BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk Aedes spp. merupakan vektor utama dari demam berdarah dengue
(DBD) yang terdiri dari Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir semua di pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara rendah sehingga tidak memungkinkan bagi nyamuk untuk hidup dan berkembangbiak (Siregar, 2004). Tempat perindukan Aedes spp adalah di dalam rumah dan diluar rumah, nyamuk Aedes aegypti biasa aktif di dalam rumah biasanya hinggap dibaju – baju yang bergantungan dan berada di tempat yang gelap seperti di bawah tempat tidur, dan mempunyai ciri pada tubuhnya tampak bercak hitam putih bila di lihat dengan kaca pembesar di sisi kanan kiri punggungnya tampak dua garis berwarna putih, suka bertelur di air yang bersih seperti di tempayan, bak mandi, vas bunga segar yang berisi air dan lain nya dan menetas di dinding bejana air, telur ( jentik ) nyamuk Aedes aegypti bisa bertahan 2-3 bulan. Sedangkan nyamuk Aedes albopiktus biasanya aktif di luar rumah dan banyak terdapat di kebun ( pekarangan rumah) misalnya pada kaleng-kaleng bekas,botol plastik, ban mobil bekas, tempurung dan pelepah kelapa, bambu pagar dan lain nya yang menampung air hujan di halaman rumah. Cirinya hampir sama dengan nyamuk Aedes aegypti bila di lihat dengan kaca pembesar ( mikroskop ) tampak di
7
8
medium punggung nya ada garis putih, waktu menggigit nya juga sama pada pagi dan sore hari (Kesuma hadi, 2009). Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Nyamuk dewasa betina mengisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. Pengisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (08.00 - 10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00 – 17.00). Nyamuk betina mengisap darah dengan tujuan untuk mendapatkan protein untuk memproduksi telur sedangkan nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan (Djunaedi, 2006). 2.1.1
Taksonomi Aedes aegypti Urutan klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Subphylum
: Uniramia
Kelas
: Insekta
Ordo
: Diptera
Subordo
: Nematosera
Familia
: Culicidae
Sub family
: Culicinae
Tribus
: Culicini
Genus
: Aedes
9
Spesies
: Aedes aegypti
(Djakaria S, 2004) 2.1.2
Morfologi Aedes aegypti Secara umum nyamuk Aedes aegypti sebagaimana serangga lainnya
mempunyai tanda pengenal sebagai berikut (Sudarto,1972): a.
Terdiri dari tiga bagian, yaitu : kepala, dada, dan perut
b.
Pada kepala terdapat sepasang antena yang berbulu dan moncong yang panjang (proboscis) untuk menusuk kulit hewan/manusia dan menghisap darahnya.
c.
Pada dada ada 3 pasang kaki yang beruas serta sepasang sayap depan dan sayap belakang yang mengecil yang berfungsi sebagai penyeimbang (halter). Aedes aegypti dewasa berukuran kecil dengan warna dasar hitam. Pada
bagian dada, perut, dan kaki terdapat bercak – bercak putih yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Pada bagian kepala terdapat pula probocis yang pada nyamuk betina berfungsi untuk menghisap darah, sementara pada nyamuk jantan berfungsi unutk menghisap bunga. Terdapat pula palpus maksilaris yang terdiri dari 4 ruas yang berujung hitam dengan sisik berwarna putih keperakan. Pada palpus maksilaris Aedes aegypti tidak tampak tanda – tanda pembesaran, ukuran palpus maksilaris ini lebih pendek dibandingkan dengan proboscis. Sepanjang antena terdapat diantara sepasang dua bola mata, yang pada nyamuk jantan berbulu lebat (Plumose) dan pada nyamuk betina berbulu jarang (pilose) (Sudarto,1972).
10
Dada nyamuk Aedes aegypti agak membongkok dan terdapat scutelum yang berbentuk tiga lobus. Bagian dada ini kaku, ditutupi oleh scutum pada punggung (dorsal), berwarna gelap keabu - abuan yang ditandai dengan bentukan menyerupai huruf Y yang ditengahnya terdapat sepasang garis membujur berwarna putih keperakan. Pada bagian dada ini terdapat dua macam sayap, sepasang sayap kuat pada bagian mesotorak dan sepasang sayap pengimbang (halter) pada metatorak. Pada sayap terdapat saliran trachea longitudinal yang terdiri dari chitin yang disebut venasi. Venasi pada Aedes aegypti terdiri dari vena costa, vena subcosta, dan vena longitudinal (Sudarto,1972). Terdapa tiga pasang kaki yang masing – masing terdiri dari coxae, trochanter, femur, tibia dan lima tarsus yang berakhir sebagai cakar. Pada pembatas antara prothorax dan mesothorax, dan atara mesothorax dengan metathorax terdapat stigma yang merupakan alat pernafasan (Sudarto,1972). Bagian perut nyamuk Aedes aegypti berbentuk panjang ramping, tetapi pada nyamuk gravid (kenyang) perut mengembang. Perut terdiri dari sepuluh ruas dengan ruas terakhir menjadi alat kelamin. Pada nyamuk betina alat kelamin disebut cerci sedang pada nyamuk jantan alat kelamin disebut hypopigidium. Bagian dorsal perut Aedes aegypti berwarna hitam bergaris – garis putih, sedang pada bagian ventral serta lateral berwarna hitam dengan bintik – bintik putih keperakan (Sudarto,1972).
11
2.1.3
Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu mengalami
perubahan bentuk morfologi selama hidupnya dari stadium telur berubah menjadi stadium larva kemudian menjadi stadium pupa dan menjadi stadium dewasa.
Gambar 2.1 Daur Hidup Aedes aegypti Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar yang hitam dengan bintik putih pada bagian badannya terutama pada bagian kakinya (Depkes RI, 2007). 1.
Stadium telur Aedes aegypti Seekor nyamuk betina rata – rata dapat menghasilkan 100 butir telur setiap
kali bertelur dan akan menetas menjadi larva dalam waktu 2 hari dalam keadaan telur terendam air. Telur Aedes aegypti berwarna hitam, berbentuk ovale, kulit tampak garis – garis yang menyerupai sarang lebah, panjang 0,80 mm, berat 0,0010 - 0,015 mg. Telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu yang lama
12
pada keadaan kering. Hal tersebut dapat membantu kelangsungan hidup spesies selama kondisi iklim yang tidak memungkinkan (Depkes RI, 2007). Pada umumnya nyamuk Aedes aegypti akan meletakan telurnya pada suhu sekitar 20° sampai 30°C. Pada suhu 30°C, telur akan menetas setelah 1 sampai 3 hari dan pada suhu 16°C akan menetas dalam waktu 7 hari. Telur nyamuk Aedes aegypti sangat tahan terhadap kekeringan (Sudarmaja JM dan Mardihusodo, 2009). Pada kondisi normal, telur Aedes aegypti yang direndam di dalam air akan menetas sebanyak 80% pada hari pertama dan 95% pada hari kedua. Berdasarkan jenis kelaminnya, nyamuk jantan akan menetas lebih cepat dibanding nyamuk betina, serta lebih cepat menjadi dewasa. Faktor – faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah suhu, pH air perindukkan, cahaya, serta kelembaban disamping fertilitas telur itu sendiri (Soedarto, 1992).
Gambar 2.2 Telur Aedes aegypti
13
2.
Stadium Larva Aedes aegypti Larva nyamuk Aedes aegypti selama perkembangannya mengalami 4 kali
pergantian kulit larva instar I memiliki panjang 1-2 mm, tubuh transparan, siphon masih transparan, tumbuh menjadi larva instar II dalam 1 hari. Larva intar II memiliki panjang 2,5-3,9 mm, siphon agak kecoklatan, tumbuh menjadi larva instar III selama 1-2 hari. Larva instar III berukuran panjang 4-5 mm, siphon sudah berwarna coklat, tumbuh menjadi larva instar IV selama 2 hari. Larva instar IV berukuran 5-7 mmm sudah terlihat sepasang mata dan sepasang antena, tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur rata – rata pertumbuhan larva hingga pupa berkisar 5-8 hari. Posisi istirahat pada larva ini adalah membentuk sudut 450 terhadap bidang permukaan air (Depkes RI, 2007).
Gambar 2.3 Larva Aedes aegypti
14
3.
Stadium Pupa Aedes aegypti Pada stadium pupa tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu cephalothorax yang
lebih besar dan abdomen. Bentuk tubuh membengkok. Pupa tidak memerlukan makan dan akan berubah menjadi dewasa dalam 2 hari. Dalam pertumbuhannya terjadi proses pembentukan sayap, kaki dan alat kelamin (Depkes RI, 2007).
Gambar 2.4 Pupa Aedes aegypti 4.
Nyamuk dewasa Aedes aegypti Tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3 bagian, yatu kepala (caput), dada
(thorax) dan perut (abdomen). Badan nyamuk berwarna hitam dan memiliki bercak dan garis – garis putih dan tampak sangat jelas pada bagian kaki dari nyamuk Aedes aegypti. Tubuh nyamuk dewasa memiliki panjang 5 mm. Pada bagian kepala terpasang sepasang mata majemuk, sepasang antena dan sepasang palpi, antena berfungsi sebagai organ peraba dan pembau. Pada nyamuk betina, antena berbulu pendek dan jarang (tipe pilose), sedangkan pada nyamuk jantan, antena berbulu panjang dan lebat (tipe plumose). Thorax terdiri dari 3 ruas, yaitu prothorax, mesotorax, dan methatorax. Pada bagian thorax terdapat 3 pasang kaki
15
dan pada ruas ke 2 (mesothorax) terdapat sepasang sayap. Abdomen terdiri dari 8 ruas dengan bercak putih keperakan pada masing – masing ruas. Pada ujung atau ruas terakhir terdapat alat kopulasi berupa cerci pada nyamuk betina dan hypogeum pada nyamuk jantan (Depkes RI, 2007). Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1:1, nyamuk jantan keluar terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyamuk betina, dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya sekali kawin. Pada nyamuk betina, bagian mulutnya mempunyai probosis panjang untuk menembus kulit dan penghisap darah. Sedangkan pada nyamuk jantan, probosisnya berfungsi sebagai pengisap sari bunga atau tumbuhan yang mengandung gula. Nyamuk Aedes aegypti betina umumnya lebih suka menghisap darah manusia karena memerlukan protein yang terkandung dalam darah untuk pembentukan telur agar dapat menetas jika dibuahi oleh nyamuk jantan. Setelah dibuahi nyamuk betina akan mencari tempat hinggap di tempat tempat yang agak gelap dan lembab sambil menunggu pembentukan telurnya, setelah menetas telurnya diletakkan pada tempat yang lembab dan basah seperti di dinding bak mandi, kelambu, dan kaleng - kaleng bekas yang digenangi air (Hoedojo R dan Zulhasril, 2008).
16
Gambar 2.5 Aedes aegypti dewasa 2.1.4.1.1 1.
Tempat Perkembangbiakan
Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat menampung air guna keperluan sehari – hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC dan ember.
2.
Bukan tempat penampungan air (non TPA) yaitu tempat – tempat yang biasa digunakan untuk menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari – hari seperti tempat minum hewan piaraan, kaleng bekas, ban bekas, botol, pecahan gelas, vas bunga dan perangkap semut.
3.
Tempat penampungan air alami (TPA alami) seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang dan potongan bambu.
17
2.1.5 1.
Bionomik Nyamuk Aedes aegypti
Perilaku makan Aedes aegypti sangat antropofilik, walaupun ia juga bisa makan dari
hewan panas lainnya. Sebagai hewan diurnal, nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menggigit, pertama dipagi hari selama beberapa jam setelah matahari terbit dan sore hari selama beberapa jam sebelum gelap. Puncak aktivitas menggigit dapat beragam, bergantung lokasi dan musim. Jika masa makannya terganggu, Aedes aegypti dapat menggigit lebih dari satu orang. Perilaku ini dapat memperbesar penyebaran epidemi. Aedes aegypti biasanya tidak menggigit pada malam hari, tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang (WHO,2001). 2.
Perilaku istirahat Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap,
lembab, dan
tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil, maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan, atau di tempat berlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang mereka suka adalah di bawah furnitur, benda yang tergantung seperti baju dan gordyn, serta dinding (WHO,2001). 3.
Jarak terbang Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh
beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi tampaknya terbatas sampai pada jarak 100 meter dari lokasi kemunculan. Akan tetapi, penelitian terbaru di Puerto Rico menunjukkan nyamuk ini dapat menyebar lebih dari 400 meter terutama untuk mencapai lokasi bertelur (WHO,2001).
18
4.
Lama Hidup Aedes aegypti dewasa memiliki rata – rata lama hidup hanya delapan hari.
Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, resiko penyebaran virus semakin besar (WHO,2001). 2.1.6
Demam Berdarah Dengue Nyamuk Aedes aegypti (di daerah perkotaan) dan Aedes albopictus (di
daerah pedesaan) merupakan vektor utama penyakit DBD. Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B yaitu Arthropod borne virus atau virus yang disebarkan oleh arthropoda. Virus ini termasuk genus flavivirus dari famili flaviviridae. Infeksi virus terjadi melalui gigitan nyamuk, virus memasuki aliran darah manusia untuk kemudian bereplikasi (memperbanyak diri). Sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya akan terbentuk antigen – antibodi. Kompleks antigen – antibodi tersebut akan melepaskan zatzat yang merusak sel – sel pembuluh darah, yang disebut dengan proses autoimun. Proses tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat yang salah satunya ditujukan dengan melebarnya pori – pori pembuluh darah kapiler. Hal itu mengakibatkan bocornya sel – sel darah, antara lain trombosit dan eritrosit. Akibatnya tubuh akan mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai perdarahan hebat pada kulit, saluran cerna, saluran pernapasan, dan organ vital yang sering menyebabkan kematian. Pasien penyakit DBD umumnya disertai dengan gejala demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas, manifestasi
19
perdarahan pada tes rumple leed, mulai dari petekie sampai perdarahan spontan seperti mimisan, muntah darah, atau berak darah hitam; hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal : 150.000-300.000 μL dan hematokrit meningkat (normal pria <45 dan wanita <40); akral dingin, gelisah, tidak sadar (DSS, dengue shock syndrom) (Widoyono, 2008). Siklus penyebaran virus dengue dapat terjadi dalam beberapa tahap, yaitu perkembangbiakan virus dalam tubuh nyamuk kemudian ditularkan ke manusia. Tahap pertama nyamuk Aedes aegypti menggigit manusia yang terinfeksi virus dengue, kemudian virus akan berkembang di perut dan kelenjar ludah nyamuk Aedes aegypti. Tahap kedua nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue menggigit manusia yang sehat, kemudian virus berkembang pada jaringan dekat titik inokulasi atau lymph node, virus keluar dari jaringan inokulasi dan menyebar melalui darah untuk menginfeksi sel – sel darah putih, lalu virus keluar dari sel darah putih dan bersirkulasi ke darah, sistem kekebalan tubuh merusak sel – sel yang terinfeksi. Jika sel yang terinfeksi sedikit, demam akan berlangsung 6-7 hari. Tetapi jika sel yang terinfeksi banyak demam akan lebih parah dan pendarahan akan lebih banyak (Kristina dkk, 2010). Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus dengan jumlah kematian 871 orang. Terjadi peningkatan kasus pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 90.245 kasus (Depkes RI, 2013). Penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi.
20
Daerah endemis DBD di Provinsi Sumatera Utara adalah Kota Medan, Deli Serdang, Binjai, Langkat, Asahan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar dan Kabupaten Karo. Sejak tahun 2005 rata-rata insiden rate DBD per 100,000 penduduk di Provinsi Sumatera Utara relatif tinggi. Pada tahun 2013, jumlah kasus DBD tercatat 4.732 kasus dengan IR 35 per 100.000 penduduk. Jumlah ini mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2012 dengan jumlah kasus 4,367 kasus dengan IR sebesar 33 per 100.000 penduduk. Insidens rate DBD dengan insidens rate yang sangat tinggi dalam 3 tahun terakhir umumnya dilaporkan oleh daerah perkotaan yakni Kota Medan, Deli Serdang, Pematang Siantar, Langkat dan Simalungun (Depkes Prov Sumut, 2013). 2.1.7
Pengendalian Vektor Menurut Peraturan Pemerintah No. 374 tahun 2010 vektor merupakan
arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi sumber penularan penyakit pada manusia. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat terpecahkan karena morbiditasnya (angka kesakitan) tinggi dan penyebaran yang semakin luas. Pengobatan spesifik terhadap penyakit DBD sampai saat ini belum ada, sehingga dengan memberantasnya dilakukan dengan memberantas vektor nyamuk (Nurhayati, 2005). Pengendalian vektor bertujuan untuk mengurangi atau menekan populasi vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit, serta untuk menghindarkan kontak antara vektor dan manusia
21
(Gandahusada, 2000). Pengendalian vektor penyakit sangat diperlukan bagi beberapa macam penyakit karena berbagai alasan (Slamet, 2009): 1. Penyakit tadi belum ada obat maupun vaksinnya, seperti hampir semua penyakit yang disebabkan oleh virus. 2. Bila ada obat atau vaksinnya sudah ada, tetapi kerja obat tadi belum efektif, terutama pada penyakit parasite. 3. Berbagai penyakit di dapat pada banyak hewan selain manusia, sehingga sulit dikendalikan. 4. Sering menimbulkan cacat, seperti filariasis, malaria. 5. Penyakit cepat menjalar, karena vektornya dapat bergerak cepat, seperti insekta yang merayap. 2.1.7.1 Pengendalian Secara Biologis Dengan memperbanyak pemangsa dan parasit sebagai musuh alami bagi serangga, dapat dilakukan pengendalian serangga yang menjadi vector atau hospes perantara. Beberapa parasit dari golongan nematode, bakteri, protozoa, jamur dan virus dapat dipakai sebagai pengendali larva nyamuk. Artropoda juga dapat dipakai sebagai pengendali nyamuk dewasa. Predator atau pemangsa yang baik untuk pengendalian larva nyamuk terdiri dari beberapa jenis ikan, larva nyamuk yang berukuran lebih besar, juga larva capung dan Crustaceae. Contoh beberapa jenis ikan sebagai pemangsa yang cocok untuk pengendalian larva ialah: Panchax panchax (ikan kepala timah), Lebistus reticularis (Guppy = water ceto), Gambusia affinis (ikan gabus), dll (Gandahusada, 2000).
22
Cara lain untuk pengendalian serangga yaitu dengan menggunakan mikroflora atau cendawan. Penelitian telah dilakukan Aminah (1999:17) yaitu melakukan uji coba penggunaan 3 mg/1 air Giotrium candidum, Mucor haemalis dan Beauveria bassiana untuk insektisida dan larvasida. Hasil penelitian menunjukan bahwa cendawan air Giotrium candidum, Mucor haemalis dapat membunuh 100% nyamuk Aedes aegypti pada hari ketiga, sedangkan Beauveria bassiana hari keempat baru mematikan 100%. 2.1.7.2 Pengendalian Secara Mekanis Cara pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan alat yang langsung dapat membunuh, menangkap atau menghalau, menyisir, mengeluarkan serangga dari jaringan tubuh. Menggunakan baju pelindung, memasang kawat kasa di jendela merupakan cara untuk menghindarkan hubungan (kontak) antara manusia dan vector (Gandahusada dkk, 2000). Program yang di canangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan RI yaitu 3M (Sembel, 2009): 1. Menguras, berarti membersihkan tetmpat – tempat penampungan air (bak mandi) untuk mengeluarkan jentik – jentik nyamuk 2. Menimbun, berarti mengumpulkan kontainer – kontainer yang dapat menampung air menjadi tempat pembiakan nyamuk 3. Mengubur
yaitu
mengumpulkan
menguburkannya dalam tanah.
kontainer
–
kontainer
dan
23
2.1.7.3 Pengendalian Secara Kimia 2.1.7.3.1 Kimia Organik Peggunaan senyawa kimia nabati disebabkan karena senyawa kimia nabati mudah terurai oleh sinar matahari sehingga tidak berbahaya, tidak merusak lingkungan dan tidak berpengaruh pada hewan target. Penggunaan insektisida nabati
seperti
bungan
krisan
(Chrysanthemum
cinerariaefolium)
untuk
pengendalian sejak beberapa tahun sebelum masehi. Penelitian Campbell dan Sulivan, menyatakan bahwa tanaman yang mengandung senyawa rutaecarpine, nikotin, anabasin, dan lupinin dapat membunuh larva Cx. Quinquefasciatus dan tanaman yang tergolong dalam famili: Pnaceae, Cucurbitaceae, Uml elferae, Leguminoceae, Labiatae, Lilyace, Compositae, dan Euphorbiaceae beracun terhadap nyamuk Cx. Quinquefasciatus. Amongkar Reeves, menemukan ekstrak bawang putih ( Alium satavum) dapat membunuh larva Culex peus, Culex tarsalis, dan Aedes aegyti. Aminah telah melakukan beberapa studi pendahuluan diantaranya penggunaan sari bawang merah (Alium cepa), konsentrasi 1% dapat memacu pertanaman pradewasa Aedes aegypti dan konsentrasi 5%, 10% menghambat pertanaman sedangkan konsentrasi 25% mematikan. Penggunaan ekstrak bawang merah yang paling efektif adalah ekstrak daunnya kemudian diikuti ekstrak akar dan umbinya. 2.1.7.3.2 Kimia Anorganik Senyawa kimia non nabati berupa derivat – derivat minyak bumi seperti minyak tanah dan minyak pelumas yang mempunyai daya insektisida. Insektisida
24
adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida yang baik (ideal) mempunyai sifat sebagai berikut: 1. Mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak berbahaya bagi binatang vertebrata termasuk manusia dan ternak. 2. Murah harganya dan mudah didapatdalam jumlah yang besar. 3. Mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar. 4. Mudah dipergunakan dan dapat dicampur dengan berbagai macam pelarut. 5. Tidak berwarna dan tidak berbau yang tidak menyenangkan. Beberapa istilah yang berhubungan dengan insektisida adalah: 1. Ovisida : insektisida untuk membunuh stadium telur. 2. Larvasida : insektisida untuk membunuh untuk membunuh stadium larva/nimfa. 3. Adultisida : insektisida untuk membunuh stadium dewasa. 4. Akarisida (mitisida) : insektisia untuk membunuh tungau. 5. Pedikulisida (lousisida) : insektisida untuk membunuh tuma Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada bentuk, cara masuk ke dalam badan serangga, macam makan kimia, konsentrsai dan jumlah (dosis) insektisida (Gandahusada, 2000). Untuk mencegah penyakit demam berdarah, penyemprotan dengan ULV malathion masih merupakan cara yang umum dipakai untuk membunuh nyamuk - nyamuk dewasa, tetapi cara ini tidak dapat membunuh larva yang hidup dalam
25
air. Pengendalian yang umum dipergunakan unutuk larva – larva nyamuk adalah dengan menggunakan larvasida seperti abate (Sembel, 2009). Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut (Djojosumarto, 2004): 1. Racun Lambung (Stomach Poison) Racun lambung adalah insektisida – insektisida yang membunuh serangga sasaran bila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan. 2. Racun Kontak Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan mati bila bersinggungan langsung atau kontak dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut. 3. Racun Pernapasan Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernapasan. Serangga akan mati bila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, atau bila wujud asalnya padat atau cair, yang segera berubah atau mengahsilkan gas. 2.1.7.4 Pengendalian Secara Genetik Pengendalian secara genetik dilakukan dengan cara mensterilkan nyamuknyamuk jantan kemudian dilepas ke alam. Dengan cara ini diharapkan
26
nyamuk jantan steril mengawini nyamuk betina yang ada di alam. Karena nyamuk betina hanya kawin sekali maka nyamuk betina yang kawin dengan nyamuk jantan steril tidak akan menghasilkan keturunan. 2.1.7.5 Repellent Repellent adalah bahan – bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk menjauhkan serangga dari manusia sehingga dapat dihindari gigitan serangga atau gangguan oleh serangga terhadap manusia (Wudianto, 2004). Repellent lebih dikenal sebagai salah satu jenis pestisida rumah tangga yang digunakan untuk melindungi tubuh (kulit) dari gigitan nyamuk. Sekarang lebih dikenal dalam bentuk lotion, tetapi ada juga yang berbentuk spray (semprot), jadi penggunaannya dioles atau disemprotkan pada kulit (POM, 2011). Oleh karena itu, penolak nyamuk harus memenuhi beberapa syarat, yaitu antara lain : tidak mengganggu pemakainya, tidak lengket, tidak menimbulkan iritasi, tidak beracun, tidak merusak pakaian, dapat bertahan lama, efektif terhadap berbagai macam bentuk gangguan hama arthropoda, stabil bila terkena matahari. Biasanya repellent hanya bekerja dengan baik untuk sementara saja, sehingga dapat terhindar dari berbagai jenis arthropoda yang menggigit seperti nyamuk. Pada tahun 1957, telah dikembangkan sebuah repellent yang termasuk ”multipurpose repellent”, yaitu diethyl toluamide (DEET). DEET ini dirancang untuk aplikasi langsung ke kulit manusia untuk mengusir serangga, bukan membunuh mereka. Bila digunakan dengan baik, akan melindungi kita dari gangguan serangga sekitar 2 jam, tergantung dari orangnya, jenis species dan populasi arthropodanya. DEET merupakan salah satu contoh repellent yang tidak
27
berbau, tetapi dapat menimbulkan rasa terbakar jika mengenai mata, luka, atau jaringan membranous (EPA, 2007). Keuntungan penggunaan repellent, antara lain pemakaiannya mudah, jika baru dioleskan baunya dapat menolak nyamuk dengan jarak kurang lebih 4 cm dari kulit, dan tidak merusak lingkungan. Sedangkan kekurangannya adalah tidak bisa mematikan nyamuk, dan tidak bisa melindungi manusia dari sengatan serangga seperti lebah. 2.1.7.5.1 Komposisi Bahan Repellent Komposisis bahan yang digunakan sebagai repellent mengandung senyawa senyawa sedikit berbau bahkan ada yang tidak berbau, Bahan - bahan sintesis yang sering digunakan sebagai repellent misalnya : benzyl benzoat, butyl ethyl propanidol, DEET (N, H - dietyl 1 - 3 tolu senide), dibutyl phthalate, dimethyl benzamide, dimethyl flafat, dimethyl karbonat indolon, sedangkan senyawa alami yang biasa digunakan sebagai repellent sebagai margosin, eugol, indool, dan geraniol, secara umum repellent yang menpunyai zat aktif tunggal atau lebih umumnya berada dalam bentuk larutan, emulasi, krim atau bentuk stik yang semi solid akan mengurangi serangan nyamuk gigitan serangga dan akan bertahan selama 30 menit – 2 jam / lebih. 2.1.7.5.2 Petunjuk Pemakaian Repellent oleh EPA (Environmental Protection Agency ) 1.
Penggunaan repellent hanya di kulit yang terbuka dan/atau di pakaian (seperti petunjuk di label). Jangan digunakan di kulit yang terlindungi pakaian.
28
2.
Jangan menggunakan repellent pada kulit yang terluka atau kulit yang iritasi.
3.
Jangan digunakan di mata atau mulut dan gunakan sesedikit mungkin di sekitar telinga. Ketika menggunakan spray, jangan disemprotkan langsung ke wajah, tapi semprotkan terlebih dahulu ke tangan lalu sapukan ke wajah.
4.
Jangan biarkan anak – anak memegang produk repellent. Ketika menggunakan pada anak - anak, letakkan terlebih dahulu pada tangan kita lalu gunakan pada anak.
5.
Gunakan repellent secukupnya untuk kulit yang terbuka dan/ atau pakaian. Jika penggunaan repellent tadi tidak berpengaruh, maka tambahkan sedikit lagi.
6.
Setelah memasuki ruangan, cuci kulit yang memakai repellent dengan sabun dan air atau segera mandi. Ini sangat penting ketika repellent digunakan secara berulang pada satu hari atau pada hari yang berurutan. Selain itu,
pakaian yang sudah terkena repellent juga harus dicuci
sebelum dipakai kembali. 7.
Jika kulit mengalami ruam/ kemerahan atau reaksi buruk lainnya akibat penggunaan repellent, berhentikan penggunaan repellent, bersihkan kulit dengan sabun dan air. Jika pergi ke dokter, bawa repellent yang digunakan untuk ditunjukkan pada dokter (CDC, 2008).
29
2.2
Kecombrang (Etlingera elatior )
2.2.1 Tanaman Kecombrang (Etlingera elatior ) Kecombrang merupakan tanaman asli pulau Sumatera dan Jawa. Tanaman ini tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera terutama di daerah pegunungan tumbuhnya di hutan (Heyne, 1987). Tanaman ini juga dinamakan Nicolaia elatior, Phaemaria speciosa, Phaemaria imperalis, Phaemaria magnifica. Tumbuhan liar di hutan – hutan hampir diseluruh Indonesia (Darwis dkk, 1991). Kecombrang sering ditambahkan pada masakan khas suku Batak, yaitu arsik ikan mas, masakan pucuk ubi tumbuk, dan juga digunakan sebagai peredam bau amis pada ikan (Heyne,1987).
30
Gambar 2.6 Tanaman Kecombrang 2.2.2 Taksonomi Kecombrang Klasifikasi ilmiah tanaman kecombrang adalah sebagai berikut Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Etlingera
Species
: Etlingera elatior
2.2.3 Morfologi Tanaman Kecombrang 1.
Akar Tanaman
kecombrang (Etlingera elatior )mempunyai akar berbentuk
serabut dan bewarna kuning gelap. 2.
Batang Tanaman kecombrang (Etlingera elatior )mempunyai batang berbentuk
semu gilig membesar di pangkalnya tumbuh tegak dan banyak. Batang saling berdekat - dekatan membentuk rumpun jarang keluar dari rimpang yang
31
menjalar di bawah tanah. Rimpangnya tebal bewarna krem kemerah jambuan ketika masih muda. 3.
Daun Tanaman kecombrang (Etlingera elatior )mempunyai daun 15-30 helai
tersusun dalam dua baris berseling, di batang semu helaian daun berbentuk jorong lonjong dengan ukuran 20-90 cm x 10-20 cm dengan pangkal membulat atau bentuk jantung, tepinya bergelombang dan ujung meruncing pendek gundul namun dengan bintik – bintik halus dan rapat bewarna hijau mengkilap sering dengan sisi bawah yang keunguan ketika masih muda. 4.
Bunga Tanaman kecombrang (Etlingera elatior) mempunyai bunga dalam
karangan berbentuk gasing bertangkai panjang dengan ukuran 0,5-2,5 cm x 1,52,5 cm, dengan daun pelindung bentuk jorong 7-18 cm x 1-7 cm bewarna merah jambu hingga merah terang berdaging, ketika bunga mekar maka bunga tersebut akan melengkung dan membalik. Kelopak berbentuk tabung dengan panjang 33,5 cm bertaju 3 dan terbelah. Mahkota berbentuk tabung bewarna merah jambu berukuran 4 cm. Labellum serupa sudip dengan panjang sekitar 4 cm bewarna merah terang dengan tepian putih atau kuning. 5.
Buah Tanaman kecombrang (Etlingera elatior) mempunyai buah berjejalan
dalam bongkol hampir bulat berdiameter 10-20 cm, masing – masing butir
32
besarnya 2-2,5 cm, berambut halus dan pendek di bagian luar, bewarna hijau dan ketika masak warnanya menjadi merah. 6.
Biji Tanaman kecombrang (Etlingera elatior) mempunyai biji banyak bewarna
coklat kehitaman dan diselubungi salut biji (arilus) bewarna putih bening atau kemerahan yang berasa masam.
2.2.4 Manfaat Tanaman Kecombrang Kecombrang banyak digunakan sebagai bahan campuran atau bumbu penyedap berbagai macam masakan di Nusantara. Kuntum bunga ini sering dijadikan lalap atau direbus lalu dimakan bersama sambal di Jawa Barat. Kecombrang yang dikukus juga kerap dijadikan bagian dari pecel di daerah Banyumas. Di Pekalongan, kecombrang yang diiris halus dijadikan campuran pembuatan megana, sejenis urap berbahan dasar nangka muda. Di Malaysia dan Singapura, kecombrang menjadi unsur penting dalam masakan laksa. Di Tanah Karo, buah kecombrang muda disebut asam cekala. Kuncup bunga serta "polong"nya menjadi bagian pokok dari sayur asam Karo; juga menjadi peredam bau amis sewaktu memasak ikan. Masakan batak populer, arsik ikan mas, juga menggunakan asam cekala ini. Di pelabuhan ratu, buah dan bagian dalam pucuk kecombrang sering digunakan sebagai campuran sambal untuk menikmati ikan laut bakar.
33
Kecombrang juga dapat dimanfaatkan sebagai sabun dengan dua cara: menggosokkan langsung batang semu kecombrang ke tubuh dan wajah atau dengan mememarkan pelepah daun kecombrang hingga keluar busa yang harum yang dapat langsung digunakan sebagai sabun. Tumbuhan ini juga dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit yang berhubungan dengan kulit, termasuk campak. Dari rimpangnya, orang – orang sunda memperoleh bahan pewarna kuning. Pelepah daun yang menyatu menjadi batang semu, pada masa lalu juga dimanfaatkan sebagai bahan anyam – anyaman; yaitu setelah diolah melalui pengeringan dan perendaman beberapa kali selama beberapa hari. Batang semu juga merupakan bahan dasar kertas yang cukup baik (Darwis, dkk 1991) Bunganya berkhasiat sebagai obat penghilang bau badan, memperbanyak air susu ibu dan pembersih darah, untuk obat penghilang bau badan dipakai ±100 gr bunga segar, dicuci dan dikukus sampai matang dan dimakan sebagai sayuran (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1990). 2.2.5 Kandungan Kimia Kecombrang Kandungan kimia dari daun, batang, bunga dan rimpang kecombrang mengandung saponin dan flavonoida, disamping itu rimpangnya juga mengandung polifenol dan minyak atsiri (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1990). •
Minyak atsiri Pada minyak atsiri yang bagian utamanya terpenoid. Zat inilah penyebab
wangi, harum, atau bau yang khas pada minyak tumbuhan. Secara ekonomi
34
senyawa tersebut penting sebagai dasar wewangian alam dan juga untuk rempahrempah serta sebagai senyawa cita-rasa di dalam industri makanan (Harbone,1897). •
Flavonoida Flavonoida merupakan salah satu golongan fenol alam yang tersebar luas
pada tumbuhan hijau dan mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (Markham, 1988). Flavonoida terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae yang mencakup banyak jenis pigmen yang umum dan mempunyai peranan penting dalam tumbuhan, misalnya pada bunga sebagai pigmen yang berperan dalam menarik burung dan serangga penyerbuk. Selain itu ada beberapa senyawa flavonoida yang menyerap sinar ultraviolet yang juga berperan dalam mengarahkan serangga (Robinson, 1995). •
Tanin Tanin adalah senyawa fenol yang tersebar luas pada tumbuhan berpembuluh,
biasanya terdapat pada daun, buah, kulit kayu atau batang. Tanin tumbuhan dibagi menjadi dua golongan, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Kadar tanin yang tinggi mempunyai arti penting bagi tumbuhan yakni pertahanan bagi tumbuhan dan membantu mengusir hewan pemakan tumbuhan. Tanin terkondensasi terdapat pada paku-pakuan, gimnospermae, dan angiospermae, sedangkan tanin terhidrolisis penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping
35
dua. Beberapa tanin terbukti mempunyai antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor (Harborne, 1987). •
Steroida dan Triterpenoida Steroida merupakan suatu senyawa golongan triterpenoida yang mengandung
inti siklopentanoperhidrofenantren yaitu terdiri dari tiga cincin sikloheksana dan sebuah cincin siklopentana (Harborne, 1987). Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu skualena. Triterpenoida kebanyakan berupa alkohol, aldehid, asam karboksilat dan umumnya berupa senyawa tanwarna, berbentuk kristal, mempunyai titik leleh tinggi, dan bersifat optik aktif. Triterpenoida dapat dibagi menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa yaitu triterpenoida sebenarnya, steroida, saponin, dan glikosida jantung. Uji yang banyak digunakan untuk
mendeteksi
senyawa
ini
adalah
reaksi
Lieberman-Burchard
(Harborne,1987). Senyawa triterpenoida mempunyai berbagai macam aktifitas fisiologi yaitu untuk penyakit diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria (Robinson, 1995). Chan, dkk (2007) melaporkan bahwa daun dari kecombrang mengandung kadar fenolik yang tinggi dan asam askorbat, juga dapat digunakan sebagai antioksidan dan menghambat aktivitas tirosin. Wong dkk (1993) meneliti minyak atsiri dengan metode destilasi uap terisolasi dari tunas bunga muda kecombrang. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa komponen utama minyak atsiri terdiri dari
36
senyawa aldehid alifatik dan alkohol dengan dodecanol dan dodecanal sebagai dua komponen yang paling banyak. Jaafar, dkk (2007) juga telah meneliti minyak atsiri yang terkandung pada daun kecombrang yaitu ß pinene (19,7%), kariopilen (15,36%) dan sebagai senyawa utama ß - farnesen (27.90%) sedangkan minyak atsiri pada batang sebagian besar didominasi oleh 1,1 - dodecanediol diasetat (34,26%) dan dodecan (26,99%). Minyak atsiri dari bunga dan rimpang mengandung senyawa utama 1,1 - diasetat dodecanediol masing – masing 24,38% dan 40,37dan siklododecan masing – masing 47,28% dan 34,45%.
Gambar 2.7 Senyawa utama penyusun minyak atsiri pada tanaman kecombrang : (a) Siklododecan, (b) ß - Pinen, (c) Kariopilen, (d) (E) - ß - Farnesen, (e) 1,1 - dodecandiol diasetat and (f) (E) - 5 – Dodecan 2.2.5.1 Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia
37
akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat(Ditjen POM, 2000). Ekstraksi menggunakan pelarut yang sesuai didasarkan pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran dimana pelarut polar akan melarutkan solute yang polar dan pelarut nonpolar akan melarutkan solute yang non polar (Ketaren, 1986).Ada beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu: maserasi, perkolasi, refluks, sokletasi, digesti, infundasi, dan dekoktasi (Ditjen POM, 2000).
2.2.5.1.1 Pembagian Metode Ekstraksi Menurut DiJen POM (2000) : A.
Cara Dingin
1.
Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
perendaman dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan kosentrasi larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel maka larutan terpekat didesak keluar. Proses ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan didalam dan diluar sel. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya. Remaserasi berarti dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan
38
seterusnya. Remaserasi berarti dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana yang mudah diusahakan. 2.
Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru
sampai penyarian sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) yang terus menerus sampai ekstrak yang diinginkan habis tersari. Tahap pengembangan bahan dan maserasi antara dilakukan dengan maserasi serbuk menggunakan cairan penyaring sekurang – kurangnya 3 jam, hal ini penting terutama untuk serbuk yang keras dan bahan yang mudah mengembang. B.
Cara Panas
1.
Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 2.
Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 3.
Digesti
39
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu pada temperature 40-50oC. 4.
Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
mendidih, temperatur terukur 96-98oC selama waktu tertentu (15-20 menit). 5.
Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (+30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air.
2.3
Sabun
2.3.1
Defenisi Sabun Sabun adalah garam alkali dari asam – asam lemak dan telah dikenal
secara umum oleh masyarakat karena merupakan kerpeluan penting di dalam rumah tangga sebagai alat pembersih dan pencuci(Lubis, 1999). Sabun ditemukan oleh orang Mesir Kuno beberapa ribu tahun yang lalu. Bangsa Romawi membuat sabun dari lemak kambing dan abu kayu. Sekarang sabun dibuat dengan memanaskan lelehan lemak dengan lindi (lye=larutan alkali) sebagai ganti abu kayu (Fessenden dan Fessenden 1986). Proses pembuatan sabun tidak pernah berubah selama 200 tahun. Prosedur pembuatan sabun melibatkan hidrolisis (saponifikasi) dari lemak. Secara kimia, lemak biasanya disebut sebagai trigliserida yang mengandung gugus ester. Saponifikasi melibatkan pemanasan lemak dengan larutan alkali. Larutan basa
40
menghidrolisis lemak menghasilkan garam dari asam karboksilat rantai penjang (sabun) dan alkohol (gliserol). Garam asam karboksilat dari sabun biasanya mengandung atom karbon 12-18 dengan rantai lurus (Pavia, et al., 1988). Lemak dan minyak yang digunakan dalam pembuatan sabun adalah gliserida dengan tiga gugus asam lemak yang diesterifikasi dengan gliserol (trihidroksi alkohol). Perbedaan antara lemak dan minyak dapat dilihat dari keadaan fisiknya: lemak berbentuk padat dan minyak berbentuk cair. Lemak dan minyak biasanya terdiri dari molekul asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh yang mengandung atom karbon antara 7 dan 21 yang berikatan dengan gliserol. Secara umum, reaksi antara alkali dengan trigliserida menghasilkan sabun dan gliserol yang dikenal dengan reaksi saponifikasi. Reaksi saponifikasi adalah proses pembuatan sabun yang paling banyak dugunakan. Proses pembuatan sabun yang lain adalah netralisasi asam lemak dengan alkali. Lemak dan minyak dihidrolisis dengan uap bertekanan tinggi untuk menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak ini kemudian dimurnikan dengan destilasi dan dinetralkan dengan alkali untuk menghasilkan sabun dan air (Barel, et al., 2001) 2.3.2
Kegunaan Sabun Sabun berkemampuan untuk mengemulsi kotoran berminyak sehingga
dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat sabun: 1. Rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun bersifat nonpolar sehingga larut dalam zat nonpolar, seperti tetesan minyak.
41
2. Ujung anion molekul sabun yang tertarik dari air, ditolak oleh ujung anion molekul – molekul sabun yang menyeembul dari tetesan minyak lain. karena tolak menolak antara tetes sabun – minyak, maka minyak tersebut tidak dapat saling bergabung melainkan tersuspensi (Fessenden,1992). 2.3.3
Jenis - jenis Sabun Berdasarkan jenisnya, sabun dibedakan menjadi empat macam, yaitu
sabun opaque, sabun transparan, sabun translusen, dan sabun herbal (Hernani et al., 2010). Jenis sabun tersebut dapat dibedakan dengan mudah dari penampakannya. Sabun opaque adalah jenis sabun yang biasa digunakan sehari – hari yang berbentuk kompak dan tidak tembus cahaya, sabun transparan merupakan sabun yang paling banyak meneruskan cahaya jika pada batang sabun dilewatkan cahaya, sedangkan sabun translusen merupakan sabun yang sifatnya berada di antara sabun transparan dan sabun opaque. Sabun transparan mempunyai harga yang relatif lebih mahal dan umumnya digunakan oleh kalangan menengah atas. Sabun transparan juga dapat digolongkan kedalam sabun aromaterapi, sedangkan sabun herbal merupakan sabun yang mengandung sari tanaman, berfungsi membersihkan kulit, mengobati penyakit kulit bahkan dapat digunakan sebagai penolak nyamuk (Malik, 2011). Sabun kecombrang termasuk dalam jenis sabun herbal. 2.3.4
Mekanisme Kerja Sabun Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang dan
ujung ion. Bagian hidrokarbon dari molekul bersifat hidrofobik dan larut dalam zat – zat non polar, sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air.
42
Karena adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun tidak sepenuhnya larut dalam air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air karena membentuk misel, yakni segerombol molekul sabun yang rantai hidrokarbonnya mengelompok dengan ujung - ujung ionnya menghadap ke air (Fessenden dan Fessenden, 1986). Kegunaan
sabun
ialah
kemampuannya
mengemulsikan
kotoran
berminyak sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat sabun. Pertama, rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun larut dalam zat nopolar, seperti tetesan – tetesan minyak. Kedua, ujung anion molekul sabun, yang tertarik pada air, ditolak oleh ujung anion molekul – molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak – menolak antara tetes – tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling bergabung, tetapi tetap tersuspensi (Fessenden dan Fessenden, 1986). Nilai
sabun
yang
sesungguhnya
terletak
pada
kemampuannya
menghilangkan mikroorganisme secara mekanis. Seperti deterjen lain, sabun dapat mengurangi tegangan permukaan sehingga meningkatkan sifat pembasahan air yang di dalamnya terlarut sabun. Air sabun dapat mengemulsikan dan menghilangkan minyak dan kotoran. Mikroorganisme menjadi terperangkap di dalam busa sabun dan hilang setelah dibilas dengan air. Berbagai macam zat kimia dicampurkan dalam sabun untuk meningkatkan aktivitas germisidalnya (Pelezar dan Chan, 1976). 2.4
Kerangka Konsep
Sabun ektrak minyak atsiri daun kecombrang dalam konsentrasi : 1. 5% 2. 7,5%
Jumlah nyamuk Aedes aegpty yang tidak hinggap pada subjek penelitian yaitu kelinci
43