BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Waktu Kerja Waktu kerja bagi seseorang menentukan kesehatan yang bersangkutan, efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerjanya. Aspek terpenting dalam hal waktu kerja meliputi: 1. Lamanya seseorang mampu bekerja dengan baik; 2. Hubungan antara waktu kerja dan istirahat; 3. Waktu bekerja sehari menurut periode waktu yang meliputi siang hari (pagi, siang, sore) dan malam hari. Lamanya seseorang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya 6-10 jam.Sisanya (14-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan lama kerja tersebut biasanya tidak disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat penurunan kualitas dan hasil
kerja
serta
bekerja
dengan
waktu
yang
berkepanjangan
timbul
kecenderungan untuk terjadinya kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan kecelakaan serta ketidakpuasan. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama 40 - 50 jam.Lebih dari itu, kemungkinan besar untuk timbulnya hal-hal yang negatif bagi tenaga kerja yang bersangkutan dan pekerjaannya itu sendiri. Jumlah 40 jam seminggu ini dapat dibuat 5 atau 6 hari kerja tergantung kepada berbagai faktor,
namun fakta menunjukkan bekerja 5 hari dan 40 jam kerja seminggu adalah fenonim yang berlaku dan semakin diterapkan dimanapun (Suma’mur, 2013). 2.2 Shift Kerja 2.2.1 Pengertian Shift Kerja Menurut Winarsunu (2008) yang mengutip pendapat Kroemer menyatakan bahwa shift kerja dijalankan jika 2 karyawan atau lebih yang merupakan kelompok bekerja dalam urutan waktu dan pada tempat kerja yang sama. Sering setiap shift kerja seorang karyawan diulang dengan pola yang sama. Secara individual, shift kerja berarti hadir pada suatu tempat kerja yang sama secara reguler pada waktu yang sama (yang disebut shift kerja ‘kontinyu’) atau dengan waktu yang berbeda-beda (yang disebut rotasi). Semakin berkembangnya industrialisasi, model bekerja sepanjang hari yaitu selama 24 jam menjadi sangat umum, yang dibagi menjadi 2 shift masing-masing siang dan malam 12 jam atau dibagi menjadi 3 shift , pagi, siang, dan malam masing-masing 8 jam. Menurut Kuswadji yang dikutip oleh Putra (2011), shift kerja mempunyai berbagai defenisi tetapi biasanya shift kerja disamakan dengan pekerjaan yang dibentuk di luar jam kerja biasa (08.00-17.00). Ciri khas tersebut adalah kontinuitas, pergantian dan jadwal kerja khusus. Secara umum yang di maksud dengan shift kerja adalah semua pengaturan jam kerja, sebagai pengganti atau tambahan kerja siang hari sebagaimana yang biasa dilakukan. Namun demikian adapula definisi yang lebih operasional dengan menyebutkan jenis shift kerja tersebut. Shift kerja disebutkan sebagai pekerjaan yang secara permanen atau sering pada jam kerja yang tidak teratur.
2.2.2 Sistem Shift Kerja Menurut Winarsunu (2008) yang mengutip pendapat Grandjean, sistem kerja shift yang berlaku umum biasanya terbagi atas 3 periode, masing-masing selama 8 jam, termasuk istirahat. Pembagiannya adalah shift pagi, sore dan malam. Shift kerja yang menggunakan pembagian dari jam 08.00 - 16.00, 16.00 24.00 dan 24.00 - 08.00 mempunyai beberapa kelebihan baik secara fisiologis maupun sosial. Pada masing-masing shift, pekerja mempunyai satu kali kesempatan
makan
bersama-sama
dengan
keluarganya
dan
mempunyai
kesempatan untuk tidur dengan baik khususnya bagi shift pagi dan sore. Ada 2 persyaratan yang harus diperhatikan dalam pengatur shift (shift rotation), yaitu: 1. Kehilangan
tidur
sedapat-dapatnya
dikurangi
dan
hal
ini
akan
meminimalkan kelelahan; 2. Harus ada waktu yang cukup bagi kehidupan keluarga dan kontak sosial. Menurut Winarsunu (2008) mengkategorikan tiga tipe sistem shift kerja, yaitu: 1. Sistem shift permanen Setiap individu bekerja hanya pada satu bagian dari 3 shift kerja setiap 8 jam. 2. Sistem rotasi shift cepat Tenaga kerja secara bergilir bekerja dengan periode rotasi kerja 2-3 hari. Sistem shift ini lebih banyak disukai karena dapat mengurangi kebosanan kerja, kerugiannya menyebabkan kinerja shift malam dan waktu tidur terganggu sehingga diperlukan 2-3 hari libur setelah kerja malam.
Berdasarkan faktor sosial dan fisiologis diusulkan sistem rotasi shift cepat, yaitu sistem 2-2-2 dan 2-2-3 yang disebut sistem Metropolitan dan Continental. Sistem rotasi shift 2-2-2 yaitu rotasi shift kerja pagi, siang dan malam dilaksanakan masing-masing 2 hari, dan pada akhir periode shift kerja malam di beri libur 2 hari dan kembali lagi ke siklus shift kerja semula. Sistem rotasi 2-2-3 yaitu rotasi shift kerja di mana salah satu shift dilaksanakan 3 hari bergiliran setiap periode shift dan dua shift lainnya dilaksanakan masing-masing 2 hari. Pada akhir periode shift kerja diberi libur 2 hari. 3. Sistem rotasi shift lambat, merupakan kombinasi antara sistem shift permanen dan sistem rotasi shift cepat. Rotasi shift kerja dapat berbentuk mingguan, atau bulanan. Sistem ini menyebabkan circadian rhythm. Menurut International Labour Organization (2012) sistem shift kerja terbagi 2 yaitu : 1. Sistem 3 shift 4 kelompok (4 x 8 hours continuous shift work), yaitu 3 kelompok shift bekerja setia 8 jam dan 1 kelompok istirahat. Sistem ini digunakan bagi aktivitas terus menerus tanpa hari libur. Rotasi shift 2-3 hari. 2. Sistem 3 shift3 kelompok (3 x 8 hours semi continuous shift work), yaitu 3 kelompok shift bekerja setiap 8 jam, pada akhir minggu libur. Rotasi shift 5 hari. 2.2.3 Efek Shift Kerja
Fish (2000) mengatakan bahwa efek shift kerja yang dapat dirasakan tenaga kerja yaitu : 1. Efek Fisiologis Efek fisiologis memiliki pengaruh terhadap : a.
Kualitas tidur yang terganggu. Tidur siang tidak seefektif tidur malam, banyak gangguan dan biasanya diperlukan waktu istirahat untuk menebus kurang tidur selama kerja malam.
b.
Menurunnya kapasitas kerja fisik kerja akibat timbulnya perasaan mengantuk dan lelah.
c.
Menurunnya nafsu makan dan gangguan pencernaan.
2. Efek Psikososial Efek menunjukkan masalah lebih besar dari efek fisiologis, antara lain adanya gangguan kehidupan keluarga, hilangnya waktu luang, kecil kesempatan untuk berinteraksi dengan teman, dan mengganggu aktivitas kelompok dalam masyarakat. Demikian pula adanya pandangan di suatu daerah yang tidak membenarkan pekerja wanita bekerja pada malam hari, mengakibatkan tersisih dari masyarakat. 3. Efek Kinerja Kinerja menurun selama kerja shift malam yang diakibatkan oleh efek fisiologis dan efek psikososial. Menurunnya kinerja dapat mengakibatkan kemampuan mental menurun berpengaruh terhadap perilaku kewaspadaan pekerjaan seperti kualitas kontrol dan pemantaun. 4. Efek terhadap Kesehatan
Efek shift kerja menyebabkan gangguan gastrointestinal berupa dyspepsia atau ulcus ventriculi dimana masalah ini kritis pada umur 40-45 tahun. Sistem shift kerja dapat menjadi masalah keseimbangan kadar gula dalam darah dengan insulin bagi penderita diabetes. 5. Efek terhadap Keselamatan Kerja Survey pengaruh shift kerja terhadap kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan Smith et. al, melaporkan bahwa frekuensi kecelakaan paling tinggi terjadi pada akhir rotasi shift kerja (malam) dengan rata-rata jumlah kecelakaan 0,69% per tenaga kerja. Tetapi tidak semua penelitian menyebutkan bahwa kenaikan tingkat kecelakaan industri terjadi pada shift malam. Terdapat suatu kenyataan bahwa kecelakaan cenderung banyak terjadi selama shift pagi dan lebih banyak terjadi pada shift malam (Adiwardana, 1989). 2.3 Irama Sirkadian (Circardian Rhythm) Circardian rhythm berasal dari bahasa Latin.Circa yang berarti kira-kira dan Dies berarti hari (circardies = kira-kira satu hari). Circardian rhythm adalah irama dan pengenalan waktu yang sesuai dengan perputaran bumi dalam siklus 24 jam. Hampir seluruh makhluk hidup di dunia ini mempunyai irama yang secara teratur mengalami perubahan fungsi tubuh dan fisiologik dalam siklus 24 jam, tetapi adapula beberapa perubahan yang sesuai dengan bulan atau tahun. Sebenarnya siklus circardian manusia berkisar antara 22-25 jam (Mahyastuti, 1993).
Winarsunu (2008) mengatakan bahwa manusia mempunyai ‘circardian rhythm’, yaitu fluktuasi dari berbagai macam fungsi tubuh selama 24 jam. Dimana manusia berada pada 2 fase, di antaranya: 2. Fase ergotrophic Pada siang hari manusia berada pada fase ergotrophic yaitu fase dimana semua organ dan fungsi tubuh siap untuk melakukan suatu tindakan. 3. Fase trophotropic Pada malam hari manusia berada pada fase tropotropic yaitu fase dimana tubuh melakukan pembaharuan cadangan energy atau penguatan kembali. Menurut Kuswadji yang dikutip oleh Putra (2011) masing-masing orang mempunyai jam biologis sendiri-sendiri, kehidupan mereka diatur menjadi sama dan seragam dalam daur hidup 24 jam sehari. Pengaturan itu dilakukan dilakukan oleh penangguh waktu yang ada di luar tubuh seperti : a. Perubahan antara gelap dan terang. b. Kontak sosial. c. Jadwal kerja. d. Adanya jam weker. Fungsi tubuh yang sangat dipengaruhi oleh circardian rhythm adalah pola tidur, kesiapan bekerja, beberapa fungsi otonom, proses metabolisme, suhu tubuh, denyut jantung dan tekanan darah. Setiap hari fungsi tubuh ini akan berubah-ubah antara maksimum dan minimum, pada siang hari meningkat dan pada malam hari menurun.
3.4 Kelelahan 3.4.1 Pengertian Kelelahan Kata lelah (fatigue) menunjukkan keadaan tubuh dan mental yang berbeda, tetapi semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja dan berkurangnya ketahanan tubuh untuk bekerja (Suma’mur, 2013). Secara psikologis, kelelahan yaitu keadaan mental dengan ciri menurunnya motivasi, ambang rangsang meninggi, menurunnya kecermatan dan kecepatan pemecahan persoalan.Secara fisiologis, kelelahan yaitu penurunan kekuatan otot yang disebabkan karena kehabisan tenaga dan peningkatan sisa-sisa metabolisme, misalnya asam laktat, karbon dioksida.Kelelahan diterapkan diberbagai macam kondisi merupakan suatu perasaan bagi setiap orang mempunyai arti tersendiri dan bersifat subjektif (Kodrat, 2009). Kelelahan akibat kerja seringkali diartikan sebagai proses menurunnya efisiensi, performans kerja, dan berkurangnya kekuatan/ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan. Ada beberapa macam kelelahan yang dikenal dan diakibatkan oleh faktor-faktor yang berbeda-beda seperti: a. Lelah otot, yang dalam hal ini bisa dilihat dalam bentuk munculnya gejala kesakitan yang amat sangat ketika otot menerima beban yang berlebihan. b. Lelah visual, yaitu lelah yang diakibatkan ketegangan yang terjadi pada organ visual (mata). Mata yang terkonsentrasi secara terus-menerus pada suatu obyek (layar monitor) akan terasa lelah seperti yang dialami oleh operator
computer. Cahaya yang terlalu kuat yang mengenai mata juga akan bisa menimbulkan gejala yang sama. c. Lelah mental, dimana dalam kasus ini datangnya kelelahan bukan diakibatkan secara langsung oleh aktivitas fisik, melainkan lewat kerja mental (sebagai contoh proses berpikir). Lelah mental ini seringkali pula disebut sebagai lelah otak. d. Lelah monotonis, adalah jenis kelelahan yang disebabkan oleh aktivitas kerja yang bersifat rutin, monoton ataupun lingkungan kerja yang sangat menjemukan. Pekerjaan-pekerjaan yang tidak memberikan tantangan, tidak memerlukan skill, dan lain-lain akan menyebabkan motivasi pekerja akan rendah. Di sini pekerja tidak lagi terangsang dengan pekerjaan ataupun lingkungan kerjanya. Situasi kerja yang monoton dan menimbulkan kebosanan akan mudah terjadi pada pekerjaan-pekerjaan yang dirancang terlalu ketat. Kondisi semacam ini jarang terjadi dalam kegiatan yang memberikan fleksibilitas bagi pekerja untuk mengembangkan kreativitas dan mengatur irama kerjanya sendiri (Wignjosoebroto, 2000). 3.4.2 Jenis Kelelahan Kelelahan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: 1. Berdasarkan proses dalam otot Terdapat dua jenis kelelahan dalam otot, yaitu: a. Kelelahan otot Kelelahan otot ditandai oleh tremor atau rasa nyeri yang terdapat pada otot. Otot yang lelah akan menunjukkan kurangnya kekuatan,
bertambahnya waktu kontraksi dan relaksasi, berkurangnya koordinasi serta otot menjadi gemetar (Suma’mur, 2013). Terdapat dua teori tentang kelelahan otot yaitu teori kimia dan teori syaraf pusat terjadinya kelelahan.Pada teori kimia secara umum menjelaskan bahwa terjadinya kelelahan adalah akibat berkurangnya cadangan energy dan sisa metabolisme meningkat sebagai penyebab efisiensi otot hilang, sedangkan perubahan arus listrik pada otot dan syaraf adalah penyebab sekunder. Pada teori syaraf pusat menjelaskan bahwa perubahan kimia hanya merupakan penunjang proses. Perubahan kimia yang terjadi mengakibatkan dihantarkannya rangsangan syaraf melalui syaraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan otot.Rangsangan ini menghambat pusat otak mengendalikan gerakan sehingga frekwensi potensial kegiatan pada sel syaraf menjadi berkurang. Berkurangnya frekwensi tersebut akan menurunkan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot dan gerakan atas perintah kemauan menjadi lambat. Dengan demikian semakin lambat gerakan seseorang akan menunjukkan semakin lelah kondisi ototnya (Kodrat, 2009). b. Kelelahan umum Kelelahan umum ditunjukkan oleh hilangnya kemauan untuk bekerja, yang penyebabnya adalah keadaan persarafan sentral atau kondisi psikis-psikologis (Suma’mur, 2013). Perasaan adanya kelelahan secara umum dapat ditandai dengan berbagai kondisi antara lain : lelah pada
organ penglihatan (mata), mengantuk, stress (pikiran tegang) dan rasa malas bekerja atau circardian fatique (Nurmianto, 2004). 2. Berdasarkan waktu terjadinya Terdapat 2 jenis kelelahan berdasarkan waktu terjadinya, yaitu: a. Kelelahan Akut Kelelahan akut terjadi terutama disebabkan oleh kerja suatu organ atau seluruh tubuh secara berlebihan. b. Kelelahan Kronis Kelelahan kronis biasanya terjadi bila kelelahan berlangsung setiap hari, berkepanjangan dan bahkan kadang-kadang telah terjadi pada sebelum memulai suatu pekerjaan. Gejala-gejala yang tampak jelas akibat kelelahan kronis dapat dicirikan seperti: 1. Meningkatnya emosi dan rasa jengkel sehingga menjadi kurang toleran atau anti sosial terhadap orang lain; 2. Munculnya sikap apatis terhadap pekerjaan; 3. Depresi yang berat (Wignjosoebroto, 2000). 3.4.3 Penyebab Kelelahan Akar masalah kelelahan umum terjadi karena monotoninya pekerjaan, intensitas dan lamanya kerja mental dan fisik yang tidak sejalan dengan kehendak tenaga kerja yang bersangkutan, keadaan lingkungan yang berbeda dari estimasi semula, tidak jelasnya tanggung jawab, kekhawatiran yang mendalam dan konflik batin serta kondisi sakit yang diderita oleh tenaga kerja. Pengaruh dari keadaan
yang menjadi sebab kelelahan tersebut seperti berkumpul dalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah (Suma’mur, 2013). 3.4.4 Proses Terjadinya Kelelahan Kelelahan
dapat
terjadi
lebih
cepat
atau
lebih
berat
dari
semestinya.Kejadian seperti ini muncul karena pekerja atau operator bekerja pada peralatan atau tugas yang tuntutan bebannya hanya bertumpu pada satu bagian (otot) tubuh saja yang berlangsung secara terus menerus.Konsep kelelahan ini di sebut static load. Oleh karena menguras tenaga secara berlebihan pada suatu kelompok otot yang sama dan berlangsung dalam waktu yang panjang, static load akan mengakibatkan ketidaknyamanan dan menimbulkan rasa sakit pada bagian (kelompok) otot yang terpapar tersebut. Jika pada kondisi static load ini pekerja juga harus menggunakan tenaga (kekuatan kerja) yang tinggi dan posisi kerjanya tidak nyaman (awkward posture) maka kelompok otot yang berhubungan dengan aktivitas tersebut akan kelebihan beban (overloaded) dan aliran darah pada kelompok otot menjadi berkurang, dan situasi inilah yang menyebabkan cepatnya kelelahan terjadi (Winarsunu, 2008). Suma’mur (2013) menjelaskan keadaan dan perasaan lelah adalah reaksi fungsional pusat kesadaran yaitu otak (cortex cerebri), yang dipengaruhi oleh dua sistem antagonistis yaitu sistem penghambat (inhibis) dan sistem penggerak (aktivasi).Sistem
penghambat
bekerja
terhadap
thalamus
yang
mampu
menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan menyebabkan kecenderungan untuk tidur.Adapun sistem penggerak terdapat dalam formasio retikularis (formation reticularis) yang dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk
konversi ergotropis dari organ-organ dalam tubuh kearah kegiatan bekerja, berkelahi, melarikan diri dan lain-lain.Maka berdasarkan konsep tersebut, keadaan seseorang pada suatu saat sangat tergantung kepada hasil kerja antara dua sistem antagonistis dimaksud.Apabila sistem pengahambat berada pada posisi lebih kuat daripada sistem penggerak, seseorang berada dalam kondisi lelah. Sebaliknya, manakala sistem penggerak lebih kuat dari sistem penghambat, makan seseorang berada dalam keadaan segar untuk aktif dalam kegiatan termasuk bekerja. Konsep ini dapat dipakai untuk menerangkan peristiwa-peristiwa yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan.Misalnya peristiwa seseorang yang lelah tibatiba kelelahannya hilang oleh karena terjadi suatu peristiwa yang tidak diduga atau terjadi tegangan emosi.Dalam hal itu, sistem penggerak tiba-tiba terangsang dan dapat menghilangkan pengaruh sistem penghambat.Demikian pula pada peristiwa monotoni, kelelahan terjadi oleh karena kuatnya hambatan dari sistem penghambat, walaupun sesungguhnya beban kerja tidak seberapa untuk menjadi penyebab timbulnya kelelahan. 3.4.5 Cara Mengatasi Kelelahan Menurut Winarsunu (2008) yang mengutip pendapat Macleod menyatakan bahwa istirahat dengan waktu pendek tetapi sering dilakukan akan lebih efektif dalam mengatasi kelelahan daripada istirahat yang waktunya panjang tetapi hanya sekali atau jarang dilakukan. Upaya yang lainnya adalah mengatur intensitas dan durasi penggunaan tenaga fisik dan mental sehari-hari, beban kerja harus merata sepanjang waktu, ada perputaran tugas-tugas yang berat dengan yang tidak, dan
mengurangi kondisi lingkungan kerja yang ekstrim yang dapat menyebabkan kelelahan kerja. Kelelahan dapat dikurangi bahkan ditiadakan dengan pendekatan berbagai cara yang di tujukan kepada aneka hal yang bersifat umum dan pengelolaan kondisi pekerjaan dan lingkungan di tempat kerja. Misalnya, banyak hal dapat dicapai dengan menerapkan jam kerja dan waktu istirahat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pengaturan cuti yang tepat, penyelenggaraan tempat istirahat yang memperhatikan kesegaran fisik dan keharmonisan mental-psikologis, pemanfaatan masa libur dan peluang untuk rekreasi, dan lain-lain. Penerapan ergonomi yang bertalian dengan perlengkapan dan peralatan kerja, cara kerja serta pengelolaan lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan fisiologi dan psikologi kerja merupakan upaya yang sangat membantu mencegah timbulnya kelelahan (Suma’mur, 2013). 3.4.6 Pengukuran Kelelahan Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan secara langsung. Pengukuran yang dilakukan peneliti sebelumnya hanya berupa indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja.Menurut Tarwaka et.al. (2004),mengelompokkan
metode
pengukuran
kelelahan
dalam
beberapa
kelompok sebagai berikut: 1. Kualitas dan Kuantitas kerja yang di lakukan Pada metode ini, kuantitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja (waktu yang digunakan setiap item) atau proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu. Namun demikian banyak faktor harus
dipertimbangkan seperti, target poduksi, faktor sosial dan perilaku psikologis. Sedangkan kualitas output (kerusakan dan penolakan produk) atau frekwensi kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukan merupakan causal factor. 2. Uji psikomotor (Psychomotor test) Metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi motor. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan pengukuran waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksankan kegiatan.Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit atau goyangan badan. Terjadinya pemanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk adanya perlambatan proses faal syaraf dan otot. Dalam uji waktu reaksi ternyata stimuli terhadap cahaya lebih signifikan daripada stimuli suara.Hal tersebut disebabkan karena stimuli suara lebih cepat diterima oleh reseptor daripada stimuli cahaya.Alat ukut waktu reaksi yang telah dikembangkan di Indonesia biasanya menggunakan nyala lampu dan denting suara sebagai stimuli, yang alatnya dikenal sebagai Reaction Timer. 3. Uji hilangnya kelipan (flicker-fusio test) Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antara dua kelipan, disamping itu untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja.
4. Uji beban kerja mental secara Fisiologis/Biomekanis Seseorang tenaga kerja dapat dianggap fit untuk sesuatu pekerjaan tertentu, bila orang itu dapat melakukan pekerjaan tersebut secara terus menerus tanpa merasa lelah dan mempunyai kapasitas cadangan bila harus menghadapi beban kerja yang lebih berat tanpa terjadi gangguan keseimbangan fisiologis setelah menyelesaikan pekerjaannya. Tes kesegaran jasmani diperlukan untuk memilih tenaga kerja yang diperlukan pada pekerjaan tertentu, untuk menilai tingkat kesegaran jasmani sebelum kerja, saat pemeriksaan kesehatan berkalah dalam meniliai pengaruh pekerjaan dan penilaian kembali setelah mengalami penyakit atau cidera.Salah satu tes untuk mengukur tingkat kesegaran jasmani adalah tes bangku Harvard (Harvard Step Test) yang saat ini telah mengalami modifikasi. 5. Pengukuran Kelelahan secara Subjektif A. Subejctive Self Rating Test Subjective Self Rating Test dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) Jepang merupakan salah satu kuesioner yang dapat untuk mengukur tingkat kelelahan subjektif.Kuesioner dengan 30 pertanyaan tentang gejala kelelahan umum diambil dari International Fatigue Research Committee of Japanese Association of Industrial Health, yang dibuat sejak tahun 1967.Di sosialisasikan dan dimuat dalam prosiding symposium on Methodeology of Fatigue Assesment.Simposium ini diadakan di Kyoto Jepang pada tahun 1969. Pertanyaan yang terdiri dari
10 pertanyaan tentang pelemahan kegiatan, 10 pertanyaan tentang pelemahan motivasi, dan 10 pertanyaan tentang gambaran kelelahan fisik. Skor yang diberikan pada masing-masing frekuensi yaitu tidak pernah merasakan diberi nilai 1, kadang-kadang merasakan diberi nilai 2, sering merasakan diberi nilai 3, dan sering sekali merasakan diberi nilai 4. Hasil akhir penilaian terdiri dari 4 tingkatan kelelahan yaitu tingkat kelelahan rendah (30-52), tingkat kelelahan sedang (53-75), tingkat kelelahan tinggi (76-98), dan tingkat kelelahan sangat tinggi (99-120). B. Nordic Body Map Metode ini merupakan metode yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan (severity) atas terjadinya gangguan atau cedera pada otot-otot skeletal.Penilaiannya sangat subjektif, artinya keberhasilan aplikasi metode ini sangat tergantung dari kondisi dan situasi yang dialami pekerja pada saat dilakukannya penilaian dan juga tergantung dari keahlian dan pengalaman observer yang bersangkutan.Dalam aplikasinya, metode ini menggunakan lembar kerja berupa peta tubuh (body map) yang sangat sederhana dan mudah dipahami, serta hanya memerlukan waktu yang sangat singkat sekitar 5 menit.Observer dapat langsung mewawancarai atau menanyakan kepada responden, pada otot-otot skeletal bagian mana saja yang mengalami gangguan berupa nyeri atau sakit, dari mulai tingkat keluahan ringan sampai dengan berat.
3.5 Hubungan Shift Kerja dengan Kelelahan Menurut Grandjean yang dikutip oleh Winarsunu (2008) mengemukakan bahwa pekerja shift malam umumnya mempunyai kesehatan yang kurang baik. Mereka biasanya menderita gangguan pencernaan dan merasa gelisah atau gugup.Hal ini disebabkan oleh kronik dan kebiasaan makan dan minum yang tidak sehat. Kelelahan kronik tersebut adalah antara lain kehilangan vitalitas, perasaan depresi, perasaan mudah marah dan keletihan meskipun mereka sudah tidur. Keadaan ini biasanya disertai dengan gangguan psikosomatik, antara lain kehilangan nafsu makan, gangguan tidur dan gangguan pencernaan. Jadi kegelisahan yang dialami pekerja shift malam adalah dari kelelahan kronik yang dikombinasikan dengan kebiasaan makan yang tidak sehat yang menyebabkan penyakit-penyakit pencernaan. Pada kenyataannya, kelelahan pada kerja malam relatif sangat besar. Sebabnya antara lain ialah faktor faal dan metabolisme yang tak dapat diserasikan. Sebab penting lainnya adalah sangat kuatnya kerja saraf parasimpatis dibanding dengan persyarafan simpatis pada malam hari.Padahal seharusnya untuk bekerja, bekerjanya saraf simpatis harus melebihi kekuatan parasimpatis. Selain itu jumlah jam kerja yang dipakai untuk tidur bagi pekerja malam pada siang harinya relatif jauh lebih besar dari seharusnya, dikarenakan gangguan suasana siang hari seperti kebisingan, suhu, keadaan terang, dan lain-lain dan oleh karena kebutuhan badan tidak dapat diubah seluruhnya menurut kebutuhan yaitu terbangun oleh dorongan lapar atau buang air kecil yang relatif banyak pada siang hari. Juga aktivitas dalam keluarga atau masyarakat menjadi penyebab kurangnya tidur pada siang hari
padahal sangat penting artinya bagi tenaga kerja yang bekerja malam hari (Suma’mur, 2013). 3.6 Kerangka Konsep Variabel Independen
Variabel Dependen
Shift Kerja Shift Pagi (08.00-20.00 WIB) Shift Malam (20.00-08.00 WIB)
Kelelahan