BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kesehatan Reproduksi Perempuan 2.1.1. Pengertian Kesehatan Reproduksi Kesehatan reproduksi menurut WHO (World Health Organization) 2007, adalah keadaan kesehatan fisik, mental, sosial yang lengkap, bukan hanya ketiadaan penyakit atau cacat dalam semua hal yang berkaitan dengan sistim reproduksi serta fungsi dan prosesnya. Pengertian kesehatan reproduksi menurut hasil ICPD (International Conferensi Population Development) di Kairo tahun 1994 adalah keadaan fisik, mental, kelaikan sosial secara menyeluruh, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistim reproduksi berikut fungsi-fungsi dan proses-prosesnya. Ditekankan bahwa manusia punya kemampuan untuk bereproduksi dan punya kebebasan untuk menentukan jika, kapan dan seberapa sering melakukannya. Kesehatan reproduksi sebagai bagian dari kesehatan secara umum, pengetahuan mengenai kesehatan yang mencakup organ dan proses reproduksi sebenarnya bukan hal yang baru tetapi kesadaran bahwa ia adalah satu disiplin tersendiri baru dimunculkan pada awal tahun 2007. Sejak itu konsep kesehatan reproduksi semakin meluas, tidak hanya sebatas pada dampak kontrasepsi tetapi juga faktor-faktor lain yang dapat berpengaruh pada fungsi dan proses reproduksi manusia, dengan menggabungkan segala ilmu tentang berbagai hal yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan organ reproduksi semua itu saling terkait. (Kartono, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Masalah kesehatan reproduksi dapat digolongkan sesuai dengan tahap siklus kehidupan yaitu : 1). Perkembangan seksual selama masa kanak-kanak dan remaja, 2) Kehamilan remaja dan kehamilan yang tidak dikehendaki, 3). Aborsi, 4) Komplikasi kehamilan,
persalinan
dan
nifas,
5)
Penggunaan kontrasepsi, 6). Pemberian
ASI, 7). Infeksi saluran reproduksi, 8) Infertilitas, 9) pra dan pasca menopause, 10). Kanker organ reproduksi dan 11). Gaya hidup perorangan, termasuk perilaku seksual yang menyimpang (Kartono, 2007). Berdasarkan defenisi WHO (2003), lingkup kesehatan reproduksi mencakup : a. Safe motherhood dan perawatan neonatal. b. Keluarga Berencana c. Pencegahan dan manajemen PMS (Penyakit MEnular Seksual), HIV/AIDS d. Kesehatan reproduksi remaja e. Pencegahan dan manajemen abortus f. Pencegahan dan manajemen infertilitas g. Penanganan AKB (Angka Kematian bayi) dan AKAB (Angka Kematian Anak Balita) dan perawatan kesehatan anak. h. Kesehatan wanita dalam pembangunan i. Program-program pendukung kesehatan reproduksi. Keberhasilan
pelaksanaan
program
kesehatan
reproduksi
perlu
memperhatikan dan diusahakan adanya keterkaitan erat antara kesehatan reproduksi dan hak reproduksi hal ini diperkuat oleh WHO pada tahun 1995 telah menetapkan strategi global kesehatan reproduksi yang merekomendasikan semua
Negara
Universitas Sumatera Utara
anggotanya melakukan program kesehatan reproduksi dalam konteks Primary Health Care dengan menerapkan hal ini diharapkan akan tercapai hak kesehatan reproduksi untuk semua orang.
2.1.2. Hak-Hak Kesehatan Reproduksi Undang-Undang Kesehatan menjelaskan bahwa Kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia, hal ini sudah dinyatakan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia khususnya pasal 25 yang berbunyi : Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan hak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya. Hal ini diperkuat lagi dalam konstitusi WHO : Setiap negara di dunia saat ini adalah anggota yang terlibat dengan paling tidak satu perjanjian mengenai masalah hak-hak yang berhubungan dengan kesehatan, dan juga termasuk hak-hak lain yang berhubungan dengan kondisikondisi yang penting bagi kesehatan. Pengertian di atas menyimpulkan kepada kita bahwa apa yang dimaksud dengan hak reproduksi perempuan adalah hak yang dimiliki perempuan karena memiliki fungsi reproduksi yang diberikan Tuhan, sehingga harus dijamin pemenuhan hak-haknya. Penjabaran isu hak reproduksi perempuan merupakan agenda yang harus mendapat perhatian khususnya bagi bangsa Indonesia, karena
Universitas Sumatera Utara
persoalan tersebut menjadi bagian dari agenda masyarakat internasional dalam rangka memperjuangkan hak-hak dan martabat manusia. Nasaruddin (dalam Maria, 2006) menguraikan secara detil sejarah berkembangnya isu hak reproduksi yang sudah menjadi etika global yang dibicarakan masyarakat dunia dan menjadi salah satu agenda yang diperjuangkan, ini dapat dilihat dari Konferensi Perempuan Sedunia I di Meksiko City pada tahun 1970, yang melahirkan poin penting mengajak perempuan berpartisipasi dalam dunia pembangunan. Berikutnya Konferensi Perempuan III di Nairobi tahun 1995, begitu pula dalan Konferensi Kependudukan di Kairo 1994 yang disepakati suatu “plan of action” yang mencakup masalah hak-hak reproduksi dan keluarga berencana. Selanjutnya Kartono (2007), menguraikan bahwa kesehatan reproduksi tidak hanya membahas defenisinya saja tetapi sekaligus juga menyinggung hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, efektif, terjangkau. Selanjutnya di jelaskan bahwa hak reproduksi mengikut sertakan hak-hak berdasarkan pada kesadaran terhadap hak dasar semua pasangan dan individu untuk memutuskan hal-hal yang terkait dengan reproduksinya. Kesepakatan ICPD di Kairo pada tahun 1994 menguraikan dengan jelas bahwa hak atas kesehatan reproduksi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Meskipun belum meratifikasi dan menjadikannya undang-undang, Indonesia ikut aktif merumuskan dan menandatangi kesepakatan Kairo tersebut. Adapun hak-hak kesehatan reproduksi yang dihasilkan dari konferensi di Kairo adalah :
Universitas Sumatera Utara
a. Hak untuk menentukan jumlah anak b. Hak atas kesehatan seksual – hak untuk mendapatkan standar tertinggi untuk kesehatan seksual dan reproduksi. c. Hak untuk memperoleh informasi dan layanan kesehatan reproduksi d. Aborsi – seluruh pemerintahan dan organisasi lintas departemen dan LSM didorong untuk memperkuat komitmen pada kesehatan perempuan, untuk menyikapi dampak kesehatan atas aborsi yang tidak aman sebagai masalah kesehatan publik.
2.2. Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) 2.2.1 Pengertian Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) Kehamilan biasanya didambakan oleh pasangan suami istri, karena dengan kehamilan akan hadir anggota keluarga baru yang sangat dicintai. Tetapi kadangkala kehamilan bisa mendatangkan kecemasan bagi perempuan. Jumlah perempuan yang mengalami KTD di Indonesia diperkirakan sebanyak 1 juta orang setiap tahun dan KTD dapat menimpa pasangan yang sudah menikah atau belum (Adrianus, 2004) Selanjutnya dijelaskan pengertian dari KTD adalah suatu kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya kehamilan yang merupakan akibat dari suatu perilaku seksual baik secara sengaja maupun tidak sengaja. KTD dapat menimpa siapa saja baik yang sudah menikah maupun belum menikah, remaja, pasangan muda ataupun ibu-ibu tengah baya, golongan atas atau bawah dari agama apapun.
Universitas Sumatera Utara
PKBI (2004), menjelaskan kehamilan tidak diinginkan (KTD) dialami banyak perempuan, misalnya saja satu alasannya adalah kegagalan KB, tapi juga ada alasan lain seperti masih adanya kelompok unmet need, yaitu mereka yang tidak pernah memakai kontrasepsi atau sedang menggunakan kontrasepsi padahal mereka termasuk aktif secara seksual.
2.2.2. Penyebab Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) Adrianus (2004), menguraikan banyak faktor yang menyebabkan KTD antara lain : 1. Hamil sebelum menikah. 2. Ketidaktahuan atau minimnya pengetahuan tentang perilaku seksual yang dapat menyebabkan kehamilan. Misalnya masih banyak perempuan yang beranggapan selesai melakukan hubungan seksual kemudian loncat-loncat agar tidak hamil. 3. Kehamilan akibat pemerkosaan. 4. Kondisi kesehatan ibu yang tidak mengijinkan. 5. Kehamilan pada saat yang belum diharapkan, keadaan ini sering terjadi pada perempuan yang masih dalam proses pendidikan/sekolah, bekerja dan karena alasan ekonomi. 6. Bayi dalam kandungan cacat berat. 7. Gagal dalam menggunakan alat kontrasepsi. 8. Kehamilan karena incest (hubungan seksual antara saudara saudara)
Universitas Sumatera Utara
2.3
Aborsi Aman dan Aborsi Tidak Aman (Unsafe Abortion) Aborsi merupakan bagian yang paling kontroversial dari masalah kesehatan
reproduksi. Banyak orang yang melihat aborsi hanya dari segi moralitas dan politik dan hanya sedikit yang melihat bahwa aborsi merupakan masalah kesehatan. Khususnya kesehatan perempuan karena dalam praktek aborsi ada masalah kesakitan dan kematian perempuan yang menyumbang 11,3% angka kematian ibu (AKI) di Indonesia. Kartono (2007), menjelaskan di banyak negara yang tidak mengakui bahwa aborsi adalah masalah kesehatan, kejadian aborsi yang tidak aman sangat tinggi dengan masalah komplikasinya baik fisik maupun mental. Secara fisik aborsi yang dilakukan secara tidak aman mengakibatkan rahim bisa cacat, robek sehingga harus diangkat, infeksi, perdarahan serta kematian. Ketika komplikasi ini terjadi barulah orang melihat sebagai sektor kesehatan, namun seringkali pada saat itu pertolongan medis yang diberikan sudah terlambat. PKBI (2004), menuliskan bahwa secara mental perempuan nekat memilih jalan aborsi meskipun tidak aman, sedang mengalami kebingungan, rasa percaya dirinya menurun, dan desparate atau putus asa. Tidak tahu lagi harus kemana berkonsultasi setelah ia mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Disamping itu jika ia melakukan aborsi, akan timbul ketakutan akibat-akibat yang terjadi yang terasa mengerikan baginya. Keadaan ini menunjukan bahwa sedang mengalami gangguan kesehatan mental. Aborsi yang tidak aman ikut menambah angka kematian ibu.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian PKBI (2004), dan data hasil survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2003 menunjukan bahwa perempuan yang melakukan aborsi lebih banyak berstatus kawin. Mereka melakukan aborsi karena tidak ingin mempunyai anak lagi atau ingin menjarangkan kelahiran tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi. Pada tahun 2001 tercatat ada 14,6% perempuan yang kebutuhan KB nya tidak terpenuhi. Penyebab masih tingginya angka ini karena kualitas informasi dan pelayanan KB masih rendah serta masih kurangnya pelayanan KB pasca persalinan. Tingginya unmet need dapat berakibat pada tingginya angka KTD dan berimplikasi pada aborsi tidak aman. Selanjutnya PKBI menjelaskan ada beberapa alasan perempuan menghentikan kehamilan antara lain : alasan kesehatan, telah memiliki jumlah anak cukup, akibat pemerkosaan, takut janin cacat, usia muda, belum siap menikah, pasangan tidak tanggung jawab atau alasan ekonomi. Dua pertiga dari 75 juta perempuan yang mengalami KTD akan berakhir dengan aborsi disengaja, 20 juta diantaranya dilakukan secara tidak aman dan sebagian besar aborsi tidak aman (95%) terjadi di negara berkembang dimana akses pelayanan KB terbatas.
2.3.1. Pengertian Aborsi Pada berbagai buku teks kedokteran, aborsi didefinisikan sebagai lahirnya embrio atau fetus sebelum dia mampu hidup (viable) diluar kandungan. Hanya fetus dengan berat badan diatas 500 gram yang akan mampu bertahan hidup di luar kandungan. Fetus dengan berat badan 500 gram tersebut berada dalam tahap
Universitas Sumatera Utara
perkembangan kurang dari 20 minggu, fetus dengan berat badan 500 gram panjangnya CRL kurang dari 25 cm. Mengingat usia embrio maksimal hanyalah 8 minggu, maka tahap perkembangan embrio manapun tidak akan mungkin bagi embrio untuk bisa hidup diluar kandungan (Jurnalis 2007). Untung (2007), memberikan pengertian bahwa aborsi adalah terminasi (berakhirnya) proses kehamilan sebelum umur kehamilan 20 minggu (di hitung dari hari pertama menstruasi berakhir) atau berat janin kurang dari 500 gram, dilakukan oleh oarang yang tidak terlatih/kompeten sehingga menimbulkan banyak komplikasi bahkan kematian. Pengertian aborsi menurut Sudraji (1985), adalah suatu tindakan untuk mencegah terjadinya implantasi (kalau dilakukan sebelum inplantansi), atau mencegah pertumbuhan hasil konsepsi yang sudah berimplantansi. Bekti (2005) memberikan definisi aborsi adalah cara mencegah kelahiran, yaitu mengugurkan embrio yang tidak dikehendaki. Sedangkan menurut Kusmaryanto (2002), aborsi adalah penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum janin bisa hidup diluar kandungan (viability). Selanjutnya untung (2007) menguraikan ada beberapa macam abortus : A. Berdasarkan kejadiannya : 1.
Abortus spontan : adalah abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Sekitar 15-20% dari kehamilan berakhir dengan abortus spontan dan sekitar 80% abortus spontan terjadi pada kehamilan trimester awal.
Universitas Sumatera Utara
2.
Abortus buatan/provokatus ; adalah abortus yang terjadi akibat intervensi yang bertujuan untuk mengakhiri proses kehamilan. Aborsi atau abortus provocatus ada dua macam, yaitu : a). Abortus Provocatus Medisinalis (berdasarkan indikasi medis), b) Abortus Provokatus Kriminalis (tanpa indikasi medis/kriminal)
B. Berdasarkan Komplikasinya 1. Abortus dengan perdarahan banyak karena tidak bersih atau robekan rahim akibat tindakan intervensi 2. Abortus infeksiosa, adalah abortus yang disertai komplikasi infeksi. Adanya penyebaran kuman atau toksin ke dalam sirkulasi dan kavum peritoneum dapat menimbulkan septicemia, sepsis atau peritionitis. C. Berdasarkan Pelaksanaannya l.
Abortus aman (safe abortion), upaya untuk terminasi kehamilan muda. Pelaksanaan tindakan tersebut dilakukan oleh petugas medis yang mempunyai cukup keahlian, dilakukan dengan peralatan dan prosedur standar yang aman sehingga tidak membahayakan keselamatan jiwa pasien.
2.
Abortus tidak aman (unsafe abortion), upaya terminasi kehamilan muda. Pelaksanaan tindakan tersebut tidak dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai cukup keahlian, tidak memiliki peralatan dan prosedur standar yang aman sehingga dapat membahayakan keselamatan jiwa pasien.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Aborsi Aman Aborsi adalah fakta yang menjadi problem serius di masyarakat, isu yang kontroversial khususnya dikaitkan dengan nilai-nilai moral, demikian juga dengan sikap Undang-Undang yang memandang aborsi sebagai suatu tindak pidana. Hal ini di sebabkan karena aborsi sering diasumsikan hanya pada kasus-kasus kehamilan di luar nikah, padahal faktanya tidak selalu demikian. Nasruddin (dalam Maria, 2006) mengatakan, besarnya angka dan jumlah angka kematian ibu (AKI) pada setiap tahunnya bisa jadi disebabkan karena tidak adanya aturan mengenai palayanan aborsi yang aman, sehingga angka tersebut bukannya berkurang, tetapi justru memberikan peluang yang besar terjadinya praktik aborsi diam-diam tanpa pedoman, prosedur dan standar kesehatan. Kondisi ini sungguh memprihatinkan bagi kita, padahal Indonesia sendiri sudah menandatangani kesepakatan Kairo 1994 tentang hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi yang salah satunya adalah mengeliminir aborsi ilegal dan tidak aman. Nasruddin menguraikan lebih lanjut, ada lima persoalan mendasar yang menjadi
perdebatan sekitar masalah aborsi. 1) Apa yang dimaksud dengan aborsi;
2) Kapan manusia mulai dianggap hidup, apakah semenjak masa konsepsi (pembuahan) atau ketika benih janin itu sudah berumur tertentu; 3) Apakah semua jenis aborsi dilarang secara mutlak atau ada faktor-faktor pembenaran tertentu; 4) Apakah akibat hukum baik hukum agama maupun hukum positif terhadap pelaku aborsi dan 5) Bagaimana upaya mencegah meluasnya aborsi dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Pelayanan aborsi yang aman dapat diberikan persyaratan antara
lain;
1) Dilakukan secara profesional oleh para ahli yang tergabung dalam tim, 2) Dengan persejuan perempuan yang bersangkutan, 3) Dilakukan konseling pra dan pasca tindakan, 4) Dilakukan secara komersil. Indikasi yang menjadi dasar dibolehkannya pelayanan aborsi tidak hanya disebabkan alasan medis (sebagaimana diatur dalam UU No.23/1992), tetapi juga alasan psiko-sosial perempuan yang mengalami KTD, (PKBI, 2004). George seorang ahli Antropolog (dalam PKBI 2004), menyatakan permintaan pelayanan aborsi yang aman oleh perempuan sudah menjadi fenomena yang universal, alasan permintaan tersebut karena perempuan membutuhkan pelayanan kesehatan yang memadai yang dapat mencari jalan keluar kesehatan yang aman. Kemungkinan perempuan akan dihadapkan pada masalah kehamilan yang tidak diinginkan dalam hidupnya, oleh karena itu sewajarnya jika perempuan mengajukan permintaan pelayanan aborsi yang aman.
2.3.3. Aborsi tidak aman (Unsafe Abortion) WHO (1998), aborsi tidak aman merupakan salah satu masalah pelayanan atau oleh kesehatan yang terabaikan di negara berkembang. Bekti (2005) dan PKBI (2004), menguraikan aborsi tidak aman sebagai terminasi (penghentian) kehamilan yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih atau ditempat yang tidak memenuhi standar minimal medis atau keduanya, apabila dilakukan lebih dari 12 minggu. Jurnalis (2007), memberikan pengertian bahwa aborsi tidak aman dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
bukan dokter atau oleh tenaga terlatih untuk itu, dilakukan ditempat yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan dan dilakukan dengan cara yang tidak dikenal di dunia kedokteran. Penelitian PKBI (2004),
mendapatkan gambaran karena aborsi yang tidak
aman perempuan dapat mengalami komplikasi (dalam bentuk infeksi, rahim robek, perdarahan), kesakitan dan kecacatan. Sesungguhnya disetiap wilayah, masyarakat mengembangkan cara-cara pengguguran kandungan sesuai nilai budaya lokal masingmasing yang ada pada dasarnya jauh dari aman dan memadai. Karena tidak ada pelayanan aborsi yang aman, perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan melakukan aborsi secara tidak aman (unsafe abortion). Dari aspek medis, praktek aborsi tidak aman beresiko sangat tinggi terhadap kematian ibu karena tidak dilakukan oleh ahli yang kompeten serta tidak dikerjakan dengan peralatan medis yang layak (Untung, 2007). Dijelaskan lebih lanjut praktik aborsi tidak aman sebenarnya juga melanggar tiga hal, yaitu : Pertama, melanggar kode etik profesi medik; Kedua, tidak sesuai dengan prosedur medik; Ketiga, melanggar peraturan perundang-undangan yang ada.
2.4. Penanganan Aborsi Tidak Aman (Unsafe Abortion) 2.4.1. Aspek Layanan dan Kebijakan Dorotthy Shaw, Presiden FIGO (Internatonal Federation of Gynecology and Obstetrics) berbicara pada forum WHO pada tahun 2006, bahwa bukti pencegahan, kesakitan dan kematian akibat masalah kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual
Universitas Sumatera Utara
sudah tidak dapat ditoleransi lagi. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pemenuhan hak reproduksi merupakan bagian integral dari hak dasar manusia, dan kebijakan serta undang-undang akan mengurangi angka kematian akibat aborsi (Colin,2007) Tulisan Saparinah dalam jurnal perempuan (2007), menguraikan belum terpenuhinya hak kesehatan reproduksi di Indonesia dapat dilihat dari tingginya angka kematian ibu (AKI) dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Lebih dari 30 tahun yang lalu terdapat kesepakatan nasional untuk menurunkan AKI secara komprehensif dimulai dari kebijakan tentang KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), sampai dengan MPS (Make Pregnancy Safer). Namun sampai sekarang AKI masih tetap tinggi di atas 307/100.000 kelahiran hidup. Padahal dalam memenuhi kesepakatan MDGs Indonesia diharapkan dapat menurunkan AKI menjadi 102/100.000 kelahiran hidup di tahun 2015. Selanjutnya Saparinah menuliskan bahwa memenuhi hak kesehatan reproduksi perempuan adalah
mutlak, namun
kenyataannya hingga sekarang
undang-undang kesehatan tidak memuat pasal–pasal yang dirumuskan khusus untuk melindungi hak-hak kesehatan reproduksi perempuan serta tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah mengenai pelayanan kesehatan yang berkualitas. YKP (Yayasan Kesehatan Perempuan) tahun 2005, dalam kegiatan advokasi tentang kesehatan reproduksi perempuan menjelaskan bahwa di UU No.23/92 tentang kesehatan tidak ada pasal yang secara khusus melindungi hak reproduksi perempuan. Padahal
Indonesia
salah
satu
negara
yang
menyetujui,
mendukung
dan
menandatangani naskah yang disebut sebagai Platform of Action (POA) yaitu naskah
Universitas Sumatera Utara
yang dihasilkan pada ICPD Kairo 1994 adalah bahwa negara bersangkutan menyetujui prinsip-prinsip yang dimuat dalam POA dan bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang disepakati dalam POA tersebut. Salah satu prinsip yang telah disetujui bersama adalah untuk melindungi hak reproduksi perempuan. Menurut Adrina (1998), pandangan pro dan kontra, senantiasa mewarnai perbincangan tentang aborsi. Disatu sisi, ada anggapan janin memiliki hak untuk hidup dan harus dilindungi, sementara disisi lain, muncul pandangan yang menekankan hak perempuan hamil untuk meneruskan atau menghentikan kandungannya. Karenanya tidaklah berlebihan jika aborsi dikatakan sebagai suatu masalah yang cukup serius. Sayangnya data tentang masalah ini sangat terbatas di Indonesia. Adrina (1998), menjelaskan lebih lanjut berdasarkan penjelasan pasal 15 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Kesehatan No. 23/1992, yang menyatakan bahwa peluang untuk melakukan aborsi tetap terbuka. Tapi itu hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat sebagai upaya penyelamatan ibu hamil. Untuk menjawab kebutuhan ini disediakan pelayanan aborsi yang aman dengan karakteristik hanya dapat dilakukan oleh tenaga ahli (dokter kandungan) dan berdasarkan pada pertimbangan tim ahli lainnya yang terdiri dari medis, agama, hukum, psikologi dan harus tersedia sarana kesehatan serta peralatan yang diperlukan dan ditunjuk oleh pemerintah. Tulisan Saparinah (2007),
yang menjelaskan bahwa perjuangan hak-hak
reproduksi untuk mendapatkan pelayanan kemudian mendorong aliansi organisasi perempuan termasuk didalamnya YKP (Yayasan Kesehatan Perempuan) kemudian
Universitas Sumatera Utara
menyusun dan mengusulkan amandemen Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 yang diajukan ke DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) : Pasal....... (1). Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang terkait dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. (2). Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi : a. Saat sebelum hamil, semasa hamil, melahirkan dan sesudah melahirkan. b. Pengaturan kehamilan dan c. Kesehatan sistem organ reproduksi. (3).
Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui pendekatan upaya kesehatan ibu, kesehatan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan infeksi menular seksual termasuk HIV-AIDS serta kesehatan reproduksi lanjut usia.
Pasal........ Setiap orang berhak : a. Menjalankan kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan dari luar yang dan/atau kekerasan dari siapapun. b. Menentukan kehidupan reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan/ atau kekerasan, yang sesuai nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia.
Universitas Sumatera Utara
c. Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan serta kesetaraan antar pasangan. d. Memperoleh informasi, edukasi, konseling dan pelayanan kesehatan reproduksi. Pasal....... Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual. Pasal......... (1). Setiap pelayan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/ atau rehabilitative, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas pada fungsi reproduksi perempuan dan laki-laki. (2). Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Berkaitan dengan aborsi pasal yang di amandemen adalah; Pasal....... Setiap orang dilarang melakukan aborsi, (1). Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan a. Indikasi medis yang terbukti secara klinis mengancam nyawa ibu dan/ atau janin yang menderita penyakit genetic berat dan/ atau cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut diluar kandungan,
Universitas Sumatera Utara
dan harus mendapatkan izin dari ibu dan ayah janin setelah diberikan penjelasan lengkap. b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan yang direkomendasikan oleh ahli psikologi penilai. (2). Tindakan aborsi yang akan dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat(2), hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/ atau penasehat pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang serta ditetapkan oleh panel ahli/tokoh agama penilai setempat yang diangkat oleh menteri. (3). Ketentuan lebih lanjut tentang indikasi medis dan/ psikososial, sarana dan prasarana kompetensi dan kebebasan memilih sumber daya ahli penilai, keterjangkauan pembiayaan dan pemerataan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dan ayat(3) diatur dengan peraturan menteri. Pasal .... (1) Pemerintah wajib melindungi perempuan dan mencegah dari praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman dan tidak bertanggungjawab. (2) Praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman dan tidak bertanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tindakan : a.
Dengan
paksaan
dan
tanpa
persetujuan
perempuan
yang
bersangkutan atau diskriminatif b.
Dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih atau tenaga non kesehatan
Universitas Sumatera Utara
c.
Tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku;
d.
Di fasilitas kesehatan yang tidak berijin/memenuhi syarat; atau
e.
Menerapkan imbalan materi yang di luar jangkauan perempuan yang melakukannya.
Pada saat pembahasan perubahan di atas dengan pemerintah, Presiden telah menunjuk Menteri Kesehatan RI sebagai wakil pemerintah untuk mensahkan masuknya pasal-pasal yang diajukan mengisyaratkan paling sedikit dua hal yaitu : •
Pemenuhan
hak
kesehatan
reproduksi
perempuan
secara
legal
menjadi tanggungjawab pemerintah; •
Memenuhi kesehatan reproduksi perempuan bukan pilihan tetapi keharusan dalam meningkatkan mutu kesehatan masyarakat dan derajat bangsa. Adrina (1998), mengatakan, jika dilihat lebih lanjut berkaitan dengan pasal
15 UU Kesehatan No23/92 ada dua hal penting yang dapat di catat; Pertama, jenis pelayanan aborsi yang disebut aman adalah yang legal dan dilaksanakan menurut sistim pengobatan barat; Kedua, pembatasan pada masalah menyelamatkan ibu dan/atau bayinya yang mengartikan bahwa pelayanan tersebut hanya tersedia bagi kelompok tertentu saja, yakni mereka yang sudah menikah serta terancam jiwanya. Lebih lanjut diuraikan, bahwa memperoleh pelayanan aborsi yang aman tidak dapat disangkal lagi karena merupakan salah satu hak reproduksi perempuan. Tanpa pelayanan yang aman perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dan melakukan aborsi tidak aman akan terancam jiwanya.
Universitas Sumatera Utara
Maria (2006), mengatakan gagasan untuk mengamandemen UndangUndang Kesehatan No. 23/1992, dengan memasukkan pasal tentang layanan kesehatan yang dapat memenuhi hak reproduksi perempuan, sebagai kajian untuk dibahas bersama anggota Legislatif adalah upaya mencari solusi dalam menghadapi dilema aborsi yang dihadapi perempuan dengan pertimbangan : •
Hingga sekarang, perempuan dalam menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan akan selalu mencari cara untuk menggugurkannya. Seringkali berakhir dengan menjadi korban dari prosedur aborsi yang tidak aman dengan akibat fatal; yaitu kematian atau cacat seumur hidup;
•
Kemajuan teknologi kedokteran bisa memberi pelayanan yang mencegah aborsi tidak aman;
•
Diperlukan UU kesehatan yang memberi perlindungan yang jelas bagi para pemberi pelayanan (dokter, bidan, petugas kesehatan tertentu) maupun perempuan yang mencari layanan aborsi;
•
Aturan legal, medis dan psikologis, harus menentukan persyaratan-persyaratan ketat tentang aborsi. Yang perlu disadari juga adalah bahwa kontroversi tentang aborsi telah
menyumbang pada menetapnya angka kematian ibu di Indonesia. Kontribusi aborsi tidak aman pada angka kematian maternal yang menurut data yang ada berkisar antara ll%-50%, menyimpulkan bahwa aborsi dan kehamilan tidak diinginkan yang dialami perempuan di Indonesia adalah masalah kesehatan yang serius; Pertama: karena berkontribusi pada angka kematian ibu (AKI); Kedua : aborsi tidak aman
Universitas Sumatera Utara
sebagai masalah kesehatan perempuan usia reproduksi hingga kini belum ada program dan kebijakan untuk membuat kehamilan setiap perempuan aman (Maria, 2006). WHO (2007) menegaskan bahwa resiko kesakitan dan kematian akibat aborsi tidak aman tergantung pada layanan dan kehalian petugas yang melaksanakan.
2.4.2. Aspek Dukungan Sosial Ninuk dalam Jurnal Perempuan (2007), menuliskan saat membicarakan perihal hak dan layanan kesehatan reproduksi tidak ada kata yang begitu membangkitkan emosi, selain ABORSI, baik untuk kelompok yang ekstrem membela kepentingan embrio atau fetus dalam rahim perempuan sehingga kepentingan dan hak hidup perempuan itu sendiri terabaikan, maupun untuk kelompok yang lebih membela kepentingan perempuan daripada kepentingan calon anak. Selanjutnya Ninuk menjelaskan bahwa memutuskan untuk melakukan aborsi adalah hal yang tidak mudah bagi seorang perempuan, karena ia sadar sedang melakukan sesuatu yang tidak disenangi agama dan lingkungannya. la juga sadar akan mengalami kesakitan fisik luar biasa. Mungkin ia bisa mati. Tapi ia sudah terpojok dan menjadi berani menempuh resiko dengan harapan mendapatkan hidup yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian bebas dari rasa takut mencakup juga bebas dari ketakutan akan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan, disinilah keterkaitan antara kehidupan seks yang sehat dengan hak reproduksi. Kehamilan yang tidak diinginkan akan selalu menimbulkan problem kesehatan bagi perempuan, terutama kesehatan mentalnya. Pada saat seperti ini seorang perempuan membutuhkan dukungan baik dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitarnya, (Kartono, 2007) Selanjutnya Kartono menguraikan bahwa di masyarakat yang makin urban, kedekatan sosial itu semakin merenggang, termasuk keluarga sendiri. hingga seorang perempuan yang sedang mengalami kecemasan akibat kehamilan yang tidak diinginkan ataupun kekerasan seksual itu justru semakin di jauhkan dari dukungan sosial yang ia perlukan. Bagi perempuan yang mengalami "desperate" akan mencari jalan keluar sendiri yang mungkin dianggap tidak sejalan dengan pandangan masyarakat sekitarnya, dan pada saat itu kesehatan reproduksi perempuan sudah terganggu. Maria (2006), mengatakan aborsi memang tidak identik dengan kesehatan perempuan, tetapi terkait pada kesehatannya secara menyeluruh. Perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan mengalami berbagai emosi seperti rasa panik, malu, takut, rasa tidak mau berdosa semuanya bercampur aduk dalam dirinya. Berarti kehamilan yang tidak diinginkan jelas berdampak negative pada kesehatan mental/psikis dan sosiahiya. Pendapat
Fathalla (dalam Maria, 2006)
adalah seorang ginekolog senior, mengatakan dari studi-studi yang ada
Universitas Sumatera Utara
membuktikan bahwa bila prosedur aborsi dilakukan dengan cara-cara yang aman, maka resiko terhadap kesehatan fisik, mental dan sosial perempuan menjadi lebih rendah atau kecil. Dalam menghadapi dilema aborsi ternyata sulit sekali bagi perempuan, apapun latar belakang pendidikan dan status sosial ekonominya, meskipun kondisi kehidupan berkeluarga cukup harmonis, untuk menuntut hak reproduksinya dan mendapat dukungan yang ia butuhkan, seperti bantuan dan dukungan dari komunitas medis yang sudah mengenal keadaan dirinya ataupun dukungan emosional dari orang yang paling dekat. Uraian-uraian di atas menyimpulkan bahwa dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Dukungan sosial untuk mengupayakan solusi yang tepat dan komprehensif dalam menangani masalah kesehatan reproduksi perempuan.
2.4.3. Aspek Informasi dan Pengetahuan Kesehatan secara umum sangat dipengaruhi oleh pendidikan (peran pendidikan, terutama perempuan, mencapai 70% dalam meningkatkan kesehatan rakyat). Oleh karena itu pendidikan bagi perempuan menjadi sangat penting untuk mencapai cita-cita Kairo dan MDGs. Informasi yang diberikan mencakup pengetahuan tentang apa yang terjadi pada dirinya dalam hal reproduksi, bagaimana organ dan fungsi reproduksinya akan berkembang, bagaimana ia dapat mengambil pilihan yang sesuai dengan keinginannya, dan dimana serta
Universitas Sumatera Utara
bagaimana ia dapat memperoleh pelayanan kesehatan reproduksinya, (Kartono 2007). Selanjutnya Kartono dalam tulisannya menguraikan dokumen Konferensi di Kairo tentang kewajiban setiap Negara untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi : " Seluruh Negara dipanggil untuk mengusahakan agar kesehatan reproduksi dapat diakses melalui sistim pelayanan kesehatan primer (menjadi standar), oleh semua individu yang berusia cukup, sesegera mungkin dan tidak lebih dari tahun 2015, (MDGs). Pelayanan tersebut harus mengikut sertakan interalia (institusi terkait); konseling perencanaan keluarga, pendidikan, komunikasi dan pelayanan: pendidikan dan pelayanan untuk perawatan kehamilan, persalinan dan pasca persalinan, pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, aborsi, dan segala kondisi kesehatan reproduksi dan informasinya, pendidikan dan konseling atas seksualitas manusia, kesehatan reproduksi dan tanggungjawab setelah menjadi orang tua ". Hasil penelitian kualitatif yang dilakukan PKBI tahun 2005 tentang kehamilan yang
tidak
diinginkan
dipengaruhi
oleh
rendahnya
tingkat
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, dan tingkat pengetahuan berhubungan dengan perilaku. Karenanya PKBI melakukan penelitian dengan tujuan untuk mendefenisikan pengetahuan KTD, pengetahuan tentang cara pencegahan, dan pengetahuan tentang sejauh mana individu mampu memahami KTD dan hal-hal yang dapat dilakukan untuk dapat melindungi diri dari KTD. Tidak ada jalan lain dalam meningkatkan pengetahuan dan merubah perilaku beresiko yang dilakukan perempuan yang mengalami KTD, adalah dengan menggunakan
strategi komunikasi yang efetif untuk menyebarkan informasi
Universitas Sumatera Utara
yang dapat mempengaruhi individu dan komunitas masyarakat agar membuat keputusan yang tepat demi memelihara kesehatan mereka sendiri, (liliweri, 2006). Penelitian
PKBI
(2008)
mengatakan
kebanyakan
perilaku
yang
menyebabkan seseorang menderita penyakit pada umumnnya bersumber dari ketidaktahuan dan kesalahpahaman atas berbagai informasi kesehatan yang mereka akses. Hal yang juga terlihat dari perilaku perempuan yang mengalami KTD untuk menghentikan kehamilannya adalah mengkonsumsi berbagai obat ataupun jamu-jamuan yang diyakini dapat menggugurkan kandungannya. Label "dilarang minum bagi wanita hamil" adalah informasi yang salah yang membuat persepsi yang salah juga. Berangkat dari uraian di atas perlu mengembangkan strategi komunikasi yang efektif yang dapat memberikan pemahaman bagi perempuan yang mengalami KTD untuk mencari
informasi yang
lebih akurat sebelum
mengambil tindakan untuk mengkonsumsi atau menggunakan sesuatu. Liliweri (2006), berpendapat salah satu strategi promosi kesehatan adalah mengembangkan sistim komunikasi yang efektif dalam pendidikan kesehatan masyarakat, dan mempromosikan adalah tanggungjawab sosial bagi kesehatan. Para pengambil keputusan agar meningkatkan komitmen dan tanggungjawab sosial, baik dari sektor publik maupun sektor swasta harus mempromosikan kesehatan dengan mengembangkan kebijakan terhadap bentuk-bentuk promosi dari produk yang dapat membahayakan masyarakat diantaranya:
Universitas Sumatera Utara
•
Menghindari semua bentuk tindakan yang dapat mengancam kesehatan orang lain.
•
Membatasi produk barang atau jasa yang mengancam kesehatan manusia, seperti jamu-jamuan peluntur haid. Selanjutnya
Liliweri
mengatakan
hubungan
komunikasi
dengan
kesehatan memberikan peranan penting dalam meningkatkan pengetahuan dan mengubah perilaku, karena komunikasi kesehatan adalah, cara menyebarluaskan informasi kesehatan yang dapat mempengaruhi dan memotivasi individu maupun komunitas agar mereka dapat membuat keputusan yang tepat.
Universitas Sumatera Utara