BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN TEORI 1. Stroke Iskemik a. Definisi Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 1998 adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global yang berlangsung dengan cepat, lebih dari 24 jam kecuali ada intervensi bedah atau membawa kematian, yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab vaskuler. Perubahan vaskuler yang terjadi dapat disebabkan karena kelainan jantung sebagai pompa, kelainan dinding pembuluh darah dan komposisi darah. Definisi ini mencakup stroke iskemik, perdarahan intraserebral non traumatik, perdarahan intraventikuler dan beberapa kasus perdarahan subarahnoid (Gonzales et al., 2006; Warlow et al., 2007; Caplan, 2009). Sekitar 85% dari semua stroke disebabkan oleh stroke iskemik atau infark. Stroke iskemik terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Stroke iskemik lebih banyak terjadi pada usia lanjut, karena pada usia lanjut banyak didapati penebalan dan pengerasan pada dinding pembuluh darah, yang disebut aterosklerosis (Gofir, 2011; Suroto, 2012).
6
7
b. Epidemiologi Stroke merupakan kegawatan neurologi yang serius dan menduduki peringkat yang tinggi sebagai penyebab kematian dan kecacatan serta merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di Amerika Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah penyakit jantung dan kanker. Setiap tahun 500.000 orang terserang stroke di Amerika Serikat, 400.000 orang terkena stroke iskemik dan 100.000 orang menderita stroke hemoragik, dengan 175.000 orang diantaranya mengalami kematian. Dilaporkan setiap satu jam penduduk Amerika terserang stroke dan setiap tiga menit pasien stroke meninggal (Adams et al., 2003; Setyopranoto, 2012). Insidensi serangan stroke yang pertama didapatkan stroke iskemik 6991% sedangkan perdarahan antara 9-31%. Aterosklerosis intrakranial merupakan salah satu penyebab utama stroke di seluruh dunia, dan mempunyai risiko rekurensi yang tinggi. Penelitian besar, multi senter tentang pencegahan penyakit ini masih sedikit. Lebih 690.000 individu dewasa menderita stroke setiap tahun di Amerika Serikat, dan diperkirakan 240.000 individu mengalami Transient Ischemic Attack (TIA). Estimasi rata-rata setiap tahun untuk menderita stroke di masa depan sebesar 3-4% (Kernan et al., 2014) Negara-negara berkembang menyumbang lebih dari dua pertiga pasien stroke dengan usia rata-rata 15 tahun lebih muda dibandingkan dengan negara maju (Lipska et al., 2007). Sebuah tinjauan sistematis dari
8
literatur tahun 1980 sampai 2010 didapatkan insiden stroke di Asia Tenggara bervariasi antara 123-145 per 100.000 penduduk dengan prevalensi 45-471 per 100.000 penduduk (Kulshrestha et al., 2012). Berdasar survei berbasis komunitas pada 120 daerah di Indonesia dengan 4.269.629 sampel didapatkan prevalensi stroke sebesar 1,7-22 per 100.000 penduduk. Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan insiden stroke seperti contoh di Yogyakarta, dari hasil penelitian di 5 rumah sakit selama tahun 1991 dilaporkan insiden stroke sebesar 84,68 per 100.000 penduduk (Soendoro, 2008). Prevalensi stroke di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 8,3 per 1000 penduduk dan menunjukkan angka kematian tertinggi sebesar 15,4% (Riset Kesehatan Dasar, 2007). Penelitian pada beberapa rumah sakit di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia melaporkan kurang lebih 50% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal saraf adalah pasien stroke dan kurang dari 5% dari pasien yang dirawat meninggal karena stroke. Angka morbiditas berdasarkan jenis patologis stroke didapatkan 66% adalah stroke iskemik yang disebabkan oleh trombosis, 6% stroke iskemik karena emboli, 24 % stroke perdarahan intraserebral dan 4 % stroke perdarahan subarahnoid (Setyopranoto, 2012). Peningkatan kejadian stroke berkorelasi dengan bertambahnya usia. Menurut Framingham terlihat korelasi yang bermakna antara kejadian stroke dengan bertambahnya usia. Kejadian stroke di Indonesia agak berbeda, dimana wanita lebih banyak dari pria (53,8% dan 46,2%). Studi
9
Framingham melaporkan kejadian pada pria rata-rata 2,5 kali lebih banyak daripada wanita (Setyopranoto, 2012). Usia rata–rata stroke dari 28 Rumah Sakit di Indonesia adalah 58,8 ± 13,3 tahun dengan kisaran 18–95 tahun, usia rata–rata wanita lebih tua daripada pria, yaitu 60,4 ±13 tahun versus 57,5 ± 12,7 tahun (Soertidewi dan Misbach, 2011) c. Klasifikasi stroke Klasifikasi stroke menurut (Caplan, 2009; Gofir, 2011): Berdasarkan atas patologi anatomi dan penyebabnya : 1)
2)
Stroke iskemik (i)
Transient Ischemic Attack (TIA)
(ii)
Trombosis serebri
(iii)
Emboli serebri
Stroke Hemoragik (i)
Perdarahan intraserebral
(ii)
Perdarahan subarakhnoid
ii. Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu 1)
Transient Ischemic Attack (TIA)
2)
Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
3)
Stroke in evolution atau Progressing Stroke
4)
Completed stroke
iii. Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah) 1)
Tipe karotis
2)
Tipe vertebrobasiler
10
iv. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark a. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) b. Total Anterior Circulation Infarct (TACI) c. Lacunar Infarct (LACI) d. Posterior Circulation Infarct (POCI) Penggunaan klinis yang lebih praktis adalah klasifikasi dari New York Neurological Institute, stroke berdasarkan mekanisme terjadinya dibagi dalam dua bagian besar, yaitu: stroke iskemik (85%) yang terdiri dari thrombosis 75-80%, emboli 15-10%, lain-lain 5%: vaskulitis, koagulopati, hipoperfusi, dan stroke hemoragik (10-15%) yang terdiri dari: perdarahan intraserebral (parenkimal) dan perdarahan suarahnoid (Caplan, 2009; Gonzales et al., 2011). d. Faktor risiko Faktor risiko untuk terjadinya stroke yang pertama dapat diklasifikasikan berdasarkan pada kemungkinan untuk dimodifikasi (nonmodifiable, modifiable, or potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented or less well documented) (Goldstein, 2006) i.
Non-modifiable risk factors : 1) Age 2) Sex 3) Low birth weight 4) Race / ethnicity 5) Genetic
11
ii. Modifiable risk factors 1) Well-documented and modifiable risk factor (i)
Hipertensi
(ii)
Terpapar asap rokok
(iii) Diabetes (iv) Atrial fibrillation and certain other cardiac condition (v)
Dislipidemia
(vi) Stenosis arteri carotis (vii) Sickle cell disease (viii) Terapi hormon postmenopause (ix) Poor diet (x)
Physical inactivity
(xi) Obesitas dan distribusi lemak tubuh 2) Less well-documented and modifiable risk factor (i)
Sindrom metabolik
(ii)
Alcohol abuse
(iii) Penggunaan kontrasepsi oral (iv) Slepp-disordered breathing (v)
Nyeri kepala migren
(vi) Hiperhomosisteinemia (vii) Peningkatan lipoprotein (a) (viii) Hypercoagulability (ix) Inflamasi dan infeksi
12
e. Patofisiologi stroke iskemik i. Gangguan regulasi aliran darah pada stroke iskemik Otak merupakan suatu organ yang memerlukan aliran darah terus menerus, dalam jumlah yang proporsional jauh lebih tinggi dari pada organ tubuh yang lain. Untuk menjamin suplai darah ini, otak disuplai oleh dua pasang pembuluh darah yang di dalam rongga tengkorak membentuk suatu sistem jaringan anastomosis sehingga kekurangan dari satu pembuluh darah dapat ditambah dari yang lain (Caplan, 2009). Stroke iskemik terjadi apabila aliran darah otak menurun (dibawah 50–60 ml/100 gr jaringan permenit). Situasi tersebut akan terjadi metabolisme anaerob, menyebabkan peningkatan konsentrasi laktat dan ion hidrogen, selain itu juga terjadi penurunan pH intrasel, penurunan fosfokreatin
jaringan,
dan
peningkatan
kadar
fosfat
organik.
Metabolisme anaerob akan menyebabkan penurunan ATP intrasel sehingga terjadi hambatan aktivitas Na/K-ATPase dan diikuti kerusakan progresif sistem pompa dan transpor yang membutuhkan energi (Na/KATPase, Ca-ATPase) yang berujung penumpukan ion kalsium intrasel, hal ini akan mengakibatkan kerusakan mitokondria, membran sel, aktivasi beberapa sistem enzim serta nekrosis sel. Kegagalan ionik dan overload kalsium intrasel akan menyebabkan depolarisasi anoksik. Proses selanjutnya akan terjadi penurunan pembentukan potensial sinap oleh neuron korteks serebri yang menimbulkan defisit neurologi (Caplan, 2009; González et al., 2011).
13
Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan atau sebab lain mengakibatkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapat tiga lapisan yang berbeda, berdasarkan tingkat iskemik (Misbach dan Soertidewi, 2011): 1. Lapisan inti yang sangat iskemik, terlihat pucat karena CBF (Cerebral Blood Flow) paling rendah. Tampak degenerasi neuron, vasodilatasi pembuluh darah tanpa aliran darah, asam laktat tinggi dengan PO2 rendah, daerah ini akan mengalami nekrosis. 2. Daerah ischemic penumbra, CBF lebih tinggi dari lapisan inti, meski tergolong rendah. Fungsi sel menjadi terhenti, terjadi functional paralysis, asam laktat tinggi dengan PO2 rendah, PCO2 tinggi, daerah ini masih mungkin selamat dengan resusitasi dan manajemen yang tepat sehingga dapat
mencegah pelepasan glutamat, menurunnya
influk ion kalsium. 3. Luxury perfusion, yaitu daerah sekeliling penumbra, berwarna merah dan edema, vasodilatasi pembuluh darah maksimal, PO2 dan PCO2 tinggi dan kolateral maksimal. Sisi ipsilateral maupun kontralateral hemisfer yang terkena juga mengalami pengurangan seluruh aliran darah atau diakisis, hal ini dikarenakan perubahan neurotransmitter dopamin atau serotonin yang mengalami perubahan keseimbangan mendadak karena sumbatan. Proses ini dapat terjadi hari sampai minggu tergantung luas iskemik (Misbach dan Soertidewi, 2011).
14
Tekanan darah sistemik berkaitan erat dengan besar aliran darah yang mensuplai otak atau biasa disebut aliran darah otak /ADO (cerebral blood flow/CBF). Aliran darah otak dijaga pada kecepatan yang konstan antara 50 ml/100 gr jaringan permenit oleh autoregulasi serebral. Autoregulasi terjadi meskipun ada perubahan pada resistensi vaskular serebral yang menyebabkan vasodilatasi, pada penurunan tekanan darah dan juga vasokontriksi pada kenaikan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak adalah aliran intrinsik pembuluh darah otak agar aliran darah otak tetap, meski ada perubahan tekanan perfusi serebral (Suroto, 2012). Aliran darah otak ditentukan oleh beberapa faktor seperti viskositas darah, kemampuan pembuluh darah dalam berdilatasi, tekanan perfusi serebral yang ditentukan oleh tekanan darah dan tekanan intrakranial. Pembuluh darah serebral mempunyai kemampuan untuk mengubah aliran darah dengan cara mengubah diameter lumen pembuluh darah, proses ini disebut dengan autoregulasi. Kontriksi pembuluh darah akan terjadi bila tekanan darah meningkat dan akan berdilatasi bila tekanan darah menurun (Kendel et al., 2000 cit. Gofir, 2011). Hukum Hagen-Poiseuille menyebutkan bahwa aliran darah yang melalui suatu arteri berhubungan langsung dengan tekanan perfusi pembuluh darah (P) dan penampang pembuluh darah pangkat empat (r4). Kecepatan aliran darah berhubungan terbalik dengan panjang arteri, viskositas dan faktor VIII. Suroto (2012) mengemukakan aliran darah otak regional dapat dipengaruhi oleh:
15
1)
Resistensi serebrovaskuler, dipengaruhi oleh penampang pembuluh darah
2)
Tekanan perfusi otak (TPO)
3)
Viskositas dan koabilitas darah
4)
Tekanan intrakranial
TPO sama dengan tekanan darah sistemik dikurangi tekanan darah vena kapiler. Tekanan hanya beberapa mmHg, sehingga bisa dikatakan TPO sama dengan tekanan darah sistolik. Sedangkan viskositas darah dipengaruhi oleh hematokrit, fibrinogen darah, rigiditas eritrosit dan agregasi trombosit (Suroto, 2012). Batas normal otoregulasi ADO terletak antara 50-150 mm Hg. Normal aliran darah otak adalah 50-60 ml/100 gram jaringan permenit, apabila terjadi suatu sumbatan sehingga aliran darah terganggu total, maka dalam waktu 12-15 detik akan terjadi penekanan aktivitas elektris, dalam waktu 2-4 menit akan terjadi hambatan eksitabilitas sinaptik dan dalam waktu 4-6 menit terjadi hambatan eksibilitas elektrik neuronal. Tingkat iskemia dan lama aliran darah terhenti menentukan berat ringan gangguan fungsional otak (Suroto, 2012). ii.
Perubahan Histopatologis Vaskuler, Biokimiawi dan Fungsional Pada Stroke Iskemik Dasar patofisiologi stroke akut meliputi dua proses yang saling terkait yaitu: (Warlow et al., 2008; Misbach, 2011)
16
I. Perubahan
vaskuler,
hematologik,
atau
kardiologik
yang
mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke bagian otak yang terserang II. Perubahan biokimiawi yang terjadi pada sel otak akibat iskemik sehingga terjadi nekrosis sel otak Perubahan biokimiawi pada stroke dimulai bila terjadi gangguan aliran darah ke salah satu bagian otak. Iskemia menimbulkan gangguan metabolisme energi otak, terjadi akumulasi ion kalsium dalam ruang intraseluler, peningkatan kadar laktat, asidosis dan produksi radikal bebas, sehingga terjadi gangguan homeostasis seluler. Bila gangguan cukup berat, akan terjadi kematian sel. Gangguan total aliran darah serebral menyebabkan penekanan aktivitas elektris dalam waktu 12-15 detik, hambatan eksibilitas sinaptik dari neuron kortikal setelah 2-4 menit, hambatan eksibilitas elektrik setelah 4-6 menit (Suroto, 2012). Perubahan histopatologis sebagai komplikasi vaskuler pada pasien stroke dapat disebabkan oleh mikroangiopati maupun makroangiopati. Hipertensi, hiperkolesterolemi, dislipedemi, merokok, obesitas dan hiperhomosisteinemi Hiperglikemi
bukan
merupakan merupakan
penyebab penyebab
lain
mikroangiopati.
tunggal
terjadinya
makroangiopati, tetapi berhubungan dengan faktor risiko lain yang dapat menyebabkan aterotrombosis. Hipertensi, dislipidemi, obesitas, resistensi insulin, hiperinsulinemi dan gangguan fibrinolisis merupakan penyebab kerusakan dinding vaskuler dengan manifestasi disfungsi endotel sebagai
17
faktor utama pada mikroangipati dan makroangiopati (De caterina, 2000 cit. Setyopranoto, 2012). iii. Kerusakan jaringan otak karena stroke iskemik Hilangnya perfusi ke otak dalam beberapa detik sampai menit menyebabkan terjadinya kaskade iskemik dengan gambaran pusat sentral area infark irreversible yang dikelilingi oleh area penumbra (potensial reversibel). Saat terjadi gangguan aliran darah otak, terjadi kekurangan asupan O2 dan glukosa untuk proses fosforilasi oksidatif, proses oksidasi anaerob menghasilkan asam laktat. Otak juga mengalami asidosis, sehingga terjadi denaturasi protein, influx Ca2+, edem glial dan terjadi produksi radikal bebas (Gofir, 2011). Stroke iskemik terkait dengan pengaturan aliran darah dan suplai energi ke otak, memicu sedikitnya lima mekanisme fundamental yang menyebabkan kematian sel: eksitotoksisitas dan ketidakseimbangan ion, stress oksidatif, inflamasi, apoptosis dan depolarisasi periinfark. Proses patofisiologi ini berkembang berdasarkan waktu tertentu, dalam rangkaian komplek beberapa jam sampai beberapa hari (Gonzales, 2006).
Gambar 1. Kaskade waktu kerusakan sel iskemi otak (Dirnagel et al., 1999)
18
Mekanisme
Kematian
Jaringan
Otak
pada
Stroke
Iskemik
(Gonzales et al., 2006): 1.
Eksitotoksisitas dan ketidak seimbangan ion Stroke iskemik terjadi akibat kegagalan metabolisme energi secara seluler dan kegagalan proses yang tergantung energi seperti sodium-potasium ATP-ase. Kehilangan suplai energi mengakibatkan ketidakseimbangan ion, pelepasan neurotransmitter, dan hambatan re-uptake neurotransmitter eksitatori seperti glutamat. Glutamat terikat pada reseptor ionotropik N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic
acid
(AMPA)
sehingga terjadi influk kalsium secara berlebih (Singhal et al., 2006). 2.
Stres Oksidatif dan Nitrat Reactive oxygen species (ROS) seperti superoksid dan radikal hidroksilat telah diketahui memediasi kerusakan jaringan terkait reperfusi di beberapa sistem organ, termasuk otak, jantung, dan ginjal. Radikal oksigen bebas secara normal diproduksi oleh mitokondria selama transport elektron dan setelah iskemi, kalsium intrasel yang tinggi, natrium dan ADP menstimulasi mitokondria memproduksi radikal oksigen secara berlebihan. Nitric oxide synthase (NOS) yang aktif selama iskemik meningkatkan produksi NO yang bersama dengan superoksid membentuk peroksinitrit, suatu oksidan yang poten. NO dan stress oksidatif juga terkait dengan kerusakan DNA dan aktivasi poli(ADP-ribose)polymerase-1(PARP-1), suatu enzim
19
yang
memfasilitasi
repair
DNA
dan
mengatur
transkripsi.
Penghambatan aktivitas PARP-1 atau kehilangan gen PARP-1 mengurangi apoptosis dan kematian sel. 3. Apoptosis Apoptosis atau kematian sel terprogram terjadi melalui jalur dependent-caspase.
Caspase
adalah
enzim
protein-cleaving
(zymogens) yang termasuk dalam famili aspartat sistein yang terdapat pada sel otak dewasa dan terutama pada otak bayi baru lahir, khususnya neuron. Kematian sel dependent-caspase memerlukan energi dalam pembentukan ATP. Apoptosis secara predominan terjadi pada penumbra iskemik daripada pada inti iskemik, dimana level ATP menurun secara cepat. Apoptosis memicu radikal bebas, ligase reseptor kematian, kerusakan DNA, dan mungkin aktivasi protease lisosomal. 4. Inflamasi Inflamasi terkait dengan onset stroke dan kerusakan jaringan terkait stroke. Inflamasi yang terjadi pada dinding arteri memainkan peran vital dalam aterosklerosis. Trombosis arteri, yang terkait dengan plak ulserasi dipicu oleh proses multipel termasuk aktivasi endotel, interaksi pro-inflamasi dan pro-trombotik antara pembuluh darah dan elemen sirkulasi darah. Peningkatan risiko stroke dikaitkan dengan tingginya level marker serologi inflamasi seperti C-reactive protein,
20
erythrocyte sedimentation rate (ESR), interleukin-6 (IL-6), TNF-α, soluble intercellular adhesion molecule (sICAM). Stroke iskemik memicu kaskade inflamasi dalam parenkim yang semakin menambah kerusakan jaringan. Seperti halnya mikroglia reaktif, makrofag, dan lekosit yang direkrut ke dalam otak yang iskemik, mediator inflamasi juga dibangkitkan oleh sel-sel seperti neuron dan astrosit. inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS), cyclooxygenase-2 (COX-2), interleukin-1 (IL-1), dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) merupakan kunci mediator inflamasi. Setelah oklusi terjadi upregulation faktor-faktor transkripsi encoding gen secara cepat dalam waktu singkat dalam hitungan menit. Gelombang kedua terjadi heat shock genes (HSP70, HSP72) yang meningkat dalam 1-2 jam dan kemudian menurun pada hari ke 1-2. Kurang lebih 12-24 jam setelah stroke, terjadi gelombang ketiga berupa pelepasan kemokin dan sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-a, MCP-1). 5. Depolarisasi peri-infark Saat terjadi iskemia, sel neuron dan sel glia akan melakukan depolarisasi dan akan melepaskan kalium serta glutamat. Sel akan melakukan depolarisasi anoksik pada daerah inti iskemi dan tidak akan mengalami repolarisasi. Sel di sekitarnya dapat melakukan depolarisasi sebagai respon terhadap peningkatan ion kalium dan glutamat ekstrasel. Depolarisasi yang berulang inilah yang dinamakan
21
depolarisasi peri-infark. Proses ini terjadi berulang dengan frekuensi beberapa kali setiap jam dan dapat terekam sampai 6-8 jam. Semakin bertambah frekuensi, area infark akan semakin luas. Jalur sinyal intraseluler yang aktif dapat sebagai pencetus beberapa gen yang mengkode proses neuroinflamasi (Dirnagel et al., 2005).
Gambar 2. Jalur Kematian Sel setelah stroke Iskemik (Lo et al., 2003)
2. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Angiogenesis pada Stroke Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) awalnya murni sebagai vascular permeability factor dari sel yang membengkak, dan merupakan efek biologik yang terlihat pada mitogenesis sel-sel endotel. VEGF pertama kali dikemukakan sebagai faktor permeabilitas vaskuler oleh Dvorak dan kawankawan, diakui sebagai faktor angiogenik dan dapat diisolasi (Setyopranoto, 2012).
22
VEGF merupakan peptida multifungsional yang mampu menimbulkan proliferasi sel endotel dan angiogenesis baik secara in vivo maupun in vitro. VEGF berperan pada perkembangan vaskular masa embrional, dan terlibat juga pada patofisiologi neovaskularisasi orang dewasa (Setyopranoto, 2012). Angiogenesis merupakan kebutuhan pokok perkembangan organ tubuh (organogenesis), sampai terjadinya diferensiasi selama proses embriogenesis, penyembuhan luka dan berbagai proses hemostasis. Angiogenesis adalah suatu upaya kompensasi dari kondisi kekurangan suplai oksigen (hipoksia) dan atau nutrisi pada jaringan normal melalui pembentukan vasa darah kolateral. Mekanisme ini secara fisiologis dikontrol oleh beberapa substansi angiogenik dan angiostatik dalam keadaan seimbang (Setyopranoto, 2012). Aktivasi angiogenesis pada hipoksia kronis dapat mempengaruhi resistensi vascular dan selanjutnya menyebabkan hipertensi spontan. Pemberian antibodi VEGF-A-neutralizing akan mencegah angiogenesis yang diinduksi hipoksia dan selanjutnya dapat memperburuk hipertensi. VEGF melalui interaksi dengan reseptor VEGFR dapat menginduksi pengaruh vasodilatasi dan hipotensi vaskular, sebaliknya penghambatan terhadap sinyal VEGF dapat menyebabkan hipertensi (Setyopranoto, 2012). Aterosklerosis mengakibatkan disfungsi endotel yang menyebabkan inflamasi kronik sehingga terjadi pembentukan plak, rangkaian ini dijumpai pada stroke iskemik. Sitokin sebagai mediator inflamasi berperan penting pada aterogenesis dan ruptur plak. Dilaporkan bahwa sitokin, IL-10 dan IL-13 akan menyebabkan penurunan VEGF (Setyopranoto, 2012).
23
Ekspresi VEGF dapat dilihat di astrosit, neuron juga di sel-sel mikroglia/makrofag dan pada sel-sel endotel mikrovasa di tepi zona iskemi. Penelitian yang mengukur kadar VEGF pada pasien stroke iskemik akut mendapatkan hasil peningkatan kadar VEGF pada sebagian besar pasien dibandingkan kontrol, akan tetapi dibantah oleh peneliti lain yang menjelaskan bahwa meningkatnya kadar VEGF di serum merupakan respon aktivasi platelet dan kerusakan yang mengikuti kejadian iskemik (Setyopranoto, 2012). VEGF terdapat pada makrofag, neuron, sel glial dan otak yang iskemik. Makrofag di perifer dan inti pada awal infark menjadi sumber utama VEGF. Makrofag juga berperan dalam angiogenesis. Neuron-neuron yang iskemik juga berisi VEGF. Neuron-neuron ini dapat mengeluarkan VEGF dalam kondisi hipoksia sepanjang sel endotel. Beberapa sitokin dan growth factors juga memodulasi ekspresi gen VEGF (Talwar dan Srivasta, 2014). Angiogenesis memainkan peran penting dalam neurogenesis striatal setelah stroke. Pemberian beberapa growth factors pada fase awal paska stroke iskemik, menstimulasi angiogenesis maupun neurogenesis dan menghasilkan pemulihan fungsional paska stroke. VEGF merupakan faktor angiogenik paling poten untuk neovaskularisasi dan neurogenesis pada lesi iskemik yang dapat dimodulasi dalam beberapa cara sehingga dapat digunakan sebagai terapi stroke (Talwar dan Srivasta, 2014). Talwar dan Srivasta (2014) juga mengemukakan sebagai respon terhadap iskemik. VEGF dikeluarkan oleh sel endotel melalui mekanisme natural yang memicu angiogenesis dan vaskularisasi. Pelepasan ini juga dapat diregulasi
24
dengan pemberian stem sel mesenkimal eksogen, dengan beberapa regimen terapi fisik dan elektroakupuntur, yang mempunyai efek potensiasi efikasi VEGF sebagai terapi paska stroke.
3.
Hs-CRP
3.1 Sintesis dan struktur CRP CRP adalah protein yang terdapat dalam subyek sehat dengan median konsentrasi satu mg/L, dan sebagai prototype protein reaktan fase akut, konsentrasi dapat meningkat 100 kali lipat atau lebih sebagai respon terhadap injuri, infeksi atau inflamasi. Fenomena fase akut bisa juga bersamaan dengan gangguan inflamasi kronik. Peningkatan moderat konsentrasi CRP plasma ditemukan pada perokok dan dalam kondisi aterosklerosis, stress fisiologis, diabetes, obesitas dan usia tua (Cao et al., 2003). CRP dalam plasma diproduksi oleh sel hepatosit hati terutama dipengaruhi oleh Interleukin 6 (IL-6). CRP merupakan marker inflamasi yang diproduksi dan dilepas oleh hati dibawah rangsangan sitokin-sitokin seperti IL-6, Interleukin 1 (IL-1), dan Tumor Necroting Factor α (TNF-α). IL-6 merupakan mediator fisiologi sirkulasi utama, karena hampir sebagian besar sitokin jarang mencapai konsentrasi efektif dalam plasma. Konsentrasi CRP umumnya merefleksikan ekspresi IL-6, konsentrasi plasma CRP lebih stabil daripada IL-6. Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat setelah ada sedikit rangsangan, konsentrasi serum meningkat diatas lima mg/L
25
selama 6-8 jam dan mencapai puncak sekitar 24-48 jam. Waktu paruh dalam plasma adalah 19 jam. Kadar CRP akan menurun tajam bila proses peradangan atau kerusakan jaringan mereda dan dalam waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai nilai normal kembali. Kadar CRP stabil dalam plasma dan tidak dipengaruhi variasi diurnal, berbeda dengan komponen fase akut lainnya (Di Napoli, 2005; Paffen dan de Matt, 2006). CRP merupakan anggota keluarga protein pentraksin, suatu protein pengikat kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5-6 subunit polipeptida non glikosilat yang identik, terdiri dari 206 residu asam amino, dan berikatan satu sama lain secara non kovalen, membentuk satu molekul berbentuk cakram (disc) dengan berat molekul 110 – 140 kDa, setiap unit mempunyai berat molekul 23 kDa (Pepys dan Hirschfield, 2003; Di Napoli, 2005).
Gambar 3. Struktur Molekul dan Morfologi CRP (Pepys dan Hirschfield, 2003) High Sensitivity C-Reactive Protein (Hs-CRP) merupakan penanda inflamasi yang paling stabil, di mana kadarnya meningkat 100-200 kali atau lebih tinggi pada keadaan inflamasi sistemik yang menyebabkan kerusakan endotel. Hs-CRP dapat di deteksi dengan metode enzym-linked
26
immunosorbent assay (ELISA) atau chemiluminescent dan dapat mendeteksi kadar CRP sampai 0,1-0,4 mg/L (Pepys dan Hirschfield, 2003).
3.2 CRP pada aterosklerosis C-Reaktive Protein adalah salah satu substansi yang terdapat dalam lesi aterosklerotik, khususnya pada tunika intima vaskuler, dimana juga terdapat monosit, makrofag dan lipoprotein. Lokasi ini memungkinkan kontribusi langsung CRP terhadap proses aterosklerosis (Torzewki et al., 1998; Zwaka et al., 2001). Eisenhardt dkk pada tahun 2009 menemukan bahwa C-Reactive Protein terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bentuk pentamer (pCRP) dan monomer (mCRP). Bentuk pentamer dihasilkan oleh sel hepatosit sebagai reaksi fase akut dalam respon terhadap infeksi, inflamasi dan kerusakan jaringan. Bentuk monomer berasal dari pentamer CRP yang mengalami disosiasi dan mungkin dihasilkan juga oleh sel-sel ekstrahepatik seperti otot polos dinding arteri, jaringan adiposa dan makrofag. Struktur CRP penting dalam bentuk stabil untuk melakukan fungsinya. CRP terdiri dari struktur identik, dimana jika terjadi disosiasi dalam struktur pentamerik, akan terjadi perubahan subunit CRP secara spontan dan ireversibel. Kehilangan struktur pentamerik menghasilkan modifikasi atau monomeric CRP (mCRP), yang secara alami membentuk molekul CRP yang tissue-based daripada serum-based. mCRP kurang solubel dibanding CRP dan cenderung berkumpul, hal ini yang menginduksi
27
kemokin mRNA dan ekspresi molekul adesi pada human cultured coronary artery endothelial cells (HCAECs). Dalam sirkulasi dasar CRP pentamerik, mCRP dapat meningkatkan fenotip pro-inflamasi dan menimbulkan efek aterogenik pada sel endotel, meskipun kurang poten dibandingkan CRP. Ini menjelaskan peran CRP dalam aterogenesis (Paffen dan deMatt, 2006). Mekanisme inflamasi memainkan peran sentral dalam seluruh proses aterosklerosis, sejak rekrutmen awal lekosit sirkulasi ke dinding pembuluh darah arteri sampai terjadi ruptur plak tidak stabil, sesuai manifestasi penyakit ini. CRP mungkin terlibat dalam setiap tingkat dengan mempengaruhi proses secara langsung seperti aktivasi komplemen, apoptosis, aktivasi sel vaskuler, rekrutmen monosit, akumulasi lipid dan trombosis dimana tiap-tiap proses memiliki beberapa mekanisme dan CRP selalu terlibat (Paffen dan deMatt, 2006). Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa CRP memainkan peran inflamasi
aktif
langsung
dalam
pembuluh
darah
menyebabkan
perkembangan aterosklerosis. Kadar hs-CRP positif jauh lebih rendah daripada nilai standar CRP serum sehingga uji ini menjadi lebih berguna dalam mendeteksi risiko penyakit kardiovaskuler, stroke, dan penyakit arteri perifer (Szmitko et al, .2003; Ridker dan Silvertown, 2008). Nilai cut-off points hs-CRP yang direkomendasikan oleh CDC/AHA terhadap risiko penyakit CVD adalah: risiko rendah jika hsCRP < 1,0 mg/L, risiko sedang jika hs-CRP 1,0-3,0 mg/L dan risiko tinggi jika hs-CRP > 3,0 mg/L (Yeh dan Willerson, 2003; Di Napoli et al.,
28
2005). Pasien yang memiliki kadar hs-CRP yang tinggi dan menetap serta tidak dapat dijelaskan sebabnya (≥10 mg/L) haruslah dievaluasi untuk mencari penyebab di luar kardiovaskuler (Kablak-Ziembicka et al., 2011). Hs-CRP juga dapat menjadi penanda prognosis pasien serangan jantung akut dan terbukti menjadi prediktor terjadinya stroke iskemik terutama pada pria dan individu dengan hipertensi (Liu Y et al., 2014).
Gambar 4. Interpretasi klinis hs-CRP pada CVD (Yeh dan Willerson, 2003) Inflamasi maupun infeksi menyebabkan stimulasi sitokin proinflamasi sistemik seperti TNF-α, IL-1, dan IL-6 yang merangsang pembentukan CRP dan fibrinogen serta respon vaskuler (Monocyte Chemoattractant Protein-1, IL-1β, Interselluler Adhesion Molecules-1 dan Vascular Cell Adhesion Molecules-1), yang menyebabkan stimulasi disfungsi endotel, memudahkan terjadinya pembentukan plak dan proses terjadinya aterosklerosis (Gosmanova dan Anh, 2011). Hs-CRP secara bersamaan meningkat ketika enzim inflamasi seperti IL-6 terstimulasi (Edward, 2004).
29
4. Aterosklerosis 4.1 Struktur Dinding Pembuluh Darah Arteri Struktur pembuluh darah dinding arteri memiliki 3 lapisan atau tunika yang mengelilingi lumen pembuluh darah. Lapisan tersebut adalah sebagai berikut: a. Tunika Intima Lapisan paling dalam yang terpapar lumen. Terdiri atas endotel, merupakan lapisan epitel squamous simpleks yang membatasi lumen pembuluh darah, subendotel yang terdiri atas membran basalis, dan jaringan ikat subendotel dengan jumlah yang bervariasi. Lamina elastik interna terdapat diantara pembuluh darah arteri besar dan sedang yang membatasi tunika intima dengan tunika media. b. Tunika Media Lapisan tengah yang disebut juga tunika media atau media, terdiri atas dua komponnen yaitu serat otot polos dan elastin. Otot polos berperan dalam proses vasokonstriksi dan vasodilatasi. c. Tunika Adventitia Lapisan terluar yang tersusun sebagian besar oleh jaringan ikat kolagen longgar. Lapisan ini melindungi dan menguatkan pembuluh darah serta memfiksasinya terhadap struktur sekitar, pada pembuluh darah besar, lapisan ini mengandung vasa vasorum yang menyuplai lapisan pembuluh darah terluar hingga tunika media.
30
4.2 Definisi Aterosklerosis Aterosklerosis menurut WHO adalah berbagai perubahan pada tunika intima arteri yang melibatkan penumpukan lokal substansi lemak, komplek karbohidrat, darah dan unsur-unsur darah, jaringan ikat dan garam kalsium (Crowther, 2005; Libby, 2005). Aterosklerosis merupakan proses inflamasi kronik yang diikuti oleh suatu proses reparasi dinding ateri sedang dan besar, ditandai dengan disfungsi endotel, inflamasi vaskuler, dan akumulasi lipid, kolesterol, kalsium, dan debris seluler di dalam tunika intima dinding pembuluh darah. Penimbunan ini menyebabkan pembentukan plak, remodeling vaskuler, obstruksi luminal akut dan kronik, gangguan aliran darah, dan suplai oksigen ke jaringan yang berkurang (Boudi, 2011). Proses aterosklerosis berjalan terus menerus, biasanya mengenai pembuluh darah sedang atau besar. Perubahan tunika media berupa fatty streaks yang hampir selalu dijumpai pada usia 20 tahun, berubah menjadi fibrous plaques sejak dekade kedua kehidupan (Libby, 2005; Fitzsimmans, 2007).
4.3 Patogenesis Aterosklerosis Aterogenesis atau proses pembentukan aterosklerosis merupakan suatu decades-long process dimana lumen pembuluh darah menjadi lebih kecil karena obstruksi substansi seluler dan ekstraseluler (Suroto, 2012). Teori aterosklerosis sebagai respon terhadap jejas merupakan
31
penjelasan aterogenesis yang paling diterima. Teori ini menyebutkan aterosklerosis merupakan respon inflamasi kronik dinding pembuluh darah arteri terhadap jejas endotel (Vinay, 2008; Boudi, 2011). Tanda awal aterosklerosis adalah fatty streak, sebagai hasil akumulasi fokal lipoprotein serum di dalam tunika intima dinding pembuluh darah. Fatty streak ini secara fisiologis ditemukan pada anak-anak sejak umur satu tahun, namun tidak semua fatty streak berkembang menjadi lesi fibrotik (Vinay, 2008). Lesi awal ini jumlahnya semakin banyak pada usia 8-18 tahun dan berkembang lebih lanjut. Fatty streak ini merupakan peningkatan kandungan lipoprotein di daerah intima. Pengumpulan partikel lipoprotein ini mungkin tidak sekedar karena peningkatan permeabilitas atau kebocoran endotel yang menutupi, akan tetapi lebih mungkin disebabkan karena lipoprotein tersebut berikatan dengan unsur pokok dari matriks ekstraseluler, sehingga partikel yang kaya lipid itu akan tinggal lebih lama dalam dinding arteri (Libby, 2001 cit. Suroto, 2012). Lipoprotein yang terkumpul dalam ruang ekstraseluler dari tunika intima arteri sering dihubungkan dengan molekul proteoglikan dari matrik ekstraseluler arteri. Keseimbangan dari unsur pokok matriks dapat bervariasi di tempat pembentukan lesi, misalnya dari 3 macam proteoglikan yang penting, relatif berlebihnya molekul heparin sulfat dibanding dengan keratin sulfat atau kondroitin sulfat dapat memicu retensi dari partikel lipoprotein dengan mengikatnya dan memperlambat perkembangan lesi (Boudi, 2006; Libby, 2001 cit. Suroto, 2012).
32
Fatty streak secara mikroskopik menunjukkan gambaran lipid yang sarat akan makrofag, T-limfosit dan smooth muscle cells. Fatty streak dapat berkembang menjadi plak fibrosa atau ateroma pada lokasi terjadinya jejas endotel. Hubungan yang komplek terdapat diantara elemen seluler terdiri dari sel endotel, sel-sel otot polos, platelet dan lekosit. Fungsi vasomotor, trombogenitas dinding pembuluh darah, sistem fibrinolitik, migrasi dan proliferasi sel otot polos serta inflamasi seluler adalah proses komplek yang berhubungan dengan proses biologi. Proses ini mempunyai kontribusi terhadap aterogenesis dan manifestasi klinis dari aterosklerosis (Boudi, 2006 cit. Gofir, 2011).
Gambar 5. Proses terbentuknya aterosklerosis (Vinay, 2008) Proses terbentuknya plak aterosklerosis (Gofir, 2011): 1. Akumulasi lipoprotein dalam tunika intima Lipoprotein yang terutama tertimbun adalah LDL dan VLDL. Hal ini bisa terjadi karena kebiasaan buruk seperti makan makanan tinggi kolesterol dan jarang olahraga.
33
2. Stres Oksidatif Timbunan LDL dan atau VLDL akan dioksidasi saat pembuluh darah mengalami jejas 3. Aktivasi Sitokin Stres oksidatif akan menimbulkan reaksi inflamasi. Sel-sel radang melepaskan mediator-mediator pro-inflamasi berupa sitokin-sitokin, misalnya IL-2, TNF-α 4. Penetrasi Monosit Sel-sel radang juga menghasilkan monocyte chemotactic factor sehingga monosit akan masuk sampai ke dasar tunika intima dan kemudian berubah menjadi makrofag 5. Migrasi makrofag dan pembentukan Foam Cells Makrofag bermigrasi sambil memfagosit LDL yang tertimbun dan terbentuklah sel foam 6. Migrasi Smooth Muscle Cells (SMCs) Migrasi SMCs dari tunika media menuju tunika intima yang menimbulkan akumulasi matrik 7. Akumulasi Matriks ekstraseluler Matriks ekstraseluler seperti serabut-serabut hialin, kolagen, elastin, dan fibrosa. Matriks ini diproduksi oleh SMCs. 8. Kalsifikasi dan fibrosis Adanya akumulasi matriks ekstra seluler menimbulkan kalsifikasi dan fibrosis plak aterom sehingga elastisitas dan diameter pembuluh darah
34
berkurang. Plak aterosklerotik terdiri atas fibrous cap dan necrotic core. Fibrous cap terdiri atas sel otot polos, kolagen, elastin, jaringan subendothelium dan tunika media, makrofag dan sel limfosit-T, di bawahnya terdapat necrotic core yang mengandung lipid, debris sel yang mati, sel foam, fibrin dan protein plasma lainnya (Vinay, 2008; Faucy, 2008). Faktor hemodinamik, yaitu shear stress atau tegangan geser aliran darah, ternyata berinteraksi dengan endotel vaskuler yang teraktivasi. Shear stress merupakan ukuran gaya gesek dari cairan yang dikenakan pada medium dimana cairan tersebut bergerak, dalam hal ini aliran darah terhadap dinding pembuluh darah (Faucy, 2008). Shear stress aliran darah laminar menekan ekspresi molekul adesi lekosit. Tegangan ini juga meningkatkan produksi nitrit oksida oleh sel endotel. Tegangan ini juga menstimulasi sel endotel untuk menghasilkan superoksida dismutase yang merupakan suatu antioksidan (Faucy, 2008). Berkurangnya tegangan geser dan turbulensi aliran darah akan memicu aterogenesis. Plak aterosklerotik biasa terjadi di daerah percabangan, pembuluh darah yang berkelok-kelok dan di daerah yang terdapat perubahan kecepatan dan arah aliran darah yang tiba-tiba. Pembuluh darah dengan karakteristik serupa; arteri karotis, arteri koronaria, cabang besar aorta torakalis dan abdominal, serta pembuluh darah besar ekstremitas bawah (Faucy, 2008; Boudi, 2011).
35
4.4 CIMT sebagai Penanda Aterosklerosis CIMT merupakan ukuran aterosklerosis subklinik terkait dengan faktor risiko kardiovaskuler dan prediktor insiden stroke (Bots et al., 1997; Chambles et al., 2000). Kualitas ketebalan tunika intima media arteri karotis merupakan awal terjadi aterosklerosis. CIMT juga digunakan sebagai parameter untuk mengevaluasi regresi dan progresi aterosklerosis pada penyakit kardiovaskuler serta dapat merefleksikan penyakit aterosklerosis yang luas (Golemati dan Tegos, 2003; Toubul et al., 2007). Abnormalitas awal morfologi dinding pembuluh darah dapat divisualisasi dengan ultrasonografi B-mode resolusi tinggi, dengan teknik non-invasif. Salah satu metode terbaik untuk mendeteksi tingkat awal penyakit ateroskeloris, karena aplikasi yang cepat, mudah ditemui, harga terjangkau dan aman serta dapat mendemonstrasikan struktur dinding pembuluh darah dengan resolusi yang lebih baik dibanding teknik lain (Greenland et al., 2000; Lee et al., 2007; Touboul, 2007). Pemeriksaan ultrasonografi arteri karotis diindikasikan pada kasus (Lee et al., 2007; Matsuo et al., 2009): 1. Pasien yang memiliki penyakit yang berhubungan dengan stenosis atau obstruksi arteri karotis (penyakit serebrovaskuler, gangguan perfusi di arteri vertebralis dan basilaris, penyakit takayasu dll) atau pasien yang memiliki tanda-tanda sugestif penyakit-penyakit stenosis atau obstruksi arteri karotis (hemiplegi, bruit arterial, denyut nadi lambat dll) 2. Pasien yang memerlukan evaluasi risiko akibat penanganan invansif untuk
36
lesi aterosklerosis organ lain (penyakit arteri koroner, obliterasi arteriosklerosis, aneurisma aorta dll) 3. Pasien yang memiliki faktor risiko untuk terjadi aterosklerosis (diabetes mellitus, dislipidemi, hipertensi, perokok, obesitas dll) dan pada pasien yang kemungkinan mengalami progresi aterosklerosis. Arteri karotis menjadi pilihan pengukuran CIMT dibanding arteri lain karena berukuran besar, letak superfisial, tidak terhalang struktur tulang ataupun bayangan udara, serta jauh dari struktur yang bergerak seperti jantung (Kerwin, 2007). Pada keadaan tidak adanya plak ateroskerotik, ultrasonografi B-mode menampilkan dinding vaskuler dalam pola umum sesuai lapisan anatomi. Bagian intima media pada pola ini diawali dengan gambaran jaringan pada batas lumen arteri dan berakhir antara media dan adventisia. Seiring pertambahan usia, pola ini menunjukkan penebalan secara seragam pada segmen arteri yang lurus. Penebalan intima media dipercepat dan bertambah oleh faktor risiko aterosklerosis, khususnya tekanan darah tinggi, dan faktor genetik (Touboul, 2007; Matsuo, 2009). Berkaca dari proses ini, CIMT diidentifikasikan sebagai alat untuk menginvestigasi penuaan normal dan aterosklerosis preklinik. Aterosklerosis tahap lanjut (plak, stenosis, oklusi) dapat juga diidentifikasi dengan USG meski tidak terdapat CIMT ataupun koinsiden dengan peningkatan CIMT. Terdapat tahapan dimana peningkatan CIMT dan pembentukan plak aterosklerosis tidak bisa secara jelas dibedakan. Beberapa kondisi biasa terjadi
37
di bifurkasio dan arteri karotis interna awal, akan tetapi sering juga terjadi di arteri karotis komunis (Touboul, 2007). Studi epidemiologi dan intervensi menunjukkan, meskipun keduanya memiliki faktor risiko aterosklerosis yang serupa, akan tetapi pola faktor risiko dan prediksi kejadian kardiovaskuler dan serebrovaskuler berbeda antara CIMT dan plak karotis (Touboul, 2007; Polka et al., 2011).
Gambar 6. Metode Pengukuran CIMT (Matsuo, 2009) Konsensus Manheim (2011) merekomendasikan definisi untuk karakteristik gambaran USG CIMT dan plak aterosklerotik: a. CIMT adalah pola double-line yang nampak ekhoik pada kedua dinding arteri karotis komunis dalam penampang longitudinal. Terbentuk oleh dua garis paralel, terdiri dari lumen intima dan media-adnventisia yang berhadapan b. Plak adalah struktur fokal yang melewati lumen ke dalam lumen arteri paling tidak 0,5 mm atau 50% nilai CIMT, atau terdapat penebalan >1,5 mm yang diukur dari lumen media-adventisia ke intima (Touboul, 2011). c. Percent Stenosis atau derajat stenosis adalah area pada arteri karotis komunis yang diukur sebagai parameter. Ketika memeriksa lesi pada arteri
38
karotis interna, stenosis diukur berdasarkan kriteria North American Symptomatic Carotid Endarterectomy Trial (NASCET) sebagai parameter primer, dan jika diperlukan bisa dilakukan pengukuran derajat penyempitan diameter dan derajat stenosis berdasarkan kriteria European Carotid Surgery Trial (ECST) (Matsuo, 2009).
Gambar 7. Metode Pengukuran Stenosis (Matsuo, 2009) Pengukuran CIMT dilakukan dalam posisi pasien berbaring dengan leher menghadap sisi berlawanan dari lokasi pemeriksaan. Pengukuran CIMT pada far-wall arteri karotis komunis dimulai pada jarak kurang lebih 10 mm, atau 5 mm sampai 10 mm sebelum bulbus arteri karotis komunis, diukur di tiga tempat kemudian diambil nilai tertinggi. Nilai CIMT >1 mm merupakan temuan abnormal (Casella, 2008; Polak, 2011).
5. Hs-CRP, CIMT dan stroke Iskemik Aterosklerosis yang ditunjukkan CIMT merupakan suatu kondisi inflamasi pembuluh darah kronik dan menyeluruh yang dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard dan stroke. Inflamasi ini diawali dengan masuknya lipoprotein kaya kolesterol ke dalam dinding pembuluh darah arteri, selanjutnya diabsorbsi makrofag dan diubah menjadi
39
sel foam. Proses ini membawa ke level yang lebih tinggi dimana makrofag memproduksi sitokin inflamasi yang mengakibatkan liver memproduksi CRP. Peningkatan level CRP bisa dipakai sebagai marker luasnya aterosklerosis, atau aktivitas inflamasi dan vulnerabilitas plak aterosklerotik (Zacho dan Nordestgaard, 2009). Hs-CRP adalah prediktor independen untuk stroke, infark miokard dan kematian vaskuler pada individu yang tampak sehat, diantara 1.462 individu yang masuk dalam penelitian Framingham, setiap peningkatan kuartil konsentrasi CRP plasma pada baseline, berhubungan dengan peningkatan adjusted RR stroke iskemik dan TIA hingga 1,25 (CI 95%: 1,0-1,54) pada pria dan hingga 1,29 (CI 95%: 1,07-1,54) pada wanita setelah 12 hingga 14 tahun follow-up (Hankey et al., 2006 cit. Gofir, 2011). Laki-laki dengan nilai CRP baseline tinggi memiliki dua kali risiko terserang stroke, dan wanita dengan level CRP tinggi memiliki peningkatan lima kali lipat untuk mendapatkan kejadian vaskuler apapun dan tujuh kali lipat untuk kombinasi infark miokard dan stroke (Rost et al., 2001). Hasil dari penelitian Bogalusa Heart Study menunjukkan hubungan antara faktor risiko kardiovaskuler tradisional dan hs-CRP dengan progresi CIMT pada dewasa muda (24-43 tahun) dalam periode 2,4 tahun, sedangkan Rotterdam Study melaporkan tidak ada hubungan antara hs-CRP dan perubahan CIMT dalam periode follow-up 6,4 tahun. Penelitian yang sama juga melaporkan hubungan hs-CRP dengan perkembangan aterosklerosis arteri karotis secara independen, hubungan hs-CRP dengan perluasan dan
40
perkembangan plak karotis serta ankle-brachial index pada laki-laki dan wanita usia tua ≥ 55 tahun (Toprak et al., 2011). Peran hs-CRP sebagai reaktan fase akut dalam perkembangan aterosklerosis belum bisa dijelaskan secara detail. Level hs-CRP mungkin menunjukkan aktivitas inflamasi lesi aterosklerosis, dan hs-CRP juga diketahui meningkatkan disfungsi endotel dan perkembangan aterosklerosis pada tahap awal (Toprak et al., 2011). Sifat utama dari CRP adalah kemampuan mengikat (dengan pola yang bergantung dengan kalsium) sejumlah mikroorganisme yang mengandung fosforilkolin dalam membran suatu kompleks
yang berguna untuk
mengaktifkan komplemen (melalui jalur klasik). Hal ini mengakibatkan deposisi C3b diatas permukaan mikroba yang kemudian diopsonisasi untuk perlekatan fagosit. Aktivasi komplemen berikutnya adalah terjadinya penarikan dan pemacuan neutrofil, fagosit yang telah aktif terikat pada mikroba yang telah dilapisi C3b melalui permukaan reseptor C3b dan kemudian menelan mereka. CRP juga diikat C1q sehingga dapat mengaktifkan komplemen atau bekerja sebagai opsonin melalui interaksi dengan reseptor C1q pada fagosit (Hedge dan Ching, 2012). CRP berbentuk pentamer, akan mengalami dissosiasi menjadi monomer sebelum dapat merangsang terjadinya inflamasi. C-reactive protein yang ada dalam sirkulasi berbentuk sebagai disc shaped pentamer dan mengalami disosiasi (terurai) melalui paparan lemak bioaktif membran sel dari platelet-platelet yang diaktifkan dan sel-sel yang nekrosis dan apoptosis.
41
Sebagai hasilnya yaitu mCRP (monomer CRP), kemudian memberi efek proinflamasi seperti digambarkan dibawah ini :
Gambar 8. Peran CRP pada Inflamasi Vaskuler (Hedge dan Ching, 2012) Protein fase akut CRP menyebabkan efek pro-aterogenik dan proinflamatori secara langsung. Bekerja sebagai mediator langsung gangguan fungsi endothel. CRP pada kadar tertentu, digunakan sebagai prediktor terjadinya risiko penyakit kardiovaskular. CRP secara langsung menurunkan produksi NO, sebagai relaksan di sel endotelial melalui sintesa endotelial NO (eNOS). Berkurangnya kadar NO mengakibatkan CRP menghambat angiogenesis dan merangsang apoptosis sel endotel. CRP juga mengawali pelepasan endothelium-derived contracting factor endothelin-1 (ET-1) dan IL-6 dari sel-sel endotel, menginduksi upregulation adhesion molecule seperti InterCellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan Vascular Cell Adhesion
42
Molecule (VCAM) dan E-selectin. CRP juga merangsang pelepasan MCP-1 yang memfasilitasi transmigrasi leukosit. Bukti juga menunjukkan bahwa CRP meningkatkan upregulasi NF-κB yang memfasilitasi transkripsi sejumlah gen pro-aterosklerotik. Dalam proses aterogenik, CRP secara langsung menaikkan uptake LDL alami ke dalam makrofag (Hedge dan Ching, 2012). Masuknya sel-sel monosit dan limfosit T sebagai respon inflamasi terhadap
modified-LDL
merupakan
tahap
awal
pembentukan
lesi
aterosklerosis. Adhesion Molecules Spesific seperti Von Willebrand Factor, Selectin, dan VCAM-1, ditampilkan di permukaan sel-sel endotel pembuluh darah yang diaktifkan Mediated Leukocyte Adhesion. Sel-sel mononukleus masuk secara langsung ke dinding arteri melalui Chemoattractant Chemokine seperti Monocyte Chemoattractant Protein-1 (MCP-1). Partikel-partikel LDL yang terperangkap di intima cenderung mengalami oksidasi yang progresif, membuat mereka dapat dikenal oleh reseptor-reseptor scavenger makrofag sehingga Modified-LDL menjadi target-target internalisasi oleh sel-sel ini (Epstein, 1999).
43
B. PENELITIAN YANG RELEVAN No 1
Judul Is the level of CRP correlated with the extent of carotid atherosclerosis? (Benbir et al., 2005)
Deskripsi Penelitian Cross sectional, 104 pasien stroke iskemik. Meneliti apakah peningkatan hs-CRP merupakan faktor risiko independen peningkatan CIMT pada stroke iskemik dan hubungan level hs-CRP dengan keparahan aterosklerosis arteri karotis
Hasil Peningkatan hs-CRP merupakan faktor risiko indirek stroke iskemik dan independen terhadap faktor risiko lain
2
Association of inflammatory markers with intima-media thickness and acute ischemic stroke (Mustafa et al., 2006)
Cross sectional, 70 pasien stroke iskemik, dan 40 kontrol. Membandingkan kadar CRP dan CIIMT pasien stroke akut dengan kontrol
Nilai rata-rata CIMT lebih tinggi pada grup pasien dan berkorelasi secara signifikan dengan level CRP (p=0,005)
3
Study of carotid intima media thickness and its correlation with novel risk factor in ischemic stroke (Saha et al., 2011)
Cross sectional, 62 pasien stroke iskemik Mencari hubungan faktor risiko dari parameter pemeriksaan darah dengan CIMT
Rata-rata CIMT meningkat pada 44 (71%) subyek penelitian dengan nilai glukosa puasa lebih tinggi daripada pasien dengan nilai CIMT normal
44
C. KERANGKA BERPIKIR Usia, Jenis Kelamin, Genetik, Dislipidemia, Hipertensi, Diabetes Melitus, Penyakit Jantung, Overweight/Obesitas, Merokok
Inflamasi Kronik Makrofag gangguan fungsi hati, statin, colchinin, fibrat
Sitokin proinlamasi : IL-1, TNF-α, IL-6, hs-CRP
Disfungsi endotel: - ICAM-1 ↑ - VCAM-1 ↑ - E-Selectin ↑
Nitric Oxide ↓ Angiogenesis ↓
MCP-1 ↑
NF-ⱪB
Aterosklerosis
CIMT ↑
Stroke Iskemik
Keterangan : 1. : menghambat
2.
:
mempengaruhi
ROS
45
Keterangan alur kerangka pikir : Inflamasi kronik dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti lesi kronik, diabetes, dislipidemi dan penyakit lainnya. Peningkatan inflamasi memprovokasi peningkatan sintesis sel, protein inflamasi dan sitokin, seperti neutrofil, monosit, IL-6, TNFα, CRP dan lainnya. Peningkatan netrofil dan makrofag sebagai respon inflamasi semakin mempengaruhi sintesis IL-6, yang akan meningkatkan produksi CRP di liver. Sebaliknya, CRP melemahkan aktivitas eNOs, yang akibatnya adalah mengurangi availabilitas NO (sebagai vasodilator), sehingga mengurangi proses vasodilatasi endotel. Pengurangan vasodilatasi menyebabkan peningkatan shear stress dan konsekuensinya adalah kerusakan pembuluh darah yang semakin besar, mengakibatkan kondisi menguntungkan bagi proses aterosklerotik dan terbentuknya trombus. Pembuluh darah yang telah mengalami aterosklerosis juga melepaskan subtansi pro-inflamasi yang sama, sehingga lebih meningkatkan proses inflamasi dan kerusakan vaskuler lain. C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu substansi yang terdapat dalam lesi aterosklerotik, khususnya pada tunika intima vaskuler, dimana juga terdapat monosit, makrofag dan lipoprotein. Lokasi ini memungkinkan kontribusi langsung CRP terhadap proses aterosklerosis. Aterosklerosis
yang
terjadi
akan
meningkatkan
CIMT
sehingga
menghasilkan penyempitan atau oklusi arteri karotis, menyebabkan timbulnya hipoperfusi kemudian menimbulkan iskemia otak. Pembentukan trombus paling mungkin terjadi pada area dimana aterosklerosis dan penumpukan plak
46
menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang paling berat. Proses ini akan mengakibatkan penurunan aliran darah lebih lanjut dan jaringan yang memperoleh vaskularisasi dari arteri tersebut akan mati karena kehilangan suplai oksigen secara cepat sehingga akan menimbulkan stroke iskemik. Peneliti menilai terdapat hubungan kadar serum high sensitivity C-reactive protein dengan CIMT pada stroke iskemik akut.
D. HIPOTESIS 1. Terdapat hubungan kadar serum hs-CRP dengan CIMT pada pasien stroke iskemik akut.