BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kucing Kucing merupakan hewan karnivora yang banyak tersebar di berbagai belahan
dunia. Kucing lokal (Fellis catus) adalah kucing hasil persilangan antara Fellis silvetris dengan Libica yang merupakan keturunan dari Fellis silves. Ciri khas dari kucing lokal ialah bulunya pendek dengan warna yang bermacam-macam dan bervariasi seperti abu-abu, coklat dan perpaduan dari berbagai warna/belang (Mason, 1984). Menurut Ratmus (2000), klasifikasi kucing adalah sebagai berikut: Kingdom Phylum Sub Phylum Kelas Sub Kelas Sub Ordo Famili Sub Famili Genus Spesies
2.2
: Animalia : Chordata : Vertebrata : Mamalia : Theria : Fissipedia : Felidae : Machairodonynae : Fellis : Fellis Catus (Kucing Lokal).
Dermatitis Dermatitis merupakan suatu proses peradangan yang terjadi pada kulit untuk
membawa sel-sel pertahanan tubuh ke dalam jaringan yang terinfeksi sehingga membatasi terjadinya kerusakan pada jaringan dan mempercepat proses kesembuhan.
6
7
Berdasarkan penyebabnya dermatitis terdiri dari dermatitis eksogen dan dermatitis endogen, dimana salah satu jenis dermatitis eksogen adalah dermatitis kontak. Dermatitis kontak merupakan peradangan pada kulit yang disebabkan oleh suatu bahan yang kontak dengan kulit (Hayakawa, 2000). Jika suatu agen kontak dan masuk kedalam tubuh maka akan merusak sel dermal kemudian akan melewati membran sel dan merusak sistem sel. Setelah adanya sel yang mengalami kerusakan maka akan merangsang pelepasan mediator inflamasi ke daerah yang mengalami peradangan oleh sel T dan sel mast sehingga memacu pelepasan asam arakidonat dan fosfolipid dengan bantuan fosfolipase. Asam arakidonat akan dirubah menjadi siklooksigenase (menghasilkan prostaglandin dan tromboksan) dan lipooksigenase (menghasilkan leukotrin). Prostaglandin dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah sehingga akan terlihat berwarna merah pada daerah yang mengalami peradangan, serta mempengaruhi saraf sehingga akan terasa sakit. Sedangkan leukotrin dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler di daerah peradangan sehingga meningkatkan jumlah cairan dan terlihat bengkak/odema serta berefek kemotaktik kuat terhadap eosinofil, netrofil dan magrofag, selain itu akibat adanya tekanan dari akumulasi cairan plasma pada saraf tepi di sekitar peradangan akan menimbulkan rasa sakit (Beltrani, 2006). Dermatitis kontak pada kucing dapat disebabkan oleh antibiotik topikal, kontak dengan nikel, kontak dengan plastik yang mengandung bahan kimia atau yang disebabkan oleh sejumlah racun. Dermatitis kontak pada kucing ditandai dengan adanya eritema (kemerahan), odema, papul, vesikel/lepuh, bahkan terjadilesi yang
8
menyebabkan pertumbuhan bulu menjadi lambat pada daerah yang mengalami peradangan (Yuliarti, 2009).
2.3
Tumbuhan Tuba Tuba adalah nama jenis tumbuhan dari Asia Tenggara dan kepulauan di
Pasifik Barat Daya yang biasa digunakan untuk meracuni ikan. Ada beberapa jenis tuba, tetapi yang umum diketahui sebagai tumbuhan tuba adalah dari jenis Derris elliptica dan Derris malaccensis yang banyak dijumpai di Indonesia dan Malaysia (WHO, 1992).Tuba (Derris elliptica) termasuk ke dalam famili Fabaceae (Leguminocae), tanaman ini merupakan liana yang tumbuh membelit pada tumbuhan/pohon lain, dengan panjang 5-10 meter. Ranting yang sudah tua berwarna coklat dengan lentisel yang berbentuk jerawat dan bertangkai pendek. Daunnya tersebar disepanjang tangkai dan sisi bawah daun berwarna hijau keabu-abuan atau hijau kebiru-biruan, serta tangkai bunganya berwarna ungu dengan panjangnya kurang lebih satu cm. Buah polong berbentuk oval sampai memanjang dengan jumlah biji 1-2 danmusim berbuah pada bulan April-Desember (Sitepu, 1995). Tanaman tuba memiliki nama yang berbeda-beda pada setiap daerah, seperti di Kalimantan Barat tanaman ini dikenal dengan nama akar jenu, kayu tuba, tuba kurung. Di daerah Jawa dikenal dengan nama besto, oyod ketungkul, oyod tungkul, tuba, tuba akar, tuba jenu. Di daerah Sunda dikenal dengan nama tuwa, tuwa lalear, tuba leteng, sedangkan di Sumatera dikenal dengan nama tuba jenuh, tuba dan tuba jenong dan di Bali disebut dengan tuba(Adharini, 2008).
9
Menurut WHO (1992), taksonomi tumbuhan tuba (Derris elliptica) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Sub divisi Kelas Ordo Famili Genus Species
: Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Dikotyledonae : Rosales : Leguminoceae : Derris : Derris elliptica.
Gambar 1. Tumbuhan Tuba Yang Membelit di Pohon Yang Lain (Sumber : Siswanto).
10
Gambar 2. Akar Tuba Yang Sudah Diambil Dari Pohonnya. (Sumber : Siswanto). 2.3.1 Penyebaran tumbuhan tuba Menurut Westphal dan Jansen (1987), tuba merupakan tanaman liar yang telah dibudidayakan. Budidaya tanaman ini dapat ditemukan mulai dari India hingga Papua Nugini termasuk seluruh kawasan Asia Tenggara. Tanaman ini juga telah dibudidayakan di daerah tropik Afrika dan Amerika. Tanaman tuba tersebar di seluruh Nusantara dan di Jawa dibudidayakan di kampung-kampung. Di Jawa ditemukan mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1500 m dari permukaan laut, tumbuh di tempat yang tidak begitu kering dalam hutan dan belukar, di tepi hutan serta pinggir sungai dan selalu tumbuh terpencar (Heyne, 1987). Pada tahun 1940 luas tanaman tuba di Indonesia ditaksir sekitar 7000 ha.
11
Produksi akar tuba kering antara 1-2,5 ton/ha dengan jumlah ekspornya mencapai 570 ton, baik yang berasal dari perkebunan maupun dari tanaman rakyat (Mujinan, 1981). 2.3.2
Kandungan tumbuhan tuba Tuba memiliki kandungan zat beracun yang banyak terdapat di dalam akar
tuba.
Zat
beracun
terpenting
yang
terkandung
pada
akar
tuba
adalah
rotenon/tubotoxin dengan kadar yaitu 0,3-12%, secara kimiawi digolongkan ke dalam kelompok flavonoid. Zat-zat beracun lainnya adalah deguelin (0,2-2,9 %), elliptone (0,4-4,6%) dan toxikarol (0-4,4%), tetapi belum pernah digunakan sebagai insektisida karena kandungannya dalam akar tuba sangat rendah (Martono et al., 2004). Menurut Isroi (2008), rotenon dapat digunakan sebagai moluskisida untuk membasmi moluska seperti siput maupun keong, insektisida untuk membunuh insekta seperti serangga, nyamuk, lalat dan hama pada tanaman dan sebagai akarisida untuk membasmi hewan berkaki lebih dari empat seperti tungau, caplak dan pinjal. Rotenon merupakan insektisida alami yang kuat, titik lelehnya 163ÂșC, larut dalam alkohol, karbon tetraclorida, kloroform dan pelarut organik lainnya (WHO, 1992). Bahan aktif rotenon mempunyai beberapa sifat yaitu sangat beracun terhadap ikan dan serangga, bekerja sebagai racun perut dan kontak, serta residu tidak persisten (Ratnawati, 1986). Toksisitas rotenon lebih tinggi pada ikan dan serangga karena toksisitasnya lebih tinggi melalui insang atau trakea, tetapi pada mamalia tidak mudah melalui kulit atau melalui saluran pencernaan. Kematian pada manusia dan mamalia yang
12
disebabkan rotenon jarang terjadi karena efeknya menyebabkan muntah (WHO, 1992). Sebagai racun perut rotenon akanmasuk ke dalam tubuh melalui mulut karena insekta maupun ikan biasanya mengambil makanan dari tempat hidupnya, sehingga menghalangi ikatan enzim Nikotinamida Adenin Dinukleotida (NADH) dengan sitokrom c-reduktase dan sitokrom komplek yang berada di dalam mitokondria, akibatnya sel kehilangan energi dan pernafasan sel akan terhenti. Sebagai racun kontak rotenon juga dapat masuk ke dalam tubuh insekta maupun ikan melalui kulit dan masuk ke dalam sel-sel epidermis yang selalu mengalami pembelahan dalam proses pergantian kulit, sehingga sel-sel epidermis mengalami kelumpuhan (paralisis) dan akhirnya mati. Sebagai racun pernafasan rotenon dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan yang kemudian akan diteruskan melalui pembuluh atau tabung trakea yang bercabang-cabang sampai mencapai jaringan tubuh (otot dan saraf). Rotenon yang masuk ke dalam tubuh akan menyebar ke seluruh jaringan tubuh dan secara selektif menyerang sistem saraf pusat sehingga sel-sel saraf akan mengalami kelumpuhan yang diakhiri dengan kematian (Sayono et al., 2010). Beberapa
produk
komersial
menambahkan
bahan
sinergis
untuk
meningkatkan kinerja rotenon dengan mencampurkan piretrin, tembaga atau belerang (Novizan, 2002). Rotenon diklasifikasikan oleh World Health Organization (WHO, 2011),sebagai insektisida kelas II dengan tingkat bahaya menengah. Rotenon sangat cepat rusak di air dan di tanah, dalam waktu 2-3 hari dengan paparan sinar matahari seluruh racun rotenon akan hilang.
13
2.3.3
Penggunaan akar tuba Sebelum insektisida organik sintetik digunakan secara luas, para petani di
pulau Jawa sering menggunakan cairan perasan tembakau dan akar tuba untuk mengendalikan kutu tanaman dan beberapa jenis ulat pada tanaman palawija dan sayuran tertentu. Bahan insektisida dari akar tuba dilaporkan telah digunakan untuk mengendalikan hama tanaman di Malaysia sejak tahun 1848 (Prijono dan Triwidodo, 1993). Selain itu akar tuba digunakan sebagai insektisida dalam membunuh hama pada biji kacang hijau (Callobruchus analis) (Kardinan, 2000). Di bidang perikanan akar tuba selain berfungsi sebagai bahan peracun ikan baik di kolam maupun di perairan bebas, juga dapat digunakan untuk pemberantasan ikan liar di tambak dalam usaha intensifikasi budidaya ikan dan udang (Hanafi, 1979). Bubuk akar tuba efektif untuk membasmi Poecilia reticulate (jenis ikan pengganggu di kolam air tawar dan payau) (Guerrero et al., 1990). Manfaat lainnya dapat membunuh kutu kepala pada manusia (Peniculus himanus) (Sosromarsono, 1990),sebagai anti ektoparasit untuk membunuh kutu pada anjing(Heyne, 1987), serta sebagai bioinsektisida dalam pengendalian nyamuk (Kardinan, 2009). Ekstrak akar tuba dapat mematikan larva Aedes aegypti (LC50=1,90 mL/10mL) dan Culex quinquefaciatus (LC50 = 18,53) (Yoon, 2009). 2.3.4 Keracunan akut (Acute toxicity) Keracunan akut secara oral pada mamalia terjadi secara moderat dan sangat bervariasi. Pada kelinci, rotenon bersifat sangat iritatif terhadap kulit dan mata.
14
Dipercaya rotenon berefek toksik moderat pada manusia bila tertelan pada dosis antara 300 - 500 mg/kg. Kejadian keracunan fatal pada manusia dan mamalia jarang terjadi karena sediaan rotenon dalam bentuk kosentrasi rendah dan bila tertelan efeknya menyebabkan muntah (WHO, 1992). Pada mamalia dan hewan berdarah panas efek lokal akut rotenon dapat berbentuk konjungtivitis, dermatitis, batuk dan muntah. Bila terhirup dalam jumlah besar mengakibatkan penekanan pada saluran pernafasan sehingga terjadi depresi dan konvulsi serta terjadi iritasi pada paru-paru (Tarumingkeng, 1992).