6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM Menurut Smeltzer (2002) dalam buku Brunner dan Suddarth (2002), teknik relaksasi merupakan intervensi keperawatan secara mandiri untuk menurunkan intensitas nyeri, meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan tegangan otot yang menunjang nyeri, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri. Sedangkan Latihan nafas dalam adalah bernapas dengan perlahan dan menggunakan diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh (Parsudi, dkk, 2002). Teknik relaksasi
nafas
dalam
merupakan
suatu
bentuk
asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.1
Tujuan Tekhnik Relaksasi Nafas Dalam Smeltzer dan Bare (2002), menyatakan bahwa tujuan relaksasi pernafasan
adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, merilekskan tegangan otot, meningkatkan efesiensi 6
7
batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri (mengontrol atau mengurangi nyeri) dan menurunkan kecemasan. Selain itu menurut Suddarth dan Brunner (2002), tujuan nafas dalam adalah untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi kerja bernafas, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktifitas otot-otot pernafasan yang tidak
berguna,
tidak
terkoordinasi,
melambatkan
frekuensi
pernafasan,
mengurangi udara yang terperangkap serta mengurangi kerja bernafas.
2.1.2
Patofisiologi Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap nyeri Teknik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri dengan
meminimalkan aktifitas simpatik dalam sistem saraf otonom. Relaksasi melibatkan otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu. Prinsip yang mendasari penurunan oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi sistem saraf otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu. Pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan substansi p yang akan merangsang saraf simpatis sehingga menyebabkan
saraf
simpatis
mengalami
vasokonstriksi
yang
akhirnya
meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh darah. Mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla
spinalis
Suddarth.2002).
ke
otak
dan
dipersepsikan
sebagai
nyeri
(Brunner,
8
2.1.3
Penatalaksanaan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Ada beberapa posisi relaksasi nafas dalam yang dapat dilakukan menurut
(Smeltzer & Bare,2002) : a. Posisi relaksasi dengan terlentang Berbaring terlentang, kedua tungkai kaki lurus dan terbuka sedikit, kedua tangan rileks disamping bawah lutut dan kepala diberi bantal. b. Posisi relaksasi dengan berbaring miring Berbaring miring, kedua lutut ditekuk, dibawah kepala diberi bantal dan dibawah perut sebaiknya diberi bantal juga, agar perut tidak menggantung. c. Posisi relaksasi dalam keadaan berbaring terlentang Kedua lutut ditekuk, berbaring terlentang, kedua lutut ditekuk, kedua lengan disamping telinga. d. Posisi relaksasi dengan duduk Duduk membungkuk, kedua lengan diatas sandaran kursi atau diatas tempat tidur, kedua kaki tidak boleh menggantung.
2.1.4
Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam Prosedur teknik relaksasi nafas dalam menurut Priharjo (2003), yakni
dengan bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi.
9
Adapun langkah-langkah teknik relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut : 1.
Ciptakan lingkungan yang tenang
2.
Usahakan tetap rileks dan tenang
3.
Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui hitungan 1,2,3
4.
Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks
5.
Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali
6.
Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut
7.
Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang
8.
Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi teknik relaksasi napas dalam terhadap penurunan nyeri Menurut Smeltzer dan Bare (2002), teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu : a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan
oleh
peningkatan
prostaglandin
sehingga
terjadi
vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemic. b. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin.
10
c. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu.
2.2. NYERI Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan. Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Musrifatul dan Hidayat, 2011). Menurut Mc, Coffery (1979) yang dikutip oleh Aziz Alimul Hidayat, (2011), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, yang keberadaan nyeri dapat diketahui hanya jika orang tersebut pernah mengalaminya. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan aktual atau potensial sehingga menjadikan alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan (Smletzer & Bare, 2002). Pendapat Kozier dan Erb (1983) dalam Tamsuri (2007), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka. Sementara Barbara (1996) mengungkapkan bahwa, nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang bersifat benar-benar subjektif dan hanya orang yang menderitanya yang dapat menceritakan dan mengevaluasi, masih menurut Barbara (1996), nyeri juga dapat diartikan sebagai bentuk pengalaman yang dapat dipelajari oleh pengaruh dari situasi hidup masing-masing orang.
11
2.2.1 Fisiologi Nyeri Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku (Mc. Nair, 1990 dalam Potter dan Perry, 2005), munculnya nyeri sangat berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri adalah nociceptor, yang merupakan ujuang-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit mielin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati dan kantong empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan (Musrifatul dan Hidayat, 2011). Stimulus penghasil nyeri mengirimkan implus melalui serabut saraf perifer. Menurut Jones dan Cory (1990), ada dua tipe serabut saraf perifer yang mengonduksi stimulus nyeri yaitu: a. Reseptor A-delta Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det). memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan (Tamsuri, 2007). b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi (Tamsuri. 2007). Serabut saraf memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai
12
otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus mencapai korteks cerebral, maka otak menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri (Mc. Nair, 1990 dalam Potter dan Perry, 2005).
2.2.2
Teori nyeri
Menurut Long (1989) dalam Hidayat (2011), terdapat beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri, diantaranya : 1. Teori pemisahan ( specificity theory ). menurut teori ini rangsangan sakit masuk ke medula spinalis ( spinal cord ) melalui kornu dorsalis yang bersinaps di daerah posterior. Kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya dan berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan. 2. Teori Pola, (pattern theory) rangsangan nyeri masuk mellaui akar ganglion dorsal ke medula spinalis dan merangsang aktivitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respon yang merangsang ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks cerebri, serta konstraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respon dari reaksi sel T. 3. Teori Pengendalian Gerbang (gate control theory) menurut Melzack dan Wall (1965) yang dikutip oleh Qittum (2008), mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang
13
sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Menurut Teori ini nyeri bergantung dari kerja saraf besar dan kecil. Keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat besar akan meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa yang mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang ke korteks cerebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medula spinalis melalui serat eferen dan reaksinya mempengaruhi aktivitas sel T. Rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas substansia gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan mengahantarkan rangsangan nyeri. Sedangkan menurut Smelzer & Bare (2002), Prinsip yang mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi sistem saraf otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu. Pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan substansi p, akan merangsang syaraf simpatis sehingga menyebabkan vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme
14
otot yang menimbulkan pengiriman implus nyeri dari medulla spinalis ke otak dan dipresepsikan sebagai nyeri. 4. Menurut Long (1989) dalam Hidayat (2011), Teori Transmisi dan Inhibisi. Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls saraf, sehingga transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh neurotransmiter yang spesifik. Kemudian, inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impulsimpuls pada serabut-serabut besar yang memblok impuls-impuls pada serabut lamban dan endogen opiate sistem supresif. 2.2.3
Respon Tubuh terhadap Nyeri Terdapat beberapa respon tubuh terhadap nyeri, diantaranya respon fisiologis, respon psikologis dan respon perilaku. a. Respon Fisiologis Respon fisiologis yang ditunjukkan oleh tubuh terhadap nyeri terdiri atas respon Simpatis dan parasimpatis. Berikut ini perbedaan respon simpatis dan parasimpatis menurut Prasetyo (2010). Tabel 2.1 Respon Fisiologis Tubuh
a)
Respon Simpatis Dilatasi saluran bronkhial
Respon Parasimpatis dan a) Muka pucat
peningkatan respirasi rate b) Peningkatan heart rate c)
Vasokonstriksi perifer, peningkatan tekanan darah
b) Otot mengeras c) Penurunan denyut jantung dan tekanan darah d) Nafas cepat dan irreguler
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Nausea dan vomitus
e)
Diaphoresis
f) Kelelahan dan keletihan
f)
Peningkatan kekuatan otot
g)
Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas Gastrointestinal
15
b. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Menurut Qittun (2008), arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain : Bahaya atau merusak, komplikasi seperti infeksi, kehilangan mobilitas, hukuman untuk berdosa, Tantangan, Penghargaan terhadap penderitaan orang lain, sesuatu yang harus ditoleransi, dan bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki. Pemahaman tentang arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya.
c. Respon perilaku
Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur), perilaku vokal, ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir), gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan), kontak fisik dengan orang lain atau perubahan respon terhadap lingkungan (menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri) (Brunner & Sudarth, 2002).
2.2.4 Klasifikasi Nyeri menurut Aziz Alimul Hidayat (2011), klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan nyeri kronis.
16
a. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, tidak melebihi enam bulan, serta ditandai dengan adanya peningkatan tegangan otot. Nyeri akut disebabkan oleh eksternal atau penyakit dalam, dan daerah nyeri tidak diketahui dengan pasti (Hidayat,2011). b. Menurut Long (1989) dalam Hidayat.A. (2011) Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari enam bulan. Nyeri kronis penyebabnya tidak diketahui atau karena pengobatan yang terlalu lama, dan daerah nyeri sulit dibedakan intensitasnya, sehingga sulit di evaluasi. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis dan nyeri psikomatis. Selain klasifikasi nyeri
diatas, terdapat jenis nyeri yang spesifik,
diantarnya nyeri somatis, nyeri viseral, nyeri alih (referent pain), nyeri psikogenik, nyeri phantom dan ekstremitas, nyeri neurologis dan lain-lain (Musrifatul,2011). Klasifikasi nyeri menurut lokasi serangan (Long B.C, 1996), adalah sebagai berikut : 1)
Nyeri Somatik Terbagi menjadi dua jenis yaitu nyeri superficial, yang merupakan nyeri akibat kerusakan jaringan kulit dan nyeri deep somatic merupakan nyeri yang ditimbulkan karena kerusakan di dalam ligamen dan tulang.
17
2)
Nyeri Viceral Nyeri viceral merupakan nyeri yang timbul akibat adanya gangguan pada organ bagian dalam, misalnya pada abdomen, cranium dan thoraks.
3)
Nyeri Alih Merupakan nyeri yang menjalar dan terasa pada lokasi lain dari lokasi yang sebenarnya terkena serangan.
4)
Nyeri Psikogenik Nyeri psikogenik merupakan nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiologisnya.
5)
Nyeri Phantom Nyeri phantom merupakan nyeri yang dirasakan oleh individu pada salah satu ekstremitas yang telah di amputasi.
6)
Nyeri Neurologis Merupakan nyeri dalam sistem neurologis yang timbul dalam berbagai bentuk, seperti neuralgia.
2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Respon Nyeri Dalam bukunya, Potter & Perry (2005) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri terdiri atas: 1. Usia Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri
18
pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter&Perry, 2005). 2. Jenis kelamin Gill (1990), mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya dan faktor biokimia. Dari data diatas penulis menyimpulkan tidak pantas jika laki-laki mengeluh nyeri sedangkan wanita boleh mengeluh nyeri (Potter&Perry,2005). 3. Kebudayaan Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri. Namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Zatzick & Dimsdale, 1990 dalam Brunner & Sudarrth, 2003). Harapan budaya tentang nyeri yang individu pelajari sepanjang hidupnya jarang dipengaruhi oleh pemajanan terhadap nilai-nilai yang berlawanan dengan budaya lainnya. Akibatnya, individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima. Akibatnya individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima. Nilainilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan seperti meringis, dan menangis berlebihan (Brunner&Sudarrth, 2003).
19
4. Makna nyeri Individu akan mempersepsikan dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Derajat dan kualitas nyeri akibat cedera karena hukuman dan tantangan. Makna nyeri oleh seseorang akan berbeda jika pengalamannya tentang nyeri juga berbeda. Selain pengalaman, Makna nyeri juga dapat ditentukan dari cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri yang dialami. Misalnya, seseorang wanita yang sedang bersalin akan mempersepsikan nyeri yang berbeda dengan seorang wanita yang mengalami nyeri akibat cedera pukulan pasangannya (Potter&Perry, 2005). 5. Perhatian Menurut Gill (1990) yang dikutip oleh Priyanto (2009), “tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun”. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang digunakan dalam keperawatan. 6. Ansietas Menurut Gil (1990) dalam Potter dan Perry (2005), hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi juga seringkali menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Sama hubungan cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. Sulit untuk memisahkan dua sensasi, stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakinkan.
20
7. Pengalaman masa lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri (Priyanto,2009)
2.2.6 Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Ada beberapa skala yang digunakan dalam pengukuran intensitas nyeri, diantaranya : a. Skala intensitas nyeri menurut Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR). Acute Pain Management: Operative or medical Prosedures and Trauma (1992), dalam Brunner dan Suddarth (2002 ) terdiri atas tiga bentuk, yaitu.
21
1) Skala Intensitas Nyeri Deskriptif
Gambar 2.1 Skala intensitas nyeri Deskriptif
2) Skala intensitas nyeri numerik
Gambar 2.2 Skala intensitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
0 Tidak Nyeri
10 Nyeri sangat Hebat Gambar 2.3 Skala analog visual
b. Skala Nyeri Menurut Bourbanis
Gambar 2.4 Skala Bourbanis
22
Keterangan : 0
: Tidak nyeri,
1-3
: Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik,
4-6
: Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik,
7-9
: Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi,
10
: Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul. c. Skala Wajah Berikut ini adalah Skala nyeri menurut Hockenberry, MJ : Wong’s nursing care of infants and children, ed 7, St. Louis 2003. Mosby (Jackson. M & Jackson. L, 2011)
Tidak Nyeri
Nyeri Sedikit
Nyeri
Nyeri lebih Berat
Sangat Nyeri Nyeri Hebat
Gambar 2.5 Skala Wajah
23
2.3 SECTIO CAESARIA Sectio caesaria adalah tindakan yang digunakan untuk mengakhiri kehamilan atau persalinan bila tidak mungkin melakukan persalinan pervaginam. Sehingga tidak
perlu mencari indikasi khusus untuk melakukan operasi ini (Martinus
Gerhard, 1997). Menurut Prawirohardjo (1999), seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Sedangkan menurut
Farrer (2001), Sectio caesaria (SC) adalah suatu tindakan untuk
melahirkan bayi per abdominal dengan melalui insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus interior, biasanya yang sering dilakukan insisi segmen bawah tranversal, dilanjutkan dengan pendapat Cunningham (2006), sectio caesaria adalah melahirkan janin melalui insisi pada dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histeretomi). Jadi operasi Seksio Sesaria ( sectio caesarea ) adalah suatu pembedahan guna melahirkan janin ( persalinan buatan ), melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus bagian depan sehingga janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut dan dinding rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat (Alsatrio,2012) 2.3.1 Indikasi
Indikasi seksio sesarea antara lain : disproporsi janin-panggul, gawat janin, plasenta previa, pernah seksio sesarea, kelainan letak, partus tak maju, kehamilan dengan resiko tinggi, pre-eklampsia dan hipertensi (Prawirohardjo, 2005).
24
Sedangkan menurut Mochtar R (2002), indikasi sectio caesaria terbagi atas : 1.
Indikasi Ibu a) Plasenta previa sentralis dan lateralis (posterior). b) Panggul sempit. c) Disproporsi sefalo-pelvik: yaitu ketidakseimbangan antara ukuran kepala dengan panggul. d) Partus lama (prolonged labor) e) Ruptur uteri mengancam f) Partus tak maju (obstructed labor) g) Distosia serviks h) Pre-eklampsia dan hipertensi i) Disfungsi uterus j) Distosia jaringan lunak.
2. Indikasi janin dengan sectio caesarea: a) Letak lintang b) Letak bokong c) Presentasi rangkap bila reposisi tidak berhasil. d) Presentasi dahi dan muka (letak defleksi) bila reposisi dengan caracara lain tidak berhasil. e) Gemelli menurut Eastman, sectio caesarea di anjurkan: 1. Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu (shoulder presentation) 2. Bila terjadi interlok (locking of the twins)
25
3. Distosia oleh karena tumor. 4. Gawat janin f) Kelainan Uterus : Terdapat tumor di pelvis minor yang mengganggu masuk kepala janin ke pintu atas panggul.
2.3.2 Klasifikasi Sectio Caesaria Menurut Mochtar R (2002), tindakan sectio caesarea dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jeniS: 1. Sectio Caesaria Klasik Insisi di buat pada korpus uteri, pembedahan ini yang lebih mudah dilakukan, hanya diselenggarakan apabila ada halangan untuk melakukan sectio caesaria transperitonialis profunda. Sectio Caesaria Klasik dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm. 2. Sectio Caesaria iskemia rafunda Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim (Low servikal Transversal) kira-kira 10 cm.
Segmen bawah insisi melintang Pada bagian segmen bawah uterus dibuat insisi melintang yang kecil,
luka ini dilebarkan ke samping dengan jari-jari tangan dan berhenti di dekat daerah pembuluh-pembuluh darah uterus. Kepala janin yang pada sebagian besar kasus terletak dibalik insisi di ekstraksi atau di dorong, diikuti oleh bagian tubuh lainnya dan kemudian plasenta serta selaput ketuban.
26
Segmen Bawah : Insisi membujur Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus seperti pada
insisi melintang. Insisi membujur dibuta dengan skapel dan dilebarkan dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada bayi. 3. Sectio Caesaria Extraperitoenal (SCEP) Pembedahan ekstraperitoneal dikerjakan untuk menghindari perlunya histerektomi pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan mencegah peritonitis generalisasi yang bersifat fatal (Farrer,2001).
2.3.3
Manifestasi Klinis Menurut Prawirohardjo (1999), manifestasi klinis pada klien dengan post
sectio caesarea, antara lain : a) Kehilangan darah selama prosedur pembedahan 600-800 ml, b) Terpasang kateter : urine jernih dan pucat, c) Abdomen lunak dan tidak ada distensi, d) Bising usus tidak ada, e) Ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru, f) Balutan abdomen tampak sedikit noda, g) Aliran lokhia sedang dan bebas bekuan, berlebihan dan banyak.
27
2.3.4 Komplikasi Sectio Caesaria Komplikasi sectio caesaria menurut Farrer (2001), yakni : a. Nyeri pada insisi b. Perdarahan primer sebagai akibat kegagalan mencapai homeostatis karena insisi rahim atau akibat atonia uteri yang dapat terjadi setelah pemanjangan masa persalinan. c. Sepsis setelah pembedahan, frekuensi dari komplikasi ini lebih besar bila sectio caesaria dilaksanakan selama persalinan atau bila terdapat infeksi dalam rahim. d. Cidera pada sekeliling struktur usus besar, kandung kemih yang lebar e. Infeksi akibat luka pasaca operasi f. Bengkak pada ekstremitas bawah g. Gangguan laktasi h. Penurunan elastisitas otot perut dan otot dasar panggul, dan i. Potensi terjadinya penurunan kemampuan fungsional.
2.3.5 Penatalaksanaan Nyeri Pada Pasien Post operasi Sectio Caesaria Menurut Cunningham (2006) penatalaksanaan nyeri untuk klien post sectio caesarea meliputi : 1. Pentalaksanaan Farmakologi a. Meperidine/Petidine Terdapat berbagai macam analgesik opioid yang digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri (Sulistia, 2007). Salah satunya yakni Meperidine atau biasa dikenal dengan petidine.
28
Meperidin mempunyai efek farmakodinamik pada susunan saraf pusat. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian subkutan atau IM yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam. Pada saluran nafas, meperidine dalam dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi nafas sama kuat dengan morfin dan mencapai puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan IM. (Sulistia, 2007).
Farmakoinetik dari meperidin, yakni jalur pemberian meperidin sama seperti dengan morfin. Pada pemberian secara intramuskuler, meperidin diabsorbsi secara cepat dan komplit, dimana kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 20 – 60 menit. Bioavailabilitas secara oral mencapai 45% - 75%. Meperidin 64% terikat pada protein plasma, dengan lama kerja 2 – 4 jam dan waktu paruh eliminasinya adalah 3 – 4 jam. Rata – rata metabolisme meperidin adalah 17% per jam. Meperidin 80% dimetabolisir di hati melalui proses hidrolisis dan dimetilasi menjadi normeperidin dan asam meperidinat. Setelah mengalami konjugasi akan dikeluarkan melalui ginjal. Sebanyak 5% 10% meperidin diekskresi melalui ginjal tanpa mengalami perubahan, sedangkan kurang dari 10% diekskresi melalui sistem bilier (Sasongko,2005). Metabolisme meperidine terutama berlangsung dihati (Sulistia,2007).
29
b. Asam Mafenamat
Menurut Purnamasari (2012), Asam Mefenamat merupakan kelompok antiinflamasi nonsteroid bekerja dengan cara menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklo oksiginase sehingga mempunyai efek analgesik, antiinflamasi dan antipiretik. Karena Asam Mefenamat termasuk ke dalam golongan (NSAIDS), maka kerja utama (Farmakodinamik) dari obat ini kebanyakan nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAIDS) adalah sebagai penghambat sintesis prostaglandin, sedangkan kerja utama obat antiradang glukortikoid menghambat pembebasan asam arakidonat. Sedangkan farmakokinetik asam mafenamat, yakni Asam Mefenamat diabsorbsi dengan cepat dari saluran gastrointestinal apabila diberikan secara oral. Kadar plasma puncak dapat dicapai 1 sampai 2 jam setelah pemberian 2 x 250 mg kapsul asam mefenamat. Pemberian dosis tunggal secara oral sebesar 1000 mg memberikan kadar plasma puncak selama 2 sampai 4 jam dengan t ½ dalam plasma sekitar 2 jam (Purnamasari, 2012).
c. Kaltrofen
Kaltrofen
adalah obat yang mengandung ketoprofen dan
termasuk dalam golongan obat anti inflamasi non steroid (AINS), derivat asam propionat. Obat anti inflamasi non steroid merupakan
30
obat yang mempunyai efek analgesik (penghilang rasa sakit), antipiretik (penurun panas) dan antiinflamasi (menghilangkan pembengkakan). Farmakodinamik dari Kaltrofen yakni dengan cara menghambat sintesa prostaglandin, yang merupakan suatu zat yang dapat menyebabkan inflamasi (Chandra, 2010). Sedangkan Farmakokinetik dari Kaltrofen yakni Kaltrofen diabsorbsi dilambung dan waktu paruh plasma untuk mengabsorbsi yakni selama 2 jam (Chandra, 2010). Menurut Neeza (2010), Pemberian dosis dari kaltrofen yakni : - Kaltrofen 50 mg tablet : 1 tablet 3-4 kali sehari - Kaltrofen 100 mg tablet : 1 tablet 2-3 kali sehari atau menurut petunjuk dokter,sebaiknya diberikan bersamaan dengan makanan atau susu. - Kaltrofen OD 200 mg kapsul : 1 kapsul 1 kali sehari Bentuk sediaan pelepasan lambat sebaiknya tak digunakan untuk nyeri akut. - Kaltrofen 10 mg suppositoria : Jika dikombinasikan dengan preparat oral, maka pada umumnya dosis perhari adalah 1 supositoria yang dimasukkan ke dalam rektum. Jika tidak dikombinasikan, dosis lazim adalah 1 supositoria 2 kali sehari. Menurut Sunardi (2012) pemberian analgetik ketoprofen. suppositoria biasanya diberikan 2 kali/12 jam. - Injeksi Intra Muscular : 50 -100 mg tiap 4 jam, dapat diulangi hingga maksimum 200 mg dalam 24 jam. Diberikan secara injeksi intra
31
muskular dalam pada kuadran lateral atas bokong. Penggunaan secara injeksi sebaiknya tidak lebih dari 3 hari. Bila responnya baik, maka dapat dialihkan ke terapi oral dalam bentuk tabiet/kapsul. Penatalaksanaan medis pasien sectio lainnya yakni dengan pemberian oksitosin. Oksitosin merangsang otot polos uterus dan kelenjar mamae. Adapun efek farmakodinamik dan farmakokinetik Oksitosin Menurut Sulistia (2007) yang dikutip oleh Martin (2011) yakni : Farmakodinamik -
Efek pada mamae:
Menyebabkan kontraksi otot polos mioepitel → bersifat selektif dan cukup kuat pada pasca persalinan.
Sediaan oksitosin berguna untuk memperlancar ejeksi susu, serta mengurangi pembengkakan payudara pasca persalinan.
-
Efek Kardiovaskuler:
Relaksasi otot polos pembuluh darah (dosis besar)
Penurunan tekanan sistolik, warna kulit merah, aliran darah ke ekstremitas menurun, takikardi dan curah jantung menurun
Farmakokinetik
Hasil baik pada pemakaian parenteral
Cepat diabsorbsi oleh mukosa mulut → Efektif untuk pemberian tablet isap
32
Selama hamil ada peningkatkan enzim Oksitosinase atau sistil aminopeptidase → berfungsi mengaktifkan oksitoksin → enzim tersebut berkurang setelah melahirkan, diduga dibuat oleh plasenta.
Waktu paruh oksitosin sangat singkat, antara 3-5 menit. Oksitosin tidak terikat oleh protein plasma dan dieliminasi oleh ginjal dan hati (sulistia,2007)
2. Pentalaksanaan Non Farmakologi Menurut Cuningham (2006), pentalaksanaan non farmakologi nyeri dari pasien post sectio caesaria, adalah : a. Tanda-tanda vital Setelah dipindahkan ke ruang rawat, maka tanda-tanda vital pasien harus di evaluasi setiap 4 jam sekali. Jumlah urin dan jumlah darah yang hilang serta keadaan
fundus
uteri
harus
diperiksa,
adanya
abnormalitas
harus
dilaporkan.Selain itu suhu juga perlu diukur. b. Terapi cairan dan diet Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan, termasuk Ringer Laktat, terbukti sudah cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam pertama berikutnya. Meskipun demikian, jika output urin di bawah 30 ml perjam, pasien harus dievaluasi kembali. Bila tidak ada manipulasi intra abdomen yang ekstensif atau sepsis, pasien seharusnya sudah dapat menerima cairan per oral satu hati setelah pembedahan.Jika tidak, pemberian infus boleh diteruskan.Paling lambat pada hari kedua setelah operasi, sebagian besar pasien sudah dapat menerima makanan biasa.
33
c. Vesika urinaria dan usus Kateter sudah dapat dilepas dari vesika urinaria setelah 12 sampai 24 jam post operasi. Kemampuan mengosongkan urinaria harus dipantau sebelum terjadi distensi. Gejala kembung dan nyeri akibat inkoordinasi gerak usus dapat menjadi gangguan pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi. Pemberian supositoria rectal akan diikuti dengan defekasi atau jika gagal, pemberian enema dapat meringankan keluhan pasien. d. Ambulasi Pada hari pertama post operasi, pasien dengan bantuan perawat dapat bangun dari tempat tidur sebentar sekurang-kurangnya sebanyak 2 kali. Ambulasi dapat ditentukan waktunya sedemikian rupa sehingga preparat analgesik yang baru saja diberikan akan mengurangi rasa nyeri. Pada hari kedua, pasien dapat berjalan ke kamar mandi dengan pertolongan.Dengan ambulasi dini, trombosit vena dan emboli pulmoner jarang terjadi. e. Perawatan luka Luka insisi diinspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang relative ringan tampak banyak plester sangat menguntungkan.Secara normal jahitan kulit diangkat pada hari ke empat setelah pembedahan.Paling lambat pada hari ke tiga post partum, pasien sudah dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi. f. Laboratorium Secara rutin Ht diukur pada pagi hari setelah operasi, Ht harus segera dicek kembali bila terdapat kehilangan darah atau bila terdapat oliguri atau keadaan lain yang menunjukan hipovolemia. Jika Ht stabil, pasien dapat melakukan ambulasi tanpa kesulitan apapun dan kemungkinan kecil jika terjadi kehilangan darah lebih lanjut.
34
2.3.6 Nyeri pada ibu Post Operasi Sectio Caesaria Pada Proses operasi digunakan anastesi agar pasien tidak merasakan nyeri pada saat dibedah. Namun setelah operasi selesai dan pasien mulai sadar dan efek anastesi habis bereaksi, pasien akan merasakan nyeri pada bagian tubuh yang mengalami pembedahan. Pada operasi Sectio Caesaria ada 7 lapisan perut yang harus disayat. Sementara saat proses penutupan luka, 7 lapisan tersebut dijahit satu demi satu menggunakan beberapa macam benang jahit. Rasa nyeri didaerah sayatan yang membuat terganggu dan pasien merasa tidak nyaman (Walley, 2008). Nyeri post operasi akan meningkatkan stress post operasi dan memiliki pengaruh negatif pada penyembuhan nyeri. Kontrol nyeri sangat penting dilakukan sesudah pembedahan. Nyeri yang dibebaskan dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri dan kesesuaian analgesik harus digunakan untuk memastikan bahwa nyeri pasien post operasi dapat dibebaskan. (Potter dan Perry, 2006).
35
2.4 KERANGKA TEORI Tekhnik Relaksasi Nafas Dalam
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Teknik Relaksasi Nafas Dalam a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin b. Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh c. Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain
Respon tubuh : Nyeri 1. Respon Fisiologis 2. Respon Psikologis 3. Respon Perilaku Faktor-Faktor yang mempengaruhi Nyeri : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Usia Jenis kelamin Kebudayaan Makna nyeri Perhatian Ansietas Pengalaman masa lalu
Intensitas Nyeri : 0 = Tidak Nyeri 1 = Nyeri sedikit 2 = Nyeri 3 = Nyeri lebih berat 4 = Sangat Nyeri 5 = Nyeri Hebat
Skala Wajah
Pasien Sectio Caesaria
Gambar 2.6 Kerangka Teori
36
2.5 KERANGKA KONSEP Secara garis besar mengenai sistem keterkaitan antara konsep penelitian adalah sebagai berikut : Variabel Independen
Variabel Dependen
Teknik relaksasi nafas dalam
Nyeri Post-Operasi Sectio Caesaria
Gambar 2.7 Kerangka konsep Ket :
= Variabel yang diteliti
2.6 HIPOTESIS PENELITIAN Ha : Terdapat pengaruh antara teknik relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi sectio caesaria di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo.