7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Kepemimpinan Transformasional Pemimpin berasal dari kata “leader” dan kepemimpinan berasal dari kata “leadership”. Pemimpin adalah orang yang paling berorientasi hasil, dimana hasil tersebut akan diperoleh jika pemimpin mengetahui apa yang diinginkannya.1 Menurut A.M. Mangunhardjana, SJ. Secara etimologi, kepemimpinan berasal dari kata dasar pemimpin. Dalam bahasa Inggris, leadership yang berarti kepemimpinan, dari kata dasar leader berarti pemimpin dan akar katanya to lead yang terkandung beberapa arti yang saling erat berhubungan; bergerak lebih awal, berjalan di awal, mengambil langkah awal, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran-pikiran orang lain, membimbing, menuntun, dan menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya.2 Sedangkan definisi mengenai kepemimpinan yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, tergantung pada perspektif
yang
digunakan.
Kepemimpinan
dapat
didefinisikan
berdasarkan penerapannya pada bidang militer, olahraga, bisnis, pendidikan, industri dan bidang-bidang lainnya.
1
Donni Juni priansa dan Rismi Somad, Manajemen Supervisi dan Kepemimpinan Kepala Sekolah, Bandung: Alfabeta, 2014, h. 185. 2 Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012, h. 47. 7
8
Husnul Yakin mendefinisikan kepemimpinan sebagai sekumpulan dari serangkaian aktivitas, kemampuan atau kekuatan dana sifatsifat kepribadian dalam rangka mempengaruhi dan menyakinkan orang yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rasa rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin serta tidak merasa terpaksa sehingga tercapai suatu tujuan.3 Sedangkan menurut Triantoro Safaria mengutip pendapat Joseph C. Rost kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya4 Kepemimpinan menurut Yukl, adalah sebuah proses memberikan arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.5 Dari definisi yang berbeda-beda tersebut mengandung kesamaan asumsi yang bersifat umum, seperti di dalam satu fenomena kelompok melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih; di dalam melibatkan proses mempengaruhi, di mana pengaruh yang sengaja digunakan oleh pemimpin terhadap para bawahan dan juga mempunyai makna dan tujuan yang sama yaitu bagaimana menciptakan suasana lingkungan, pemikiran dan tindakan para staff atau team work agar dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan visi, misi dan tujuan organisasi.
3
Husnul Yakin, Administrasi dan Manajemen Pendidikan, Banjarmasin: Antasari Press, 2011, h. 160. 4 Triantoro Safaria, Kepemimpinan, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004, h. 62. 5 Imam Musbikin, Menjadi Kepala Sekolah Yang Hebat, Pekanbaru: Zanafa Publishing, 2013, h. 261.
9
Kepemimpinan dalam Islam meliputi banyak aspek atau bahkan meliputi segala aspek kemanusiaan karena seorang pemimpin dalam perspektif Islam memiliki fungsi ganda. Pertama, ia sebagai seorang khalifatullah
(wakil
Allah)
dimuka
bumi
yang
dituntut
untuk
merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Kedua, sebagai abdullah (hamba Allah) yang patuh serta senantiasa terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah.6 Menurut Said Agil Husin mengutip pendapat Ibnu Khaldum, Khilafah adalah kepemimpinan. Khilafah berubah menjadi pemerintahan berdasarkan kedaulatan.7 Dengan demikian, menurut Said Agil Husin istilah khilafah ada kaitannya dengan pengertian khalifah dalam alBaqarah/2:30.8 Sebagaimana firman Allah swt :
)30( ...َوِا ْذ َو َوا َوُّب َو ِاْذ َو َوِا َو ِا ِا يِّن َو ِاا ٌل ِا ْذاَوْذ ِا َو ِاْذْي َو ًة ى Artinya :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”.... (al-Baqarah/2:30)9
Ayat di atas lebih lanjut dijelaskan oleh Said Agil Husin bahwa khalifah adalah manusia dibumi untuk mengemban amanat dari Tuhan (alAhzab/33:72).10 Manusia mengemban amanat kekhalifahan karena kualitas
6
Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam, ... h. 175. Abdul Halim (ed), Al-Qur’an, Membangunan Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2004, cet ke-3, h. 196. 8 Ibid, h. 196. 9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, Semarang: PT.Karya Toha Putra, 1996, h. 11. 10 Artinya : sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka 7
10
kemampuannya dalam berpikir, menangkap, dan mempergunakan simbolsimbol komunikasi (al-asma’a kullaha).11 Menurut Baharuddin dan Umiarso dalam bukunya Kepemimpinan Pendidikan Islam mengutip pendapat Ali Syari‟ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari‟ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari‟ati pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil. Tanpa pemimpin, umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi.12 Kepemimpinan dalam Islam punya rujukan naqliyah, artinya ada isyarat-isyarat al-Qur‟an yang memperkuat perlu dan pentingnya kepemimpinan dalam sistem sosial. Selain itu, kepemimpinan dalam arti khalifah dan khilafah sudah terpraktekkan bahwa dalam kepemimpinan ini ada prinsip-prinsip yang harus dilakukan yaitu adanya keadilan (al’adl), amanah (amanah), dan musyawarah (syura’)13 Tantangan dalam pembinaan terhadap individu pada sebuah lembaga yang jelas terutama terletak pada organisasi disatu sisi dan tergantung pada kepemimpinan. Salah satu dari beberapa gaya kepemimpinan dalam pola perubahan di organisasi pendidikan adalah gaya
semua enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. ... (al-Ahzab/33:72) 11 Abdul Halim (ed), Al-Qur’an, Membangunan Tradisi ... h. 196. 12 Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam, ... h. 175. 13 Abdul Halim (ed), Al-Qur’an, Membangunan Tradisi ... h. 197.
11
Kepemimpinan transformasional.14 Model kepemimpinan ini mampu mendatangkan perubahan di dalam diri setiap individu yang terlibat dalam organisasi untuk mencapai sasaran organisasi. Teori
kepemimpinan
transformasional
ini
pertama
kali
dikemukakan oleh James McGregor Burn yang menerapkannya dalam konteks politik. James McGregor Burns mengatakan : Transfromational leadership as a process where leader and followers engange in a mutual process of raising ane another to higer levels of morality and motivation. (Kepemimpinan transformasional sebagai proses dimana pemimpin dan pengikutnya bersama-sama saling meningkatkan dan mengembangkan moralitas dan motivasinya)15. Dalam kepemimpinan ini terdapat hubungan antar manusia, yaitu hubungan mempengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuhanketaatan para pengikut/bawahan karena dipengaruhi oleh kewibawaan pemimpinnya, dan bangkitlah secara spontan rasa ketaatan pada pemimpin. Sebagaimana dikatakan Donni Juni Priansa dan Rismi Somad mengutip
pendapat
Hughes
menyatakan
bahwa
kepemimpinan
transformasional memiliki visi, keahlian retorika, dan pengelolaan kesan yang baik dan menggunakannya untuk mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan pengikutnya.16 Lebih lanjut Donni Juni Priansa dan Rismi Somad mengatakan pemimpinan transformasional diyakini lebih 14
Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam, ... h. 222. 15 Muksin Wijaya, Kepemimpinan Transformasional di Sekolah dalam Meningkatkan Outcomes Peserta Didik, Jurnal Pendidikan Penabur - No.05/ Th.IV / Desember 2005. Diakses http://www.scribd.com/doc/23631758/Kepemimpinan-Transformasional#scribd online tanggal 21Juni 2015. 16 Donni Juni Priansa dan Rismi Somad, Manajemen Supervisi ... h. 231.
12
berhasil dalam mendorong perubahan organisasi karena tergugahnya emosi pengikut serta kesediaan mereka untuk bekerja mewujudkan visi sang pemimpin.17 Menurut Joko Rizkie Widokarti menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk
melakukan
tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.18 Kepemimpinan transformasional merupakan sebuah proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Pemimpin transformasional mencoba menimbulkan kesadaran para pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kejayaan, kebersamaan, dan kemanusiaan,
bukan
didasarkan
atas
emosi
seperti
keserakahan,
kecemburuan atau kebencian. Oleh sebab itu, seorang pemimpin transformasional adalah seorang yang mempunyai keahlian diagnosis, selalu meluangkan waktu dan mencurahkan perhatian dalam upaya untuk memecahkan masalah dari berbagai aspek serta mempersiapkan sesuatu di masa yang akan datang untuk kepentingan lembaga pendidikan Islam sendiri.19 Seorang pemimpin dikatakan transformasional diukur dari tingkat kepercayaan, kepatuhan, 17
Ibid. h. 231-232 Joko Rizkie Widokarti, Kepemimpinan transformatif ... h. 5-6. 19 Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam, ... h. 224. 18
13
kekaguman,
kesetiaan,
dan
rasa
hormat
para
pengikutnya.20
Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan di mana para pemimpin menggunakan kharisma mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasinya.21 Para pengikut pemimpin transformasional akan termotivasi untuk melakukan hal yang lebih baik lagi untuk mencapai sasaran organisasi. Dari hasil penelitiannya, Devanna dan Tichy mengemukakan beberapa karakteristik dari pemimpin transformasional yang efektif, antara lain : 1. Mereka mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai agen perubahan, 2. Mereka mendorong keberanian dan pengambilan risiko, 3. Mereka percaya pada orang-orang, 4. Mereka dilandasi oleh nilai-nilai, 5. Mereka adalah seorang pembelajar sepanjang hidup (life longs learners), 6. Mereka memiliki kemampuan untuk mengatasi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian, 7. Mereka juga adalah seorang pemimpin visioner.22 Kepemimpinan
transformasional
akan
mampu
untuk
diimplementasikan jika berpedoman pada prinsip-prinsip kepemimpinan transformasional. Menurut Erik Rees, dalam judul artikelnya Seven Principles of Transformational Leadership, menyatakan paradigma baru kepemimpinan transformasional mengangkat tujuh prinsip menciptakan kepemimpinan yang sinergis, yaitu : 1. Principle of Simplification Successful leadership begins with a vision, which reflects the shared purpose. The ability to articulate a clear, practical, 20
Ibid, ... h. 223. Joko Rizkie Widokarti, Kepemimpinan transformatif ... h. 5. 22 Triantoro Safaria, Kepemimpinan, ... h. 62-63. 21
14
transformational vision which answers the question, "Where are we headed?" Stories teach this idea – the stonecutters’ tale: The first stonecutter says, "I’m cutting stone," the second says, "I’m carving a cornerstone," but the third says, "I’m building a concert hall." The third has vision. Where do seminary students see themselves – impacting their local church, their community, thenati on, or the world? For any team, discussing goals, objectives and vision unifies the members. 2. Principle of Motivation The ability to gain the agreement and commitment of other people to the vision. Once the transformational leader is able to bring synergy to the organization he must then use various means to energize (motivate) the staff. A common way to motivate others is to challenge them, provide ample opportunity to join the creative process, and give them the credit. 3. Principle of Facilitation The ability to effectively facilitate the learning of individuals, teams, and other reliable and reputable resources. Peter Senge in The Fifth Discipline says the primary job of leadership now is to facilitate the learning’s of others. The inborn quest of humans (staff) to learn more and more becomes the leaders greatest asset to address organizational challenges. Transformational leaders have been given a sacred trust of being stewards of their staff’s intellectual capital. 4. Principle of Innovation The ability to boldly initiate prayerful change when needed. An effective and efficient organization requires members to anticipate change and not fear it. Leaders must initiate and respond quickly to change. Team members successfully influence one another to assimilate change because the transformational leaders have build trust and fostered teamwork. 5. Principle of Mobilization The ability to enlist, equip and empower others to fulfill the vision. Transformational leaders look for willing participants who have already been given formal leadership responsibilities and also among people who have not. They desire leadership at all levels, so they find ways to invite and ignite leadership all levels. They introduce simple baby steps to enlist larger participants. 6. Principle of Preparation The ability to never stop learning about themselves with and without the help of others. Rick Warren says, "Leaders are learners." Transformational leaders realize that the transformation they pursue in is a reflection of their own spiritual
15
quest--that they must serve the world through their giftedness because that is the only way they truly fulfill their life mission. With this mindset, moments of being stuck become moments of total dependence on God. This is such a rigorous path of learning that transformational leaders must be in thriving relationships with others pursuing transformation. It is within these vital relationships, life opportunities and obstacles get saturated in love and support. 7. Principle of Determination The ability to finish the race. A leaders missions is sometime difficult and their journey often lonely. Leaders depend on their stamina, endurance, courage and strength to finish each day. Because their focus is not only on raising their own leadership but the development of others, the most rigorous and humbling of all human endeavors, transformational leaders experience times of self doubt, grief and fatigue. Transformational leaders have to develop spiritual, emotional, and physical disciplines to sustain their high level of commitment to their cause.23 Ketujuh prinsip kepemimpinan transformasional tersebut bersinergi satu dengan lain secara utuh, seperti yang tampak pada gambar berikut ini:
Simplikasi Komitmen Motivasi
Prinsip Kesiagaan Memfasil itasi Mobilitas Inovasi
Gambar 1.2 Prinsip-prinsip kepemimpinan Transformasional 24
23
Erik Rees, Seven Principles of Transformational Leadership -- Creating A Synergy of Energy http://web.archive.org/web/20020907224915/ http://www.pastors.com/articles/Seven Transformation. asp 10/3/2010. online tanggal 14 April 2015. 24 Donni Juni Priansa dan Rismi Somad, Manajemen Supervisi ... h. 235.
16
Dengan ketujuh prinsip tersebut, kepemimpinan transformasional dilembaga pendidikan Islam untuk terus menggiring komponen lembaga pendidikan Islam yang dipimpinnya ke arah stage pertumbuhan sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi pendidikan Islam, pengembangan visi pendidikan Islam secara bersama, pendistribusian kewenangan kepemimpinan terhadap
anggota atau
staf
lembaga
pendidikan Islam, dan membangun Budaya peningkatan mutu diorganisasi lembaga pendidikan Islam yang menjadi keharusan dalam skema restrukturisasi lembaga.
2. Konsep Pembinaan Toleransi Budaya Toleransi sesungguhnya berkembang dalam kerangka adanya keberagaman, utamanya adalah keberagaman agama dan budaya termasuk di dalamnya kebiasaan-kebiasaan, tradisi atau adat istiadat yang menyertainya. Oleh sebab itu semakin besar keberagaman suatu bangsa atau suatu masyarakat, maka akan semakin besar pula tuntutan bagi keharusan pengembangan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan masyarakat dan individu, sehingga akan dapat terwujud keserasian dan keharmonisan hidup, jauh dari konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan sosial, lebihlebih lagi pertentangan dan permusuhan antar sesamanya dalam masyarakat. Toleransi adalah penghormatan, penerimaan atau penghargaan tentang keragaman yang kaya akan kebudayaan dunia, bentuk ekspresi
17
dan tata cara sebagai manusia. Hal itu dipelihara oleh pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, dan kebebasan pemikiran, kata hati dan kepercayaan. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan.25 Dalam pengertian yang luas toleransi lebih terarah pada pemberian tempat yang luas bagi keberagaman dan perbedaan yang ada pada individu atau kelompok-kelompok lain. Oleh sebab itu, tidak benar bilamana toleransi dimaknai sebagai pengabirian hak-hak individu atau kelompok tertentu untuk disesuaikan dengan kondisi atau keadaan orang atau kelompok lain, atau sebaliknya mengorbankan hak-hak orang lain untuk dialihkan sesuai dengan keadaan atau kondisi kelompok tertentu. Toleransi justru sangat menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing individu atau kelompok tersebut, namun di dalamnya diikat dan disatukan dalam kerangka kebersamaan untuk kepentingan yang sama. Di era globalisasi, umat manusia dihadapkan dengan hubungan antar person atau juga umat manusia didunia tanpa batas, ketergantungan menjadikan
manusia
harus
senantiasa
membuka
jalan
untuk
menghilangkan perbedaan. Maka dalam hal ini toleransi antar suku, etnis, ras, dan agama sangat perlu untuk disosialisasikan. Toleransi berasal dari kata dasar „toleran‟ yang berarti bersifat dan bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan,
membolehkan)
pendirian
(pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau 25
Disadur dari Jurnal Visi Ilmu Pendidikan oleh Busra Endang, h.90 menurut UNESCOAPNIEVE. (2000). Belajar Untuk Hidup Bersama dalam Damai dan Harmoni. Kantor Prinsipal Uniesco untuk Kawasan Asia Pasifik, Bangkok & Universitas Pendidikan Indonesia.
18
bertetangga dengan pendirian sendiri.26 Dalam bahasa arab, kata toleransi disebut tasammuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada.27 Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.28 Bahari mengutip pendapat A. Zaki Badawi mengatakan tasammuh (toleransi) adalah pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beranekaragaman, meskipun tidak sependapat dengannya.29 Sikap toleransi berarti sikap yang rela menerima dan menghargai perbedaan dengan orang atau kelompok lain. Sikap toleran sangat penting ditumbuhkembangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat mahasiswa khususnya yang multiBudaya. Dengan pengembangan sikap toleransi, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan keberagaman sosial budaya akan dapat dikendalikan, sehingga tidak mengarah pada pertentangan sosial yang dapat mengancam disintegrasi. Kenyataan keragaman Budaya perlu dipahami sebagai nilai positif dan merupakan rahmat Allah swt kepada manusia. Sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Quran :
26
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, h.1204 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Yogyakarta, PP Krapyak, 1994, h.702 28 http://id.wikipedia.org/wiki/Toleransi, online tanggal 16 April 2015. 29 Bahari, Toleransi Beragama .... h. 51. 27
19
ى ِا َّن
س ِانَّ َو َو ْذقنَو ُك ْذم ِام ْذن َو َوك ٍر َو ُنْذْيثَوى َو َو َو ْذقنَو ُك ْذم ُشعُ ْذوًة َو َوْيبَوآئِا َو ِاتَوْي َوع َوفُْي ْذو ُ َّيَوآَويْيُّب َوه ن )13( َو ْذكَورَوم ُ ْذم ِااْذن َو اِا َوْذْي َوق ُ ْذم ى ِا َّن اَو َواِاْذ ٌلم َو بِاْذْيٌلر
Artinya :
“Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal”. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.30
Ayat itu menegaskan bahwa pluralitas etnik, ras, budaya, dan bahasa menjadi sarana untuk saling mengenal antara satu dengan yang lain, bukan menjadi ukuran kemuliaan karena kemuliaan itu hanya ditakar menurut tingkat spiritualitas atau ketakwaan.31 Berdasarkan ayat diatas jelas bahwa keberagaman memanglah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri oleh manusia. Karena ini merupakan Sunnatullah yang patut disyukuri. Perbedaan seperti ini seharusnya tetap dijaga sebagai rasa syukur atas keberagaman multiBudaya, bukan sebagai pemicu permusuhan dan sebagainya. Sebab, perbedaan ini pada dasarnya hanya perbedaan didunia, sedangkan pada pandangan Allah SWT, perbedaan yang nampak hanyalah perbedaan manusia pada tingkat spiritualitasnya. Mengingat berbagai riwayat pula, diketahuai bahwa Rasulullah pun begitu menyukai adanya keberagaman, seperti bagaimana Rasulullah
30
Al-Hujuraat, [49], 13 Mukhlis, Menimbang Kompatibelitas MultiBudayaalisme dan Islam: Ikhtiar Menggagas Pendidikan MultiBudayaal Islam di Indonesia, Ulumuna, Jurnal Studi Keislaman, Volume XII Nomor 2 Desember 2008, h. 207. 31
20
menyatukan kabilah-kabilah yang ada bergotong royong memperbaiki Ka‟bah. Namun tidak ada yang berani menyentuh Hajar aswad pada saat peletakan Hajar Aswad. Ketika semuanya selesai Bani Abdud Durar dan Syam membawa baskom berisi darah. Baskom darah merupakan simbol bahwa mereka akan mengerjakan sesuatu hingga titik darah penghabisan. Suasana genting tersebut berlangsung selama kurang lebih 5 hari. Sebagaimana yang digambarkan Syeikh Ali Jum‟ah mengutip kitab Sirah Ibnu Ishaq dalam artikelnya : Salah satu manifestasi toleransi yang dicontohkan adalah kerjasama Rasulullah Saw dengan kaumnya sebelum misi kenabian yaitu membantu menjaga darah mereka, meredam konflik di antara mereka, dan mencegah datangnya keburukan yang mengintai mereka. Saat Rasulullah Saw berusia 35 tahun, kaum Quraisy membangun kembali Ka'bah dan membagi pelaksanaannya menjadi empat bagian, untuk empat kabilah. Ketika mereka sampai pada tahap meletakkan hajar aswad, semua kabilah kemudian bertikai, siapa di antara mereka yang berhak untuk meletakkan batu mulia tersebut, hampir saja mereka saling membunuh gara-gara persoalan ini. Kemudian mereka sepakat untuk menyerahkan keputusan kepada seorang bani Hasyim yang pertama kali masuk. Dan ternyata orang itu adalah Rasulullah Saw. Maka mereka lantas berkata, “Itu adalah Muhammad, inilah seorang yang jujur dan dapat dipercaya, kami ridha dengan keputusannya.” Rasulullah Saw pun lantas memutuskan persoalan itu. Beliau Saw kemudian membentangkan sorbannya dan menempatkan hajar aswad di atasnya, lalu beliau memerintahkan masing-masing tetua suku yang empat untuk memegang ujung sorbannya. Mereka lantas mengangkat hajar aswad itu menuju tempatnya bersama-sama. Sesampainya di tempat Hajar Aswad, beliau mengambil dengan tangannya yang suci dan meletakkan hajar aswad di tempatnya.32
32
Syeikh Ali Jum‟ah, Model-model Kerukunan dengan Sesama, http://www.taqrib.info/indonesia/model-model-kerukunan-dengan-sesama (online 16 Februari 2015). Bandingkan Sirah Muhammad (Sejak sebelum lahir hingga detik terakhir kehidupan sang Nabi Saw) Terjemah Maulana Imam Nawawi Al-Ghafury dan Zainuddin Al-Madury, Jakarta, Abdika Press: 1993, h. 99-101.
21
Sehingga dari sini manusia bisa saling membuka diri untuk berkerjasama, dan terbuka kesempatan untuk saling belajar, dan mencari titik-titik temu untuk mengembangkan etika sosial yang mengangkat kehidupan bersama. Tak ada manusia yang tidak menginginkan kehidupan yang rukun antar sesamanya dan kehidupan yang aman di dalam lingkungannya. Sebab itulah harus ada cara yang dilakukan agar semua ini dapat tercapai. Salah satu yang menjadi dasar tercapainya keadaan tersebut yaitu dengan menumbuhkan rasa toleransi. Toleransi merupakan key word terwujudnya civil society di tengahtengah masyarakat. Manakala toleransi dapat terwujud, maka dengan mudah gerbang kerukunan akan berjalan dengan lancar. Namun sebaliknya tatkala toleransi tercabik-cabik dari pemahaman masyarakat itu sendiri, maka akan sulit terwujud situasi dan kondisi yang mencerminkan kerukunan, bahkan tidak jarang menimbulkan anarkhisme, radikalisme maupun terorisme. Menurut Kristiawan mengutip pendapat Aryanto Sutadi, konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial. Dalam hal ini dapat dibedakan antara konflik yang bersifat
22
horisontal
dan
vertikal,
dimana
keduanya
sama-sama
besarnya
berpengaruh terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini.33 Untuk itu perlu disadari bahwa setiap suku yang majemuk tidak sama dalam hal pergaulan, tetapi setiap suku selalu mengajarkan tentang toleransi, dan diperlukan kesediaan menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, berbudaya, dan berkeyakinan agama yang berbeda. Keanekaragaman itu indah bila kita menyadari dan mensyukuri setiap perbedaan yang ada dan menjadikan perbedaan itu sebagai warnawarni kehidupan seperti halnya pelangi yang terdiri dari warna-warna yang berbeda namun menyatu untuk memancarkan keindahan. Menurut
Busra
Endang
mengutip
pendapat
Soedomo
mengemukakan Perubahan adalah suatu keharusan, karena diinginkan atau tidak diinginkan perubahan itu mutlak terjadi. Perubahan sosial dan masyarakat yang diharapkan adalah perubahan yang sekecil mungkin mengandung resiko munculnya pertikaian, konflik-konflik sosial serta berbagai bentuk gejolak dalam masyarakat.34 Lebih lanjut Busri Endang mengutip pendapat filosof Isaiah Berlin seperti diungkapkan Tilaar, mengemukakan bahwa yang diperlukan dalam masyarakat bukan sekedar mencari kesamaan dan kesepakatan yang tidak
mudah untuk dicapai.
Justru yang paling penting di dalam masyarakat yang berbhinneka adalah adanya saling pengertian.35Oleh sebab itu pada waktu bersamaan,
33
Kristiawan, Upaya Mengatasi Konflik Horisontal Dalam Kemajemukan Bangsa Indonesia, https://dhd45jateng.wordpress.com Online 6 Februari 2015. 34 Busra Endang, Jurnal Visi Ilmu Pendidikan, h.90, t.d. 35 Ibid, h.90
23
perubahan disatu sisi dan upaya pelestarian nilai-nilai positif yang mengarah pada tumbuhnya sikap toleransi dan kebersamaan pada sisi yang lain harus dilakukan. Adapun cara untuk menerima dan menghargai orang lain atau suku bangsa lain yang berbeda latar belakang budaya dapat dilakukan sebagai berikut: a. Kita perlu menerima dan menghargai orang lain/suku bangsa lain sebagai dari bangsa Indonesia. b. Kita perlu menerima dan menghargai orang lain/suku bangsa lain sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial ciptaan Tuhan Yang Maha Esa c. Kita perlu menerima dan menghargai orang lain/suku bangsa lain sebagai manusia yang memiliki kelebihan dan keterbatasan dalam hal-hal tertentu. d. Kita perlu menerima dan menghargai orang lain/suku bangsa lain sebagai manusia yang memiliki persamaan kedudukan, harkat, martabat, dan derajat, serta hak dan kewajiban asasi. e. Kita perlu menerima dan menghargai orang lain/suku bangsa lain sebagai pemilihan dan penghuni tanah air Indonesia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa f. Kita perlu menerima dan menghargai orang lain/suku bangsa lain sebagai manusia yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda dalam ras, suku bangsa, bahasa, adat-istiadat, profesi, golongan politik dan sebagainya.36 Adanya dinamika perbedaan, perkembangan manusia akan mencapai pada tingkat maksimal, terutama kaitan bahwa manusia tidak bisa dilepaskan dengan yang lain.
3. Toleransi di Kalangan Mahasiswa Kehidupan keseharian sosial dilingkungan kampus khususnya di Ma’had al-Jami’ah yang majemuk, adanya pertemuan antarbudaya 36
Tatang Husen, Toleransi dan Empati Sosial Terhadap Keragaman Budaya, http://tatanghusen.blogspot.com. Online 17 Nopember 2014
24
merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Dalam interaksi yang dilakukan mahasiswa, pertemuan dengan budaya lain adalah sebuah keanekaragaman dan merupakan rutinitas yang tidak bisa bisa dihindari, sehingga interaksi antarbudaya harus terjadi. Proses interaksi sebagian besar dipengaruhi oleh perbedaan Budaya, orang-orang dari Budaya yang berbeda akan berinteraksi secara berbeda pula, akan tetapi perbedaan Budaya ini diharapkan tidak dijadikan sebagai penghambat proses interaksi dalam budaya yang berbeda. Interaksi harus berjalan satu sama lain dalam anggota masyarakat yang berbeda budaya terlepas dari mereka sudah saling mengenal atau belum. Kenyataan kehidupan di lingkungan Ma’had al-Jami’ah yang menunjukan bahwa mahasiswa tidak hanya berhubungan dengan orang yang berasal dari satu suku, akan tetapi juga dengan orang yang berasal dari suku lainnya. Upaya untuk memupuk nilai-nilai toleransi harus dilakukan dalam berbagai aktivitas dan lingkungan . Dalam lingkungan masyarakat seperti Ma’had al-Jami’ah yang ada di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya, merupakan bentuk sistem sosial yang di dalamnya terdiri dari komponen-komponen mahasiswa dengan berbagai latar; ekonomi, lingkungan keluarga, kebiasaan-kebiasaan, keinginan, citacita dan minat yang berbeda. Hal ini menjadi sangat penting, karena demikian banyak kepentingan yang terdapat di dalamnya. Benturanbenturan akan terjadi bilamana tidak adanya saling pengertian serta kebersamaan.
25
Setiap perbedaan tidak mustahil dalam diri mahasiswa terjadi benturan-benturan kepentingan yang juga dapat mengarahkan kepada konflik-konflik kepentingan, dan oleh sebab itu perlu upaya-upaya yang secara sengaja dan terus menerus diarahkan. Penghormatan terhadap keberagaman mengandung pengertian bahwa setiap orang dituntut untuk mampu melihat perbedaan yang ada pada orang lain atau kelompok lain sebagai sesuatu yang tidak harus dipertentangkan dengan apa yang ia miliki. Sesuatu karakteristik yang berbeda pada orang lain tersebut hendaknya dipandang sebagai bagian yang memberikan kontribusi bagi semakin kaya dan luasnya kebiasaan dan budaya secara keseluruhan. Ini berarti bahwa di dalam perbedaanperbedaan yang sesungguhnya memiliki nilai manfaat bilamana dapat digali dan dipahami dengan kearifan. Selama ini terkesan bahwa keberagaman sebagian individu tidak sejalan dengan sifat-sifat Allah, padahal salah satu defenisi keberagaman tertua dan masih relevan hingga kini adalah defenisi Sneca (455M) yang menyatakan bahwa keberagaman adalah upaya meneladani Tuhan dalam sifat-sifat Nya37 Dalam Al-Quran dinyatakan :
.... 37
Disadur dari Busri Endang, mengutip pendapat Quraisy Shihab, Pendidikan Agama, Etika dan Moral, Mimbar Pendidikan, Jurnal Pendidikan, No.1 Tahun XX 2001 h.21
26
Artinya : “.....Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. 38 Penegasan terhadap makna toleransi dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam lingkungan ma’had al-Jami’ah sebagai salah satu bentuk dari suatu sistem sosial menjadi penting adanya, sebab jangan sampai terjadi penolakan terhadap nilai-nilai toleransi hanya dikarenakan individu atau kelompok merasa cemas dan khawatir bahwa dengan toleransi itu menjadi bentuk perendahan diri dan pemujaan terhadap orang lain. Lingkungan Ma’had al-Jami’ah sebagaimana halnya dengan lingkungan masyarakat, juga memiliki banyak keberagaman terutama berkenaan dengan kehidupan dan aktivitas mahasiswa. Mahasiswa yang menetap di Ma’had al-Jami’ah cenderung membawa atau sekurangkurangnya banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dalam berbagai bentuk kebiasaan-kebiasaannya serta lingkungan masyarakat dengan latar budayanya, dan sudah barang tentu dipengaruhi pula oleh nilai-nilai agama yang mereka anut. Kesemuanya ini akan tercermin dalam bentuk sikap dan perilaku sehari-hari di Ma’had al-Jami’ah.
38
Al-Maidah [5], 48.
27
Oleh sebab itu dikalangan mahasiswa juga sangat penting dikembangkan nilai-nilai toleransi, agar mereka dapat menghormati dan menerima perbedaan-perbedaan orang lain, menghargai kebebasankebebabasan fundamental mahasiswa lainnya, tanpa perendahan diri apalagi menghilangkan hak-hak individu dirinya. Beberapa pendapat terdahulu dapat dikembangkan bahwa toleransi di kalangan mahasiswa diartikan sebagai penghormatan, penerimaan dan penghargaan tentang keberagaman, kebiasaan-kebiasaan, budaya serta perbedaan kemampuan mahasiswa-mahasiswa dan unsur-unsur lain yang ada
dilingkungan
ma’had
al-Jami’ah
dalam
upaya
terciptanya
kebersamaan dan keharmonisan bersama. 4. Ma’had Al-Jami’ah IAIN Palangka Raya Penamaan Ma’had untuk bangunan tempat tinggal mahasiswa adalah dikarenakan ingin memberikan kesan yang berbeda. Menurut Imam Suprayogo, “asrama” berkonotasi hanya sebagai tempat pindah tidur bagi mahasiswanya. Tidak juga dinamakan dengan “pondok pesantren (ponpes)”. Walaupun secara budaya, term “ma’had” dapat mengacu pada “ponpes”. Penamaan istilah ini lebih ditekankan bahwa “ma’had” itu bukan hanya sekedar “ponpes”, tempat mengaji kitab klasik sebagaimana umumnya. Namun lebih dari itu, yaitu kolaborasi antara sistem salafi dengan sistem modern.39
39
Taufiqurrochman, Narasi Indah Perjalanan Hidup dan Pemikiran Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, Malang : UIN Maliki Press. 2010, h.169
28
“Payung makna” yang sama dengan term “Ma’had al-Jami’ah”. Di antaranya adalah “Kos”, “Pondok Pesantren”, “Asrama” dan “Rusunawa (Rumah Susun Mahasiswa)”. Kesemua leksikon tersebut tercakup dalam satu makna besar, “tempat tinggal mahasiswa (TTM)”. Tentunya, termterm tersebut bersifat lokal universal. Artinya bisa sangat luas, namun juga dapat bersifat lokalitas, hanya merujuk pada pemakainya. Maka, untuk menyamakan persepsi, sebelum analisis komponen makna dilakukan terlebih dahulu akan dibahas tentang definisi operasional Pertama adalah leksikon kos leksikon ini semakna dengan indekos. Yang dimaksud kos adalah tinggal dirumah orang lain dengan atau tanpa makan (dengan membayar setiap bulan). Kedua adalah leksikon pondok pesantren. Yang dimaksud pondok pesantren adalah madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam). Definisi ini tentu sangat umum, dan mampu mencakup semua varian pondok pesantren. Ketiga adalah asrama. Yang dimaksud asrama adalah bangunan tempat tinggal bagi kelompok orang untuk sementara waktu, terdiri atas sejumlah kamar, dan dipimpin oleh seorang kepala asrama. Keempat adalah leksikon rusunawa (rumah susun mahasiswa). Leksikon ini bermakna gedung atau bangunan bertingkat terbagi atas beberapa tempat tinggal (masing-masing untuk satu keluarga); flat. Namun, tentu yang tinggal di dalamnya bukan sembarang orang, akan tetapi hanya mahasiswa sebuah perguruan tinggi.40 Pada sisi yang lain, pendidikan tinggi-khususnya perguruan tinggi sebagai sebuah institusi
40
Ibid, h.169
29
pendidikan mulai banyak dipertanyakan efektifitasnya, terutama dalam aspek penanaman nilai-nilai moral, susila dan sosial. Banyak pihak menilai bahwa sumber permasalahannya adalah miskinnya orientasi. Adalah ironi, apabila kuantitas lembaga-lembaga tinggi yang terus melaju tinggi, justru berbanding lurus dengan tingkat kemerosotan moral, susila dan sosial dimasyarakat, menambah kompleksnya permasalahan pengangguran terdidik dan kriminalitas pendidikan41. Dari dua sisi kenyataan di atas, menghadirkan pesantren di kampus maupun mendirikan kampus di pesantren (secara sederhana dapat disebut mempesantrenkan kampus dan mengkampuskan pesantren) adalah sebuah ikhtiar yang masuk akal, aktual dan ideal. Dan agar tidak berhenti pada jargon semata dan sekaligus sebagai sarana untuk menjamin berlangsungnya transformasi nilai-nilai luhur pesantren dari dan kepada nilai-nilai unggul kampus secara integratif maka kehadiran fisik pesantren menjadi sangat urgent. Salah satu ikhtiar menuju ke sana adalah dengan mendirikan dan mengelola pesantren kampus bernama Ma’had al-Jami’ah. Kepemimpinan Ma’had al-Jami’ah IAIN Palangka Raya berperan sangat penting dalam manajemen karena unsur manusia merupakan variabel yang teramat penting dalam organisasi. Seperti dikemukakan di atas bahwa yang terlibat dan bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan organisasi terdiri dari para manajer, para supervisor, dan para pelaksana. Manusia
41
Ibid, h.169
memiliki
karakteristik
yang
berbeda-beda
mempunyai
30
kepentingan masing-masing, yang bahkan saling berbeda dan berakibat terjadi konflik. Perbedaan kepentingan tidak hanya antar individu di dalam organisasi, tetapi juga antara individu dengan organisasi di mana individu tersebut berada. Sangat mungkin bahwa perbedaan hanya dalam hal yang sederhana, namun ada kalanya terjadi perbedaan yang cukup tajam. Tanpa kepemimpinan yang baik, hal-hal
yang telah ditetapkan dalam
perencanaan dan pengorganisasian tidak akan dapat direalisasikan. Kepemimpinan sangat diperlukan agar semua sumberdaya yang telah diorganisasikan dapat digerakkan untuk merealisasikan tujuan organisasi. B. Penelitian Terdahulu Penelitian Pardiyanto dengan judul “Peran Kyai Dalam Menanamkan Nilai Kejujuran Para santri Putra di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang” hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Peran Kyai dalam menanamkan nilai kejujuran para santri putra di ma‟had (UIN) Maliki Malang mampu menginternalisasikan nilai-nilai kejujuran serta menempatkan secara integral dalam kehidupannya secara keseluruhan melalui kegiatan yang telah terjadwal selama berada di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly.42 Penelitian Tuti Indriyani dengan judul “Eksistensi Ma‟had Ali dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi” Tulisan ini membahas peran Ma‟had Ali IAIN STS Jambi dalam
42
Pardiyanto “Peran Kyai Dalam Menanamkan Nilai Kejujuran Para santri Putra di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Maulana Malik Ibrahim Malang”, Skripsi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2010. Diakses dari http://www.distrodoc.com Online tanggal 26 April 2015.
31
meningkatkan mutu pendidikan di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Ma‟had Ali berdiri pada tahun ajaran 2008/2009 untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui pengembangan kompetensi kemampuan berbahasa asing (Arab dan Inggris). Peneliti ingin menelusuri bagaimana cara perekrutan mahasiswa yang menjadi warga Ma‟had Ali, sejauh mana manajemen yang dilaksanakan di Ma‟had terhadap semua kegiatan mahasiswa dan apa perbedaan hasil belajar mahasiswa yang tinggal di Ma‟had Ali dengan mahasiswa yang tinggal di luar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa warga Ma‟had adalah mahasiswa yang memiliki kemampuan berbahasa Arab yang kurang, yang ditentukan berdasarkan nilai yang diperoleh dari tes masuk pertama. Ma‟had Ali juga suda melakukan upaya menciptakan manajeman yang baik dan bersinergi sehingga tinggal di Ma‟had Ali memberikan hasil belajar yang memuaskan.43 Penelitian
Muslimatun
dengan
judul
“Kepemimpinan
Transformasional Bidang Pendidikan Dalam Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Pada SD Negeri Sudirman Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang” Penelitian yang dilaporkan dalam bentuk tesis ini bertujuan untuk mengetahui kepemimpinan transformasional bidang pendidikan dalam penerapan manajemen berbasis sekolah pada SD Negeri Sudirman Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang serta faktor pendukung dan penghambatnya. Hasil penelitian tesis ini menyimpulkan bahwa : 1) SD Negeri Sudirman sudah memenuhi standar sekolah dengan sistem MBS, terbukti bahwa semua 43
Tuti Indrayani, Eksistensi Ma’had Ali dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Jurnal Media Akademika vol.28 No.3 Juli 2013 Diakses tanggal 2 Mei 2015
32
karakteristik MBS, baik karakteristik kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, serta pengelolaan sumber dana dan administrasi dapat terpenuhi dengan baik. Kinerja organisasi sekolah berlangsung secara optimal, proses belajar mengajar berjalan lancar, serta sumber daya manusia maupun non manusia diberdayakan secara optimal. 2) Kepemimpinan transformasional diterapkan di SD Negeri Sudirman. Terbukti semua dimensi kepemimpinan transformasional terpenuhi dengan baik. Dimensi-dimensi tersebut antara lain : idealiced influence (kharisma), inspirational motivation (inspirasi), intellectual stimulation (stimulasi intelektual), dan individualized consideration (kepekaan individu). 3). Faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan MBS dijadikan sebagai bahan untuk analisa SWOT. Analisa SWOT dilakukan untuk mengetahui tingkat kesiapan seluruh fungsi sekolah agar tercapai sasaran yang telah ditetapkan.44
44
Muslimatun, Kepemimpinan Transformasional Bidang Pendidikan Dalam Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Pada SD Negeri Sudirman Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang, Tesis Pascasarjana UIN Walisongo, 2010. Diakses dari http://www.distrodoc.com Online tanggal 26 April 2015.
33