BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konstitusi 2.1.1. Istilah Konstitusi Istilah konstitusi berawal dari kata kerja constitute yang berarti membentuk. yang dibentuk itu adalah suatu negara. Oleh karena itu, konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara. Sehubungan dengan istilah konstitusi ini para sarjana dan ilmuwan hukum tata negara terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendapata konstitusi sama dengan undangundang dasar dan ada pula yang yang berpendapat konstitusi tidak sama dengan undang-undang dasar, untuk lebih jelasnya pendapat perhatikan di bawah ini:10 A. Kelompok pertama yang memepersamakan konstitusi dengan undang-undang dasar, di antaranya:11 1. G.J.Wolhaff, berpendapat bahwa kebanyakan Negara-negara modern berdasarkan atas suatu UUD (konstitusi). 2. Sri soemantri, penulis menggunakan istilah konstitusi sama dengan undangundang dasar (grondwet). 3. J. C. T. Simorangkir Mengangap konstitusi sama dengan UUD.
10 11
Dasril Radjab, 2005, Hukum tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, hlm 44. Ibid… hlm 45
B. Kelompok kedua yang membedakan konstitusi dengan undang-undang dasar. di antaranya 1. Van Apeldorn berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari konstitusi, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun tidk tertulis. 2. M. Solly Lubis melukiskan pembagian konstitusi dalam suatu skema, sebagai berikut : Konstitusi tertulis (UUD) Konstitusi Konstitusi tidak tertulis (Konvensi) 3. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa setiap peraturan hukum karena pentingnya harus ditulis dan konstitusi yang tertulis itu adalah UUD. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983 : 66). Pendapat kedua kelompok tersebut tidak terdapat perbedaan yang prinsipil karena kelompok pertama mempersamakan istilah konstitusi dengan undang-undang dasar, sedangkan kelompok kedua meninjau dari segi materi yang ada dalam konstitusi atau undang-undang dasar. Kelompok pertama yang mempersamakan undang-undang dasar dengan konstitusi mungkin disebabkan oleh konstitusi tersebut dalam kamus hukum di Indonesia diterjemahkan dengan undang-undang dasar, sebagaimana yang terlihat dalam kamus karangan J. C. T. Simorangkir, dkk. “Konstitusi” = Undang-Undang Dasar.
Sedangkan penganut paham modern yang mempersamakan konstitusi dengan undang-undang
Dasar
varfassungswesen”.
Ia
adalah
Lasalle
mengemukakan
dalam bahwa
karanganya konstitusi
“Uber
sesungguhnya
menggambarkan hubungan antara kekuasaan yang terdapat di dalam masyarakat, seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata dalam masyarakat, misalnya
10
kepala negara, angakatan perang, partai-partai politik, pressure group, buruh, tani, pegawai dan sebagainya. Dari pendapat tersebut kemudian Lasalle menghendaki agar seluruh hal penting itu tertulis dalam konstitusi.12
Kelompok kedua yang membedakan konstitusi dengan undang-undang dasar, mengingat tidak semua hal penting harus dimuat dalam konstitusi , melainkan hal yang bersifat pokok saja. Perlu diketahui juga bahwa pengertian penting dan Pokok tidaklah sama. Seperti dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim bahwa isinya merupakan peraturan yang bersifat fundamental, artinya tidak semua hal penting harus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal yang bersifat pokok, dasar, dan asas-asas. Dengan kata lain dapat kita artikan bahwa semua aturan tersebut itu penting untuk di muat dalam konstitusi, tidak semua hal penting itu merupakan hal yang pokok atau hal yang mendasar. Oleh karena itu, pengertian pokok dapat dikatakan hal terpenting dari yang penting. Tidak dimuatnya semua hal-hal penting tersebut ke dalam undang-undang dasar disebabkan adanya perkembangan atau perubahan dalam poitik hukum dan masyarakat. Apabila masyarakat berubah dengan sendirinya maka undang-undang dasar
harus
pula
menyesuaikan
diri
dengan
masyarakatnya.
Untuk
menghindarkan seringnya perubahan suatu undang-undang dasar, maka hal-hal yang penting tidak semuanya dimuat dalam undang-undang dasar, tetapi cukup hal-hal yang mendasar (aturan dasar) yang pokok dan lebih penting saja. Alasanya adalah untuk menjaga wibawa undang-undang dasar karena bila perubahan suatu undang-undang dasar terlalu sering, akan mengaikbatkan hilangnya wibawa dari undang-undang dasar tersebut. 12
Ibid, hlm 46
11
Melihat pernyataan di atas, untuk menentukan mana yang penting dan mana yang pokok, antara negara yang satu dengan negara yang lain terdapat perbedaan, Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu motif lahirnya konstitusi atau undang-undang dasar, bentuk negara, sistem pemerintahan, dan lain-lain. Ada yang memuat aturan dasar itu sedetail mungin karena dianggap penting dan harus dimuat dalam konstitusinya, yang mengakibatkan jumlah pasal-pasal menjadi lebih banyak, sebagai contoh India terdiri dari 394 pasal, Uruguy 332 pasal, Belanda 210 pasal, Ethiopia 55 pasal. Sebaliknya, ada pula yang dianggap penting tetapi tidak pokok sehingga konstitusinya hanya terdiri dari beberapa pasal saja seperti Laos 44 pasal, Spanyol 36 pasal, Dan Republik Indonesia 37 Pasal.13 Dilihat dari alasan (motif) timbulnya konstitusi atau undang-undang dasar menurut Lord Bryce ada empat motif timbulnya konstitusi atau undang-undang dasar sebagai berikut:14 1) Adanya keinginan para anggota warga negara untuk menjamin hak-hak mereka sendiri pada waktu hak-hak itu terancam dan selanjutnya membatasi tidakan-tindakan penguasa di kemudian hari. 2) Adanya keinginan entah dari pihak yang diperintah atau pihak yang memerintah atau pihak penguasa sendiri, dengan harapan untuk menjamin rakyatnya melalui jalan menentukan bentuk-bentuk suatu sistem ketatanegaraan tertentu yang semula tidak jelas dalam suatu bentuk tertentu menurut aturan-aturan positif, maksudnya agar dikemudian hari tidak dimungkinkan adanya tindakan –tindakan yang sewenang-wenang dari penguasa. 3) Adanya keinginan dari pembentuk negara baru untuk menjamin adanya cara penyelenggaraan ketatanegaraan yang pasti dan dapat membahayakan kepada rakyatnya. 4) Adanya keinginan untuk menjamin kerja sama yang efektif dari beberapa negara yang pada mulanya berdiri sendiri (nantinya menjadi negara bagian dari negara federal yang merupakan bentuk kerjasamanya).
13 14
Ibid, hlm 47 Ibid, hlm 47
12
2.1.2. Beberapa Pengertian Konstitusi UUD 1945 merupakan suatu bentuk konstruksi dasar pembentukan segala bentuk peraturan di Negara Republik Indonesia yang artinya UUD 1945 adalah bentuk konstitusi dari Negara Indonesia, setiap negara pada dasarnya memiliki sebuah konstitusi atau undang-undang dalam bentuk tertulis, namun demikian ada beberapa negara yang sampai saat ini dikenal tidak memiliki undang-undang dasar tidak tertulis yaitu Inggris, Israel, dan Saudi Arabia. undang-undang dasar diketiga negara ini tidak pernah di buat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dari aturan dan pengalaman praktik ketatanegaraan. Negara pertama yang menyusun konstitusinya dalam satu naskah undang-undang adalah Amerika Serikat (United States Of America) pada tahun 1787.15 Menurut Hermann Heller, undang-undang dasar yang tertulis dalam satu naskah yang bersifat politis, sosiologis dan bahkan yuridis hanyalah merupakan salah satu bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas yaitu konstitusi yang hidup ditengah-tengah masyarakat, artinya disamping konstitusi yang tertulis, segala bentuk nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas juga termasuk ke dalam pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh karena itu dalam bukunya “Verfassungslehre”, Herman Heller membagi konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:16 1. Konstitusi dalam pengertian social politik Dalam pengertian ini konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial politik. Ide-ide konstitusional dikembangkan karena memang mencermikan keadaan sosial politik 15
Bagir manan, 1995. Pertumbuhan dan perkembangan Konstitusi suatu Negara. CV. Mandar maju, Bandung, hlm 2 16 Jimly Asshidiqie, 2006, pengantar Hukum Tata Negara jilid I. Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI. Jakarta. Hlm 123-124
13
dalam masyarakat yang bersangkutan pada saat itu, konstitusi dalam tahap ini dapat digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang belum dituangkan dalam bentuk tertentu, melainkan tercermin dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif warga masyarakat; 2. Konstitusi dalam pengertian hukum. Dalam pengertian ini konstitusi sudah diberi hukum tertentu, sehingga perumusan normatifnya menuntut pemberlakuan yang dapat dipaksakan . Konstitusi dalam social politik yang dilihat sebagai kenyataan tersebut diatas dianggap harus berklaku dalam kenyataan . Oleh karena itu setiap, setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dapat dikenai sanksi yang pasti; 3. Konstitusi dalam pengertian peraturan tertulis. Dalam tingkatan ke tiga ini merupakan tahapan yang terahir dan merupakan tingkatan yang paling tinggi dalam perkembangan pengertian rechtsvervassung yang muncul sebagai pengaruh aliran kodifikasi yang menghendaki agar berbagai norma hukum dapat dituliskan dalam naskah yang bersifat resmi. Tujuanya adalah untuk mencapai kesatuan hukum atau unifkasi hukum (rechtseneheid), kesederhanaan hukum (rechtsvereenvoudinging), dan kepastian hukum (rechtszekerheid). Menurut Herman Heller, konstitusi tidak dapat dipersempit maknanya hanya sebagai undang undang dasar atau konstitusi dalam arti yang tertulis sebagaimana yang lazim dipahami karena pengaruh aliran kodifikasi. Di samping undangundang dasar yang tertulis ada pula konstitusi yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Disamping itu undang-undang dasar yang tertulis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. K. C. Whare “Modern Constitution” mengklaisifikasikan konstitusi sebagai berikut:17 1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (Written Constitution And Unwritten Constitution); 2. Konstitusi Flexible Dan Konstitusi Rigid (Flexible & Rigid Constitution); Konstitusi flexiblelitas merupakan konstitusi yang memiliki cirri-ciri pokok:
17
Muhammad Hardani, 2003, Konstitusi-Konstitusi modern. Pustaka Eureka. Surabaya. Hlm 110
14
a. Sifat elastis , artinya dapat disesuaikan dengan mudah; b. Dinyatakan dan di lakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-undang. 3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak tinggi (Supreme And Not Supreme Constitution); Konstitusi derajat tinggi mempunyai arti kedudukan tertinggi dalam negara ( tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak berderajat tinggi adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama; 4. Konstitusi negara serikat dan negara kesatuan (Federal And Unitary Constitution. Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi Negara yang bersangkutan. Dalam suatu negara serikat terdapat terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah federal (pusat) dengan negara-negara bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan. Karena pada dasarnya semua kekuasaan berada di pemerintah pusat; 5. Konstitusi pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer (President Executive and Parliamentary Executive constitution); Dalam system pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain: a. Presiden memiliki kekusaan nominal sebagi kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai kepala pemerintahan; b. Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih; c. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum. Carl Schmitt, membagi konstitusi dalam 4 (empat) pengertian sebagai berikut:18 1. Konstitusi dalam arti absolute (Absoluter Verfassungs Begriff), yang di perinci menjadi empat bagian sebagai berikut: a. Konstitusi dianggap sebagai satuan organisasi yang nyata, mencakup semua bangunan hukum dari semua organisasi yang ada dalam negara. b. Konstitsi sebagai bentuk negara. Yang dimaksud dengan bentuk negara adalah negara dalam arti keseluruhanya (Ganzh Heit). Bentuk negara itu busa demokrasi atau monarki (sebenarnya yang dimaksud adalah bentuk/system pemerintahan). Sendi demokrasi adalah identitas, sedangkan sendi monarki adalah representasi. Demokrasi baik langsung maupun memerintah dirinya sendiri dengan sendirinya sehingga antara yang memerintah dan yang diperintah identik dengan rakyat. Sedangkan representasi karena baik raja maupun kepala negara dalam negara yang demokratis merupakan wakil atau mandataris dari rakyat dan pada dasarnya kekuasaan itu ada pada rakyat; c. Konstitusi sebagai faktor integrasi. faktor ini bisa abstrak dan fungsional. Abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan negara dengan lagu 18
Dasril Radjab, 2005, Hukum tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, hlm 48
15
kebangsaanya, bahasa persatuanya, bendera sebagai lambang persatuanya, dan lain-lain. Dikatakan fungsional karena tugas konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilu, referendum, pembentukan kabinet, suatu diskusi atau debat dalam politik pada negar-negar liberal, mosi yang diajukan oleh dewan perwakilan rakyat baik yang sifatnya menuduh atau tidak percaya, dan sebagainya; d. Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma-norma hukum yang tertinggi di dalam negara, jadi konstitusi itu merupakan norma dasar sebagai sumber bagi norma-norma lain yang berlaku di dalam negara.
2. Konstitusi dalam arti Relative (Relative Vervassungs Begriff) Konstitusi dalam arti relative dimaksudkan sebagai konstitusi yang di hubungkan denagn kepentingan suatu golongan tertentu di dalam masyarakat. Golongan utama adalah golongan borjuis liberal yang menghendaki adanya jaminan dari pengusa agar hak-haknya tidak dilanggar. Jaminan di letakan dalam UUD yang tertulis sehingga tidak mudah dilupakan. Jadi dalam hal ini konstitusi dibagi menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu: a. Konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hakhaknya di jamin tidak dilanggar oleh penguasa; b. Konstitusi sebagi konstitusi dalam arti formal atau dalam arti tertulis. 3. Konstitusi dalam arti positif (der positive vervassungs begriff). Pengertian konstitusi dihubungkan dengan ajaran dezisionisme, sebagai contoh yaitu ajaran tentang keputusan. Konstitusi dalam arti positif itu mengandung pengertian sebagai keputusan politik yang tertinggi berhubungan dengan pembuatan Undang-Undang Dasar Weimar Tahun 1919 yang menentukan nasib seluruh jerman. Karena undang-undang dasar itu telah merubah struktur pemerintah yang lama dari system monarki, dimana kekuasaan raja masih kuat menjadi suatu pemerintah dengan system parlementer. Namun ajaran Carl Schmitt ini tidak dapat diterapkan dengan peristiwa di Indonesia, yakni dalam pembentukan UUD 1945 karena pembukaan UUD 1945 hanya merupakan salah satu diantara keputusan politik tertinggi yang dilakukan bangsa Indonesia adalah Proklamasi 17 Agustus 1945, yang merupakan satusatunya keputusan politik tertinggi yang dilakukan bangsa Indonesia untuk mengubah nasibnya dari bangsa yang di jajah menjadi bangsa yang merdeka.
16
UUD 1945 disahkan setelah proklamasi kemerdekaan merupakan tindak lanjut dari proklamasi kemerdekaan. 4. Konstitusi dalam arti Ideal (Ideal Vervassungs Begriff) Disebut konstitusi ideal karena konstitusi itu idaman dari kaum borjuis sebagai jaminan agar hak-hak asasinya dilindungi.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai “Constituent power” yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sakaligus diatas sistem yang di aturnya. Oleh karena itulah di negara demokrasi rakyat yang dianggapmenentukan berlakunya suatu konstitusi.19 Konstitusi Negara Indonesia dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti undang-undang yang menjadi dasar semua undang dan peraturan lain di suatu negara yang mengatur, bentuk, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang badan pemerintahan.20 Dalam bahasa Belanda istilah perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan berasal dari istilah “Wetteijke Regels” atau “Wettelijke Regeling”. Istilah Wet (Undang-undang) dalam literatur hukum Belanda (di ambil dari pendapat Buys) mempunyai dua macam
19 20
Jimly Asshidiqie, Pengantar ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Op. Cit. hlm.117 Armen Yasir dkk, Hukum Tata Negara (Bandar Lampung : Justice Publisher, 2014) hlm. 19
17
pengertian yaitu keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang yang di dasarkan kepada bentuk dan cara terbentuknya dan Wet In Materiele Zin (undang-undang dalam arti materiil), yaitu keputusan pemerintah/penguasa yang dilihat berdasarkan kepada isi atau substansinya mengikat langsung terus penduduk atau suatu daerah tertentu.21 Dalam ilmu hukum terdapat istilah undang-undang
dalam arti formil dan undang-undang dalam arti
materiil. Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan presiden.22 Undang-undang dalam arti formil adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden) dan legislative (DPR) yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum. Sedangkan yang dimaksud dengan undang-undang dalam arti materiil adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku dan mengikat sesara umum . Indonesia adalah negara hukum23 yang mana segala sesuatunya adalah berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan. Negara hukum merupakan esensi yang menitik beratkan pada tunduknya pemegang kekuasaan negara pada aturan hukum.24 Hal ini berarti alat-alat negara mempergunakan kekuasaannya hanya sejauh berdasarkan hukum yang berlaku dan dengan cara yang ditentukan dalam hukum itu. Melihat kembali pada sejarah, gagasan negara hukum ini berawal di Negara Inggris dan merupakan latar
21
Armen Yasir, hukum perundang-undangan, (Bandar Lmpung: Justice Publisher,2014) hlm. 33 Rumusan pasal 1 ayat (3) UU no 10 tahun 2004. 23 Pasal 1 ayat 3 undang-undang dasar 1945 24 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, ( Bandung: Mandar Maju, 2013), hlm. 1 22
18
belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill Of Right 1689, hal ini menunjukan kemenangan parlemen atas raja, serta rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights.25 Konsep negara hukum ini merupakan perlawanan terhadap pemerintah negara yang melakukan penindasan terhadap rakyat karena tidak ada batasan bagi diktator untuk melakukan kekuasaan. Konsep ini sejalan dengan pengertian negara hukum menurut Bothling adalah26 : “de staat, waarin de wilsvriheid van gezagsdragers is beperket door grezen van recht.” (negara, dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasan dibatasi oleh ketentuan hukum). Pembatasan kekuasaan sebagaimana konsep negara hukum juga ada pada UUD 1945 sebelum amandemen yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” Sehingga segala produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah harus berdasar dan bersumber pada Undang-Undang Dasar 1945.
25
Assihiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm. 87 26 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 27.
19
2.2. Perubahan Hierarki Tata Urutan Perundang-Undangan. 2.2.1. Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966 Peraturan peraturan perundang-undangan dimulai dan dilatar belakangi oleh ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Idonesia, sebagai berikut :27 1. 2. 3. 4. 5.
Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan MPR; Undang-Undang/Perppu; Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan Pelaksana lainya yang meliputi: a. Peraturan Menteri; b. Instruksi Menteri; c. dan lain-lain.
Ketetapan MPRS ini merupakan hasil dari pada sidang MPR tahun 1973 dan MPR tahun 1978 dengan ketetapan MPR No V/MPR/1973 dan ketetapan MPR No IX/MPR/1978 akan disempurnakan, namun sampai runtuhnya pemerintahan orde baru ketetapan MPR tersebut tidak mengalami perubuhan.28
2.2.2. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasca reformasi, hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia dirubah melalui ketetapan MPR No III/MPR/2000, dalam peraturan ini terdapat pergeseran kedudukan yakni kedudukan undang-undang adalah lebih tinggi
27
Ketetapan mprs no XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai tertib hukum republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan republik idonesia jo ketetapan MPR nomor V/MPR/1973 tentang peninjauan produk-produk yang berupa ketetapan majelis. 28 Op.cit Armen Yasir ………hlm 48
20
daripada Perppu (Perppu), dan terjadi perubahan yakni di hapusnya “Peraturan Pelaksana lainya” di gantikan dengan Peraturan Daerah (Perda). Adapun
tata
urutan
peraturan
perundang-undangan
jenis
peraturan
perundang-undangan menurut Ketetapan MPR No III/2000 adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Undang-undang dasar 1945; Ketetapan MPR; Undang-Undang; Perppu (Perppu); Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan Daerah.
Selain tata urutan peraturan perundang-undangan di atas, masih terdapat peraturan perundangan lain sebagimana ditentukan pasal 4 ayat (2) Tap MPR No. III/MPR/2000, yaitu peraturan atau keputusan Mahkamah Agung, badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, Badan Lembaga, Atau komisi yang setingkat yang di bentuk oleh pemerintah. 2.2.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Suatu peraturan perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan yang paling tinggi tingkatnya. Kosekuensi logis dari pernyataan diatas adalah peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan ketetapan MPR RI No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan
21
MPR sementara dan ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, dalam pasal 4 ketetapan MPR tersebut dinyatakan bahwa ketetapan MPR No III/MPR/2000 masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. Ketentuan pasal ini disesuaikan dengan ketentuan pasal 22A UUD 1945 yang mengamanatkan tentang tata cara pemebentukan undangundang diatur dengan undang-undang.29 Selanjutnya pembentukan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia diperbarui lagi dengan Undangundang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.30 dalam undang-undang tersebut memuat tiga bagian besar yaitu tata
urutan
perundang-undangan
dan
materi
muatan
perundangan,
pembentukan peraturan perundang-undangan dan teknis perundang-undangn. Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 menyatakan hierarki peraturan perundang-undangan dalam pasal 7, sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; Undang-undang/ Perppu; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah.
Peraturan daerah termaksud dalam poin 5 diperjelas dalam ayat 2 : 1. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur 2. Peraturan derah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama dengan Bupati/Walikota. 3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainya bersama dengan kepala desa atau nama lainya.
29
Ibid Armen yasir …hlm 49. Lembaran Negara republik Indonesia (LNRI) tahun 2004 No 53, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 4389. 30
22
2.2.4. Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pembaruan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia terjadi lagi pada 12 Agustus 2011 lahirlah undang-undang baru yang menggantikan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yaitu Undangundang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.31 Dalam hierarki ini kedudukan Perppu dikembalikan lagi seperti yang tercantum dalam Tap MPR No XX/MPR/1966 yakni sederajat dengan Undang-Undang, serta sedikit perubahan yakni adanya pemisahan Peraturan Daerah (Perda) menjadi Perturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten. Jimly Asyidiqie Berdasarkan teori tentang norma sumber legitimasi, yaitu apa bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau yang memberikan kewenanangan kepada sumber atau pemberi kewenanangan terhadap lembaga negara yang bersangkutan, mengkalisfikanya lembaga ditingkat dalam empat tingkatan, yaitu:32 1. Lembaga negara tingkat konstitusional misalnya presiden, wakil presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga ini kewenanganya diatur dalam UUD dan diatur lebih rinci dalam Undang-undang. 2. Lembaga tingkat ke dua adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang berarti sumber kewenangannya bersumber dari 31 32
LNRI tahun 2001 nomor 82, TNLRI nomor 5234 Ibid Armen Yasir … hlm 55-56
23
pembentuk undang-undang, lembaga tingkat ini misalkan: Kejaksaan Agung,
Bank
Indonesia,
Komisi
Pemelihan
Umum,
Komisi
Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dll. 3. Lembaga tingkat ketiga adalah lembaga yang sumber kewenanganya bersumber dari presiden sebagai kepala pemerintahan, sedangkan yang lebih rendah adalah tingkatan lembaga yang di bentuk berdasarkan peraturan menteri, atas inisiatif menteri sebagai pejabat public berdasarkan kebutuhan yang berkaitan dengan tugas-tugas pemerintah dan pembangunan di bidang tanggung jawabnya dapat saja dibetuk badan, dewan lembaga atau panitia yang sifatnya tidak permanen dan bersifat spesifik. 4. Tingkat daerah, lembaga-lembaga semacam ini tidak disebut lembaga negara. Lembaga ini disebut sebagai lembaga daerah.
Adapun susunan peraturan perundang-undangan berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Udang-undang dasar Negara repubik Indonesia tahun 1945; Ketetapan majelis permusyawaratan Rakyat; Undang-undang/Perppu; Peraturan Daerah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provisi Dan; Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari beberapa perubahan diatas jelaslah bahwa kedudukan Undang-undang dan Perppu masih sama kedudukanya, dalam Undang-undang ini tap MPR kembali ditempatkan dalam Hierarki Perundang-undangan yakni berada di
24
bawah Undang-Undang Dasar 1945. Maksud dari penempatan Tap MPR ini adalah untuk mengakomodir Tap MPR yang masih berlaku. Penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang No 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa ketetapan MPR adalah ketetapan MPRS dan ketetapan MPR yang masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (2) dan pasal (4) ketetapan MPR No 1/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPR dan Ketetapan MPRS tahu 1960 sampai dengan 2002. Prinsip yang dianut oleh Undang-undang No 12 Tahun 2011 adalah hierarki, yaitu penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2.3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Dalam pasal 22 ayat satu (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa : “Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu.” Ketentuan pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dalam penjelasan pasal tersebut dirumuskan sebagai berikut:33 “Pasal ini mengenai “Noodverordeningsrecht” presiden. Aturan sebagai ini memang perlu di adakan agar keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, Perppu harus disahkan pula oleh DPR”.
33
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan jenis, fungsi dan materi muatan. (Yogyakarta:Kanisius,2007) hlm 91
25
Penjelasan Pasal 22 UUD 1945tersebut jelaslah bahwa Perppu
adalah suatu
peraturan yang mempunyai kedudukan setingkat dengan Undang-undang tetapi di bentuk oleh presiden tanpa persetujuan DPR, disebabkan terjadinya “hal Ihwal kegentingan yang memaksa”. Permasalahan tentang penempatan Perppu di bawah undang-undang adalah sebagai berikut: a. Penempatan Perppu (Perppu) di bawah Undang-undang adalah tidak tepat, bahkan tidak sesuai dengan pasal 5 ayat (2) UUD 1945, serta pasal 3 ayat (5) ketetapan MPR No III/MPR/2000 tersebut. Apabila dilihat dari tata susunan (hierarki) peraturan perundang-undangan, hal ini akan mempunyai suatu konsekuensi, karena peraturan yang berada dibawah harus bersumber dan berdasar pada peraturanyang lebih tinggi atau dengan kata lain. Peraturan yang lebih rendah merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi. b. Dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945, maka dirumuskan bahwa presiden membentuk peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang
sebagaimana mestinya dengan demikian ketentuan dalam pasal 3 ayat (5) ketetapan MPR No III/MPR/2000 dirumuskan bahwa, peraturan pemerintah dibuat oleh pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang. Berdasarkan rumusan kedua pasal tersebut maka secara hierarkis letak peraturan pemerintah seharusnya di bawah undang-undang dan tidak dibawah Perppu (Perppu), walaupun pada kenyataanya peraturan pemerintah dapat juga mengatur lebih lanjut Perppu.
26
c. Suatu Perppu mempunyai kedudukan yang setingkat dengan undang-undang walaupun peraturan tersebut tidak mendapatkan persetujuan DPR. Didalam kenyataan ada dasarnya, suatu Perppu dapat berisi ketentuan-ketentuan yang menunda, mengubah, bahkan mengesampingkan suatu undang-undang. Kita dapat mengingat adanya Perppu No 1 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, Perpu No 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Kepailitan, atau Perpu
No 2 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Penempatan Perppu di bawah undang-undang mempunyai akibat yang sangat besar, oleh karena dengan demikian pembentukan Perppu harus sesuai dengan undang-undang, suatu perpu harus bersumber dan berdasar pada undang-undang, atau dengan kata lain perppu merupakan peraturan pelaksana bagi undang-undang.34 d. Oleh karena pada saat ditetapkanya ketetapan MPR No III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan (bahkan sampai perubahan keempat UUD 1945) ketentuan dalam pasal 22 UUD 1945 tersebut tidak pernah dirubah, maka menetapkan hierarki Perppu (Perppu) di bawah undang-undang adalah bertentangan dengan UUD 1945. 2.3.1. Perppu Dan Kedudukannya Perppu mempunyai hierarki setingkat dengan undang-undang, akan tetapi, menurut Maria Faridha, Perppu ini dikatakan tidak sama dengan undang-
34
Maria farida Indrati S, Masalah Hierarki peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dalam 79 th Prof. Dr. Harun A. Razid,- Integritas, konsistensi seorang sarjan hukum, JAKarta : fakultas HUkum Universitas Indonesia, 2000, hlm 93-94.
27
undang karena belum disetujui oleh DPR.35 Namun selama ini undangundang selalu dibentuk oleh presiden dengan persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau menurut perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh DPR dan presiden, serta disahkan oleh presiden, sedangkan perppu dibentuk oleh presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya “suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa.”36 Undang-undang dan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. Undang-undang dibentuk oleh presiden dalam keadaan normal dengan persetujuan DPR, sedangkan perppu dibentuk oleh presiden dalam keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang kemudian membuat kedudukan perppu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah undang-undang. Maria juga menjelaskan bahwa perppu ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya. Apabila perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan undangundang. Sedangkan, Apabila perppu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut, oleh karena itu, hierarkinya adalah setingkat/sama dengan undang-undang sehingga fungsi maupun materi muatan perppu adalah sama dengan fungsi maupun materi muatan undang-undang,37 sehingga saat suatu perppu telah disetujui oleh DPR dan dijadikan undang-undang, saat itulah Perppu dipandang
35
Maria Farida Indrati Soeprapto.. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya(Yogyakarta:kanisius:1998) hlm.96 36 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya. (Yogyakarta:Kanisius,2007) hlm 80. 37 opcit hal.94
28
memiliki kedudukan sejajar/setingkat dengan undang-undang. Hal ini disebabkan karena perppu itu telah disetujui oleh DPR, walaupun sebenarnya secara hierarki perundang-undangan, fungsi, maupun materi, keduanya memiliki kedudukan yang sama meskipun perppu belum disetujui oleh DPR. 3.2.3. Syarat-Syarat Dikeluarkannya Perppu Presiden di dalam proses pengusulan perpu tidak halnya sesuai kehendaknya, namun harus sesuai dengan prosedur yang sesuai dengan undang-undang, karena perppu pada hakikatnya hanya dibentuk oleh DPR yang seyogyanya memperhatikan prasyarat yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perppu yang dikeluarkan ini nantinya akan sah secara konstistusional. Perppu (Perppu) disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945): “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu.” Penetapan perppu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi:38 “Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.” Presiden dalam mengeluarkan perppu harus dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa adalah berdasarkan penilaian subjektifitas presiden. Yang artinya subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar diterbitkannya perppu, akan dinilai DPR apakah kegentingan
38
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
29
yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi. Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak). Kedudukan perppu sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie:39 “Pasal 22 memberikan kewenangan kepada presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk menetapkan Perppu. Rumuskan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang tentang subjektifitas presiden dalam mengeluarkan perppu tertuang dalam Putusan MK Nomor 138/PUUVII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu: a. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; b. Undang-undang
yang
dibutuhkan tersebut
belum
ada
sehingga
terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; c. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undangundang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 39
Ibnu Sina C, Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, 2012.
30
Hal-ikhwal kegentingan yang memaksa, presiden harus sigap dan bertindak cepat untuk mengatasi keadaan, karena apabila dilakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan DPR untuk mengatasi keadaan yang memaksa akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Kegentingan yang memaksa merupakan keadaan darurat yang tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Tapi juga hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas negara misalnya krisis ekonomi, bencana alam.
31