 3,8 3,9 3,8 3,5 4,0 3,7 3,7 3,8 3,7 3,9 3,7 3,6 3,9
Keterangan: R1 : Rata-rata skor penilaian observer pada refleksi 1 (sesi II) R2 : Rata-rata skor penilaian observer pada refleksi 2 (sesi III) R3 : Rata-rata skor penilaian observer pada refleksi 3 (sesi IV) R4 : Rata-rata skor penilaian observer pada refleksi 4 (sesi V) R5 : Rata-rata skor penilaian observer pada refleksi 5 (sesi VI)
Hasil manipulation check pada saat refleksi disajikan pada tabel 19. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata tiga observer yang mengobservasi subjek penelitian saat refleksi diperoleh rentangan skor 3,2
- 4,4 . Rentangan
skor rata-rata ini berada pada kecenderungan ke arah angka lima sehingga dapat diketahui bahwa observer menilai para subjek penelitian mengikuti proses refleksi dengan sungguh-sungguh pada seluruh sesi. Pada saat refleksi subjek penelitian menunjukkan keaktifan, keseriusan dalam mendengarkan fasilitator, memahami apa yang disampaikan orang lain, dan antusias berpartisipasi dalam kegiatan refleksi.
165
D. Hasil Analisis Data Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada pengaruh Permainan Tradisional dengan Metode BERLIAN dan tanpa metode BERLIAN terhadap kompetensi sosial anak usia sekolah. Untuk membuktikan tercapainya tujuan tersebut maka dilakukan analisis
terhadap data-data yang ada. Data yang
dianalisis berupa gain score yaitu skor selisih antara postes dan pretes. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis varians multivariat dua jalan dengan bantuan software SPSS 18. Analisis varians multivariat dua jalan digunakan dengan alasan bahwa ada dua variabel bebas yang dianalisis yaitu variabel jenis kelamin dan variabel kelompok, sedangkan multivariat digunakan karena variabel tergantung yaitu kompetensi sosial dalam penelitian ini terdiri dari empat aspek yaitu aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih sistematis tentang hasil analisis data penelitian maka paparan hasil analisis disajikan menurut variabel terikat yang dianalisis yaitu kompetensi sosial dan dilanjutkan dengan penyajian aspek-aspeknya yaitu aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. Paparan yang disajikan meliputi hasil analisis varians, perbandingan perbedaan mean antar kelompok dari gain score, dan signifikansi antar kelompok. Pada bagian akhir disajikan grafik perbandingan gain score antara kelompok BERLIAN, NON BERLIAN, dan kontrol. Hasil analisis data dapat dilihat pada Lampiran 7.
166
1. Hasil analisis data kompetensi sosial Paparan ringkasan hasil analisis varians multivariat dua jalan untuk variabel kompetensi didasarkan pada hasil perhitungan multivariate tests. Pada multivariate tests disajikan empat tes yaitu Pillai’s Trace, Wilks’Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s Largest Root yang hasilnya saling mendukung. Menurut Patel & Bashvar (2013) Wilks’ Lambda merupakan tes multivariat yang paling sering digunakan dan sesuai untuk sampel besar dan jumlah subjek masing-masing kelompok sama. Ringkasan hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Ringkasan Hasil Analisis Varians Multivariat 2 Jalan Variabel Kompetensi Sosial
Efek Variabel Corected Model: Jenis Kelamin Kelompok: Interaksi JK*KLP:
F 57,970 1,028 13,915 1,488
Sig 0,000 0,394 0,000 0,161
Kuadrat Eta 0,593 0,025 0,259 0,036
Hasil analisis varians dua jalan yang dilakukan menunjukkan bahwa berdasarkan hasil perhitungan corrected model diketahui ada perbedaan komptensi sosial yang sangat signifikan ditinjau dari jenis kelamin dan kelompok dengan nilai F = 57,970 (p < 0,01). Adapun sumbangan kedua variabel bebas yaitu jenis kelamin dan kelompok terhadap variabel kompetensi sosial adalah sebesar 59,3%. Jika ditinjau dari variabel jenis kelamin diperoleh hasil bahwa nilai F = 1,028 dan p > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin tidak mempunyai pengaruh terhadap kompetensi sosial. Hasil perhitungan analisis varian multivariat dua jalan juga menunjukkan bahwa variabel kelompok mempunyai pengaruh terhadap kompetensi sosial (F = 13,915 p < 0,01). Berdasarkan hasil perhitungan kuadrat eta dapat diketahui besarnya pengaruh
167
variabel kelompok terhadap kompetensi sosial yaitu sebesar 25,9%. Hasil perhitungan anava dua jalan ini juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara variabel jenis kelamin dan kelompok dalam mempengaruhi variabel kompetensi sosial yang dapat diketahui dari nilai F = 0,561 (p > 0,05). Hasil ini memberi arti bahwa jenis kelamin tidak memoderasi penigkatan kompetensi sosial. Berdasarkan hasil perhitungan seperti dipaparkan di atas diketahui bahwa faktor
kelompok
berpengaruh
terhadap
peningkatan
kompetensi
sosial
sedangkan faktor jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi sosial. Jika dilihat dari perbandingan antar rerata kelompok maka peningkatan kompetensi sosial kelompok BERLIAN lebih tinggi dari kelompok NON BERLIAN dan kontrol, sedangkan kelompok NON BERLIAN lebih tinggi dari kelompok kontrol. Perbandingan rerata dan deviasi standar rerata gain score kompetensi sosial dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Gambaran rerata gain score dan deviasi standar variabel kompetensi sosial
Antar Kelompok BERLIAN NON BERLIAN KONTROL
Rerata 6,20 2,61 -0.45
Deviasi standar 3,193 3,817 4,213
Adapun gambaran tentang perbedaan rerata gain score kompetensi sosial antara kelompok BERLIAN, NON BERLIAN, dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 18.
168
Kompetensi sosial 7 6 5 4
BERLIAN
3
NON BERLIAN
2
KONTROL
1 0 -1
Rata-rata gain score
Gambar 18. Perbandingan Rata-Rata Gain Score Kompetensi Sosial Antar Kelompok
2. Hasil analisis data aspek problem solving Hasil ringkasan analisis varians multivariat dua jalan untuk aspek problem solving disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan perhitungan corrected model pada Tabel 22 dapat diketahui bahwa ada pengaruh jenis kelamin dan kelompok terhadap peningkatan aspek problem solving yang ditunjukkan dengan nilai F= 14,642 dan p < 0,01. Besarnya pengaruh kedua faktor tersebut yaitu sebesar 31,1%. yang diperoleh dari kuadrat eta. Tabel 22. Hasil Analisis Varians 2 Jalan Gain Score Aspek Problem Solving
Efek Variabel Corected Model: Jenis Kelamin Kelompok: Interaksi JK*KLP:
F 14,642 0,71 33,854 2,717
Sig. 0,000 0,292 0,000 0,069
Kuadrat Eta 0,311 0,000 0,295 0,032
Hasil lain dari perhitungan analisis varians dua jalan adalah pengaruh jenis kelamin, kelompok, dan interaksi antara kedua faktor tersebut. Faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan aspek problem solving adalah faktor
169
kelompok (F= 33,854 (p <0,01), sedangkan faktor jenis kelamin (F = 0,071; p > 0,05) tidak berpengaruh terhadap peningkatan aspek problem solving. Hasil interaksi antara jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok dalam peningkatan aspek problem solving (F = 2,717; p > 0,05). Tabel 23. Perbandingan Perbedaan Rerata Gain Score Aspek Problem Solving Antara Kelompok Perlakuan
Antar Kelompok BERLIAN - NON BERLIAN BERLIAN – KONTROL NON BERLIAN - KONTROL
Perbedaan Rerata 0.911 2,679 1,768
Sig.
Keterangan
0,019 0,000 0,000
Ada perbedaan Ada perbedaan Ada perbedaan
Perhitungan pairwise comparations yang disajikan pada Tabel 23 menunjukkan bahwa ada perbedaan aspek problem solving antar kelompok yang sangat signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa rerata gain score aspek problem solving pada kelompok BERLIAN berbeda secara signifikan (p <0.05) dengan kelompok NON BERLIAN dengan perbedaan rerata = 0,911. Hal ini mempunyai arti bahwa peningkatan aspek problem solving dari pretes ke postes pada kelompok BERLIAN lebih tinggi daripada peningkatan kompetensi sosial dari pretes ke postes pada kelompok NON BERLIAN. Perbedaan rerata gain score aspek problem solving pada kelompok BERLIAN juga berbeda sangat signifikan (p < 0,01) dengan kelompok KONTROL sebesar 3,071, artinya peningkatan kompetensi sosial dari pretes ke postes pada kelompok BERLIAN lebih tinggi daripada peningkatan kompetensi sosial dari pretes ke postes pada kelompok KONTROL. Demikian juga pada perbedaan rerata gain score aspek problem solving pada kelompok NON BERLIAN dan kelompok KONTROL menunjukkan hasil sangat signifikan (p < 0,01) dengan perbedaan rerata sebesar 0,911. Hal ini berarti bahwa peningkatan
aspek
170
problem solving dari pretes ke postes pada kelompok NON BERLIAN lebih tinggi daripada peningkatan aspek problem solving dari pretes ke postes pada kelompok KONTROL.
Aspek problem solving
4 3
BERLIAN
2
NON BERLIAN
1
KONTROL
0 Rata-rata gain score
Gambar 19. Perbandingan Rata-rata Gain Score Aspek Problem Solving Antar Kelompok
Gambaran perbandingan gain score aspek problem solving antara kelompok BERLIAN, NON BERLIAN, dan KONTROL dapat dilihat pada Gambar 19. 3. Hasil analisis data aspek pengendalian diri Pada Tabel 24 disajikan ringkasan hasil analisis varians dua jalan dari gain score untuk aspek pengendalian diri. Hasil perhitungan corrected model pada Tabel 24 menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin dan kelompok terhadap peningkatan aspek pengendalian diri yang ditunjukkan dengan nilai F= 4,347 dan p < 0,01. Besarnya pengaruh kedua faktor tersebut yaitu sebesar 11,8%.yang diperoleh dari kuadrat eta. Hasil lain dari perhitungan analisis varians dua jalan adalah tentang pengaruh jenis kelamin, kelompok, dan interaksi antara kedua faktor tersebut. Faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan aspek pengendalian diri adalah
171
faktor kelompok (F= 7,609; p < 0,01), sedangkan faktor jenis kelamin (F = 1,949; p > 0,05) tidak berpengaruh terhadap peningkatan aspek pengendalian diri. Hasil interaksi antara jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok dalam peningkatan aspek pengendalian diri (F =2,284; p > 0,05). Tabel 24. Ringkasan Hasil Analisis Varians 2 Jalan Gain Score Aspek Pengendalian Diri
Efek Variabel Corected Model: Jenis Kelamin Kelompok: Interaksi JK*KLP:
F 4,347 1,949 7,609 2,284
Sig 0,000 0,165 0,000 0,105
Kuadrat Eta 0,118 0,012 0,086 0,013
Pemaparan hasil analisis tentang aspek pengendalian diri berikutnya diperoleh
dari perhitungan pairwise comparations yang menunjukkan bahwa
terjadi perbedaan aspek pengendalian diri antar kelompok yang sangat signifikan. Pada Tabel 25 disajikan perbandingan perbedaan rerata gain score aspek pengendalian diri antara kelompok BERLIAN, NON BERLIAN, dan kelompok KONTROL. Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa rerata gain score aspek pengendalian diri pada kelompok BERLIAN berbeda sangat signifikan (p < 0,01) dengan kelompok NON BERLIAN dengan perbedaan rerata = 1,071. Hal ini mempunyai arti bahwa peningkatan aspek pengendalian diri dari pretes ke postes pada kelompok BERLIAN lebih tinggi daripada peningkatan aspek pengendalian diri dari pretes ke postes pada kelompok NON BERLIAN.
172
Tabel 25. Perbandingan Perbedaan Rerata Gain Score Aspek Pengendalian Diri Antara Kelompok Perlakuan
Antar Kelompok
Perbedaan Rerata 1,071 0,875 -0,196
BERLIAN - NON BERLIAN BERLIAN – KONTROL NON BERLIAN - KONTROL
Sig.
Keterangan
0,000 0,003 0,503
Ada perbedaan Ada perbedaan Tidak ada perbedaan
Perbedaan rerata gain score pada kelompok BERLIAN juga berbeda sangat signifikan (p < 0,01) dengan kelompok KONTROL dengan perbedaan rerata sebesar 0,875, artinya peningkatan aspek pengendalian diri dari pretes ke postes pada kelompok BERLIAN lebih tinggi daripada peningkatan aspek pengendalian diri dari pretes ke postes pada kelompok KONTROL. Sementara itu perbedaan rerata gain score aspek pengendalian diri pada kelompok NON BERLIAN tidak menunjukkan perbedaan dengan kelompok KONTROL (p > 0,05). Untuk
mendapatkan
gambaran
perbandingan
gain
score
aspek
pengendalian diri antara kelompok BERLIAN, NON BERLIAN, dan KONTROL dapat dilihat pada Gambar 20.
Aspek pengendalian diri
1 BERLIAN 0.5
NON BERLIAN KONTROL
0 Rata-rata gain score -0.5
Gambar 20. Perbandingan Rata-Rata Gain Score Aspek Pengendalian Diri Antar Kelompok
173
4. Hasil analisis data aspek kerjasama Ringkasan hasil analisis varians dua jalan untuk aspek kerjasama disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Hasil Analisis Varians 2 Jalan Gain Score Aspek Kerjasama
Efek Variabel Corected Model: Jenis Kelamin Kelompok: Interaksi JK*KLP:
F 2,590 0,343 5,536 0,768
Sig 0,028 0,559 0,005 0,466
Kuadrat Eta 0,074 0,002 0,064 0,009
Hasil analisis varians dua jalan yang dilakukan menunjukkan bahwa berdasarkan hasil perhitungan corrected model diketahui ada perbedaan aspek kerjasama yang signifikan ditinjau dari jenis kelamin dan kelompok dengan nilai F = 2,590 dan p< 0,05 dengan sumbangan kedua variabel bebas yaitu jenis kelamin dan kelompok terhadap variabel aspek kerjasama adalah sebesar 7,4%. Jika ditinjau dari variabel jenis kelamin diperoleh hasil bahwa nilai F = 0,343 dan p > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin tidak mempunyai pengaruh terhadap aspek kerjasama. Hasil perhitungan analisis varian dua jalan juga menunjukkan bahwa variabel kelompok mempunyai pengaruh terhadap aspek kerjasama (F = 5,536; p < 0,01). Berdasarkan hasil perhitungan kuadrat eta dapat diketahui besarnya pengaruh variabel kelompok terhadap aspek kerjasama yaitu sebesar 6,4%. Hasil perhitungan anava dua jalan ini juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara variabel jenis kelamin dan kelompok dalam mempengaruhi variabel aspek kerjasama yang dapat diketahui dari nilai F = 0,766 dan p > 0,05.
174
Tabel 27. Perbandingan Perbedaan Rerata Gain Score Aspek Kerjasama Antara Kelompok Perlakuan
Antar Kelompok BERLIAN - NON BERLIAN BERLIAN – KONTROL NON BERLIAN – KONTROL
Perbedaan Rerata 0,161 0,857 0,696
Sig. 0,558 0,002 0,012
Keterangan Tidak ada perbedaan Ada perbedaan Ada perbedaan
Pemaparan hasil analisis tentang aspek kerjasama berikutnya diperoleh dari perhitungan pairwise comparations yang menunjukkan bahwa terjadi perbedaan aspek kerjasama antar kelompok yang sangat signifikan. Pada Tabel 27 disajikan perbandingan perbedaan rerata gain score aspek kerjasama antara BERLIAN, kelompok NON BERLIAN, dan kelompok KONTROL. Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa rerata gain score
aspek kerjasama
pada kelompok BERLIAN tidak ada perbedaan dengan kelompok NON BERLIAN (p > 0,05) tetapi ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok KONTROL (p < 0,01). Adapun perbedaan rerata gain score aspek kerjasama antara kelompok NON BERLIAN dan KONTROL menunjukkan hasil yang signifikan (p < 0,05). Hal ini mempunyai arti bahwa peningkatan aspek kerjasama dari pretes ke postes pada kelompok BERLIAN dan NON BERLIAN lebih tinggi daripada peningkatan aspek kerjasama dari pretes ke postes pada kelompok KONTROL. Untuk
mendapatkan
gambaran
perbandingan
gain
score
aspek
kerjasama antara kelompok BERLIAN, NON BERLIAN, dan KONTROL dapat dilihat pada Gambar 21.
175
Aspek kerjasama
0.8 0.6
BERLIAN
0.4
NON BERLIAN
0.2
KONTROL
0 -0.2
Rata-rata gain score
Gambar 21. Perbandingan Rata-Rata Gain Score Aspek Kerjasama Antar Kelompok
5. Hasil analisis data aspek empati Tabel 28 menyajikan ringkasan hasil anava dua jalan gain score untuk aspek empati. Tabel 28. Ringkasan Hasil Analisis Varians 2 Jalan Gain Score Aspek Empati
Efek Variabel Corected Model: Jenis Kelamin Kelompok: Interaksi JK*KLP:
F 4,946 1,605 10,646 0,920
Sig 0,000 0,207 0,000 0,400
Kuadrat Eta 0,132 0,010 0,116 0,011
Berdasarkan perhitungan corrected model pada Tabel 28 dapat diketahui bahwa ada pengaruh jenis kelamin dan kelompok terhadap peningkatan aspek empati yang ditunjukkan dengan nilai F= 4,946 dan p < 0,01. Besarnya pengaruh kedua faktor tersebut yaitu sebesar 13,2%. yang diketahui dari kuadrat eta. Hasil lain dari perhitungan analisis varians dua jalan adalah pengaruh jenis kelamin, kelompok, dan interaksi antara kedua faktor tersebut. Faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan aspek empati adalah faktor kelompok (F= 10,646; p < 0,01) dengan sumbangan sebesar 11,6%, sedangkan faktor jenis
176
kelamin (F = 1,605; p > 0,05) tidak berpengaruh terhadap peningkatan aspek empati. Hasil interaksi antara jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan kelompok dalam peningkatan aspek empati (F = 0,920; p > 0,05). Pemaparan hasil analisis tentang aspek empati berikutnya diperoleh dari perhitungan pairwise comparations yang menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata gain score antara kelompok BERLIAN dengan kelompok NON BERLIAN dan kelompok KONTROL. Dari Tabel 29 dapat diketahui bahwa rerata gain score kelompok BERLIAN lebih tinggi daripada daripada kelompok NON BERLIAN dengan perbedaan rerata sebesar 1,500 dan p < 0,01 dan lebih tinggi daripada kelompok KONTROL dengan perbedaan rerata sebesar 1,500 dan p < 0,01. Adapun perbedaan rerata gain score sebesar 0,286 antara kelompok NON BERLIAN dan kelompok KONTROL tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p > 0,05). Tabel 29. Perbandingan Perbedaan Rerata Gain Score Aspek Empati Antara Kelompok Perlakuan
Antar Kelompok BERLIAN - NON BERLIAN BERLIAN – KONTROL NON BERLIAN – KONTROL
Perbedaan Rerata 1,214 1,500 0,286
Sig.
Keterangan
0,001 0,000 0,409
Ada perbedaan Ada perbedaan Tidak ada perbedaan
Untuk mendapatkan gambaran perbandingan gain score aspek empati antara kelompok BERLIAN, NON BERLIAN, dan KONTROL dapat dilihat pada Gambar 22.
177
Aspek Empati
2 1.5
BERLIAN NON BERLIAN
1
KONTROL 0.5 0 Rata-rata gain score
Gambar 22. Perbandingan Rata-Rata Gain Score Aspek Empati Antar Kelompok
Berdasarkan pemaparan keseluruhan hasil analisis di atas, maka dapat dirangkum hasil penelitian sebagai berikut: 1. Ada pengaruh kelompok terhadap peningkatan kompetensi sosial yaitu kelompok BERLIAN mengalami peningkatan kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada kelompok NON BERLIAN dan kelompok KONTROL, serta kelompok NON BERLIAN lebih tinggi daripada kelompok KONTROL. 2. Ada pengaruh kelompok terhadap peningkatan aspek problem solving yaitu kelompok BERLIAN mengalami peningkatan aspek problem solving yang lebih tinggi daripada kelompok NON BERLIAN dan kelompok KONTROL dan kelompok NON BERLIAN lebih tinggi daripada kelompok KONTROL. 3. Ada
perbedaan
pengaruh
kelompok
terhadap
peningkatan
aspek
pengendalian diri yaitu kelompok BERLIAN mengalami peningkatan aspek pengendalian diri lebih tinggi dari pada kelompok NON BERLIAN dan kelompok KONTROL tetapi antara kelompok NON BERLIAN dan kelompok KONTROL tidak ada perbedaan peningkatan aspek empati..
178
4. Tidak ada perbedaan pengaruh antara kelompok BERLIAN dan kelompok NON BERLIAN terhadap terhadap peningkatan aspek kerjasama tetapi kelompok BERLIAN dan kelompok NON BERLIAN mempunyai pengaruh yang berbeda dengan kelompok KONTROL artinya kelompok BERLIAN dan kelompok NON BERLIAN mengalami peningkatan aspek kerjasama yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok KONTROL. 5. Ada perbedaan pengaruh kelompok
terhadap peningkatan aspek empati
yaitu kelompok BERLIAN mengalami peningkatan aspek empati lebih tinggi dari pada kelompok NON BERLIAN dan kelompok KONTROL tetapi antara kelompok NON BERLIAN dan kelompok KONTROL tidak ada perbedaan peningkatan aspek empati. 6. Tidak ada pengaruh jenis kelamin dalam peningkatan kompetensi sosial dan aspek-aspeknya, yaitu tidak ada perbedaan peningkatan kompetensi sosial dan aspek-aspeknya antara anak laki-laki dan perempuan.
179
BAB V PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian di Bab IV diketahui bahwa secara umum hipotesis penelitian diterima yaitu ada pengaruh permainan tradisional dengan metode BERLIAN terhadap peningkatan kompetensi sosial anak usia sekolah. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kelompok yang memperoleh perlakuan permainan tradisional dengan metode BERLIAN mengalami peningkatan kompetensi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang memperoleh permainan tradisional tanpa metode BERLIAN. Dengan demikian dapat diperoleh kesimpulan bahwa permainan tradisional dapat meningkatkan kompetensi sosial dan peningkatan akan lebih tinggi jika disertai dengan metode BERLIAN. Berikut ini akan dibahas tentang pengaruh permainan tradisional terhadap kompetensi sosial dan tentang peranan metode BERLIAN dalam penanaman nilai-nilai kompetensi sosial. Pembahasan ini akan dikaitkan dengan teori
pembelajaran
kompetensi
sosial
yaitu
teori
Ekologi
dari
Urie
Bronfenbrenner, teori kognisi sosial dari Bandura. Pembahasan berikutnya adalah penjelasan tentang hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam peningkatan kompetensi sosial melalui permainan tradisional maupun permainan tradisional dengan metode BERLIAN. Di bagian akhir dibahas tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi kompetensi sosial anak. A. Pengaruh Permainan Tradisional terhadap Kompetensi Sosial Hasil penelitian tentang adanya pengaruh permainan tradisional terhadap kompetensi sosial mendukung beberapa penelitian terdahulu yang menunjukkan
180
bahwa ada hubungan antara bermain dengan kompetensi sosial. Hasil metaanalisis yang telah dilakukan oleh peneliti (Iswinarti, 2012) dengan mengambil data sebanyak dua puluh artikel hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara bermain dan kompetensi sosial meskipun korelasinya tidak selalu positif. Terjadinya korelasi positif
maupun negatif antara bermain dan
kompetensi sosial dapat dijelaskan dari jenis permainannya. Permainan yang tergolong dalam kategori bermain sosial adalah permainan lokomotorik, rough & tumble, sosiodrama, bermain sosial dengan objek, dan permainan dengan aturan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bermain sosial berkorelasi positif dengan kompetensi sosial sedangkan bermain sendiri (solitary play) berkorelasi negatif dengan kompetensi sosial (Coplan et al, 2001; McAloney & Stagnitti, 2009; Spinrad et al, 2004; Uren & Stagnitti, 2009). Permainan tradisional yang digunakan dalam penelitian ini adalah permainan tradisional gembatan atau di beberapa daerah mempunyai nama yang berbeda seperti boy-boy an, pal-palan, gebokan, sepak kereweng, dina boy, dan ganevo. Permainan ini merupakan permainan yang mempunyai ciri-ciri yaitu: (1) merupakan permainan sosial karena melibatkan lebih dari satu orang, (2) melibatkan aktivitas fisik (3) permainan yang mempunyai aturan, (4) ciri permainan kelompok karena terdiri dari dua tim dalam satu kelompok, (5) permainan kompetisi karena menghasilkan kelompok yang menang dan kalah. Beberapa ciri permainan di atas mempunyai kemiripan dengan ciri-ciri permainan rough and tumble yang diteliti oleh Pelligrini (1998). Hasil penelitian
yang
dilakukan secara longitudinal pada anak-anak usia sekolah dasar tersebut menunjukkan bahwa permainan rough and tumble dapat meningkatkan
181
kompetensi sosial pada anak yang populer, sedangkan pada anak-anak yang ditolak permainan ini dapat meregulasi agresivitas. Penjelasan lain yang dapat digunakan untuk mendiskusikan hubungan antara permainan tradisional dengan kompetensi sosial adalah tentang isi (content) materi yang ada dalam permainan. Berdasarkan analisis isi terhadap permainan tradisional gembatan (Iswinarti, 2012) dapat diketahui bahwa permainan tradisional gembatan berisi indikator-indikator permainan yang mempunyai nilai-nilai kompetensi sosial yaitu problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. Berkaitan dengan isi atau materi permainan yang berpengaruh terhadap kompetensi sosial juga diteliti secara metaanalisis oleh Anderson, et al (2010) yang menemukan bahwa materi video yang bertema kekerasan berkorelasi positif dengan agresivitas dan berkorelasi negatif dengan empati
dan
perilaku
prososial.
Agresivitas
merupakan
perilaku
yang
mencerminkan kompetensi sosial yang rendah, sedangkan empati dan perilaku prososial merupakan aspek dari kompetensi sosial. Penelitian-penelitian tentang peningkatan aspek-aspek dalam kompetensi sosial yaitu problem solving, pengendalian diri, empati, dan kerjasama melalui kegiatan bermain telah dilakukan dan hasilnya sebagian besar menunjukkan adanya pengaruh bermain terhadap kompetensi sosial. Peningkatan kemampuan problem solving melalui bermacam games telah menunjukkan pengaruh yang signifikan (Lowrie, 2005; Pata, Sarapuu, & Lehtinen, 2005; Hong & Liu, 2003; Fiore et al., 2002). Dalam aspek kerjasama, bermain melalui cerita sosial berkorelasi dengan kemampuan kerjasama pada anak normal maupun anak dengan gangguan klinis (Klitzing, Stadelmann, & Perren, 2007). Partisipasi anak dalam permainan olahraga pada anak usia sekolah berkorelasi positif dengan
182
aspek kerjasama dan pengendalian diri (Findlay & Coplan, 2008). Demikian juga penelitian Boot et al (2008) menunjukkan adanya pengaruh bermain video terhadap pengendalian diri. Kemampuan kerjasama dan pertemanan pada anak autis bisa ditingkatkan melalui permainan interaktif (Koegel et al., 2001). Selain penelitian-penelitian tentang pengaruh bermain terhadap problem solving, kerjasama, dan pengendalian diri, beberapa penelitian tentang pengaruh bermain terhadap empati juga telah dilakukan. Penelitian Robinson, Landreth, & Packman (2007) pada 30 anak sekolah dasar yang mengalami kesulitan penyesuaian
menunjukkan adanya peningkatan respon empati setelah
memperoleh filial play therapy training. Hasil yang sebaliknya terjadi pada penelitian Funk et al (2003) yang berdasarkan hasil penelitiannya terhadap 66 anak usia 5-12 tahun memberikan hasil bahwa bermain video games yang bertema kekerasan akan menurunkan empati anak. Gambaran tentang berbagai penelitian yang mendukung penelitian ini menunjukkan
bahwa
apakah
permainan
dapat
meningkatkan
maupun
menurunkan aspek-aspek kompetensi sosial tergantung dari jenis dan isi permainan. Hasil ini dapat dijelaskan dengan teori belajar sosial atau teori kognisi sosial (Bandura, 1979; Buckley & Anderson, 2006) yang mengatakan bahwa seseorang belajar melalui pengalaman langsung atau melalui observasi. Dalam mengobservasi seseorang dapat mengobservasi dirinya maupun orang lain dalam suatu ruangan yang sama, pada televisi, pada film maupun video. Ketika mengobservasi seseorang akan dipertimbangkan apakah perilaku tersebut memperoleh reward atau punishment. Seseorang akan cenderung meniru perilaku jika mereka menyaksikan bahwa perilaku tersebut mendapatkan reward dan akan kurang meniru jika perilaku tersebut memperoleh punishment.
183
Berdasarkan penjelasan tentang teori ini maka isi atau materi permainan yang dialami dan diobservasi oleh anak menjadi penting. Ketika yang dialami dan diobservasi oleh anak adalah video tentang kekerasan maka yang akan ditiru anak adalah perilaku agresif, sedangkan jika yang dialami dan diobservasi oleh anak adalah permainan yang mengandung nilai-nilai sosial maka yang akan ditiru anak adalah perilaku sosial. Berkaitan dengan anak-anak yang bermain permainan tradisional gembatan dalam penelitian ini maka dapat dijelaskan bahwa ketika yang dialami dan diobservasi oleh anak adalah perilaku yang mengandung nilai-nilai kompetensi sosial maka anak akan belajar untuk melakukan perilaku-perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Adapun aspek-aspek kompetensi sosial yang dipelajari anak dalam permainan tradisional gembatan meliputi: 1. Anak belajar problem solving. Kemampuan problem solving anak dipelajari dari bagaimana anak memecahkan masalah dalam bermain meliputi bagaimana anak belajar mengatur strategi, mengambil keputusan, dan resolusi konflik. Anak belajar mengatur strategi nampak ketika anak belajar melempar bola dengan tepat maupun ketika bersama kelompok anak mencari cara untuk mengalahkan lawan. Anak juga belajar mengambil keputusan ketika harus melempar bola ke arah temannya maupun menentukan arah lari ketika menghindari lemparan bola. Pelajaran berperilaku sosial juga diobservasi oleh anak ketika harus mengatasi konflik dengan teman dalam satu tim maupun dengan teman dari tim lawan. Anak belajar resolusi konflik dari pengalaman yang dialaminya sendiri maupun
184
menyaksikan pengalaman teman yang mengalami konflik dan melakukan penyelesaian atas konflik tersebut. 2. Anak belajar pengendalian diri Pengendalian diri anak dipelajari dari bagaimana anak mengikuti aturan, membedakan perilaku yang benar dan yang salah, dan mengekspresikan perasaan dengan tindakan yang tepat. Pada saat bermain anak belajar mengikuti aturan-aturan permainan yang sudah disepakati seperti tidak boleh lari sambil membawa bola, ketika melempar bola tidak boleh kena kepala. Dalam bermain anak juga belajar sportif dan bersedia menerima sangsi ketika melakukan kesalahan. Ketika bermain anak juga mengalami berbagai perasaan atau emosi, baik yang positif maupun negatif. Di sini anak belajar mengekspresikan emosi yang sesuai dengan tuntutan sosial, yaitu tidak berbuat agresif ketika sedang mengalami emosi negatif. 3. Aspek kerjasama Dalam
permainan
gembatan,
anak
belajar
kerjasama
dari
pengalamannya bekerjasama dengan tim, maupun dari observasi yang dilakukannya terhadap teman-teman satu tim maupun teman-teman dari tim lawan ketika bekerjasama. Beberapa indikator perilaku pada saat bermain yang mencerminkan pelajaran kerjasama pada anak adalah ketika anak berkomunikasi dan memberi perhatian kepada anak lain, anak berbagi bola maupun ide dengan anak lain, maupun ketika anak berbagi tugas dengan anak lain dalam satu kelompok. 4. Aspek empati Aspek empati dipelajari anak dari pengalaman anak yang secara langsung mengalami kejadian yang menumbuhkan empati anak kepada
185
anak lain maupun secara tidak langsung yaitu anak menyaksikan pengalaman anak lain yang mengalami kejadian yang membuatnya belajar untuk berempati. Dalam penelitian ini empati muncul ketika ada pemain yang mengalami kejadian buruk misalnya jatuh, tertubruk oleh teman, atau kena lemparan bola. Pengalaman-pengalaman tersebut akan diobservasi oleh anak dan ditiru jika perilaku tersebut dalam pandangan anak akan memperoleh reward. Namun jika perilaku tersebut ternyata dipandang oleh anak akan memperoleh punishment maka kemungkinan anak tidak akan menirunya. Menurut teori kognisi sosial dari Bandura bahwa perilaku yang ditiru anak adalah perilaku yang dinilainya memperoleh reward dan akan kurang ditiru jika perilaku tersebut memperoleh punishment. Beberapa contoh perilaku subjek penelitian yang mencerminkan gambaran tentang dinamika tersebut misalnya: Subjek AS ketika melempar bola ke tim lawan (subjek DW) terlalu keras sehingga DW berteriak kesakitan dan menunjukkan ekspresi tidak suka (“agak marah”). AS pun minta maaf sambil mengulurkan tangannya. Dengan AS meminta maaf sambil mengulurkan tangan ternyata DW membalas uluran tangan tersebut. AS pun menepuk pundak DW sambil tersenyum. Hal yang sebaliknya terjadi pada subjek SD. Ketika SD melempar bola secara keras kepada subjek NA, NA pun marah. SD juga berusaha meminta maaf kepada NA tetapi NA tetap marah dan menunjukkan wajah cemberut sambil tetap marah-marah. Beberapa teman lain juga mengomentari SD agar jangan keras-keras ketika memukul, sementara anak lain juga mengomentari NA agar menerima permintaan maaf SD.
Gambaran hasil observasi di atas dapat dijelaskan melalui teori Bandura bahwa AS, DW, SD, dan NA dapat belajar perilaku sosial dari apa yang dialaminya maupun apa yang dialami oleh anak lain yang diobservasinya. AS belajar untuk mengendalikan diri yaitu melempar tidak terlalu keras kepada DW
186
karena dapat mengabkibatkan dirinya kena marah anak yang dilempar. AS juga melihat dan mengalami bahwa meminta maaf ternyata mendapatkan reward yaitu DW menjadi memaafkan dan tidak marah lagi kepadanya. DW juga belajar untuk memberi maaf karena dengan dia memberi maaf maka AS akan menganggapnya sebagai anak yang baik. Demikian juga dengan NA dan SD. Meskipun mereka berdua masih bersitegang tetapi mereka akhirnya juga dapat belajar
melalui
pengalaman
mereka
dan
pengalaman
anak
lain.
NA
mendapatkan komentar dari temannya untuk memberi maaf, sedangkan SD dinilai terlalu keras dalam melempar bola. Dalam hal ini punishment diberikan kepada NA karena dia tidak memberi maaf, sementara itu punishment juga diberikan kepada SD karena melempar terlalu keras. Menurut teori Bandura anak akan tidak meniru perilaku NA yang tidak memberi maaf maupun SD yang melempar terlalu keras karena perilaku tersebut mendapat punishment dari teman-temannya. Anak-anak lain yang menyaksikan perilaku-perilaku AS, DW, NA, dan SD juga belajar perilaku sosial yang mendapatkan reward maupun perilaku sosial yang mendapatkan punishment. Dalam permainan yang diberikan selama
enam sesi maka berbagai
perilaku sosial telah dipelajari oleh anak. Ketika melakukan permainan tradisional gembatan anak secara berulang mengalami dan mengobservasi berbagai perilaku sosial dalam konteks bermain. Anak-anak atau subjek penelitian serius dan bersungguh-sungguh dalam bermain. Hal ini nampak dari hasil manipulation check yang menunjukkan bahwa skor rata-rata pada semua aitem berada pada rentangan skor antara 3,2 – 4,7. Skor tersebut mempunyai arti bahwa observer menilai anak-anak menunjukkan keseriusan dan responsif terhadap jalannya permainan karena rentangan skor yang disediakan adalah antara 1 – 5. Dengan
187
demikian pembelajaran kompetensi sosial melalui permainan tradisional berjalan cukup optimal sehingga kompetensi sosial mengalami peningkatan. Meskipun anak telah bersungguh-sungguh dalam melakukan permainan namun tidak seluruh aspek kompetensi sosial dapat meningkat hanya dengan bermain permainan tradisional gembatan dalam enam sesi. Kompetensi sosial secara umum, aspek problem solving, dan aspek kerjasama mengalami peningkatan tanpa disertai metode BERLIAN namun demikian belum dapat meningkatkan aspek pengendalian diri dan empati. Dengan demikian untuk meningkatkan aspek pengendalian diri dan empati melalui permainan tradisional gembatan dalam enam sesi dibutuhkan bantuan kepada anak untuk memaknai perilaku melalui refleksi. Peran refleksi dalam meningkatkan kompetensi sosial dan aspek-aspeknya akan dibahas dalam sub tentang peranan metode BERLIAN dalam peningkatan kompetensi sosial. Pembahasan
tentang
hasil
penelitian
yang
menunjukkan
bahwa
permainan berpengaruh terhadap kompetensi sosial juga dapat dijelaskan dengan teori ekologi dari Urie Bronfenbrenner. Menurut Bronfenbrenner (1979) perkembangan anak dipengaruhi oleh lingkungan yang terdiri dari mikrosistem, mezosistem,
eksosistem, makrosistem, dan kronosistem. Anak bermain
permainan tradisional dengan teman sebaya mempunyai arti bahwa teman sebaya merupakan bagian dari mikrosistem. Mikrosistem adalah lingkungan paling dekat yang berpengaruh terhadap perkembangan anak, dalam hal ini adalah perkembangan kompetensi sosial. Dengan demikian hasil penelitian ini mendukung teori mikrosistem dari Brenfenbrenner. Mezosistem adalah interaksi antar mikrosistem. Dalam penelitian ini anak kompetensi sosial anak juga dipengaruhi oleh mezosistem. Ketika anak
188
memperoleh perlakuan permainan tradisional yang dipandu oleh fasilitator maka terjadi interaksi antara fasilitator, anak, dan teman sebaya. Interaksi antara mikrosistem ini merupakan mezosistem yang juga berpengaruh terhadap perkembangan anak. Permainan yang dimainkan bersama dengan teman dan dipandu oleh fasilitator menurut Fox et al. (2009) dapat menjadi pembelajaran untuk optimalisasi perkembangan sosial anak. Makrosistem merupakan konteks sistem terbesar yang terdiri msyarakat dan subkultur yang mempengaruhi perkembangan anak (Bronfenbrenner, 1979). Permainan tradisional pada dasarnya adalah permainan yang diturunkan dari generasi ke generasi dan mempunyai nilai-nilai baik dan luhur (Bishop & Curtis, 2001). Dengan demikian permainan tradisional juga menjadi bagian dari makrosistem
yang
dapat
mempengaruhi
perkembangan
anak.
Dengan
mendasarkan pada hasil penelitian bahwa permainan tradisional berpengaruh terhadap kompetensi sosial anak maka dapat bahwa permainan tradisional perlu dilestarikan dan diaplikasikan kembali dalam kegiatan anak sehari-hari. Penerapan ini menjadi penting mengingat di jaman sekarang ini budaya permainan dari produk industri barat seperti gadget telah menjamur dan menjadi budaya yang berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Pembahasan tentang hubungan antara permainan tradisional dengan kompetensi sosial juga dapat didiskusikan dengan topik neuroscience. Untuk memberikan wawasan tentang adanya hubungan antara bermain dengan neuroscience maka dilakukan pembahasan tentang permasalahan ini. Dengan demikian diharapkan ada penelitian lanjutan yang membahas permainan tradisional dalam hubungannya dengan neuroscience.
189
Berdasarkan hasil penelitian Pelligrini (1998)
daitemukan bahwa
permainan rough and tumble dapat meningkatkan kompetensi sosial anak usia sekolah.
Penelitian tentang pengaruh permainan rough and tumble terhadap
kompetensi sosial juga dilakukan pada tikus dengan
melihat perkembangan
“social brain” . Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Natural Sciences and Engineering Research Council of Canada and the Alberta Heritage Foundation for Medical Research (Pellis, Pellis, & Bell, 2010) yang diterapkan pada tikus menunjukkan bahwa ada pengaruh permainan rough and tumble terhadap peningkatan kompetensi sosial pada tikus. Berdasarkan hasil penelitian terhadap otak tikus diketahui bahwa ada kontrol neuron terhadap perilaku bermain yaitu mekanisme subcortical memediasi motivasi dan perilaku saat bermain. Pengalaman dalam bermain akan memodifikasi perkembangan dari area cortex yang lain. Perubahan cortex yang muncul tersebut akan memediasi bermain untuk penyempurnaan keterampilan sosial. Dalam
penelitian ini terbukti bahwa permainan tradisional
yang
mempunyai kemiripan dengan ciri-ciri permainan rough and tumble berhubungan dengan peningkatan kompetensi sosial. Dengan demikian anak-anak yang bermain permainan tradisional juga kemungkinan mengalami perkembangan “social brain”. Menurut Donald (2007) pada dasarnya social brain adalah tempat beradanya neurobiologi dari kognisi sosial. Dengan demikian ketika social brain berkembang maka kognisi sosial juga akan berkembang. Beberapa ahli juga mendukung pendapat bahwa bermain erat kaitannya dengan perkembangan otak (Brown & Vaughan, 2009; Goldstein, 2012; OECD, 2007; Sattelmair & Ratey, 2009).
190
Penelitian lain tentang
neuroscience yang berhubungan dengan
perkembangan bermain dan kompetensi sosial pada anak adalah ToM (theory of mind). ToM merupakan kemampuan untuk meletakkan status mental kepada diri sendiri maupun orang lain sebagai cara untuk memprediksi perilaku (Premack & Woodruff, 1978). Secara sederhana, individu yang mempunyai ToM akan mampu untuk menempatkan suatu keadaan mental pada diri sendiri maupun orang lain, seperti keyakinan, niat, pengetahuan, dan keingintahuan (Patnaik, 2008). Beberapa penelitian tentang ToM (theory of mind) menyimpulkan bahwa ToM memprediksikan kompetensi sosial sedangkan hubungan dan interaksi sosial mempengaruhi perkembangan ToM. Kemampuan ToM yang baik
dapat
memprediksikan kemampuan relasional yang baik pula seperti perilaku kerjasama maupun hubungan yang positif dengan anak lain (Hughes & Leekam, 2004; Symons, 2004). Jika dihubungkan dengan permainan tradisional yang dimainkan oleh anak maka dapat dijelaskan bahwa dalam permainan tradisional yang berbentuk games (misalnya: gembatan, gobag sodor, wak-wak gung, dll) anak akan berinteraksi sosial dengan anak lain. Dengan adanya interaksi dan relasi sosial dengan anak lain maka ToM anak akan meningkat sehingga kompetensi sosial juga akan meningkat. Asumsi ini ditunjang oleh beberapa penelitian yang menemukan bahwa hubungan anak dengan orang lain seperti dengan orang tua maupun teman sebaya dapat meningkatkan ToM (Afranz, Artamendi, Olabarieta, & Martin, 2002; Losh, et all., 2012; Park, 2001, Randell, 2009). Konsep lain yang juga berhubungan dengan neuriscience adalah executive function. Pengertian executive function mengacu pada kemampuan untuk berada lebih lama dengan orang lain, untuk berkompromi, membuat
191
rencana, bernegosiasi, memperhatikan, dan problem solving. Executive function mencakup tiga dimensi kemampuan yaitu working memory, inhibitory control, dan cognitive flexibility (Anderson, 2001; Thorell, et al., 2009). Kemampuan ini merupakan dasar untuk keberhasilan dalam belajar dan berhubungan sosial. Berbagai penelitian telah menemukan bahwa executive function dapat distimulasi dengan kegiatan bermain (Bodrova, Germeroth, & Leong, 2013; Kelly, Hammond, Dissanayake, & Ihsen, 2011:; Petty,
Thereza,, & Souza, 2012,
White, 2012). Menurut Petty, Thereza, de Souza (2012) yang melakukan review tentang
hubungan
antara
bermain
dengan
executive
function
dengan
mendasarkan pada teori Piaget menyimpulkan bahwa permainan dengan aturan yang dimainkan oleh anak usia 7-11 dan disupervisi oleh profesional akan memberi tantangan kepada anak untuk mengembangkan penalaran dan otonomi sehingga berkontribusi terhadap perkembangan executive function. Penelitian lain menemukan bahwa bermain game yaitu permainan yang mempunyai aturan, mempunyai unsur kompetisi, dan melibatkan aktivitas fisik akan meningkatkan executive function pada anak usia sekolah akhir dan remaja awal (Flynn, 2014; Staiano, , Abraham, & Calvert, 2012). Berdasarkan pemaparan tentang penelitian yang mengarah kepada neuroscience tersebut di atas maka dapat direkomendasikan untuk dilakukan studi lebih lanjut tentang pengaruh permainan tradisional terhadap ToM maupun executive function. Dengan demikian hubungan antara permainan tradisional dan kompetensi sosial bisa lebih dijelaskan dengan konsep neuriscience yaitu ToM dan executive function.
192
B. Peranan Metode BERLIAN dalam Peningkatan Kompetensi Sosial Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa permainan tradisional dengan metode BERLIAN mempunyai pengaruh yang lebih tinggi dalam meningkatkan kompetensi sosial dibandingkan dengan permainan tradisional tanpa metode BERLIAN. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permainan tradisional yang disertai dengan refleksi yang dipandu oleh fasilitator terhadap pengalaman anak dalam bermain mempunyai peranan dalam meningkatkan kompetensi sosial anak. Metode
BERLIAN
(Bermain-ExpeRiential-LearnIng-ANak)
dalam
penelitian ini adalah metode yang digunakan untuk melatih kompetensi sosial anak dengan media permainan tradisional. Menurut Silberman (2007a) experiential learning sesuai untuk digunakan dalam training yang bersifat interaktif. Hal penting dalam experiential learning adalah pelibatan peserta dalam aktivitas yang kongkrit sehingga mereka benar-benar
“mengalami” apa yang
dipelajari serta adanya kesempatan untuk merefleksikan aktivitas yang dialami. Dalam penelitian ini anak-anak yang memperoleh perlakuan permainan tradisional dengan metode BERLIAN secara sengaja diberi pengalaman untuk belajar nilai-nilai kompetensi sosial yang terkandung dalam permainan tradisional gembatan. Dalam permainan tersebut anak terlibat penuh secara fisik, kognitif, emosi, dan perilaku. Menurut Zigmont et al. (2011) dan Kohonen (2005) pengalaman yang paling berkontribusi terhadap proses belajar adalah yang menyulut secara emosional, menekan, menantang sehingga seluruh tubuh akan terlibat secara penuh.
Rancangan simulasi yang dapat membuat perubahan
193
tubuh secara optimal akan memperkuat refleksi yang bermakna tetapi tidak menimbulkan tekanan dalam proses belajar. Pengertian
refleksi
dalam
proses
experiential
learning
adalah
menfasilitasi pengalaman agar pengalaman tersebut mempunyai arti (Guthrie & McCracen, 2010; Kolb, 1884; Schutte & Wetmore, 2012). Dengan melakukan refleksi terhadap pengalaman anak ketika melakukan permainan tradisional maka anak akan belajar tentang nilai-nilai kompetensi sosial yang ada dalam permainan tersebut sehingga anak akan lebih mudah memperoleh pemaknaan terhadap pengalamannya dibandingkan dengan jika anak hanya bermain saja tanpa disertai dengan refleksi terhadap pengalamannya. Hal ini terjadi karena terjadi proses experiential learning pada anak atau anak belajar melalui pengalaman yang telah dijalaninya. Dalam penelitian ini metode BERLIAN yang menyertai permainan tradisional dimainkan anak mempunyai peran dalam meningkatkan kompetensi sosial secara umum dan aspek-aspek kompetensi sosial yaitu problem solving, pengendalian diri, dan kerjasama. Dalam aspek problem solving peran refleksi dalam permainan tradisional adalah lebih dapat meningkatkan kompetensi sosial daripada permainan tradisional yang diberikan tanpa disertai refleksi. Sementara itu peran refleksi sangat besar dalam peningkatan aspek pengendalian diri dan empati karena jika permainan tradisional tidak disertai dengan refleksi hasilnya tidak berbeda dengan anak yang tidak bermain permainan tradisional. Berkaitan dengan peran metode BERLIAN dalam aspek problem solving dapat diperoleh data di lapangan pada saat ekperimen yang mendukung peran metode BERLIAN. Aspek problem solving yang mencakup indikator mengatur
194
strategi, menentukan pilihan, dan resolusi konflik terlihat secara nyata bahwa ada perbedaan perubahan perilaku saat bermain antara kelompok BERLIAN dan kelompok NON BERLIAN. Pada kelompok BERLIAN terlihat bahwa anak-anak mengalami kemajuan lebih cepat dalam teknik permainan seperti melempar bola, menata kereweng, kekompakan tim, dan memperbaiki kesalahan yang dibuat. Pertengkaran antar kelompok pada saat bermain juga masih terlihat pada tiap sesi pada kelompok NON BERLIAN, sedangkan pada kelompok BERLIAN relatif lebih jarang terjadi. Berdasarkan hasil observasi terhadap permainan gembatan oleh kelompok BERLIAN dan NON BERLIAN dan hasil laporan oleh fasilitator diketahui bahwa dengan adanya kesempatan untuk memberikan refleksi dan memberikan pembelajaran tentang problem solving kepada kelompok BERLIAN maka permainan anak menjadi lebih terarah. Sementara itu permainan anakanak pada kelompok NON BERLIAN berjalan tanpa adanya bantuan dari fasilitator
untuk
memperoleh
pembelajaran
problem
solving
sehingga
pembelajaran problem solving hanya diperoleh dari pengalaman mereka sendiri. Dalam penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa pembelajaran aspek pengendalian diri dan empati melalui permainan tradisional gembatan diperlukan metode BERLIAN karena pemberian permainan tradisional yang tidak disertai dengan metode BERLIAN belum dapat meningkatkan kompetensi sosial secara signifikan. Dengan demikian permainan tradisional saja dalam enam sesi yang dilakukan oleh subjek penelitian belum cukup untuk memberikan makna kepada anak dalam belajar aspek pengendalian diri dan empati. Pemberian permainan tradisional dalam enam sesi ini dapat meningkatkan aspek pengendalian diri dan empati apabila
disertai dengan refleksi dan pemberian makna terhadap
pengalaman anak oleh fasilitator.
195
Dalam aspek pengendalian diri terlihat nyata peran metode BERLIAN dalam pembelajaran pengendalian diri dibandingkan dengan metode NON BERLIAN. Pada kelompok yang memperoleh permainan tradisional dengan metode NON BERLIAN nampak adanya penurunan aspek pengendalian diri meskipun turunnya aspek tersebut tidak signifikan. Berdasarkan hasil observasi di lapangan peneliti menduga penyebab dari
sedikit menurunnya aspek
pengendalian diri pada kelompok NON BERLIAN ini disebabkan karena ada satu kelompok anak laki-laki yang salah satu anggotanya menjadi “provokator” untuk melakukan permainan yang agak menyimpang dari yang disepakati. Anak lakilaki tersebut mempengaruhi teman-temannya agar menghalangi tim pemain untuk menata kereweng ketika mereka menjadi tim penjaga. Permainan yang semestinya adalah mereka berusaha untuk “mematikan” lawan dengan cara melempar bola, namun kenyataannya mereka menggunakan badan untuk menghalangi lawan menyentuh kereweng. Dengan keadaan tersebut maka anakanak cenderung tidak mengikuti aturan yang menjadi salah satu indikator pembelajaran aspek pengendalian diri. Pengendalian diri merupakan kekuatan seseorang untuk mengendalikan perilaku diri sendiri, anak tahu mana yang benar dan salah, serta dapat membuat pilihan yang tepat dalam berperilaku (Crockett & Knoff, 2003). Pengendalian diri berkembang mulai dari anak sampai remaja (Tarullo, Obradovic, & Gunnar, 2009). Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengendalian diri dilatihkan dan dibelajarkan pada anak dan remaja (Chein, et al., 2012; Duckworth, Gendler, & Gross, 2014; lake & Hoyt, 2004). Dalam pelatihan dan pembelajaran tersebut dilatihkan strategi dan manajemen diri .
196
Permainan tradisional gembatan sebagai media untuk melatih dan membelajarkan pengendalian diri pada anak juga diperlukan metode BERLIAN agar anak lebih memperoleh pemahaman tentang pengendalian diri. Dengan bantuan metode experiential learning anak diajarkan untuk memahami dan menerapkan perilaku pengendalian diri dalam permainan, misalnya bagaimana anak mengikuti aturan dan menahan diri untuk tidak berbuat agresif. Hasil pengamatan di lapangan juga diperoleh penjelasan bahwa di awal-awal permainan anak-anak mengalami kesulitan untuk mengikuti aturan, misalnya untuk menahan diri agar tidak berlari lebih dari satu langkah sambil membawa bola pada saat jadi tim penjaga. Aturan-aturan akhirnya bisa ditaati pada akhirakhir sesi permainan setelah beberapa kali memperoleh refleksi. Berikut ini contoh kasus yang dijumpai pada salah satu subjek penelitian yang berkaian dengan aspek pengendalian diri. AN adalah salah satu subjek penelitian pada kelompok BERLIAN. Di sesisesi awal (sesi 1 dan sesi 2) permainan AN menunjukkan perilaku yang kurang dapat mengendalikan diri seperti marah-marah, mengumpat dan bicara kotor. Hampir di setiap peristiwa yang terjadi dalam bermain AN selalu mengeluarkan umpatan, misalnya ketika dirinya melempar bola tetapi meleset, ketika dirinya terkena lemparan bola, maupun ketika teman satu timnya berbuat kesalahan. Pada saat refleksi beberapa perilaku AN menjadi bahan refleksi. Fasilitator dan teman-temannya memberi komentar tentang perilakunya dan memintanya agar dapat menahan diri untuk tidak berbicara jorok dan kasar. AN terlihat diam dan pura-pura tidak mendengar komentar teman-teman dan fasilitator. Pada saat permainan sesi 3 perilaku AN yag suka mengumpat dan berkata jorok mulai berkurang sehingga pada saat refleksi AN mendapat pujian karena berhasil mengendalikan perilaku yang tidak sosial. Pada permainan hari kedua perilaku AN dalam bermain sudah banyak berubah. AN sudah menunjukkan perilaku yang dapat mengendalikan diri terutama dalam indikator mengekspresikan emosi dalam situasi yang tepat dan tidak berbuat agresif. Bahkan pada saat refleksi AN sudah dapat memberi komentar dan menasihati temannya ketika temannya marah-marah.
197
Gambaran kasus di atas menunjukkan bahwa AN belajar mengendalikan diri dari refleksi yang diterimanya baik dari teman-temannya maupun dari fasilitator dan AN berusaha untuk menerapkannya. Aspek yang juga membutuhkan peranan metode BERLIAN untuk meningkatkannya adalah aspek empati. Empati adalah kemampuan untuk memahami perspektif orang lain dan mempunyai reaksi emosi yang mendalam terhadap apa yang dialami orang tersebut (Hastings et al., 2006; SchonertReichl, 2011). Peran refleksi dalam pembelajaran empati melalui permainan tradisional gembatan adalah mengajak anak untuk memahami dan merasakan apa yang dialami oleh anak lain saat bermain. Dalam penelitian ini anak menghadapi beberapa peristiwa yang terjadi pada saat bermain seperti anak yang terlempar bola dan merasa kesakitan, anak yang menjadi penyebab kekalahan timnya kemudian disalahkan oleh teman-temannya, anak yang terjatuh sehingga merasa kesakitan. Jika peristiwa tersebut tidak secara sengaja dihadapkan pada anak maka kemungkinan anak tidak terlalu memperhatikan dan mengaggapnya sebagai hal yang biasa, tetapi jika peristiwa-peristiwa tersebut secara sengaja dihadapkan pada anak dan anak memperoleh penjelasan tentang makna dari peristiwa-peristiwa tersebut maka pembelajaran empati akan terjadi. Contoh kasus tentang peranan metode BERLIAN dalam meningkatkan empati anak dapat diketahui dari pengalaman subjek WD. Sejak pertama ikut dalam kegiatan eksperimen WD terlihat pendiam dan tidak banyak bicara. Dalam bermain terlihat tidak ada yang istimewa pada diri WD. WD bermain dan mengikuti aturan permainan seperti kebanyakan yang dilakukan anak lain. Pada sesi ke 5 WD terkena bola yang cukup keras dari temannya (AJ). WD marah dan akan memukul AJ tetapi teman-temanya
198
menghalangi dan memeganginya. Pada saat refleksi fasilitator menfasilitasi perdamaian di antara mereka dan mengajak mereka untuk mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut. AJ meminta maaf kepada WD tetapi WD masih cemberut sampai akhir sesi. Dua hari setelah selesai eksperimen dilakukan postes kepada WD dan seluruh teman sekelasnya. Setelah selesai postes peneliti mencoba untuk mewawancarai beberapa anak untuk mengetahui pembelajaran yang telah mereka peroleh selama bermain gembatan. Mereka dapat menjawab pelajaranpelajaran yang diperoleh selama bermain seperti mengatur strategi, mengambil keputusan, bekerja sama, mengikuti aturan, sportif, mengendalikan emosi, dan beberapa pembelajaran sosial yang lain. Peneliti mencoba untuk mendekati WD dan menanyakan kepadanya tentang pembelajaran yang paling berkesan yang diperolehnya. Dengan wajah yang “tidak ekspresif” WD menjawab: “Saya belajar memaafkan”. Peneliti mencoba untuk bertanya lebih lanjut tentang hal tersebut dan WD mengatakan bahwa meskipun berat tetapi dia melihat kesungguhan dan perhatian dari teman-teman yang memintanya untuk memaafkan. Sampai di rumah WD masih memikirkan peristiwa tersebut dan mencoba untuk memahami teman-temannya. Akhirnya dia menyimpulkan bahwa dia harus memaafkan temannya. Dalam kasus di atas dapat dijelaskan bahwa WD mengalami proses “mengabstraksi” tentang bagaimana memahami orang lain setelah sebelumnya memperoleh
pembelajaran
melalui
refleksi
terhadap
pengalamannya.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan juga menunjukkan bahwa pembelajaran empati diperlukan contoh-contoh kajadian nyata sebagai bahan untuk melakukan refleksi oleh fasilitator. Hasil penelitian ini juga mendukung beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kemampuan empati perlu pelatihan dan pembelajaran (Sakofsky, 2009;
Schonert-Reichl, Smith, Zaidman-Zaid,
&
Hiertman, 2012; Yadav & Iqbal, 2009) Dalam penelitian ditemukan bahwa metode BERLIAN mempunyai peran yang tidak terlalu besar dalam peningkatan aspek kerjasama. Aspek kerjasama mengalami peningkatan baik pada kelompok BERLIAN maupun kelompok NON BERLIAN. Hasil ini dapat dijelaskan bahwa kerjasama adalah perilaku yang
199
kurang memerlukan kemampuan kognitif yang abstrak dibandingkan dengan aspek problem solving, pengendalian diri, maupun empati. Dalam proses eksperimen nampak bahwa anak secara otomatis belajar kerjasama karena permainan tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kerjasama tim. Pelatihan kerjasama dalam permainan ini langsung diterapkan oleh anak baik pada kelompok BERLIAN maupun non BERLIAN. Dengan demikian untuk melatihkan kerjasama melalui permainan tradisional gembatan dapat dilakukan tanpa mengajak anak merefleksikan pengalamannya. Pentingnya peranan metode BERLIAN dalam mendukung permainan tradisional dalam pembelajaran kompetensi sosial juga dapat dijelaskan
dari
hasil pengamatan terhadap proses eksperimen. Lebih efektifnya permainan tradisional yang disertai dengan metode BERLIAN dibandingkan dengan metode NON BERLIAN dalam meningkatkan kompetensi sosial anak juga didukung oleh keseriusan dan kesungguhan anak dalam mengikuti proses refleksi. Berdasarkan hasil manipulation check dapat diketahui bahwa pada semua aitem dan pada semua sesi refleksi anak-anak yang menjadi subjek penelitian memperoleh skor di atas mean hipotetik yaitu antara skor 3,2 – 4,4 pada perempuan dan skor 3,3 – 4,1 pada laki-laki. Kesungguhan dan keseriusan subjek penelitian pada kelompok BERLIAN saat dilakukan refleksi ini membantu anak untuk lebih dapat memperoleh makna dari pengalaman bermain yang diperolehnya. Hasil penelitian tentang pengaruh permainan tradisional dengan metode BERLIAN terhadap peningkatan kompetensi sosial ini juga memperkuat beberapa teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini yaitu:
200
1. Teori Ekologi dari Bronfenbrenner (Bronfenbrenner, 1979; Bern, 2010) Teori ini menekankan pentingnya lingkungan dan pengaruhnya terhadap perkembangan anak, dalam hal ini adalah perkembangan sosial. Menurut teori ini ada beberapa sistem yang berpengaruh terhadap perkembangan seseorang yaitu mikrosistem, mezosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem. . Pada anak mikrosistem atau lingkungan kecil mempunyai peranan yang awal dan besar terhadap perkembangan anak. Teman sebaya merupakan salah satu dari mikrosistem selain orang tua dan sekolah yang berperan besar dalam perkembangan anak. Dalam pembelajaran komptensi sosial melalui permainan tradisional yang disertai dengan metode BERLIAN ini juga dapat berimplikasi dari peranan mesosistem dalam pembelajaran ini. Mezosistem merupakan interaksi antara pihak-pihak yang berada pada mikrosistem yang mempengaruhi perkembangan anak. Dengan diberikannya metode BERLIAN yaitu merefleksikan dan memberian makna yang dipandu oleh fasilitator terhadap pengalaman anak dalam bermain permainan tradisional maka terbukti bahwa mengajak anak untuk memberi makna terhadap pengalaman dapat meningkatkan pemahaman anak terhadap
pengalamannya.
Menurut
Kolb
(1984)
dengan
merefleksikan
pengalaman maka akan terjadi tranformasi pemahaman sehingga seseorang akan dapat mengubah perilakunya ketika menghadapi pengalaman baru. Peran orang dewasa dalam membantu anak memberi makna terhadap pengalaman menjadi penting karena terbukti lebih dapat meningkatkan kompetensi sosial anak. 2. Teori Fox dan kawan-kawan tentang model piramida dukungan sosial (Fox, et al., 2009; Kostelnik, et al., 2012)
201
Model
ini
mengusulkan
bahwa
perkembangan
sosial
yang
dimanifestasikan dalam kompetensi sosial perlu dikembangkan dan diajarkan melalui berbagai jenis intervensi, yaitu intervensi universal dan intervensi targeted.
Intervensi
universal
diberikan
kepada
semua
anak
untuk
mengoptimalkan perkembangannya, sedangkan intervensi targetted diberikan kepada anak-anak yang membutuhkan perlakuan khusus untuk meningkatkan kompetensi sosial. Dalam model piramida dukungan sosial disebutkan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi sosial pada semua anak adalah dengan cara teaching and coaching. Selanjutnya salah satu aktivitas yang merupakan bagian dari teaching and coaching adalah bermain dengan teman sebaya. Dengan demikian hasil penelitian ini juga mendukung teori dari Fox et al. (2009) bahwa aktivitas bermain dengan teman sebaya dapat meningkatkan kompetensi sosial. Penelitian ini juga memperkaya hasil penelitian sebelumnya di Indonesia yang menggunakan permainan tradisional sebagai media untuk intervensi yaitu Larasati (2009) yang menggunakan permainan tradisional sebagai media untuk meningkatkan interaksi sosial pada anak yang kesulitan bergaul dan Taufik (2011)
yang
ethnoempathy.
menggunakan Dengan
permainan
demikian
tradisional
permainan
untuk
tradisional
meningkatkan
melalui
metode
BERLIAN dapat dijadikan alternatif untuk intervensi peningkatan kompetensi sosial anak.
202
C. Peranan Jenis Kelamin Terhadap Peningkatan Kompetensi Sosial Melalui Permainan Tradisional Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di BAB IV diketahui bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam mempengaruhi peningkatan kompetensi
sosial
dan
aspek-aspeknya
setelah
memperoleh
perlakuan
permainan tradisional dengan metode BERLIAN maupun NON BERLIAN. Artinya pada
kedua
jenis
kelamin
sama-sama
mengalami
peningkatan
dan
peningkatannya tidak berbeda. Hal ini berbeda dengan hipotesa bahwa jenis kelamin memoderasi peningkatan kompetensi sosial. Hasil ini memberikan informasi bahwa peranan jenis kelamin dalam mempengaruhi kegiatan bermain maupun kompetensi sosial menunjukkan hasil yang bervariasi. . Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya perbedaan jenis kelamin dalam kompetensi sosial anak. Penelitian Pellegrini (1990) menemukan bahwa ada hubungan antara perilaku anak laki-laki di playground dengan status kognisi sosial anak laki-laki tetapi tidak ada hubungan antara keduanya pada anak perempuan. Daigle (2003 juga menemukan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan berbeda dalam memandang dukungan orang lain dalam kegiatan aktivitas fisik dan olahraga. Adanya perasaan mampu dalam kegiatan fisik pada anak perempuan lebih berpengaruh terhadap partisipasi dalam kegiatan fisik dan olahraga dibandingkan pada anak laki-laki. Dengan demikian maka dukungan dari guru maupun teman sebaya juga lebih berpengaruh terhadap kegiatan fisik dan olahraga pada anak perempuan dibandingkan pada anak laki-laki.
203
Faktor jenis kelamin dalam penelitian ini tidak hanya berperan dalam variabel kompetensi sosial melainkan berperan dalam variabel bermain maupun terhadap hubungan antara dua variabel yaitu bermain dan kompetensi sosial. Kebanyakan studi menunjukkan tidak adanya perbedaan jenis kelamin dalam keinginan untuk terlibat dalam perilaku prososial pada anak. Hal ini berarti bahwa baik anak laki-laki maupun anak perempuan mempunyai kapasitas yang sama dalam perilaku prososial (Kostelnik, 2012). Namuin demikian beberapa studi menunjukkan adanya hasil yang berbeda. Anak perempuan lebih sering berpartisipasi dalam perilaku prososial dibandingkan dengan anak laki-laki (Keane & Calkins, 2004; Hastings, Rubin, & DeRose, 2005). Penelitian lain menemukan bahwa ada perbedaan persepsi terhadap kemampuan sosial antara anak laki-laki dan perempuan di sekolah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih banyak mempunyai teman bermain dan berolah raga sementara anak perempuan lebih mempunyai teman dekat (French & Mantzicopoulos, 2007). Hasil penelitian Torres, Cardelle-Elawar, Mena,
& Sanchez (2003) menemukan adanya perbedaan kompetensi sosial
antara anak laki-laki dan perempuan usia 11-12 tahun, yaitu anak laki-laki dinilai oleh guru lebih impulsif sehingga
berhubungan negatif dengan kompetensi
sosial, sementara anak perempuan lebih menunjukkan empati yang lebih tinggi daripada anak laki-laki. Penelitian tentang perbedaan empati antara anak laki-laki dan perempuan juga dilakukan oleh Garaigordobil (2009) dan menemukan hasil yang hampir sama dengan penelitian Torres bahwa anak perempuan lebih tinggi dalam empati dibandingkan anak laki-laki. Hasil ini berlaku untuk berbagai kelompok usia yaitu anak usia sekolah (10-12 tahun) dan remaja awal (12-14 tahun).
204
Beberapa penelitian menemukan bahwa ada perbedaan pengaruh jenis kelamin dalam intervensi peningkatan kompetensi sosial anak. Dalam penelitian Dilworth, Mokrue, & Elias (2002) diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan total seluruh aspek kompetensi sosial yaitu kerjasama, asertivitas, self-control, eksternalisasi, internalisasi, hiperaktivitas, dan akademik antara anak sekolah dasar laki-laki dan perempuan, namun setelah diberi treatment anak perempuan lebih tinggi kemampuan kerjasamanya dibandingkan anak laki-laki. Penelitian Spinrad et al (2004) menunjukkan bahwa ada korelasi negatif antara solitary play dengan regulasi diri pada anak laki-laki tetapi tidak ada korelasi antara keduanya pada anak perempuan. Penelitian tentang kompleksnya peranan jenis kelamin
dalam intervensi kompetensi sosial melalui kegiatan bermain juga
dilakukan oleh Colwell & Lindsey (2005) yang hasil secara keseluruhan menunjukkan peranan jenis kelamin yang sangat bervariasi. Berbagai hasil yang beragam tentang peranan jenis kelamin dalam perkembangan sosial anak tidak bisa lepas dari perkembangan bermain pada anak. Berdasarkan berbagai literatur, Kostelnik et al
(2012) menyimpulkan
bahwa makin bertambah usia anak maka bermain makin berbeda secara gender. Minat anak dalam variasi kegiatan bermain dipengaruhi oleh kultur sosial sehingga ada kecenderungan pilihan atas jenis permainan menjadi berbeda antara anak laki-laki dan perempuan seiring dengan bertambahnyan usia. Pada anak usia sekolah menurut Goodwin (2006) baik pada anak laki-laki maupun perempuan terlibat dalam permainan yang kompetitif namun laki-laki cenderung lebih terlibat dalam permainan kompetitif yang terbuka sedangkan anak perempuan lebih memilih permainan yang tidak melukai anak lain karena peran mereka yang berbeda dengan anak laki-laki.
205
Perbedaan-perbedaan peranan jenis kelamin dalam kompetensi sosial seperti dipaparkan di atas sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ada perbedaan kompetensi sosial, aspek pengendalian diri, dan aspek empati antara anak laki-laki dan perempuan pada skor pretes dan postes. Namun demikian, jika ditinjau dari perbedaan peningkatan kompetensi sosial pada keseluruhan aspek kompetensi sosial ternyata tidak ada perbedaan peranan jenis kelamin. Hal ini dapat dijelaskan karena anak-anak ini bermain dalam satu kelompok dengan jenis kelamin yang sama sehingga mereka dapat secara leluasa bermain tanpa adanya hambatan gender. Ditinjau dari perkembangan bermain pada anak usia sekolah tingkat akhir maka anak-anak pada usia ini (8-11 tahun) ada kecenderungan untuk bermain bersama teman dengan jenis kelamin yang sama, anak laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain permainan yang kompetitif sedangkan anak perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
bercerita dan
bercakap-cakap dengan teman dekat perempuan (Pastersi, Golombok, & Hines, 2011). Demikian juga Fabes, Hanish, & Martin (2003) menekankan bahwa kelompok teman dengan jenis kelamin yang sama merupakan kekuatan yang potensial untuk sosialisasi pada anak dalam rangka membangun kompetensi sosial karena pada masa ini dinamika kelompok sedang terbentuk. Penjelasan tentang tidak adanya perbedaan peningkatan kompetensi sosial antara anak laki-laki dan perempuan juga dapat didasarkan pada proses eksperimen. Berdasarkan hasil observasi pada saat eksperimen dapat diketahui bahwa baik subjek laki-laki maupun perempuan tidak diperoleh adanya perbedaan yang mencolok tentang perilaku mereka pada saat bermain. Semangat, antusiasme, dan kesungguhan nampak pada subjek penelitian baik
206
pada anak laki-laki maupun anak perempuan. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil manipulation checklist yang menunjukkan bahwa rata-rata penilaian tiga observer terhadap permainan pada anak laki-laki maupun perempuan, baik pada kelompok BERLIAN dan NON BERLIAN menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Hasil manipulation check
anak laki-laki pada hari pertama untuk
kelompok BERLIAN menunjukkan skor rata-rata aspek-aspek yang dinilai berkisar antara 3,6 – 4,5, sedangkan pada anak perempuan berkisar antara 3,3 – 4,0. Pada permainan hari kedua skor rata-rata aspek-aspek yang dinilai untuk anak laki-laki berkisar antara 3,4 – 4,7, sedangkan pada anak perempuan berkisar antara 3,8 – 4,2. Pada kelompok NON BERLIAN hari pertama diketahui bahwa skor rata-rata aspek-aspek yang dinilai untuk anak laki-laki berkisar antara 3,5 – 4,3 dan pada anak perempuan berkisar antara 3,2 – 3,9, sedangkan pada hari kedua skor rata-rata aspek-aspek yang dinilai untuk anak laki-laki berkisar antara 3,4 – 4,3 dan pada anak perempuan berkisar antara 3,3 – 3,8. Berdasarkan paparan data manipulation check di atas dapat diketahui bahwa kedua kelompok jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan menunjukkan rentangan skor yang berada di atas mean hipotetik yaitu 2,5. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kelompok anak laki-laki dan kelompok anak perempuan, baik pada kelompok BERLIAN maupun kelompok NON BERLIAN menunjukkan kesungguhan dalam bermain sehingga kedua kelompok sama-sama mengalami peningkatan kompetensi sosial setelah memperoleh perlakuan permainan tradisional.
207
Dengan mendasarkan pada hasil penelitian bahwa permainan tradisional dengan metode BERLIAN maupun tanpa metode BERLIAN dapat meningkatkan kompetensi sosial baik pada anak laki-laki maupun perempuan maka penelitian ini dapat ditindaklanjuti dengan program nyata di kancah pendidikan karakter anak usia sekolah maupun optimalisasi perkembangan kompetensi sosial anak melalui pelatihan dengan media permainan tradisional. Hasil penelitian ini juga berimplikasi terhadap pendidikan karakter anak melalui permainan tradisional. Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa beberapa karakter anak yaitu kemampuan dalam problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati dapat terbentuk melalui permainan tradisional gembatan, meskipun untuk karakter empati dan pengendalian diri harus disertai dengan pemberian refleksi terhadap pengalaman anak dalam bermain. Implikasi ini menjadi penting karena di era sekarang ini permainan digital sudah sangat merajalela sehingga anak-anak lebih banyak meluangkan waktu untuk bermain game-game yang digital dibandingkan dengan kegiatan bermain lain yang mempunyai nilai sosial tinggi seperti permainan tradisional. Dalam menerapkan hasil penelitian ini dapat dilakukan melalui pihak sekolah yaitu memasukkan kegiatan ini sebagai program pengembangan diri maupun pendidikan karakter. Adapun pelaksanaan program ini dapat melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka maupun kegiatan lain, kurikuler yaitu dilakukan pada saat pelajaran olahraga, maupun kegiatan lain yang disengaja diadakan untuk memberikan kegiatan yang bermanfaat untuk perkembangan anak.
208
Penerapan kegiatan permainan tradisional baik yang disertai dengan metode BERLIAN maupun yang tidak disertai dengan metode BERLIAN ini membutuhkan personalia untuk melaksanakannya yaitu fasilitator. Mengingat bahwa fasilitator menjadi bagian penting dalam kegiatan ini maka sekolah dapat merekrut calon fasilitator untuk dilatih menjadi fasilitator untuk program ini. Fasilitator juga dapat berasal dari para guru yang diberi pelatihan untuk menjadi instruktur dan fasilitator dalam permainan gembatan dan metode BERLIAN. Implikasi tentang pentingnya refleksi dari pengalaman anak oleh orang dewasa dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari anak. Fasilitator yang menjadi pendamping anak dalam merefeksikan pengalaman anak dapat digantikan oleh orang dewasa lain seperti orang tua, guru, maupun orang dewasa lain yang berinteraksi dengan anak. Anak perlu untuk didampingi dan diajak untuk memaknai setiap pengalamannya agar anak dapat belajar mengembangkan kemampuannya, misalnya dalam menonton televisi, memilih berbagai pilihan kegiatan, dalam bermain, dan dalam kegiatan lainnya. D. Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Kompetensi Sosial Anak Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaruh permainan tradisional maupun permainan tradisional dengan metode BERLIAN terhadap kompetensi sosial adalah sebesar 25,9%. Dengan demikian ada faktor lain sebesar 74,1% yang tidak diteliti dalam penelitian ini yang mempengaruhi kompetensi sosial anak usia sekolah. Faktor-faktor lain tersebut kemungkinan adalah faktor internal dan faktor eksternal yang dalam berbagai penelitian telah terbukti berpengaruh terhadap kompetensi sosial. Fabes, Gaertner, & Popp (2008) dan Mulder (2008) memberikan kesimpulan yang senada dari berbagai
209
penelitian yang dijumpai bahwa faktor yang mempengaruhi kompetensi sosial adalah: (1) temperamen atau faktor kepribadian, (2) keterampilan sosio kognitif termasuk di dalamnya keterampilan komunikasi, (3) lingkungan keluarga meliputi interaksi orang tua dengan anak dan gaya pengasuhan orang tua, (4) lingkungan sekolah meliputi hubungan guru dan siswa, interaksi anak dengan teman di dalam kelas, kurikulum sekolah, dan budaya dalam kelas, (5) sosialisasi dengan teman sebaya. Faktor internal yang mempengaruhi kompetensi sosial berdasarkan penelitian Shiner (2000) adalah faktor kepribadian. Adapun kepribadian yang mendukung perkembangan kompetensi sosial adalah kepribadian ekstrovert. Mendez, Fantuzzo, & Cicchetti (2002) juga melakukan penelitian tentang pengaruh kepribadian terhadap kompetensi sosial Hasilnya adalah bahwa anak yang mempunyai kepribadian
mudah menyesuaikan diri, mampu melakukan
pendekatan dengan situasi sosial, dan mempunyai perbendaharaan kata di atas rata-rata kompetensi sosialnya terhadap orang lain lebih baik. Sebaliknya, anak dengan karakteristik kepribadian tenang, pendiam, dan suka menyendiri maupun anak yang suka menghindar ataupun mengganggu anak lain cenderung mempunyai kompetensi sosial yang rendah. Penelitian Deptula, Cohen, Phillipsen & Ey (2006) menunjukkan bahwa persepsi diri mempengaruhi perkembangan kompetensi sosial. Faktor lain yang kemungkinan mempengaruhi peningkatan kompetensi sosial pada subjek penelitian adalah faktor eksternal yang meliputi faktor keluarga, sekolah, dan teman sebaya. Dalam lingkungan keluarga, interaksi antara anak dan orang tua secara konsisten mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kompetensi sosial anak (Zhang, 2010; Connell & Prinz (2002).
210
Pada anak-anak yang mengalami disabilitas, kompetensi sosial dipengaruhi oleh kondisi orang tua seperti stres dan depresi ( (Baker, et al., 2003; Boyd, 2002; Guralnick, et al., 2003; Hasting & Taunt, 2002; Jones & Passey, 2004; Shu & Lung, 2005; Trute, Hiebert-Murphy, & Levine, 2007). Faktor keluarga yang juga mempunyai sumbangan terhadap kompetensi sosial anak adalah hubungan dengan saudara kandung. Penelitian yang dilakukan oleh Downey & Condron (2004) menyimpulkan bahwa keterampilan sosial dan interpersonal dipengaruhi secara positif oleh interaksi dengan saudara kandung di dalam rumah dan keterampilan ini menjadi berguna ketika mereka berinteraksi dengan teman sebaya di luar rumah. Pendapat senada dikemukakan oleh Cutting & Dunn (1999) bahwa kualitas hubungan dengan saudara kandung lebih merupakan prediktor keterampilan dan kompetensi sosial dengan teman sebaya daripada hubungan dengan saudara kandung di rumah (Cutting & Dunn, 1999), Intervensi dengan mediasi saudara kandung juga menunjukkan pengaruh terhadap interaksi sosial anak autis (Tsao & Odom, 2008). Faktor lain yang turut berperan terhadap kompetensi sosial anak adalah lingkungan sekolah. Sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan kompetensi sosial selama masa anak-anak. Lingkungan fisik di dalam kelas, struktur sosial kelas, dan budaya di dalam kelas saling berinteraksi dan berpengaruh terhadap kompetensi sosial anak (Znolnai, 2002). Menurut Sheridan, Bush, & Warnes. (2003) penataan bangku di kelas, tersedianya fasilitas permainan dapat mempengaruhi kompetensi sosial anak. Kelas yang mempunyai lebih banyak fasilitas dan kreasi lingkungan untuk mengembangkan interaksi anak maka akan makin dapat melatih anak untuk meningkatkan keterampilan sosialnya.
211
Lingkungan
sekolah
yang
juga
mempunyai
pengaruh
terhadap
perkembangan kompetensi sosial anak adalah hubungan antara guru – anak. Hasil penelitian Znolnai (2002) menunjukkan bahwa makin tinggi kompetensi sosial guru yang ditunjukkan dengan sikap yang empati, terbuka, dan pengertian akan dapat menjadi model bagi anak sehingga memberi kesempatan pada anak untuk belajar dan berlatih keterampilan sosial. Bond et al (2007) juga menemukan
pentingnya pengaruh hubungan antara guru-anak terhadap
perilaku sosial anak. Anak-anak yang kurang mempunyai hubungan yang baik dengan guru akan lebih mempunyai kemungkinan untuk mengalami depresi, dan anak yang buruk hubungannya dengan guru cenderung lebih mudah terlibat dalam perilaku antisosial dan lebih sering membuat kekacauan di dalam kelas. McNamara
(2005)
mengidentifikasi kurikulum
sekolah
yang
mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan kompetensi sosial anak. Bagian dari kurikulum yang secara eksplisit diajarkan oleh guru akan membuat anak ingin tahu dan akan bersedia untuk belajar sikap dan keterampilan yang diajarkan. Sebaliknya, bagian kurikulum yang implisit atau yang tidak kentara maka penyampaiannya harus tepat dalam interaksi dan komunikasi interpersonalnya. Selanjutnya McNamara (2005) menekankan pentingnya penggunaan kurikulum yang berbasis kenyataan agar berhasil menyampaikan pesan kepada anak baik secara eksplisit maupun implisit. Faktor utama lain yang juga mempunyai pengaruh besar terhadap kompetensi sosial anak adalah teman sebaya.
Pada anak usia sekolah
perkembangan kompetensi sosial dipengaruhi oleh teman sebaya (SemrudClikeman, 2007; Fabes, Gaertner, & Popp, 2008). Pada usia ini mereka mulai menghabiskan waktunya dengan teman dan mulai meninggalkan orangtua
212
(McHale, Dariotis, & Kauh, 2003). Fabes, Gaertner, & Popp (2008) menemukan bukti bahwa selama masa anak, interaksi dengan teman sebaya, terutama interaksi dengan sesama jenis kelamin, menjadi penting karena berpengaruh terhadap perilaku kompetensi sosial anak. Lebih lanjut, menurut Fabes, Hanish, & Martin (2003) kelompok teman dengan jenis kelamin yang sama merupakan kekuatan yang potensial untuk sosialisasi pada anak dalam rangka membangun kompetensi sosial karena pada masa ini dinamika kelompok sedang terbentuk. Berdasarkan paparan tentang faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap kompetensi sosial di atas dapat disimpulkan bahwa peningkatan kompetensi sosial yang terjadi pada subjek penelitian selain dipengaruhi oleh perlakuan sebesar 25,9% juga dipengaruhi oleh kompetensi sosial yang dimiliki anak yang kemungkinan telah terbentuk pada diri anak sebagai hasil dari pengaruh bawaan maupun pengaruh lingkungan.
213
BAB VI PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada BAB IV dan BAB V, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada pengaruh permainan tradisional yang disertai dengan metode BERLIAN dan permainan tradisional yang tidak disertai dengan metode BERLIAN terhadap peningkatan kompetensi sosial anak usia sekolah. Permainan tradisional yang disertai dengan metode BERLIAN mempunyai pengaruh yang lebih tinggi dalam meningkatkan kompetensi sosial dibandingkan dengan permainan tradisional yang tidak disertai dengan metode BERLIAN, sedangkan permainan tradisonal yang tidak disertai dengan metode BERLIAN lebih dapat meningkatkan kompetensi sosial dibandingkan dengan jika anak tidak mendapatkan perlakuan permainan tradisional. 2. Permainan tradisional yang disertai dengan metode BERLIAN dapat lebih meningkatkan aspek problem solving anak usia sekolah dibandingkan dengan permainan tradisional tanpa disertai dengan metode BERLIAN. Adapun perlakuan permainan tradisional tanpa disertai metode BERLIAN lebih dapat meningkatkan aspek problem solving anak usia sekolah dibandingkan dengan anak yang tidak memperoleh perlakuan permainan tradisional. 3. Permainan tradisional dengan metode BERLIAN berpengaruh terhadap peningkatan aspek pengendalian diri dan aspek empati. Anak yang
214
memperoleh perlakuan permainan tradisional dengan metode BERLIAN mengalami peningkatan empati dan pengendalian diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang mendapatkan perlakuan permainan tradisional tanpa metode BERLIAN maupun anak yang tidak memperoleh perlakuan permainan tradisional. 4. Peningkatan aspek kerjasama terjadi pada anak yang memperoleh perlakuan permainan tradisional dengan metode BERLIAN maupun permainan tradisional yang tidak disertai dengan metode BERLIAN. Anak usia sekolah yang memperoleh perlakuan permainan tradisional dengan metode BERLIAN mengalami peningkatan aspek kerjasama yang tidak berbeda dengan anak yang memperoleh permainan tradisional tanpa disertai metode BERLIAN, namun kedua kelompok ini mengalami peningkatan kompetensi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak memperoleh perlakuan permainan tradisional. 5. Tidak ada perbedaan peningkatan kompetensi sosial dan aspek-aspeknya yaitu aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati antara anak laki-laki dan anak perempuan. 6. Sumbangan permainan tradisional dengan metode BERLIAN dan
tanpa
metode BERLIAN terhadap peningkatan kompetensi sosial adalah 25,9%. Dengan demikian 74,1% kompetensi sosial anak dalam penelitian ini dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, baik faktor internal maupun faktor eksternal yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
215
B. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan karena tidak melakukan follow up kepada seluruh subjek. Ada beberapa hambatan yang dijumpai peneliti untuk melakukan postes lagi kepada subjek penelitian. Dengan tidak dilakukannya follow up maka pengaruh permainan
tradisional maupun permainan
tradisional melalui metode BERLIAN belum dapat dketahui apakah pengaruh tersebut dapat bertahan pada kurun waktu tertentu. C. Rekomendasi Hasil Penelitian Rekomendasi diberikan kepada beberapa pihak sebagai berikut: 1. Kepada pemerhati perkembangan anak diharapkan dapat menerapkan media permainan tradisional maupun metode experiential learning untuk mengoptimalkan perkembangan kompetensi sosial anak. Permainan traidisional selain merupakan kekayaan budaya bangsa juga mempunyai nilai-nilai yang bermanfaat untuk stimulasi perkembangan sosial anak terutama anak usia sekolah. 2. Kepada pihak sekolah yaitu Kepala Sekolah Dasar dan pihak yang terkait diharapkan dapat memasukkan kegiatan bermain permainan tradisional ini sebagai bagian dari program pembentukan karakter anak usia sekolah terutama untuk menstimulasi perkembangan kompetensi sosial. Guru terutama guru olah raga maupun guru yang bertanggung jawab dalam pengembangan diri siswa dapat dilatih untuk menjadi fasilitator pelatihan peningkatan kompetensi sosial melalui media permainan tradisional.
216
3. Kepada
pemerintah
khususnya
dinas
pendidikan
dasar
untuk
mempertimbangkan program permainan tradisional sebagai bagian dari kurikulum yang diterapkan untuk Sekolah Dasar. Kurikulum ini bisa dimasukkan dalam mata pelajaran olahraga maupun ekstrakurikuler seperti pramuka atau program pengembangan diri. 4. Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk mengembangkan penelitian ini dengan mengambil subjek yang berbeda usia seperti kelas empat dan kelas enam maupun siswa SMP. Penelitian lanjutan juga bisa dilakukan dengan mengambil permainan tradisional lain seperti, gobag sodor wakwak gung, kasti, dan yang lainnya. Mengingat bahwa dalam pembahasan dimunculkan
kemungkinan
untuk
mengkaji
permainan
tradisional
berdasarkan neuropsikologi yang berkaitan dengan perkembangan otak dan kognisi sosial, maka diharapkan kapada peneliti selanjutnya untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang permainan tradisional dalam tinjauan neuroscience.
217
DAFTAR PUSTAKA Abdi, B. (2010). Gender differences in social skills, problem behaviours, and academic competence of Iranian kindergarten children based on their parent and teacher ratings. Social and Behavioral Sciences, 5, 1175-1179. doi: 10.1016/j.sbspro.2010.07.256. Abdul-Majied, S. (2010). Social Competence and Teacher Roles in Young Children’s Social Development at Three Primary Schools in Trinidad Caribbean Curriculum, 17, 85–114. Acra, C. F., Bono, K. E., Mundy, P. C., & Scott, K. G. (2009). Social competence in children at risk due to prenatal cocaine exposure: Continuity over time and associations with cognitive and language abilities. Social Development, 18(4), 1002-1014. doi: 10.1111.j.1467-9507.2008.00519.x. Adiyanti, M. G. (2005). Metode coaching, modeling, dan gabungan coachingmodeling untuk peningkatan keterampilan anak sebagai dasar penerimaan oleh kelompok. Naskah disertasi tidak dipublikasikan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Adwayananda, S. (2006). Experiential learning: The KPM approach to children. Paper for Seminar on Education,”Towards a Humanistic Education: Review of Experiments in Education, Trivandum, Kerala, 2006 Copyright: Atma Vidya Educational Foundation. http:// www. avef.org/files/Experiential_Learning_ The_KPM_Approach_to_Children.pdf Afranz, E., Artamendi, J., Olabarieta, F., & Martin, J. (2002). Family context and Theory of mind development. Early child development and care, 172(1), 922. doi: 10.1080/03004430290000708. Ahmad, S., Bangash, H., Bano, M., & Khan, I. A. (2008). Cooperation and competition: An experimental study on children in Peshawar City. Sarhad J. Agric., 24(2), 201-209. Akbari, H., Abdoli, B., Shafideh, M., Khalaji, H., Hajihosseini, S., & Ziaee, V. (2009). The effect of traditional games in fundamental motor skill development in 7-9 year-old boys. Iran Journal Pediatry, 19(2), 123-129. Alkhateeb, H. M. & Midji, A. (2009). Learning styles and approaches to learning mathematics of students majoring in elementary education: A three year study. Psychological reports, 105(2), 500-508. Ammerman, R. T. & Hersen, M. (1997). Prevention and treatment with children and adolescents in the real world context. In R.T Ammermen & M. Harsen (Eds). Handbook of Prevention and Treatment with Children and Adolescents. New York: John Wiley & Sons, Inc. Anderson, C. A. & Carnagey, N. L. (2009). Causal effects of violent sports video game on aggression: It is competitiveness or violent content? Journal of Experimental Psychology, 45, 731-739. Anderson, C. A., Shibuya, A., Ihori, N., Swing, E. L., Bushman, B. J., Sakamoto, A., Rothstein, H. R., & Saleem, M. (2010). Violent video game effects on
218
aggression, empathy, and prosocial behavior in eastern and western countries: A Meta-Analytic review. Psychological Bulletin, 136 (2), 151-173. doi: 10.1037/a0018251 Anderson, V. (2001). Assessing executive functions in children: biological, psychological, and developmental considerations. Pediatric Rehabilitation, 4(3), 119-136 Anderson, C. A. & Dill, K. E. (2000). Video games and agressive thoughts, feelings, and behavior in the laboratory and in life. Journal of Personality and Social Behavior, 78(4), 772-790. Arnold, K.H. & Lindner-Muller, C. (2012). Assessment and development of social competence: introduction to the special issue. Journal for educational research online, 4(1), 7-19. urn:nbn:de:0111-opus-70490 AVEF. (2006). Experiential learning: KPM Approach to children. Malakarra, Kelara, India. www.kpmapproach.org Azwar, S. (2012a). Penyusunan skala psikologi, Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2012b). Reliabilitas dan validitas, Edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badu, R. (2011). Pengembangan model pelatihan permainan tradisional edukatif berbasis potensi lokal dalam meningkatkan keterampilan dan kemampuan orang tua anak usia dini di PAUD kota Gorontalo. Jurnal Penelitian dan Pendidikan, 8(1), 70-77. Baid, H. & Lambert, N. (2010). Enjoyble learning: The role of humour, games, and fun activities in nursing and midwifery education. Nurse Education Today, 30, 548-552. Bandy, T. & Moore, K. A. (March, 2011). What works for promoting and enhancing positive social skills: Lessons from Experimental Evaluations of Programs and Interventions http://www.childtrends.org Bandura, A. (1971). Social learning theory. General learning Corporation, Stanford University. http://www.jku.at/org/content/e54521/e54528/e54529/e178059/Bandura_So cialLearningTheory_ger.pdf Bandura, A. (1989). Social cognitive theory. In R. Vasta (Ed.), Annals of child development. Vol. 6. Six theories of child development (pp. 1-60). Greenwich, CT: JAI Press. Banerjee, M., CAPOZZOLI, M., McSWEENEY, L., & SlNHA, D. (1999). Beyond kappa : A review of interrater agreement measures. The Canadian Journal of Statistics, 27(1), 3-23. Baker, B. L., McIntyre, L. L., Blacher, J., Crnic, K., Edelbrock, C., & Low, C. (2003). Preschool children with and without developmental delay: Behavior problems and parenting stress over time. Journal of Intellectual Disability Research, 49, 575-590.
219
Beard, C. (2010). The experiential learning toolkit: Blending practice with concepts. London: Kagan Page. Beard, C. & Wilson, J. P. (2006). Experiential learning: A best practice handbook for educators and trainers. London: Kagan Page. Bebko, J. M., Wainwright, J. A., Brian, J. A., Coolbear, J., Landry, R., & Vallance, D. D. (1998). Social competence and peer relations in children with mental retardation: Model of development of peer relation. Journal of Developmental Disabilities, 6(1), 1-31. Berns, R. M. (2010). Child, family, school, community: Socialization and support. 8th edition. United States of America: Wadworth, Cengage Learning. Bishop, J. C., & Curtis, M. (2001). Play today in the primary school playground: Life, learning, and creativity. Buchingham: Open University Press. Blagojevich, R.R. (2001). (2001). Assessing children’s social competence. http://www.illinoisearly learning.org/fags/socialcomp.htm Bloom, M. (2009). Social competency. In T.P.Gullota et al. (eds). A blueprint for promoting academic and social competence in after-school program (pp. 119). Springer Science+Business Media, LLC. doi: 10.1007/978-0-38779920-9_1.s. Bloom, M. (1996). Primary prevention practices. Issues in Children’s and Families’ Live Volume 5. London: Sage Publications. Blum-Dimaya, A., Reeve, S. A., Reeve, K. K., & Hoch, H. (2010). Teaching children with autism to play video game using activity schedules and gameembedded simultaneous video modeling. Education and Treatment of Children, 33(3), 351-370. Bochenneck, K., Wittekindt, B. & Thomas, S. Y. Z. (2007). More than mere games: A review of card and board games for medical education. Medical Teacher, 29(9-10), 941-948. Bodrova, E., Germeroth, C., & Leong, D. J. (2013). Play and self regulation. American Journal of Play 6(1), 111-123. Bond, L., Butler, H., Thomas, I., Carlin, J., Glover, S., & Bowes, G. (2007). Social and school connectedness in early secondary school as predictors of late teenage substance use, mental health, and academic outcomes. Journal of Adolescent Health, 40, 357.e9-357.e18. Boyles, L. M. (2014). More than just playing around. Granville Lifestyle Magazine, Fall 2014. http://www.gvhomes.com/magazine/fall2014/GVLS_Q3_files/assets/downlo ads/publication.pdf Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of human development: Experiments by nature and design. Cambridge: Harvard University Press. Brotman, L.M., Gouley, K. K., Chesir-Teran, D., Dennis, T., & Klein, R. G. (2005). Prevention for preschoolers at high risk for conduct problems: Immediate outcomes on parenting practices and child social competence. Journal of
220
Cinical Child and Adolescent 10.1016/j.jsp.2006. 11.007
Psychology,
34(4),
724-734.
doi:
Brown, S. & Vaughan, C. (2009). Play: How it shapes the brain, opens imagination, and invigorates the soul. New York: Avery. Boyd, B. A. (2002). Examining the relationship stress and the lack of social support in mothers of children with autism. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities, 17, 208-215. Buckley, K. E., & Anderson, C. A. (2006). A theoretical model of the effects and consequences of playing video games. Chapter in P. Vorderer & J. Bryant (Eds.), Playing Video Games – Motives, Responses, and Consequences (pp. 363 -378). Mahwah, NJ: LEA. Caravita, S. C. S., Di Blassio, P., & Salmivalli, C. (2009). Unique and interactive effect of empathy and social status on involevement in bulliying. Social Development, 18, 140-163. doi: 10.1111/j.1467-9507.2008.00465.x. Chappell, D., Eatough, V., Davies, M. N. O., & Griffiths, M. (2006). EverQuest-It’ game right? An interpretative phenomenological analysis of online gaming addiction. International Journal of Mental Health and Addiction, 4, 205-216. Charlton, J. P., & Danfort, I. D. W. (2007). Distinguishng addiction and high engagement in the context of online gaming. Computers in Human Behavior, 23, 1531-1548. Chein, N., Harbin, V., Goldhagen, S., Lippman, L., & Walker, K. E. (2012). Encouraging the Development of Key Life Skills In Elementary School-Age Children: A Literature Review and Recommendations to the Tauck Family Foundation. Child Trends, Nopember 2012. Chileshe, C. M. (2004). A child empowerment through sport and traditional games integrated with HIV/AIDS, child right & alcohol/drug abuse life skills concept. Leadership manual sport in the development process, Zambian: Sport In Action-Development Through Sport. http://www.toolkitsportdevelopment.org/html/resources/F8/F80E8AFE75CE-4261-BF93-C681452FF7ED/Trad%20Games%20total.pdf Chisholm, J., & Warman, G. (2007). Experiential learning in change management. Dalam M. Silberman (Editor). The Handbook of experiential learning (hal. 321-340). San Franscisco: John Wiley & Sons, Inc. Cohen, D. The Development of play. New York: Tayosi. Colwell, J. & Payne, J. (2000). Negative correlates of computer game play in adolescents. British Journal of Psychology, 91, 295-310. Combo-Ronto, L. A. (2008). Social-cognitive and emotion processing in children agression: Descriptors, predictors, and precussors. Disertasi. The University of Michigan. Committee for Children. (2002). Second step violence: Prevention curriculum (3nd ed). Seattle, WA: Author. Connell, C. M. & Prinz, R. J. (2002). The impact of childcare and parent-child interactions on school readiness and social skills development for low-
221
income African American children. Journal of School Psychology, 40(2), 177-193. Coplan, R.J., Gavinski-Molina, M-H., Lagace-Seguin, D. G., & Wichmann, C. (2001). When girls versus boys play alone: Nonsocial play and adjustment in kindergarten. Developmental Psychology, 37(4), 464-474. Copple, C., & Bredekamp, S. (2009). Developmentally appropriate practice: Serving children from birth through age 8. Washington, DC: NAEYC. Corrigan, A. (2002). Social Competence Scale – Parent Version, Grade 1 /Year 2 (Fast Track Project Technical Report). Available from the Fast Track Project Web site, http://www.fasttrackproject.org Cotugno, A. J. (2009). Social competence and social skills training and intervention for children with autism spectrum disorders. Journal of Autism Developmental Disorder,39, 1268-1277. doi: 10.1007/s10803-009-0741-4. Cowell, M. J. & Lindsey, E.W. (2005). Preschool children pretend and physical play and sex of play partner: Connections to peer competence. Sex Role, 52(7/8), 497-509. doi: 10.1007/s11199-005-3716-8. Cozby, P. C. (2009). Methods of Behavioral Research: Tenth Edition. New York, NY: McGraw-Hill. Crockett, D. & Knoff, H. (2003). Teaching young children self-control skills. http://www.nasponline.org/resources/handouts/behavior%20template.pdf Cummings, K., & Kaminski, R. A. (2008). Advances in assessment of social competence: Findings from a preliminary investigation of a general outcome measure for social behavior. Psychology in the Schools, 45(10), 930-946. doi: 10.1002/pits. Cutting, A. J., & Dunn, J. (1999). Theory of mind, emotion understanding language, and family background: Individual differencies and interrelation. Child Development, 70, 853-865. DeBord, K. & Amann, N. (2005). Benefits of play in children: Age Specific Interventions. http://www.ces.ncsu.edu/depts./fcs/human/disas4.html Delano, M. & Snell, M. E. (2006). The effects of social stories on the social engagement of children with autism. Journal of Positive Behavior Intervention, 8(1), 29-42. Denham, S., Mason, T., Caverly, S., Schmidt, M., Hackney, R., Caswell, C., & DeMulder, E. (2001). Preschoolers at play: Co-socialisers of emotional and social competence. International Journal of Behavioral Dvelopment, 25(4), 290-301. doi: 10.1080/ 01650250 1143000067 Deptula, D. P., Cohen, R. Phillipsen, L. C., & Ey, S. (2006). Expecting the best: The relation between peer optimism and social competence. The Journal of Positive Psychology, 1(3), 130-141. DeVellis, R. F. (2003). Scale development: Theory and application, second edition. Applied social research methods series volume 25, Sage Publications, Inc.
222
DeWall, C. N., Baumeister, R. F., Stillman, T. F., & Gailliot, M. T. (2007). Violence restrained: Effects of self regulation and its depletion on aggression. Journal of experimental social psychology, 43, 62-76. doi: 10.1016/j.jesp.2005.12.005. Dharmamulya, S. (2008). Permainan tradisional jawa. Yogyakarta: Kepel Press. DiCarlo, C. & Reid, D. (2004). Increasing pretend toy play of toddlers with disabilities in an inclusive setting. Journal of Applied Behavior Analysis, 37(2), 197-207. Dilworth, J. E., Mokrue, K., & Elias, M. J. (2002). The efficacy of a video-based teamwork-building series with urban elementary school students. Journal of School Psycholoy, 40 (4), 329-546. Donovan, O.M. (2009). Building personal and social competence through cancerrelated issues. Journal of School Health, 79(3), 138-143. Downey, D. B., & Condron, D. J. (2004). Playing well with others in kindergarten: The benefit os sibling at home. Journal of Marriage & Family, 66, 333-350. Duckworth, A. L., Gendler, T. S., & Gross, J. J. (2014). Self control in school age children. Educational Psychologist, 49(3), 199-217. doi:
10.1080/00461520.2014.926225 Dunn, J. C., Dunn, J. G. H., & Bayduza, B. (1005). Perceived athletic competence, sociometric status, and loneliness in elementary school children. Journal of Sport Behavior, 30(3), 249-271. Eichberg, H. (2005). Traditional games: A joker in modern development. Some experiences from Nordic countries and Nordic-African exchange. Paper for the international conference play the game, Copenhagen, November, 2005. http://www.playthegame.org/upload/Henning_Eichberg__Traditional_Games.pdf Fabes, R. A., Gaertner, B. M., & Popp, T. K. (2008). Getting along with others: Social competence in early childhood. In K. McCartney & Phillips, D. (Eds). Blackwell Handbook of Early Childhood Development. (pp. 297-316). Malden USA: Blackweel Publishing. Fabes, R. A., Hanish, L. D., & Martin, C. L. (2004). The next 50 years: Considering gender as a context for understanding young children’s peer relationships. Merill-Palmer Quarterly, 50, 260-273. Ferrer, M. & Fugate, A. (2014). The importance of friendships for school age children. Findlay, L. C. & Coplan, R. J. (2008). Come out and play: Shyness in childhood and the benefit of organized sports participation. Canadian Journal of Behavioral Science, 40(3), 153-161. doi: 10.1037.0008-400X.40.3.153. Finnigan, E. & Starr, E. (2010). Increasing social responsiveness in a child with autism: A comparison of music and non music interventions. Autism, 14, 321-348.doi:10.1177/1362361309357747v Fiore, S., Metcalf, D., & McDaniel, R. (2007). Theoretical foundations of experiential learning. Dalam M. Silberman (Editor). The Handbook of experiential learning (hal. 33-58). San Franscisco: John Wiley & Sons, Inc.
223
Fletcher, A. & Kunst, K. (2006). Guide to cooperative games for social change. Olympia: Commonaction. Flynn, R. M., Richert, R. A., Staiano, A. E., Wartella, E. W., & Calvert, S. L. (2014). Effects of Exergame Play on EF in Children and Adolescents at a Summer Camp for Low Income Youth. Journal of Educational and Developmental Psychology 4(1), 209-225. Fowler, S., & Blohm, J. (2007). Experiential learning in intercultural training. Dalam M. Silberman (Editor). The Handbook of experiential learning (hal. 341-359). San Franscisco: John Wiley & Sons, Inc. Fox, L., Carta, J., Strain, P., Dunlap, G., & Hemmeter, M. L. (2009). Response to intervention and the Pyramid Model. Tampa, FL: University of South Florida, Technical Assistence Center on Social Emotional Intervention for Young Children, http://www.challenegingbehavior.org French, B. F., & Mantzicopoulos, P. (2007). An examination of the first/second grade form of the pictorial scale of perceived competence and social acceptance: Factor structure and stability by grade and gender across groups of economically disadvantaged children. Journal of School Psychology, 45, 311-331. doi: 10.1016/jsp.2006.07.004. Frey, K.S., Hirschstein, M.K., Guzzo, B.A. (2002). Second Step: Preventing aggression by promoting social competence. Journal of Emotional and Behavior Disorder.,8 (2), 102-112. doi: 10.1177/106342660000800206 Fromme, J. (2003). Computer games as a part of children’s culture. Game Studies, 3(1). Diunduh dari: http://www.gamestudies.org/0301/fromme/. Fuller, A. (2001). A blueprint for building social competencies in children and adolescents. Australian Journal of Middle Schooling, 1(1), 40-48. Funk, J. B., Buchman, D. D., Jenks, J., Bechtoldt, H. (2003). Playing violent video games, desensitization, and moral evaluation in children. Applied Developmental Psychology, 24, 413-436. doi: 10.1016/S0193-3973(03) 00073-X. Gagnon, S. G. & Nagle, R. G. (2004). Relationships between peer interactive play and social competence in at-risk preschool children. Psychology in the School, 41(2), 173-189. doi: 10.1002/pits.101.20. Garaigordobil, M. (2009). A comparative analysis of empathy in childhood and adolescence: Gender differences and associated socio-emotional variables. International Journal of Psycholog and Psychological Therapy, 9(2), 217235. Gentile, D. G., Lynch, P. J., Linder, J. R., & Walsh, D. A. (2004). The effects of violent video game habits on adolescent hostility, aggressive behavior, and school performance. Journal of Adolescence, 27, 5-22. Gokk, T. & Silay, I. (2010). The effects of problem solving strategies on students’ achievement, attitude, and motivation. Lat. Am. J. Phys. Edu., 4(1), 7-21.
224
Goldstein, J. (2012). Play in children’s development, health and well-being. Brussels, Toys Industries of Europe. Goodwin, M. H. (2006). The Hidden Life of Girls: Games of Stance, Status, and Exclusion. Oxford: Blackwell. Griffiths, M. (2002). The educational benefits of videogames. Education and Health, 20(3), 47-51. Griffiths, M. D., Davies, M. N. O., & Chappell, D. (2004). Online computer gaming: A comparation of adolescent and adult games. Journal of adolescence, 27(1), 87-96. Gullotta, T. P., Bloom, M., Gullotta, C. F. (2009). A blueprint for promoting academic, social, and emotional learning: The salmon program. Dalam T. P. Gullotta, M. Bloom, C. F. Gullotta, & J. C. Messina (hal. 119-222). A blueprint for promoting academic and social competence in after-school programs. New London: Springer Science+ Business Media, LLC. Guralnick, M. J., Neville, B., Connor, R. T., & Hammond, M. A. (2003). Family factors associated with the peer social competence of young children with mild delays. American Journal of Mental Retardation, 108 (4), 272-287. Handel, G. Sociological perspectives on social development. Dalam P. K. Smith & C. N. Hart (Editor). The wiley-blackwell handbook of childhood social development, Second.edition (hal. 119-138). West Sussex: Blackwell Publishing Ltd. Han, H. S. & Kemple, K. M. (2006). Components of Social Competence and Strategies of Support: Considering What to Teach and How. Early Childhood Education Journal, 34(3), 241-246, doi: 10.1007/s10643-0060139-2 Hasting, R. P., & Taunt, H. M. (2002). Positive perception in family of children with disabilities. American Journal on Mental Retardation, 107(2), 116-127.’ Hastings, P. D., Rubin, K. H., & DeRose, L. (2005). Link among gender, inhibition, and parental socialization of young sons’ and daugthers’ prosocial behavior s with peer. Merril-Palmer Quarterly, 51, 501-527. Hastings, P. D., Vyncke, J., Sullivan, C., McShane, K. E., Benibgui, M., & Utendale, W. (2006). Children’s development of social competence across family type. Research report. Canada: Departemen of Justice. http://www.samesexmarriage.ca/docs/Justice_Child_Development.pdf Hennessey, B. A. (2007). Promoting social competence in school-age children: The effects of the open circle program. Journal of School Psychology, 45, 349-360. doi:a 10.1016/j.jsp.2006. 11.007. Holzman, L. (2009). Vygotsky at work and play. London: Routledge. Hong, J-C. & Liu, M-C. (2003). A study on thinking strategy between experts and novices of computer games. Computers in Human Behavior, 19, 245-258. Houck, G. M. & Stember, L. (2002). Small group experience for socially withdrawn girls. The journal of school nursing, 18(4), 206-2011. doi: 10.1177/10598405020180041101
225
Hughes, F.P. (2004). Children, play, and development. Boston: Allyn and Bacon. Hughes, M. (2007). Experiential learning in emotional intellegence training. Dalam M. Silberman (Editor). The Handbook of experiential learning (hal. 360-373). San Franscisco: John Wiley & Sons, Inc. Hughes, C. & Leekam S. (2004), What are the links between theory of mind and social relations? Review, reflections and new directions for studies of typical and atypical development. Social Development, 13, pp. 590-619. Hupp, S. D. A., LeBlanc, M., Jewell, J. D., & Warnes, E. (2009). History and overview. In J. L. Matslon (ed). Social behavior and skill in children.(pp. 121). Springer Science+Business Media, LLC. doi: 10.1007/978-1-44190234-4_1. Hunter, J. E. & Schmidt, F. L. (2004). Methods of meta-analysis: Correcting error and bias in research findings. California: Sage Publication, Inc. Hurlock, E.B. (1993). Perkembangan anak jilid I. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Ischinger, B. (2007). Understanding the brain: The birth of a learning science. OECD, – ISBN 978-92-64-02912-5 Ismail, A. (2005). Education Games: Menjadi cerdas dan ceria dengan permainan edukatif. Yogyakarta: Pilar Media. Israelivitch, G. (2008). Hiding and Seeking and Being Found: Reflection on the hide and seek games in the clinical playroom. Journal of Infant, Child, and Adolescence Psychotherapy, 7, 56-76. Rutledge: Taylor 7 francis Group. Iswinarti. (2005, Mei). Permainan Tradisional Indonesia: Dalam tinjauan perkembangan kognitif, sosial, dan kepribadian. Presentasi paper dalam Simposium Nasional Memahami Psikologi Indonesia, Malang. Iswinarti. (2014). Bermain dan kompetensi sosial: Studi metaanalisis. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, 3(2), 43-54 (dalam proses cetak). Iswinarti. (2011, Oktober). Play therapy for children with developmental disability. Paper presentation at PICP (Padjajaran International Conference on Psychology). Bandung, Indonesia, 24-25 Oktober 2011. Iswinarti. (2012, Oktober). Nilai-nilai pembelajaran kompetensi sosial pada permainan tradisional untuk anak usia sekolah. Presentasi paper dalam National Conference Fakultas Psikologi Ubaya, Surabaya. Iswinarti (2012, Nopember). Nilai-nilai pembelajaran kompetensi sosial pada permainan tradisional “gembatan” untuk anak usia sekolah. Presentasi paper dalam Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia, Yogyakarta. (dalam proses). Iswinarti, Fasichah, S. S., & Sulismadi. (2007). Permainan anak tradisional sebagai model peningkatan kompetensi sosial anak usia sekolah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I. Malang: Lembaga Penelitian UMM. Iswinarti, Fasicahah, S. S., & Sulismadi. (2008). Permainan anak tradisional sebagai model peningkatan kompetensi sosial anak usia sekolah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun II. Malang: Lembaga Penelitian UMM.
226
Jafari, A. (2011). As survey on: how much effective are traditional training games on pre-school students’ social development in Tehran. American Journal of Scientific Research, 26, 116-120 .ISSN 1450-223X. Jawa Pos. (2012). Siswa SD nekat tenggak pembersih lantai gara-gara diomeli guru. Surabaya: Jawa Pos, 9 Desember 2011, hal VI. Johnson, D. W. & Johnson, R. T. (1999). Learning together and alone: Cooperative, competitive, and individualistic learning (5th ed.). Boston: Allyn and Bacon. Jones, J., & Passey, J. (2004). Family adaptation, coping, and resources: Parents of children with developmental disabilities and behavior problem. Journal of Developmental Disabilities and Behavior Problem, 11, 31-46. Junttila, N. (2010). Social competence and loneliness during the school years. Unpublish dissertation. Humaniora Departement, Turun Yliopisto University of Turku. Junttila, N., Vauras, M, Niemi, P. M. & Laakkonen, E. (2012) .Multisource assessed social competence as a predictor for children’s and adolescents’ later loneliness, social anxiety, and social phobia. Journal for Educational Research Online Journal für Bildungsforschung Online, 4(1), 73–98 Keane, S. P. & Calkins, S. D. (2004). Predicting kindergarten peer social status from toddler & preschool problem behavior. Journal of Abnormal Child Psychology, 32, 409-423. Kelly, R, Hammond, S, Dissanayake, C & Ihsen, E. (2011). The relationship between symbolic play and executive function in young children. Australasian Journal Of Early Childhood, 36(2), 21-27. Kim, B., Park, H., & Baek, Y. (2005). Not just fun, but serious strategis: Using meta-cognitive strategies in game-based learning. Computer & Education, 52, 800-810. doi: 10.1016/j.compedu. 2006.12.004. Kim, E. J., Namkoong, K., Ku, T., & Kim, S. J. (2008). The relationship between online game addiction and agression, self control and narcissistic personality traits. European Psychiatry, 23(3), 212-218. Klitzing, K. V., Stadelmann, S., & Perren, S. (2007). Story stem narratives of clinical and normal kindergarten children: Are content and performance associated with children’s social competence? Attachment & Human development, 9(3), 271-286. doi: 10.1080/14616730 701455445. Koegel, L. K., Koegel, R. L., Frea, W. D., & Fredeen, R. M. (2001). Identyfing early intervention targets for children with autism in inclusive school settings. Behavior Modiication, 25(5), 745-761 doi:10. 1177/0145445501255005 Kohonen, V. (2005). Learning to learn through reflection – an experiential learning perspective. http://archive.ecml.at/mtp2 /Elp_tt/Results/ DM_layout /00_10/05/Supplementary%20text%20E.pdf Kolb, D. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
227
Kolb, A. & Kolb, D. (2011). Experiential learning theory bibliography, Volome 2, 2006-2011. http: //learningfromexperience.com/media/2012/02/ Bibliography_2006-2011.pdf Kompasiana. (2011). Anak SD membunuh temannya, Siapa salah? .http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/16/anak-sd-membunuh-temannyasiapa-salah/ Kostelnik, M. J., Gregory, K. M., Soderman, A. K., & Whiren, A. P. (2012). Guiding children’s social development and learning. 7th edition. Belmont: Wadworth, Cengage Learning. Krasilniko, V. P. (2006). Traditional games and competitions in original physical training of Siberian indigenous population. http://www.efdeportes.com/efd102/siberia.htm Krisdyatmiko, (1999). Dolanan anak: Refleksi budaya dan wahana tumbuhkembang anak. Yogyakarta: Plan International IndonesiaYogyakarta dan LPM Sosiatri Fisipol UGM. Lake, K. D., & Hoyt, W. T. Promoting self regulation through school-based martial art training. Applied Developmental Psychology, 25, 283-302. Landreth, G. L. (2002). Play therapy: The art of relationships. (2nd ed). New York: Brunner- Routledge. Landreth, G. L. (2001). Innovations in play therapy: Issues, process, and special populations. Philadelphia: BRUNNER-ROUTLEDGE, Taylor & Franciss Group. Larasati, T. A. (2009). Permainan tradisional Yogyakarta sebagai media untuk meningkatkan keterampilan interaksi sosial pada anak sekolah dasar dengan kesulitan bergaul. Tesis tidak dipublikasikan, Magister Profesi Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lau, C., Higgins, K., Gelfer, J., Hong, E., & Miller, S. (2005).The effects of teacher facilitation on the social interactions of young children during computer activities. Topics in Early Childhood Special Education, 25(4), 208-217. Lavega, P. (2007). Traditional games in Spain: A social school of values and learning. http://www.atsga.com/pdf/Traditional_Games_in_Spain_Lavega.pdf?PHPS ESSID=dcd676354a737341f3c4cf7cde62bed5 Legoff, D. (2004). Use of LEGO@ as a therapeutic medium for improving social competence. Journal of Autism and Developmental Disorder, 34(5), 557571. Legoff, D. B. & Sherman, M. (2006). Long-term outcome of social skills intervention based on interactive LEGO© play. Autism, 10(4), 317-329. doi: 10.1177/1362361306064403 Lewis, M. A. & Maylor, H. R. (2007). Game playing and operations management education. International Journal of Production Economics, 105(1), 134-149.
228
Liddle, B. & Nettle, D. (2006). Higher-order theory of mind and social competence in school age children. Journal of Cultural and Evolutionary Psychology, 4 (3-4), 231-246. doi: 10.1556/JCEP.4.2006.3-4.3.s Lobo, Y. B. & Winsler, A. (2006). The Effect of creative dance and movement program on the social competence of Head Start preschoolers. Social Development, 15(3), 501-519. Losh, M., Martin, G. E., Klusek, J., Hogan-Brown, A. L., Sideris, J. (2012). Social communication and theory of mind in boys in autism and fragile X syndrome. Frontiers in Psychology. Published 20 August 2012. Lo, S., Wang, C., & Fang, W. (2005). Physical interpersonal relationships and social anxiety among online game players. CyberPsychology & Behavior, 8(1), 15-20. Lowrie, T. (2005). Problem solving in technology rich contexts: Mathematics sense making in out-of-school environments. Journal of Mathematical Behavior, 24, 275-286. Mainemelis, C. & Ronson, S. (2006). Ideas are born in fields of play: Towords a theory of play and creativity in organizational settings. Research in Organizational Behavior, 27, 81-131. Manen, T., Prins, P. J. M., & Emmelkamp, P. M. G. (2004). Reducing aggressive behavior in boys with social cognitive group treatment: Result of a randomized, controlled trial. Journal of American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 43(12), 1478-1487. Marsh, T. (2011). Serious game continuum: Between games for purpose and experiential environments for purpose. Entertainment computing, xxx, xxxxxx, article in press. doi: 10.1016/j.entcom.2010.12.004. McAloney, K., & Stagnitti, K. (2009). Pretend play and social play: The concurrent validity of the child-initiated pretend play. International Journal of Play Therapy, 18(2), 99-113. McHale, S. M., Darriotis, J. K., & Kauh, T.J. (2003). Social development and social relationships in middle childhood. In R. M. Lerner & M. A. Easterbrooks (Eds.). Handbook of psychology: Developmental psychology (pp.241-265). New York: John Wiley & Sons. McLellan, D. E. & Katz, L. G. (2001). Assessing young children competence. URL: http://ericeece.org McMohan, L. (2009). The handbook of play therapy and therapeutic play. Second edition. London: Routledge Taylor & Francis Group. McNamara, K. (2005). Best practices in promotion of social competence in the schools. Best Practices in School Psychology IV, 911-928. Meadan, H., & Monda-Amaya, L. (2008). Collaboration to promote social competence for students with mild disabilities in the general classroom: A structure for providing social support. Intervention in School and Clinic, 43(3), 158-167.
229
Meepien,D., Iamusupait, S., & Suttiwan, P. (2010). Effect of self control training to reduce aggressive behaviors of female adolescent offenders in ban pranee jouvenile vocational training center. J Health Res, 24(1), 35-38. Mendez, J. L., Fantuzzo, J., & Cicchetti, D. (2002). Profile of social competence among low income African American preschool children. Child Development, 73(4), 1085-1100. Mischel, W., & Shoda, Y. (1995). A cognitive-affective system theory of personality: Reconceptualizing situation, dispositions, dynamics, and invariance in personality structure, Psychological Review, 102, 246-268. Miller, S. & Reid, D. (2003). Doing play: competency, control, and expression. Cyber Psychology & Behavior, 6(6), 623-632. Mommiesdaily. (2011). Dimana Orang Dewasa Saat Bully Terjadi? Diakses dari http://t.co/Jdg64rh Monks, F. J., Knoers, AS. M. P., & Haditono, S. R. (2000). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam Press. berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Moore, S. & Ryan, A. (2006). Learning to play the drum: An experiential exercise for management students. Innovations in Education and Teaching International, 43(4), 397-408. Mulder, S. (2008). The domains that influence the development of social competence in children: A literature review. A Research Paper. Master of Science Degree in School Psychology, University of Wisconsin-Stout. Netemeyer, R. G., Bearden, W. O., Sharma, S. (2003). Scaling procedures: Issues and applications. United State of America: Sage Publications, Inc. Nikopoulus, C. K. & Keenan, M. (2007). Using video modeling to teach complex social sequences to childrenwith autism. Journal of Autism & Development Disorder, 37, 678-693. doi: 10.1007/s10803-006-0195-x Oblinger, D. (2006). Simulations, games, and learning. Educause Learning Initiative. http://net.educause.edu/ir/library/pdf/ELI3004.pdf OECD. (2007). Understanding the brain; The birth of learning science. Center of Research Education and Innovation. ISBN 978-92-64-02912-5 Olson, K. R. & Dweek, C. S. (2008). A blueprint for social cognitive development. Perspective for psychological science, 3,(3), 193-202. Olzon, K. R. & Spelke, E. S. (2008). Foundation of cooperation of young children. Cognition, 108, 222-231. doi: 10.1016/J.cognitin.2007:12.003. O’mara, M. (2007). Experiential learning in diversity training. Dalam M. Silberman (Editor). The Handbook of experiential learning (hal. 288-305). San Franscisco: John Wiley & Sons, Inc. Owens, G., Granader, Y., Humphrey, A., Baron-Cohen, S (2008). LEGO therapy and the social use of language programme: An evaluation of two social skills interventions for children with high functioning autism and asperger syndrome. Journal Autism Developmental Disorder, 38, 1944-1957. doi: 10.1007/s10803-008-0590-6
230
Ozkan, Y., & Cifei, G. (2009). The effect of empathy levelon peer level of bulliying in schools. Humanity & Social Science Journal, 4(1), 31-38. Pang, Y. (2010). Lego games help young children with autism develop social skills. International Journal of Education, 2(2), 1-9. Papalia, D. E., Old, S. W., & Boston: Mc.Graw Hill.
Feldman, R.D. (2000). Human development.
Park, S. (2001). Theory of Mind Dynamics in Children’s Play: A Qualitative Inquiry in a Preschool Classroom, (Unpublisih doctoral dissertation), Virginia University, USA. Pata, K., Sarapuu, T., & Lehtinen, E. (2005). Tutor scaffolding styles of dilemma solving in network-based role-play. Learning and Instruction, 15, 571-587.
Patel, S. & Bashvar, C. D. (2013). Analysis of pharmacokinetic data by wilk’s lambda (An important tool of manova). Patnaik, B. (2008). Children’s theory of mind: Educational, school and instructional implications. Journal of the Indians Academyof Applied Psychology, 34(2), 329-336. Pellegrini, A. D. (1988). Rough and tumble play and social competence.. Developmental Psychology, 24, 802-806. Pellegrini, A. D. (1993). Boys rough and tumble play, social competence and group composition. British Journal of Developmental Psychology, 11, 237248. Pellegrini, A. D. (1990). Elementary school children’s playground behavior: Implications for children’s social-cognition development. Children’s Environment Quarterly. 7(2), 8-16. Pellegrini, A. D. & Smith, P. K. (2005). Play in great apes and human. Dalam A. D. Pellegrini & P. K. Smith (Eds). The nature of play: Great apes and humans (hal. 3-24). New York: The Guilford Press. Pellis, S. M., Pellis, V. C., & Heather, C. B. (2010). the Function of Play in the Development of the social Brain. American Journal of Play, Winter 2010. 278-294. Petty, A. L., Thereza, M., & de Souza, C. (2012). Executive Functions Development and Playing Games. US-China Education Review B 9, 795801. ISSN 1548-6613 Power, T. G. (2012). Social play. Dalam P. K. Smith & C. H. Hart (Eds.). The Wiley-Blackwell Handbook of Childhood Social Development. Second Edition, (hal. 605-626). Wiley-Blackwell: A John Wiley & Sons, Publication. Premack, D. & Woodruff, G. (1978). Does the Chimpanzee have theory of mind? The Behavioral Brain Science, 1, 515-526. Priamikova, E. V. (2010). The social competence of school students. Russian Education and society, 52(6), 21-34. doi: 10.2753/RES1060-9393520602
231
Quirmbach, L.M., Lincoln, A.J., Feinberg-Gizzo, M.J., Ingersol, B. R., & Andrews, S. M. (2009). Social stories: Mechanism of effectiveness in increasing game play skills in children diagnosed with autism spectrum disorder using a pretest posttest repeated measures randomized control group design. Journal of Autism Developmental Disorder, 39, 299-321. Rahill, S. A., & Teglasi, H. (2003). Processes and outcomes of story-based and skill based social competency programs for children with emotional disabilities. Journal of School Psychology, 41, 413-429. doi: 10.1016j.jsp2003.08.001. Randell, A. (2009). Relationships Between Children’s Social Interactions and Theory of Mind Development: An Investigation of Pretend Play and Conflict Using Parent Reports PhD Thesis, School of Psychology, The University of Queensland. Rashid, T. (2010). Development of Social Skills among Children at Elementary Level. Bulletin of Education and Research, 32(1), 69-78. Reid, M. J., Webster-Stratton, J., & Hammond, M. (2007). Enhancing a Classroom Social Competence and Problem-Solving Curriculum by Offering Parent Training to Families of Moderate- to High-Risk Elementary School Children. Journal of Clinical Child and Adolescent Psychology, 36(4), 605–620 Rhoades, B. L., Warren, H. K., Dominitrovich, C. E., & Greenberg, M. T. (2010). Examining the link between preschool social-emotional competence and first grade academic achievement: The role of attention skills. Early Childhood Research Quarterly, 493, 1-10. doi: 10.1016/j.ecresq.2010.07.003. Richardson, R. C., Tolson, H., Huang, T-Y., & Lee. (2009). Character Education: Lessons for teaching social and emotional competence. Children & School, 31(2), 71-78. Robert, W., & Strayer, J. (1996). Empathy, emotional expressiveness, and prosocial behavior. Child Development, 67, 449-470. Robinson, J., Landreth, G., & Packman, J. (2007). Fifth-grades students as emotional helpers with kindergartners: Using play therapy procedures and skills. International Journal of Play Therapy, 18(1), 20-35. Ronen, T. (2004). Imparting self-control skills to decrease aggressive behavior in a 12-year-old boy: A case study. Journal of Social Work, 4(3), 269-288. doi: 10.1177/ 4680173047748. Rydell, A. M., Hagekull, B., & Bohlin, G. (1997). Measurement of two social competence aspects in childhood. Developmental Psychology, 33(5), 824833. Sakofsky, M. J. (2009). The impact of empathy skill training on middle school training. Conselors Education Masters’s Thesis. University of New York. Sansoti, F. J. & Powell-Smith, K. A. (2008). Using computer-presented of children with high-functioning autism spectrum disorders. Journal of Positive Behavior Interventions, 10, 162-178. doi: 10.1177/1098300708316259
232
Santrock, J.W. (2000). Lifespan development. Boston: McGraw-Hill College. & Sons Sattelmair, J. & Ratey, J. J. (2009). Physically active play and cognition. American Journal of Play, Winter 2009, 365-374. Schaefer, C. & Reid, S. F. (2001). Game play: Therapeutic use of childhood games, second edition. Ne York: John Wiley & Sons. Schonert-Reichl, K. A. (2011). Promoting empathy in school-age children: Current state of the field and implications for research and practice. In K. Nader (Ed), School rampage shooting and ither youth disturbance: Early prevention intervention (pp. 159-203). New York: Routledge. Schonert-Reichl, K. A., Smith, V., Zaidman-Zaid, A., & Hiertman, C. (2012). Promting children’s prosocial behaviors in school: Impact of the “Roots of Empathy” program on the social and emotional competence of school age children. School mental Health, 4(1), 1-21. doi: 10.1007/sf2310-011-9064-7. Sedyawati, E. (1999). Permainan Anak-anak sebagai Aspek Budaya. Editor: Krisdyatmiko. Dolanan anak: Refleksi budaya dan wahana tumbuhkembang anak. Yogyakarta: Plan International Indonesia-Yogyakarta dan LPM Sosiatri Fisipol UGM. Semrud-Clikeman, M. (2007). Social competence in children. New York: Springer Science + Business Media, LLC. Shadish, W. R., Cook, T. D., & Campbell, D. T. (2002). Experimental and quasiexperimental design for generalized causal inference. Boston: Houghton Mifflin Company. Sheridan, S. M., Buhs, E. S., & Warnes, E. D. (2003). Childhood peer relationships in context. Journal of School Psychology, 41, 285-292. Shiner, R. (2000). Linking childhood personality with adaptation: Evidence for continuity and change across time into late adolescence. Journal of Personality and Social Psychology, 78(2), 310-325. Shu, B. C. & Lung, F. W. (2005). The effect of support group on the mental health and quality of life for mothers with autistic children. Journal of Intelectual Disability Research, 49, 47-53. Sibermen, M. (2007a) Introducing the handbook of experiential learning. Dalam M. Silberman (Editor). The Handbook of experiential learning (hal. 1-9). San Franscisco: John Wiley & Sons, Inc. Sibermen, M. (2007b). Experiential learning in interpersonal skills development. Dalam M. Silberman (Editor). The Handbook of experiential learning (hal. 272-287). San Franscisco: John Wiley & Sons, Inc. Singer, D. G., Golincoff, R. M., & Hirsh-Pasek, K. (2006). Why Play = learning: A challenge for parents and educators. Dalam D. G. Singer, R. M. Golincoff, & K. Hirsh-Pasek (Eds). Play = learning: How play motivates and enhances children’s cognitive and social-emotional growth. Oxford: Oxford University Press.
233
Skaines, N., Rodger, S. & Bundy, A. (2006). Playfulness in children with autistic disorder and typically developing peers. British Journal of Occupational Therapy, 69, 505-512. Spinrad, T. L., Eisenberg, N., Harris, E., Hanish, L., Fabes, R. A., Kupanoff, K., Ringwald, S., & Holmes, J. (2004). The relation of children’s everyday nonsocial peer play behavior to their emotionality, regulation, and social functioning. Developmental Psychology, 40(1), 67-80. Spitzberg, B. H. (2003). Methods of interpersonal skill assessment. In J.O. Greene and B. R. Burleson (Eds). Handbook of Communication and Social Interaction Skills (pp. 93-134). Mahwah NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Staiano, A. E., Abraham, A. A., & Calvert, S. L. (2012). Competitive versus cooperative exergame play for African American adolescence’ executive function skills: Term effects in a long-term training intervention. Developmental Psychology, 48(2), 337-342. doi: 10.1037/a0026938 Stanton-Chapman, T. L., & Snell, M. E. (2010). Promoting turn-taking skills in preschool children with disabilities: The effects of a peer-based social communication intervention. Early a peer-based social communication intervention. Early Childhood Research Quarterly, EARCHI 502, 1-17. doi: 10.1016/j.ecresq. 2010.11.002. Symons, D. (2004), Mental state discourse, theory of mind, and the internalization of slef-other understanding. Developmental Review, 24, pp. 159-88. Tarullo, A. R., Obradovic, J., & Gunnar, M. R. (2009). Self control and developing brain. www.zerotothree.org Taufik, (2011). Managing diversity as synergy: Increasing ethnocultural empathy by the traditional games of javaniese and Chinese in Indonesia. (Unpublished doctoral dissertation). Tilburg University, Dutch. Teglasi, H., & Rothman, L. (2001). STORIES: A classroom-based program to reduce aggressive behavior. Journal of School Psychology, 39(1), 71-94. Tempo.(17 Februari 2012). Anak SD tusuk temannya hingga kritis. http://www.tempo.co/read/news/2012/02/17/ 064384735 Tempo (24 September 2012). Empat hari tiga tawuran pelajar di Jakarta. http://www.tempo.co/read/news/2012/09/28/064432528/ Thorell, L. B., Lindqvist, S., Nutley, S. B., Bohin, G., & Klingberg, T. (2009). Training and transfer effects of executive functions in preschool children. Developmental Science, 12(1),106–113 doi: 10.1111/j.14677687.2008.00745.x Torres, M. V. T., Cardelle-Elawar, M., Mena, M. J. B., & Sanchez, A. M. M. (2003). Social background, gender, and self-reported social competence in 11-and 12-year-old Andalusian children. Electronic Journal of Research in Educational Psychology, 1(2). 38-56. ISSN: 1696-2095.
234
Trute, B., Hiebert-Murphy, D., & Levine, K. (2007). Parental appraisal of the family impact of childhood developmental disability: Times of sadness and time of joy. Journal of Intellectual & Developmental Disability, 32(1), 1-9. Tsao, L.L. & Odom, S. L. (2006). Sibling-mediated social interaction intervention for young children with autism. Topics in Early Childhood Special Education, 26, 106-123. doi: 10.1177/ 0271121406026002010 Turner, J.R. & Thayer, J.F., 2001. Introduction to Analysis of Variance: Design, Analysisi, & Interpretation. London: Sage Publications. Tzeng, S. K. & Huang, C. F. (2010). A study of the interactive “Hopscocth” game for the children using music technique. The international journal of multimedia & its application, 2(2), 32-34. Uren, N. & Stagnitti, K. (2009). Pretend play, social competence and involvement in children aged 5-7 years: The concurrent validity of the child-initiated pretend play assessment. Australian Occupational Therapy Journal, 56, 33-40. Velsor, E. V., & Gurvis, J. (2007). Experiential learning in leadership development. Dalam M. Silberman (Editor). The Handbook of experiential learning (hal. 306-320). San Franscisco: John Wiley & Sons, Inc. Voogler-Lee, M. E. & Kupersmidt, J. B. (2011). Intervening in childhood social development. Dalam P. K. Smith & C. H. Hart (Eds.). The Wiley-Blackwell Handbook of Childhood Social Development. Second Edition, (hal. 605626). Wiley-Blackwell: A John Wiley & Sons, Publication. Weare, K., & Gray, G. (July, 2003). What Works in Developing Children’s Weare, K., & Gray, G. (July, 2003). What Works in Developing Children’s Emotional and Social Competence and Wellbeing? Research Report RR 456, pp. 1-113. ISBN 1 84478 054 6 Webster-Stratton, C. & Reid, M. J. (2004). Strengtening social and emotional competence in young children – The foundation for early school readiness and success. Infant and Young Children, 17(2), 96-113. Webster-Stratton, C., Reid, M. J., & Hammond, M. (2001). Preventing conduct problem, promoting social competence: A parent and teacher training partnership in head start. Journal of Cinical Child Psychology, 30(3), 283302. Weinberg, A. E., Basile, C. G., & Albright, L. (2011). The Effect of an Experiential Learning Program on Middle School Students' Motivation toward Mathematics and Science. RMLE Online: Research in Middle Level Education, 35(3), 1-12 . Welsh, J. A. & Bierman, K. L. (2006). Social competence. Encyclopedia of Childhood and Adolescence, April 06, 1-4. Welsh, M., Park, R. D., Widaman, K., & O’Neil, R. (2001). Linkages between children’s social and academic competence: A longitudinal analysis. Journal of School Psychology, 39(6), 463-481.
235
Wentzel, K. R:, & Caldwell, K. C. (1997). Friendships, peer acceptance, and group membership: Relations to academic achievement in middle childhood. Child Development, 68, 1198-1209. Wentzel, K. R., & McNamara, C. C. (1999). Interpersonal relationships, emotional distress, and prosocial behavior in middle school. Journal of Early Adolescence, 19, 114-125. White, R. E. (2012). The power of play: Research summary of play and learning. Minnesota Children Museum. http://www.mcm.org/uploads/MCMResearchSummary.pdf Widhiarso, W. (2012). Pengujian kesetaraan presisi dan skala ukur butir-butir pada skala psikologi. Kawistara, 2(1), 87-96. Wight, M. & Chapparo, C. (2008). Social competence and learning difficulties: Teacher perceptions. Australian Occupational Therapy Journal, 55, 256265. Doi: 10.1111/j.440-1630.2007.00706.x. Williams, D., Yee, N., Caplan, S. E. (2008). Who plays, how much, and why? Debunking the stereotypical gamer profile. Journal of Computer Mediated Communication, 13, 993-1018. doi: 10.1111/j.10836101.2008.00428.x Wood, R. T. A. (2008). Problem with the concept of video game “Addiction”: Some case study examples. International Journal Mental Health Addiction, 6, 169-178. Doi: 10.1007/s11469-007-9118-0. Yadav , P. & Iqbal, N. (2009). Impact of Life Skill Training on Self-esteem, adjusment, empathy among adolescents. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology 35, Special Issue, 61-70. Yannacci, J., Roberts, K., & Ganju, V. (2006). Principle from adult learning theory, evidence –based teaching, and visual marketing: What are the implications foer toolkit development? Center for Mental Health Quality and Accountability,NRI,Inc. . http://ebp.networkofcare.org/uploads/Adult_Learning_Theory_2497281.pdf Young, L. G. & Woehl, DJ., & Schambow, D. (2009). Experiential learning: From adult education. Diakses tanggal 29 Februari 2012 dari http://adulteducation.wikibook.us/index.php?title=Experiential_Learning#Ex amples_of_Learning Yudhohusodo, S. (2010). Dimensi filosofis-historis berdirinya negara-bangsa Indonesia dan perkembangan actual bagi masa depan Negara kebangsaan Indonesia. Dalam Surono (Editor). Nasionalisme dan pembangunan karakter bangsa. Yogyakarta: PSP-Press. Zhang, X. (2010). Parent-child and teacher-child relationships in Chinese preschoolers: The moderating role of preschool experiences and the mediating role of social competence. Early Childhood Research Quartely, 495, 1-13. doi: 10.1016/j.ecresq.2010.09.001 Zigmont, J. J., Liana, J., Kappus, L. J., & Sudikoff, S. N. (2011). Theoretical foundations of learning through simulation. Semin Perinatol, 35, 47-51.
236
Zsolani, A. (2002). Relationship between children social competence, learning motivation, and school achievement. Educational Psychology, 22(3), 317329.
237
SUMMARY
EFFECT OF TRADITIONAL GAME WITH EXPERIENTIAL LEARNING METHOD ON SOCIAL COMPETENCE IN SCHOOL AGE CHILDREN
Iswinarti Faculty of Psychology, Gadjah Mada University
Abstract This study aimed to examine whether traditional game through experiential learning methods can increase social competence of school-age children and whether the increase was moderated by gender. Design of this research is a quasi experimental with multiple tratment and control with pretest design. There are three groups involving of this research. First group obtained the traditional game through experiential learning methods, the second group obtained the traditional game without experiential learning methods, and the control group who did not receive treatment. Subjects were 168 fifth grade elementary school children whose group distinguished between men and women. Measuring instrument used two equal social competence scale. Scale 1 was to measure pretest and scale 2 was to measure post-test. Manova was used to determine differences the gain scores between the first, second, and control group. The results showed that traditional game through experiential learning method or BERLIAN (Bermain-ExpeRiential-LearnIng-ANak) has effects to increase the child's social competence (F = 19.915; p = 0.000). The traditional games through BERLIAN method can improve social competence more than traditional games without BERLIAN method. The traditional game without BERLIAN method can improve problem solving and cooperation aspects, while traditional games through BERLIAN methods can improve all aspects of social competence such as problem solving, self control, cooperation, and empathy. There was no difference between boys and girls in improving social competence. Keywords: traditional games, social competence, experiential learning methods
Social competence is the ability that refers to social skills, emotional, cognitive, and behavioral needed by the child to succeed in social adjustment (Welsh & Bierman, 2006). Social competence is important to establish child foundation in adjusting to the future. Some research suggests that social competence in children is important because it can predict the success and
238
failures of life in the future (Semrud-Clikeman, 2007). The results showed that children whose low social competence would lead to problematic behavior in the next development in which the child will have social and emotional difficulties, as well as difficulties in academic and cognitive development (McLellan & Katz, 2001). Social competence can also predict aggression, drug abuse, depression, drop out of school, and too early become parents (Frey, Hirschstein, & Guzzo, 2000) while a good social competence will contribute to physical and mental health (Spizberg, 2003). According to Kostelnik, Gregory, Soderman, & Whiren (2012) social competence related to individual attributes, social skills, and relationships with peers. Social competence is also defined as a person's level of effectiveness in social interaction with others (Fabes, Gaertner, & Popp, 2008). Social competence consist of some components include various abilities such as problem solving (Meadan & Monda-Amaya, 2008; Richardson, Tolson, Huang, & Lee, 2009; Webster-Stratton, 2001), self-control (Abdi, 2010; Findlay & Coplan 2008), cooperation (Findlay & Kaplan, 2008; Klitzing, Stadelmann, & Perren, 2007; Pang, 2010), and empathy (Donovan, 2009; Hennessey, 2007). The increasing phenomenon of children and adolescents who do brawl, bulliying, drugs, crime, aggression, and other behaviors that harm themselves and others is a problem that must be addressed both in prevention and curation. Their behavior indicates that their lack of social competence. Low social competence would lead to problematic behavior such as aggression, delinquency and failure to live, otherwise good social competence will lead to the success of the life to come (Frey et al., 2002; McClellan & Katz, 2001; Rhoades et al., 2010; Semrud-Clikeman, 2007; Spizberg, 2003; Welsh et al., 2001). Many activities carried out at school-age children is play and learning. Playing is an activity that is fun and can be a facility for learning (Piaget in Hughes, 2004). Game with rule is development stage of play at school age children. This play require ability think logically. Kind of children play which rule are video games, online games and other games that use computers and other technological tools. The fact show that school age children now usually play videogames, on the other hand, most of videogames contain of violence. Many studies showed consistent results that the effects of violence videogames are aggression and
239
pathological behaviors, otherwise playing violence has negative correlation with prosocial behavior and empathy (Anderson & Carnagey, 2009; Anderson & Dill, 2000; Beard & Wolf, 2001; Caplan, 2002; Davis, 2001; Davies & Chappell, 2003; Dietz, 1998; Funk, Hagan, & Pukkinem, 2002; Gentile et al., 2004; Pratarelli & Browne, 2002; Thomson & Haninger, 2001). Meanwhile in Indonesia has a wealth
of
traditional
games
that
have
values
of
social
competence
(Dharmamulya, 2008; Ismail, 2005; Iswinarti, 2005; Iswinarti et al., 2008; Taufik, 2011). Intervention programs using of play activities are proven to improve social competence of school-age children (Findlay & Coplan, 2008; Heannessey, 2007; Richardson et al., 2009; Smart & Sanson, 2003; Teglasi & Rothman, 2001). The traditional game is a game with rules that contain the values of social competence that can be used as a medium to increase social competence. Traditional game is a game that is passed down from generation to generation and contains the values of "good" (Bishop & Curtis, 2005). Indonesia is essentially rich in traditional games that have a high social value. Application of traditional games as a medium to improve social competence then all at once can be a means of socialization of the nation's cultural values to children who are now no longer recognize traditional games .. Characteristics of the game that can improve social competence are game with social theme, have rules, and have physical movement. These characteristics found in traditional games that will be tested in this study. Given traditional games that have values will be beneficial to the development of school-age children. The principles of traditional games can be used as a media interventions to improve social competence of children. Preliminary research conducted by Iswinarti et al (2008) have also been identified 34 traditional games and psychological values that exist in every type of game. Although traditional games have social values and psychological high, but there are some constraints experienced in order to implement this game to children. Some of the obstacles that exist according to Bishop & Curtis (2001) is that the child is now no longer know how to play the traditional game. Sedyawati (1999) also writes that there are several reasons why it is difficult to apply traditional games today is the absence of inheritance, the unavailability of land, and the child is more interested in modern games.
240
With the constraints of the application of traditional games in children naturally it is necessary for the revitalization of traditional games can be used as interventions to increase social competence. Revitalization or refresh the traditional values that noble owned by the Indonesian in character building. (Yudhohusodo, 2010; Santosa & Surono, 2010). Revitalization of traditional games in the research is to re-implement the traditional game by optimizing the meaning of the values of traditional games to school-age children. Theoretically there are several learning methods used in the context of social competence learning. According to the pyramid model of social development (Fox et al., 2009) there are several methods to increase social competence, such as coaching, teaching, shaping, modeling, and learning with peer, social skills training, problem solving and cooperation activities in play. In this research, the method used is training to improve social competence of children through play activities with peers is experiential learning methods. Basically, the theory of experiential learning is a theory which is very close to practice (Beard & Wilson, 2006). The main principle of experiential learning theory lies in the process of learning through reflection on experience. At first the application of the theory of experiential learning as a learning method applied to adults, the further application of this method is also applied to children (Alkhateeb & Midji 2009; Houck & Stember, 2002; Teglasi & Rothman, 2001; Weinberg, et al. , 2011). In this study, experiential learning principles will be applied to children as a method of social competence learning. Gender is a factor that plays a role in mediating the effects of traditional games to social competence (Colwell & Lindsey, 2005; Dilworth, Mokrue, & Elias, 2002; Kostelnik, et al., 2012; Pelligrini, 1988 & 1993). Boys at school-age children tend to be more involved in competitive games, while girls prefer games that do not attack the other child (Goodwin, 2006). Chart representing the research framework presented in Figure 1.
241
Traditional Games with Experiential Lerning Method
Traditional Games without Experiential Learning Method
Did not get traditional games treatment
Gender
Social Competence
Figure 1. Research design
Based on the above research framework, it can be proposed the following hypothesis: 1. There is the influence of the traditional game with experiential learning methods and without the experiential learning methods to social competence of school-age children. 2. Gender moderates the relation between traditional game with experiential learning methods and without the experiential learning methods and social competence.
METHODS This study was quasi experimental research that using multiple treatment and control with pretest design. The determination of the subjects in the experimental group I, experimental group II and control group was not done randomly. The design of multiple treatments and control with a pretest according Shadish, Cook, & Campbell (2002) is an experimental design that provides more than one treatment and involves the control group.
242
The experimental group I would have received traditional game with experiential learning method (named BERLIAN = Bermain-ExpeRientialLearnIng-ANak), in the other hand, experimental group II would have received traditional game without experiential learning method (named NON BERLIAN group). Design of this research was showed at Tabel 1. Tabel 1. Conducting Research Design
Group
Gender
Experiment I
Boy Girl Boy Girl Boy Girl
Experiment II Control
Note : O-! O-2 X1 X2
= = = =
Research Conduct O-1 O-1 O-1 O-1 O-1 O-1
X1 X1 X2 X2 -
O-2 O-2 O-2 O-2 O-2 O-2
Measuring social competence pretest Measuring social competence posttest Traditional game with BERLIAN method Tradisional game without BERLIAN method
Subjects in this research were school-age children who are grade 5 elementary school Malang regency. The inclusion criteria for subjects were children who did not have developmental disabilities and do not have severe disease. Description about age mean og subject can be seen at Tabel 2. Tabel 2. Age Mean of Subjects
Group
Gender
Age Range
Age Mean
BERLIAN
Boy Girl
10,11 - 11,48 th 10,52 – 11,5 th
10,98 th 10,81 th
NON BERLIAN
Boy Girl
9,83 - 11,94 th 10,13 - 12,1 th
10,76 th 11,04 th
Control
Boy Girl
10,41 - 11,83 th 10,16 - 11,71 th
11,36 th 11,18 th
10,11 – 12,1 th
11,02 th
Total
243
Social competence is measured using social competence scales consists of four aspects, its are problem solving, self-control, cooperation, and empathy. There are two social competence scale for measuring social competence at pretest and posttest. Social Competence Scale 1 and Social Competence Scale 2 are equal intruments. Equality scale 1 and scale 2 were tested by t-test (t = 1.080; p = 0.282) that have meaning both scales showed no difference. Homogeneity of variance of both scales were homogen (Lavene value = 0.617; p = 0.433). The reliability scale 1 = 0.857 and the reaility scale 2 = 0.846. In this study, a traditional game played is a gembatan game (other names are gebokan or pal-palan or boy-boyan, or ganevo or sepak kereweng) is a game played by 8-12 children, using a baseball or other ball and kereweng (broken tiles) or the like. In doing gembatan game, the group was divided into two teams that in turn become a
player team and a guard team
who will
compete to win the game. The team, a playerteam has to destroy the pile of kereweng and rearrange. The team that became the guard has a duty to block opponent team to pile kereweng up by through ball towards the opponent's body. Members of the team players who are hit on their body by the ball (except the head) is said to "die" and has to stand on the edge of the playing area. The player team who pile kereweng up successfully will obtain a score. After that, the team will change the role. If they are the player team will change their status to become a guard team. Traditional game with experiential learning method (BERLIAN) means giving treatment to children playing gembatan traditional game guided by a facilitator and after they played will be reflected about their experience abot their playing. The activities carried out in six sessions that began with the introduction of a child with a facilitator and observer, game description, simulation, and evaluation of the game (session 1); simulation games and reflection on children's play and learning experiences of social competence (session 2); simulation of games and reflection for learning aspects of social competence to be applied to the next game (session 3); watching a video of the game in the previous session and reflection on the display (4 sessions); simulation and learning empathy and reflection on teaching and learning of social competence in real life (5 sessions); and game sessions with a reflection on the entire game session and give each an
244
assessment of the opposing team (session 6). In each session begins with ice breaking. Sessions 1-3 are given on the first day and 4-6 sessions are given on the second day. Each session takes about 60 minutes from the introduction, ice breaking, gembatan play, rest, and reflection. Traditional games without experiential method (NON BERLIAN) is giving treatment to children playing gembatan traditional games are guided by a facilitator but no facilitation to reflect their experience. The activities carried out in six sessions. All sessions are same as sessions on BERLIAN method but there are no reflection. Data in this research were analized using MANOVA (Multivariate analysis of variance) two ways. Design about data analiyze can be seen at Tabel 3. Tabel 3. Data Analyze Design Subject
Y Y1
EXPERIMENT GROUP I
Boys Girls
EXPERIMENT GROUP II
Boys Girls
CONTROL GROUP
Boys Girls
Y2
Y3
Y4
Notes : Y : Y1, Y2, Y3, Y4 Y1 : Gain score posttest – pretes problem solving aspect Y2 : Gain score posttest – pretes self-control aspect Y3 : Gain score posttest – pretes cooperation aspect Y4 : Gain score posttest – pretes empathy aspect
RESULT The results of the data analysis with Manova using Wilk’s Lambda test showed that there are difference on social competence increasing between experimental group I (BERLIAN Group), experimental group II (NON BERLIAN Group) and control group (f = 13,915; p = 0,000). Another result showed that
there are no
difference on social competence increasing between boys and girls (F = 1,028; p = 0,394). Result about interaction between group and sex showed that there are
245
no interaction between group and gender. Results summary of the analysis are presented in Table 4. Tabel 4. Summary of Manova Result for Social Competence
Variabel effect Corected Model: Gender Group: Interaction Gdr*Grp
F 57,970 1,028 13,915 1,488
Sig 0,000 0,394 0,000 0,161
Eta Square 0,593 0,025 0,259 0,036
The picture of the comparation between the mean of gain score of social competence among BERLIAN, NON BERLIAN, and control GROUP can be seen in Figure 18.
Social Competence 7 6 5 4
BERLIAN
3
NON BERLIAN
2
CONTROL
1 0 -1
The other
Mean of gain score
result of data analyze are about difference of social
competence aspects between BERLIAN, NON BERLIAN, and control group. The summary of result are : (1) traditional game with BERLIAN method can increase problem solving, self control, cooperation, and empathy aspect; (2) traditional game with NON BERLIAN method can increase problem solving and cooperation aspect. DISCUSSION Results of this research about effects of traditional game on social competence support several previous studies that showed the relationship between play and social competence. Meta-analysis study conducted by Iswinarti (2014) showed
246
that there was
a correlation between play and social competence. Other
research also showed that social play positively correlated with social competence while playing alone (solitary play) negatively correlated with social competence (Coplan et al, 2001; McAloney & Stagnitti, 2009; Spinrad et al, 2004; Uren & Stagnitti, 2009). Traditional games used in this study is gembatanthat
has some
characteristics, (1) is a social game because it involves more than one person, (2) involve physical activity, (3) games with rules. Several features of the game has similarities with characteristics of the rough and tumble play which was studied by Pelligrini (1998). The results of longitudinal studies conducted on school-age children showed that the rough and tumble play can improve social competence in children who were popular, while the children were denied this game can regulate aggressiveness. Discussion of the relationship between traditional games with social competence can also be discussed with the topic of neuroscience. Based on the research results Pelligrini (1988) showed that rough and tumble games can improve social competence of school-age children. Research on the effect of the rough and tumble game against social competence was also carried out on rats by looking at the development of "social brain". Based on research conducted by the Natural Sciences and Engineering Research Council of Canada and the Alberta Heritage Foundation for Medical Research (Pellis, Pellis, & Bell, 2010) .were applied in rats showed that rough and tumble play increase social competence in rats. In this study proved that the traditional game which has some similarities with the characteristics of the rough and tumble game associated with increased social competence. Thus children who play traditional games are also likely to experience growth "social brain". According to Donald (2007) basically social brain is home to the neurobiology of social cognition. Thus when developing the social brain will also be developed social cognition. Some experts also support the notion that the play is closely related to brain development (Brown & Vaughan, 2009; Goldstein, 2012; OECD, 2007; Sattelmair & Ratey, 2009). More about neuroscience research related to the development of play and social competence in children is ToM (theory of mind). Several studies of ToM (Theory of Mind) concluded that ToM predict social competence while
247
relationships and social interactions affect the development of ToM. Good ToM ability can predict better the relational capabilities such cooperation behavior and positive relationships with other children (Hughes & Leekam, 2004; Symons, 2004). Another concept that is also associated with neuriscience is an executive function. Definition of executive function refers to the ability to be longer with others, to compromise, to plan, negotiate, attention, and problem solving. Executive function includes three dimensions, namely the ability of working memory, inhibitory control, and cognitive flexibility (Anderson, 2001; Thorell, et al., 2009). This capability is the basis for success in learning and social activity. Various studies have found that executive function may be stimulated with play activities (Bodrova, Germeroth, & Leong, 2013; Kelly, Hammond, Dissanayake, & Ihsen 2011 :; Petty, Thereza ,, & Souza, 2012, White, 2012). According to Petty, Thereza, de Souza (2012) who conducted a review of the relationship between playing with executive function by basing on the theory of Piaget concluded that the rules of the game played by children aged 7-11 and is supervised by a professional will provide a challenge for children to develop reasoning and autonomy so as to contribute to the development of executive function. Another explanation could be used to discuss the relationship between traditional games with social competence is about the contentgembatan in the game. Based on a content analysis of the gembatan traditional game (Iswinarti, 2012) it is known that the gembatan traditional game contains values of social competence that are problem solving, self-control, cooperation, and empathy. In relation
with
content of game that effect on social competence was also
examined in meta-analysis study by Anderson, et al (2010) who found that the video material on the theme of violence was positively correlated with aggressiveness and negatively correlated with empathy and prosocial behavior. Aggressiveness is a behavior that reflects the low social competence, whereas empathy and prosocial behavior is an aspect of social competence. The description of the various studies that support this research shows that if the game can either increase or decrease the aspects of social competence depends on the type and content of the game. This result can be explained by the theory of social learning or social cognition theory (Bandura,
248
1971; Buckley & Anderson, 2006) which says that people learn through direct experience or through observation. In observing one can observe himself or others in the same room, on television, in film and video. When observing a person will be considered whether the behavior to obtain rewards or punishment. Someone will tend to mimic the behavior if they see that such behavior will be rewarded and less emulate if the behavior is gained punishment. Based on this theory, the explanation of the content or materials play experienced and observed by the child becomes important. When experienced and observed by a child is a video about the violence that will emulate the child is aggressive behavior, whereas if it is experienced and observed by a child is a game that contains social values then that would be imitated child is social behavior. Discussion of the results of studies showing that the game affect the social competence can also be explained by the ecological theory of Urie Bronfenbrenner. According to Bronfenbrenner (1979) development of children is influenced
by the
environment
consisting of
microsistem,
mezosistem,
ecosystems, macrosistem, and cronosistem. Children playing traditional games with peers means that peers are part of mckrosistem. Mckrosistem is the closest environment that influence the development of children, in this case is the development of social competence. Thus the results of this study support the theory about microsistem of Brenfenbrenner. The results of this study indicate that the traditional game with BERLIAN method has a higher impact in improving social competence compared with traditional games with non berlian method. The results of this study indicate that the traditional games accompanied by reflection guided by facilitators of children's experiences in the play has a role in improving the social competence of children. BERLIAN (Bermain-ExpeRiential-LearnIng-ANak) method in this study was a method used to train the social competence of children with traditional games as a medium. According Silberman (2007a) experiential learning is suitable for use in training. In experiential learning method, the involvement of participants in concrete activities will make them have truly "experience" . They learned through their experience as well as the opportunity to reflect on their activities experienced.
249
In this study, children who obtained the traditional game with BERLIAN method deliberately given the experience to learn the values of social competence embodied in the gembatan traditional game. The game to be fully involved in the child's physical, cognitive, emotional, and behavioral. According Zigmont et al. (2011) and Kohonen (2005) experience that most contribute to the learning process is the spark emotionally, pressing, challenging so that the whole body will be full involvement. The design of simulation that can make optimal body changes will strengthen meaningful reflection but does not cause the pressure in the learning process. Definition of reflection in the experiential learning process is to facilitate the experience that will have meaning (Guthrie & McCracen, 2010; Kolb, 1884; Schutte & Wetmore, 2012). Reflecting on the experience of the child when doing traditional games the children will learn about the values of social competence from that game so that the child will be easier to obtain the meaning of the experience than if the child only play without any reflection on his experience. Based on this research is known that there are no gender differences in the influence of traditional game with and without BERLIAN method in increasing social competence. This is in contrast with the hypothesis that gender moderates the increase in social competence. These results provide information that the role of gender in influencing the activities of play and social competence showed varying results. . The results of this study differ from previous studies that showed sex differences in children's social competence. Pellegrini (1990) there is a relationship between the behavior of the boys on the playground with social cognition status of boys but there was no relationship between the two girls. Daigle (2003 also found that boys and girls differ in view of the support of others in physical activity and sport activities. There is a feeling capable in physical activity in girls more influence on participation in physical activity and sport compared to boys . Thus, the support of teachers and peers also influence the physical activity and sport in girls than in boys. Gender factor in this study not only play a role in social competence variables but play a role in the variables and the relationship between two variables, play and social competence. Most studies showed no sex differences in the desire to engage in prosocial behavior in children. This means that both
250
boys and girls have the same capacity in prosocial behavior (Kostelnik, 2012). Namuin so few studies showed different results. Girls are more likely to participate in prosocial behaviors than boys (Keane & Calkins, 2004; Hastings, Rubin, & DeRose, 2005). Various mixed results about the role of gender in the social development of children can not be separated from the development of the child's play. Based on the literature, Kostelnik et al (2012) concluded that the growing age of the child, the more different gender play. Child's interest in play activities are influenced by variations in social culture so that there is a tendency on the type of game options to be different between boys and girls along with bertambahnyan age. In school-age children by Goodwin (2006), both in boys and girls involved in a competitive game, but men tend to be more involved in open, competitive game while girls prefer games that do not attack the other children because of their role different from the boys. The absence of a difference in improvement of social competence among boys and girls can also be based on the experimental process. Based on observations during the experiment process can be seen that both the subject of boys and girls are not acquired any significant difference on their behavior during play. Spirit, enthusiasm, and sincerity give evident in both boys and girls. CONCLUSION Based on the results of this study concluded that there is the influence of traditional games with experiential learning method (BERLIAN) method to increase the social competence of school-age children. Traditional games with BERLIAN method has a higher impact in improving social competence compared to traditional games without BERLIAN method. Traditional games with BERLIAN method can improve all aspects of social competence, that are problem solving, self-control, cooperation, and empathy aspect, while the traditional game without BERLIAN method can improve problem solving and cooperation aspect. In this study it was found that gender does not function as a moderator in the relationship between traditional games with and without BERLIAN method. That is, there is no difference in improvement of social competence among boys and girls.
251
REFERENCE Abdi, B. (2010). Gender differences in social skills, problem behaviours, and academic competence of Iranian kindergarten children based on their parent and teacher ratings. Social and Behavioral Sciences, 5, 1175-1179. doi: 10.1016/j.sbspro.2010.07.256. Alkhateeb, H. M. & Midji, A. (2009). Learning styles and approaches to learning mathematics of students majoring in elementary education: A three year study. Psychological reports, 105(2), 500-508. Anderson, C. A. & Carnagey, N. L. (2009). Causal effects of violent sports video game on aggression: It is competitiveness or violent content? Journal of Experimental Psychology, 45, 731-739. Anderson, C. A., Shibuya, A., Ihori, N., Swing, E. L., Bushman, B. J., Sakamoto, A., Rothstein, H. R., & Saleem, M. (2010). Violent video game effects on aggression, empathy, and prosocial behavior in eastern and western countries: A Meta-Analytic review. Psychological Bulletin, 136 (2), 151-173. doi: 10.1037/a0018251 Anderson, V. (2001). Assessing executive functions in children: biological, psychological, and developmental considerations. Pediatric Rehabilitation, 4(3), 119-136 Anderson, C. A. & Dill, K. E. (2000). Video games and agressive thoughts, feelings, and behavior in the laboratory and in life. Journal of Personality and Social Behavior, 78(4), 772-790. AVEF. (2006). Experiential learning: KPM Approach to children. Malakarra, Kelara, India. www.kpmapproach.org Bandura, A. (1971). Social learning theory. General learning Corporation, Stanford University. http://www.jku.at/org/content/e54521/e54528/e54529/e178059/Bandura_So cialLearningTheory_ger.pdf Banerjee, M., CAPOZZOLI, M., McSWEENEY, L., & SlNHA, D. (1999). Beyond kappa : A review of interrater agreement measures. The Canadian Journal of Statistics, 27(1), 3-23. Beard, C. & Wilson, J. P. (2006). Experiential learning: A best practice handbook for educators and trainers. London: Kagan Page. Bishop, J. C., & Curtis, M. (2001). Play today in the primary school playground: Life, learning, and creativity. Buchingham: Open University Press. Blagojevich, R.R. (2001). (2001). Assessing children’s social competence. http://www.illinoisearly learning.org/fags/socialcomp.htm Bodrova, E., Germeroth, C., & Leong, D. J. (2013). Play and self regulation. American Journal of Play 6(1), 111-123. Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of human development: Experiments by nature and design. Cambridge: Harvard University Press.
252
Brown, S. & Vaughan, C. (2009). Play: How it shapes the brain, opens imagination, and invigorates the soul. New York: Avery. Buckley, K. E., & Anderson, C. A. (2006). A theoretical model of the effects and consequences of playing video games. Chapter in P. Vorderer & J. Bryant (Eds.), Playing Video Games – Motives, Responses, and Consequences (pp. 363 -378). Mahwah, NJ: LEA. Chappell, D., Eatough, V., Davies, M. N. O., & Griffiths, M. (2006). EverQuest-It’ game right? An interpretative phenomenological analysis of online gaming addiction. International Journal of Mental Health and Addiction, 4, 205-216. Colwell, J. & Payne, J. (2000). Negative correlates of computer game play in adolescents. British Journal of Psychology, 91, 295-310. Coplan, R.J., Gavinski-Molina, M-H., Lagace-Seguin, D. G., & Wichmann, C. (2001). When girls versus boys play alone: Nonsocial play and adjustment in kindergarten. Developmental Psychology, 37(4), 464-474. Dharmamulya, S. (2008). Permainan tradisional jawa. Yogyakarta: Kepel Press. Dilworth, J. E., Mokrue, K., & Elias, M. J. (2002). The efficacy of a video-based teamwork-building series with urban elementary school students. Journal of School Psycholoy, 40 (4), 329-546. Donovan, O.M. (2009). Building personal and social competence through cancerrelated issues. Journal of School Health, 79(3), 138-143. Fabes, R. A., Gaertner, B. M., & Popp, T. K. (2008). Getting along with others: Social competence in early childhood. In K. McCartney & Phillips, D. (Eds). Blackwell Handbook of Early Childhood Development. (pp. 297-316). Malden USA: Blackweel Publishing. Fabes, R. A., Hanish, L. D., & Martin, C. L. (2004). The next 50 years: Considering gender as a context for understanding young children’s peer relationships. Merill-Palmer Quarterly, 50, 260-273. Ferrer, M. & Fugate, A. (2014). The importance of friendships for school age children. Findlay, L. C. & Coplan, R. J. (2008). Come out and play: Shyness in childhood and the benefit of organized sports participation. Canadian Journal of Behavioral Science, 40(3), 153-161. doi: 10.1037.0008-400X.40.3.153. Fox, L., Carta, J., Strain, P., Dunlap, G., & Hemmeter, M. L. (2009). Response to intervention and the Pyramid Model. Tampa, FL: University of South Florida, Technical Assistence Center on Social Emotional Intervention for Young Children, http://www.challenegingbehavior.org Frey, K.S., Hirschstein, M.K., Guzzo, B.A. (2002). Second Step: Preventing aggression by promoting social competence. Journal of Emotional and Behavior Disorder.,8 (2), 102-112. doi: 10.1177/106342660000800206 Gentile, D. G., Lynch, P. J., Linder, J. R., & Walsh, D. A. (2004). The effects of violent video game habits on adolescent hostility, aggressive behavior, and school performance. Journal of Adolescence, 27, 5-22.
253
Goldstein, J. (2012). Play in children’s development, health and well-being. Brussels, Toys Industries of Europe. Goodwin, M. H. (2006). The Hidden Life of Girls: Games of Stance, Status, and Exclusion. Oxford: Blackwell. Hastings, P. D., Rubin, K. H., & DeRose, L. (2005). Link among gender, inhibition, and parental socialization of young sons’ and daugthers’ prosocial behavior s with peer. Merril-Palmer Quarterly, 51, 501-527. Hennessey, B. A. (2007). Promoting social competence in school-age children: The effects of the open circle program. Journal of School Psychology, 45, 349-360. doi:a 10.1016/j.jsp.2006. 11.007. Houck, G. M. & Stember, L. (2002). Small group experience for socially withdrawn girls. The journal of school nursing, 18(4), 206-2011. doi: 10.1177/10598405020180041101 Hughes, F.P. (2004). Children, play, and development. Boston: Allyn and Bacon. Hughes, C. & Leekam S. (2004), What are the links between theory of mind and social relations? Review, reflections and new directions for studies of typical and atypical development. Social Development, 13, pp. 590-619. Ismail, A. (2005). Education Games: Menjadi cerdas dan ceria dengan permainan edukatif. Yogyakarta: Pilar Media. Iswinarti. (2005). Permainan Tradisional Indonesia: Dalam tinjauan perkembangan kognitif, sosial, dan kepribadian. Presentasi paper dalam Simposium Nasional Memahami Psikologi Indonesia, Malang. Iswinarti. (2014). Bermain dan kompetensi sosial: Studi metaanalisis. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, 3(2), 43-54 (dalam proses cetak). Iswinarti. (2011, Oktober). Play therapy for children with developmental disability. Paper presentation at PICP (Padjajaran International Conference on Psychology). Bandung, Indonesia, 24-25 Oktober 2011. Iswinarti, Fasichah, S. S., & Sulismadi. (2007). Permainan anak tradisional sebagai model peningkatan kompetensi sosial anak usia sekolah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I. Malang: Lembaga Penelitian UMM. Iswinarti, Fasicahah, S. S., & Sulismadi. (2008). Permainan anak tradisional sebagai model peningkatan kompetensi sosial anak usia sekolah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun II. Malang: Lembaga Penelitian UMM. Keane, S. P. & Calkins, S. D. (2004). Predicting kindergarten peer social status from toddler & preschool problem behavior. Journal of Abnormal Child Psychology, 32, 409-423. Kelly, R, Hammond, S, Dissanayake, C & Ihsen, E. (2011). The relationship between symbolic play and executive function in young children. Australasian Journal Of Early Childhood, 36(2), 21-27. Klitzing, K. V., Stadelmann, S., & Perren, S. (2007). Story stem narratives of clinical and normal kindergarten children: Are content and performance associated with children’s social competence? Attachment & Human development, 9(3), 271-286. doi: 10.1080/14616730 701455445.
254
Kohonen, V. (2005). Learning to learn through reflection – an experiential learning perspective. http://archive.ecml.at/mtp2 /Elp_tt/Results/ DM_layout /00_10/05/Supplementary%20text%20E.pdf Kolb, D. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Kostelnik, M. J., Gregory, K. M., Soderman, A. K., & Whiren, A. P. (2012). Guiding children’s social development and learning. 7th edition. Belmont: Wadworth, Cengage Learning. McAloney, K., & Stagnitti, K. (2009). Pretend play and social play: The concurrent validity of the child-initiated pretend play. International Journal of Play Therapy, 18(2), 99-113. McLellan, D. E. & Katz, L. G. (2001). Assessing young children competence. URL: http://ericeece.org Meadan, H., & Monda-Amaya, L. (2008). Collaboration to promote social competence for students with mild disabilities in the general classroom: A structure for providing social support. Intervention in School and Clinic, 43(3), 158-167. OECD. (2007). Understanding the brain; The birth of learning science. Center of Research Education and Innovation. ISBN 978-92-64-02912-5 Pang, Y. (2010). Lego games help young children with autism develop social skills. International Journal of Education, 2(2), 1-9.
Patel, S. & Bashvar, C. D. (2013). Analysis of pharmacokinetic data by wilk’s lambda (An important tool of manova). Pellegrini, A. D. (1988). Rough and tumble play and social competence.. Developmental Psychology, 24, 802-806. Pellegrini, A. D. (1993). Boys rough and tumble play, social competence and group composition. British Journal of Developmental Psychology, 11, 237248. Pellegrini, A. D. (1990). Elementary school children’s playground behavior: Implications for children’s social-cognition development. Children’s Environment Quarterly. 7(2), 8-16. Pellegrini, A. D. & Smith, P. K. (2005). Play in great apes and human. Dalam A. D. Pellegrini & P. K. Smith (Eds). The nature of play: Great apes and humans (hal. 3-24). New York: The Guilford Press. Pellis, S. M., Pellis, V. C., & Heather, C. B. (2010). the Function of Play in the Development of the social Brain. American Journal of Play, Winter 2010. 278-294. Petty, A. L., Thereza, M., & de Souza, C. (2012). Executive Functions Development and Playing Games. US-China Education Review B 9, 795801. ISSN 1548-6613 Rhoades, B. L., Warren, H. K., Dominitrovich, C. E., & Greenberg, M. T. (2010). Examining the link between preschool social-emotional competence and
255
first grade academic achievement: The role of attention skills. Early Childhood Research Quarterly, 493, 1-10. doi: 10.1016/j.ecresq.2010.07.003. Richardson, R. C., Tolson, H., Huang, T-Y., & Lee. (2009). Character Education: Lessons for teaching social and emotional competence. Children & School, 31(2), 71-78. Sattelmair, J. & Ratey, J. J. (2009). Physically active play and cognition. American Journal of Play, Winter 2009, 365-374. Sedyawati, E. (1999). Permainan Anak-anak sebagai Aspek Budaya. Editor: Krisdyatmiko. Dolanan anak: Refleksi budaya dan wahana tumbuhkembang anak. Yogyakarta: Plan International Indonesia-Yogyakarta dan LPM Sosiatri Fisipol UGM. Semrud-Clikeman, M. (2007). Social competence in children. New York: Springer Science + Business Media, LLC. Shadish, W. R., Cook, T. D., & Campbell, D. T. (2002). Experimental and quasiexperimental design for generalized causal inference. Boston: Houghton Mifflin Company. Sibermen, M. (2007a) Introducing the handbook of experiential learning. Dalam M. Silberman (Editor). The Handbook of experiential learning (hal. 1-9). San Franscisco: John Wiley & Sons, Inc. Spinrad, T. L., Eisenberg, N., Harris, E., Hanish, L., Fabes, R. A., Kupanoff, K., Ringwald, S., & Holmes, J. (2004). The relation of children’s everyday nonsocial peer play behavior to their emotionality, regulation, and social functioning. Developmental Psychology, 40(1), 67-80. Spitzberg, B. H. (2003). Methods of interpersonal skill assessment. In J.O. Greene and B. R. Burleson (Eds). Handbook of Communication and Social Interaction Skills (pp. 93-134). Mahwah NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Symons, D. (2004), Mental state discourse, theory of mind, and the internalization of slef-other understanding. Developmental Review, 24, pp. 159-88. Taufik, (2011). Managing diversity as synergy: Increasing ethnocultural empathy by the traditional games of javaniese and Chinese in Indonesia. (Unpublished doctoral dissertation). Tilburg University, Dutch. Teglasi, H., & Rothman, L. (2001). STORIES: A classroom-based program to reduce aggressive behavior. Journal of School Psychology, 39(1), 71-94. Thorell, L. B., Lindqvist, S., Nutley, S. B., Bohin, G., & Klingberg, T. (2009). Training and transfer effects of executive functions in preschool children. Developmental Science, 12(1),106–113 doi: 10.1111/j.14677687.2008.00745.x
256
Turner, J.R. & Thayer, J.F., 2001. Introduction to Analysis of Variance: Design, Analysisi, & Interpretation. London: Sage Publications. Uren, N. & Stagnitti, K. (2009). Pretend play, social competence and involvement in children aged 5-7 years: The concurrent validity of the child-initiated pretend play assessment. Australian Occupational Therapy Journal, 56, 33-40. Webster-Stratton, C., Reid, M. J., & Hammond, M. (2001). Preventing conduct problem, promoting social competence: A parent and teacher training partnership in head start. Journal of Cinical Child Psychology, 30(3), 283302. Weinberg, A. E., Basile, C. G., & Albright, L. (2011). The Effect of an Experiential Learning Program on Middle School Students' Motivation toward Mathematics and Science. RMLE Online: Research in Middle Level Education, 35(3), 1-12 . Welsh, J. A. & Bierman, K. L. (2006). Social competence. Encyclopedia of Childhood and Adolescence, April 06, 1-4. Welsh, M., Park, R. D., Widaman, K., & O’Neil, R. (2001). Linkages between children’s social and academic competence: A longitudinal analysis. Journal of School Psychology, 39(6), 463-481. White, R. E. (2012). The power of play: Research summary of play and learning. Minnesota Children Museum. http://www.mcm.org/uploads/MCMResearchSummary.pdf Widhiarso, W. (2012). Pengujian kesetaraan presisi dan skala ukur butir-butir pada skala psikologi. Kawistara, 2(1), 87-96. Yudhohusodo, S. (2010). Dimensi filosofis-historis berdirinya negara-bangsa Indonesia dan perkembangan actual bagi masa depan Negara kebangsaan Indonesia. Dalam Surono (Editor). Nasionalisme dan pembangunan karakter bangsa. Yogyakarta: PSP-Press. Zigmont, J. J., Liana, J., Kappus, L. J., & Sudikoff, S. N. (2011). Theoretical foundations of learning through simulation. Semin Perinatol, 35, 47-51.