BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1
Konsep Kebijakan Publik Kebijakan memiliki banyak pengertian, Suharto (2005:7) mengemukakan
bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengerahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana, dan konsistensi dalam mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Wahab (2008:32) mengemukakan beberapa bentuk kebijakan publik yang secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga: a. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum/mendasar. Sesuai dengan UU No.10/2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 7, hirarkinya yaitu; (1) UUD Negara RI Thn 1945; (2) UUD/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; (3) Pereaturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah. b. Kebijakan publik yang bersifat meso (menengah) atau penjelas pelaksana, dimana kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat
Edaran
Menteri,
Peraturan
Gubernur,
Peraturan
Bupati.
Kebijakannya dapat pula berbentuk surat keputusan bersama antar Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota. c. Kebijakan publik yang bersifat mikro, adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan
atau
implementai
dari
kebijakan
diatasnya.
Bentuk
kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota.
Abidin (2002:193) menyatakan bahwa secara umum, suatu kebijakan dianggap berkualitas dan mampu dilaksanakan bila mengandung beberapa elemen, yaitu: a. Tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan itu, dimana tujuan suatu kebijakan dianggap baik apabila tujuannya: 1) Rasional, yaitu tujuan dapat dipahami atau diterima oleh akal yang sehat. Hal ini terutama dilihat dari faktor-faktor pendukung yang tersedia, dimana suatu kebijakan yang tidak mempertimbangkan faktor pendukung tidak dapat dianggap kebijakan yang rasional. 2) Diinginkan (desirable), yaitu tujuan dari kebijakan menyangkut kepentingan orang banyak, sehingga mendapat dukungan dari banyak pihak. b. Asumsi yang dipakai dalam proses perumusan kebijakan itu realistis, asumsi tidak mengada-ada. Asumsi juga menentukan tingkat validitas suatu kebijakan. c. Informasi yang digunakan cukup lengkap dan benar, dimana suatu kebijakan menjadi tidak tepat jika didasarkan pada informasi yang tidak benar atau sudah kadarluarsa. II.2
Implementasi Kebijakan Pembicaraan tentang konsep implementasi senantiasa dikaitkan dengan
istilah kebijakan. Artinya setiap kali orang berbicara tentang implementasi, maka yang dimaksudkan adalah implementasi kebijakan. Masalah implementasi kebijakan publik sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat karena implementasi
inilah
yang
menentukan
“siapa
memperoleh
apa” dalam
masyarakat. Proses serta perumusan kebijakan tidak berakhir, apabila suuatu kebijakan telah ditetapkan, karena baik tidaknya atau tepat tidaknya suatu kebijakan yang telah ditetapkan akan terbukti dari hasil-hasil yang diperoeh dalam pelaksanaannya. Wahab (2008:43) mengemukakan beberapa definisi dari beberapa sumber mengenai implementasi kebijakan: 1) Kamus Webster, menyatakan bahwa implementasi kebijakan dapat dipandang
sebagai
suatu
proses
melaksanakan
keputusan
kebijaksanaan, yang biasanya dalam bentuk UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Kempmen, dll. 2) Van Moter dan Van Horn, merumuskan proses implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh invidu-individu (pejabat) atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. 3) Mazmanian dan Sabatier, menjelaskan makna implementasi yaitu behwa memahami apa yang senyatanya terjadi, sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan
merupakan fokus perhatian
implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan
akibat/dampak
nyata
pada
masyarakat atau suatu
peristiwa. Implemetasi adalah seperangkat kegiatan ynag dilakukan menyusul suatu keputusan, dimana suatu keputusan selalu dimaksudkan untuk mencapai
sasaran tertentu, guna merealisasikan gagasan itu, maka diperlukan serangkaian aktivitas. Dunn (2000:23) mengemukakan bahwa dalam pembuatan kebijakan, agar daptat mencapai sasaran yang diharapkan, maka dibutuhkan suatu formulasi kebijakan berupa penyusunan serta tahapan yang jelas dan transparan. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu tahap atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terus terjadi sepanjang waktu, dimana setiap tahap berhubungan dengan berikutnya dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda). Abdullah (1987:11) menyatakan bahwa dalam proses implementasi, sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak, yaitu; a. Adanya program atau kebijakan yang akan dilaksanakan b. Target groups, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan dapat menerima manfaat dari program tersebut c. Unsur pelaksana (implementor), baik organisasi ataupun perorangan yang
bertanggung
jawab
dalam
pengelolaan,
pelaksanaan,
dan
pengawasan dari proses implementasi tersebut. II.3
Teori-teori Implementasi Kebijakan Nawawi (2007:138) megemukakan beberapa teori dari beberapa ahli
mengenai implementasi kebijakan, yaitu: a. Teori George C. Edward III Dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:
1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implmentor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target groups), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. 2) Sumber daya, dimana meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial. 3) Disposisi
adalah
watak
dan
karakteristik
yang
dimiliki
oeh
implementor, seperti komitmen, kejujuran, dll. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Edward III menyatakan bahwa sikap dari pelaksana kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap atau cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan. Oleh karena itu, untuk mengantispasinya, dapat mempertimbangkan/ memperhatikan aspek penempatan pegawai (pelaksana) dan insentif. 4) Struktur birokrasi, merupakan susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah
dan penyampaian laporan. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pegawasan dan menimbulkan red-tape yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan fregmentasi. b. Teori Merilee S. Grindle Teori ini berpendapat bahwa kebeerhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi kebijakan mencakup; (1) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) Jenis manfaat yang diterima oleh target groups; (3) Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) Apakah letak suatu program sudah tepat; (5) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) Apakah sebuah program kebijakan didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan Variabel lingkungan kebijakan, yaitu mencakup; (1) Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) Karakteristik institusi dari rezim atau pemerintahan yang sedang berkuasa dimana program tersebut dilaksanakan; dan (3) Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. c. Teori G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli Teori ini berpendapat bahwa terdapat empat kelompok variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yakni kondisi
lingkungan; hubungan antar organisasi; sumber daya organisasi untuk implementasi program; karakteristik dan kemampuan agen pelakasana. d. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining Weimer dan Vining mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok variabel besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program, yaitu: 1) Logika kebijakan, dimana hal ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat dukungan teoritis. 2) Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan akan mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan, dimana yang dimaksud lingkungan dalam hal ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan fisik atau geografis. Suatu kebijakan yang berhasil pada suatu daerah, bisa saja gagal diimplementasikan pada daerah lain yang berbeda. 3) Kemampuan impelementor
implementor
kebijakan.
mempengaruhi
keberhasilan
Tingkat
kompetensi
implementasi
suatu
kebijakan. II.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan oleh para ahli
tersebut di atas, guna pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih pendekatan yang dikemukakan oleh Edward III, yang dianggap relevan dengan materi pembahasan dari obyek yang diteliti. Hal ini bukan berarti bahwa peneliti menjustifikasi teori-teori lain tidak lagi relevan dengan perkembangan teori implementasi kebijakan publik, melainkan lebih mengarahkan kepada peneliti
agar lebih fokus terhadap variable-variabel yang dikaji melalui penelitian ini, sehingga membantu dalam menjawab tujuan dari penelitian ini. Edward III (dalam Nawawi, 2007) menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu: a. Komunikasi (communication) Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Komunikasi menyangkut proses penyampaian informasi atau transmisi, kejelasan informasi tersbut serta konsistensi informasi yang disampaikan. Komunikasi sangat penting, karena suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana, dimana komunikasi
diperlukan agar para pembuat keputusan dan para
implementer akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan di masayarakat. Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek komunikasi ini, yaitu: 1) Transmisi, yaitu penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu hasil implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam proses transmisi ini yaitu adanya salah pengertian, hal ini terjadi karena komunikasi implementasi tersebut telah melalui beberap tingkatan birokrasi, sehingga hal yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan. 2) Kejelasan informasi, kebijakan
harus
jelas
yaitu petunjuk pelaksanaan dari sebuah agar
sebagaimana yang diinginkan.
pengimplementasiannya
berjalan
3) Konsistensi informasi yang disampaikan, yaitu perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas, perintah tersebut tidak bertentangan sehingga dapat memudahkan para pelaksana kebijakan untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Apabila perintah yang diberikan
seringkali
berubah-ubah,
maka
dapat
menimbulkan
kebingungan bagi pelaksana di lapangan. b. Sumber daya (resources) Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak akan efektif. Sumber daya yang penting meliputi: 1. Staf (staff) Staf yang memadai, dalam pengimplementasian kebijakan, staf merupakan salah satu faktor yang penting. Jumlah staf dan mutuatau keahlian-keahlian yang dimiliki staf harus memadai. 2. Informasi (information) Informasi dalam hal ini memilik dua bentuk yaitu informasi mengenai bagaimana melaksanakan kebijakan dan data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan pemerintah. 3. Wewenang (authority) Wewenang ini akan berbeda-beda dari suatu program ke program yang lain serta mempunyai bayak bentuk yang berbeda, seperti misalnya menarik dana dari suatu program, membeli barang-barang dan jasa, dan lain sebaginya.
4. Fasilitas (facilities) Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan mungkin mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan,
tanpa perbekalan,
maka
besar
kemungkinan
implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil. c. Disposisi (attitudes) Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan, hal tersebut berarti
bahwa
adanya
dukungan,
kemungkinan
besar
mereka
melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku atau perspekif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka dapat menyebabkan proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Edwards III (dalam Nawawi, 2007) mengemukakan dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengatasi dampak dari kekuatan-kekuatan seringnya birokrat mengesampingkan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan oleh pejabat tinggi, yaitu: 1. Penempatan Pegawai (staffing the bureaucracy), dimana sikap dari para aparart birokrasi kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap ataupun cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan. 2. Insentif (Incentives), Mengubah personil dalam birokrasi pemeritah merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancar. Salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah
kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentifinsentif. d. Struktur birokrasi Struktur organisasi adalah susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan. Selain itu, struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan. Adapun aspek-aspek dari struktur birokrasi, yaitu: 1) Adanya suatu SOP (Standard Operating Procedure) yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksana program. SOP juga memberikan keseragaman dalam tindakan para pegawai dalam organisasi yang komplek dan luas, dalam pelaksanaannya dapat menghasilkan fleksibilitas
yang sangat baik,
serta
adanya
keadilan
dalam
pelaksanaan aturan. 2) Fragmentasi (fragmentation) adalah adanya penyebaran tanggung jawab pada suatu area kebijakan di antara beberapa unit organisasi. Hal ini mengakibatkan koordinasi kebijakan menjadi sulit, dimana sumber daya dan kebutuhan atas kewenangan untuk menyelesaikan masalah yang timbul kadangkala tersebar di antara beberapa unit birokrasi. Oleh sebab itu perlu adanya kekuatan pemusatan koordinasi antara unit-unit yang terkait dan hal tersebut bukan hal yang mudah.
II.5 Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat a. Pembangunan masyarakat Pembangunan menyangkut pengertian bahwa manusia adalah obyek pembangunan dan subjek pembangunan. Oleh karena itu, manusia memiliki peranan yang sangat besar terhadap pembangunan. Dalam hal ini, diperlukan partisipasi dari masyarakat untuk dapat mensukseskan pembangunan, sebab keberhasilan pembangunan ditentukan oleh partisipasi unsure masyarakat yang dapat bercorak pasif (memang tidak menolak pembangunan) atau bercorak aktif (sangat menerima program tersebut), bahkan aktif mngajak orang lain untuk memperluas jangkauan (pemerataan) dan meningkatkan hasil pembangunan. (Pasaribu & Simandjuntak, 1982:62). Ndraha
(1990:72)
menyatakan
bahwa
pembangunan
masyarakat
mempunyai dua pengertian, yaitu secara luas dan secara sempit, dimana dalam arti luas dapat diartikan sebagai perubahan social yang berencana dengan sasaran perbaikan dan peningkatan pada bidang social, ekonomi, poitik serta teknologi. Sedang dalam arti sempit adalah perubahan social di suatu wilayah tertentu baik di kampung, desa, kota kecil mapun kota besar. Pembangunan masyarakat dalam arti sempit ini dikaitkan dengan berbagai proyek atau program yang langsung berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan dan pengurusan kepentingan lokalitas atau masyarakat setempat dan sepanjang mampu dikelola oleh itu sendiri. United Nation atau PBB (Ndraha, 1990:72) mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat atau pembangunan kominitas adalah suatu proses dengan usaha masyarakat yang bersatu dengan pemerintah untuk memperbaiki kondisi eknomi, sosial dan kebudayaan berbagai komunitas, mengintegrasikan
berbagai masyarakat untuk dapat meberikan sumbangan sepenuhnya demi kemajuan bangsa dan negara, serta dapat berjalan secara terpadu di dalam proses tersebut. b. Pemberdayaan Masyarakat Pada dasarnya, pemberdayaan merupakan suatu upaya untuk mengatasi tantangan
pembangunan
yang
mengakibatkan
makin
lebarnya
jurang
kesenjangan dan ketidakseimbangan dalam kemampuan serta kesempatan untuk mendapatkan peluang dan sumber daya yang ada. Dalam upaya mengatasi tantangan itu, diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat. Agar upaya proses pemberdayaan masyarakat dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan strategi untuk memberdayakan masyarakat yang menurut Kartasasmita (1996), dapat ditempuh melalui tiga cara yaitu: 1. Menciptakan suasana atau iklim yang memugkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Kondisi ini didasarkan asumsi bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Hakikat dari kemandirian dan keberdayaan rakyat adalah keyakinan bahwa rakyat memiliki potensi untuk mengorganisasi dirinya sendiri dan potensi kemndirian tiap individu perlu diberdayakan. Proses pemberdayaan rakyat berakar kuat pada proses kemandirian tiap indivdu, yang kemudian meluas ke keluarga, serta kelompok masyarakat baik di tingkat lokal maupun nasional. 2. Memperkuat potensi yang dimiliki oeh rakyat dengan mnerapkan langkahlangkah yang nyata menampung berbagai masukan, menyediakan sarana dan prasarana baik fisik atau social yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan bawah. Terbukanya pada berbagai peluang akan
membuat rakyat makin berdaya, seperti tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan dan pemasaran di pedesaan. Dalam upaya memberdayakan rakyat ini yang penting antara lain adalah peningkatan mutu dan perbaikan sarana pendidikan dan kesehatan serta pada sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. 3. Memberdayakan rakyat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada
yang
lemah
amat
mendasar
sifatnya
dalam
konsep
pemberdayaan rakyat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi terhadap yang lemah. Memberdayakan masyarakat dalam upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan mendirikian masyarakat. Setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada masyarakat yang tanpa daya, karena jika hal tersebut terjadi, maka populasi manusia akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong/memotivasi dan membangkitkan kesadaran dan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk membangkitkannya (Kartasasmita, 1996:146).
Pemberdayaan masyakat dalam skripsi ini diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat setempat, dimana landasan bagi pengambilan suatu keputusan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam dan lainnya secara berkelanjutan yang bersumber dari masyarakat setempat, dimana masyarakat diberikan kesempatan dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya sendiri, menentukan kebutuhannya, menentukan sasaran dan aspirasinya serta membuat keputusan yang menyangkut kesejahteran mereka. Selain itu, penduduk setempat memiliki akses dan mengendalikan sumber daya, termasuk pengetahuan, keahlian, serta jenis teknologi yang dibutuhkan dalam memanfaatkan sumber daya secara produktif dan berkelanjutan. Langkah-langkah
operasional
pemberdayaan
masyarakat
dapat
didentifikasi atas enam tahap berikut: 1. Pemahaman diri, yaitu komunitas local dan lingkungannya. Dengan dibantu oleh fasilitator pembelajaran, komunitas local belajar melakukan “studi kasus” tentang dirinya dalam hubungan dengan sumber daya lingkungan local yang dikuasainya. 2. Penilaian diri, yaitu warga komunitas local diajak bersama-sama untuk melakukan penilaian aik secara intuitif (perasaan) maupun secara rasional, komponen-komponen apa dari komunitas maupun sumber daya dari lingkungan yang perlu dan dapat diubah dengan menggunakan potensi internal ataupun potensi dari luar. 3. Merancang dan mrerencanakan tindakan-tindakan bersama terhadap komponen-komponen yang pada fase (2) telah diidentifikasi sebagai target
perubahan-perubahan
dengan
sasarannya.
Hal
ini
akan
memerlukan diskusi-diskusi kelompok secara terarah dengan bantuan fasilititator yang bersangkutan. 4. Menetapkan manejer-manejer pelaksana di antara sesame warga komunitas dalam rangka implementasi rancangan dan rencana tadi, termasuk pula pemantauan tahap demi tahap dari proses pelaksanaan tersebut. 5. Evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian keberhasilan pelaksanaan rencana. Penyimpangan-penyimpangan dari rencana perlu dinilai aspek positif maupun negatifnya. 6. Refleksi kolektif. Pada tahap ini, pemimpin-pemimpin komunitas local bersama dengan fasilitator dari luar brerdialog untuk menemukan pelajaran-pelajaran berharga baik dari aspek keberhasilan-keberhasilan maupun kegagalan-kegagalannya dan menjadikannya sebagai masukan baru bagi siklus belajar berikutnya. Lalu siklus enam langkah tadi bergulir kembali, dan demikianlah siklus pembelajaran social berlangsung secara berkelanjutan. II.6 Dasar Hukum PNPM MP Dasar hukum pelaksanaan PNPM MP mengacu pada landasan konstitusional UUD 1945 beserta amandemennya, landasan idil Pancasila, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Landasan khusus pelaksanaan PNPM Mandiri diatur berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat
Selaku
Ketua
Tim
Kemiskinan No: 25/Kep/Menko/Kesra/VII/2007
Koordinasi
Penanggulangan
Tentang Pedoman Umum
Program Nasional Pembedaryaan Masyarakat Mandiri.
Secara lebih rinci peraturan perundang-undangan khususnya yang terkait sistem kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah : 1.
Perpres No. 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK), yang diketuai oleh Menkokesra dan bertugas untuk merumuskan
langkah-langkah
kongkrit
dalam
penanggulangan
kemiskinan. 2. Surat Keputusan Menkokesra No. 28/Kep/Menko/Kesra/XI/2006 yang diperbaharui dengan Kepmenkokesra No. 23/KEP/Menko/Kesra/VII/2007 tentang Tim Pengendali PNPM Mandiri. 3. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Selaku Ketua
Tim
Koordinasi
25/Kep/Menko/Kesra/VII/2007
Penanggulangan
Kemiskinan
No:
Tentang Pedoman Umum Program
Nasional Pembedaryaan Masyarakat Mandiri. II.7 Pogram Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) Untuk
meningkatkan
efektivitas
penaggulangan
kemiskinan
dan
penciptaan lapangan kerja, maka pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) mulai tahun 2007. PNPM Mandiri adalah Program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat yang mendukung PNPM Mandiri yang wilayah kerja dan target sasarannya
adalah
masyarakat
perdesaan.
PNPM
Mandiri
Perdesaan
mengadopsi sepenuhnya mekanisme dan prosedur Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah dilaksanakan sejak 1998-2007. Dalam pelaksanaannya, program ini memprioritaskan kegiatan bidang infrastruktur desa, pengelolaan dana bergulir bagi kelompok perempuan, kegiatan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di wilayah perdesaan. Program ini terdiri dari tiga komponen utama, yaitu : a) Dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) untuk kegiatan pembangunan, b) Dana Operasional Kegiatan (DOK) untuk kegiatan perencanaan pembangunan partisipatif dan kegiatan pelatihan masyarakat (capacity building),
dan c) pendampingan
masyarakat yang dilakukan oleh para fasilitator pemberdayaan, fasilitator teknik dan fasilitator keuangan. Berdasarkan Petunjuk Teknis Operasional PNPM MP Tahun 2008 yang menyataan bahwa
visi
PNPM
Mandiri
Perdesaan
adalah,
“Terapainya
kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan”. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masayarakat,
sedangkan kemandirian
berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi kemiskinan. Adapun yang menjadi misi dari PNPM Mandiri Perdesaan adalah: 1. Peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya 2. Pelembagaan sistem pembangunan partisipatif 3. Pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan local 4. Peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat 5. Pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan.
II.8 Prinsip Dasar PNPM Mandiri Perdesaan Sesuai dengan Pedoman Umum, PNPM Mandiri Perdesaan mempunyai prinsip atau nilai-nilai dasar yang selalu menjadi landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan diambil dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan. Nilai-nilai dasar tersebut diyakini mampu mendorong terwujudnya tujuan PNPM Mandiri Perdesaan. Prinsip-prinsip itu meliputi: a. Bertumpu pada pembangunan manusia, yaitu masyarakat hendaknya memilih
kegiatan
yang
berdampak
langsung
terhadap
upaya
pembangunan manusia dari pada pembangunan fisik semata. b. Otonomi, yaitu masyarakat memiliki hak dan kewenangan mengatur diri secara mandiri dan bertanggung jawab, tanpa intervensi negatif dari luar. c. Desentralisasi, yaitu memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mengelola kegiatan pembangunan sektoral dan kewilayahan yang bersumber dari pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kapasitas masyarakat. d. Berorientasi pada masyarakat miskin, yaitu segala keputusan yang diambil berpihak kepada masyarakat miskin. e. Partisipasi, yaitu masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pelestarian
kegiatan
dengan
memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill. f.
Kesetaraan dan keadilan gender, yaitu masyarakat baik laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan dalam perannya di setiap tahapan program
dan
dalam
menikmati
manfaat
kegiatan
pembangunan,kesetaraan juga dalam pengertian kesejajaran kedudukan pada saat situasi konflik. g. Demokratis, yaitu masyarakat mengambil keputusan pembangunan secara musyarawah dan mufakat. h. Transparansi dan Akuntabel, yaitu masyarakat memiliki akses terhadap segala
informasi
dan
proses
pengambilan
keputusan
sehingga
pengelolaan kegiatan dapat dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral, teknis, legal, maupun administrative. i.
Prioritas, yaitu masyarakat memilih kegiatan yang diutamakan dengan mempertimbangkan kemendesakan dan kemanfaatan untuk pengentasan kemiskinan.
j.
Keberlanjutan, yaitu bahwa dalam setiap pengambilan keputusan atau tindakan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemeliharaan kegiatan harus telah mempertimbangkan sistem pelestariannya.
II.9 PNPM MP Simpan Pinjam bagi kelompok Perempuan (PNPM MP SPP) Berdasarkan bahan bacaan Fasilitator Akses BLM-SPP tahun 2008 dijelaskan bahwa kegiatan simpan pinjam bagi kelompok perempuan (SPP) merupakan upaya pemerintah untuk membantu memberdayakan masyarakat khususnya
bagi
perempuan,
yang
bertujuan
untuk
mempercepat
penanggulangan kemiskinan secara nasional melalui pemberian dana bergulir untuk pengembangan kegiatan usaha produktif guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, dimana apabila program ini berhasil, maka akan berdampak pada
komunitas penduduk, serta kaum perempuan dapat lebih mandiri dan mampu menjadi penyokong kesejahteraan keluarga. a. Tujuan dan Ketentuan 1. Tujuan umum Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan potensi kegiatan simpan pinjam pedesaan, mendorong pengurangan rumah tangga miskin dan sebagai penciptaan lapangan kerja. 2. Tujuan khusus a) Mempercepat proses pemenuhan kebutuhan pendanaan usaha ataupun social dasar b) Memberikan kesempatan kaum perempuan untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga melalui pendanaan modal usaha c) Mendorong penguatan kelembagaan simpan pinjam oleh kaum perempuan b. Ketentuan Dasar 1. Kemudahan, artinya masyarakat miskin dengan mudah dan cepat mendapatkan pelayanan pendanaan kebutuhan tanpa syarat agunan 2. Terlembagakan, artinya dana kegiatan SPP disalurkan melalui kelompok yang sudah mempunyai tata cara dan prosedur yang baku dalam pengelolaan simpanan dan pengelolaan pinjaman 3. Keberdayaan, artinya proses pengelolaan didasari oleh keputusan yang professional oleh kaum perempuan dengan mempertimbangkan pelestarian dan pengembangan dana bergulir guna meningkatkan kesejahteraan
4. Pengembangan,
artinya
setiap
keputusan
pendanaan
harus
berorientasi pada peningkatan pendapatan, sehingga meningkatkan pertumbuhan aktivitas ekonomi masyarakat perdesaan 5. Akuntabilitas, artinya dalam melakkukan pengelolaan dana bergulir harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat c. Ketentuan pendanaan BLM Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) adalah dana yang disediakan untuk mendanai kegiatan simpan pinjam kelompok perempuan per kecamatan maksimal 25% dari alokasi BLM. 1. Sasaran dan bentuk kegiatan a. Sasaran program adalah rumah tangga miskin yang produktif yang memerlukan pendanaan kegiatan usaha ataupun kebutuhan social dasar melalui kelompok simpan pinjam yang sudah ada di masyarakat b. Bentuk kegiatan SPP adalah memberikan dana pinjaman sebagai tambahan modal kerja bagi kelompok kaum perempuan yang mempunyai pengelolaan dana simpanan dan pengelolaan dana pinjaman 2. Ketentuan kelompok SPP yaitu: a. Kelompok yang dikelola dan anggotanya perempuan yang satu sama lain saling mengenal, memiliki kegiatan tertentu dan pertemuan rutin yang sudah berjalan sekurang-kurangnya satu tahun b. Mempunyai kegiatan simpan pinjam dengan aturan pengelolaan dana simpanan dan dana pinjaman yang telah disepakati
c. Telah mempunyai modal dan simpanan dari anggota sebagai sumber dana pinjaman yang diberikan kepada anggota d. Kegiatan pinjaman pada kelompok masih berlangsung dengan baik e. Mempunyai
organisasi
kelompok
dan
administrasi
secara
sederhana 3. Mekanisme pengelolaan Mekanisme tetap mengacu pada alur kegiatan program PNPM MP, akan tetapi perlu memberikan beberapa penjelasan dalam tahapan, yaitu sebagai berikut: a. Musyawarah Antar Desa (MAD) Sosialisasi, yaitu pertemuan antar desa untuk sosialisasi awal tentang tujuan, prinsip, kebijakan, prosedur maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan PNPM Mandiri Perdesaan serta untuk menentukan kesepakatan-kesepakatan antar desa dalam melaksanakan PNPM Mandiri Perdesaan b. Musyawarah Desa (Musdes) Sosialisasi, yaitu pertemuan masyarakat desa sebagai ajang sosialisasi atau penyebarluasan informasi PNPM Mandiri Perdesaan di desa. c. Musyawarah Dusun Proses identifikasi kelompok melalui musyawarah di dusun/kampung dengan proses sebagai berikut: 1) Identifikasi kelompok sesuai dengan ketentuan tersebut di atas termasuk kondisi anggota.
2) Rumah tangga miskin yang belum menjadi anggota kelompok agar dilakukan tawaran dan fasilitas untuk menjadi anggota kelompok, sehingga dapat menjadi pemanfaat 3) Hasil musyawarah dusun dituangkan dalam berita acara d. Musyawarah Desa Khusus Perempuan (MKP) MKP dihadiri oleh kaum perempuan dan dilakukan dalam rangka membahas gagasan-gagasan dari kelompok-kelompok perempuan dan menetapkan usulan kegiatan yang merupakan kebutuhan desa. e. Verivikasi usulan, yaitu tahap kegiatan yang bertujuan untuk memeriksa dan menilai kelayakan usulan kegiatan dari setiap desa untuk didanai PNPM Mandiri Perdesaan f.
MAD Prioritas Usulan, yaitu pertemuan di kecamatan yang bertujuan membahas dan menyusun peringkat usulan kegiatan.
g. MAD Penetapan Usulan, yaitu musyawarah untuk mengambil keputusan terhadap usulan yang akan didanai melalui PNPM Mandiri Perdesaan h. Penetapan Persyaratan i.
Pancairan Dana
II.10 Kerangka Konseptual Melihat fenomena yang terjadi pada proses implementasi PNPM MP SPP di Kecamatan Bajo, maka untuk memudahkan dalam memahami permasalahan yang diteliti berdasarkan pemaparan diatas, berikut digambarkan kerangka konseptual penelitian Berdasarkan
teori
yang mengacu pada teori George C. Edward III.
tersebut,
dikemukakan
terdapat
empat
faktor
yang
mempengaruhi implementasi kebijakan publik, yaitu faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan yang terakhir adalah struktur birokrasi. Pemilihan teori
Edwards ini karena dianggap sangat relevan dengan materi pembahasan dari obyek yang diteliti. Hal ini bukan berarti bahwa peneliti menjustifikasi teori-teori lain tidak lagi relevan dengan perkembangan teori implementasi kebijakan publik, melainkan teori ini lebih mengarahkan peneliti agar lebih fokus terhadap variablevariabel yang dikaji melalui penelitian, sehingga membantu dalam menjawab tujuan dari penelitian ini. Berdasarkan teori implementasi yang telah diuraikan diatas maka kerangka pemikiran dari penelitian dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut: Kerangka Konseptual
Implementasi PNPM MP SPP
Faktor-faktor yang mempengaruhi: - Komunikasi - Sumber daya - Disposisi - Struktur birokrasi
Tujuan PNPM MP SPP 1. Mempercepat proses pemenuhan kebutuhan pendanaan usaha ataupun social dasar 2. Memberikan kesempatan kaum perempuan untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga melalui pendanaan modal usaha 3. Mendorong penguatan kelembagaan simpan pinjam oleh kaum perempuan