BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kemampuan Membaca Permulaan Masa peka anak untuk belajar membaca dan berhitung berada di usia empat hingga lima tahun, karena di usia ini anak lebih mudah membaca dan mengerti angka (Hainstock, 2002). Doman (2005) menyarankan sebaiknya anak mulai belajar membaca di periode usia satu hingga lima tahun. Menurutnya, pada masa ini otak anak bagaikan pintu yang terbuka untuk semua informasi dan anak bisa belajar membaca dengan mudah dan alamiah. Namun menurut Dardjowidjojo (2003), dari segi neurologis pada usia satu tahun otak baru berkembang 60% dari otak orang dewasa, di usia ini anak belum dapat mengidentifikasi letak garis lurus dan setengah lingkaran apalagi kombinasinya, maka anak belum mungkin belajar membaca. Dardjowidjojo (2003) kemudian menyebutkan bahwa membaca hanya dapat dilakukan ketika anak sudah memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu untuk berbicara. Prasyarat ini antara lain: menguasai sistem fonologis (bunyi), sintaksis (struktur kalimat), dan kemampuan semantik (kaitan makna antar kata). Sementara menurut Grainger (2003), kesiapan untuk memulai pengajaran membaca tergantung pada kesadaran fonemis. Istilah ini meliputi banyak aspek kepekaan anak terhadap struktur bunyi kata lisan, menentukan kemampuan memetakan bunyi ke simbol yang penting untuk membaca,
11
12
menulis, dan mengeja. Faktor ini pula yang nantinya menjadi dasar untuk membedakan kemampuan membaca pada anak normal dan pembaca lemah. Pernyataan diatas memberi makna bahwa kematangan sangat berperan dalam menentukan waktu yang tepat hingga anak dinyatakan siap untuk belajar membaca. Anak yang berada pada masa peka untuk belajar membaca akan dengan mudah menerima dan menanggapi rangsangan yang diberikan padanya dalam bentuk huruf, suku kata, kata, atau kalimat. Anak pun akan cepat memberi respon tiap kali stimulus yang sama muncul, dan sebagai hasilnya anak akan menunjukkan perubahan perilaku sebagai indikator keberhasilan proses belajarnya, yang dalam hal ini berarti anak menguasai kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam membaca. Membaca merupakan proses yang melibatkan sejumlah kegiatan fisik dan mental. Proses membaca terdiri dari sembilan aspek, yaitu sensori, perseptual, urutan pengalaman, pikiran, pembelajaran, asosiasi, sikap, dan gagasan (Ramli, 2007). Proses membaca dimulai dengan sensori visual yang diperoleh melalui pengungkapan simbol-simbol grafis melalui indra penglihatannya. Aspek urutan dalam proses membaca merupakan kegiatan mengikuti rangkaian tulisan yang tersusun secara linier. Pengalaman merupakan aspek penting dalam proses membaca. Anak yang memiliki pengalaman yang banyak akan mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan pemahaman kosa-kata dalam membaca. Pengalaman konkret dan pengalaman tidak langsung akan meningkatkan perkembangan konseptual anak. Aspek
13
afektif merupakan proses membaca yang berkenaan dengan kegiatan memusatkan perhatian.
2.1.1
Pengertian Kemampuan Membaca Permulaan Initial reading (membaca permulaan) merupakan tahap kedua dalam
membaca (Abdurrahman, 2002). Membaca secara teknis juga mengandung makna bahwa dalam tahap ini anak belajar mengenal fonem dan menggabungkan (blending) fonem menjadi suku kata atau kata (Mar’at, 2005). Kemampuan membaca ini berbeda dengan kemampuan membaca secara formal (membaca pemahaman), dimana seseorang telah memahami makna suatu bacaan. Tidak ada rentang usia yang mendasari pembagian tahapan dalam proses membaca, karena hal ini tergantung pada tugas-tugas yang harus dikuasai pembaca pada tahapan tertentu. Sareb
(2008)
mengungkapkan
bahwa
membaca
permulaan
menekankan pengkondisian siswa untuk masuk dan mengenal bahan bacaan. Belum sampai pada pemahaman yang mendalam akan materi bacaan, apalagi dituntut untuk menguasai materi secara menyeluruh, lalu menyampaikan hasil pemerolehan dari membacanya. Steinberg dalam Susanto (2011) menjelaskan bahwa membaca permulaan adalah membaca yang diajarkan secara terprogram kepada anak prasekolah. Program ini merupakan perharian pada perkataan-perkataan utuh, bermakna dalam konteks pribadi anak-anak dan bahan-bahan yang diberikan
14
melalui
permainan
dan
kegiatan
yang
menarik
sebagai
perantara
pembelajaran. Anderson dalam Dhieni, dkk (2008) mengungkapkan bahwa membaca permulaan adalah membaca yang diajarkan secara terpadu, yang menitik beratkan pada pengenalan huruf dan kata, menghubungkannya dengan bunyi. Pembelajaran membaca permulaan dititik beratkan pada aspek-aspek yang bersifat teknis seperti ketepatan menyuarakan tulisan, lafal dan intonasi yang wajar, kelancaran dan kejelasan suara. Menurut Depdikbud dalam Ayriza (2005), huruf konsonan yang harus dapat dilafalkan dengan benar untuk membaca permulaan adalah b, d, k,l, m, p, s, dan t. Huruf-huruf ini, ditambah dengan huruf-huruf vokal akan digunakan sebagai indikator kemampuan membaca permulaan, sehingga menjadi a, b, d, e, i, k, l, m, o, p, s, t, dan u. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian kemampuan membaca permulaan mengacu pada kecakapan (ability) yang harus dikuasai pembaca yang berada dalam tahap membaca permulaan. Kecakapan yang dimaksud adalah penguasan kode alfabetik, dimana pembaca hanya
sebatas
membaca
huruf
per
huruf,
mengenal
fonem,
dan
menggabungkan fonem menjadi suku kata atau kata.
2.1.2
Tahapan Proses Belajar Membaca Grainger (2003) menyebutkan adanya tiga tahapan dalam proses
membaca. Tahap prabaca dapat dilihat dari kesiapan anak untuk memulai
15
pengajaran formal dan tergantung pada kesadaran fonemis anak. Anak yang dinyatakan siap (biasanya pada anak-anak yang baru memasuki usia prasekolah) kemudian akan melalui tahap pertama dalam proses membaca. Tahap pertama adalah tahap logografis, anak-anak taman kanak-kanak atau awal kelas 1 menebak kata-kata berdasarkan satu atau sekelompok kecil huruf sehingga tingkat diskriminasi sangat buruk. Kemudian setelah mendapat pengajaran, diskriminasi menjadi lebih baik. Anak dapat membedakan kata yang sudah dan belum dikenal, namun mereka belum dapat membaca kata-kata yang belum dikenal. Strategi membaca awal pada tahap logografis secara umum tidak bersifat fonologis, tetapi lebih bersifat pendekatan
global
atau
visual
dimana
pembaca
awal
mencoba
mengidentifikasi kata secara keseluruhan berdasarkan ciri-ciri yang bisa dikenali. Tahap kedua adalah tahap alfabetis, pada tahap ini pembaca awal memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang bagaimana membagi katakata ke dalam fonem-fonem dan bagaimana merepresentasikan bunyi-bunyi yang mereka baca dan eja dengan ortografi alfabet. Tahap ketiga dilalui ketika anak sudah lancar dalam proses dekoding. Anak pada tahap ini mampu memecahkan
kata-kata
yang
beraturan
dan
tak
beraturan
dengan
menggunakan konteks. Biasanya tahap ini berlangsung ketika anak berada pada pertengahan sampai akhir kelas 3 dan kelas 4 sekolah dasar. Menurut Mercer dalam Abdurrahman (2002) membagi tahapan membaca menjadi lima, yaitu:
16
a. Kesiapan membaca b. Membaca permulaan c. Ketrampilan membaca cepat d. Membaca luas e. Membaca yang sesungguhnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak-anak umumnya sebagai pembaca awal berada pada tahap membaca permulaan. Lebih khususnya, anak-anak berada pada tahap pertama dan kedua dalam proses membaca, yaitu tahap logografis dan alfabetis. Pembagian tahapan ini berdasarkan kemampuan yang harus dikuasai anak, yaitu penguasaan kode alfabetik yang hanya memungkinkan anak untuk membaca secara teknis, belum sampai memahami bacaan seperti pada tahap membaca lanjut. Pengajaran membaca permulaan di taman kanak-kanak umumnya sudah dimulai sejak awal tahun pertama. Anak-anak diberi stimulasi berupa pengenalan huruf-huruf dalam alfabet. Praktik ini langsung disandingkan dengan ketrampilan menulis, dimana anak diminta mengenal bentuk dan arah garis ketika menulis huruf. Metode belajar membaca di taman kanak-kanak biasanya mendapat hambatan dalam penerapannya. Metode ini diberikan sama pada setiap anak, dan materi ajaran umumnya hanya berasal dari buku penunjang. Jika melihat perbedaan anak dalam gaya belajar, hal ini akan kurang memberi hasil yang optimal. Penanganan secara individual di kelas saat belajar membaca tidaklah dimungkinkan, karena ketersediaan tenaga
17
guru yang terbatas. Untuk mengatasinya guru pun membagi anak dalam kelompok-kelompok kecil setiap harinya. Dalam hal baca tulis, siswa kelas A (nol kecil) sudah mendapatkan rangsangan berupa huruf abjad sejak minggu kedua mereka bersekolah. Praktek selanjutnya adalah mengenal bentuk dengan belajar menulis huruf dengan menebalkan garis atau meniru tulisan guru di buku kotak-kotak. Praktek ini bisa jadi memang membuat anak mampu menulis atau memegang pensil, tapi anak tidak tahu apa yang ia tulis karena ia hanya sekedar mengikuti pola yang ada.
2.1.3
Kemampuan Membaca Anak Taman Kanak-Kanak Anak prasekolah adalah anak berusia tiga sampai enam tahun.
Biasanya mengikuti program prasekolah. Di Indonesia, sistem Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) melibatkan anak berusia nol sampai delapan tahun (Suyanto, 2005). Pendidikan yang diberikan pada anak di rentang usia tersebut dibagi berdasarkan sumbernya. Anak berusia nol sampai dua tahun mendapat pendidikan dari lingkup nonformal, yaitu keluarga; anak berusia tiga sampai enam tahun mendapat pendidikan anak usia dini (kelompok bermain) dan taman kanak-kanak (TK); sementara anak usia tujuh sampai delapan tahun mendapat pendidikan Sekolah Dasar (SD) kelas satu dan dua. Anak yang duduk di bangku TK umumnya berusia empat sampai lima tahun. Menurut Piaget dalam Santrock (2002), anak berada pada tahap perkembangan kognitif praoperasional yang berlangsung antara usia dua
18
sampai tujuh tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai melukiskan dunia dengan gambar-gambar. Pemikiran simbolis melampaui hubungan sederhana antara informasi inderawi dan tindakan fisik. Akan tetapi, meskipun anak-anak prasekolah mampu melukiskan dunia secara simbolik, namun mereka masih belum mampu melaksanakan apa yang disebut sebagai “operasi (operation)”, yaitu tindakan mental yang diinternalisasikan dan memungkinkan anak melakukan secara mental sesuatu yang sebelumnya dilakukan secara fisik. Selanjutnya Piaget dalam Chaer (2003) menyatakan bahwa dalam sub tahap pemikiran simbolik tahap praoperasional, anak melambangkan suatu benda dengan benda lain. Anak dapat melakukan peniruan yang ditunda, dimana peniruan dilakukan setelah benda atau objek yang ditiru sudah tidak ada. Jadi, peniruan yang dilakukan tanpa kehadiran benda aslinya tersebut merupakan salah satu jenis simbolisasi atau bayangan mental (kemampuan akal). Bahasa terdiri dari berbagai simbol yang dapat terungkap secara lisan maupun tulisan. Pemerolehan bahasa terjadi pada sub tahap pemikiran simbolik tahap praoperasional tersebut, sehingga menurut Piaget, bahasa merupakan hasil dari perkembangan intelektual secara keseluruhan dan sebagai bagian dari kerangka fungsi simbolik. Bahasa berkaitan erat dengan perkembangan kognisi anak, terutama dalam hal kemampuan berpikir. Lev Vygotsky dalam Santrock (2002) mengemukakan hubungan antara bahasa dan pemikiran, bahwa meskipun dua hal tersebut awalnya berkembang sendiri-sendiri, tetapi pada akhirnya
19
bersatu. Prinsip yang mempengaruhi penyatuan itu adalah pertama, semua fungsi mental memiliki asal-usul eksternal atau sosial. Anak-anak harus menggunakan bahasa dan menggunakannya pada orang lain sebelum berfokus dalam proses mental mereka sendiri. Kedua, anak-anak harus berkomunikasi secara eksternal menggunakan bahasa selama periode yang lama sebelum transisi kemampuan bicara eksternal ke internal berlangsung. Jadi, anak perlu belajar bahasa untuk mengasah ketrampilan mereka dalam melakukan proses mental seperti berpikir dan memecahkan masalah, karena bahasa merupakan alat berpikir. Demikian pula dengan membaca, yang merupakan salah satu komponen bahasa yang perlu dipelajari sejak dini. Salah satu teori membaca yang amat berpengaruh adalah teori rute ganda (Grainger, 2003). Teori rute ganda menjelaskan mekanisme yang terjadi pada pembaca awal dalam mencoba mengatasi kata-kata yang belum dikenal. Pembaca awal akan melalui dua rute yang akan menentukan suatu kata akan dikenali (berhasil dibaca) atau tidak. Rute pertama (rute visual), merupakan rute pengenalan yang tergantung pada pendekatan mencocokkan pola
visual,
dimana
anak-anak
menatap
jalinan
huruf
cetak
dan
membandingkan pola itu dengan simpanan kata-kata yang telah mereka kenal dan pelajari sebelumnya. Rute kedua (rute fonologis), pembaca mengubah simbol (huruf) menjadi bunyi. Rute kedua mungkin hanya digunakan bila rute pertama gagal. Pembaca lemah sebagaimana pembaca awal menggunakan metode rute visual, namun mereka berbeda dalam hal kesadaran fonemis, karena anak-anak normal memiliki kesadaran fonemis yang memungkinkan
20
mereka memanfaatkan asosiasi bunyi-simbol dan kemampuan memetakan bunyi ke dalam kata berdasarkan konsep mereka tentang bentuk huruf yang benar. Maka dapat disimpulkan bahwa anak-anak usia Taman Kanak-kanak memiliki potensi yang terpendam untuk menjadi pembaca yang baik. Tahap perkembangan yang memungkinkan mereka mengerti simbol-simbol dalam bahasa memberi kesempatan untuk cepat belajar dan mengasah ketajaman berpikir. Selain itu, anak-anak sebagai pembaca awal umumnya memiliki kesadaran fonemis yang cukup baik dan sangat berguna dalam proses membaca. Karena itu, diperlukan adanya pemilihan metode yang tepat dengan harapan anak dapat belajar membaca dengan efektif, memanfaatkan segala potensinya dan merasa nyaman dalam belajar menggunakan metode yang memperhatikan kebutuhan belajar mereka.
2.1.4
Tujuan Umum Pengajaran Membaca Permulaan Pengajaran membaca permulaan, memiliki tujuan yang memuat hal-
hal yang harus dikuasai siswa secara umum, yaitu: 1. Mengenalkan siswa pada huruf-huruf dalam abjad sebagai tanda suara atau tanda bunyi. 2. Melatih ketrampilan siswa untuk mengubah huruf-huruf dalam kata menjadi suara.
21
3. Pengetahuan huruf-huruf dalam abjad dan keterampilan menyuarakan wajib untuk dapat dipraktikkan dalam waktu singkat ketika siswa belajar membaca lanjut. (Lestary, 2004)
2.1.5
Prinsip-Prinsip Pembelajaran Membaca Anak Taman Kanak-Kanak Prinsip pembelajaran membaca yang dimaksud adalah prinsip
pembelajaran untuk menimbulkan kebiasaan dan minat membaca pada anak usia dini. Prinsip ini perlu untuk diketahui agar dapat mengajarkan kegiatan membaca sesuai dengan tahap perkembangannya, terutama bagi tingkat dasar, yaitu agar anak dapat memperoleh pengalaman belajar yang baik dan menyenangkan dalam membaca tingkat dasar. Santrock (2002) yang menyatakan bahwa pembelajaran membaca seharusnya paralel dengan pembelajaran bahasa alami anak. Materi yang diberikan untuk pembelajaran membaca sebaiknya utuh dan bermakna. Artinya, anak-anak sebaiknya diberikan materi dalam bentuk lengkap, seperti cerita-cerita dan puisi-puisi, sehingga anak dapat belajar memahami fungsi komunikatif bahasa. Pembelajaran membaca seharusnya diintegrasikan dengan subjek dan keahlian lainnya seperti ilmu pengetahuan alam, studistudi sosial, dan materi membaca seharusnya terpusat pada pengetahuan sehari-hari. Pembelajaran membaca di Taman Kanak-kanak harus benar-benar dilaksanakan dengan sistematis, artinya sesuai dengan kebutuhan, minat,
22
perkembangan dan karakteristik anak. Proses pembelajaran, alat-alat permainan (media pembelajaran) yang digunakan, harus diperhatikan, dan lingkungan belajar yang kondusif. Hal ini sangat penting, sebab bila anak mengalami kegagalan pada periode ini, akan berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa anak, baik keterampilan ekspresif maupun reseptif (Susanto 2011). Dalam
mengajarkan
membaca
harus
memperhatikan
prinsip
pembelajaran anak usia dini. Torrey dalam Susanto (2011) menyatakan bahwa prinsip pembelajaran membaca untuk anak usia dini yaitu, membuat anak agar anak tertarik dalam kegiatan membaca, sehingga kegiatan ini menjadi kegiatan yang menyenangkan. Jika anak sudah memiliki rasa senang membaca, akan lebih mudah untuk dibimbing dalam kegiatan belajar membaca lebih tepatnya lagi jika anak sudah ditanamkan sejak dini, sehingga kegiatan membaca bukan menjadi suatu beban, melainkan suatu kebutuhan. Dari pendapat di atas prinsip pembelajaran belajar membaca yang dimaksud adalah membiasakan anak membaca sejak dini, dengan materi yang bermakna serta terpusat pada pengetahuan sehari-hari sehingga anak lebih mudah untuk memahaminya, kegiatan membaca yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan minat yang sesuai dengan karateristik anak, maka anak lebih mudah dibimbing untuk kegiatan membaca selanjutnya.
23
2.2 Metode Bermain Menurut Ismail (2006) “permainan edukatif, yaitu suatu kegiatan yang sangat menyenangkan dan merupakan cara atau alat pendidikan yang bersifat mendidik.” Ismail (2006) juga meninjau bermain dari perspektif pendidikan, yaitu sebuah kegiatan yang memberi peluang kepada anak untuk dapat berswakarya, melakukan, dan menciptakan sesuatu dari permainan itu dengan tangannya sendiri, baik dilakukan didalam maupun di luar ruangan.” Bermain begitu penting bagi anak, dalam pembelajaran sebaiknya dikemas dengan cara yang menyenangkan dan tidak melupakan keberadaan anak dalam usia bermainnya. Dengan bermain anak-anak mendapatkan berbagai
pengalaman
dan
pengetahuannya.
Melalui
bermain,
anak
memperoleh pelajaran yang mengandung aspek perkembangan kognitif, sosial, emosi, dan fisik. Menurut para ahli pendidikan dalam Ismail (2006) dikatakan bahwa cara belajar anak yang paling efektif ada pada permainan anak, yaitu dengan bermain dalam kegiatan belajar mengajarnya. Saat bermain, anak dapat mengembangkan motorik halus dan motorik kasarnya, meningkatkan penalaran, dan memahami keberadaan di lingkungan
teman sebaya,
membentuk daya imajinasi dengan dunia sesungguhnya, mengikuti peraturan, tata tertib, dan disiplin yang tinggi. Secara alamiah bermain dapat memotivasi anak untuk mengetahui sesuatu lebih mendalam, dan secara spontan pula anak mengembangkan bahasanya, mendapat kesempatan bereksperimen, dan memahami konsep-konsep sesuai dengan permainan dirinya.
24
Hasil penelitian Rumbold dalam Bennett, dkk (2005) menyebutkan bahwa permainan yang memiliki arah jelas adalah hal yang benar dan lahan subur bagi proses pembelajaran. Permainan adalah motivator yang penuh daya, mendorong anak menjadi kreatif dan mengembangkan gagasan, pemahaman dan bahasa mereka. Melalui permainan, anak-anak melakukan eksplorasi, menerapkan dan menguji hal-hal yang mereka ketahui dan dapat mereka lakukan. Bennett, dkk (2005) menyimpulkan beberapa wilayah kunci sehingga permainan dipandang istimewa sekaligus vital dalam pendidikan sebagai berikut: 1. Rasa memiliki merupakan hal pokok bagi pembelajaran anak yang diperoleh melalui permainan. 2. Anak-anak mempelajari cara belajar melalui permainan. 3. Anak-anak lebih mungkin mengingat hal-hal yang mereka lakukan dalam permainan. 4. Pembelajaran melalui permainan terjadi dengan mudah, tanpa ketakutan dan tanpa hambatan yang menghadang. 5. Permainan itu alamiah, anak-anak adalah diri mereka sendiri. 6. Dilihat dari sudut perkembangan (developmental), permainan itu memadai. Anak-anak secara intuitif mengetahui hal-hal yang mereka butuhkan dan memenuhi kebutuhan melalui permainan. 7. Anak-anak tidak bisa gagal didalam permainan karena tidak ada yang benar atau salah.
25
8. Permainan memampukan para guru untuk mengamati pembelajaran yang sesungguhnya. 9. Anak-anak mengalami berkurangnya frustasi didalam permainan sehingga mengurangi masalah disiplin. Jadi, permainan menguatkan sikap positif terhadap pembelajaran sehingga membantu anak untuk mengembangkan kepercayaan diri dan harga diri, anak menjadi lebih mandiri serta bertanggung jawab pada keputusan mereka sendiri.
2.2.1
Permainan Puzzle Puzzle secara bahasa Indonesia diartikan sebagai tebakan. Tebakan
adalah sebuah masalah atau “enigma” yang diberikan sebagai hiburan yang biasanya ditulis atau dilakukan. Menurut Wahyuni dan Maureen (2010), puzzle adalah media visual dua dimensi yang mempunyai kemampuan untuk menyampaikan informasi secara visual tentang segala sesuatu sebagai pindahan dari wujud yang sebenarnya. Menurut Ismail (2006) “puzzle adalah permainan menyusun suatu gambar atau benda yang telah dipecah dalam beberapa bagian”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa puzzle adalah permainan teka-teki menyatukan kembali beberapa bagian objek yang sudah diacak menjadi suatu objek utuh pada tempat yang sesuai. Permainan puzzle melibatkan koordinasi mata dan tangan. Namun secara khusus puzzle biasanya terbentuk dari sebuah gambar yang terpotong-
26
potong menurut bagian tertentu. Puzzle dapat terbuat dari plastik, spon, kertas, ataupun dari kayu. Guru dapat menggunakan puzzle ini untuk mengarahkan anak pada pelajaran yang akan diajarkan pada saat itu. Puzzle memiliki beragam jenis. Ada yang terbuat dari karton tebal dan ada yang terbuat dari kayu. Seiring waktu, semakin bertambah usia anak, maka tingkat kesulitan puzzle akan semakin bertambah. Biasanya hal ini ditujukkan dengan jumlah kepingan yang semakin banyak dengan ukuran yang lebih kecil. Tips memilih puzzle yang baik adalah potongan kepingan harus memenuhi presisi bentuk dan tidak ada bagian yang tajam sehingga memudahkan anak memasang ke tempat yang sesuai, tidak membuat anak frustasi dan tidak membahayakan. Sebaiknya jangan memilih puzzle dari karton tipis, sebab akan menyulitkan anak memasang bentuk karena mudah terlepas satu dengan yang lain dan mudah rusak. Manfaat puzzle menurut Wahyuni dan Maureen (2010) adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan Keterampilan Kognitif Keterampilan
kognitif
(cognitive
skill)
berkaitan
dengan
kemampuan untuk belajar dan memecahkan masalah. Dengan bermain puzzle anak akan mencoba memecahkan masalah, yaitu menyusun gambar. Pada tahap awal mengenal puzzle, mereka mungkin mencoba untuk menyusun gambar puzzle dengan cara mencoba memasang-masangkan bagian-bagian puzzle tanpa petunjuk. Dengan sedikit arahan dan contoh,
27
maka anak sudah dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya dengan cara mencoba menyesuaikan bentuk, menyesuaikan warna, atau logika. Contoh usaha anak menyesuaikan bentuk misalnya bentuk cembung harus dipasangkan dengan bentuk cekung. Contoh usaha anak menyesuaikan warna misalnya warna merah dipasangkan dengan warna merah. Contoh usaha anak menggunakan logika, misalnya bagian gambar roda atau kaki posisinya selalu berada di bawah. 2. Meningkatkan Keterampilan Motorik Halus Keterampilan motorik halus (fine motor skill) berkaitan dengan kemampuan anak menggunakan otot-otot kecilnya khusunya tangan dan jari-jari tangan. Dengan bermain puzzle tanpa disadari anak akan belajar secara aktif menggunakan jari-jari tangannya. Agar puzzle dapat tersusun membentuk gambar maka bagian-bagian puzzle harus disusun secara hatihati. Perhatikan cara anak-anak memegang bagian puzzle akan berbeda dengan caranya memegang boneka atau bola. Memegang dan meletakkan puzzle mungkin hanya menggunakan dua atau tiga jari, sedangkan memegang boneka atau bola dapat dilakukan dengan mengepit di ketiak (tanpa melibatkan jari tangan) atau menggunakan kelima jari dan telapak tangan sekaligus. 3. Meningkatkan Keterampilan Sosial Keterampilan sosial berkaitan dengan kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Puzzle dapat dimainkan secara perorangan. Namun puzzle dapat pula dimainkan secara kelompok. Permainan yang dilakukan
28
oleh anak-anak secara kelompok akan meningkatkan interaksi sosial anak. Dalam kelompok anak akan saling menghargai, saling membantu dan berdiskusi satu sama lain. Jika anak bermain puzzle di rumah, orang tua dapat menemani anak untuk berdiskusi menyelesaikan puzzle-nya, tetapi sebaiknya orang tua hanya memberikan arahan kepada anak dan tidak terlibat secara aktif membantu anak menyusun puzzle. 4. Melatih Koordinasi Mata dan Tangan Anak
belajar
mencocokkan
keping-keping
puzzle
dan
menyusunnya menjadi satu gambar. Ini langkah penting menuju pengembangan keterampilan membaca. 5. Melatih Logika Membantu melatih logika anak. Misalnya puzzle bergambar manusia. Anak dilatih menyimpulkan dimana letak kepala, tangan, dan kaki sesuai logika. 6. Melatih Kesabaran Bermain
puzzle
membutuhkan
ketekunan,
kesabaran,
dan
memerlukan waktu untuk berfikir dalam menyelesaikan tantangan. 7. Memperluas Pengetahuan Anak akan belajar banyak hal, warna, bentuk, angka, dan huruf. Pengetahuan yang diperoleh dari cara ini biasanya merupakan hal yang mengesankan bagi anak dibandingkan pengetahuan yang didapat dengan menghafal. Anak dapat belajar konsep dasar, binatang, alam sekitar, buahbuahan, alfabet dan lain-lain. Tentu saja dengan bantuan ibu dan ayah.
29
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vernanda, Yunus, &Rahmahtrisilvia (2013), penerapan media puzzle sebagai media untuk meningkatkan kemampuan mengenal huruf vokal bagi anak kesulitan belajar sudah mulai menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan anak mengenal huruf vokal setelah diberikan intervensi selama 11 hari. Pada hari ke-11 kemampuan anak telah stabil. Lama waktu penerapan metode permainan puzzle pada anak usia prasekolah sebaiknya diterapkan selama 15-20 menit untuk mengindari anak merasa jenuh serta untuk menjaga konsenterasi anak terhadap pembelajaran dengan metode permainan puzzle itu sendiri sehingga nantinya dapat menunjukkan hasil yang optimal.
2.2.2
Jenis Puzzle Terdapat berbagai macam jenis-jenis puzzle, yakni:
1. Spelling puzzle adalah puzzle yang terdiri dari gambar-gambar dan hurufhuruf acak untuk menjadi satu kosakata yang benar
Gambar 1. Spelling Puzzle
2. Jigsaw puzzle yakni, puzzle yang berupa beberapa pertanyaan untuk dijawab kemudian dari jawaban itu diambil huruf-huruf pertama untuk
30
dirangkai menjadi sebuah kata yang merupakan jawaban pertanyaan yang paling akhir. 3. The thing puzzle adalah puzzle yang berupa deskripsi kalimat-kalimat yang berhubungan dengan gambar-gambar benda untuk dijodohkan.
Gambar 2. The thing puzzle
4. The letters readiness puzzle yakni, puzzle yang berupa gambar-gambar disertai dengan huruf-huruf nama gambar tersebut, tetapi huruf itu belum lengkap.
Gambar 3. The letters readiness puzzle
5. Crosswords puzzle adalah puzzle yang berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dengan cara memasukkan jawaban tersebut ke dalam kotakkotak yang tersedia baik secara horizontal maupun vertikal.
31
2.3 Pengaruh Metode Bermain terhadap Kemampuan Membaca Permulaan Terdapat berbagai penelitian mengenai penerapan metode bermain dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca permulaan pada anak. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode bermain sangat efektif diterapkan untuk meningkatkan kemampuan membaca bagi anak. Jenis permainan yang digunakan juga sangat beragam, ada yang menggunakan media kartu kata bergambar, permainan meloncat bulatan kata, permainan pola suku kata dan lain sebagainya. Berdasarkan penelitian Sundari (2013), dapat dilihat bahwa metode bermain sangat baik untuk diterapkan sebagai metode pembelajaran pada anak. Dimana dalam penelitian ini, jenis permainan yang digunakan, yaitu permainan pola suku kata dan kartu kata bergambar. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan: (1) terdapat pengaruh metode permainan pola suku kata terhadap kemampuan membaca awal dengan nilai Z=-2.585 dan nilai p value (0.010<0.05) siswa kelompok B6 TK Negeri 2 Yogyakarta, (2) terdapat pengaruh permainan kartu kata bergambar terhadap kemampuan membaca dengan nilai Z=-2.395 dan nilai P value (0,011<0,05) siswa kelompok B6 TK Negeri 2 Yogyakarta, dan (3) metode permainan dengan kartu kata bergambar lebih berpengaruh terhadap kemampuan membaca awal dengan nilai mean rank yang lebih tinggi yaitu 11,81 dibandingkan dengan metode permainan pola suku kata dengan nilai rata-rata sebesar 5,19 dengan nilai p value (0,004<0,05). Sehingga peneliti dapat menyimpulkan bahwa, ada
32
pengaruh metode permainan pola suku kata dan kartu kata bergambar terhadap kemampuan membaca awal kelompok B6 TK Negeri 2 Yogyakarta Penelitian lain yang juga mendukung efektifitas metode bermain untuk diterapkan sebagai metode pembelajaran pada anak, khususnya dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca permulaan pada anak, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Aulina (2012). Pada penelitian ini peneliti meneliti pengaruh permainan dan penguasaan kosakata terhadap kemampuan membaca permulaan pada anak usia lima sampai enam tahun. Permainan yang dimaksud adalah permainan scrabble dan permainan kartu gambar sedangkan penguasaan kosakata terdiri dari penguasaan kosakata tinggi dan penguasaan kosakata rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat perbedaan kemampuan membaca permulaan antara anak yang diberikan perlakuan permainan scrabble dan anak yang diberikan perlakuan kartu gambar, (2) terdapat pengaruh interaksi antara permainan dan penguasaan kosakata terhadap kemampuan membaca permulaan, (3) anak dengan penguasaan kosakata tinggi yang diberikan perlakuan permainan scrabble memiliki kemampuan membaca permulaan lebih tinggi daripada anak yang diberikan perlakuan permainan kartu gambar, (4) anak dengan penguasaan kosakata rendah yang diberikan perlakuan permainan kartu gambar memiliki kemampuan membaca permulaan relatif sama dengan anak yang diberikan perlakuan permainan scrabble. Sehingga dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan metode bermain dapat memberikan pengaruh yang baik dan dapat
33
meningkatkan kemampuan membaca permulaan pada anak. Meskipun terdapat perbedaan efektifitas pada tiap-tiap jenis permainan yang diterapkan. Namun permainan-permainan yang diterapkan tetap memberikan hasil yang baik pada perkembangan kemampuan anak.
2.4 Pengaruh Metode Permainan Puzzle terhadap Kemampuan Membaca Puzzle adalah sebuah permainan untuk menyatukan pecahan keping untuk membentuk sebuah gambar atau tulisan yang telah ditentukan. Media puzzle dapat digunakan untuk mengajarkan pengenalan huruf kepada anak. Puzzle merupakan suatu media berwarna warni yang bisa dibongkar pasang bisa berupa huruf, angka, binatang dan lain-lain yang dapat merangsang imajinasi. Tidak hanya itu media puzzle juga memiliki keunggulan seperti: mudah diperoleh, tidak berisiko, cepat dikenal anak, memiliki warna yang bervariasi, serta memiliki gambar-gambar yang menarik bagi anak. Sehingga banyak peneliti memilih menggunakan media puzzle sebagai media penelitian, karena puzzle merupakan media yang menarik dengan warna dan bentuk yang menarik sehingga dapat menarik perhatian anak untuk mengikuti pelajaran. Selain itu media puzzle diharapkan dapat merangsang daya ingat anak untuk meningkatkan kemampuan mengenal huruf. Beberapa penelitian yang menggunakan puzzle sebagai media penelitian, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Vernanda, Yunus, & Rahmahtrisilvia (2013). Dimana dalam penelitian ini media puzzle digunakan dengan tujuan meningkatkan kemampuan mengenal huruf vokal bagi anak
34
kesulitan belajar. Dari hasil penelitian didapatkan data setelah diberikan intervensi berupa permainan puzzle terjadi peningkatan kemampuan anak dalam mengenal huruf vokal. Pengamatan dihentikan setelah hari ke sebelas, karena pada hari ke sebelas kemampuan anak sudah stabil. Dimana anak mampu memasangkan huruf a, i, u, e, dan o, menyebutkan huruf a, i, u, e, dan o dan menunjukkan huruf a, i, u, e, dan o. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa media puzzle dapat meningkatkan kemampuan mengenal huruf vokal bagi anak kesulitan belajar. Penelitian lain yang juga menggunakan puzzle sebagai media penelitian, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2012). Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektifitas media puzzle untuk meningkatkan kemampuan menyusun kalimat bagi Cerebral Palsy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang mendapatkan intervensi penerapan media puzzle menunjukkan peningkatan yang signifikan, yakni 80% sedangkan anak yang tidak diberikan intervensi tidak menujukkan adanya perubahan dalam kemampuan menyusun kalimat SPOK. Sehingga dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa media puzzle efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan menyusun kalimat pada anak.